Torch [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Clinical Science Session



INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN



oleh:



Irham Abshar



1740312060



Sari Ramadhani



1740312104



Amalia Savira



1410311032



Preseptor : dr. Syahrial Syukur, Sp.OG



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD DHARMASRAYA 2018



1



BAB I KATA PENGANTAR



Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Infeksi pada Kehamilan”. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian kandungan dan kebidanan RSUD Dharmasraya Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Syahrial Syukur, Sp.OG selaku pembimbing dan juga kepada rekan-rekan dokter muda. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan penulis menerima setiap kritik dan saran dari semua pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya di bidang ilmu kedokteran. Aamiin.



Pariaman, 31 Mei 2018



Penulis



2



PENDAHULUAN 1.1



Latar Belakang Infeksi dalam kehamilan adalah infeksi yang terjadi saat kehamilan berlangsung, bisa



didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau didapatkan saat kehamilan. Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi berlangsung.Dampak terhadap janin bisa berbeda bila kuman penyakit masuk ditrimester yang berbeda pula .Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya kehamilan. Dan ada pula Penyakit yang nampaknya tidak terlalu mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin



yaitu Penyakit TORCH ; merupakan singkatan dari



T =



Toksoplasmosis ; R = Rubela (campak Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks. Penyakit infeksi dalam kehamilan akan dibagi dalam penyakit akibat hubungan seksual, dan penyakit lainnya terdiri dari infeksi oleh bakteri, virus serat infeksi parasit dalam kehamilan. Infeksi dalam kehamilan berdampak pada janin bisa berasal dari infeksi tersebut saat janin didalam kandungan atau saat janin setelah dilahirkan pervaginam karena kontak langsung dengan tempat yang terinfeksi. Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan mengakibatkan kematian sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan tindakan pengobatan serta pencegahan baik yang dapat



3



dilakukan oleh wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah sehingga diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.



1.2. Batasan Masalah Makalah ini membahas definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, penatalaksanaan Infeksi TORCH dalam Kehamilan.



1.3. Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan.



1.4. Metode Penulisan Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang dirujuk dari berbagai literature.



1.5. Manfaat Penulisan Melalui makalah ini diharapkan bermanfaat untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai Infeksi TORCH dalam Kehamilan.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Infeksi TORCH adalah kelompok infeksi Toxoplasma, Rubella, Sitomegalovirus (CMV), dan Herpes Simplex Virus (HSV). Walaupun berbeda dalam taksonomi, tetapi kelompok organism ini memiliki gejala klinis yang mirip, gejala yang sukar dibedakan dengan penyakit lainnya, bahkan ada kalanya gejala tidak muncul.1 Toksoplasmosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa obligat intraseluler Toxoplasma gondii. Siklus hidup Toxoplasma gondii dibagi menjadi dua fase, yaitu siklus hidup fase kucing sebagai hospes definitif dan siklus hidup fase bukan kucing sebagai hospes intermediet.2 Infeksi Rubella juga dikenal dengan campak Jerman dan sering diderita anak-anak. Rubela yang dialami pada tri semester pertama kehamilan 90 persennya menyebabkan kebutaan, tuli, kelainan jantung, keterbelakangan mental, bahkan keguguran. Ibu hamil disarankan untuk tidak berdekatan dengan orang yang sedang sakit campak Jerman. Sitomegalovirus merupakan golongan virus herpes DNA yang dapat menyebabkan sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Transmisi infeksi ini berlangsung secara horizontal, vertical, dan dapat melalui hubungan sosial. Transmisi horizontal terjadi melalui droplet dan kontak dengan air ludah dan air seni. Sementara itu transmisi vertical adalah proses penularan maternal ke janin.1 Infeksi ini dapat berakibat pada infeksi janin intrauterine, infeksi intrapartum, atau infeksi postpartum melalui ASI.2



