Tpius Stroke Infark Trombotik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB III TINJAUAN PUSTAKA



A. Definisi Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.1 Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi. Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus, embolus, atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid.1



B. Klasifikasi Stroke dapat dibagi menjadi:3 1. Stroke iskemik a. Stroke emboli b. Stroke trombotik i. Thrombosis pembuluh darah besar ii. Thrombosis pembuluh darah kecil/lacunar infark 2. Stroke hemoragik a. Stroke perdarahan intraserebral b. Stroke perdarahan subaraknoid



Berdasarkan system TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment) Sistem TOAST (Trial of ORG 10172 in Acute Stroke Treatment) pertama kali dikembangkan kepada terapi stroke iskemik akut pada awal tahun 1990. Sistem ini didasarkan pada sebagian besar fitur klinis namun tetap mempertimbangkan informasi diagnostik dari CT, MRI, transthoracic echocardiography, extracranial carotid ultrasonography, dan jika memungkinkan, cerebral angiography.5 Sistem TOAST membagi stroke menjadi 5 subtipe yaitu, large artery atherosclerosis (LAAS), cardiaoembolic infarct (CEI), small artery occlusion/lacunar infarct (LAC), stroke of another determined cause/origin (ODE), dan stroke of an undetermined cause/origin (UDE). 5 Klasifikasi Stroke Iskemik berdasarkan system TOAST 5 1. Aterosklerosis Arteri Besar Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses atero-sklerosis. Gambaran klinis yang dapat terjadi berupa aphasi, neglect, atau restricted motor involvment, disfungsi brain stem, dan serebral. Riwayat terjadinya transient ischemic attecks (TIA, dan terdengar bruit pada arteri karotis juga dapat menegakkan diagnosis. Gambaran CT sken otak MRI menunjukkan adanya infark di kortikal, serebellum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar. 2. Kardioembolic infarct Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari: a. Resiko tinggi o Prostetik katub mekanik o Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi o Fibrilasi atrial (other than lone atrial fibrillation) o Atrial kiri / atrial appendage thrombus 1



o Sick sinus syndrome o Infark miokard baru ( 4minggu, < 6 bulan) 3. Oklusi Arteri Kecil Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus mempunyai satu gejala gangguan lakunar sindrom dan tidak memiliki bukti bahwa terdapat disfungsi dari kortikal serebral. Riwayat diabetes atau hipertensi dapat membantu penegakan diagnostic. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT Sken/MRI otak normal atau infark lakunar dengan diameter 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian). Prevalensi stroke rata-rata adalah 0,8%, tertinggi 1,66% di Nangroe Aceh Darussalam dan terendah 0,38% di Papua.1 Kejadian stroke (insiden) sebesar 51,6/100.000 penduduk dan kecacatan;1,6% tidak berubah; 4,3% semakin memberat. Penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan dan profil usia dibawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun 54,2%, dan usia diatas 65 tahun sebesar 33,5%. Stroke menyerang usia produktif dan usia lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan secara nasional di kemudian hari.3



3



D. Faktor Resiko Tabel 1. Faktor Resiko Stroke1,2 Bisa dikendalikan           



Hipertensi Penyakit Jantung Fibrilasi atrium Endokarditis Stenosis mitralis Infark jantung Merokok Dyslipidemia Penggunaan alkohol Inaktifitas fisik Obesitas



Tidak bisa dikendalikan     



Umur Jenis kelamin Herediter Ras dan etnis Geografi



E. Manifestasi Klinis Gambaran klinis stroke iskemik tergantung pada area otak yang mengalami iskemik.3 Lokasi Oklusi



Gejala dan tanda



Arteri Serebri Anterior



Gejala oklusi arteri serebri anterior antara lain gangguan buang air kecil yang terjadi oleh karena kegagalan penghambatan



refleks



kontraksi



kandung



kemih.



