Tradisi Lisan Malam Berinai Pada Masyarakat Melayu Tanjung Balai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI



DISERTASI



Oleh LELA ERWANY NIM: 108107015 PROGRAM DOKTOR (S3) LINGUISTIK



FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI



DISERTASI



Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam Program Doktor Linguistik pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Sumatera Utara Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. untuk dipertahankan dihadapan sidang Terbuka Senat Universitas Sumatera Utara



Oleh LELA ERWANY NIM: 108107015 Program Doktor (S3) Linguistik



FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Judul Disertasi



: TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI



Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi



: Lela Erwany : 108107015 : Doktor (S3) Linguistik



Menyetujui Komisi Pembimbing



(Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.) Promotor



(Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.) Co-Promotor



Ketua Program Studi



(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.)



(Dr. Muhammad Takari, M.Hum.) Co-Promotor



Dekan



(Dr. Budi Agustono, M.S.)



Tanggal Lulus:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi) Tanggal:



PANITIA PENGUJI DISERTASI Pemimpin Sidang: Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. (Rektor USU) Ketua



: Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. (USU Medan)



Anggota



: Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.



(USU Medan)



Dr. Muhammad Takari, M.Hum.



(USU Medan)



Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.



(USU Medan)



Dr. Rahimah, M.Ag.



(USU Medan)



Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.



(USU Medan)



Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.



(USU Medan)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



TIM PROMOTOR



Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si.



Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.



Dr. Muhammad Takari, M.Hum.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



TIM PENGUJI LUAR KOMISI



Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.



Dr. Rahimah, M.Ag.



Dr. Asmyta Surbakti, M.Si.



Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



PERNYATAAN Judul Disertasi TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI Dengan ini penulis nyatakan bahwa disertasi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor Linguistik pada Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri. Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah. Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagianbagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Medan, April 2016 Penulis,



Lela Erwany



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



TRADISI LISAN MALAM BERINAI PADA MASYARAKAT MELAYU TANJUNG BALAI ABSTRAK Penelitian ini berjudul ―Tradisi Lisan Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjung Balai‖. Penelitian ini mengkaji performansi, kearifan lokal, dan model revitalisasi upacara malam berinai, serta citra arketipe Melayu dalam sinandong. Tradisi malam berinai di Tanjung Balai merupakan upacara pemberian inai kepada calon pengantin yang dilakukan sebelum pengantin disandingkan di pelaminan pada keesokan harinya. Malam berinai biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah selesai sholat Isya. Malam berinai menjadi bagian yang sangat penting dalam acara memberi tanda kepada pengantin yang digunakan oleh masyarakat tanjung balai sebagai bagian dari upacara adat istiadat perkawinan Melayu. Penelitian ini penting dilakukan karena masyarakat sudah jarang melakukan upacara malam berinai sehingga banyak orang yang tidak mengetahuinya lagi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan performansi, kearifan lokal, model revitalisasi malam berinai dan mendeskripsikan citra arketipe masyarakat Melayu dalam sinandong. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode deskriptif analitik. Penelitian ini menggunakan pendekatan performansi pemikiran Finnegan dan Vansina, pendekatan kearifan lokal dengan teori kulit bawang, pendekatan model revitalisasi dari pemikiran Vansina dan RUU 3 April 2013, teori Semiotik C.S. Pierce dan teori arketipe C.G. Jung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Performansi tradisi malam berinai adalah serangkaian upacara yang dilaksanakan pada malam hari sebelum pengantin duduk bersading. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan adalah barzanzi, marhaban, tari gubang, tepung tawar, berinai besar, kasidah, dan sinandong. Kegiatan ini berlangsung sampai tengah malam. Tradisi upacara malam berinai ini tidak terlepas dari teks, konteks, dan ko-teks. Teks dalam tradisi ini difokuskan pada teks Sinandong Didong yang diiringi oleh tari Gubang yang berfungsi sebagai penanda malam berinai. Sedangkan konteks dalam tradisi ini berhubungan dengan konteks budaya, sosial, situasi, dan idiologi. Analisis ko-teks tradisi ini meliputi gerak dan peralatan yang digunakan dalam tradisi ini. Kearifan lokal tradisi malam berinai meliputi lapisan makna dan fungsi, lapisan nilai dan norma, dan kearifan lokal. Kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai ini meliputi rasa syukur, sopan santun, gotong royong, kesetiakawanan sosial, dan peduli lingkungan. Model revitalisasi tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjung Balai dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen yaitu, mengaktifkan, mengelolah, dan mewariskan. Mengaktifkan tradisi malam berinai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kepada masyarakat, memungsikan kembali malam berinai sebagai ajang untuk bersilaturrahmi, dan membentuk arisan keluarga untuk menanggulangi biaya penyelenggaraan upacara tersebut. Mengelolah tradisi malam berinai berkaitan dengan mengelolah waktu pelaksanaan, mengadakan pelatihan untuk pewara, dan mempromosikan tradisi tersebut. Mewariskan tradisi Malam berinai ini bukan hanya menyangkut masalah penyederhanaan acara, tetapi juga menginventarisasi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dan memuplikasikan tradisi ini. Sedangkan Model revitalisasi sinandong dapat dilakukan dengan refungsionalisasi, representas, reformasi, reinterpretasi, dan reorientasi. Melalui sinandong dapat dilihat citra arketipe antara lain, makanan tradisional Melayu, asal-usul Melayu, mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, dan kampung halaman. Kata kunci: Tradisi Malam Berinai, Masyarakat Melayu Tanjungbalai, Sinandong, Kearifan Lokal, Revitalisasi, dan Citra Arketipe.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ORAL TRADITION IN MALAM BERINAI CEREMONY IN TANJUNG BALAI MALAY SOCIETY ABSTRACT The title of this study is ―Oral Tradition in Malam Berinai Ceremony in TanjungBalai Malay Society‖. This study discusses performances, local wisdom, revitalization model in Malam Berinai, and symbols of Malay archetype in Sinandong. Malam berinai tradition is the ceremony performed on night before the wedding ceremony by putting henna to the brides and grooms. Malam berinai is usually performed at night after Isya prayer. This becomes an important part in giving symbol to the brides by the Malay society as one part of Malay Wedding ceremonies. This is a significant study since nowadays many Malay people don‘t perform it anymore so it is not popular among them. The purposes of this study are to describe the performances, local wisdom, revitalization model of Malam Berinai, and symbols of Malay archetype in Sinandong. This study applies constructivism pardigm. The method in this study is descriptive analytic. This study also applies some approaches like performances by Finnegan and Vansina, local wisdom, revitalization model by Vansina and RUU 3 April 2013, semiotic by C.S. Pierce, and archetype by C.G. Jung. The results of the study show that performances in malam berinai are the series of ceremonies performed at night before the wedding ceremony. The activities are barzanzi, marhaban, gubang dance, tepung tawar, main berinai, kasidah, and sinandong. These activities are performed until midnight. This ceremony s included in text, context, and co-text. Text in this tradition is focused on Sinandong Didong and followed by Gubang dance which functions as the sign of malam berinai. The context in this tradition related to culture, situation, and ideology. The co-text analysis in this tradition includes the movement and tools used in the ceremony. Local wisdom in malam berinai includes the meaning and function layer, and norms and values. The local wisdoms found in this ceremony are thankfulness, politeness, working together, loyalty, and neighborhood careness. The revitalization model can be grouped into three components, they are reactivating, managing, and inheriting. Reactivating malam berinai can be done by making this tradition familiar to the society, refunctioning this tradition as the time for meeting up among the family, and collecting fund for performing this tradition. Managing this tradition is related to the time management, training for the master ceremony, and promoting ths tradition. Inheriting this tradition is not about simplifying the ceremony, but also making list and publishing this tradition. Revitalization model of sinandong can be done by refunctioning, representing, reforming, reinterprating, and reorientating. Archetype symbol can be seen through sinandong like malay traditional food, the origin of Malay, praying the spirits of the deaths, and going hometown. Keywords: Malam Berinai tradition, Tanjung Balai Malay society, Sinandong, Local wisdom, revitalization, and archetype symbols.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang mengatur dunia seorang diri. Dia yang dalam kegelapan hatiku menyinarkan cahaya yang tiada terlihat. Dia yang menganugerahi manusia keteguhan hati untuk berdoa dan beribadah kepada-Nya. Dia juga yang menganugerahi kepada diriku ilmu, kemudahan dan kemurahan, sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Selawat beriring salam, Penulis sampaikan ke hadirat nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang syafa‘atnya kelak sangat diharapkan. Kepada Imam Pemilik Zaman, penulis bertawassul agar senantiasa dalam penjagaannya. Selama dalam masa perkuliahan dan melakukan penelitian serta penulisan disertasi ini, penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai dosen penguji yang sangat besar perhatiannya memotivasi penulis hingga sampai pada penulisan disertasi ini maupun dalam kapasitas beliau sebagai sebagai dosen pengajar atau penguji. 4. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku Promotor yang telah mengajarkan banyak hal tentang sastra, mitra berdiskusi selama perkuliahan dan selama penyusunan disertasi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S., selaku Co-Promotor I yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberi semangat kepada penulis. 6. Bapak Dr. Muhammad Takari, M. Hum., selaku Co-Promotor II yang telah begitu tulus membimbing dan memberikan masukan yang berharga terhadap disertasi ini. Beliau juga memberikan buku-buku karyanya kepada penulis, untuk itu penulis ucapkan terima kasih. 7. Prof. Hamzon Situmorang M.S., Ph.D., Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., Dr. T. Thyrhaya Zein, M.Si., selaku penguji sekaligus staf pengajar yang banyak memberikan masukan untuk kesempurnaan disertasi ini. 8. Seluruh staff administrasi dan perpustakaan yang begitu ramah dan ringan tangan membantu penulis selama dalam masa perkuliahan. 9. Prof. Dr. Pudentia MPSS, selaku ketua ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) Pusat yang telah bekerja sama dengan Dikti dengan program Kajian Langka Kajian Tradisi Lisan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



10. Prof. Dian Armanto, Ph.D., selaku koordinator Kopertis Wilayah I yang telah memberikan izin tugas belajar kepada penulis. Juga kepada seluruh staf administrasi yang telah memberikan kemudahan urusan kepada penulis. 11. Dr. Tarmizi, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Amir Hamzah yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi. 12. Seluruh sivitas akademika Universitas Amir Hamzah yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis 13. Rektor UMSU dan seluruh sivitas akademika, terutama rekan sejawat FKIP yang telah memberikan masukan dan motivasi yang besar kepada penulis. 14. Dekan FKIP Univa dan seluruh sivitas akademika, serta Rektor Universitas Sutomo dan seluruh sivitas akademika yang telah menerima penulis untuk mengabdikan ilmu pengetahuan yang penulis miliki. 15. Para Informan, terutama kepada Ayahanda H. Hasanuddin Yus beserta keluarga yang dengan tulus telah membantu penulis dalam mencari data penelitian. Beliau juga telah menganggap penulis sebagai anak, untuk itu penulis mengaturkan rasa terima kasih yang tiada terhingga. 16. Dewan Pembina Yayasan Sakinah Az-zahra, yang telah banyak memberikan bantuan moral dan materi, sehingga memberikan kemudahan kepada penulis dalam penyelesaian studi ini. 17. Secara khusus, penulis sampaikan rasa terima kasih yang tiada terhingga kepada orang tua penulis Ayahanda Alm. H. Lobai dan Ibunda Almh Hj. Dewi, Ayahanda Alm. Abdul Tambunan dan Ibunda Almh. Soun Munthe, yang telah memberikan spirit dan doa yang tulus buat kelangsungan hidup dan studi penulis. Dari mereka, penulis dapat lebih mengerti akan makna kehidupan dan dapat melihat sisi kehidupan dalam berbagai atmorfir baik konsep maupun kenyataan. Semoga Allah senantiasa mencurahkan kasih dan rahmad-Nya kepada mereka dan menjauhkan mereka dari siksa kubur dan api neraka. 18. Kakanda Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., yang selama ini telah berperan sebagai pengganti ayah bagi kehidupan penulis. Kakanda Alm. O.K. muchtar, Dahliah, Alm. O.K. Syahril, Nurhayati, dan Nuraini yang selalu mengayomi penulis. Juga kepada Kakanda Asli, Bonar, Siti Awan, Drs. Mara Muda, M.Pd., Briga Ruslan, Almh. Siti Aslan, Nurbina, Sahrudin, M.T, dan Khairudin Ependi, M.Si., serta pihak ipar yang tidak dapat disebutkan satu persatu dan seluruh kemenakan. 19. Lebih dari itu, penulis juga secara khusus berterima kasih kepada suami tercinta Mara Laut Tambunan, S.H., dan Ananda terkasih Syafriani Tio Sari, S.Pd. Oesman Bahari Abdullah Tambunan, Fadlan Saripuddin Tambunan, Fatimah Raudhatul Fadilah, Zainab Alia Aqila, dan Maryam Syarbanu Azzakia yang telah memberikan motivasi yang besar dan kekuatan mental



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Untuk merekalah penulis melanjutkan studi ini dan kepada mereka pulalah disertasi ini penulis persembahkan. 20. Teman-teman mahasiswa Program Studi Doktor Linguistik Angkatan 2010, khususnya buat kajian konsentrasi wacana sastra M. Isman, Martina Girsang, Fauziah Khairani, Widya Andayani. Juga mahasiswa Kajian Tradisi Lisan M. Ali Pawiro dan T. Winona Emelia yang telah banyak memberi warna dalam kehidupan penulis.



Medan, Juni 2016 Penulis



Lela Erwany



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



RIWAYAT HIDUP A. Data Pribadi Nama Lengkap



: Lela Erwany



Tempat Tanggal Lahir



: Empat Negeri, 8 Juni 1971



Agama



: Islam



Alamat



: Jln. Utomo Dusun III Desa Bakaran Batu, Kec. Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang



Nama Ayah



: Alm. H. Lobai



Nama Ibu



: Alm. Hj. Dewi



Suami



: Mara Laut Tambunan, SH.



Anak



: Syafriani Tio Sari, S.Pd., Oesman Bahari Abdullah Tambunan, Fadlan Saripuddin Tambunan, Fatimah Raudhatul Fadilah, Zainab Alia Aqila, Maryam Syarbanu Azzakia



B. Riwayat Pendidikan 1. SD Inpres No. 014721 Empat negeri, Batubara (tamat tahun 1984). 2. SMP Negeri Simpang Dolok, Batubara (tamat tahun 1987). 3. SMA Negeri Indrapura, Batubara (tamat tahun 1990). 4. Universitas Sumatera Utara, Fakultas Sastra Program Studi Bahasa dan Sastra Melayu (tamat tahun 1995). 5. Sekolah Pascasarjana USU Program Studi Linguistik (tamat tahun 2009).



C. Pengamalan Pekerjaan 1. Dosen Kopertis Wilayah I Dpk. Unham 2. Ketua Yayasan Sakinah Az-Zahra Periode 2015-2020 3. Dosen Tidak Tetap di UMSU, UNIVA dan Universitas Sutomo.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Disertasi ini saya persembahkan untuk Universitas Sumatera Utara, Kopertis Wilayah I, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, serta Keluarga tercinta



Orang tua tersayang Ayahanda Alm. H. Lobai Ibunda Almh. Hj. Dewi



Mertua tercinta Ayahanda Alm. Abdul Tambunan Ibunda Almh. Soun Munthe



Suami tersayang Mara Laut Tambunan, S.H



Anak-anak terkasih dan tersayang Syafriani Tio Sari, S.Pd. Oesman Bahari Abdullah Tambunan Fadlan Saripuddin Tambunan Fatimah Raudhatul Fadhilah Zainab Alia Aqila Maryam Syarbanu Az-Zakia



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR ISI ABSTRAK…………………………………………………………………….... i ABSTRACT…………………………………………………………………...... iii KATA PENGANTAR…………………………………………………………... iv DAFTAR RIWAYAT HIDUP………………………………………………... vii DAFTAR ISI…………………………………………………………………..... viii DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xi DAFTAR BAGAN………………………………………………………………. xii DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………… xiii BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….. 25 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………….. 25 1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………... 26 1.4.1 Manfaat Teoretis……………………………………… 26 1.4.2 Manfaat Praktis……………………………… 26 BAB II: KAJIAN PUSTAKA, KONSEP DAN TEORI …………………… 28 2.1 Kajian Pustaka………………………………………… 28 2.2 Konsep……………………………………………... 31 2.2.1 Tradisi Lisan…………………………………… 31 2.2.2 Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai… 36 2.2.3 Sinandong………………………………… 40 2.2.4 Adat Perkawinan Melayu di Tanjungbalai………………… 43 2.3 Landasan Teori…………………………………………………. 70 2.3.1 Pendekatan Performansi………………………………… 70 2.3.1.1 Performansi.....................................……… 70 2.3.1.2 Teks, Koteks dan Konteks.............................……… 74 2.3.1.2.1 Teks...................................……… 74 2.3.1.2.2 Koteks............................ 78 2.3.1.2.3 Konteks.....................................……… 81 2.3.2 Pendekatan Kearifan Lokal……………………………… 85 2.3.3 Model Revitalisasi……………………………… 95 2.3.4 Teori Arletipe……………………………… 112



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



2.3.5 Teori Semiotik……………………………… 121 2.4 Kerangka Berpikir…………………………………………………. 124 BAB III: METODOLOGI PENELITIAN……………………………………... 3.1 Paradigma dan Metode Penelitian………………………………... 3.2 Lokasi Penelitian……………………………………………….. 3.3 Sumber Data……………………………………………. 3.4 Metode Pengumpulan Data…………………………………... 3.5 Metode Analisis Data……………………………………... BAB IV: PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN………………. 4.1 Paparan Data…………………………... 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian............................. 4.1.2 Paparan Data Prosesi Malam Berinai............................. 4.1.3 Paparan Data Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai ......... 4.1.4 Paparan Data Revitalisasi............................. 4.1.5 Paparan Data Citra Arketipe dan Jati Diri Melayu dalam Senandung............................ BAB V: PERFORMANSI TRADISI LISAN MALAM BERINAI………… 5.1 Performansi Malam Berinai…………………………………….. 5.2 Analisis Teks, Konteks, dan Koteks……………………………….. 5.2.1 Analisis Teks………………………… 5.2.1.1 Struktur Makro…………………………… 5.2.1.2 Superstruktur…………………………………… 5.2.1.3 Struktur Mikro…………………………………… 5.2.2 Analisis Konteks.............................................……… 5.2.3 Analisis Koteks..........................................................…… BAB VI: KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MALAM BERINAI…… 6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Malam Berinai…………….. 6.1.1 Makna Berinai……………… 6.1.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai………………… 6.1.2.1 Magis……………………………… 6.1.2.2 Kesehatan…………………………………… 6.1.2.3 Doa dan Harapan………………………………… 6.2 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai…………….. 6.2.1 Nilai Tradisi Malam Berinai.................……… 6.2.1.1 Nilai Estetis………………………………



126 126 127 128 129 134 136 136 137 146 147 150 150 158 158 163 163 164 165 166 167 171 199 200 200 203 204 209 212 215 217 217



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



6.2.1.2 Nilai Kesabaran…………………………………… 6.2.2 Norma Malam Berinai.................……… 6.2.2.1 Norma Kesopanan……………………………… 6.2.2.2 Norma Ekspresi Ajaran Agama Islam…………… 6.3 Kearifan Lokal Malam Berinai……………………… 6.3.1 Rasa Syukur.................……… 6.3.2 Kesopansantunan.................……… 6.3.3 Kesetiakawanan Sosial.................……… 6.3.4 Gotong Royong.................……… 6.3.5 Peduli Lingkungan.................……… BAB VII: MODEL REVITALISASI…………………………............................. 7.1 Model Revitalisasi Malam Berinai……………… 7.2 Model Revitalisasi Sinandong………………………………… BAB VIII: CITRA ARKETIPE DAN JATI DIRI MELAYU……………….. 8.1 Analisis Bentuk Sinandong…………………………………... 8.2 Citra Arketipe…………………………………………………… 8.2.1 Makanan Tradisional Melayu…………………………… 8.2.2 Asal-Usul Orang Melayu……………… 8.2.3 Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal Dunia……… 8.2.4 Kampung Halaman……………………………………… 8.3 Jati Diri Orang Melayu………………………………………… 8.3.1 Adat…………………………… 8.3.2 Sistem Kekerabatan……………… 8.3.3 Sistem Religi……… 8.3.4 Sistem Bahasa……………………………………… BAB IX: TEMUAN HASIL PENELITIAN……………………………………. 9.1 Kemajuan Jaman dan Kepraktisan Menfikis Tradisi……………. 9.2 Filosofi Malam Beranai………………………………………... BAB X: SIMPULAN DAN SARAN……………………………………. 10.1 Simpulan……………. 10.2 Saran………………………………………... DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………... LAMPIRAN I: DAFTAR INFORMAN……………………………………... LAMPIRAN II: DAFTAR PANDUAN WAWANCARA……………………... LAMPIRAN III: TEKS SINANDONG……………………………………...



219 226 226 229 241 242 247 250 253 261 269 269 277 293 293 301 302 304 306 307 308 309 316 319 323 325 327 328 329 329 331 333 339 342 344



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR TABEL Nomor 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 5.1 6.1 8.1



Judul



Halaman



Penduduk Kota Tanjungbalai Per Kecamatan Tahun 2010.......................... Nama-Nama Kelurahan di Tanjungbalai…………... Paparan Data Kearifan Lokal Malam Berinai……………………………... Paparan Data Citra Arketipe dalam Sinandong Asahan pada Upacara Malam Berinai……………………………………………………............ Paparan Data Jati Diri Melayu dalam Sinandong Asahan pada Upacara Malam Berinai…………………………………........ Performansi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai… Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………………………………………….. Kata-Kata Denotatif dalam Teks Senandung……………………………



142 142 147 155 156 198 199 296



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR BAGAN Nomor 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 5.1 5.2 6.2 6.3 6.5 7.1 7.2 8.1 8.2



Judul



Halaman



Teori Lapisan Pemaknaan Tradisi Lisan/Tradisi Budaya.......................... Jenis Kearifan Lokal…………... Kerangka Berpikir Penelitian Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai……………………………... Sumber Data Penelitian Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai………………………............ Metode Pengumpulan Data Tradisi Lisan Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai……………………………........ Properti Berinai pada Upacara Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai… Perlengkapan Alat Musik Pertunjukan Sinandong……………………….. Fungsi Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………… Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………… Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………… Model Revitalisasi Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………… Model Revitalisasi Sinandong pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai…………………………… Citra Arketipe Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan…………………………… Jati Diri Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan……



94 95 124 129 133 183 184 204 216 242 276 292 301 308



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR GAMBAR Nomor 4.1 4.2 4.3 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 5.10



Judul



Halaman



Peta Kota Madya Tanjungbalai.......................... Foto Tanjungbalai dari Udara pada Tahun 1930-an…………... Pelabuhan Tanjungbalai pada Masa Hindia Belanda…………………... Ekspresi Wajah Pesenandung Ketika Melantunkan Sinandong............ Tata Cara Tepung Tawar……………………………........ Motif Inai Mauliza pada Malam Berinai di Rumahnya… Pelengkapan Tepung Tawar untuk Malam Berinai……………………….. Tari Gubang oleh Sanggar Tari ―Ayu…………………………… Inai yang akan Digiling…………………………… Stiker untuk Berinai…………………………… Inai yang Berbentuk Odol…………………………… Group Aljamiatul Kasidah Tanjungbalai…………………………… Makanan Ringan untuk Group Kasidah……………………………



139 139 139 172 174 174 178 182 185 186 186 189 197



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Manusia dalam rangka menjalani hidupnya, selalu terikat dengan fasefase kehidupan, yang pada setiap perubahan fase tersebut selalu dilakukan upacara.1 Sejak janin masih berada dalam kandungan, kemudian selepas melahirkan, memberikan nama, masa pubertas, menikah, menjadi warga masyarakatnya, upacara sebagai pemimpin, sampai kematian, dan juga pascakematian. Dalam siklus hidup tersebut, perkawinan merupakan fase kehidupan manusia yang bernilai sakral dan sangat penting. Dibandingkan dengan fase kehidupan lainnya, fase perkawinan sangat khusus. Perhatian pihakpihak yang berkepentingan dengan acara tersebut banyak tertuju kepadanya, mulai dari memikirkan proses akan menikah, persiapannya, upacara pada hari perkawinan, hingga setelah upacara usai dilaksanakan. Tidak saja calon pengantin laki-laki dan perempuan saja yang merencanakan, memikirkan, dan menjalankannya, tetapi juga termasuk orang tua dan keluarganya,2 karena



1



Rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama. Dalam konteks penelitian ini, upacara tersebut berkaitan dengan upacara adat, yaitu upacara yang berhubungan dengan adat suatu masyarakat, misalnya upacara adat perkawinan, upacara adat kematian, atau upacara adat menabalkan nama, dan lain-lain. 2 Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, keluarga biasanya dapat dikelompokkan berdasarkan kuantitas kekerabatannya. Unit keluarga yang paling kecil disebut dengan keluarga inti (nucleus family), yang terdiri dari unsur ayah, ibu, dan anak-anaknya. Kemudian dikenal pula keluarga luas (extended family), yang terdiri dari keluarga inti ditambah dengan kerabatkerabatnya seperti kakek, nenek, paman, bibi, kemenakan, dan lain-lainnya. Di dalam, beberapa kelompok masyarakat di dunia ini, pola perumahan dan pemukiman juga mencerminkan bentuk keluarga ini. Ada yang membangun rumah dengan fungsi utama untuk keluarga inti. Tidak jarang pula yang mendasarkan perumahan berdasarkan keluarga batih, misalnya rumah lamin pada masyarakat Dayak di Kalimantan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perkawinan mau tidak mau pasti melibatkan mereka sebagai orang-orang tua yang harus dihormati. Manusia sebagai makhluk berbudaya mengenal adat istiadat3 perkawinan yang harus dipatuhi dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengannya. Adat istiadat perkawinan dalam suatu masyarakat berfungsi sebagai pedoman tingkah laku dalam melaksanakan upacara perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam keseluruhan daur kehidupan manusia yang sangat penting. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status, yakni dari status bujangan menjadi berkeluarga (dengan status suami atau istri), dengan demikian pasangan tersebut diakui dan diperlakukan sebagai anggota penuh dalam masyarakat. Dalam



sistem



kekerabatan,



perkawinan



seseorang



juga



akan



mempengaruhi sifat hubungan kekeluargaan, bahkan dapat pula menggeser hak serta kewajiban untuk sementara anggota kerabat lainnya. Misalnya seorang abang yang tadinya bertanggung jawab atas adiknya seorang gadis, tetapi dengan terjadinya ikatan tali perkawinan maka hak dan kewajiban seorang abang sudah berpindah kepada suami sang adik. Setiap upacara perkawinan itu begitu penting baik bagi yang bersangkutan maupun bagi anggota kekerabatan kedua belah pihak pengantin. Sehingga dalam proses pelaksanaannya harus memperhatikan