5



Herpes Simplex Virus merupakan virus DNA yang bereplikasi di dalam nukelus sel host yangmana sel epitel merupakan target primer. Infeksi HSV berkembang laten di dalam ganglion radiks dorsal dan dapat menyebar secara hematogen.3 2.2 Epidemiologi Insidensi infeksi prenatal yang menyebabkan kelahiran neonatus dengan toksoplasmosis kongenital di Amerika Serikat diperkirakan bervariasi dari 0,8 dari 10.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat hingga 10 dari 10.000 di Perancis. Secara global, diperkirakan 1/3 populasi telah terpapar dengan Toxoplasma gondii.2 Infeksi sitomegalovirus di Negara-negara maju merupakan penyebab infeksi congenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3-2% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10-15% bayi lahir yang terinfeksi secara congenital adalah simtomatis yakni dengan manifestasi klinis akibat terserangnya SSP dan berbagai organ lain yang dapat menyebabkan kematian perinatal 20-30% serta timbulnya cacat neurologic berat lebih dari 90% pada kelahiran. Sebanyak 10-15% bayi yang terinfeksi bersifat asimtomatis serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan mengalami cacat neurologic seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan yang diperkirakan 1-2 tahun kemudian.1 2.3 Etiologi Toxoplasma gondii adalah suatu protozoa obligat intraseluler yang menginfeksi burung dan beberapa jenis mamalia terutama kucing di seluruh dunia. Sitomegalovirus merupakan kelompok famili Herpesviridae. Famili virus ini merupakan pathogen penting pada manusia dan terbagi menjadi 3 subfamili, yaitu: Alphaherpesvirinae, pertumbuhannya cepat, virus sitolitik yang hidup laten di neuron (HSV tipe 1 dan 2; VZV), Betaherpesviridae, pertumbuhannya lambat (CMV), dan Gamaherpesvirinae, virus yang tumbuh



6



pada limfosit dan terkadang bertransformasi menjadi maligna (EBV, Human Herpes Virus 6,7, dan 8).4 Herpesvirus ini dapat berkembang menjadi infeksi yang bersifat akut, persisten, dan laten. Infeksi CMV rekuren dapat terjadi akibat reaktivasi dari fase laten atau superinfeksi dengan strain atau serotype lain dari virus.4 Herpes Simplex Virus merupakan virus DNA yang genomnya kompleks dan mengkode lebih dari 80 polipeptida, termasuk beberapa envelope glikoprotein. Glikoprotein G membedakan virus ini menjadi 2, yaitu HSV 1 yang berhubungan dengan infeksi nongenital yang biasanya pada mulut dan bibir dan HSV 2 yang merupakan infeksi yang biasanya melalui kontak seksual.3 Virus Rubella merupakan anggota famili Togaviridae dan satu-satunya spesies genus Rubivirus. Virus ini adalah virus RNA rantai tunggal dengan selaput pembungkus lipid dan 3 protein struktural, termasuk protein nukleokapsid yang berhubungan dengan nukleus dan 2 glikoprotein, E1 dan E2, yang berhubungan dengan selaput pembungkusnya. Virus ini sensitif terhadap panas, sinar ultraviolet, dan pH yang ekstrem namun stabil pada suhu dingin. Manusia diketahui merupakan host satu-satunya dari virus ini.5 2.4 Patogenesis 2.4.1 Infeksi Toxoplasma Siklus hidup Toxoplasma gondii dibagi menjadi dua fase, yaitu siklus hidup fase kucing sebagai hospes definitif dan siklus hidup fase bukan kucing sebagai hospes intermediet. Pada siklus hidup fase bukan kucing, pertama-tama kista jaringan yang mengandung bradizoit (dengan memakan makanan yang mentah atau dimasak kurang matang) atau ookista dimakan oleh hospes intermediet (termasuk manusia). Asam lambung akan mencerna kista, kemudian bradizoit akan keluar dan menginfeksi usus halus. Di usus halus, bradizoit akan berkembang menjadi takizoit yang aktif membelah. Takizoit ini juga dapat menginfeksi semua sel, selain sel usus halus.



7



Mayoritas takizoit akan dieliminasi oleh respon imun tubuh, tetapi takizoit yang tidak berhasil dieliminasi akan membentuk kista jaringan yang mengandung bradizoit.2,6



Gambar 2.1. Daur hidup dan cara penularan Toxoplasma gondii6 Infeksi pada manusia biasanya disebabkan karena memakan daging mentah atau kurang matang yang terinfeksi oleh kista jaringan atau melalui kontak dengan ookista dari air atau tanah yang terkontaminasi oleh feses kucing. Infeksi sebelumnya dapat dikonfirmasi dengan melakukan pemeriksaan serologis.2 2.4.2 Infeksi Rubella Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella, sebuah togavirus yang menyelimuti dan memiliki genom RNA beruntai tunggal. 3,4,5 Virus ini ditularkan melalui rute pernapasan dan bereplikasi dalam nasofaring dan kelenjar getah bening. Virus ini dapat ditemukan dalam darah 5 sampai 7 hari setelah infeksi dan menyebar ke seluruh tubuh. Virus memiliki sifat teratogenik



8



dan mampu menyeberangi plasenta dan menginfeksi janin di mana sel-sel berhenti dari berkembang atau menghancurkan mereka. 2.4.3 Infeksi CMV Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simtomatis ataupun asimtomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam selsel dari berbagai macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten. Pada keadaan tertentu, eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplant-resipien atau penderita dengan keganasan. Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenic. Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respon sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenic yang kronis. Dengan demikian terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindroma. Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu dapat menyebabkan gangguan yang serius. Infeksi CMV congenital berasal dari infeksi maternal eksogenous ataupun endogenous. Infeksi eksogenous dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif. Infeksi endogenous adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).1 Secara alami, terjadi imunitas terhadap infeksi CMV sehingga dapat mengurangi risiko infeksi CMV congenital pada kehamilan berikutnya sedikitnya 69%.4