Terdapat pula paresis dan hilangnya sensorik pada tungkai kontralateral. Arteri Serebri Media a. Stroke



pada



devisi Hemiparesis kontralateral yang terjadi pada wajah,



superior arteri serebri tangan, lengan namun kaki tidak mengalami paresis. media



Gangguan hemisensorik kontralateral pada daerah distribusi yang sama namun tidak terdapat homonimus hemianopsia.



4



Bila terjadi pada hemisfer dominan terdapat gejala afasia broca b. Stroke



pada



devisi Homonimus hemianopia, terdapat pula gangguan fungsi



inferior arteri serebri sensorik kortikal seperti graphiestesia, dan stereognosis media



pada kontralateral lesi Gangguan visospasial, termasuk hilangnya kewaspadaan terhadap kelainan yang diderita (anosognosia), neglek dan gangguan untuk mengenal ekstremitas kontralateral, dressing apraxia dan konstruksional apraxia bila yang terlibat adalah hemisfer dominan, afasia wernicke dapat pula terjadi. Acute confosional state (hemisfer non dominan)



c. Oklusi pada bifurcasio Hemiparese kontralateral, gangguan sensorik kontra atau trifurcasio arteri lateral yang mengenai wajah dan lengan lebih berat dari serebri media



pada tungkai, homonym hemianopsia dan bila terkena pada hemisfer dominan akan terjadi afasia global



d. Oklusi pada pangkal Mirip dengan oklusi trifurkasio dengan tambahan infark arteri media



pada



jaras



motorik



pada



kapsula



interna



yang



menghasilkan parese kontra lateral lesi pada wajah, lengan, tangan dan tungkai. Arteri karotis Interna



Transient monocular blindness. Oklusi arteri karotis dapat asimptomatik. Oklusi symptomatik menyebabkan syndrome yang mirip dengan arteri serebri media (hemiplegi kontralateral, defisit hemisensorik dan homonimus hemianopsia, afasia pada hemisfer dominan)



Arteri Serebri posterior



Homonim hemianopia kontralateral lapangan pandang dengan macular spared, abnormalitas okuler, parese N III, internuklear Opthalamoplegi, deviasi mata ke



5



vertical. Oklusi di lobus occipital terutama pada hemisfer dominan pasien dapat mengalami afasia anomik. Aleksia tanpa agraphia, ataupun agnosia visual. Dapat pula terjadi sindrom diskoneksi korpus kallosum. Infark



kedua



hemisfer



arteri



serebri



posterior



menyebabkan kebutaan kortikal, gangguanmemori, prosopagnosia



(gangguan



mengenal



wajah



yang



familiar), juga beberapa gangguan prilaku. a. Cabang



pedunkulus Sindroma weber: kelemahan wajah dan ekstremitas



arteri serebri posterior kontralateral, parese N.III ipsilateral proksimal b. Cabang



tegmntum Parese N III ipsilateral ataksia tungkai kontra lateral,



paramedian



arteri hemiballismus dan choreoathetosis



serebri posterior Cabang arteri basilaris a. Cabang distal arteri Hemiparese kontralateral, parese N XII ipsilateral, vertebralis b. PICA inferior



gangguan sensorik kontralateral (posterior Sindrom Wellenberg: cerebellar Ataksia tungkai ipsilateral, hilangnya rasa eksteroseptif



arteri)



ipsilateral wajah dan kontralateral ekstremitas, sindrom horner ipsilateral, vertigo, nistagmus, suara parau, disfagia, hiccup.



c. Arteri perforantes pada Hemiparese pons paramedia



kontralateral,



diartia,



kadang



ataksia



kontralateral, ditambah dengan: parese N.VII dan N VIII ipsilateral, gaze paresis (infark inferior) atau parese N VII kontralateral,



internuklear



opthalmoplegia



(infark



superior)