3



Istilah adat istiadat ini, peneliti gunakan dalam konteks pemahaman adat dalam kebudayaan Melayu secara umum.Adat istiadat adalah salah satu dari empat kategori adat Melayu, yang terdiri dari: (a) ada yang sebenar adat, yaitu hukum alam yang ditentukan Tuhan Yang Maha Kuasa; (b) adat yang diadatkan, yaitu sistem sosial yang dibangun orang Melayu, termasuk di dalamnya kepemimpinan, (c) adat yang teradat, yaitu kebiasaan-kebiasaan yang lama-lama menjadi adat, di dalamnya terkandung makna adat dalam konteks perubahan ruang dan waktu; dan (d) adat istiadat, yang biasanya dimaknakan sebagai upacara-upacara di dalam kebudayaan Melayu.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



serangkaian aturan atau tata cara biasanya sudah ditentukan secara adat yang berdasarkan kepada hukum-hukum agama. Dalam kebudayaan Melayu, termasuk di Tanjungbalai, konsep adat yang digunakan mengacu kepada adat bersendikan syarak dan syarak bersendikan kitabullah, syarak mengata, adat memakai.4 Artinya apa yang ditetapkan oleh



4



Syarak atau syariat dalam konsep Islam artinya jalan yang sesuai dengan undang-undang (peraturan) Allah SWT. Allah menurunkan agama Islam kepada Nabi Muhammad SAW. secara lengkap dan sempurna, jelas dan mudah dimengerti, praktis untuk diamalkan, selaras dengan kepentingan dan hajat manusia, dalam dimensi ruang dan waktu yang tidak terbatas. Syariat berlaku untuk hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia dewasa. Bagi setiap umat Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (Q.S. 45/211Jatsiyah: 18). Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal: (1) Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tidak terjangkau oleh indera manusia (ahkam syar'iyyah i'tiqodiyyah) yang menjadi pokok bahasan ilmu tauhid; (2) petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (ihkam syar'iyyah khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak); dan (3) ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau hubungan manusia dengan Allah (vretikal), serta ketentuan yang mengatur pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Dewasa ini, umat Islam selalu mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena sedemikian erat hubungan keduanya. Akan tetapi antara syariat dan fiqih, sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar. Syariat Islam merupakan ketetapan Allah SWT tentang ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan kekal, sehingga tidak mungkin diganti dan dirombak oleh siapapun sampai kapanpun. Sedangkan fiqih adalah penjabaran syariat dari hasil ijtihad para mujtahid, sehingga dalam perkara-perkara tertentu bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada sebutan fiqih Irak, Mesir, Arab Saudi, dan lainlainnya. Selain itu, karena fiqih hasil dari pemikiran mujtahid, maka ada fiqih Syafi'ie, fiqih Maliki, fiqih Hambali, fiqih Hanafi. Oleh karena syariat Islam adalah ketetapan Allah SWT, maka memiliki sifat-sifat: 1. Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan hukum perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat karena perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada kepentingan penciptanya. 2. Universal, maksudnya syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan umat manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam Kitab (Al-Qur'an)." (Q.S. 6/AnAn'am: 38). Maksudnya di dalam Al-Qur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. 3. Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah SWT, dan tidak akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman. "Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya." (Q.S. 151 Al-Hijr: 9). Firman Allah tersebut telah terbukti. Beberapa kali umat lain gagal memalsukan ayat-ayat AlQur'an. 4. Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam dengan seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali tidak memberatkan dan tidak pula menyulitkan. "Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [Q.S. 2/Al-Baqoroh: 286). 5. Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak memerintahkan umatnya untuk mencari kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



syarak itulah yang harus digunakan dalam adat. Dengan demikian, upacara perkawinan berdasarkan kepada adat dan adat berdasarkan kepada hukum Islam. Dengan demikian dasar utamanya adalah Islam. Jadi semua konsep, aktivitas, maupun koteks upacara ini harus berdasar kepada ajaran agama Islam. Namun demikian, sebagai sebuah kebudayaan yang terdapat di dalam peradaban Islam, maka kebudayaan Melayu juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kebudayaan Islam di tempat lain, misalnya India, Pakistan, Arab, Turki, dan lainnya, termasuk di dalam upacara perkawinan ini. Salah satu konsep mengenai perkawinan di dalam agama Islam adalah seperti yang termaktub di dalam Al-Qur‘an surat Ar-Ruum 21:



Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Sebenarnya jika mengikuti ajaran Islam yang mendasar saja, terutama syarat dan rukun nikah, maka tahapan upacara perkawinan cukup dilakukan secara ringkas dan mudah. Dalam ajaran Islam, perkawinan itu sudah dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Ajaran Islam perlu



memerintahkan pemeluknya mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat kelak.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diterapkan di berbagai daerah dengan menyertakan adat istiadat yang telah menjadi pegangan hidup masyarakat tempatan. Rangkaian penyelenggaraan proses perkawinan masyarakat Melayu khususnya masyarakat Melayu Tanjungbalai terdiri dari beberapa tahap, mulai dari meminang hingga pernikahan berlangsung. Sebuah perkawinan yang normal biasanya didahului dengan masa pertunangan/ikat janji antara pihak pria dengan pihak wanita yang lamanya sekitar satu tahun. Kemudian dilanjutkan dengan pernikahan atau peresmian. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan yang direstui kedua orang tua ataupun keluarga masing-masing pihak, biasanya dilaksanakan menurut tata cara atau adat istiadat perkawianan masyarakat Melayu yang belandaskan kepada kaidah-kaidah ajaran agama Islam serta unsur budaya tradisional. Adat perkawinan dalam budaya Melayu terkesan rumit karena banyak tahapan yang harus dilalui. Kerumitan tersebut muncul karena perkawinan dalam pandangan Melayu harus mendapat restu dari kedua orang tua serta harus mendapat pengakuan yang resmi dari tentangga maupun masyarakat. Pada dasarnya, Islam juga mengajarkan hal yang sama. Meski tidak masuk dalam rukun perkawinan Islam, upacara-upacara yang berhubungan dengan aspek sosialkemasyarakatan menjadi penting karena di dalamnya juga terkandung makna bagaimana mewartakan berita perkawinan tersebut kepada masyarakat secara umum. Dalam adat perkawinan Melayu, rangkaian upacara perkawinan dilakukan secara rinci dan tersusun rapi, yang keseluruhannya wajib dilaksanakan oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya. Hanya saja, ada sejumlah tradisi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



atau upacara yang dipraktikkan secara berbeda-beda di sejumlah daerah dalam wilayah geo-budaya Melayu. Dalam pandangan budaya Melayu, kehadiran keluarga, saudara, tetangga, dan masyarakat kepada majelis perkawinan tujuannya tiada lain adalah untuk mempererat hubungan kemasyarakatan dan memberikan kesaksian dan doa restu atas perkawinan yang dilangsungkan. Perkawinan yang dilakukan tidak berdasarkan pada adat Melayu setempat akan menyebabkan masyarakat tidak merestuinya. Bahkan, perkawinan yang dilakukan secara singkat akan menimbulkan desas-desus tidak sedap di masyarakat, mulai dari dugaan kumpul kebo, perzinaan, seks pranikah, dan sebagainya. Perkawinan dalam pandangan orang Melayu merupakan sejarah dalam kehidupan seseorang. Rasa kejujuran dan kasih sayang yang terbangun antara suami-istri merupakan nilai penting yang terkandung dalam makna perkawinan Melayu. Untuk itulah, perkawinan perlu dilakukan menurut adat yang berlaku dalam masyarakat, sehingga perkawinan tersebut mendapat pengakuan dan restu dari seluruh pihak dan masyarakat. Pembagian upacara perkawinan Melayu yang merupakan salah satu bagian penting yang menyertai serangkaian upacara pernikahan menurut adat budaya Melayu. Menurut Zainul (hasil wawancara 24 Mei 2015) rangkaian upacara dan adat-istiadat perkawinan Melayu di Tanjungbalai biasanya dilalui oleh sepasang mempelai pengantin sebelum, selama, dan setelah pernikahan meliputi: 1. Merisik melalui penghulu telangkai (disebut merisik kecil dan merisik resmi) 2. Jamu sukut



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3. Meminang (ikat janji dan tukar tanda) 4. Mengantar bunga sirih 5. Malam berinai: berinai curi; berinai kecil; dan berinai besar 6. Akad nikah 7. Berandam dan mandi berhias 8. Bersanding 9. Nasi hadap-hadapan. 10. Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan 11. Meminjam pengantin. Upacara adat perkawinan biasanya memerlukan tiga masa proses, yaitu (a) pendekatan terhadap calon pasangan hidup dan persiapan, (b) upacara perkawinan itu sendiri, (c) berbagai aktivitas selepas upacara perkawinan. Dalam bahasa yang singkat, ketiga proses itu adalah praupacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pascaupacara perkawinan (Takari, et al., 2015:107) . Dari pendapat Takari et al. di atas, maka dapat dideskripsikan bahwa terdapat tiga tahapan dalam upacara adat perkawinan Melayu. Tahap praupacara perkawinan meliputi merisik, jamu sukut, meminang, dan mengantar bunga sirih. Tahap perkawinan meliputi malam berinai, akad nikah, berandam dan mandi berhias, bersanding dan nasi hadap-hadapan. Sedangkan tahap pascaupacara perkawinan adalah serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan dan meminjam pengantin. Upacara malam berinai merupakan tahap dari upacara perkawinan yang dilaksanakan sebelum acara bersanding dilaksanakan. Dalam realitasnya,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



penggunaan inai termasuk di dalam upacara perkawinan adalah sebuah institusi budaya yang berusia relatif tua di dunia ini. Dari penelusuran (http://patch.com/connecticut/greenwich/bp--history-ofmehndi-history-of-henna) ditemukan seni berinai di India adalah The art of applying henna in hands and feet is known as Mehndi and it is a very old custom and ancient art form of the Asian subcontinent. The propagators were the Mughals. The Mughals taught us all about the history of Mehndi and introduced it to India during 12th century AD. During that period the royal and rich use to decorate themselves with it. The patterns were intricately made by the artists or the beauticians. Indian weddings are incomplete without the mehndi ceremony. The ritual of mehndi ceremony is followed in every part of the country where the hands of the bride are adorned with the lovely red color of the mehndi. On these festive or wedding occasions mostly traditional Indian designs are made on the hands of the bride. The origin can be from Egypt because it was one of the art forms in Egypt. Henna has the power of medicine was also used as a cosmetic and for its healing power for ages. The beautiful patterning prevalent in India today has emerged only in the 20th century. India, most of the women from that time in India is depicted with their hands and feet with red stain designs. The art of Mehndi has existed for centuries. No exact place of its origin is identified because of people in different cultures moving through the continents and taking their art forms with them and therefore sharing their art with everyone along the way. (Seni yang menerapkan henna di tangan dan kaki dikenal sebagai Mehndi dan itu adalah bentuk kostum dan seni kuno yang sangat tua dari benua Asia, Dai, dan Mughal. Mughal mengajarkan tentang sejarah Mehndi dan memperkenalkannya ke India sejak abad ke-12 M. Selama periode tersebut, anggota kerajaan menghias diri dengan itu. Pola yang rumit dibuat oleh seniman atau ahli kecantikan. Pernikahan India tidak lengkap tanpa upacara mehndi. Ritual upacara mehndi diikuti di setiap bagian dari negara di mana tangan mempelai wanita dihiasi dengan warna merah yang indah dari mehndi tersebut. Pada kesempatan ini, sebagian besar pernikahan tradisional India dimeriahkan oleh desain henna ini, yang dibuat pada tangan pengantin wanita. Diperkirakan henna berasal dari Mesir karena itu salah satu bentuk seni di Mesir. Henna memiliki kekuatan obat juga digunakan sebagai kosmetik dan untuk daya penyembuhan selama berabad-abad. Pola-pola indah (desain) di India saat ini telah muncul pada abad ke-20. Sebagian besar wanita India digambarkan dengan tangan dan kaki mereka dengan desain noda merah. Seni Mehndi telah ada selama berabad-abad. Tidak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ada tempat yang tepat dari asal-usulnya diidentifikasi karena orang-orang dalam budaya yang berbeda bergerak melalui benua dan mengambil bentuk seni mereka dan karena itu mereka berbagi seni dengan semua orang di sepanjang jalan). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dinasti Mughal atau Mogul5 mengajarkan dan memperkenalkan inai ke India pada abad ke-12 M. Inai ini merupakan salah satu bahan untuk mempercantik diri. Inai memegang peran penting dalam acara khusus seperti upacara pernikahan, kehamilan pada usia tujuh bulan. Di India, dua atau tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan, mempelai wanita akan menghadiri pesta inai biasanya malam, yang diselenggarakan bersama keluarga dan teman. Tangan mempelai wanita akan dihias inai dari ujung jari sampai siku, dan di kaki dari ujung kaki sampai lutut. Nama mempelai laki laki akan ditulis secara tersembunyi di sela-sela ukiran cantik inai yang dipasang dan akan dijadikan kuis permainan pencarian nama calonnya. Pada saat sebelum pernikahan dimulai diadakan permainan, dimana mempelai laki laki harus menemukan lebih dulu dimana tulisan namanya disembunyikan sambil bernyanyi dan menari.



5



Kesultanan Mughal atau Moghul (bahasa Persia: ‫ هّغم ىاٍاش‬Shāhān-e Moġul; sebutan diri: ‫ ٓىاكزّگ‬- Gūrkānī) adalah sebuah negara yang pada masa jayanya memerintah Afghanistan, Balokhistan, dan sebagian besar anak benua India antara 1526 dan 1857. Kesultanan ini didirikan oleh pemimpin Mongol, Barbur, pada tahun 1526, ketika dia mengalahkan Ibrahim Lodi, Sultan Delhi terakhir dalam Pertempuran Panipat I. Kata mughal adalah versi Indo-Aryan dari Mongol. Agama rakyat Mughal adalah Islam. Kesultanan ini sebagian besar ditaklukkan oleh Sher Shah pada masa Humayun. Namun demikian di bawah pemerintahan Akbar, kerajaan ini tumbuh pesat, dan terus berkembang sampai akhir pemerintahan Aurangzeb. Jahangir, anak Akbar, memerintah kerajaan ini antara 1605-1627. Pada Oktober 1627 Shah Jahan, anak dari Jahangir mewariskan takhta dan kerajaan yang luas dan kaya di India. Pada abad tersebut, kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar di dunia. Kaisar Mughal Shah Jahan, memerintahkan pembangunan Taj Mahal antara 1630-1653 di Agra, India. Setelah kematian Aurangzeb pada tahun 1707, kesultanan ini mulai mengalami kemunduran, meskipun tetap berkuasa selama 150 tahun berikutnya. Pada 1739 dia dikalahkan oleh pasukan dari Persia dipimpin oleh Nadir Shah. Pada 1756 pasukan Ahmad Shah merampok Delhi lagi. Kerajaan Britania Raya akhirnya membubarkannya pada 1857 (https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Mughal).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Selain itu, Cartwright-Jones (2008:5-6) menjelaskan tentang sejarah berinai di Afrika Utara sebagai berikut, Archaeological evidence in Egypt shows henna use during the Bronze Age, though not as body art during the early dynasties. Old Kingdom and Middle Kingdom Egyptians used henna on the fingernails of the dead, to mask graying hair, and to treat skin diseases. The Minoan, Cycladic, Ugaritic, Mycenaean, Canaanite and Punic cultures used henna in an early form of the Night of the Henna between 3500 BCE and the Roman period1. The Minoan2 and Phoenician diasporas carried the practice of celebrational henna body art across the Mediterranean coast into the North African Punic civilization as a part of the fertility religion of Baal and Tanit. There is evidence of cosmetic, tattooing and scarification body adornment in North Africa prior to the Bronze Age, but at present I have found no absolute confirmation of henna body art other than in connection with the early Tunisian, Phoenician, and Punic cultures. North African women used henna during the Roman period in North Africa, and henna was used in Italy as a remedy for gray hair during the Roman Empire. The spread of Islam across North Africa reinforced the Night of the Henna traditions, and henna use in other social celebrations. (Bukti arkeologi di Mesir menunjukkan bahwa inai sudah digunakan sejak Zaman Perunggu, meskipun tidak untuk seni tubuh selama dinasti awal. Kerajaan Lama dan Mesir Raya Tengah menggunakan henna pada kuku orang mati, untuk menutupi rambut beruban, dan untuk mengobati penyakit kulit. Minoa, Cycladic, Ugarit, Mycenaean, Kanaan dan Punisia telah menggunakan inai dalam budaya Night of the Henna antara 3500 SM dan periode awal Romawi. Minoan dan Phoenician melakukan praktik seni henna tubuh di pantai Mediterania dalam peradaban Punisia Afrika Utara sebagai bagian dari kesuburan agama Baal dan Tanit. Ada bukti dari kosmetik, tato, dan skarifikasi perhiasan tubuh di Afrika Utara sebelum Zaman Perunggu, tetapi saat ini telah ditemukan ada konfirmasi mutlak henna seni tubuh selain sehubungan dengan budaya awal Tunisia, Phoenician, dan Punisia. Perempuan Afrika Utara menggunakan henna selama periode Romawi di Afrika Utara, dan henna digunakan di Italia sebagai obat untuk rambut putih selama Kekaisaran Romawi. Penyebaran Islam di Afrika Utara memperkuat Malam tradisi Henna, dan henna digunakan dalam seremonial sosial lainnya). Di dalam kebudayaan Arab, tradisi malam berinai atau henna adalah tradisi pesta calon pengantin. Dalam malam ini, seluruh keluarga, sahabat, dan kerabat berkumpul di rumah masing-masing mempelai untuk berpesta sehari



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sebelum pernikahan berlangsung. Corak inai dalam pernikahan juga tergantung dengan kondisi, ada inai malam dan siang, bagi



para peserta perkawinan



menggunakan inai sebagai simbol lahiriah dari partisipasi mereka dalam perayaan. Biasanya pada hari Jumat mereka mewarnai rambutnya dengan inai dan tradisi ini juga dilakukan pada saat Idul Fitri. Inai juga digunakan wanita di Afrika, Asia, bahkan Amerika. Di beberapa negara, inai digunakan di hari pernikahan, baik itu untuk mewarnai kuku, lengan dan kaki para calon pengantin wanita. Selain untuk mempercantik penampilan, penggunaan inai juga diyakini dapat melindungi pemakainya dari berbagai gangguan. Di antaranya adalah tradisi memakai inai yang disebut henna belly, yaitu melukis perut wanita yang sedang hamil tua. Di Indonesia sebagian besar prosesi pernikahan tradisional di beberapa daerah memasukkan pemakaian inai sebagai bagian dari ritual adat pernikahan, yang masing masing daerah memiliki arti dan makna tersendiri. Sebagian besar prosesi pernikahan tradisional di beberapa daerah yang ada di Indonesia memasukan ritual pemakaian inai, sebagai salah satu ritual pernikahan. Masingmasing daerah memiliki arti dan makna tersendiri untuk ritual tersebut. Malam bohgaca dari Aceh adalah malam berinai yaitu mengenakan inai dan dilakukan sebelum akad nikah dilangsungkan. Daun inai melambangkan isteri sebagai obat pelipur lara sekaligus sebagai perhiasan rumah tangga. Daun inai yang sudah di lepas dari tangkainya, ditempatkan dalam piring besar kemudian ditumbuk. Daun inai ini akan dipakaikan beberapa kali sampai menghasilkan warna merah yang terlihat alami.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Di Minangkabau dalam konteks upacara perkawinan ini, dilakukan pula malam bainai yang lazim disebut juga malam seribu harapan, seribu doa bagi kebahagiaan rumah tangga anak daro (calon mempelai wanita) yang akan melangsungkan pernikahan esok harinya. Hasil tumbukkan daun inai, ditorehkan pada kuku calon mempelai oleh orang tua, ninik mamak, saudara, handai taulan dan orang-orang terkasih lainnya. Selanjutnya terdapat upacara berpacar pada masyarakat Melayu di Palembang. Upacara berpacar adalah mewarnai seluruh kuku tangan dan kaki, juga telapak tangan dan telapak kaki yang disebut pelipit menggunakan daun inai. Kesan merah pada pacar berguna untuk mengusir segala jenis makhluk halus, dan daun pacar sendiri dipercaya mempunyai kekuatan magis untuk memberi kesuburan bagi pengantin perempuan. Di tempat lain di Lampung, ada pula upacara pasang pacar biasanya dilakukan satu hari, usai acara betanges (mandi uap) dan berparas (menghilangkan bulu-bulu halus dan membentuk alis mata agar sang gadis terlihat cantik menarik). Hal ini juga akan mempermudah sang juru rias untuk membentuk cintok pada dahi dan pelipis calon pengantin wanita. Kemudian dilanjutkan dengan acara pasang pacar (inai) pada kuku-kuku agar penampilan calon pengantin semakin menarik pada keesokan harinya. Seterusnya, dalam masyarakat Melayu Betawi di Jakarta, ditemui upacara malem pacar, yang dilakukan usai prosesi ngerik atau mencukur bulu kalong dan membuatkan centung pada rambut di kedua sisi pipi di depan telinga. Acara



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



malem pacar adalah malam mempelai wanita memerahkan kuku kaki dan tangannya dengan inai. Seterusnya di Nusantara ini dijumpai upacara wenny mapacci dari Bugis dan upacara akkorontigi dari Makasar. Upacara ini merupakan ritual pemakaian inai ke tangan si calon mempelai. Inai ini memiliki fungsi magis dan melambangkan kesucian. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam inai atau wenni mappaci (Bugis) dan akkorontigi (Makasar). Dari uraian di atas tergambar dengan jelas bahwa inai menyebar di berbagai tempat di dunia dalam masa yang begitu panjang. Diperkirakan telah wujud selama 5000 tahun, yang menyebar di kawasan-kawasan Mongol, Balukhistan, Afghanistan, India, Arab, Afrika Utara, dan Asia Tenggara. Fungsinya adalah untuk kecantikan dan estetika, kesehatan, pengawetan, bahkan mencegah gangguan makhluk gaib secara supernatural, dan lain-lainnya. Dengan demikian, inai dalam kebudayaan Melayu, memiliki hubungan dengan inai di dalam kebudayaan masyarakat dunia dan Nusantara. Termasuk inai yang difungsikan di dalam upacara perkawinan adat Melayu yang menjadi fokus kajian penulis dalam disertasi ini. Selain itu, penggunaan inai ini di dalam peradaban Islam juga dapat dilihat dari hadits-hadits. Di antaranya adalah sebagai berikut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



―Dari Abdillah bin Umar secara marfu‘ dengan lafazh: ―Wahai wanita-wanita Anshor warnailah kuku-kuku kamu (dengan inai dan lainnya) dan berkhifadohlah (berkhitanlah) kamu semua, tetapi janganlah berlebih-lebihan dalam berkhitan itu, mudah-mudahan dengan khitan itu kamu mendapat kenikmatan.‖ (Imam Syaukani, dalam Kitab NailulAuthor).