9



2.4.4 Infeksi HSV Infeksi HSV dapat terjadi secara primer maupun rekuren. Penyeembuhan infeksi primer HSV 2 terjadi setelah beberapa minggu. Sedangkan infeksi HSV sekunder atau rekuren biasanya merupakan reaktivasi virus.4 Infeksi HSV yang terjadi pada bayi relative jarang, berupa infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti, ibu sudah mempunyai infeksi (vesikel yang nyeri pada vulva secara kronik) kemungkinan infeksi pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam. Tetapi sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan mempunyai risiko sehingga dianjurkan persalinan dengan SC.1 2.5 Manifestasi Klinis 2.5.1 Infeksi Toxoplasma Mayoritas infeksi maternal di Eropa dan Amerika Utara tidak menunjukkan gejala dan dideteksi hanya melalui pemeriksaan serologi prenatal atau pemeriksaan serologi neonatus. Pada beberapa kasus, gejala yang dirasakan ibu antara lain lelah, demam, sakit kepala, nyeri otot, dan kadang-kadang ruam makulopapuler serta limfadenopati servikal posterior.5,7 Pada pasien ibu yang imunokompeten, infeksi awal menyebabkan imunitas dan infeksi sebelum hamil hampir tidak berisiko menimbulkan transmisi vertikal sama sekali. Namun, infeksi pada ibu yang mengalami penurunan respon imun, dapat timbul infeksi yang berat dan reaktivasi yang dapat menimbulkan ensefalitis, korioretinis, atau lesi yang meluas.2,7 Infeksi maternal terkait dengan peningkatan risiko kelahiran prematur sebesar empat kali lipat. Walaupun demikian, tidak terjadi gangguan pertumbuhan janin. Toksoplasmosis serotipe NE-II paling sering menyebabkan kelahiran prematur dan infeksi yang berat pada neonatus. 2 Selain itu, toksoplasmosis maternal juga terkait dengan kejadian abortus dan IUFD.8



10



Insidensi dan derajat keparahan infeksi toksoplasma janin bergantung pada usia gestasi saat terjadinya infeksi maternal. Risiko infeksi janin meningkat seiring bertambahnya durasi kehamilan. Sebaliknya, derajat keparahan jauh lebih tinggi pada kehamilan muda, dan janin yang terinfeksi pada kehamilan muda lebih tinggi kecenderungannya untuk menunjukkan tanda-tanda klinis infeksi.2 Mayoritas janin terinfeksi lahir tanpa tanda-tanda infeksi toksoplasmosis yang jelas. Biasanya, neonatus yang lahir memiliki gejala-gejala penyakit sistemik, seperti berat badan lahir rendah, hepatosplenomegali, kuning, dan anemia. Beberapa menunjukkan gangguan neurologis dengan kalsifikasi intrakranial disertai hidrosefalus atau mikrosefalus.2 Pada beberapa kasus, toksoplasmosis kongenital juga menimbulkan kebutaan dan epilepsi.9 Banyak yang pada akhirnya mengalami korioretinitis dan gangguan belajar. Trias klasik yang terdiri atas korioretinitis, kalsifikasi intrakranial, dan hidrosefalus ini seringkali disertai kejang. Neonatus terinfeksi yang menunjukkan tanda klinis berisiko untuk mengalami komplikasi jangka panjang.2,8 2.5.2 Infeksi Rubella Infeksi Rubella pada trimester pertama memiliki risiko terjadinya aborsi dan malformasi kongenital berat. Transmisi terjadi melalui sekresi nasofaring, dan 80 % terjadi pada individu yang rentan. Infeksi Rubella pada ibu hamil biasanya ringan. Terjadi demam disertai ruam makulopapular yang muncul di wajah kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. Gejala lain dapat meliputi Forchheimer’s spots, artralgia, artritis, limfadenopati kepala dan leher (suboksipital), dan konjungtivitis. Forchheimer’s spots adalah perdarahan peteki pada palatum molle. Masa inkubasi berkisar antara 12 sampai 23 hari. Viremia biasanya mendahului gejala klinis 1 minggu sebelumnya dan pada orang dewasa dapat menular sampai 5 hingga 7 hari fase



11



ruam. Setengah dari infeksi pada ibu hamil adalah subklinis meskipun viremia dapat menyebabkan infeksi fetus yang berat. Virus rubella masuk ke dalam tubuh ibu, kemudian menyebar melalui darah, plasenta, dan menginfeksi janin.2,5