6



d. AICA (anterior inferior Ataksia ipsilateral, hilangnya sensasi ipsilateral wajah cerebellar arteri)



dan kontra lateral ekstremitas, vertigo, nistagmus, tuli dan tinnitus, parese N VII, sindroma horner ipsilateral



e. SCA



(Superior Ataksia



ipsi



cerebellar arteri) dan kontralateral,



lateral,



diartria,



sindroma



hilangnya horner



sensorik ipsilateral,



cabang sirkumferensial choreoathetosis ipsilateral, tuli ipsilateral longus



F. Diagnosis Secara umum untuk membedakan apakah stroke perdarahan atau strok iskemik dapat dilakukan dengan menghitung siriraj skor berikut: Skor Stroke Siriraj Gejala/tanda



Penilaian



Derajat



(0) Kompos mentis



Kesadaran



(1) Somnolen



Indeks X 2,5



(2) Sopor/koma Vomitus



(0) Tidak ada



X2



(1) Ada Nyeri kepala



(0) Tidak ada



X2



(1) Ada Tekanan darah



Diastolik



Ateroma



(0) Tidak ada



X 0,1 X3



(1) Salah satu atau lebih: DM, angina, penyakit pembuluh darah. Skor >1



: Perdarahan Supratentorial



Skor -1 s.d 1 : perlu CT-Scan Skor < -1



: Infark Serebri



7



G. Stroke Infark Trombotik Definisi Stroke infark trombotik adalah stroke yang disebabkan oleh karena adanya oklusi pembuluh darah yang disebabkan oleh karena adanya trombosis.3 Etiologi Trombus adalah pembentukan bekuan platelet atau fibrin di dalam darah yang dapat menyumbat pembuluh vena atau arteri dan menyebabkan iskemia dan nekrosis jaringan lokal. Trombus ini bisa terlepas dari dinding pembuluh darah dan disebut tromboemboli. Trombosis dan tromboemboli memegang peranan penting dalam patogenesis stroke iskemik. Lokasi trombosis sangat menentukan jenis gangguan yang ditimbulkannya, misalnya trombosis arteri dapat mengakibatkan infark jantung, stroke, maupun claudicatio intermitten, sedangkan trombosis vena dapat menyebabkan emboli paru.6 Trombosis merupakan hasil perubahan dari satu atau lebih komponen utama hemostasis yang meliputi faktor koagulasi, protein plasma, aliran darah, permukaan vaskuler, dan konstituen seluler, terutama platelet dan sel endotel. Trombosis arteri merupakan komplikasi dari aterosklerosis yang terjadi karena adanya plak aterosklerosis yang pecah.6 Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen dibawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, akibat adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis, hal ini disebabkan karena adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI2) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian akan merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granulagranula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung



8



lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah.6 Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat serangan migrain. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik.6 Patofisiologi Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah satunya adalah aterosklerosis, dengan mekanisme trombosis yang menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme emboli. Terjadinya ateroskerosis diawali dari terbentuknya fatty streak yang kemudian berkembang progresif sampai terjadi lesi sebagai akibat dari gangguan aliran darah dan atau tebentuknya trombus yang menyebabkan iskemik pada organ target. 7 Kerusakan endotel menyebabkan perubahan permiabilitas endotel, perubahan sel endotel atau perubahan hubungan antara sel endotel dan jaringan ikat dibawahnya. Sel endotel dapat terlepas sehingga terjadi hubungan langsung antara komponen darah dan dinding arteri. Kerusakan endotel akan menyebabkan pelepasan growth factor yang akan merangsang masuknya monosit ke lapisan intima pembuluh darah. Demikian pula halnya lipid akan masuk kedalam pembuluh darah melalui transport aktif dan pasif. Monosit pada dinding pembuluh darah akan berubah menjadi makrofag akan memfagosit kholesterol LDL, sehingga akan terbentuk foam sel. 7 Monosit berubah menjadi makrofag oleh macrophage colony stimulating factor (M-CSF) yang ekspresinya disebabkan oksidasi LDL dan faktor nuclear kappa B (NFkB). Kemampuan M-CSF merangsang pengambilan dan degradasi modified lipoprotein oleh scavenger receptor akan menyebabkan pembentukan sel busa yang akan menjadi fatty streak (prekusor plak aterosclerosis) dan selanjutnya akan menjadi plak fibrosa. Platelet derived Growth Factor (PDGF) yang dihasilkan sel vaskular dan lekosit yang menginfiltrasi akan mempengaruhi migrasi dan proliferasi sel otot polos