―Sesungguhnya alat terbaik yang dapat kamu gunakan untuk merubah warna uban ini adalah inai dan katam.‖



Katam adalah sejenis tumbuhan yang mengeluarkan warna hitam kemerah-merahan. Dalam konteks mewarnai uban, Islam mengajarkan jauhilah warna hitam. Dalilnya adalah hadits Jabir berikut: ―Abu Quhaafah (bapak Abu Bakar Sidik) pernah dibawa pada saat penaklukkan Mekah. Ketika itu, rambut dan jenggotnya putih seperti kapas. Maka Rasulullah bersabda: ―Rubahlah warnanya dengan sesuatu, dan hindarilah warna hitam.‖ (H.R. Muslim). Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang inai dapat digunakan untuk berbagai fungsi di dalam ajaran agama Islam, seperti fungsi estetika, mewarnai rambut (tetapi selain warna hitam), dan lainnya. Selain itu, dalam konteks Dunia Islam. inai ditanam secara komersial di negara-negara Uni Emirat Arab, Maghribi, Algeria (Aljazair), Yaman, Tunisia, Libya, Arab Saudi, Mesir, India, Irak, Iran, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Turki, Somalia, Sudan, dan lain-lainnya (www.wikipedia.org). Dengan demikian, inai adalah salah satu identitas budaya masyarakat Islam di dunia ini. Orang Islam menggunakan inai untuk mewarnai rambut dan janggut (jenggot) sepertimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW. Aktivitas ini



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



merupakan amalan sunah dan sangat disarankan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad juga menganjurkan kaum wanita agar menggunakan inai ke kuku tangan dan kaki, karena akan mudah membedakan antara tangan seorang perempuan dengan tangan laki-laki. Dengan melihat keberadaan inai dalam kebudayaan dunia secara umum, dan Dunia Islam secara khusus, maka orang-orang Melayu melihat inai sebagai sebuah kebudayaan yang dipandang baik dan kemudian diamalkan di dalam konteks upacara perkawinan khususnya pada malam berinai. Penggunaan inai ini memiliki nilai-nilai dan kearifannya sendiri di dalam kebudayaan Melayu, termasuk kearifannya dalam konteks malam berinai. Di antara kearifan itu adalah sebagai unsur kesantunan, kesetiakawanan sosial, rasa syukur, gotong royong, dan peduli lingkungan. Selanjutnya, dalam kebudayaan Melayu, makna dan tujuan dari perhelatan upacara malam berinai adalah untuk menjauhkan diri dari bencana, membersihkan diri dari hal-hal yang kotor, dan menjaga diri segala hal yang tidak baik. Di samping itu tujuannya juga untuk memperindah calon pengantin agar terlihat lebih tampak bercahaya, menarik, dan cerah. Upacara ini merupakan lambang kesiapan pasangan calon pengantin untuk meninggalkan hidup menyendiri dan kemudian menuju kehidupan rumah tangga. Berinai bukan sekadar memerahkan kuku, namun mempersiapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan tanpa aral rintangan. Dalam ungkapan adat disebutkan: Malam berinai disebut orang Membuang sial muka belakang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Memagar diri dari jembalang Supaya hajat tidak terhalang Supaya niat tidak tergalang Supaya sejuk mata memandang Muka bagai bulan mengambang Serinya naik tuah pun datang Bentuk kegiatannya bermacam-macam asalkan bertujuan mempersiapkan pengantin agar tidak menemui masalah di kemudian hari. Dalam upacara ini yang terkenal biasanya adalah kegiatan memerahkan kuku, tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang perlu dilakukan. Upacara ini dilakukan oleh Mak Andam dibantu oleh sanak famili dan kerabat dekat. Upacara berinai bagi pasangan calon pengantin dilakukan dalam waktu yang bersama-sama. Hanya saja, secara teknis tempat kegiatan ini dilakukan secara terpisah, bagi pengantin perempuan dilakukan di rumahnya sendiri dan bagi pengantin laki-laki dilakukan di rumahnya sendiri atau tempat yang disinggahinya. Dalam upacara pernikahan masyarakat Melayu, pada umumnya malam berinai digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan teman-teman terdekatnya sebagai tanda melepas masa lajangnya untuk terakhir kalinya. Dahulu malam berinai dapat dilakukan selama tiga malam yakni: malam pertama disebut malam inai curi, dimana pengantin diberi inai oleh teman-temannya sewaktu ia tidur sehingga tidak ketahuan. Malam kedua disebut malam inai kecil, pengantin wanita dihiasi, didandani dan didudukkan di atas pelaminan yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, dan kerabat untuk ditepungtawari. Lalu dilanjutkan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dengan inai besar, terlebih dahulu tari inai ditampilkan dan tarian Melayu lainnya, kemudian pengantin wanita dipasangkan inai pada kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh kedua orangtuanya, keluarga, dan teman-teman dekatnya. Setelah semua acara selesai, selanjutnya pengantin wanita dipasangkan inai yang sebenarnya yang disebut berinai besar. Dalam proses perkembangannya, kini malam berinai hanya dilakukan satu malam saja karena faktor dan waktu yang kurang mendukung. Sehingga, malam berinai yang dilakukan hanya malam berinai besar saja. Kegiatan upacara berinai ini biasanya disertai dengan tari inai dan musik iringannya. Tari inai merupakan salah satu adat masyarakat Melayu di Tanjungbalai yang bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh golongan masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Di Tanjungbalai, tari inai ini diberi nama tari gubang, yang pada dasar gerakannya berbeda dengan tari inai yang ada di Melayu pesisir Sumatera Timur, Riau, dan Jambi. Jika tari inai atau upacara malam berinai tidak diadakan, upacara pernikahan keesokan harinya tetap berlangsung. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, malam berinai sekarang dilakukan satu malam saja karena faktor waktu dan dana yang terkadang menjadi kendala, sehingga malam berinai hanya dilakukan satu malam sebelum keesokan harinya melakukan akad nikah. Kesenian inai adalah merupakan seni pertunjukan yang melibatkan tari dan musik. Tarian ini biasanya hanya dilakukan di rumah pengantin wanita saja, sedangkan di rumah pengantin pria tidak dilakukan upacara malam berinai. Hanya saja inai dihantar dari rumah pengantin wanita ke rumah si calon pengantin pria dan menurut adat diadakan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tepung tawar kemudian dilanjutkan pemasangan inai ke kuku jari-jari tangan dan kakinya oleh keluarga dan teman-teman dekatnya. Dalam konteks Sumatera Utara, orang Melayu di Tanjungbalai memiliki berbagai genre kesenian, yang difungsikan di dalam kehidupan mereka. Di antara genre seni-seni Melayu adalah: marhaban, barzanji, syair, pantun, tari Serampang dua belas, tari inang, tari zapin, tari inai, dan lain-lain. Di antara kesenian tersebut, ada yang difungsikan di dalam upacara pernikahan (perkawinan), terutama tari inai, persembahan, barzanzi, marhaban, kasidah, dan sinandong. Sinandong6 di Tanjungbalai merupakan warisan budaya Melayu dan mempunyai nilai-nilai yang patut dikembangkan dan dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Tradisi ini sudah lama berperan sebagai wahana pemahaman gagasan warisan tata nilai yang tumbuh di masyarakat. Tradisi bersinandong ini juga berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Bersinandong ini sudah dilakukan masyarakat Tanjungbalai sejak dahulu. Tradisi ini merupakan suatu sarana penting untuk mempertahankan eksistensi diri. bersinandong



tidak



saja



dipergunakan



untuk



memahami



dunia



dan



mengekspresikan gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai tersebut dari generasi ke 6



Kata sinandong adalah kata dalam bahasa Melayu Tanjungbalai, dalam teknik penulisan karena dipandang sebagai istilah peneliti menulisnya dengan huruf miring, namun supaya efektif hanya ditulis miring sekali saja dalam setiap bab disertasi ini. Istilah ini mengandung makna sebagai satu genre seni pertunjukan musikal terutama vokal (yang selalu diiringi oleh instrumen musik tradisi Melayu). Dalam dunia seni pertunjukan Melayu, ada perbedaan antara kata sinandong dengan senandung. Sinandong adalah genre musik vokal yang terdapat di kawasan Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu (kesemuanya di Sumatera Utara). Di sisi lain, senandung adalah salah satu rentak (irama) khas dalam musik Melayu yang relatif bertempo lambat (60 ketukan dasar per menit)—di samping rentak mak inang, zapin, lagu dua (joget), dan lain-lainnya. Bisa juga dimaknai dengan dendangan musik vokal secara umum.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



generasi berikutnya, tetapi juga dipergunakan untuk menyampaikan pesan dan petuah kepada masyarakat pendengarnya. Masyarakat Melayu Tanjungbalai yang hidup di pinggir pantai sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Pada umumnya sinandong ini hidup pada masyarakat nelayan. Masyarakat Tanjungbalai dikenal memiliki peradaban tinggi dan budi bahasa yang halus dan kecerdasan emosional di antaranya tercermin melalui karya-karya sastra tradisi lisannya. Karya sastra lisan ini berfungsi sebagai medium untuk menyampaikan nilai-nilai peradaban Melayu berupa pantun, mantra, jampi, dan sebagainya yang dapat disinandongkan atau dinyanyikan. Kedudukan dan fungsi sinandong dalam dekade terakhir semakin tergeser akibat kemajuan teknologi informasi, sistem budaya, sistem sosial, dan sistem politik yang berkembang saat ini. Apalagi dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sedang membangun. Berbagai bentuk kebudayaan lama termasuk sinandong, bukan mustahil akan terabaikan di tengah-tengah kesibukan pembangunan dan pembaharuan yang makin meningkat, sehingga dikhawatirkan sinandong yang penuh dengan nilai-nilai, norma-norma, dan adat istiadat, lama kelamaan akan hilang tanpa bekas (Erwany, 2012 : 68). Masyarakat terutama muda-mudi sudah tidak tertarik lagi dengan sinandong, mereka lebih suka mendengarkan musik melalui media elektronik. Hal ini dapat dibuktikan dengan hanya sedikit masyarakatnya yang mengetahui tentang sinandong ini. Masyarakat yang mengetahuinya pun hanya tergolong kepada masyarakat golongan tua dan itu pun tidak semua mengetahuinya, hanya orang-orang tertentu saja.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Mengingat kedudukan dan peranan sinandong yang cukup penting sebagai aset budaya, maka penelitian mengenai sinandong



perlu dilakukan sesegera



mungkin. Terlebih lagi bila diingat terjadi senantiasa perubahan dalam masyarakat, seperti adanya kemajuan-kemajuan dalam bidang teknologi, televisi, dan internet yang dapat menyebabkan hilangnya sinandong di Asahan. Dengan adanya penelitian sinandong berarti melakukan penyelamatan sinandong dari kepunahan, yang dengan sendirinya merupakan usaha pewarisan nilai budaya suatu suku atau bangsa. Sinandong sebagai penafsiran tentang kehidupan masyarakat sudah tentu bisa dikaji dari berbagai sudut dengan teori yang beragam. Pada kesempatan ini, penulis akan menganalisisnya dengan menggunakan kajian arketipe. Sinandong bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat. Akan tetapi, sinandong bukanlah hanya mengungkapkan kenyataan itu saja, di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung dari sekedar kenyaan hidup itu. Jati diri suatu bangsa, dalam berbagai kemungkinan skala, adalah sesuatu yang sekaligus ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a) warisan budaya yang berupa hasil-hasil penciptaan di masa lalu, dan (b) hasi-hasil daya cipta di masa kini yang didorong, dipacu, ataupun dimungkinkan oleh tantangan dan kondisi aktual dari jaman sekarang (Sedyawati, 2010:379). Satuan etnik pada dasarnya adalah suatu satuan kebangsaan jika dipahami bahwa suatu bangsa ditandai oleh kebudayaannya. Sebagai tanda jati diri maupun sebagai tanda pembeda dengan bangsa lain. Namun, dalam penggunaan istilah itu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perlu diingat bahwa setidaknya ada tiga varian pengertiannya. Pertama, dalam arti sama dengan satuan etnik. Kedua, dalam penggunaannya dalam teks-teks Melayu didapatkan pengertian bahwa ‗bangsa‘ adalah suatu golongan dalam masyarakat yang diperbedakan oleh status. Contoh, penggunaan kata ‗bangsawan‘ dalam arti golongan kalangan atas dalam masyarakat, yang keturunan raja-raja. Ketiga, dalam wacana modern, kata ―bangsa‖ itu dipakai dalam arti nation yaitu satuan warga dari suatu negara. Jadi, melalui sebuah karya dapat dilihat jati diri sebuah bangsa, misalnya melalui sinandong ini, penulis akan melihat jati diri masyarakat pendukungnya. Kearifan lokal hendaknya diartikan sebagai kearifan dalam kebudayaan tradisional. Dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata ―kearifan‖ hendaknya dimengerti dalam arti luas, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut, maka yang termasuk penjabaran ‗kearifan lokal‘ itu, di samping peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka diartikan bahwa kearifan lokal itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible (warisan benda) maupun yang intangible (warisan tak benda). Seluruh hasil budaya



suatu (suku) bangsa adalah sosok dari jati diri



pemiliknya. Namun, jadi diri bangsa itu bukanlah sesuatu yang harus statis. Ungkapan-ungkapan budaya dapat mengalami perubahan, fungsi-fungsi dalam



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berbagai pranata dapat pula mengalami perubahan. Perubahan itu dapat terjadi oleh rangsangan atau tarikan dari gagasan-gagasan baru yang datang dari luar masyarakat yang bersangkutan. Pada suatu titik, rangsangan dan tarikan dari luar itu bisa amat besar tekanannya sehingga yang terjadi bisa bukan saja pengayaan budaya, melainkan justru mencabut akar budaya untuk diganti dengan isi budaya yang sama sekali baru dan tidak terkait dengan aspek tradisi yang manapun. Jika itu yang terjadi, warisan budaya sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk membentuk jati diri bangsa. Situasi yang lebih lunak dapat terjadi, yaitu jati diri budaya lama berubah oleh pengambilalihan unsur-unsur budaya lain secara agak besar-besaran (akulturasi), yang pada gilirannya membentuk suatu sosok baru, namun masih membawa serta sebagian warisan budaya lama yang dapat berfungsi sebagai ciri identitas yang berlanjut. Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah citra arketipe dan atau citra primordial. Secara historis, ciri-ciri arketipe masuk dalam analisis karya sastra melalui dua jalur. Pertama, melalui psikologi analitik Jung, kedua antropologi kultural Frazer. Tradisi pertama menelusuri jejak-jejak psikologis, tipologi pengalaman yang tampil secara berulang, sebagai ketaksadaran rasial, seperti: mitos, mimpi, fantasi, dan agama, termasuk karya sastra. Tradisi yang kedua menelusuri pola-pola elemental mitos dan ritual yang pada umumnya terkandung dalam legenda dan seremoni. Dalam karya sastra gejala ini tampak melalui deskripsi pola-pola naratif, tipologi tokohtokoh.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Wilber Skott menjelaskan arketipe menjurus kepada pencarian makna simbol, ritual, dan unsur-unsur tradisi dalam karya sastra. Arketipe lebih tertumpu kepada analisis yang bersifat mengkaji manusia, dengan tindak tanduknya daripada mengkaji unsur intrinsik dan estetik karya sastra. Manusia dalam setiap zaman tidak akan terlepas dari nilai budaya yang dibentuknya yang dapat memberi arti pada bangsa itu sendiri. Begitu juga dengan nilai budaya itu sendiri mempunyai hubungan dengan kejiwaan manusia. Sebagaimana menghormati dan bangga terhadap amalan-amalan tradisi nenek moyang, begitu juga dalam tradisi penulisan. Sepanjang hayat manusia ada aspek-aspek yang masih mendapat tempat pada jaman modern ini, meskipun sudah diciptakan berpuluh-puluh abad lamanya. Cerita yang telah dihasilkan pada jaman sebelum manusia mengenal tulisan, di jaman Yunani kuno telah dihidupkan kembali dan mendapat tempat yang besar di kalangan pembaca. Bentuk penulisan yang sudah klasik seperti yang dicipta oleh Shakespeare, sepanjang jaman terus ditulis dan mendapat menggemar yang baru (Sikana, 2009:138). Kajian arketipe menekankan analisisnya pada aspek-aspek pengulangan naluri dalam penciptaan sebuah karya sastra. Archetipe bermakna ―bentuk yang bersejarah‖ atau ―bentuk asli yang digunakan berulang kali oleh pengarang.‖ Oleh karena itu, kajian ini mencoba menguraikan aspek bentuk yang bersejarah atau masa lampau dari sinandong Asahan. Kajian arketipe ini bermula dari teori C.G. Jung, yang membahas tentang simbol-simbol, pengalaman-pengalaman asli, mitos, legenda, unsur tradisi, dan psikologi pembaca. Kajian ini memperkenalkan bawah sadar kelompok (collective



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



unconscious) yang dimiliki secara naluriah oleh pembaca. Rangsangan bawah sadar ini diistilahkan sebagai imej dasar atau primodial images yang terbentuk melalui pengalaman nenek moyang dan diwarisi dari satu generasi ke generasi (Sikana, 2009:140). Relevansi kritik arketipe terutama berfungsi sebagai energi kreativitas. Sebagai kualitas ketaksadaran, citra arketipe tidak mesti dianggap sebagai gejala yang statis. Benar, citra arketipe merupakan pemahaman apriori, tetapi manifestasinya baik sebagai representasi mimpi dan fantasi, kreasi dan imajinasi, maupun



sebagai



cerita



rakyat



dan



fiksi



modern,



secara



keseluruhan



dienergisasikan oleh ketaksadaran, berfungsi dalam proses produksi dan kreativitas. Citra arketipe dengan demikian melibatkan tiga disiplin yang berbeda, sejarah, psikologi, dan antropologi. Atas dasar struktur historis, dengan mempertimbangkan otoritas ras, suku, keluarga, dan kelompok-kelompok sosial lainnya, arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan dasar manusia untuk mempertahankan kualitas survivalnya. Atas dasar struktur psikologisnya, dengan mempertimbangkan evolusi struktur biologis, khususnya otoritas genetika, arketipe tampil sebagai salah satu kecenderungan manusia untuk mempertahankan jejak masa lampau, khususnya insting. Jelas citra arketipe juga memiliki kaitan erat dengan antropologi sosial, termasuk ketaksadaran Levi-Strauss. Sastra adalah bagian integral kebudayaan, menciptakan berbagai aspek kehidupan dengan cara imajinatif kreatif, sekaligus masuk akal. Antropologi mempermasalahkan karya sastra dalam hubungannya dengan manusia sebagai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



penghasil kebudayaan. Manusia yang dimaksudkan adalah manusia dalam karya, khususnya sebagai tokoh-tokoh. Dalam hubungan inilah karya sastra merupakan sebagai studi multikultural, sebab melalui karya sastra dapat dipahami keberagaman manusia dengan kebudayaannya. Dengan demikian, penelitian ini membahas tentang bentuk tradisi, simbol, jati diri orang Melayu, kearifan lokal, revitalisasi, dan kebudayaan yang terkandung dalam tradisi malam berinai dan teks sinandong di Tanjungbalai yang akan dianalisis dengan menggunakan teori arketipe dan semiotik.



1.2 Rumusan Masalah Untuk mendapatkan hasil penelitian yang terarah, maka diperlukan suatu fokus penelitian atau rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah performansi tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai? 2. Bagaimanakah kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai? 3. Bagaimanakah model revitalisasi tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai? 4. Bagaimanakah



citra arketipe orang Melayu Tanjungbalai dalam



sinandong?



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan performansi tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. 2. Menganalisis kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. 3. Menganalisis model revitalisasi tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. 4. Menganalisis citra arketipe orang Melayu Tanjungbalai dalam sinandong.



1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1.4.1



Manfaat Teoretis Secara teoretis, temuan penelitian diharapkan bermanfaat untuk:



1. Memperkaya khasanah penerapan teori arketipe dalam kajian sastra. 2.



Dijadikan model penelitian arketipe sastra terhadap kajian karya sastra yang lain.



3. Sumber acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya terhadap sinandong Melayu.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1.4.2



Manfaat Praktis



1. Hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang performansi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai 2. Hasil penelitian ini dapat memberi infomasi kepada penikmat dan pembaca tentang citra arketipe dan jati diri orang Melayu. 3. Karya sastra sebagai salah satu produk budaya juga sangat berperan dalam membentuk kepribadian masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia khususnya kabupaten kota terkait untuk mengambil kebijakan dalam bidang kebudayaan. 4. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh pemerintah kabupaten kota untuk dijadikan sebagai khazanah pelestarian budaya daerah.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI



2.1 Kajian Pustaka Pengkajian terhadap malam berinai dan sinandong Melayu ini sudah mulai banyak dilakukan orang. Dari pengamatan penulis tentang



terdapat beberapa kajian



malam berinai dan sinandong Asahan ini. Pertama, penelitian yang



dilakukan oleh Lela Erwany (FIB USU dan Balai Bahasa Medan, 2014) yang dimuat dalam



Proceedings International Conference, yang berjudul ―The



Revitalization of Bersinandong Tradition at Night Nail Decorating in Tanjungbalai Weeding Ceremony.‖ Hasil menelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa model revitalisasi yang bisa dilakukan agar sinandong ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Kedua, penelitian lain yang dilakukan oleh Lela Erwany (UMSU, 2013) meneliti citra arketipe dalam sinandong yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang berjudul ―Citra Arketipe Sinandong Hiburan dalam Sinandong Asahan Melayu Batubara‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa citra arketipe dalam sinandong



Asahan di Batubara. Penelitian ini berguna untuk



menganalisis citra arketipe yang terdapat dalam sinandong di Tanjungbalai, karena pada dasarnya Sinandong Asahan yang ada di Tanjungbalai sama dengan yang ada di Batubara.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Ketiga, penelitian lain juga dilakukan oleh Lela Erwany (UMSU, 2012) meneliti sinandong Melayu yang dimuat dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV, Edisi Januari, yang berjudul ―Strukturalisme Dadong Sinandong Asahan Tanjung Balai‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kepaduan dan koherensi antara penggunaan diksi, tipografi, pencitraan, dan kelugasan pengungkapan dalam sinandong tersebut yang bisa penulis pergunakan sebagai data awal untuk kajian intrinsik dalam penulisan disetasi ini. Keempat, Sahril (Balai Bahasa Medan, 2007) meneliti sinandong Melayu yang dimuat dalam Medan Makna Volume 4 yang berjudul ―Sinandong dan Estetika Melayu‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi estetik yang berkaitan dengan karakteristik masingmasing masyarakat. Kesamaan yang diperoleh dari penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terhadap sinandong Asahan ini adalah ekspresi estetik yang terdapat dalam sinandong tersebut bisa penulis jadikan sebagai dasar untuk mengkaji unsur intrinsik yang dapat dalam sinandong tersebut. Kelima, Rospita Sari Dewi (UMN, 2015) dalam tesisnya yang berjudul ―Representasi Nilai-nilai Sosial dan Budaya dalam Sinandong Asahan di Batubara‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial dan budaya yang



terdapat dalam sinandong Asahan di Batubara adalah kepemimpinan,



stratifikasi sosial, bersyukur, nilai hedonik, nilai etis, moral dan religius, dan nilai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



praktis. Penelitian ini bisa peneliti manfaatkan sebagai bahan perbandingan untuk mengkaji sinandong di Tanjungbalai. Keenam, penelitian lain dilakukan oleh Tomi Vimika Putra (USU, 2015) dalam tesisnya yang berjudul ―Struktur Dan Fungsi Seni Gubang Dalam Kebudayaan



Masyarakat



Melayu



Tanjung



Balai‖.



Hasil



penelitian



ini



menunjukkan bahwa struktur seni gubang yang terdiri beberapa bentuk struktur musik dan tari gubang, hubungan antara musik dan tari pada seni gubang, pola lantai dan busana pada tari gubang. Gubang mempunyai empat fungsi hasil penelitian lapangan. Dari sepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam, tidak semua fungsi sesuai dengan gubang ini. Fungsi-fungsinya adalah fungsi penghayatan estetis, fungsi sebagai hiburan, sebagai fungsi kesinambungan budaya, dan fungsi ritual. Penelitian itu peneliti manfaatkan untuk mengkaji tari gubang yang digunakan sebagai pelengkap dalam upacara malam berinai. Ketujuh, Penelitian dilakukan oleh Miko Siregar (UI, 1996) dalam tesisnya yang berjudul ―Tabuik Piaman, Kajian Antropologis terhadap Mitos dan Ritual‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam satu kekhasan struktur ritual yang merupakan manifestasi masyarakat terhadap sistem tradisi. Hasil penelitian ini bisa penulis manfaatkan untuk menganalisis sistem ritual dalam masyarakat Melayu Batubara dan Tanjungbalai. Kedelapan, Kajian yang dilakukan oleh Eprison (USU, 2009) dalam tesisnya yang berjudul ―Jati Diri Masyarakat Kerinci dan Sastra Lisan Kerinci,‖



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



hanya membahas tentang jati diri masyarakat Kerinci dan nilai budaya yang terkandung dalam sastra lisannya saja. Hasil penelitian ini akan penulis manfaatkan sebagai perbandingan untuk melihat jadi diri masyarakat Melayu di Kabupaten Batu Bara dan Kodya Tanjung Balai melalui Sinandong Asahan. Kesembilan, Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Erni Yunita (USU, 2011) dalam tesisnya yang berjudul ―Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas, Provinsi Sumatera Utara‖. Penelitian ini menggunakan teori Semiotik C.S. Peirce dan analisis kearifan lokal teks mantra Pagar Diri, yang dapat penulis jadikan sebagai perbandingan dalam menganalisis teks Sinandong Asahan. Jadi, kajian terdahulu hanya membahas antropologi sastra terpisah dengan kajian psikologi sastra. Sedangkan kajian arketipe adalah gabungan antara kajian antropologi sastra dengan psikologi sastra. Dari uraian tentang hasil penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa orisinilitas penelitian dengan judul ―Tradisi Lisan Malam Berinai dan sinandong pada Masyarakat Melayu Tanjung Balai: Kajian Arketipe‖ dapat dipertanggungjawabkan.