Gambar 2.2 Forchheimer’s spot Rubella adalah salah satu infeksi yang paling teratogenik dan menimbulkan sekuele terburuk saat organogenesis. Wanita hamil dengan infeksi Rubella dan ruam selama 12 minggu pertama kehamilan 90% memiliki janin dengan infeksi kongenital. Pada 13 sampai 14 minggu kehamilan, insidensinya 54% , dan di akhir trimester kedua insidensinya 25%. Defek jarang terjadi setelah 20 minggu. Sindrom Rubella kongenital adalah jika terdapat satu atau lebih kelainan-kelainan ini (Gambar 2.3), yaitu defek pada mata berupa katarak dan glaukoma kongenital, defek jantung kongenital berupa patent ductus arteriosus dan



stenosis A. pulmonalis. Tuli sensorineural



merupakan defek tunggal tersering. Defek susunan saraf pusat berupa mikrosefali, perkembangan terhambat, retardasi mental, dan meningoensefalitis. Dampak lain antara lain berupa retinopati pigmentasi, purpura neonatal, hepatosplenomegali dan jaundice, serta penyakit tulang radiolusen.2



12



Gambar 2.3. Defek kongenital dan manifestasi pada infeksi Rubella11 Risiko defek kongenital setelah infeksi ibu hamil terbatas pada 16 minggu pertama kehamilan. Sindrom Rubella kongenital dapat terjadi pada infeksi di atas 20 minggu, namun risikonya kecil, dan restriksi pertumbuhan janin merupakan satu-satunya sekuele dari infeksi pada trimester ketiga. Infeksi perikonsepsi tidak meningkatkan risiko sindrom Rubella kongenital. Kekebalan ibu yang didapat baik dari vaksinasi maupun secara alami bersifat protektif terhadap infeksi Rubella intrauterin. Namun, terdapat kasus sindrom Rubella kongenital setelah reinfeksi pada ibu. Untuk itu, sindrom Rubella kongenital harus selalu dipertimbangkan pada fetus atau neonatus dengan gambaran klinis infeksi kongenital.11 13



Neonatus yang lahir dengan Rubella kongenital dapat menyebarkan virus selama berbulan-bulan dan menjadi ancaman bagi anak lain dan juga bagi orang dewasa yang rentan. Sindrom Rubella yang memanjang, dengan panensefalitis berat dan diabetes tipe 1, dapat tidak menunjukkan gejala klinis hingga usia 20-30 tahun.2 Efek dari sindrom Rubella kongenital berbeda-beda, bergantung pada usia gestasi ibu, sehingga usia gestasi harus ditentukan dengan akurat, karena penting hubungannya dengan konseling.1 2.5.3 Infeksi CMV Pasien yang terinfeksi CMV dapat asimtomatis atau 15% berkembang menjadi mononucleosis-like syndrome yang ditandai dengan demam, faringitis, poliartritis, malaise, mialgia, menggigil, dan limfadenopati colli. Infeksi CMV congenital yang simtomatis merupakan sindrom yang terdiri dari berat badan lahir rendah, mikrosefali, kalsifikasi intracranial, korioretinitis, retardasi motorik dan mental, deficit sensorieural, hepatomegali, jaundice, anemia hemolitik, purpura trombositopeni. Meskipun kebanyakan neonates tersebut asimtomatis, sekitar 10-15% neonates memiliki kelainan tuli congenital atau dapat berkembang menjadi tuli sensorineural progresif. Komplikasi yang jarang terjadi seperti pneumonia, hepatitis, Guillan-Barre syndrome, dan meningitis aseptic.1,3,4 2.5.4 Infeksi HSV Infeksi HSV-1 secara normal bermanifestasi sebagai herpes simpleks labialis (cold sores), sementara infeksi HSV-2 mengenai genital (vulva, vagina, dan/atau serviks). Vesikel yang nyeri muncul 2-14 hari setelah pajanan virus dan pecah secara spontan dan meninggalkan ulkus dangkal. Pada tahap selanjutnyam terbentuk krusta kering dan lesi sembuh tanpa skar. Infeksi primer mungkin ditandai dengan demam, malaise, anoreksia, limfadenopati inguinal



14



bilateral, dan yang jarang berhubungan dengan meningitis aseptic. Selain itu mungkin bisa disertai disuria dan retensi urin sekunder akibat keterlibatan uretra. Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatus mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio Caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah. Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus; sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum. Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam kandungan, selama persalinan atau setelah lahir. Ibu merupakan sumber infeksi tersering pada semua kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap tahun. Bayi baru lahir tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat. Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama pelahiran melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk menghindari infeksi, dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada perempuan hamil yang memilik herpes genital. Namun lebih banyak terjadi infeksi HSV neonatal dari pada kasus herpes genital rekuren meskipun virus ditemukan pada bayi cukup bulan.