9



dari tunika media ke intima. Sel otot polos dengan matrik ekstraseluler akan membentuk kapsula fibrosa yang memisahkan inti lipid dengan aliran darah. Transforming growth factor (TGF)-beta akan menghambat proliferasi sel otot polos dan merangsang produksi matrik ekstraseluler. Pembentukan kapsula fibrosa plak aterosklerosis tergantung keseimbangan kedua hal tersebut. 7 Proses tersebut berlanjut dengan terjadinya sel-sel otot polos arteri dari tunika adventisia ke tunika intima akibat adanya pelepasan platelet derived growth factor (PDGF) oleh makrofag, sel endotel, dan trombosit. Selain itu, sel-sel otot polos tersebut yang kontraktif akan berproliferasi dan berubah menajdi fibrosis. Makrofag, sel endotel, sel otot polos maupun limfosit T (terdapat pada stadium awal plak aterosklerosis) akan mengeluarkan sitokin yang memperkuat interaksi antara sel-sel tersebut. 7 Adanya penimbunan kolesterol intra dan eksta seluler disertai adanya fibrosis maka akan terbentuk plak fibrolipid. Pada inti dari plak tersebut, sel-sel lemak dan lainnya akan menjadi nekrosis dan terjadi kalsifikasi. Plak ini akan menginvasi dan menyebar kedalam tunika media dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah akan menebal dan terjadi penyempitan lumen. Degenerasi dan perdarahan pada pembuluh darah yang mengalami akan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah sehingga terjadi perangsangan adhesi, aktifasi dan agregasi trombosit, yang mengawali koagulasi darah dan trombosis. Trombosit akan terangsang dan menempel pada endotel yang rusak, sehingga terbentuk plak aterotrombotik. 7 Tempat tersering terjadinya fatty streak adalah di daerah bifurkasio dengan aliran darah yang turbulen. Arteri serebral plak sering terjadi pada bifurkasio arteri karotis dimana arteri carotis interna berasal. Aterosklerosis pada arteri serebri media (MCA) mempengaruhi bagian pertama (M1 segmen) dimana meluas dari tempat arteri berasal sampai bifurkasio pada fisura sylvian. Pada sistem vertebrobasiler plak sering ditemukan pada tempat asal arteri vertebral dan arteri basilar. Dengan bertambahnya usia fatty streak berubah menjadi plak fibrosa, sering ditemukan pada usia pertengahan dan orang tua. Plak ini terdiri dari inti seluler debris, free ekstraselular lipid, dan krista 10



dari foam cells, otot polos yang berubah, limfosit dan connective tissue. Aterosklerosis berkembang menjadi complicated lesion, dimana terjadi kalsifikasi, deposit hemosiderin, dan gangguan permukaan lumen pembuluh darah.7 Aterosklerosis dapat menyebabkan stroke iskemik dengan cara trombosis yang menyebabkan tersumbatnya arteri-arteri besar terutama a. karotis interna, a. serebri media atau a. basilaris, dapat juga mengenai arteri kecil yang mengakibatkan terjadinya infark lakuner. Sumbatan juga dapat terjadi pada vena-vena atau sinus venosa intra kranial. Dapat juga terjadi emboli, dimana stroke terjadi mendadak karena arteri serebri tersumbat oleh trombus dari jantung, arkus aorta atau arteri besar lainnya.7