2.2 Konsep 2.2.1 Tradisi Lisan Di tengah kemajuan peradaban umat manusia, yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan ilmu komunikasi modern, tradisi lisan sebagai kekuatan kultural merupakan sumber pembentukan peradaban dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini penting, karena tradisi lisan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dalam berbagai bentuknya sangat kompleks, mengandung tidak hanya cerita, mitos, legenda, dan dongeng, tetapi juga mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya kearifan lokal (local wisdom), sistem nilai, pengetahuan tradisional (local knowladge), sejarah, hukum, adat, pengobatan, sistem kepercayaan dan religi, astrologi, dan berbagai hasil seni. Sesungguhnya membicarakan suatu tradisi baik lisan maupun tulisan adalah suatu pembicaraan yang amat sukar dibatasi. Sebab tradisi dalam arti serangkaian kebiasaan dan nilai-nilai, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, boleh dikatakan hampir meliputi semua segi kehidupan suatu masyarakat tertentu. Pada segi lain kesulitan tampak bagaimana tradisi itu bergeser dan berubah mendapatkan semacam erosi dalam faktor-faktor yang sangat kompleks dan sukar dibatasi batas waktunya. Tradisi lisan merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang muncul dalam bentuk lisan. Sepanjang sejarahnya manusia selalu perlu berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi diri dan kelompok sosialnya. Ekspresi lisan merupakan satu-satunya sarana paling efektif untuk maksud-maksud tersebut, karena pada saat itu belum dikenal tulisan. Cerita dan berbagai bentuk yang kini dikenal sebagai hasil kesusastraan pun diekspresikan secara lisan, misalnya dengan cara diceritakan atau dinyanyikan secara keras di hadapan sekelompok masyarakat pendukungnya pada waktu-waktu tertentu yang dilakukan oleh tukang cerita (Nurgiyantoro, 2005:163-164).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Hal demikian terjadi secara universal dan dapat disaksikan adanya berbagai cerita lama, atau yang dikenal sebagai sastra tradisional dari berbagai belahan dunia. Cerita-cerita tradisional ini dapat berupa legenda, mitos, fabel, dan berbagai cerita rakyat yang lain yang disebut folklore atau folklor. Bruchac (Nurgiyantoro, 2005:164) mengemukakan bahwa, folklore merupakan jenis pengetahuan tradisional yang disampaikan dari lisan ke lisan dalam sebuah komunitas masyarakat kecil yang terisolasi. Berbagai pengetahuan tersebut dapat disampaikan lewat nyanyian, permainan, cara berbicara, dan adat istiadat sebagaimana halnya sebuah mitos atau legenda. Vansina (1961:1) menjelaskan bahwa tradisi lisan adalah, Oral traditions are historical sources of a special nature. Their special nature derives from the fact that they are 'unwritten' sources couched in a form suitable for oral transmission, and that their preservation depends on the powers of memory of successive generations of human beings. (Tradisi lisan merupakan sumber sejarah yang bersifat khusus. Sifat khususnya berasal dari fakta bahwa sifat khusus itu adalah sumber 'tidak tertulis' yang ditulis dalam bentuk yang sesuai untuk transmisi oral, dan bahwa pelestarian mereka tergantung pada kekuatan memori dari generasi mendatang). Berkenaan dengan hubungan antara tradisi lisan dan sejarah tertulis (written history) Vansina(1961:1-7) memulai pembahasannya dengan mencatat beberapa nama7 yang telah mengabdikan diri mereka pada beberapa penelitian terdahulu tentang tradisi lisan terutama tradisi lisan yang dikaitkan dengan nilainya sebagai sumber material sejarah (historical source material). Vansina



7



Nama-nama tersebut adalah E. Bernheim (1908), A. Feder (1924), dan W. Bauer (1928). Karya Bernheim adalah Lehrbuch der historischen Methode und der Geschichtsphilosophie(Buku Teks tentang Metode Sejarah dan Filsafat Sejarah) dan diterbitkan di Leipzig; Feder menulis buku dengan judul Lehrbuch der geschichtlichen Methodik (Buku Teks tentang Metodologi Sejarah) yang diterbitkan di Regensburg, dan Bauer menelurkan sebuah karya dengan judul Einfuhrung in das Studium der Geschichte (Pengantar Studi Sejarah) dan diterbitkan di Tubingen.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menerima pendapat Bernheim tentang unsur-unsur tradisi lisan: narasi (narratives), legenda, anekdot, peribahasa, dan syair atau lagu pendek yang berkenaan dengan sejarah (historical lays) dan khusus tentang narasi ia membedakan narasi dari pihak pertama (first-hand), laporan saksi mata (eyewitness report), dan sumber-sumber lainnya, misalnya, pihak kedua (secondhand) dan laporan kejadian berdasarkan desas-desus (hearsay reports of events). Sementara itu, Finnegan (1992: 5) mendefinisikan ―lisan‖ (oral) sebagai ‗uttered in spoken words; transacted by word of mouth; spoken, verbal‘ (kata-kata yang diucapkan; kata-kata yang diucapkan dengan mulut; terucap, verbal). Finnegan berpendapat bahwa ‗lisan‘ (oral) ―sering dikontraskan dengan ‗tertulis‘ (written) atau ―lisan juga dikontraskan dengan segala sesuatu yang tidak verbal atau tidak didasarkan atas kata-kata ...‖ Dengan demikian, maka ―'lisan' juga memenuhi syarat secara umum seperti 'teks', 'puisi', atau 'narasi' baik menekankan perbedaan antara bentuk tertulis dan lisan atau menggambar mereka dalam perspektif komparatif yang sama‖ (Finnegan, 1992: 5). Sementara tentang kelisanan (orality) Finnegan (1992: 6) menyatakan pendapatnya sebagai berikut: This [orality] implies a general contrast with ‗literacy‘, sometimes associated with assumptions about the social and cognitive characteristics of oral communication or the significance of oral culture witihin broad stages of historical development‖ (Ini [kelisanan] memiliki perbedaan umum dengan ‗keberaksaraan‘, kadang-kadang diasosiasikan dengan asumsi-asumsi tentang ciri-ciri sosial dan kognitif dari komunikasi lisan atau [tentang] kepentingan dari budaya lisan [dimana asumsi-asumsi itu hidup] di dalam tahapan-tahapan luas dari perkembangan sejarah).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Finnegan membuat beberapa batasan definisi tentang ‗tradisi‘ dan pandangannya tentang ‗tradisi‘ ini banyak dipengaruhi oleh beberapa pakar, misalnya, Vansina, Henige, Ben-Amos, Shils dan lain-lain. Pandangannya tentang tradisi adalah It [tradition] is used, variously, of: ‗culture‘ as a whole; any established way of doing things whether or not of any antiquity; the process of handing down practices, ideas or values; the products so handed down, sometimes with the connotation of being ‗old‘ or having arisen in some ‗natural‘ and non-polemical way (Finnegan, 1992: 7) (Ini [tradisi] bagaimanapun memiliki banyak arti yang berbeda. Ia digunakan, dalam berbagai variasi, misalnya: 'budaya' secara keseluruhan; cara yang btelah ditetapkan untuk melakukan sesuatu atau tidak kuno; proses penanganan tentang praktik, ide-ide atau nilai-nilai; produk yang diturunkan (diwariskan), kadang-kadang dengan konotasi menjadi 'tua' atau telah muncul dalam beberapa cara 'alami' dan non-polemik). Ketika kata ini bertemu dengan kata ‗lisan‘ maka terbentuklah istilah ‗tradisi lisan‘ (oral tradition) yang dipandang penting untuk diperjelas dan oleh karena itu, Finnegan berusaha keras untuk mendudukkan pengertian istilah ‗tradisi lisan‘ seperti yang terlihat di bawah ini, [Oral tradition] implies the tradition in questions is in some way 1) verbal or 2) non-written (not necessarily the same thing), sometimes also or alternatively 3) belonging to the ‗people‘ or the ‗folk‘, usually with the connotation of non-educated, non-elite, and/or 4) fundamental and valued, often supposedly transmitted over generations, perhaps by the community or ‗folk‘ rather than conscious individual action (Finnegan, 1992: 7) [Tradisi lisan] menyiratkan tradisi dalam beberapa cara 1) lisan atau 2) tidak tertulis (tidak harus hal yang sama), kadang-kadang juga atau pilihan lainnya 3) milik 'orang' atau 'rakyat', biasanya berkonotasi dengan non-pendidikan, non-elit, dan / atau 4) yang mendasar dan dihargai, sering diduga menular dari generasi ke generasi, mungkin oleh masyarakat atau 'rakyat' daripada aksi individu secara sadar). Finnegan menganggap bahwa istilah ini tumpang tindih dengan tradisi lisan, misalnya, dua implikasi



dari kesusasteraan lisan adalah



untuk



memberi penekanan pada aspek ‗literatur‘ atau ‗seni‘ dan juga memberi ruang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bagi tindakan kreatif oleh individu-individu dan bagi bentuk-bentuk baru dan juga lama. Menurut Tim Peneliti Kajian Tradisi Lisan (2005:13) di dalam Pedoman Kajan Tradisi Lisan, Penyusunan rancangan penelitian dalam Kajian Tradisi Lisan pada dasarnya merujuk pada: RPJPN (Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025, yang diturunkan pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014. Semua ini diharapkan agar dapat menghasilkan kajian yang dapat digunakan untuk menjawab masalah persiapan menghadapi berbagai perubahan di Indonesia. Pada RPJMN 2010-2014, mencakup kegiatan memantapkan kembali NKRI, membangun



kemampuan



IPTEK, dan memperkuat daya saing nasional. RPJMN tersebut secara tidak langsung mengandung arti pentingnya transformasi sekaligus inovasi bidang sosial budaya menjadi fokus dalam kajian-kajian yang diperlukan.



2.2.2 Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai Malam berinai adalah upacara pemberian inai kepada calon pengantin yang dilakukan sebelum pengantin disandingkan di pelaminan esok harinya. Malam Berinai biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah selesai sholat Isya. Malam berinai menjadi bagian yang sangat penting dalam acara memberi tanda kepada pengantin. Acara memberi tanda kepada pengantin sudah dikenal masyarakat Melayu sejak berabad silam. Acara ini kemudian dikenal sampai sekarang dan lazim disebut malam berinai. Malam berinai hanya dilaksanakan di rumah calon mempelai wanita. Sedangkan di rumah calon mempelai laki-laki



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tidak diadakan upacara malam berinai. Pengantin laki-laki mendapatkan inai dari calon pengantin wanita, yang diantarkan oleh utusan dari calon pengantin wanita. Pengantin laki-laki diinai oleh pihak keluarganya. Pemberian inai kepada pengantin wanita adalah upaya memberi tanda kepada pengantin sekaligus sebagai restu keluarga untuk mengizinkan calon pengantin mendirikan rumah tangga baru. Di samping itu, malam berinai adalah sebagai ucapan syukur dan meminta doa kepada Allah SWT agar pelaksanaan perkawinan keesokan harinya berjalan dengan lancar, dijauhkan dari segala halangan dan rintangan. Tata cara berinai ada tiga, yaitu: a. berinai curi, Berinai curi dilakukan oleh keluarga tanpa mengundang tamu dan tidak dilakukan di pelaminan. Berinai ditafsirkan untuk menambah semangat calon pengantin dan mengusir setan dan roh ghaib. Setelah menikah, inai adalah ikon untuk pengantin baru. b. berinai kecil Berinai kecil dilakukan calon pengantin dengan memakai pakaian tengkuluk untuk laki-laki dan untuk perempuan memakai kebaya dan selendang (jilbab). Berinai ini dilakukan di rumah calon pengantin masing-masing di atas pelaminan yang dihadap oleh sanak keluarga. Setiap orang menepungtawari dan melekatkan inai di telapak tangan calon pengantin. Yang diinai adalah jari kaki dan pinggir tapak kaki serta jari tangan dan telapak tangan. Hiasan inai di telapak tangan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bermacam-macam bentuknya tergantung kepada keahlian si penginai dan permintaan calon pengantin. Berinai kecil maksudnya adalah menginai calon pengantin laki-laki dan perempuan sebelum waktu diinaikan. Sedangkan waktu berinai yang



sebenarnya



adalah



setelah



acara



tepuk



tepung



tawar



dilaksanakan. Biasanya pelaksanaan berinai kecil dilakukan sehari sebelum prosesi akad nikah. Pelaksanaannya dilakukan oleh satu orang atau beberapa orang saudara mara calon pengantin baik laki-laki maupun perempuan. Maksud berinai kecil ( inai curi atau inai sendi ) adalah sebagai pertanda bahwa calon penganti telah siap memasuki gerbang pernikahan dan karena itulah yang diinai hanya pada ujung jari jemari saja dan tidak sampai pada telapak tangan dan telapak kaki. c.



berinai besar. Sebelum berinai besar, pihak perempuan mengantar inai kepada pihak pengantin laki-laki. Dalam upacara ini, calon penantin diinai di rumah masing-masing. Ditepungtawari dan diinai secara bergantian oleh kaum keluarga terutama kaum perempuan. Biasanya pesta berinai besar ini dilakukan pada malam sehari sebelum pesta perkawinan dilakukan. Malam pesta berinai besar ini dimeriahkan oleh bunyibunyian dan di depan calon pengantin dipersembahkan ―Tari Gubang‖.



Dahulu, malam berinai dilaksanakan tiga malam berturut-turut untuk menghasilkan warna inai yang sempurna. Selaras dengan perkembangan zaman,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sekarang hanya dilakukan satu malam saja, yaitu malam berinai besar yang dilaksanakan pada malam sehari sebelum duduk bersanding dilaksanakan. Apalagi sekarang sudah ada inai yang berbentuk gel yang sangat praktis dalam pemakaiannya dan menghasilkan warna yang sempurna. Sebelum upacara pemberian inai, biasanya dipersembahkan beberapa pertunjukan dan dimeriahkan dengan tari-taian, kasidah, dan sinandong. Tari Gubang ditarikan didepan pengantin. Tari Gubang adalah tarian khusus yang dipersembahkan kepada calon pengantin pada malam berinai yang dilaksanakan di Tanjungbalai. Upacara atau acara pemberian inai kepada pengantin ini lazim disebut "malam berinai." Upacara pemberian inai yang didahulukan oleh Tari Gubang ini sangat khusus. Sebab acara ini hanya ada dalam malam berinai dan tidak ditemukan dalam acara lain dalam persembahan seni kepada masyarakat luas. Karena keistimewaan acara itu, maka penyajian Tari Gubang tidak seperti penyajian tari-tari Melayu lainnya yang dapat ditampilkan dimana saja dan kapan saja. Tari Gubang memiliki ruang dan alamnya sendiri yang kemudian mengkhususkan kedudukannya. Di daerah Melayu lainnya, tari ini disebut tari inai. Tari inai adalah tari yang nyaris ada di semua daerah Melayu di Sumatera Utara seperti Langkat, Deli, Serdang, Asahan, maupun Labuhan Batu. Masing-masing masyarakat Melayu di daerah-daerah tersebut membentuk Tari Inai sesuai dengan alam, ungkapan dan falsafah yang dimilikinya. Oleh karena itu Tari Inai bisa sangat beragam. Antara daerah Melayu yang satu dengan daerah Melayu lainnya memiliki persamaan dan perbedaan. Baik penamaan ragamnya, istilah geraknya, garis edar pola lantainya,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sampai kepada properti yang digunakannya. Meski demikian keberadaan Tari Inai dimanapun tetap sama, yaitu sebagai bagian dari prosesi pemberian tanda kepada pengantin wanita.



2.2.3 Sinandong Sinandong merupakan produk sastra lisan yang masih hidup dan berkembang dalam masyarakat Melayu tradisional. Sinandong dianggap sebagai ciptaan orang Melayu, walaupun pada awalnya mendapat pengaruh dari Arab. Sinandong yang berkembang dalam masyarakat Melayu sudah disesuaikan dengan bentuk puisi orang Melayu. Sinandong adalah sebuah ragam tradisi lisan berupa syair nyanyian yang isinya



menceritakan



tentang



perihal



kehidupan



masyarakat.



Di



dalam



pengucapannya memakai pantun dan mantra disertai kata-kata interjeksi dan suku kata tanpa arti (non-meaning syllables). Berdasarkan asal usulnya sinandong mengandung foklor dengan berbagai versinya. Dalam konteks budaya Melayu Asahan, sinandong ini dibagi ke dalam beberapa jenis yaitu: 1. Sinandong mengenang nasib, sinandong yang dinyanyikan oleh seorang ibu yang mengenang nasibnya akibat kesusahan. 2. Sinandong anak atau dadong, sinandong yang dinyanyikan oleh seorang ibu pada saat menidurkan anak. 3. Sinandong nelayan atau didong, nyanyian nelayan untuk memanggil (memuja) angin.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. Sinandong pengobatan atau gubang, nyanyian yang berfungsi untuk memanggil roh-roh untuk memanggil orang sakit. 5. Sinandong muda mudi, jenis nyanyian yang dinyanyikan bersama-sama dalam suatu permainan nek gobek pada saat bulan purnama. 6. Sinandong dobus, sinandong yang dinyanyikan sehabis bermain dobus oleh salah seorang anggota dobus. 7. Sinandong hiburan, sinandong yang dinyanyikan pada waktu-waktu tertentu dalam acara perkawinan, mencukur anak, dan lain-lain (Sahril, 2007:79-82). Dari hasil pelacakan maka ditemukan asal mula sinandong dalam sinandongmanca.blogspot.com. Asal mula sinandong ini berkaitan erat dengan asal mula lagu Aloban Condong, Tari Gubang, dan Tari Patam-patam. Folklor ini dibagi dua bagian. Bagian I menceritakan peristiwa di laut dan Bagian II menceritakan peristiwa di darat sebagaimana tertera berikut ini: Konon menurut cerita yang mempunyai kisah, ada 3 orang nelayan yang mencari nafkah hidupnya menangkap ikan ke laut. Mereka bertiga menggunakan sebuah sampan berwarna hitam dengan memakai layar putih yang terbuat dari kain belacu, mengadu nasib dengan pertarungan sengit, dibuai ombak dan hempasan badai. Mereka duduk di dalam sampan, seorang duduk di buritan (diberi nama si buritan), seorang duduk ditengah (diberi nama si timba ruang), dan seorang lagi duduk di muka (diberi nama si haluan). Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal. Dari



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu. Dengan rasa kecut, mereka berpikir tidak akan sampai lagi ke laut. Kalaulah diteruskan mereka akan mati kelaparan. Di dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka, Si Haluan duduk memegang bangsi (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai meniup bangsinya, menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan. (Kata bagese akhirnya berubah menjadi bangsi) sedangkan si Timba Ruang terus saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali mengangkat sampan mereka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali dengan tiada ampunnya. Si Buritan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan memuja angin meminta pertolongan. Lagu ini akhirnya dinamai lagu Didong seperti contoh berikut ini: Oooooiiii... Batolurlah engkau Sinangin Oooooiiii Batolurlah engkau sepanjang pantai Oooooiiii Bahombuslah hai engkau angin Oooooiiii Bahombuslah engkau angin Supayo lokas kamilah sampai... Lagu Didong adalah lagu memanggil angin. Sekonyong-konyong angin mulai berhembus lemah, dan mereka mulailah mengembangkan layarnya untuk kembali ke darat. Pulanglah mereka kembali dengan bekal yang hampir habis. Dalam perjalanan pulang Si Buritan pun menyenandungkan akan nasib



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



peruntungnan yang menimpa diri mereka bertiga. Sedangkan Si Haluan seolaholah tidak memperdulikan lagi tentang nasib mereka itu, dan ia telah dihanyutkan oleh angin tiupan bangsinya, yang mengalun-alun mengimbangi sinandong Si Buritan, Si Timba Ruang terus saja melaksanakan tugasnya meimba air air yang masuk kedalam sampan, karena pakal (tali penyumbat) sampannya ada yang tanggal, yang menyebabkan air masuk ke dalam sampan, karena begitu kerasnya ia menimba air itu, tak ubahnya seperti bunyi pukulan gendang. Tingkah perbuatan mereka merupakan suara musik yang sangat merdu didengar dan sangat memilukan hati bagi yang mendengarnya. Kekuatan daya tarik yang membuat lagu ini sangat terkesan dihati disebut pitunang yakni orang dapat terpukau dan tidak sadarkan diri jika mendengarkan lagu itu. Sinandong ini terdengar sampai jauh sekali dibawa angin.



2.2.4 Adat Perkawinan Melayu di Tanjungbalai Adat perkawinan Melayu yang dilaksanakan di Tanjungbalai pada umumnya sama dengan upacara menurut adat istiadat masyarakat budaya Melayu yang ada di Pesisir Timur Sumatera. Terdapat beberapa variasi yang tidak menjadi dasar perbedaan yang berarti. Orang Melayu itu adalah mereka yang beragama Islam, yang berbahasa sehari-hari berbahasa Melayu dan yang melaksanakan adat budaya Melayu. Masyarakat budaya Melayu adalah kesatuan etnis8 berdasarkan



8



Etnik, kelompok etnik (ethnic group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi (misalnya Narroll, 1964), adalah sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain. Dalam konteks menganalisis



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kultural bukan berdasarkan geneologis serta memakai hukum kekerabatan parental. Adat-istiadat atau budaya yang diterima di jaman animisme, Hinduisme, dan Budhaisme, sedikit demi sedikit disesuaikan dengan hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam, sehingga budaya Melayu ini menjadi sebagian dari peradaban atau civilisation Islam (Basarshah-II, 2007:1). Masyarakat Melayu begitu berpegang teguh dengan adat resam kerana ia dipercayai mempunyai kesan dalam kehidupan. Bagi masyarakat Melayu, adat resam perkawinan begitu dititikberatkan. Sesuatu upacara dalam peringkat perkahwinan itu akan dijalankan dengan meriah dan penuh adat istiadat. Sanak keluarga, handai dan tolan akan memeriahkan adat perkawinan tersebut. Sebuah keluarga yang ideal terdiri dari orangtua dan anak-anak. Jika di dalam keluarga tersebut seorang anak perempuan atau pemuda yang sudah akhil balihg, maka tibalah saatnya untuk mempercepat agar mereka berumah tangga. Apalagi jika ada anak perempuan yang sudah berumur dua puluh tahun, karena umumnya gadis-gadis Melayu jaman dahulu kawin sebelum mereka berumur dua puluh tahun. Perkawinan bagi masyarakat pesisir bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia, tetapi juga merupakan pelaksanaan ajaran Islam dan kegiatan sosial yang besar. Dalam ajaran Islam, perkawinan merupakan perbuatan kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial, dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkesimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang sangat dianjurkan, bahkan nabi Muhammad SAW bersabda, "jika di antara kamu melangsungkan pernikahan berarti kamu telah melaksanakan separuh dari ajaran Islam.‖ Selain untuk mencegah perbuatan dosa, menikah juga bisa menambah keluasan rezeki. Beberapa hari sebelum peristiwa perkawinan ini berlangsung, semua handai tolah dan sanak keluarga telah berkumpul di tempat pesta adat akan berlangsung. Karena peristiwa perkawinan juga merupakan bersatunya dua keluarga menjadi satu keluarga yang lebih besar dan terkadang juga merupakan perwujudan satu peristiwa politik (mengenai perkawinan putra-putri raja-raja), maka berbagai kegiatan seni (seni hias, seni ukir, sulaman, dan lain-lain) diperagakan di sini oleh orang yang tua dan kemudian menjadi pedoman bagi generasi yang muda (Basarshah-II, 2007:5). Upacara perkawinan pihak bangsawan (raja-raja) tentu sedikit berbeda dengan orang biasa tetapi hanya di dalam semaraknya upacara, dalam busana, hiasan aksesoris emas dan berlian yang serba gemerlapan, dan berlangsungnya hari-hari pesta. Di zaman sebelum Perang Dunia Ke-2, wanita golongan bangsawan Melayu haruslah kawin dengan sesama golongan bangsawan juga. Jika wanita bangsawan kawin dengan taraf masyarakat yang lebih rendah, berlakulah istilah ―tidak kufu‖ dalam Islam, sehingga merupakan suatu pelanggaran dalam adat dan perkawinan itu dipisah oleh mahkamah kerajaan (Kerapatan Adat) dan mereka diceraikan serta yang laki-laki dihukum penjara. Tetapi perkawinan seperti itu menjadi legal jika dengan ijin raja, karena status pria tersebut dinaikkan menjadi bangsawan karena sebab-sebab pengabdiannya yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



luar biasa terhadap kerajaan. Anak yang lahir dari perkawinan ini diberi gelar ―Wan‖ atau ―Megat‖ sampai kepada anak cucunya (Basarshah-II, 2007:5). Adapun fungsi raja dalam kerajaan Melayu adalah sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala agama Islam, dan sebagai kepala adat. Untuk urusan pemerintahan sehari-hari raja dibantu oelh Dewan Diraja, terdiri dari Raja Muda/Putera Raja, Bendahara, Temenggung, Sri Maharaja, dan para Datuk/Wazir lainnya. Sebagai kepala agama Islam, maka raja dibantu oleh Mufti Besar dan para Kadhi atau Majelis Syar‘i. Adapun adat-istiadat perkawinan menurut budaya Melayu yang terdapat di pesisir Sumatera Timur adalah sebagai berikut: 1. Merisik dan Penghulu Telangkai 2. Jamu Sukut 3. Meminang 4. Ikat janji 5. Mengantar bunga sirih 6. Berinai: a. Berinai curi b. Berinai tengah c. Berinai besar 7. Akad Nikah 8. Berandam dan mandi berhias 9. Bersanding 10. Nasi hadap-hadapan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



11. Serah Terima Pengantin Laki-laki 12. Mandi berdimbar 13. Lepas Halangan 14. Meminjam Pengantin 15. Memulangkan Pengantin 16. Pengantin pindah ke rumah sendiri Berikut ini akan dijelaskan satu persatu 1.



Merisik dan Penghulu Telangkai Jika sebuah keluarga mempunyai seorang gadis yang sudah dewasa dan



dikehandaki seorang pemuda, maka si pemuda



mengabarkan secara tidak



langsung kepada kedua orang tuanya. Jika mereka setuju akan mempelai perempuan itu, maka ditugaskanlah secara diam-diam seorang atau beberapa orang wanita tua mendatangi wanita yang dikenal baik oleh keluarga si perempuan untuk merisik (menyelidiki atau menyiasati) apakah baik kelakuan dan rupa si gadis, dan pihak orang tua si gadis setuju akan kemungkinan pinangan dari pihak mereka. Adat ini juga dipanggil meninjau atau menengok. Tujuan adat ini dilakukan adalah untuk memastikan bahawa gadis yang dihajati oleh seorang lelaki itu masih belum berpunya. Ini penting, karena dalam Islam seseorang itu dilarang meminang tunangan orang. Di samping itu, adat ini juga bertujuan untuk menyelidik latar belakang si gadis berkaitan kemahiran rumahtangga, adab sopan, tingkah laku, paras rupa serta pengetahuan agamanya. Lazimnya adat ini akan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dijalankan oleh saudara mara terdekat pihak lelaki seperti ibu atau bapa saudaranya. Dahulu, biasanya tugas ini tidak langsung diurus oleh penghulu telangkai, tetapi melalui beberapa proses merisik oleh orang-orang lain terlebih dahulu. Oleh karena fungsi penghulu telangkai adalah resmi diangkat dan ditunjuk oleh kerajaan Melayu di tempat itu, maka umumnya proses telah sampai kepada penghulu telangkai jika kira-kira kemungkinan besar pinangan yang akan diajukan telah diterima. Telangkai artinya penghubung. Dia melaksanakan tugasnya baik melalui famili terdekat pihak si gadis ataupun langsung kepada ibu si gadis, dengan cara diplomasi yang unggul. Umumnya dia memuji pula akan kebaikan pekerti dan masa depan si anak lajang. Biasanya pada pertemuan risikan itu, tidaklah diterima secara begitu saja karena masih perlu diselidiki lebih lanjut oleh pihak si gadis tentang keluarga pihak si laki-laki. Jika pihak perempuan tidak setuju akan pihak laki-laki, biasa tidak langsung ditolak di hadapan penghulu telangkai, karena dikhawatirkan pihak laki-laki merasa terhina. Pada pertemuan yang kedua atau setelah beberapa kali dan setelah pihak orang tua si gadis telah pula mengirimkan ―mata-matanya‖ untuk menyrlidiki asal-usul, tingkah laku, dan tampang si pemuda berkenan di hati mereka, barulah hal tersebut dinyatakan setuju kepada penghulu telangkai. Biasaya tanda persetujuan itu tidak dinyatakan terus terang tetapi dengan kiasan dengan mengatakan bahwa, ―anak kami masih sangat muda dan masih serba kekurangan‖ atau ―anak kami tak tahu memasak, tak tahu menjahit.‖ Hal itu segera



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



disampaikan oleh penghulu telangkai sebagai kabar baik akan berhasilnya misi tersebut. Setelah selesai tugas penghulu telangkai, maka kepadanya diberikan sejumlah upah jerih payah oleh pihak laki-laki. Lalu kedua belah pihak masingmasing memanggil ahli famili akrab dan anak beru masing-masing untuk melakukan upacara jamu sukut (Basarshah-II, 2007:6-7).



2.