15



Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap HSV-1 maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan petugas rumah sakit yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes neonatal disebabkan oleh HSV-2. Tidak tampak adanya perbedaan antara sifat dan derajat berat herpes neonatus pada bayi prematur atau cukup bulan, pada infeksi yang disebabkan ileh HSV-1 atau HSV-2, atau pada penyakit ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan. Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan herpes neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit, mata dan mulut; (2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat; (3) penyakit diseminata yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf pusat. Prognosis terburuk (angka mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi dengan infeksi diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis. Penyebab kematian bayi dengan penyakit diseminata biasanya pneumonitis virus atau koagulopati intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat dapat hidup dengan gangguan neurologi menetap.



2.6 Diagnosis 2.6.1 Infeksi Toxoplasma American Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) 2012 tidak merekomendasikan pemeriksaan penapisan prenatal untuk toksoplasmosis di daerah yang prevalensinya rendah. Pada daerah dengan prevalensi toksoplasmosis yang tinggi, pemeriksaan rutin menunjukkan berkurangnya angka kejadian



16



toksoplasmosis kongenital. Bila ditemukan IgG positif sebelum kehamilan, maka tidak ada risiko terjadinya infeksi kongenital.2 Pemeriksaan penapisan perlu dilakukan pada seluruh ibu yang immunocompromised, ibu hamil yang dicurigai menderita toksoplasmosis, dan ibu yang berisiko menderita toksoplasmosis. Toxoplasma gondii jarang ditemukan di jaringan atau cairan tubuh.2,10 IgG anti-toksoplasma mulai muncul dalam 2 – 3 minggu setelah infeksi, memuncak pada usia 1 – 2 bulan, dan biasanya bertahan seumur hidup, terkadang dengan titer antibodi yang tinggi. IgM muncul 10 hari setelah infeksi dan biasanya menjadi negatif dalam waktu 3 – 4 bulan, tetapi terkadang dapat bertahan hingga bertahun-tahun. Maka, IgM saja tidak cukup untuk mendiagnosis toksoplasmosis akut.2 Bila IgG dan IgM keduanya negatif, interpretasinya adalah tidak ada infeksi atau infeksi akut yang baru saja terjadi. Bila IgG positif dan IgM negatif, berarti telah terjadi infeksi lama (lebih dari 1 tahun yang lalu). Bila IgG dan IgM keduanya positif, maka interpretasinya adalah infeksi akut atau positif palsu. Maka, bila infeksi akut dicurigai, pemeriksaan penapisan ulang harus dilakukan 2 – 3 minggu setelahnya.10 Antibodi IgA dan IgE berguna untuk mendiagnosis toksoplasmosis. Aviditas IgG meningkat seiring berjalannya waktu. Maka, bila IgG aviditas tinggi ditemukan, maka infeksi dari 3 – 5 bulan sebelumnya dapat dieksklusi.2,6 PCR merupakan pemeriksaan yang sensitivitas dan spesifitasnya tinggi. Diagnosis prenatal toksoplasmosis dilakukan dengan teknik amplifikasi DNA dan evaluasi sonografik. PCR yang dilakukan lebih tinggi sensitivitasnya apabila sampelnya diambil dari cairan amnion atau darah fetus. Sensitivitasnya bervariasi menurut usia gestasi, dan paling rendah pada usia gestasi kurang dari 18 minggu.2 Untuk pengambilan sampel PCR, perlu dilakukan amniosentesis yang



17



merupakan suatu tindakan invasif. Amniosentesis sebaiknya dipertimbangkan bila infeksi primer maternal telah terdiagnosis, bila pemeriksaan serologis tidak dapat menegakkan atau mengeksklusi infeksi akut, atau ditemukannya hasil pemeriksaan sonografi yang abnormal.10 Temuan sonografik kalsifikasi intrakranial, hidrosefalus, kalsifikasi hati, ascites, penebalan plasenta, usus hiperekoik, dan hambatan pertumbuhan merupakan temuan sonografik abnormal yang digunakan untuk membantu mengkonfirmasi diagnosis.3 2.6.2 Infeksi Rubella Rubella dapat diisolasi dari urin, darah, nasofaring, dan cairan serebrospinal hingga 2 minggu setelah kemunculan ruam. Diagnosis biasanya dibuat menggunakan pemeriksaan serologis, yang meliputi:11 



Peningkatan 4 kali titer antibodi IgG Rubella pada spesimen serum akut dan konvalesen







Tes serologis positif antibodi IgM spesifik Rubella







Kultur Rubella positif (isolasi virus Rubella dari spesimen pasien)