Pemeriksaan Penunjang 



Pemeriksaan Laboratorium Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi kadar glukosa darah, elektrolit, analisa gas darah, hematologi lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung, prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT). Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium, kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium.6 Pemeriksaan analisa gas darah juga perlu dilakukan untuk mendeteksi asidosis metabolik. Hipoksia dan hiperkapnia juga menyebabkan gangguan neurologis. Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) digunakan untuk menilai aktivasi koagulasi serta monitoring terapi. Dari pemeriksaan hematologi lengkap dapat diperoleh data tentang kadar hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit, dan trombosit serta morfologi sel darah. Polisitemia vara, anemia sel sabit, dan trombositemia esensial adalah kelainan sel darah yang dapat menyebabkan stroke. 3,6,8



11







CT scan Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark dan stroke hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.3,6,8







Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat ini adalah preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.6







Angiografi: dapat dilakukan bila ada kecurigaan stenosis pembuluh darah balik ekstra cranial maupun intracranial







EEG: Dilakukan pada pasien stroke yang dicurigai mengalami kejang.



Penatalaksanaan Penatalaksanaan Umum Stroke Akut2 A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat 1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi: a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).



12



b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas. c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B). 2. Terapi Umum a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan 



Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).







Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO, Class V, GCP).







Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).







Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).







Pasien stroke iskemik akut yang nonhipoksia tidak mernerlukan terapi oksigen (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).







Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 50 mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.



13







Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.



b. Stabilisasi Hemodinamik 



Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti glukosa).







Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.







Usahakan CVC 5 -12 mmHg.







Optimalisasi tekanan darah.







Bila tekanan darah sistolik 20 menit, diulangi setiap 4 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian osmoterapi. o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB i.v. vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.



15



viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative. ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang menimbulkan



efek



masa,



merupakan



tindakan



yang



dapat



menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). e. Penanganan Transformasi Hemoragik Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.



16



f. Pengendalian Kejang 



Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.







Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.







Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).







Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).



g. Pengendalian Suhu Tubuh 



Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).







Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline) atau 37,5 oC (ESO Guideline).3







Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.







Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA Guideline).



B. Penatalaksanaan Umum di Ruang Rawat2 1. Cairan a. Berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara 5-12 mmHg.



17



b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari (parenteral maupun enteral). c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat Celcius pada penderita panas). d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal. e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas darah. f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari kecuali pada keadaan hipoglikemia. 2. Nutrisi a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik. c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari dengan komposisi: 



Karbohidrat 30-40 % dari total kalori







Lemak 20-35 % (pada gangguan nafas dapat lebih tinggi 35-55 %)







Protein 20-30% (pada keadaan stress kebutuhan protein 1.4-2.0 g/kgBB/hari (pada gangguan fungsi ginjal 6 minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi. e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral. f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.



18



3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru, dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan (AHA/ASA, Level of evidence B and C). b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).1 c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan atau memakai Kasur antidekubitus. d. Pencegahan thrombosis vena dalam dan emboli paru. e. Pada pasien tertentu yang beresiko menderita thrombosis vena dalam, heparin subkutan 5000 IU dua kali sehari atau LMWH atau heparinoid perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A).5 Resiko perdarahan sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan.6 Pada pasien imobilisasi yang tidak bias menerima antikoagulan, penggunaan stocking eksternal atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah thrombosis vena dalam. (AHA/ASA, Level of evidence A and B). 4. Penatalaksanaan Medis Lain a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat (140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST: International Stroke Trial 2002. Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan kecacatan. Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini. 20



a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial.



Tekanan



darah



diturunkan



dengan



menggunakan



obat



antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg. d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hatihati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman



21



(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg. f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral. g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas. h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak. i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang, pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular. j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin. k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas. l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ 22



lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. D. Penatalaksanaan Stroke Iskemik2 1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut 2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik (AHA/ASA, Level of evidence A). 3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia 4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah secara



karakteristik



dengan



meningkatkan



tekanan



perfusi



tidak



direkomendasikan (grade A). 5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut 6. Pemberian antikoagulan a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke ulang awal, menghentikan perburukan deficit neurologi, atau memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). b. Antikoagulasi urgent tidak drekomendasikan pada penderita dengan stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko komplikasi perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dlam jangka waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian intravena rtPA tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah stroke iskemik



akut



tidak



bermanfaat.