Jamu Sukut Setelah orang tua si gadis menerima jaminan penuh dari Penghulu



telangkai akan pinangan dari pihak si pemuda, lalu pihak si gadis mulai mengundang puang-puang yaitu aluran tuturan saudara dan kakek dan nenek si gadis, ahli kerabat lainnya yang rapat, dan anak-anak berunya. Anak beru adalah menantu baik perempuan ataupun laki-laki. Ada juga anak beru condong, yaitu menantu dari pihak ayah atau ibu. Setelah berkumpul semuanya, diadakanlah jamuan makan. Setelah selesai, orang tua si gadis mengatakan bahwa mereka telah menerima pinangan dari pihak tertentu. Kemudian, disebutkanlah orangnya dan orang tua si peminang. Kemudian diceritakan pula keinginan pihak si pemuda akan hari-hari datang meminang dan sebagainya. Lalu ditentukan oleh puanglah kerja dari para anak beru karena si tuan rumah dengan terus terang menyatakan apa-apa kesanggupannya dan menyerahkan tugas selanjutnya kepada puang dan anak beru. Jika buruk baiknya sama-sama baiknya dipikul. Pelaksanaan dan tanggung jawab atas lancarnya pekerjaan terserah di atas pundak anak beru. Tuan rumah berserta puang dan ahli famili semua bergotong



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



royong menyediakan segala sesuatu bahan dan benda yang diperlukan. Sebelum upacara peminangan dilakukan maka masing-masing anak beru (baik wanita maupun laki-laki) mengabari serta mengundang segenap ahli famili yang masih dekat hubungan kekerabatannya dengan menyerahkan sirih dalam tepak yang dibungkus kain ke rumah yang diundang. Kepada Sultan atau Orang Besar dilakukan oleh saudara atau kerabat terdekat atau puang dari orang tua si gadis untuk memberitahukannya. Setelah itu bersiap-siaplah kedua belah pihak membuat pelaminan dan makanan serta menghiasi rumah untuk dapat menampung tamu-tamu dari jauh dan dekat dari kedua belah pihak. 3.



Meminang Pada hari dan jam yang telah ditentukan berkumpullah segenap puang,



anak beru dan ahli famili yang diundang di rumah orang tua si gadis menunggu kedatangan rombongan utusan dari pihak pemuda. Maka sampailah pihak calon pengantin pria yang dipimpin oleh orang-orang tua yang berpengalaman yang semuanya telah berumah tangga (anak gadis ataupun janda muda tidak dibenarkan ikut). Pihak calon pengantin laki-laki membawa beberapa rapa tepak sirih yaitu: (a) 1 Tepak Pembuka Kata, (b)1 Tepak Sirih Perisik, (c) 1 Tepak Sirih Peminang, (d)1 Tepak Sirih Ikat Janji, dan (e) 4 Tepak Sirih Pengiring Semua tepak sirih tersebut terbungkus rapi dengan kain bertabur.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dari pihak calon pengantin perempuan telah menanti pula: (1) 1 Tepak Sirih Menanti, (2) 1 Tepak Sirih Ikat Janji, (3) 1 Tepak Sirih Tukar Tanda. Orang tua dari kedua belah pihak tidak boleh hadir, hanya famili kedua belah phak saja yang berhadapan, terutama anak beru, yaitu menantu pihak laki-laki dan perempuan. Anak beru atau orang semenda (semando) mengetuai tiap-tiap peralatan adat sesuatu keluarga. Biasanya yang tertua ataupun yang terpandai di antara mereka. Kalau anak beru kurang pandai berkata-kata di dalam majelis ini, diangkatlah juru bicara profesional pada kedua belah pihak yang pandai berpantun dan ahli dalam upacara perkawinan. Golongan perempuan dihadapi oleh perempuan dan ke ruangan dalam. Golongan laki-laki dari kedua belah pihak duduk bersila berhadap-hadapan di ruang depan atau ruang tengah yang disaksikan oleh penghulu telangkai sebagai wasit atau orang tengah jika terjadi sesuatu kesalahtafsiran nanti. Biasanya selain anak beru, masing-masing pihak menyediakan seorang ―ahli dan jagoan‖ dalam soal ―bersilat lidah‖ mengenai merisik itu. Bersilat lidah yang itu kadang-kadang memakan waktu berjam-jam lamanya, malahan ada pihak laki-laki yang terpaksa kembali untuk diulangi lagi di lain waktu disebabkan tidak dapat memaparkan kehendak secara teratur. Hal ini sangatlah memalukan jika itu terjadi. Seperti telah dikatakan di bagian lain, suku Melayu itu untuk mencapai atau memberitahukan kehendaknya tidaklah langsung tetapi selalu dengan jalan kiasan atau sindiran. Kemudian rombongan pihak laki-lakipun membalas



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pertanyaan pihak tuan rumah mengenai apa gerangan maksud kedatangan sambil menyorongkan Tepak Pembuka Kata, dengan hulu (gagang) sirih terlebih dahulu menuju ke pihak tuan rumah. Umumnya pihak laki-laki yang kebanyakan menerima sindiran, tetapi mereka bersedia ―mengalah‖ asal menang mendapat apa yang dicita-citakan. Tepak sirih pihak laki-laki diedarkan oleh pihak tuan rumah ke pihak mereka agar masing-masing dapat mengecap sirih sekapur pinang sekacip. Lalu oleh pihak laki-laki disorongkan pula lagi Tepak Merisik dengan diiringi tepak sirih pengiring lainnya. Sambil makan sirih itulah sering timbul pantun-memantun, ajuk-mengajuk, sindir menyindir dan keluarlah segala pepatah petitih pusaka budaya yang tinggi dari adat istiadat Melayu. Memang didalam periode risikan melalui Penghulu Terangkai dahulu telah ditentukan segala sesuatunya encerencer perjanjian tetapi dalam upacar resmi peminangan itu, pihak tuan rumah berbuat seolah-olah ia bertahan dan tidak mudah meluluskan permintaan pihak laki-laki begitu saja. Setelah berbeka-beka sekian lamanya akhirnya tentu ada penyelesaian sesuatu, terutama tatkala pihak laki-laki mengutarakan kehendak kedatangannya, maka seluruh hadirin mendengarkan dengan penuh perhatian dan sopan santun. Secara resmi pihak perempuan bertanya kira-kira siapa calon yang meminang, siapa gadisnya yang hendak dipinang, apakah calon mempelai laki-laki sehat dan tiada cacat. Hal itu perlu diutarakan sekali lagi di depan orang banyak, agar jangan terjadi salah paham di belakang hari karena pa yang dihajat lain yang diperoleh.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Menyalahi jawaban berarti pada waktu pernikahan kelak pihak perempuan atau masing-masing pihak dapat menolak jika tidak sesuai dengan apa yang dinyatakan dan diuraikan. Akhirnya segala sesuatu diterima oleh pihak perempuan. Merekapun mulailah memakan Sirih Risik yang dari tadi belum diusik-usik lalu diedarkan ke ruangan dalam untuk dimakan oleh wanita-wanita di sana. Perlu dicatat bahwa di dalam upacara meminang itu baik orang tua si gadis maupun para puang yang tepat tidaklah hadir dalam perundingan. Setelah risik diterima, maka pihak laki-laki menyodorkan kepada pihak perempuan ―Sirih Peminang‖ dan pihak perempuan setelah mendengar ikrar janji laki-laki lalu menerima sirih peminang tersebut dan disodorkan pula ke ruangan belakang agar dicicipi oleh kaum wanita. 4.



Ikat janji Dalam upacara Peminangan itu diambillah keputusan yang dibuat ikat janji



yang isinya : a) Berapa besar (uang antaran) b) Besarnya ―Uang Hangus‖ (Uang Cuci Kaki) untuk biaya peralatan pengantin perempuan. c) Ikat tanda (biasanya rantai atau cincin). d) Bila hari nikah berlangsung e) Kelangkahan. Setelah disetujui masalah di atas, maka kedua belah pihakpun menyorongkan tanda ikat janji. Misalnya pihak laki-laki mengeluarkan sebentuk cincin yang berada dalam tempat yang indah disertai tepak ke pihak perempuan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dan demikian pula sebaliknya dari pihak perempuan ke pihak laki-laki sebagai tanda mereka telah bertunangan dan pinangan telah diterima dan diikat. Bila nanti pernikahan telah selesai berlangsung, tanda itu dikembalikan lagi oleh masing-masing pihak (kalau cincin tidak) demikian pula jika kawin tak jadi oleh sebab kematian salah satu pihak, bila cacat dan sebagainya. Jika pihak pengantin perempuan mungkir janji, tanda harus dikembalikan berganda yang disebut ―Terpijak Tanda.‖ Setelah segala sesuatu pembicaraan selesai dengan baik, maka ―Sirih Ikat Janji‖ pun dipertukarkanlah dan dimakan bersama-sama dan sirih pengiring diberikan kepada pihak perempuan. Kemudian diadakanlah jamuan makan oleh tuan rumah dan dibacakan doa selamat. Segala tepak sirih yang dibawa untuk sementara ditinggalkan di rumah pihak perempuan dan beberapa hari kemudian barulah dikembalikan agar ada kesempatan membagi-bagikan sirih tersebut kepada famili dekat maupun jauh. Biasanya uang antaran (mahar) dibayar separuh pada waktu nikah dan separuh lagi pada waktu ―Naik Badan‖ (bersanding). Setelah selesai semuanya maka pihak laki-lakipun bermohonlah untuk pulang. Para anak beru pihak perempuan kemudian melaporkan semua dari hasil perundingan tadi kepada orang tua si gadis dan para puang. Jika pada waktu itu kebetulan pada Hari Raya Islam, maka kedua belah pihak saling mengirim daging/makanan/kue. 5.



Mengantar bunga sirih Orang tua pengantin laki-laki meminta kepada para puang, anak-anak beru



dan ahli kerabat yang diundang untuk bersedia membuat ―Tepak Bunga Sirih‖



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



untuk diantarkan nanti ke rumah pengantin perempuan. Dengan sendirinya famili yang diundang jamu sukut sudah harus menyediakan tepak bunga sirih tersebut. Semakin banyak tepak bunga sirih yang diantar, semakin menunjukkan besarnya famili dan kerabat pihak laki-laki. Tepak bunga sirih itu dibuat bermacam-macam bentuk, ada bentuk buah-buahan, rumah-rumahan, binatang dan lain-lain lagi yang indah serta beraneka warna, masing-masing berlomba-lomba melebihi kecantikan yang lain. Biasanya juga di masing-masing tepak bunga sirih ada diselipkan pantun untuk kedua mempelai. Tepak Bunga Sirih ada pula kepalanya, yaitu Tepak Bunga Sirih dari salah seorang ahli famili yang tertua. Tepak sirih ini harus diantar ke rumah pihak perempuan sebelum upacara bersanding dimulai. 6.



Berinai Sebelum menikah kedua pengantin diinai di rumah masing-masing. Untuk



mengambil restu, maka beberapa famili yang tua-tua menepungtawari mereka masing-masing terlebih dahulu. Jadi, sebelum acara bersanding diadakan, maka dilakukan tiga kali upacara berinai, yaitu: a.



Berinai curi Malam sebelum akad nikah dilakukan, maka diadakanlah malam berinai.



Berinai adalah memberi inai atau daun pacar di kuku serta ujung jari tangan dan kaki. Inai adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan jika ditumbuk halus dan dilengketkan di tangan atau bagian tubuh akan meninggalkan warnah merah. Berinai curi adalah pengantin diinai oleh orang serumah saja tanpa mengundang tamu atau naik di pelaminan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



b.



Berinai Tengah Di dalam berinai tengah ini, calon pengantin dihiasi sesuai menurut



pakaian perkawinan, yaitu laki-laki pakai baju tengkuluk dan pengantin perempuan memakai kebaya dan memakai tudung, semuanya dilakukan di atas pelaminan di rumah masing-masing dan di hadiri oleh tetangga dan sanak famili yang dekat. Setiap orang menepungtawari dan mencolekkan sedikit inai ke telapak tangan calon pengantin dan nanti jika di kamar barulah diadakan inai yang sebenarnya. Yang diinai adalah ujung jari tangan dan kaki, pinggir telapak tangan dan kaki, dan telapak tangan. Sekarang sudah ada seni berinai dengan motif yang indah dan menarik. c.



Berinai Besar Sebelum berinai besar, pihak perempuan mengantar inai kepada pihak calon



pengantin laki-laki. Di dalam berinai besar ini, kedua pihak calon pengantin memanggil seluruh famili dan handai tolan (undangan). Biasanya, malam persta berinai besar ini dimeriahkan oleh bunyi-bunyian dan ditarikan di depan pengantin tari inai. Sekarang ini, untuk menghemat biaya dan efisien waktu, hanya berinai besar saja yang dilakukan, itupun hanya mengundang sanak saudara dan kerabat dekat saja. 7.



Akad Nikah Pada waktu hari dan jam yang sudah ditentukan maka pengantin laki-laki



dengan pakaian yang dijanjikan pula (biasanya berpakaian haji, serban tegang dan jubah panjang) diantar oleh rombongannya diketuai oleh anak beru. Jumlah anggota rombongan tidak banyak dan suami istri. Jika seandainya pengantin laki-



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



laki tidak berpakaian sebagaimana yang dijanjikan maka pihak pengantin perempuan berhak untuk menolaknya. Hal itu sering terjadi. Pada waktu itulah separuh uang mahar dibayar. Uang mahar itu dibungkus dengan kain tujuh lapis dengan aneka warna ditambah sedikit bertih, kunyit, bunga rampai, dan beras kuning yang semuanya diikat dengan benang simpul hidup. Lalu ―dilipat sela‖, kemudian ―dibuku bemban‖ dan dimasukkan ke dalam sebuah batil perak, dibungkus baik-baik dalam sehelai kain panjang dan setelah itu baru diletakkan di atas sebuah dulang kecil yang dinamakan ―semberib‖. Kemudian diberi semuanya bertutup dan diletakkan bunga-bunga di atasnya. Di samping itu pula, diletakkan ―tepak sirih‖ yang berisi uang yang akan diberikan untuk tuan kadi. Kemudian dibawa perlengkapan tempat tidur (ini bisa hanya disebutkan saja, karena biasanya sudah diserahkan sebelum akad nikah). Akhirnya, dibawalah kembali ―tanda‖ yang nanti setelah selesai akad nikah akan dikembalikan oleh masing-masing pihak. Pada suatu tempat yang khusus, didudukkanlah pengantin laki-laki di atas tilam yang agak tinggi dengan dialas seprai yang berwarna putih atau untuk para bangsawan di alas dengan ―tikar ciau‖. Kemudian, diletakkan tepak nikah si gadis di sebelah kanan menghadap tempat duduk dan tepak nikah si pemuda di sebelah kiri. Didekat tilam itu tersedia segelas air putih, gunanya untuk pengantin dan wali nikah, jika tidak lancar mengucapkan akad nikah. Rombongan pihal pengantin laki-laki yang pria dipersilahkan duduk di ruangan muka tempat upacara dan yang wanita di ruangan dalam.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tepak



nikah, bungkusan uang mahar, dan tepak janji diletakkan di



tengah-tengah majlis. Setelah diadakan upacara ucapan selamat datang dari pihak tuan rumah, maka anak beru pengantin perempuan mempersilahkan calon pengantin laki-laki dan tuan kadi untuk memulai upacara akad nikah menurut hukum Islam, setelah terlebi dahulu tuan kadi mendapat izin dari calon pengantin perempuan dan orang tuanya. Setelah akad nikah selesai, maka tuan kadi membacakan doa selamat. Kemudian anak beru pihak pengantin perempuan barulah mulai memeriksa uang antaran dan menghitung jumlahnya sesuai dengan perjanjian. Jika jumlahnya sudah cukup, maka uang itu dibungkus kembali dan disorongkanlah ke ruangan dalam agar diterima oleh orang tua pengantin perempuan untuk kemudian diserahkan kepada pengantin perempuan. Selanjutnya pihak pengantin laki-laki dan perempuan masing-masing mengembalikan tanda ikat janji. Jika tanda ikat janji tersebut berupa cincin sering tidak dipulangkan lagi oleh kedua belah pihak sebab dianggap tukar cincin. Kemudian diedarkanlah jamuan makan ala kadarnya. Untuk pengantin laki-laki dibuat santapan khusus. Biasanya dia makan ditemani oleh anak-anak muda yang belum kawin dari kalangan pihak pengantin perempuan, seperti saudara sewalinya, kemenakan, dan sebagainya. 8.



Berandam dan Mandi Berhias Di rumah pengantin perempuan, dilakukan upacara ―berandam‘ untuk



mempelai perempuan. Ini dilaksanakan di pagi hari. ―Berandam‖ adalah mencukur anak rambut dibagian kening dengan pisau cukur. Pengantin



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



didudukkan di tempat berandam, lalu dibentangkan kain putih dipangkuannya. Lalu benang dililitkan dan dikalungkan di lehernya seperti rantai. Bidan mulai mengambil rambut dan mulai menggunting sedikit demi sedikit agar cantik di dandan dan dengan pisau cukur lalu pengantin diandam. Pengantin laki-laki juga diandam yang dikerjakan oleh tukang pangkas. Mandi berhias dilakukan pada pagi hari setelah berandam dan sebelum bersanding. Mandi berhias adalah mandi dengan air wangi-wangian dan air ukup. Setelah itu pengantin perempuan bersiap-siap untuk hari bersanding. Di dalam berhias menjelang hendak naik bersanding perempuan biasa menggunakan dua macam jenis sanggul, yaitu sanggul ―lipat pandan‖ (sanggul ala Palembang) atau ―sanggul tegang‖. Sebagai perhiasan, di sekelilingnya diberi bunga warna emas. Kadang-kadang sanggul ini sangat tegang, sehingga tidak jarang mengakibatkan luka di kepala atau pingsan. Pengantin laki-laki memakai destar. 9.



Bersanding Bersanding adalah acara dimana pengantin laki-laki dan perempuan duduk



bersanding di pelaminan. Pada acara ini kedua pengantin duduk di pelaminan ibarat seorang pangeran dan permaisuri sehari. Kedua pengantin dihias sehingga tampak gagah dan cantik mempesona. Pengantin perempuan sudah siap diapit oleh anak beru dan diapit pula di kiri kanan oleh ―gading‖ (dua orang gadis kecil membawa kipas) naik ke pelaminan. Lalu tabir pun ditutuplah. Di dekat pelaminan telah tersedia alat-alat tepung tawar, balai tingkat tiga. Lilin pun dipasang, berkat-berkat telah tersedia. Sementara itu pengantin dengan didampingi oleh bidan, memejamkan mata



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sambil menggenggam sirih genggaman. Di depan tabir berdiri di kiri kanan anakanak beru golongan wanita. Para ahli famili pihak pengantin perempuan dan handai tolan serta para undangan sudah penuh berdatangan dan mengambil tempat masing-masing. Pasukan pemukul rebana telah menunggu dan demikian pula tukang penjulang pengantin laki-laki. Di rumah pengantin laki-laki, pengantin telah siap memakai destar dan menggenggam ―Sirih Genggaman‖ serta diapit oleh gading-gading (dua orang anak laki-laki kecil). ―Sirih Genggam‖ ialah sebuah kelongsong dari tembaga atau kaleng tempat mencacakkan beberapa tangkai ―Bunga Goyang‖ dari perak atau sepuhan di sela oleh daun sirih yang ditebuk. Segenap undangan yang terdiri dari anak-anak beru baik laki-laki maupun wanita, para puang dan famili-famili rapat maupun yang termasuk rombongan ikut mengantar telah berkumpul semuanya. Pengantin pun lalu menghadap dan menyembah serta mencium tangan kedua orang tuanya meminta doa restu. Balaipun telah tersedia untuk dibawa. Demikian pula payung tepak sirih penyongsong, bidan, pembawa sirih pengantin, sisa uang, uang ampang pintu dan uang buka kipas yang dipegang di dalam uncang kuning oleh ketua anak beru pria dan ketua anak beru wanita masing-masing. Segala sesuatunya jangan ketinggalan menurut perjanjian dan sesuai dengan adat. Balai diiringi ―bunga sirih‖, serenteng rantang yang berisi hidangan nasi dengan lauk pauknya (disebut ―Nasi Besan‖), sebaki tabur-taburan (beras putih, beras kuning, bertih, bunga rampai). Jika ada biaya, di depan rombongan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



disiapkan juga pemusik rebana (kompang)9 ataupun seperangkatan orang yang bersilat. Tibalah waktunya rombongan untuk berangkat menuju rumah pengantin perempuan dengan pasukan barisan penabuh rebana dan pencak silat mengiringi rombongan pengantin laki-laki menuju pintu rumah sambil ditaburi bertih dan beras kuning. Dahulu, pengantin dijulang sampai ke ambang pintu, tetapi sekarang pengantin berjalan kaki. Rombongan pengantin laki-laki didahului oleh kelompok anak baru lakilaki maupun perempuan. Sesampainya di halaman rumah pengantin perempuan, pengantin laki-laki dinaikkan di atas bahu seorang pejulang (sekarang, disambut oleh ibu si perempuan dan diikat dengan kain panjang, berjalan di belakang seperti menggendong). Sebuah talam berisi sepotong kaki kambing/kerbau, sebuah anak batu giling cabai (lingga), sedikit beras putih dan beras kuning, sedikit garam dan asam gelugur sudah siap diletakkan di pintu masuk pengantin laki-laki. Pada waktu hendak masuk ke pintu rumah arak-arakan terhenti karena pintu masuk dihempang dengan sehelai kain dan dijaga oleh para anak beru pria pihak pengantin perempuan. Sementara itu, pihak perempuan menaburkan bertih dan beras kunyit kepada rombongan mempelai laki-laki. Di zaman dahulu dalam perkawinan rajaraja sebagai ganti beras kunyit ialah ―ambor-ambor‖ (guntingan tipis yang terbuat dari perak dan emas). Penahan itu bernama ―Batang‖ yaitu hak adat anak beru.



9



Rebana atau kompang adalah satu jenis alat musik gendang berbingkai (frame drum) yang biasa terdapat di wilayah peradaban masyarakat Islam di seluruh dunia. Alat musik ini memiliki berbagai sebutan seperti duf, tar, bendair, rabano, rapano, repana, dan lain-lainnya. Alat musik ini bisanya disajikan dalam bentuk ensambel dengan teknik ritme interloking mengiringi penyanyi yang kadangkala juga sekaligus sebagai pemain rebana. Penyajian bisa dilakukan secara prosesi, dan juga bisa sambil duduk di atas panggung pertunjukan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Terjadilah perdebatan yang dibuat-buat dan tawar-menawar tentang penyelesaian adat. Akhirnya anak beru pihak laki-laki mengalah dan membayar uang yang dinamakan ―Uang Hempang Pintu‖ (ada yang besarnya ¼ uang mahar). Setelah itu dipenuhi, lalu balai dan arak-arak pun dapatlah menerobos masuk tetapi sampai dekat pelaminan terhalang lagi karena adanya hempangan yang kedua oleh anak beru wanita dari pihak pengantin perempuan. Sebelum pengantin laki-laki dibenarkan masuk, haruslah terlebih dahulu kaki kanannya dicecahkan ke atas anak batu gilingan cabai yang ada dalam talam dibendul pintu itu yang berarti ia akan membela dan bertanggung jawab tas kehidupan rumah tangganya kelak. Dalam hal ―Buka Kipas‖ ini dihadapi oleh anak beru wanita dari pihak laki-laki. Disini terjadi lagi perdebatan yang dibuat-buat seperti di muka tadi. Akhirnya uang adat ―Buka Kipas‖ dibayar (kadang-kadang besarnya 1/8 mahar), kemudian tabirpun dibukalah dan pengantin laki-lakipun naik ke pelaminan duduk di sebelah kanan pengantin perempuan. Pelaminan ini terbagi dalam beberapa tingkat : a. Sultan, pelaminannya bertingkat 9 b. Anak-anak Sultan, pelaminannya bertingkat 7 c. Para Tengku-tengku lainnya, pelaminannya bertingkat 5 d. Yang lain daripada itu, pelaminannya bertingkat 3 Sementara itu rombongan pengantin laki-lakipun dipersilahkan mengambil tempat masing-masing. Setelah buka kipas, maka sirih genggaman pun dipertukarkanlah antara pengantin laki-laki dan pengantin perempuan, dan 7 butir



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



―Telur Aluan‖ diserahkan pada pihak perempuan. Sementara itu berlangsung, pada anak beru pria, pihak pengantin laki-laki menyerahkan semua alat-alat tepak penyongsong beserta uang mahar dan semua balai-balai kepada anak beru pria pihak pengantin perempuan. Lalu kepada handai taulan dan ahli famili yang akrab dimintakan untuk menepungtawari kedua pengantin baru itu. Tepung tawar telah tersedia dan yang menepungtawari harus jumlahnya ganjil. Paling pertama adalah dari pihak pengantin perempuan yaitu didahulukan kaum laki-laki kemudian baru disusul oleh wanita, lalu disusul oleh rombongan pengantin laki-laki dan akhirnya ditutup dengan pembacaan doa. Setelah semua selesai, maka kedua pengantin diturunkan bersama-sama dari pelaminan dengan pengantin perempuan yang menuntun pengantin laki-laki sambil jari kelingking kedua mempelai berkaitan menuju ke tempat ―Nasi Hadap-hadapan‖. 10.



Nasi Hadap-hadapan Upacara makan nasi hadap-hadapan dihadiri oleh perempuan saja dari



pihak keluarga pengantin laki-laki, sedangkan laki-laki tidak boleh ikut serta. Jika dipestakan di rumah pihak laki-laki, maka yang hadir di dalam upacara ―nasi hadap-hadapan‖ adalah kaum perempuan dari pengantin perempuan. Kedua pengantin dibawa ke suatu ruangan atau di depan pelaminan yang sudah terhidang nasi hadap-hadapan lengkap dengan lauk-pauk, dan kue. Di hadapan pengantin diletakkan sebaskom nasi lemak yang dihiasi dengan bunga yang terbuat dari gula-gula, coklat, dan halua (manisan khas Melayu). Di dalamnya ada potongan ayam. Kedua pengantin harus merebut sebanyak mungkin bunga yang ada di atas nasi tersebut. Barang siapa yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mendapat paling banyak dipercayai dia akan lebih berkuasa di dalam rumah tangganya. Setelah berebut bunga, lalu kedua pengantin berebutan mengambil kepala ayam dari dalam nasi lemak tersebut. Konon, siapa duluan mendapat, dia yang akan lebih kuasa memerintah dalam rumah tangga. Apabila suami mendapat kepala ayam panggang melambangkan seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan apabila istrinya mendapat paha ayam melambangkan sebagai seorang ibu yang akan memberikan keturunan. Acara makan ―nasi hadap-hadapan‖ mengandung arti cinta kasih murni antara istri. Setelah selesai memperebutkan ayam, lalu pengantin perempuan mencuci tangan pengantin laki-laki. Setelah itu, pengantin perempuan menyulangi sesuap nasi ke mulut pengantin laki-laki, kemudian mereka bergantian. Setelah itu, pengantin perempuan menuangkan air minum ke dalam gelas, lalu mereka minum bersulangan. Kemudian, kedua pengantin dan beberapa orang yang menemaninya itu dipersilahkan makan bersama. Biasanya, pengantin perempuan menanyakan kepada suaminya makanan apa yang disukainya. Kemudian, si perempuan mengambilkan makanan tersebut. Sebaliknya, si laki-laki juga bertanya makanan apa yang ingin dimakan oleh istrinya, lalu si suami mengambilkannya, lalu mereka makan bersama-sama. 11.