Antibodi IgM spesifik terdeteksi menggunakan pemeriksaan imunologis sejak 4 sampai 5 hari setelah gejala klinis muncul, namun dapat tetap terdeteksi sampai 6 minggu setelah timbulnya ruam. Penting untuk diketahui bahwa reinfeksi Rubella meningkatkan kadar IgM yang rendah. Serum IgG mulai tinggi 1 sampai 2 minggu setelah timbulnya ruam. Respon antibodi yang cepat ini dapat menyulitkan serodiagnosis kecuali sampel diambil dalam beberapa hari setelah timbulnya ruam. 2.6.3 Infeksi CMV Infeksi primer CMV pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologic maupun virologik. Dengan metode serologic, diagnosis infeksi maternal primer dapat



18



ditunjukkan dengan adanya perubahan seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologic infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibody klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah terhadap CMV. Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji imunifluoresen. Uji ini menggunakan monoclonal antibody yang mengikat antifen Pp65, suatu protein dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu. Pemeriksaan imaging seperti USG, CT, dan MRI dapat ditemukan gambaran mikrosefal, ventriculomegaly, dan kalsifikasi serebral; asites, hepatomegali, splenomegali, dan hyperechoic bowel; hydrops; dan oligohidramnion. Adanya temuan abnormal dari USG ditambah dengan hasil positif pada darah fetus atau cairan amnion diprediksi sekitar 75% risiko untuk berkembangnya infeksi congenital simtomatik.1,3 2.6.4 Infeksi HSV Diagnosis pasti infeksi HSV aktif didapat dari kultur virus atau deteksi asam nukleat. Spesimen kultur dapat diambil dari vesikel atau pustule yang baru karena recovery virus dari krusta buruk. Penilaian serologi dapat membedakan infeksi primer atau sekunder dengan menilai IgM. Pemeriksaan sitologi (Tzanck test) menunjukkan multinucleated giant cells dan inklusi intranuklear.4 Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus tidak sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank



(lesi genital) dan apusan serviks



Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan untuk diagnosis konklusif infeksi herpes simpleks.



19



Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck, mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright dan Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel raksasa khusus dengan banyak nukleus atau partikel khusus yang membawa virus (inklusi) mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 50-70% dari waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus atau antara herpes simpleks dan herpes zoster. Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung selama 1 - 10 hari untuk melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian teknologi dapat mempersingkat periode ini sampai 24 jam, tapi mempercepat jangka waktu selama tes ini mungkin membuat hasil yang kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap blister jelas, tetapi tidak bekerja dengan baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang, atau latency. Pada tahap ini virus mungkin tidak cukup aktif. Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis .PCR dapat membuat banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil DNA dalam sampel dapat dideteksi. Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes virus menginfeksi seseorang, sistem kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan infeksi. Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16 minggu setelah terpapar virus. Pemeriksaan serologi dapata berupa ELISA (immunosorbent assay enzim-link), Biokit HSV-2, dan Western Blot Test.



20



2.7 Tatalaksana 2.7.1 Infeksi Toxoplasma Belum ada vaksin untuk toksoplasmosis, sehingga untuk mencegah infeksi kongenital, pencegahan yang dapat dilakukan hanyalah dengan mencegah terjadinya infeksi, antara lain dengan cara: 1. Memasak daging hingga temperatur yang aman 2. Mengupas atau mencuci sayur dan buah-buahan 3. Membersihkan seluruh permukaan dan peralatan yang kontak dengan daging mentah, ayam, seafood, atau sayur dan buah-buahan. 4. Memakai sarung tangan untuk membuang feses kucing, atau hindari membuang feses kucing sama sekali 5. Hindari memberi makan daging mentah atau kurang matang pada kucing dan hindari memelihara kucing di dalam ruangan.2 Wanita yang sedang tidak hamil yang telah terbukti positif menderita infeksi Toxoplasma gondii dianjurkan untuk menunda kehamilan hingga 6 bulan setelah tatalaksana.10 Obat yang digunakan untuk toxoplasmosis adalah sebagai berikut: 



Spiramycin Dosisnya 3x 500mg selama 3 minggu, kemudian 2 minggu tanpa obat,dilanjutkan 3 minggu ,kemudian libur 2 minggu tanpa obat ,lanjutkan lagi 3 minggu dengan obat. Antibiotik yang paling sering digunakan untuk wanita hamil untuk mencegah infeksi pada anak mereka.tapi tidak dianjurkn pada wanita hamil trimester pertama dan menyusui.