Namun,



beberapa



ahli



masih



merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke iskemik akut 23



dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontraindikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%, hipertensi yang tidak dapat terkontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas. 7. Pemberian antiplatelet a. Pemberian Aspirin dengan dosis awal 325 mg dlam 24 sampai 48 jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk seiap stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi akut pada stroke, seperti pemberian rtPA intravena (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah pemberian obat trombolitik tidak dierkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). e. Pemberian klopidrogel saja, atau kombinasi dengan aspirin, pada stroke iskemik akut, tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C), kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya angina pectoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting, pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah kejadian (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). f. Pemberian antiplatelets intravena yang menghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). 8. Hemodilusi dengan atau tanpa venaseksi dan ekspansi volume tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). 9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). 10. Dalam keadaan tertentu, vasopressor terkadang digunakan untuk memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan tersebut, pemantauan 24



kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan secara ketat. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B). 11. Tindakan endarterektomi carotid pada stroke iskemik akut akut dapat mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan. Tindakan endovascular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat, sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C). 12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS (International Citicholin Trial in Acute Stroke, ongoing). Selain itu, pada penelitian yang dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian Plasmin oral 3x500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa perbaikan motoric, score MRS dan Barthel index. 13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST) Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor risiko yang mendasari baru diketahui sebesar 80%. Beberapa faktor risiko sering dijumpai bersamaan. Penelitian The International Study On Cerebral Vein And Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapatkan 10 faktor risiko terbanyak, antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas (13,8%), infeksi dapat berupa infeksi SSP, infeksi organ-organ wajah, dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%), keganasan (7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cedera kepala (4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombotik, terapi simptomatik, dan terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat infark hemoragik (AHA/ASA, Class IIa, Level of 25



evidence B). Terapi dilanjutkan dengan antikoagulan oral diberikan selama 36 bulan, diikuti dengan terapi antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence C). E. Terapi Spesifik Stroke Akut2 Prosedur Aplikasi Pemberian Terapi Trombolisis rTPA pada Stroke Iskemik Akut. Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara keuntungan dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan. Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemberian intraarterial). 1. Kriteria inklusi a. Usia > 18 tahun b. Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas c. Awitan dapat ditentukan secara jelas ( 1/3 hemisfer serebri f. Kejang pada saat onset stroke 26



g. Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal h. Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya i. Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik j. Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya k. Riwayat perdarahan gastrointestinal atau traktus urinarius dalam 3 minggu sebelumnya l. Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg m. Glukosa darah 400 mg/dl n. Gejala perdarahan subarachnoid o. Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal dalam 1 minggu sebelumnya p. Jumlah platelet 105 mmHg; berikan medikasi antihipertensi untuk mempertahankan tekanan darah pada level ini atau level dibawahnya g. Tunda pemasangan pipa nasogastrik, kateter urin atau kateter tekanan intraarterial h. Lakukan CT Scan untuk follow up dalam 24 jam sebelum pemberian antikoagulan atau antiplatelet



28



DAFTAR PUSTAKA 1. Setyopranoto, I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185/Vol.38 no.4/Mei-Juni. 2011. 2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke tahun 2011. Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2011. 3. Machfoed, Hasan et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlangga University Press. 2011. 4. B.M. Gund, et all. Stroke: A Brain Attack. IOSR Journal of Pharmacy. Volume 3, Issue 8 Pp 01-23. 2013. 5. Adam HP, et all. Classification of Subtype of Acute Ischemic Stroke. Available from http://stroke.ahajournals.org. 2012. 6. Jan, S. Trombosis of Cerebral Vein and Sinuses. N Engl J Med. 352:1791-8. 2005. 7. Alireza Atri. Ischemic Stroke: Pathophysiology and Principles of Localization, vol. 13. 2009. 8. Mardjono M. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta; p29-31. 2008.



29