Serah Terima Pengantin Laki-laki Kepada Keluarga Pengantin Perempuan Serah terima pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan



adalah acara yang diadakan untuk melepaskan pengantin laki-laki dari keluarganya sendiri dan diantar untuk menjadi bagian dari keluarga pengantin



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perempuan. Acara ini biasanya juga diisi dengan nasehat- nasehat kepada kedua pengantin, dan sekaligus menyampaikan harapan kepada keluarga pengantin perempuan agar dapat menerima si pengantin laki-laki dengan baik. 12.



Mandi Berdimbar Mandi berdimbar atau juga dikenal dengan mandi berhias adalah mandi



yang dilakukan pengantin dengan menggunakan campuran air, bunga, dan beberapa bahan lainnya. Mandi berdimbar ini diperoleh dari sisa-sisa agama Hindu karena sebelum negeri Malaka menjadi pemeluk agama Islam, dapatlah dipastikan bahwa kepercayaan orang-orang Melayu adalah campuran Hindu dan Buhda bagi golongan terpelajar dan bangsawan. Sedangkan animesme dan dinamisme untuk golongan rakyat rendahan. Tempat upacara mandi berdimbar ini dilakukan di halaman rumah di dalam suatu tempat yang dibuat dan hiasi gaba-gaba. Jika di istana raja-raja, tempat itu dinamai ―panca persada‖ yang permanen dan indah pembuatannya. Dengan dituntun oleh bidan, kedua pengantin baru dibawa ke tempat mandi berdimbar tersebut. Di dalam tempat itu telah tersedia: a. Dua gebuk tembikar berisi air bunga rampai, mayang pinang muda, daun pandan wangi, dan irisan limau mungkur atau jeruk purut, yang dinamai ―air ukup‖ karena dimasukkan bau setanggi di dalamnya dan leher gebuk dihiasi pandan dengan anyaman ‖jari kaki lipan‖. b. Satu gebuk air doa selamat c. Satu gebuk air untuk tolak bala



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



d. Dua atau empat buah kelapa yang sangat muda yang telah dikupas habis kulitnya hingga tinggal tempurungnya yang bulat (kelongkong) e. Dua butir telur ayam mentah f. Dua batang lilin dalam sebuah baki g. Pahar yang berisi tepung tawar h. Satu pedupaan i. Satu pasu atau ember dihiasi dan berisi air bunga rampai dinamai ―air taman‖ j. Dua ember air biasa untuk dimandikan k. Satu baki memuat bahan-bahan berhias seperti bedak, dan lain-lain l. Sebuah cermin m. Satu tepak sirih n. Benang gudang tiga untai untuk masing-masing pengantin. Setelah pengantin sampai ke tempat pemandian, mereka pun ditepung tawari oleh beberapa keluarga yang tua-tua, kemudian bersalin dengan memakai kain basahan. Lalu dilingkupi kedua pengantin itu dengan sehelai kain panjang, dililitkan benang, dan dipasangkan lilin. Maka bidan menyuruh kedua pengantin itu untuk memutus benang dan menghembus lilin. Lalu kedua pengantin diberi minuman dan disuruh bersembur-semburan. Kemudian, bidan pun menunutun mereka agar pukul-memukul mayang muda di atas masing-masing kepala pengantin. Kadang-kadang ada juga mayang tidak pecah, meskipun pelepahnya lunak. Ini berarti bahwa salah seorang pengantin keras hatinya. Lalu arai pinang dikeluarkan dari pelepahnya. Bidan-



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bidan bertukar arai lalu dijuraikan dari kepala sampai ke kaki pengantin. Arai-arai pinang itu dilagakan, lalu dicampakkan keluar untuk membuang sial. Kini, dimulai pula acara memecahkan kelongkong kelapa muda. Setelah itu, kedua mempelai memijak telur ayam yang berada di dekat kaki masingmasing. Siapa yang dahulu dialah yang menang, kelak dipercayai tidak dapat ditipu di dalam kehidupan sehari-hari dalam berumah tangga. Setelah itu, mereka dimandikan dengan air ukup, kemudian dengan diiringi doa dan jampi, dimandikan pula dengan air taman dan baru dengan air biasa. Kemudian disiram dengan air tolak bala sambil membaca doa, lalu ditutup dengan menyiramkan air doa di atas kepala pengantin masing-masing. Sementara itu,Orang-orang ramai juga ikut serta bersembur semburan dan bersiram-siraman. Bila terkena siraman air mandi berdibar/berhias, bagi para pemuda atau gadis, dipercaya akan cepat mendapat jodoh. Sementara itu, bertukar pakaian dengan pakaian yan dihiasi dan memasuki kamar pengantin yang sudah dihiasi. Kedua mempelai lalu dibawa menghadap mertua (orang tua pengantin perempuan) dan famili kerabat yang rapat-rapat dari mempelai perempuan. Pada waktu itu diberilah bermacam-macam hadiah cemetuk. Lalu, mereka melakukan upacara menghadap beraturan menurut tutur dari yang tertua sampai yang usianya muda, kecuali tutur adik dan kemenakan di bawah dari pengantin perempuan. 13.



Lepas Halangan Beberapa hari kemudian, terdapatlah apa yang dinamakan ―halangan‖



telah lepas. Pada waktu itu, diedarkanlah dalam kain putih bersih ―tanda



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kegadisan‖(perawan) sang istri kepada mertua perempuan sang istri dan famili terdekat wanita-wanita lain sebagai bukti. Bidan menyerahkan tepak sirih kepada orang tua pengantin perempuan. Jika tepaknya kosong dan cembulnya telungkup, itu tandanya pengantin perempuan sudah tidak perawan lagi. Jaman sekarang, upacara adat ―mandi berdimbar‖ dan ―lepas halangan‖ sudah tidak dilaksanakan orang lagi, mengingat pesta perkawinan hanya diadakan satu hari dan untuk menghemat biaya. Namun, untuk kalangan bangsawan masih ada yang membuat adat tersebut, tetapi tuan rumah tempat peneliti mengadakan penelitian tidak melakukan ―mandi berdimbar‖ dan ―lepas halangan‖ ini. 14.



Meminjam Pengantin Meminjam kedua pengantin oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak



keluarga perempuan adalah upacara ditentukannya hari dimana kedua pengantin dipinjamkan kepada keluarga anak beru laki-laki untuk diadakan perayaan di rumah keluarga laki-laki. Pada hari yang telah ditentukan, maka oleh orang tua pengantin laki-laki dipinjamlah kedua mempelai untuk dipestakan di rumahnya. Kedua pengantin dijemput oleh anak beru (baik pria maupun wanita) dari pihak laki-laki dan dengan diiringi oleh anak beru (perempuan dan laki-laki) dari pihak pengantin perempuan ke rumah orang tua pengantin laki-laki. Rombongan yang datang dan mendampingi jumlahnya harus ganjil. Jika rombongan sudah sampai di rumah laki-laki, maka kedua pengantin mencuci kakinya di dalam talam dekat pintu masuk hendak naik ke rumah dan membawa kue-kue untuk mertua. Secara simbolik, tuan rumah menyerahkan kepada



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menantunya asam, garam, beras, lesung, dan lain-lain alat memasak. Dengan pengertian, agar sang pengantin jangan segan-segan datang dan memasak sendiri. Kemudian, pengantin dipakaikan pakaian yang indah-indah dan dinaikkan di atas pelaminan. Dilakukanlah kembali upacara ―bersanding dan tepung tawar‖. Setelah itu, pengantin dipimpin oleh bidan pengantin masuk ke kamar. Lalu, keduanya bersiap dan diadakanlah menghadap dan sembah keliling kepada para ibu bapak, puang-puang dan ahli kerabat lainnya. Kedua pengantin menerima hadiah cemetuk dan nasehat-nasehat dari mereka. 15.



Memulangkan Pengantin Memulangkan Kedua Pengantin Kembali Oleh Pihak Keluarga Laki-laki



Kepada Pihak Keluarga Pengantin Perempuan adalah setelah tiga malam atau lamanya sesuai menurut perjanjian, maka kedua mempelai, baru diantarkan kembali ke rumah orang tua pengantin perempuan, diiringi para anak beru sebagai mana mereka menjemput dahulu. Pengantin perempuan biasanya menerima hadiah dari mertua berupa pakaian lengkap, piring, dan mangkuk. 16.



Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri Pengantin Pindah Ke Rumah Sendiri adalah acara dimana seorang laki-laki



atau seorang suami membawa istri atau keluarganya ke rumah mereka sendiri. Menurut adat dahulu, pengantin laki-laki berdiam diri atau tinggal menetap di rumah mertuanya kira-kira selama dua tahun lamanya. Setelah itu baru laki-laki tersebut dapat membawa istrinya pindah ke rumahnya sendiri. Jaman sekarang, tidak harus menunggu dua tahun baru boleh pindah rumah. Jika mereka memang sudah punya rumah sendiri atau sanggup untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menyewa, mereka sudah boleh pindah dengan diantar oleh para keluarga kedua belah pihak. Biasanya diadakan kenduri dengan memanggil jiran tetangga untuk meminta doa selamat agar mereka aman dan tenteram tinggal di rumah tersebut.



2.3 Landasan Teori 2.3.1 Pendekatan Performansi 2.3.1.1 Performansi One influentail approach is to take the idea of ‗performance‘ as a fundamental key the human action and culture, often centerd round the concept of ‗drama‘ (Turner 1982, Burke 1966, see also Hare and Blumberg 1988 and references below). This particular social theory—or metaphor—is not essential for the direct observation and analysis of specific performances, but sometimes forms the background to it. Another viewpoint picks out performance as one specific (rather than general) mode of human communication and action, distinguishing this from ‗merely‘ describing in a ‗normal or everyday‘ manner. Thus particular acts of communication are somehow marked out as ‗performance‘ by a heightened and framed quality. It is performance(s) in this—admittedly elusive—sense that many students of verbal arts take as their focus. (Salah satu pendekatan yang berpengaruh



terhadap gagasan tentang performansi sebagai



kunci dasar bagi tindakan manusia dan budaya, sering kali berpusat pada konsep 'drama' (Turner 1982, Burke 1966, lihat juga Hare dan Blumberg 1988 dan referensi di bawah). Ini adalah bagian dari teori sosial - atau metafor-, tidaklah penting bagi pengamatan langsung dan analisis tertentu tentang performansi,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sebagai salah satu bentuk khusus maupun umum dari model komunikasi dan tindakan manusia,



hal ini berbeda dengan kehidupan sehari-hari atau tindak



komunikasi formal, dimana ‗performansi‘ dibingkai. Performansi ini banyak diminati oleh mahasiswa jurusan seni lisan yang menjadi fokus kajian mereka) (Finnegan, 1992:91).. Selanjutnya Finnegan (1992:92) menjelaskan, ‗Performance‘ is also used to refer to a concrete event in time: another sphere for investigation, which in recent years has extended beyond just a general look at performance attributes and settings to focus more directly on the communicative event itself. Questions for investigation thus include how or where performances take place as actual events; how they are organised and prepared for; who is there, how they behave and what their expectations are; how the performers deliver the specifie genre and the audience react to it; how it is framed within and/or separate from the flow of everyday life. ‗Performance‘ is, furthermore, often used to refer to the actual execution or practice of communication (as distinct from its potential, or its abstract formulation in knowledge or grammar)—a usage which fits with current interests among anthropologists, folklorists, sociolinguists and others in ‗practice‘ and ‗processes‘, or in ‗speech acts‘. While this distinction is in principle applicable to all forms of verbal communication it has a particular relevance—and set of problematics—in the study of oral forms. Performance seems essential for oral forms to be actualised at all— a significant contrast, on the face of it anyway, with the permanent and autonomous existence of a written text independent of its (merely contingent) performances. Pendapat yang dkemukan oleh Finnegan tersebut adalah performansi lebih lanjut sering digunakan untuk merujuk pada hasil akhir yang aktual atau praktik komunikasi, performasi sering digunakan para ahli antropolog, folklor, sosiolinguistik, dan lainnya dalam bentuk praktik dan proses, atau dalam bentuk tindak tutur. Prinsip ini dapat diterapkan ke dalam berbagai masalah kajian. Performansi penting untuk diaktualisasikan dalam bentuk-bentuk lisan yang bertolak belakang dengan teks tertulis. Finnegan (1992: 94-95) juga mengatakan,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Chief among the components of any performance are the human participant. These must therefore be among the prime targets of the enquirer‘s attention. Though often starting with performers (the familiar westen focus), the investigation must also embrace those other participants whose roles supplement or overlap with those of the apparent leaders. (Komponen yang utama dari performansi adalah partisipan. Oleh karena itu, ini harus menjadi salah satu target utama dari masalah ini. Meskipun sering dimulai dengan pemain, penyelidikan juga harus tertumpuh pada peserta (partisipan) yang berperan ganda atau tumpang tindih dengan pemain). Sementara itu, Vansina (1985:40-41) berpendapat bahwa ada tiga unsur dalam performansi, yaitu frekuensi, waktu, dan tempat. Pertunjukan tidak dilakukan secara acak, namun dapat diamati. Dalam kebanyakan kasus, hanya sedikit orang yang masih ingin mempertahankan ide atau pesan dari performansi. Mereka bukan terinspirasi oleh penggunaan praktis tradisi. Dengan demikian, pembacaan daftar kerajaan penerus tahta atau silsilah kerajaan adalah tepat pada penobatan, dan silsilah mungkin dibacakan setahun sekali ketika raja diarak di ibukota. Banyak ritual yang mengandung pesan sejarah, seperti kava dari Tikopia (dan pulau-pulau Polinesia lainnya), dilakukan saat yang tepat. "Kerja Dewa" di Tikopia dilakukan hanya dua kali setahun sementara Kava biasa sering dilakukan. Di negara bagian Afrika dan tempat lain, bercerita dilakukan tidak pada siang hari. Hal ini disebabkan karena mereka semua sibuk melakukan hal-hal lain dan sering tidak di rumah. Lokasi performansi harus sesuai dengan tujuan performansi tersebut. Lokasi tersebut harus diperhatikan, agar tidak



terjadi



masalah. Misalnya, cerita di Benin City harus terpusat di rumah dan tempat lain. Di desa-desa, desa Square adalah desa yang tepat. Di desa Kuba, alun-alun tidak tepat; bercerita harus dilakukan di rumah atau di pekarangan mereka, atau mungkin hanya di depan mereka, tetapi tidak pernah di tengah lapangan. Setiap



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tradisi memiliki kesempatan yang tepat untuk dipertunjukkan dan juga menentukan frekuensi performansi. Di antara Dogon (Mali), konon, ritual Sigui dilakukan, hanya sekali setiap enam puluh tahun. Satu keajaiban, jika selama selang waktu tersebut masih akan mengingat rincian dan urutan ritual yang kompleks dan memang, dalam ketiadaan kalender bagaimana seseorang tahu persis kapan harus melakukan ritual tersebut. Frekuensi pengulangan membantu untuk memerangi kelupaan. Tetapi pengulangan yang sering juga tidak menjamin pelaksanaan ritual dilakukan dengan baik. Tales mengatakan banyak malam di bulan Mei dalam perubahan fakta lebih cepat dari kisah yang diceritakan lebih jarang. Dengan demikian, untuk mengetahui kesempatan dan frekuensi dari kinerja yang tidak dengan sendirinya cukup untuk mengevaluasi kesetiaan reproduksi. ((1) Reproduction of Performance. (a) Frequency, Time, and Place. Performances are not produced at random times. The occasions for performances are limited and can be observed in the field. In most cases the rules relating to this have little to do with a desire to maintain the faithfulness of the message. They are rather inspired by the practical use of traditions. Thus, a formal recitation of a royal list of successors to the throne or a royal genealogy is appropriate at a coronation, and perhaps the genealogy may be recited once a year when the chiefs are assembled at the capital. Many rituals containing historical messages, like the kava of Tikopia (and other Polynesian islands), are performed when appropriate. The "Work of the Gods" in Tikopia is performed only twice a year while ordinary kava occur much more often. n Legal precedents and proverbs are often cited during litigation, clan slogans at funerals or, as among the Kuba, in eulogy to praise star dancers. In many parts of Africa and elsewhere tales are not to be fold during daytime. No good reasons are given for this, and unlike the previous examples we do not see an evident link between use, purpose, or situation and this rule here. Economic factors often are said to be the cause of such a constraint. The rule was not made with economic uses of time in mind, but probably grew out of the observation that people do not tell tales during the day, because they are all busy doing other things and often not at home.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



The location of a performance is to be appropriate to its use and purpose. Such a location is often prescribed where it would not seem to matter. Thus tales in Benin City should be told in the itun or central place of the house and nowhere else. In the villages, the village square is the proper setting. Z3 In Kuba villages, the square is not appropriate; tales should be told in the houses or in their yards, or perhaps just in front of them, but never in the middle of the yardl. Each sort of tradition has its appropriate occasions for performance, and that also determines the frequency of a performance. Among the Dogon (Mali), the Sigui ritual was performed, it is said, only once every sixty years. One wonders who after such a lapse of time would still remember the details and order of the complex rituals and, indeed, in the absence of a calendar how one knew exactly when to perform them. Frequency of repetition helps to combat forgetfulness. But frequent repetition does not itself guarantee fidelity of reproduction. Tales told many nights in the month may in fact change faster than tales which are told more infrequently. Thus, to know the occasion and the frequency of the performance is not by itself enough for evaluating the faithfulness of a reproduction). Dalam penelitian ini, untuk



menganalisis



performansi



peneliti



menggunakan pemikiran Fennigan dan Vansina. Finnegan mengatakan bahwa komponen yang utama dari performansi adalah partisipan, yaitu pelaku dan audiens. Sedangkan Vansina



berpendapat bahwa ada tiga unsur dalam



performansi, yaitu frekuensi, waktu, dan tempat. Peneliti menggabungkan kedua pemikiran ini yang sejalan dengan teks, koteks, dan konteks dalam tradisi lisan.



2.3.1.2 Teks, Koteks, dan Konteks 2.3.1.2.1 Teks Fairclough (1995:4) menyatakan bahwa: ‖A text is traditionally understood to be a piece of written language a whole 'work' such as a poem or a novel, or a relatively discrete part of a work such as a chapter. A rather broader conception has become common within discourse analysis, where a text may be either written or spoken discourse, so that, for example, the words used in a conversation (or their written transcription) constitute a text.‖



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pendapat yang dikemukakan oleh Fairclough di atas menunjukkan bahwa sebuah teks itu, secara tradisional merupakan bagian dari bahasa tertulis yang secara keseluruhan 'bekerja' seperti puisi atau novel, atau bagian yang relatif diskrit pekerjaan seperti sebuah bab. Kemudian, secara konsepsi yang agak lebih luas dan telah menjadi umum dalam analisis wacana, di mana teks mungkin baik tertulis atau lisan, seperti kata-kata yang digunakan dalam percakapan juga dapat dikatkan sebagai suatu teks. Berdasarkan pendapat di atas dapat diartikan bahwa teks adalah suatu kesatuan bahasa yang memiliki isi dan bentuk, baik lisan maupun tulisan yang disampaikan oleh seorang pengirim kepada penerima untuk menyampaikan pesan tertentu. Teks tidak hanya berbentuk deratan kalimat-kalimat secara tulis, namun juga dapat berupa ujaran-ujaran atau dalam bentuk lisan, bahkan ada juga teks itu terdapat di balik teks yang merujuk pada koteks dan konteks. Teks adalah bahasa yang berfungsi, maksudnya adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu (menyampaikan pesan atau informasi) dalam konteks situasi, berlainan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat lepas yang mungkin dituliskan di papan tulis. Bentuknya bisa percakapan dan tulisan (bentuk-bentuk yang kita gunakan untuk menyatakan apa saja yang kita pikirkan). Hal penting mengenai sifat teks ialah bahwa meskipun teks itu bila kita tuliskan tampak seakan-akan terdiri dari kata-kata dan kalimat, namun sesungguhnya terdiri dari makna-makna. Memang makna-makna atau maksud yang ingin kita sampaikan kepada orang lain haruslah dikodekan dalam tuturan lisan atau kalimat-kalimat supaya dapat dikomunikasikan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Teks merupakan produk, dalam arti bahwa teks itu merupakan keluaran (output); sesuatu yang dapat direkam atau dipelajari (berwujud). Teks juga merupakan proses, dalam arti merupakan proses pemilihan makna yang terusmenerus, maksudnya ketika informasi diberi atau diterima dalam bentuk teks (lisan atau tulis) maka



di dalam otak manusia terjadi proses pemahaman



(pemilihan makna) terhadap informasi



tersebut,



jangan sampai



terjadi



kesalahpahaman. Van Dijk (Sibarani, 2012: 312-213) mengatakan bahwa ada tiga kerangka struktur teks, yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Ketiga struktur ini saling mendukung dalam membangun sebuah teks, sehingga kajian ketiganya sangat penting untuk memahami sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan. Kajian ketiga unsur ini akan memberikan kontribusi dalam pemahaman teks tradisi lisan, yang merupakan cerminan sosiokultural pikiran masyarakat pemiliknya. Struktur makro merupakan makna keseluruhan, makna global atau makna umum dari sebuah teks yang dapat dipahami dengan melihat topik atau tema dari sebuah teks. Dengan kata lain, analisis struktur makro merupakan analisis sebuah teks yang dipadukan dengan koteks dan konteksnya untuk memperoleh gagasan inti atau tema sentral. Tema sebuah teks sering juga menjadi judul sebuah teks, tetapi sering juga tidak terlihat secara eksplisit di dalam teks, melainkan tercakup secara keseluruhan teks secara satu kesatuan bentuk yang koheren. Tema sebuah teks dapat ditemukan dengan cara membaca, mengamati, dan menghayati sebuah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



teks secara keseluruhan sebagai sebuah wacana sosial, sehingga dapat ditarik satu ide pokok yang dikembangkan dalam teks tersebut. Tema sebagai isi sebuah teks dapat dipahami dengan menggunakan content analysis (analisis isi). Dalam analisis isi ini, perlu mengkaji isi sebagai uangkapan produksi dan komunikasi institusional atau sosial secara umum. Dalam hal tradisi lisan, ungkapan (expression) ini merupakan teks yang diproduksi dan dikomunikasikan secara sosial. Van Dijk menyarankan untuk menggunakan pendekatan



hermeneutika



apabila



tema



menyangkut



ungkapan



tentang



―pandangan dunia‖ atau ideologi dan nilai yang subjektif dan personal. Superstruktur atau struktur alur, merupakan kerangka dasar sebuah teks yang meliputi rangkaian elemen sebuah teks dalam membentuk satu kesatuan bentuk yang koheren. Superstruktur merupakan skema atau alur sebuah teks. Sebuah teks, termasuk teks tradisi lisan secara garis besar tersusun atas tiga elemen yaitu, pendahuluan (introduction), bagian tengah (body), dan penutup (conclusion), yang masing-masng harus mendukung secara koheren. Analisis teks harus mampu mengungkapkan pesan-pesan yang ada dalam setiap elemen itu (Sibarani, 2012:314-315). Superstruktur atau struktur alur teks tradisi lisa juga memiliki tiga elemen seperti yang disebutkan di atas, tetapi pesan dari setiap elemen itu bervariasi sesuai bentuk dan jenis tradisi lisan. Superstruktur merupakan struktur teks yang berhubungan dengan kerangka suatu teks. Superstruktur disebut juga struktur skematik. Skema atau alur sebuah teks tersusun secara teratur dari awal sampai akhir, dari pendahuluan sampai penutup atau kesimpulan dalam satu kesatuan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



makna. Kajian struktur alur tradisi lisan akan menghasilkan skema tradisi lisan mulai dari awal hingga akhir, yang dapat dibagi atas permulaan, bagian tengah, dan penutup. Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoretis. Lingustik teoretis yang dimaksud, mencakup fonologis, mogfologis, sintaksis, diskursus, semantik, pragmatik, stilistika, dan figuratif. Kajian struktur mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik teks tradisi lisan yang dikaji. Ketiga struktur teks tersebut, menurut Van Dijk (Sibarani, 2012:317), merupakan satu kesatuan, saling berhubungan, dan saling mendukung. Ketiga struktur ini memiliki elemen masing-masing dan memperlihatkan kaidah masingmasing. Tema sebagai makna global suatu teks dalam tataran struktur makro didukung oleh kata dan kalimat dalam tataran struktur mikro.



2.3.1.2.2 Koteks Dalam proses komunikasi, teks sebagai tanda verbal pada umumnya didampingi oleh tanda lain, yang bersama-sama digunakan oleh teks itu. Teks tradisi lisan pun selalu digunakan bersama-sama dengan tanda-tanda lain, yang memegang peranan penting dalam praktik wacana tradisi lisan. Tanda-tanda seperti itu disebut dengan koteks. Keberadaan koteks dalam suatu wacana tradisi lisan menunjukkan bahwa struktur suatu teks memiliki hubungan dengan teks lainnya. Hal itulah yang membuat suatu wacana tradisi lisan menjadi utuh dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



lengkap. Koteks dapat menjadi alat bantu untuk menganalisis wacana tradisi lisan. Dalam wacana tradisi lisan yang cukup panjang sering sebuah kalimat harus dicarikan informasi yang jelas pada bagian kata yang lainnya. Koteks merupakan bagian penting dalam memberikan pemaknaan terhadap teks tradisi lisan. Ko-teks terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan. Jenis ini cocok digunakan untuk menganalisis tradisi lisan yang berbentuk upacara. Koteks tersebut berfungsi untuk memperjelas pesan atau makna sebuah teks (Sibarani, 2012:319). Berikut ini dijelaskan satu persatu. 1.



Paralinguistic (suprasegmental) Deskripsi paralinguistik (intonasi, aksen, jeda, dan tekanan) juga penting dalam kajian tradisi lisan. Peranan kajian paralinguistik akan semakin penting ketika tradisi dinyanyikan atau disenandungkan. Bantuan fonetik sangat penting untuk merumuskan aturan paralinguistik atau unsur-unsur suprasegmental dalam teks tradisi lisan. Unsur suprasegmental dalam teks sinandong dapat dilihat pada intonasi dan tekanan yang muncul saat dinyanyikan. Sinandong yang digunakan dalam mengiringi tari gubang dibangun oleh pola kalimat yang sama yaitu pantun sehingga intonasi yang digunakan pada baris pertama sama dengan pada baris ke tiga.



Di setiap akhir baris digunakan bunyi oi... yang



merupakan cirikhas dari sinandong. 2.