21



 Azitromisin 1 x 500mg,selama 5hari per minggu ,4 minggu per- bulan sejak ditegakan infeksi,diteruskan hingga akhir kehamilan bila janin terbukt terinfeksi.  Klindamisin 3 x 300mg , selama 5 hari per minggu, 4 minggu per- bulan sejak ditegakan infeksi,diteruskan hingga akhir kehamilan bila janin terbukt terinfeksi.  Pirimetamin dapat diberikan sejak amniosintesis memberi hasil positif pada kehamilan 16-20minggu. Pirimetamin (50mg//kb/hari) + sulfadiasin (3g/hari)+ kalsium folinat (50mg/mgg).12 2.7.2 Infeksi Rubella Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Rubella. Penularan melalui droplet masih dapat terjadi selama 7 hari setelah ruam muncul. Manajemen wanita hamil yang terpapar harus tergantung pada usia gestasi saat dia terpapar dan status imunitasnya. Diagnosis klinis tak dapat diandalkan karena sebagian besar subklinis dan dapat menyerupai penyakit lain. Terdapat acuan manajemen wanita hamil yang terpapar atau wanita dengan gejala seperti Rubella saat hamil.13 (Gambar 2.4.) 1. Imunitas diketahui, ≥12 minggu kehamilan Tidak perlu pemeriksaan lebih lanjut. SRK dilaporkan tidak terjadi pada reinfeksi ibu di atas 12 minggu kehamilan 2. Imunitas diketahui, ≤12 minggu kehamilan Jika terjadi peningkatan antibodi IgG Rubella yang signifikan tanpa peningkatan antibodi IgM, maka interpretasinya ialah terjadi reinfeksi. Risiko infeksi kongenital pada janin setelah reinfeksi ibu pada trimester pertama diperkirakan 8%. Pasien harus dikonsultasikan. 3. Tidak terdapat imunitas atau imunitas tidak diketahui



22







Usia kehamilan ≤16 minggu kehamilan Harus diperiksa antibodi IgG dan IgM. Infeksi akut didiagnosis jika antibodi IgM positif. Jika antibodi IgM negatif atau tidak tersedia, tes untuk serum antibodi IgG akut dan konvalesen harus dilakukan. Pada saat terdapat gejala klinis yang menyerupai Rubella, spesimen akut harus diambil sesegera mungkin, diikuti dengan spesimen konvalesen pada 2 atau 3 minggu setelahnya, jika di awal spesimen IgM negatif. Jika dicurigai terpapar, spesimen akut diambil, diikuti dengan spesimen konvalesen 4 sampai 5 minggu kemudian.







Usia kehamilan di antara 16 dan 20 minggu SRK jarang terjadi (20 minggu Wanita hamil yang terpapar Rubella atau klinis menyerupai Rubella setelah usia kehamilan 20 minggu tidak perlu khawatir, karena tidak ada penelitian yang menunjukkan terjadinya SRK setelah 20 minggu.



4. Kesulitan diagnosis – presentasi klinis terlambat dengan status imunitas tidak diketahui Wanita hamil dengan ruam 5 minggu atau lebih setelah terpapar atau 4 minggu atau lebih setelah munculnya rash menyebabkan dilema diagnosis. Jika IgG negatif, pasien jelas rentan terhadap Rubella dan tidak terbukti terinfeksi



23



sebelumnya. Jika IgG positif, maka terbukti terinfeksi sebelumnya. Maka dari itu, sulit untuk menentukan kapan terjadinya infeksi dan risiko terhadap janin, meskipun titer antibodi yang rendah menunjukkan infeksi yang lebih lama. Oleh karena itu, dianjurkan melakukan tes ulang antibodi IgG atau IgM untuk menentukan apakah terdapat penurunan atau peningkatan yang signifikan. Untuk mengeradikasi Rubella dan mencegah sindrom Rubella kongenital secara tuntas, pendekatan secara komprehensif dilakukan dengan melakukan imunisasi pada populasi orang dewasa. Vaksin MMR ditawarkan pada wanita tidak hamil usia subur yang tidak memiliki kekebalan pada saat kontak dengan petugas kesehatan. Vaksinasi juga dilakukan pada seluruh petugas rumah sakit yang terpapar dengan pasien Rubella atau kontak dengan wanita hamil. Vaksin Rubella harus dihindari 28 hari sebelum dan selama kehamilan karena vaksin tersebut mengandung vaksin hidup. Menurut teori, terdapat 2 % kemungkinan namun tidak ada bukti yang menunjukkan vaksin tersebut menginduksi malformasi kongenital. Vaksinasi MMR bukan indikasi untuk terminasi kehamilan. Wanita yang tidak memiliki kekebalan terhadap Rubella harus ditawarkan melakukan vaksinasi MMR postpartum.2



24



Gambar 2.4. Manajemen pada wanita hamil yang terpapar Vaksin Rubella pada umumnya aman. Efek samping yang dapat terjadi antara lain artritis, artralgia, ruam, adenopati, dan demam, namun jarang terjadi. Angka kejadian efek sampingnya hanya 5%. Tidak terdapat peningkatan risiko artropati kronis atau gangguan neurologis pada wanita yang menggunakan vaksin Rubella RA27/3. Tidak terdapat data epidemiologis yang menunjukkan hubungan SRK atau autisme dengan vaksin MMR. Vaksin aman diberikan pada wanita postpartum yang menyusui dan pada anaknya. Menyusui bukanlah kontraindikasi vaksinasi Rubella. Infeksi Rubella pada wanita hamil dapat memiliki efek yang merugikan pada janin yang sedang berkembang. Pencegahan utama adalah imunisasi universal pada semua bayi baru lahir. Diagnosis harus segera dibuat setelah infeksi terjadi. Kontak dengan Rubella harus dihindari selama 2 trimester pertama kehamilan, termasuk pada wanita hamil dengan IgG positif sekalipun. Wanita harus diedukasikan mengenai kemungkinan risiko transmisi secara vertikal dan ditawarkan untuk dilakukan terminasi kehamilan, khususnya jika infeksi primer terjadi 25



sebelum usia kehamilan 16 minggu. Sampai saat ini, belum ada penanganan yang tersedia pada janin yang terinfeksi. Maka, pencegahan merupakan strategi terbaik untuk mengeliminasi kasus SRK.13 2.7.3 Infeksi CMV Pada infeksi CMV tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi congenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang terjadi pada umur kehamilan ≤20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis prenatal kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita AIDS serta tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi CMV setelah transplantasi organ. Obat yang digunakan seperti ganciclovir, foscarnet, cidofivir, dan valaciclovir. Terapi antiviral tidak diindikasikan untuk individu yang imunokompeten dan ganciclovir tidak efektif untuk pengobatan infeksi CMV congenital. Dan pada saat sekarang, mencegah infeksi CMV pada ibu adalah satu-satunya pencegahan yang efektif untuk infeksi CMV congenital. Saat ini belum ada vaksin CMV yang tersedia untuk pencegahan infeksi ini.1,3,4 2.7.4 Infeksi HSV Edukasi Pasiendengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari



hubungan seksual



selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya danmenggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral supressi dapat menjadi pilihan untuk individu yang pedulitransmisi pada pasangannya.



26



Agen Antiviral Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan ketidak nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan, serta dapat mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi. Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan. Penatalaksanaan pada wanita hamil yang terinfeksi virus herpes simplex, baik yang first episode ataupun yang sudah pernah terinfeksi dan terjangkit lagi harus diterapi sesuai dengan obat dan dosis sesuai dengan tabel berikut ini13



Gambar 2.5 pengobatan HSV pada kehamilan Topikal Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim 5% (5 kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah munculnya gejala, meskipun juga



27



pemberian yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah lesi.



28



BAB 3 KESIMPULAN



TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Others (HIV, Sifilis), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV) yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B). Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil bisa akan sulit mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan paparan radiasi dan obat-obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan pada embrio. Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang menyerang wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan pada otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya fungsi motorik, hidrosefalus, dan lain sebagainya.



29



DAFTAR PUSTAKA 1. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010. 2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Spong CY, Dashe JS, Hoffman BL, et al. Williams obstetrics. 24th ed. New York: Mc-Graw Hill; 2014. 3. Bernstein HB. Obstetrics: Normal and Problem Pregnancies. Elsevier. 2017 4. Harrison GJ. Feigin and Cherrry’s textbook of Pediatric Infectious Disease. Elsevier. 2014 5. Kliegman RM, Stanton BMD, Geme JS, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. 6. Toxoplasmosis [Internet]. [cited 2017 Mei 7]; Available from: http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/biology.html 7. Collins S, Arulkumaran S, Hayes K, Jackson S, Impey L. Oxford handbook of obstetrics and gynaecology. 3rd ed. Oxford: Oxford University Press; 2013. 8. Hanretty KP. Obstetrics illustrated. 6th ed. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2003. 9. Beckmann CRB, Ling FW, Barzansky BM, Herbert WNP, Laube DW, Smith RP. Obstetrics and gynecology. 6th ed. Baltimore: Lippincott; 2010. 10. Paquet C, Yudin MH. Toxoplasmosis in pregnancy: prevention, screening, and treatment. J Obstet Gynaecol Can. 2013; 34: S1-7. 11. Dontigny L, Arsenault M, Martel M. Rubella in pregnancy. JOGC. 2013; 203: 152-8. 12. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI; 2011. 13. Dontigny L, Arsenault M, Martel M. Rubella in pregnancy. JOGC. 2013; 203: 152-8.



30