Kinetic (gerak isyarat)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dalam berkomunikasi dengan menggunakan



teks verbal seperti tradisi



lisan, orang selalu menggunakan gerakan tangan, ekspresi wajah, anggukan kepala, gerakan badan, dan lain-lain bersamaan dengan teks verbal itu. Gerakan seperti itu disebut gerak isyarat (gesture). Bidang ilmu yang mengkaji gerak isyarat dikenal dengan kinetik (kinetic). Saat seseorang sedang bernyanyi biasanya ada gerakan-gerakan tertentu yang menyertainya seperti gerakan tangan, kaki, kepala, ekspresi wajah seperti tersenyum yang disesuaikan dengan irama lagu yang sedang dinyanyikan. Sehubungan dengan sinandong gubang, penyanyi melakukan gerakan badan melenggok ke kiri dan ke kanan diikuti gerakan kaki dengan ekspresi wajah gembira. 3.



Prosemic (Penjagaan jarak) Penjagaan jarak antarpelaku (antarpemain) dan antara pelaku dengan penonton (khalayak) perlu dikaji. Deskripsi sikap dan penjagaan jarak antarpelaku dan antara pelaku dengan penonton akan memberikan kontribusi pada interpretasi makna dalam tradisi lisan. Dari penjagaan jarak para pelaku dapat terlihat oposisi binari antarpelaku, yang menggambarkan peran sebagai raja-rakyat, majikan-pembantu, direkturkaryawan, pimpinan-bawahan, dan sebagainya. Hubungan-hubungan interaksi lain juga dapat terlihat dari kajian prosemik, yang semuanya dapat memperkaya kajian tradisi lisan.



4.



Unsur-unsur material



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Bentuk koteks lain yang sangat perlu dikaji dalam tradisi lisan adalah unsur material atau benda yang sering mendampingi penggunaan teks. Praktik wacana tradisi lisan, baik dalam proses produksi, distribusi, maupun konsumsinya sangat berbeda dengan praktik komunikasi seharihari. Di samping praktik wacananya disampaikan dengan media lisan, praktik tradisi lisan membutuhkan persiapan pemain dan penonton yang secara baik karena praktik tradisi lisan pada umumnya dilakukan dalam bentuk upacara atau peristiwa tertentu. Oleh karena itu, praktik tradisi lisan sering membutuhkan persiapan-persiapan material yang secara simbolik membutuhkan interpretasi untuk memahami makna sebuah tradisi lisan. Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam praktik tradisi lisan dapat berupa perangkat pakaian dengan gayanya, penggunaaan warna, dekorasi, dan penggunaan berbagai properti dengan fungsi masing-masing. Unsurunsur material ini biasanya berhubungan dengan budaya suatu komunitas. Semua itu merupakan benda-benda simbolik yang perlu dikaji dari sudut semiotik untuk memperkaya interpretasi makna tradisi lisan.



2.3.1.2.3 Konteks Peranan konteks sangat penting dalam tradisi lisan. Pemaknaan unsurunsur lingual teks tradisi lisan sangat bergantung pada konteks dan koteksnya. Sebuah teks tradisi lisan akan berbeda makna, maksud dan fungsinya bergantung perbedaan konteksnya. Ada beberapa jenis konteks yang perlu dipertimbangkan dalam pemahaman ungkapan termasuk teks tradisi lisan. Pemilihan konteks ini



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sangat bergantung pada ragam ungkapan atau teks yang dikaji. Untuk memahami makna, maksud, pesan, dan fungsi dalam kajian tradisi lisan, konteks budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi perlu dikaji. Konteks ini juga diperlukan untuk memahami nilai dan norma budaya yang terdapat dalam tradisi lisan serta memahami kearifan lokal yang diterapkan untuk menata kehidupan sosialnya (Sibarani, 2012:324). Konteks adalah situasi yang ada disekitar ketika sebuah peristiwa ritual berlangsung. Pemaknaan sebuah bahasa yang diungkapkan oleh seseorang ditentukan oleh konteks, yakni pada saat kapan dan dimana ritual itu dilakukan. Pada upacara malam berinai ini peneliti melihat beberapa konteks yang meliputinya, yakni budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks ideologi. 1.



Konteks budaya Konteks budaya mengacu pada tujuan budaya yang menggunakan suatu



teks. Martin (Sibarani, 2012:324-325) mengatakan bahwa budaya penutur terlihat jelas di setiap keadaan seaktu mereka berinteraksi dan terlihat jelas secara verbal dalam konteks. Di dalam setiap interaksi sosial, kegiatan berbahasa yang dilakukan masyarakat dalam suatu budaya tertentu mesti mempunyai tujuan atau sasaran yang khas dan kekhasan tersebut menjadi salah satu dari faktor-faktor yang memotivasi dan menentukan interaksi sosial. Konteks budaya penyelenggaraan ritual turut



mempengaruhi sebuah



tradisi. Upacara malam berinai yang diselenggarakan tentu berbeda dengan budaya



yang



dilakukan



pada



upacara



kematian.



Malam



berinai



ini



diselenggarakan serangkaian dengan pelaksanaan upacara adat perkawinan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Melayu. Upacara malam berinai dilaksanakan dalam konteks budaya masyarakat Melayu di Tanjungbalai yang rangkaikan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang, kasidah, dan sinandong. Malam berinai ini berisi bermohonan kepada Tuhan agar makhluk gaib dan roh-roh halus tidak mengganggu pasangan pengantin. 2.



Konteks sosial Konteks sosial mengacu kepada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi



teks. Faktor-faktor sosial itu berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin, kelas sosial, suku, usia, dan sebagainya. Konteks sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu upacara baik itu sebagai pelaku, pengelolah, penikmat, bahkan komunitas pendukungnya. Pelaku dalam upacara malam berinai ini melibatkan banyak pihak, mulai dari calon pengantin, orang tua, pengetua adat, tetangga, sahabat, dan group kesenian. Pengelolah atau penyelenggara dalam upacara malam ini adalah orang yang mempunyai finansial yang memadai dan mencintai budaya Melayu. Komunitas pendukung upacara ini adalah masyarakat Melayu Tanjungbalai. Seiring berjalannya waktu, maka penyelenggaraan malam berinai ini juga semakin berkurang.



Hal



ini



disebabkan



karena



sekarang



masyarakat



ingin



meyelenggarakan suatu adat secara ringkas untuk menghemat biaya. 3.



Konteks situasi Hal ini mengacu pada waktu, tempat, dan penggunaan upacara. Konteks



situasi waktu akan menghasilkan waktu pelaksanaan, pertunjukan atau performansi sebuah tradisi lisan, baik dari segi pembagian waktu dalam sehari, pembagian minggu dan bulan, maupun pembagian siklus pertanian seperti masa



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menanam,



menyiangi,



atau



memanen.



Konteks



situasi



waktu



juga



mendeskripsikan fungsi tradisi lisan, seperti untuk ekspresi perasaan dalam keadaan suka maupun dalam keadaan duka (Sibarani, 2012:326-327). Konteks situasi tempat akan menghasilkan lokasi pelaksanaan, pertunjukan, atau performansi sebuah tradisi lisan. Lokasi pelaksanaan tradisi lisan bisa berupa pentas, tempat pemain dan penonton, permanen atau berpindah-pindah, dan sebagainya. Bahkan, teks tradisi lisan juga ada yang dipengaruhi oleh perbedaan tempat. Konteks situasi cara akan menghasilkan cara pelaksanaan atau pertunjukan tradisi lisan. Bagaimana sebuah tradisi lisan ditampilkan merupakan hal yang paling penting dalam konteks situasi cara dalam tradisi lisan. Di sini dapat dilihat tradisi ditampilkan mendekati asli atau mendekati keinginan penonton, ditampilkan secara penuh atau hanya sebagian, teks menggunakan bahasa asli atau bahasa lain, dan sebagainya. Upacara malam berinai diselenggarakan pada waktu malam hari. Tempat pelaksanaan diadakan di rumah salah seorang warga masyarakat yang masih memegang teguh upacara adat perkawinan Melayu. Tempat pelaksanaan upacara ini diselenggarakan di rumah calon pengantin perempuan. Pasangan pengantin didudukkan di atas perlaminan lalu ditepungtawari dan diinai secara simbolis. Kemudian pengantin pria kembali ke rumahnya dan diinai oleh sanak keluarganya. Sedangkan pengantin wanita diinai di kamarnya oleh sahabat atau tukang inai. Upacara malam berinai ini dilaksanakan dengan cara dirangkaikan dengan akad nikah. Akad nikah diselenggarakan pada malam hari selepas sholat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Isya (lebih kurang pukul 20.00 WIB). Kemudian acara dilanjutkan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang dan sinandong gubang, kasidah, dan sinandong. Acara ini berakhir sampai tengah malam. 4.



Konteks idiologi Konteks



idiologi



mengacu pada kekuasaan



dan kekuatan



yang



mempengaruhi suatu teks. Idiologi adalah faham, aliran, kepercayaan, keyakinan, dan nilai yang dianut bersama oleh masyarakat. Idiologi menjadi konsep sosiokultural yang mengarahkan dan menentukan nilai yang terdapat dalam suatu komunitas. Ada hegemoni kekuasaan dan kekuatan ideologis sebuah faham yang mempengaruhi, mengontrol, dan mendominasi kelompok masyarakat. Ideologi itu menjadi cara berpikir, cara berperilaku, dan cara bertindak masyarakat dalam mengatur tatanan kehidupan mereka (Sibarani, 201:238-239). Meskipun saat ini masyarakat Tanjungbalai mayoritas menganut agama Islam, akan tetapi kebudayaan pra-Islam masih mempengaruhi adat kebiasaan terutama bentuk upacara ritual. Salah satunya adalah upacara malam berinai ini. Dalam upacara ini rangkaian kegiatan disesuaikan dengan acaran Islam, namun untuk dalam upacara ini menggunakan peralatan yang menyimbolkan suatu hal. Misalnya dalam upacara tepung tawar dan permakaian inai.



2.3.2 Pendekatan Kearifan Lokal Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diikuti oleh anggota masyarakatnya. Nilai terpentingnya adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Hal penting untuk dipertimbangkan pertama-tama tentang kearifan lokal adalah apa yang telah pernah disampaikan oleh Famark Hlawnching (http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?project_id=00022)



yang bekerja



untuk PBB. Dalam laporan hasil penelitian lapangannya ia berkata sebagai berikut: ―when the outsiders met indigenous peoples for the first time over five centuries ago, their concept understanding on indigenous peoples was very disparaging and called them aborigine, natives, tribal, schedule tribes, ethnic minorities and ethnic nationalities, connoting backwardness and primitives. With such a concept, indigenous systems including governance, culture, social, legal and judiciary, philosophy, economic systems were replaced with supposedly more advanced systems to assimilate and ―modernize‖ indigenous peoples. ...traditionally, the unit of administration ... among the indigenous peoples was restricted to the village level‖ (Ketika orang luar bertemu masyarakat adat untuk pertama kalinya lebih dari lima abad yang lalu, pemahaman konsep mereka tentang masyarakat adat sangat meremehkan dan memanggil mereka pribumi, penduduk asli, suku, suku-suku dijadwalkan, etnis minoritas dan etnis suku bangsa, yang berkonotasi dengan keterbelakangan dan primitif. Dengan konsep seperti itu, sistem adat termasuk tata kelola, budaya, sosial, hukum dan peradilan, filsafat, sistem ekonomi digantikan dengan sistem seharusnya lebih maju untuk mengasimilasi dan "memodernisasi" masyarakat adat. ... secara tradisional, unit administrasi ... antara masyarakat adat dibatasi ke tingkat desa). Definisi kearifan lokal secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang baik yang ada di dalam wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilainilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong, saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal. Dari definisi di atas, dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyiannyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal. Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba. Berangkat dari semua itu, kearifan lokal adalah persoalan identitas. Sebagai sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1. Kearifan lokal dalam hubungan dengan makanan: khusus berhubungan dengan lingkungan setempat, dicocokkan dengan iklim dan bahan makanan pokok setempat. (Contoh: Sasi laut di Maluku dan beberapa tempat lain sebagai bagian dari kearifan lokal dengan tujuan agar sumber pangan masyarakat dapat tetap terjaga). 2. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pengobatan: untuk pencegahan dan pengobatan. (Contoh: Masing-masing daerah memiliki tanaman obat tradisional dengan khasiat yang berbeda-beda). 3. Kearifan lokal dalam hubungan dengan sistem produksi: Tentu saja berkaitan dengan sistem produksi lokal yang tradisional, sebagai bagian upaya pemenuhan kebutuhan dan manajemen tenaga kerja. (Contoh: Subak di Bali; di Maluku ada Masohi untuk membuka lahan pertanian, dll.). 4. Kearifan lokal dalam hubungan dengan perumahan: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah tersebut (Contoh: Rumah orang Eskimo; Rumah yang terbuat dari gaba-gaba di Ambon, dll.). 5. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pakaian: disesuaikan dengan iklim dan bahan baku yang tersedia di wilayah itu. 6. Kearifan lokal dalam hubungan sesama manusia: sistem pengetahuan lokal sebagai hasil interaksi terus menerus yang terbangun karena kebutuhankebutuhan di atas. (Contoh: Hubungan Pela di Maluku juga berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan pangan, perumahan, sistem produksi dan lain sebagainya).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sibarani (2012: 112-113) berpendapat tentang kearifan lokal dapat dipandang dari dua pengertian. Pertama, ―Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.‖ Di dalam hal ini, kearifan lokal lebih ditekankan pada kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial yang berasal dari nilai budaya yang luhur. Kedua, kearifan lokal adalah nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif maupun bijaksana.‖ Dalam hal ini, kearifan lokal dipandang sebagai nilai budaya yang digunakan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang diidam-idamkan masyarakat. Kebenaran seperti itu pada perkembangan selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan manusia (Sibarani, 2012: 111). Kearifan



lokal



dilegitimasi



dalam



perundang-undangan



Republik



Indonesia. Hal tersebut ditemukan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Pasal 1angka 30 UUPPLH berbunyi, ―Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelolah lingkungan hidup secara lestari.‖ Pasal ini memperoleh penjelasan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



umum pada angka 2UUPPLH yang berbunyi, ―...lingkungan hidup Indonesia harus dilindingi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.‖ Kalimat ini diperjelas dengan penekanan kearifan lokal, ―Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadp kearifan lokal dan kearifan lingkungan.‖ Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi.



Sebagai



sebuah



istilah



wisdom



sering



diartikan



sebagai



‗kearifan/kebijaksanaan‘. Lokal secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut settting. Setting adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka. Kearifan lokal merupakan hasil proses dialektika antara individu dengan lingkungannya. Kearifan lokal merupakan respon individu terhadap kondisi lingkungannya. Pada individual, kearifan lokal muncul sebagai hasil dari proses kerja kognitif individu sebagai upaya menetapkan pilihan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi mereka. Pada kelompok, kearifan lokal merupakan upaya menemukan nilai-nilai bersama sebagai akibat dari pola-pola hubungan (setting) yang telah tersusun dalam sebuah lingkungan. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Sibarani (2012: 112-113) berpendapat tentang kearifan lokal dapat dipandang dari dua pengertian. Pertama, ―Kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat.‖ Di dalam hal ini, kearifan lokal lebih ditekankan pada kebijaksanaan atau kearifan menata kehidupan sosial yang berasal dari nilai budaya yang luhur. Kedua, kearifan lokal adalah nilai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif maupun bijaksana.‖ Dalam hal ini, kearifan lokal dipandang sebagai nilai budaya yang digunakan untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat setempat



dapat



dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian di masyarakat pada hakikatnya merupakan kebenaran yang diidam-idamkan masyarakat. Kebenaran seperti itu pada perkembangan selanjutnya disebut dengan kebenaran pragmatis. Secara praktis, pengetahuan asli dan kearifan lokal merupakan kebenaran yang sesungguhnya karena benar-benar bermanfaat pada kehidupan manusia (Sibarani, 2012:111). Kearifan lokal merupakan milik manusia yang bersumber dari nilai budayanya sendiri dengan menggunakan segenap akal budi, pikiran, hati, dan pengetahuannya untuk bertindak dan bersikap terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Manusia selalu memilik dua ruang interaksi yakni lingkungan alam dan lingkungan sosial. Menghadapi dua ruang interkasi itu, pada umumnya manusia memiliki kearifan dari tiga sumber, yaitu dari nilai tradisi budaya, aturan pemerintah, dan nilai agama. Ketiganya bersinergi menjadi satu nilai budaya menjadi sumber kearifan lokal. Dengan tiga sumber kearifan itu, manusia menjalani kehidupannya dalam ruang interaksi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pada gilirannya kedua ruang interaksi itu memproduksi nilai dan norma budaya baru yang berlaku pada komunitasnya dan yang berbeda dengan nilai budaya pada komunitas lainnya. Nilai dan norma budaya semacam



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ini menjadi kearifan baru yang telah mengalami transformasi. Nilai-nilai tersebut cukup arif sebagai landasan hubungan manusia dengan manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Oleh karena itulah, kearifan lokal merupakan nilai dan norma budaya yang menjadi acuan tingkah laku manusia untuk menata kehidupannya (Sibarani, 2015: 79). Kearifan lokal yang digali dari tradisi budaya atau tradisi lisan sebaiknya mempertimbangkan teori lapisan, yang sering dianalogikan dengan teori ―bawang merah‖. Lapisan luar (outer layer) suatu tradisi budaya atau tradisi lisan memperlihatkan makna dan fungsi tradisi yang dapat diamati, ditonton, didengar, atau dinikmati secara empiris, tetapi lapisan tengah (middle layer) suatu tradisi budaya atau tradisi lisan akan memperlihatkan nilai dan norma tradisi tersebut, sedangkan lapisan inti (the core layer) akan memperlihatkan kearifan lokal yang menjadi keyakinan, kepercayaan, dan asumsi dasar yang dapat menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi manusia dalam komunitasnya. Dengan pembedaan ketiga lapisan tersebut, orang akan membedakan makna-fungsi, nilai-norma, dan kearifan lokal secara lebih jelas. Setiap orang melihat, mengkaji, dan memahami tradisi budaya atau tradisi lisan, perlu membedakan makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal tradisi tersebut (Sibarani, 2015: 51-52). Adapun teori lapisan pemaknaan tradisi lisan atau tradisi budaya tersebut dapat dilihat dari bagan berikut,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Bagan 2.1 Teori Lapisan Pemaknaan Tradisi Lisan/Tradisi Budaya Dalam penelitian terhadap tradisi budaya atau tradisi lisan terdapat berbagai nilai dan norma budaya sebagai warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya dapat diklasifikasikan sebagai kearifan lokal. Menurut Sibarani (2012: 133-134) ada dua jenis kearifan lokal inti (core local wisdoms),



yaitu kearifan lokal untuk (1) kemakmuran atau



kesejahteraan dan (2) Kedamaian atau kebaikan. Dapat dilihat lebih jelas dalam bagan dibawah ini,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



KEARIFAN LOKAL



KEDAMAIAN



Kesopansantunan kejujuran kesetiakawanan sosial kerukunan & penyelesaian konflik Komitmen Pikiran Positif Rasa Syukur



KESEJAHTERAAN



Kerja keras disiplin pendidikan kesehatan gotong royong Pengelolaan gender pelestarian dan kreativitas budaya peduli lingkungan



Bagan 2.2: Jenis Kearifan Lokal Dalam penelitian ini, peneliti akan menanalisis kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Asahan yang terdapat dalam Sinandong Asahan tersebut. Nilai-nilai itu bisa berwujud nilai-nilai keyakinan yang dipedomani mayarakat dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu bisa berupa gotongroyong, kerukunan, etos kerja, kesetiakawanan sosial, dan sebagainya.



2.2.8 Model Revitalisasi Warisan budaya, berdasarkan sifat bentuknya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu warisan budaya materi/tangible, seperti contohnya: alat-alat batu, candi, mesjid tua, gereja tua, dan sebagainya. Serta warisan budaya nonmateri/intangible, seperti contohnya: bahasa, nyanyian, tari-tarian, proses pembuatan batik, seni pertujukan tradisional, dan sebagainya. Terminologi ini



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



harus dipahami sebagai pembeda antara hasil cipta, rasa, karsa oleh manusia terhadap suatu materi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam hal ini warisan budaya yang materi/tangible. Adapun pemahaman warisan budaya nonmateri/intangible yang paling mudah adalah sesuatu yang berkenaan dengan hasil ranah ide dan konsep yang dituangkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari manusia, yang ada di balik objek materi (ranah intangible-nya). Konservasi secara umum diartikan pelestarian namun demikian dalam khasanah para pakar konservasi ternyata memiliki serangkaian pengertian yang berbeda-beda implikasinya. Istilah konservasi yang biasa digunakan para arsitek mengacu pada Piagam dari International Council of Monuments and Site (ICOMOS) tahun 1981 yaitu : Charter for the Conservation of Places of Cultural Significance, Burra, Australia. Piagam ini lebih dikenal dengan Burra Charter. Dalam Burra Charter konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan dalam piagam tersebut. Konservasi adalah konsep proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik. Pengertian ini sebenarnya perlu diperluas lebih spesifik yaitu pemeliharaan morfologi (bentuk fisik) dan fungsinya. Kegiatan konservasi meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal maupun upaya pengembangan untuk pemanfaatan lebih lanjut. Bila dikaitkan dengan kawasan maka konservasi kawasan atau sub bagian kota mencakup suatu upaya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pencegahan adanya aktivitas perubahan sosial atau pemanfaatan yang tidak sesuai dan bukan secara fisik saja. Kegiatan konservasi antara lain bisa berbentuk (a) preservasi, (b) restorasi, (c) replikasi, (d) rekonstruksi, (e) revitalisasi dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset masa lalu, (f) rehabilitasi. Aktivitas tersebut tergantung dengan kondisi, persoalan, dan kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut. Masyarakat awam sering keliru bahwa pelestarian bangunan bersejarah diarahkan menjadi ded monument (monumen statis) tetapi sebenarnya bisa dikembangkan menjadi life monument yang bermanfaat fungsional bagi generasi masa sekarang. Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang (future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya (http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Mempertimbangkan piagam internasioal tentang Konservasi dan Restorasi Monumen dan Situs (International Charter for the Conservation and Restoration of Monumen and Sites, Venice 1964), dan Resolusi Kelima Dewan Umum Badan Internasional untuk Monumen dan Situs (Resolution of the 5th General Assembly of the International Council of the Monumen and Sites(ICOMOS), Moscow 1978). Piagam Burra ditetapkan oleh ICOMOS Australia ( Komite Nasional Australia untuk ICOMOS) pada tanggal 19 Agustus 1979 di Burra, Australia Selatan. Revisi dilakukan pada tanggal 23 Februari 1981, 23 April 1988, dan 26 Nopember 1999. Piagam Burra memberi panduan untuk konservasi dan pengelolaan tempat-tempat kebudayaan yang bersignifikansi (tempat-tempat warisan budaya) dan disusun berdasarkan pengetahuan dan pengalaman para anggota ICOMOS Australia. Konservasi adalah bagian integral dari pengelolaan tempat-tempat bersejarah dan merupakan tanggung jawab berkesinambungan. Piagam ini menetapkan standar pelaksanaan bagi pihak-pihak yang memberikan saran, membuat keputusan, atau menangani pekerjaan pada tempat-tempat warisan budaya termasuk pemilik, pengelolah, dan pengawas. Piagam ini dapat diterapkan pada semua jenis tempat-tempat warisan budaya, termasuk tempat-tempat alam (narural), asli (indiginous), dan tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai budaya. Untuk melindungi tempat-tempat warisan budaya di Indonesia, sudah diatur dalam UU no. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Pasal 1, ayat (1) UU No. 11 Tahun 2010 menyatakan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Sedangkan ayat (2) menyatakan, Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisasisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Penyelamatan suatu obyek konservasi adalah bentuk apreasiasi pada perjalanan sejarah bangsa, pendidikan dan pembangunan wawasan intelektual bangsa antar generasi. Konservasi suatu bangunan kolonial tidak diartikan suatu cara mengenang kolonialisme dan ketidakberdayaan bangsa tetapi menjadi ‖tantangan‖ untuk mempertahankan kemerdekaan yang sudah diraih dengan mengisi karya yang lebih baik. Pelestarian suatu arsitektur kolonial adalah mengingatkan kegetiran serta meningkatkan harga diri bangsa untuk tetap merdeka. Keberadaan bangunan bersejarah memiliki signifikasi pembentukan kolektif memori serta membangun kesinambungan sejarah yang merupakan dasar terbentuknya makna sebuah lingkungan. Dengan demikian sangat keliru bilamana suatu program pelestarian hanya ditujukan untuk tujuan estetika atau romantisme masa lalu belaka. Selanjutnya, di dalam Convention for the Safeguarding of the Intangible Culltural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Berwujud) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan budaya tidak berwujud seperti tercantum dalam pasal 1 konvensi ini adalah sebagai berikut :Warisan budaya tak berwujud sebagaimana dalam ayat (1), diwujudkan antara lain di bidang-bidang sebagai berikut : a. Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tak benda; b. Seni pertunjukan; c. Adat istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan – perayaan; d. Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; e. Kemahiran kerajinan tradisional. Adapun beberapa contoh warisan budaya yang dimiliki Bangsa Indonesia adalah sebagai berikut: a. Tari-tarian. Misal: Tari Pendet, Tari Remo, Tari Lilin, Tari Jaipong, Tari Kecak, dll. b. Candi Misal : Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Mendut, dll. c. Lagu Daerah Misal: Sayonara, Soleram, Ampar – ampar pisang, Apuse, dll. d. Masakan Misal: Tumpeng, Rendang, Gudeg, Lodho, Soto, Sate, Ruja, dll. e. Pakaian adat Misal: Baju Bodho, Kebaya, Jarit, Kain Songket, Batik, dll. f. Upacara adat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Misal: Ngaben, Kasodo, Sekaten, Larung Sajen, Nyadran, dll. (http://wartawarga. gunadarma.ac.id/2010/02/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup -ilmubudaya) Untuk melestarikan budaya intangible maka DPR RI membuat Rancangan Undang Undang pada tanggal 3 April 2013. Menimbang (a) bahwa kebudayaan nasional Indonesia melalui pengelolaan kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan untuk mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai budaya; (b) bahwa untuk memelihara dan mengembangkan nilai budaya harus didasari pada kristalisasi nilai budaya yang terkandung dalam Pancasila; (c) bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia sangat



rentan terhadap pengaruh



globalisasi



sehingga



dapat



menimbulkan perubahan nilai budaya dalam masyarakat; (d) bahwa belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebudayaan sebagai landasan hukum dalam pengelolaan kebudayaan; (e)



bahwa berdasarkan



pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Kebudayaan. Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DPR RI dan Presiden RI memutuskan dan menetapkan UU tentang Pengelolaan Kebudayaan Pasal 1 RUU Tahun 2013 menjelaskan bahwa, dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1. Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan, perilaku, dan hasil karya manusia dan/atau kelompok manusia yang dikembangkan melalui proses belajar dan adaptasi terhadap lingkungannya yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Kebudayaan Nasional Indonesia adalah kebudayaan elemen bangsa di seluruh Indonesia dan kebudayaan baru yang timbul akibat interaksi antarkebudayaan untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3. Sistem Kebudayaan Indonesia adalah keseluruhan proses dan hasil interaksi sistemik dari budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan, budaya tempatan, dan budaya global yang terkait satu sama lain dan dinamis menuju ke arah kemajuan peradaban bangsa Indonesia. 4. Unsur Kebudayaan adalah bagian dari suatu sistem kebudayaan dengan sifat yang berbeda-beda yang terkait satu sama lain dan membentuk satu kesatuan. 5. Pengelolaan Kebudayaan adalah upaya pelestarian kebudayaan yang dilakukan melalui perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian untuk tujuan kemajuan peradaban bangsa dan kesejahteraan masyarakat. 6. Pelestarian adalah upaya dinamis yang meliputi pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Selanjutnya dalam pasal 5 dinyatakan, Pengelolaan Kebudayaan dilakukan berdasarkan prinsip: a. Hak Berkebudayaan; b. kearifan lokal; c. kelestarian alam dan lingkungan hidup;



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



d. koordinasi dan keterpaduan secara sinergis antarpemangku kepentingan; e. jati diri bangsa, harmoni kehidupan, dan etika global tentang kebudayaan. Dalam pasal 6 dinyatakan, Pengelolaan Kebudayaan bertujuan: a. memperkukuh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan ketahanan budaya; c.membangun keharmonisan dalam keanekaragaman budaya bangsa yang dinamis; d. memperkuat keberlanjutan kebudayaan sebagai modal dasar pembangunan nasional; dan e. memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat. Kemudian dalam pasal 43 dinyatakan bahwa Penghargaan Sejarah dan Warisan Budaya melalui upacara tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf (g) diwujudkan dengan: a. inventarisasi dan dokumentasi; b. fasilitasi penyelenggaraan upacara tradisional; c. promosi upacara tradisional; dan d. publikasi. Pasal 44, Penghargaan Sejarah dan Warisan Budaya melalui kesenian tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf h diwujudkan dengan: a. inventarisasi dan dokumentasi; b. fasilitasi penyelenggaraan kesenian tradisional; c. fasilitasi pengajaran kesenian tradisional; d. sosialisasi kesenian tradisional;



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



e. promosi kesenian tradisional; dan f. publikasi. Menindaklanjuti RUU tersebut, maka pada tanggal 12 Desember 2013 dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Dalam Pasal 3 dinyatakan, Warisan Budaya Takbenda Indonesia terdiri atas: a. tradisi dan ekspresi lisan; b. seni pertunjukan; c. adat-istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; d. pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan/atau e. keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional. Pasal 4 ayat (1) Budaya Takbenda dapat berasal dari perseorangan, kelompok orang, atau Masyarakat Hukum Adat. Ayat (2) Budaya Takbenda dapat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan kriteria: a. merupakan Budaya Takbenda yang melambangkan identitas budaya dari masyarakat; b. merupakan Budaya Takbenda yang memiliki nilai penting bagi bangsa dan negara; c. merupakan Budaya Takbenda yang diterima seluruh masyarakat Indonesia; d. memiliki nilai-nilai budaya yang dapat meningkatkan kesadaran akan jatidiri dan persatuan bangsa; dan e. merupakan Budaya Takbenda yang memiliki nilai diplomasi.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Ayat (3) Budaya Takbenda yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Warisan Budaya Takbenda Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diusulkan oleh Tim Ahli sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ayat (4) Budaya Takbenda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia dengan ketentuan kondisinya yang sudah terancam punah atau ditinggalkan oleh masyarakat. Selanjutnya pada BAB VI tentang pelestarian, yang dinyatakan pada Pasal 10, Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan. Pasal 11, ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menjamin Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia melalui program peningkatan kesadaran Pelestarian. Ayat (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mempunyai rencana aksi dalam melestarikan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Pasal 12 ayat (1) Setiap Orang dan Masyarakat Hukum Adat berperan aktif melakukan



Pelindungan



Warisan



Budaya



Takbenda



Indonesia



melalui



Pendaftaran. Ayat (2) Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, Setiap Orang, dan Masyarakat Hukum Adat. Ayat (3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan Pelindungan dengan cara: a. mendorong partisipasi untuk Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia; b. membantu fasilitasi pengembangan sumber daya manusia dan dan bimbingan teknis dalam Pelestarian Warisan Budaya Takbenda Indonesia; dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



c. memberikan penghargaan kepada Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat yang berperan aktif melakukan Pelindungan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ayat (4) Pelindungan terhadap Warisan Budaya Takbenda Indonesia diutamakan untuk mempertahankan dan menyelamatkan keberadaannya. Pasal 13 ayat (1) Setiap Orang dan/atau Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan Pengembangan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Ayat (2) Pengembangan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 ayat (1) Pemanfaatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia untuk kepentingan pendidikan agama, sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Ayat (2) Pemanfaatan Warisan Budaya Takbenda Indonesia dilakukan melalui: a. penyebarluasan informasi nilai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, karakter, dan pekerti bangsa; b. pergelaran dan pameran Warisan Budaya Takbenda Indonesia dalam rangka penanaman nilai tradisi dan pembinaan karakter dan pekerti bangsa; dan c. pengemasan bahan kajian dalam rangka penanaman nilai Warisan Budaya Takbenda Indonesia serta pembinaan karakter dan pekerti bangsa. Mengacu pada Convention for the Safeguarding of the Intangible Culltural Heritage (Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Berwujud) maka tradisi upacara malam berinai termasuk ke dalam bentuk adat-istiadat masyarakat dan sinandong termasuk ke dalam bentuk seni pertunjukan yang meruapakan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



warisan budaya takberwujud dan patut untuk dilestarikan. Model pewarisannya akan disesuaikan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 106 Tahun 2013 pasal 12 ayat 3, seperti yang sudah disebutkan di atas. Sementara itu, Vansina (1961: 31-39) menawarkan empat metode pewarisan tradisi lisan: instruksi, pengawasan terhadap kisah dari tradisi, tradisi esoterik, dan alat pengingat. Pada metode instruksi Vansina mengambil contoh dari Marquesas Islands dimana sebanyak 30 lelaki dan perempuan dengan usia antara 20 hingga 30 dikumpulkan dan tinggal di dalam sebuah rumah khusus yang besar selama sebulan dan tidak diperbolehkan pulang ke rumah mereka masingmasing dalam kurun waktu tersebut. Mereka dilatih pada pagi dan siang hari oleh seorang pakar budaya yang sengaja dikontrak dan setelah sebulan mereka diberi waktu istirahat selama 15 hari dan setelah waktu istirahat pelatihan dilanjutkan kembali. Jika mereka tidak memiliki kemajuan yang baik, pelatihan segera ditutup. Metode pengawasan terhadap kisah dari tradisi (control over recital of traditions) dilakukan dengan cara berbeda-beda. Vansina mencatat beberapa wilayah di dunia yang menerapkan sanksi dan penghargaan (rewards) untuk menjaga kelangsungan kisah dari sebuah tradisi. Masyarakat Bushongo hanya menggunakan bentuk sanksi yang diringankan; sedangkan, seorang raja diperkirakan gagal bila ia tidak dapat memberikan deskripsi umum tentang sejarah Kuba pada saat upacara penobatan. Bila kesalahan terjadi ketika mengkisahkan sebuah tradisi di Marquesas Islands maka upacara tersebut dibatalkan karena telah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diberi sanksi oleh dewa. Vansina juga melaporkan bahwa seorang guru dapat mati mendadak bila terjadi satu kesalahan saja ketika ia berkisah di Selandia Baru. Metode tradisi esoterik (esoteric traditions) memiliki keunikan. Vansina mentatat pengetahuan tradisi yang bersifat esoterik (terbatas bagi kelompok masyarakat tertentu) dan non esoterik. Masyarakat Bushongo memiliki lagu-lagu ncyeem yang dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama yang diberi nama ncyeem ibushepy diperuntukkan bagi masyarakat umum namun kategori kedua, ncyeem ingesh, yang hanya boleh diajarkan oleh guru wanita, tidak boleh diperdengarkan kepada masyarakat umum dan hanya isteri-isteri raja yang boleh mendengarnya. Tradisi suku Kuba juga bersifat esoterik karena dilarang diketahui oleh orang lain dari luar suku itu. Terkait dengan metode alat pengingat Vansina berpendapat bahwa tradisi perlu diingat dan cara mengingat sebuah tradisi adalah dengan melestarikan objek-objek material yang diwariskan oleh generasi terdahulu. Objek-objek material ini disebut alat pengingat (mnemonic devices). Ia menolak alat pengingat sebagai bagian dari tradisi lisan walaupun benda tersebut mengandung nilai sejarah yang amat baik. Beberapa contoh alat pengingat adalah tongkat, pot, kursi, lagu-lagu, drum dan lainnya. Perumusan model revitalisasi harus dilakukan secara seksama agar benarbenar dapat diterapkan dan diterima oleh komunitasnya. Hal ini perlu, apalagi jika tradisi lisan itu telah lam ditinggalkan oleh komunitasnya. Penelitian dan perencanaan dilakukan secara bersama-sama dan secara seimbang dengan tujuan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



utama menghidupkan kembali suatu tradisi atau membuat tradisi lisan itu lebih digemari oleh komunitas pendukungnya. Model revitalisasi tradisi lisan membutuhkan perencanaan dan penelitian yang khusus karena menyangkut komunitas pemiliknya. Salah satu metode kombinasi penelitian dan perencanaan yang dapat diterapkan dalam model revitalisasi tradisi lisan adalah Participatory Planning and Research (PPR). Ada dua kegiatan yang dilakukan dalam model ini penelitian tradisi lisan (bentuk dan isi) secara partisipatoris serta perencanaan tradisi lisan dan pendukungnya secara partisipatoris. Penelitian bentuk dan isi tradisi lisan yang akan direvitalisasi dilakukan secara emik dengan observasi partisipatoris dan langsung, wawancara terbuka, dan mendalam, diskusi kelompok terarah, kepustakaan atau dokumen tertulis.



Perencanaan



tradisi



lisan



dan



pendukungnya



mengikutsertakan



masyarakat setempat dalam (1) menetapkan prioritas terhadap tradisi lisan yang akan direvitalisasi, (2) merencanakan dan menyusun program revitalisasi termasuk rancangan revitalisasi terhadap sebuah tradisi lisan, (3) membentuk kelompok tradisi lisan dengan program pelatihan atau pembelajaran, (4) mengelolah kelompok tradisi lisan secara terus-menerus, (5) mensosilisasikan tradisi lisan kepada pendukungnya dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagi kandungan tradisi lisan, (6) merancang regenerasi pelaku dan pendukung tradisi lisan sebagai bagian dari pewarisan budaya (Sibarani, 2012:293-294). Keenam langkah perencanaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen revitalisasi, yakni penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pewarisan tradisi lisan. Penghidupan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang telah punah, sedangkan pengaktifan kembali dimaksudkan untuk tradisi lisan yang masih hidup tetapi sudah tidak aktif lagi atau tidak lagi menjadi bagian hidup masyarakatnya. Pengelolaan merupakan hal yang penting agar tradisi lisan menjawab kebutuhan masyarakat, sedangkan pewarisan diperlukan untuk menjamin masa depan tradisi lisan. Seperti kata pepatah, tradisi lisan saat ini ‖ibarat kerakap tumbuh di batu, hidup enggan mati tak mau‖. Geliat tradisi yang semakin menyuram bukan tidak mungkin suatu saat akan benar-benar mati dan tinggal cerita indah saja untuk dikenang. Orang yang faham tentang tradisi lisan sudah mulai berkurang, ini bisa menjadi lampu kuning bagi kelangsungan hidup tradisi lisan. Para pelakunya sudah rata-rata berusia di atas 50 tahun dan mereka tidak memiliki kader yang akan menggantikan mereka kelak. Masyarakat, terutama kamu muda, harus dikenalkan kembali dengan khasanah tradisi lisan. Dalam berbagai kegiatan pribadi maupun publik, tradisi lisan sudah harus kembali ditampilkan, walaupun mungkin untuk tahap awal hanya merupakan selingan. Dengan berbagai modifikasi dan pelatihan yang memadai, tradisi lisan masih bisa berharap untuk eksis di tengah masyarakat. Masyarakat sesungguhnya masih memiliki memori tentang masa lalu mereka. Namun, karena kesibukan dan perubahan zaman, masyarakat menjadi abai dengan warisan leluhur yang sesungguhnya memiliki begitu banyak ajaran moral dan tuntunan kehidupan. Dekadensi moral seperti saat ini, salah satunya disebabkan karena masyarakat sudah ‖kehilangan‖ nilai-nilai moral yang harus mereka anut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tradisi lisan dengan kearifan lokalnya dapat menjadi penawar dahaga di tengah lautan kehidupan yang semakin gersang seperti saat ini. Pada masa lalu tradisi lisan, seperti tradisi malam berinai dan Sinandong, masih punya penggemar karena tidak ada alternatif hiburan lain. Sekarang dengan perkembangan teknologi, Sinandong jadi tidak laku. Nilai-nilai masa kini adalah dinamis. Nilai masa lalu yang ada pada Sinandong berubah. Sinandong hanya bisa dihidupkan melalui revitalisasi. Caranya, memperkenalkan sinandong ini kepada masyarakat dengan membuat festival sinandong. Membuat group sinandong yang terdiri dari personil muda mudi. Kemudian, membuat group sinandong yang lebih modern sehingga disukai oleh masyarakat umum. Pembelajaran sinandong di sekolah sebagai muatan lokal, juga bisa dipakai sebagai sarana revitalisasi senadung, tentu saja dengan dukungan Pemda setempat. Revitalisasi tidak hanya menyangkut dipentaskannya kembali Sinandong dalam berbagai festival, tetapi juga harus menyentuh aspek bagaimana mengemas kembali Sinandong tersebut dalam format yang lebih atraktif sehingga layak untuk bersaing dengan berbagai budaya populer saat ini. Namun realitasnya pemerintah atau masyarakat sendiri mengalami kesulitan dalam melakukan pelestarian karena berbagai keterbatasan. Pertama, keterbatasan pengetahuan dan wawasan mengenai pelestarian. Tidak sedikit tradisi dan ekspresi lisan; seni pertunjukan; adat-istiadat masyarakat, ritus, dan perayaan-perayaan; pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta; dan keterampilan dan kemahiran kerajinan tradisional, yang tersebar di masyarakat dan belum terdaftar sebagai warisan budaya. Hal ini bisa diatasi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dengan konsultasi pada pihak-pihak yang berkompeten. Keberadaan lembaga adat dan pakar budaya sangat membantu dan diharapkan supaya masyarakat memahami dan mencintai budaya sendiri. Kedua, keterbatasan dana dalam pelestarian yang biasanya harus mengeluarkan biaya ekstra dan lebih besar. Akibatnya masyarakat tidak mampu melestarikan budaya tersebut karena memakan biaya yang besar. Ketiga, masalah kemajuan teknologi sehingga kebudayaan tradisi mengalami kesulitan untuk bertahan dan kehilangan pendukungnya.



2.3.4 Teori Arketipe Analisis psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan tradisi psikologi analitik Jungian, memandang struktur primordial sebagai ekuivalensi struktur arketipe. Individu terdiri atas dua lapisan ketaksadaran, yaitu a) ketaksadaran personal, yang isinya diterima melalui pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari, dan b) ketaksadaran kolektif yang isinya secara universal diterima melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, ciri-ciri genetik lainnya. Individu mesti memiliki relevansi dengan masa lampau. Oleh karena itulah, kompleks ide mesti distrukturisasikan dan dienergisasikan di sekitar citra arketipe. Citra arketip selanjutnya menggarisbawahi dan mengarahkan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan secara tidak langsung, seperti cita-cita dan kehendak, kreasi dan imajinasi, khususnya perilaku yang berkaitan dengan citra masa lampau. Dengan dasar warisan nenek moyang, arketipe berfungsi sebagai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



prototipe, cetak biru pola-pola perilaku individu, yang pada gilirannya merupakan dasar-dasar filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya (Ratna, 2011:141-142). Dalam proses analisis eksistensi citra primordial dan arketipe ditelusuri melalui dua mekanisme, yaitu: a. mekanisme analisis struktur intrinsik, dan b. mekanisme struktur ekstrinsik. Masing-masing analisis menampilkan mediasi-mediasi, struktur intrinsik dengan mediasi genre, struktur tematik, dan estetis. Melalui indikator tertentu mengarahkan subjek untuk menampilkan cara-cara penyajian yang baru. Struktur ekstrinsik dengan mediasi sosiokultural dan antardisiplin, melalui kualitas interdependensi, antara indikator-indikator modernitas, kebudayaan asing, dan erosi psikologis, mengarahkan pada esensi subjek kreator untuk menampilkan pergeseran mentalitas spesiesnya. Melalui kedua mekanisme di atas, secara ritmis dialektis dapat diidentifikasi citra nostalgis mentalitas subjek kolektif karya (Ratna, 2011: 136) Kajian arketipe mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu psikologi dan antropologi. Pendekatan psikologi dipengaruhi oleh falsafah Freud, tetapi pendekatan arketipe ini dipengaruhi oleh falsafah psikologis Jung. Dengan kata lain, pendekatan arketipe adalah lanjutan dari perkembangan kajian psikologis. Ada aspek-aspek yang sama dibicarakan tetapi ada juga aspek-aspek yang berbeda. Di antara aspek yang banyak dibicarakan oleh Jung hasil dari penyelidikannya adalah konsep primordial images. Hanya pada tahun 1919,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



barulah istilah arketipe digunakannya dan terbentuk sebagai sebuah teori. Dengan istilah arketipe Jung merujuk kepada perkembangan manusia dari jaman kanakkanak, remaja, dewasa, hingga akhir hayat dalam konteks mendukung konsep tipe induk dalam diri manusia. David Macey (Sikana, 2009:136) mengemukakan, archetipe in the strict sense are primordial ang universal images that make up the contents of the collective unconcius, and their existence is revealed by the regular pattern of imagery that reoccur in individual dreams, artistic productions and primitive religion and mythologeis. Jung adalah seorang ahli psikiatris dan pelopor gerakan analisis psikologi yng mengarah kepada metapsikologi dan teori psikoterapi. Jung dianggap sebagai subjektivis dan berpegang kepada tradisi romantik dan dia mengkaji aspek jiwa atau soul manusia yang mengaitkan antara psikologi kejiwaan dengan agama dan kepercayaan. Gazet berpendapat, dalam karya sastra ciri-ciri historis primordial dan ciriciri psikologis arketipe tidak dianggap sebagai dua komponen yang berbeda dan tidak mesti dipertentangkan. Sebagai kualitas arkhais, sebagai mitos primordial dan arketipe adalah dua diskresi yang saling melengkapi, bahkan identik. Ciri-ciri historis primordial menyediakan pemahaman yang berkaitan dengan masa lampau sebagai kualitas diakronis. Fragmentasi kehidupan manusia baik secara individual maupun kelompok, mesti diartikiulasikan ke dalam sejarah, ke dalam generasi. Di luar sejarah, manusia tidak memiliki arti (Ratna: 2011: 135). Selanjutnya, Sikana (2009: 138- 146) mengatakan, penggunaan disiplin dalam kaedah arketipe mempunyai beberapa konsep dan prinsip tersendiri.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Ada enam prinsip kaedah arketaipal. Pertama, pendekatan arketaipal menekankan analisisnya teradap aspek-aspek pengulangan naluri dalam penciptaan sebuah karya sastra. Kedua, pendekatan arketipe meletakkan dasar penilaian kesusastraan seperti pengalaman-pengalaman asli, bermakna dan berakar dari tradisi pribumi mempunyai kuasa, makna dan pengertia hidup manusia. Ketiga, pendekatan arketipal memberikan perhatian yang lumayan terhadap perkembangan jiwa pembaca atau audiensnya. Keempat, pendekatan arketaipal sebagai satu kriteria kritikan pada dasarnya tidak dapat menentukan secara mutlak akan mutu sesebuah karya. Kelima, pendekatan arketaipal meletakkan taraf penulis sebagai manusia luar biasa, mempunyai daya ingatan yang tajam dan berkemampuan mengolah peristiwa-peristiwa klasik. Keenam, sama seperti dengan pendekatan psikologi yang berdasarkan teori Freud, pendekatan arketaipal juga dalam analisisnya melihat aspek perlambangan atau simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguiti. Untuk lebih jelasnya, akan diraukan satu per satu. Pertama, pendekatan arketipe menekankan analisisnya teradap aspek-aspek pengulangan naluri dalam penciptaan sebuah karya sastra. Perkataan archetype itu sendiri bermakna ―bentuk yang bersejarah‖ atau ―bentuk asli‖. Arketipe dikatakan sebagai an archetype as a basic model from which copies are made (Peck, John & Coyle, Martin, 1990:368, Sikana, 2009:136). Dari etimologinya, pendekatan ini mencoba menguraikan aspek bentuk sebuah karya yang disusurkan dengan bentuk aslinya. Pengarang mencoba menghidupkan kembali bentuk sastra rakyat, seperti cerita jenaka, penglipur lara dan unsur-unsur keislaman. Jung mengatakan bahwa dalam diri manusia, terutama pengarang, memiliki suatu indra, juga intuisi. Tanpa sadar, akan menjelma turun temurun bentuk penceritaan dari zaman ke zaman. Meskipun pada zaman klasik, mereka disebut sebagai ahli pidato, penglipur lara, pencerita, ataupun dalang, dan pada zaman modern ini disebut penulis, sastrawan atau pujangga, tetapi pada dasarnya mereka menggunakan bentuk yang sama dalam kreativitas mereka. Jadi, kajian



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



arketipe melihat bentuk sebagai suatu pola atau struktur penceritaan yang muncul dari zaman ke zaman dan senantiasa diperbaharui oleh golongan muda, tanpa menjelaskan keasliannya (Sikana, 2009 :138). Kedua, pendekatan arketipe meletakkan dasar penilaian kesusastraan seperti pengalaman-pengalaman asli, bermakna dan berakar dari kekuatan tradisi masyarakat, makna dan pengertian hidup manusia. Pandangan terhadap ketidaksadaran kolektif dan pengingatan kolektif berguna untuk memahami jiwa suatu bangsa. Pendekatan arketipe dapat menolong untuk memahami kesusastraan terutama unsur simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguitas. Pendekatan ini percaya adanya perulangan tema induk, lingkar sejarah, dan budaya suatu bangsa dalam karya sastra. Jika alam suatu jaman, sejarah, atau budaya suatu bangsa, begitu rendah, mundur, dan hina, tetapi di zaman lain, akan menjadi tinggi, maju, dan terhormat. Begitu juga dengan sejarah manusia, saling berganti sebagai implikasi dan reaksi pergolakan manusia. Intinya adalah tema induk sebuah karya mempunyai makna dan kepentingan pada suatu bangsa. Banyak cara bangsa itu mempergunakannya, terutama untuk memperkuat jati diri mereka, seperti yang dilakukan oleh bangsa Barat, dengan mengagung-agungkan jaman kejayaan jaman Greek (Yunani). Dalam suatu uraian lain, pendekatan arketipe disebut sebagai pendekatan totemik, mitologikal, dan rituaistik. Totemik adalah istilah yang merujuk ilmu perbandingan ras manusia, dimana dalam suatu peringkat tamadun, mereka menggunakan tanda-tanda bercorak simbolik sebagai usaha untuk memperkuat kepercayaan dan keyakinan. Juga sebagai lambang keagamaan atau kebangsaan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang dimiliki suatu bangsa jika dibandingkan dengan bangsa yang lain. Mitologikal berasal dari kata mitos, yang menerangkan suatu subjek mempunyai asal-usul dan perl dihormati. Untuk memitosasi seorang raja dikatakan dia berasal dari langit, karena ―langit‖ bermakna tinggi, terhormat, dan abstrak. Mitologikal dalat didefenisikan sebagai himpunan cerita-cerita yang mengisahkan asal-usul termasuk keturunan manusia, spekulasi kejadian alam, kisah penuh fantasi, keajaiban, magis, heroisme, tragedi, dan aspek kepercayaan. Aspek kepercayaan ini, termasuklah agama, adat-istiadat, pantang larang, kebiasaan, dan penganut spiritual. Ritualistik merupakan suatu konsep yang lebih menekankan kepada amalan kepercayaan. Sebagai orang yang mempercayai kepercayaan, dia akan melakukan aktivitas untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Ritualistik biasanya dihubungkan dengan amalan manusia primitif, umpamanya melakukan upacara agama seperti berpesta. Pesta ini memiliki unsur kebudayaan. Asal usul tarian, nyanyian musik, dan drama adala dari tari ritualistik ini. Jika dihubungkan pendekatan arketipe



dengan konsep totemik,



mitologikal, dan ritualistik, jelas sekali bahwa kritik ini mempunyai hubungan yang amat erat dengan tradisi dan kegiatan budaya suatu bangsa. Arketipe melihat kesusastraan sebagai bahan yang menghidupkan kembali kegiatan masa lampau. Pengalaman-pengalaman asli suatu bangsa yang dasarnya kuat diberikan nafas baru (Sikana, 2009: 139-140). Ketiga, pendekatan arketipe memberikan perhatian yang lumayan terhadap perkembangan jiwa pembaca atau audiensnya. Sesuai dengan pendekatan yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



diengaruhi oleh ilmu psikologi, penelitian ini banyak tertumpuh ke daerah jiwa, sanubari dan batiniah pembacanya. Pendekatan ini memperkenalkan konsep bawah sadar kelompok (collective unconscious) yang dimiliki secara naluriah oleh pembacanya. Konsep ini menunjukkan bahwa dalam diri pembaca terdapat sifat kegairahan yang akan terpesona, tergoda, atau tersentak terhadap sebuah karya sastra yang mempunyai komposisi perulangan tradisi, seperti menggambarkan unsur mitos, legenda, heroisme, cinta, nasionalisme, dan sebagainya. Dalam hal ini, pembaca mempunyai alam bawah sadar kelompok dan sebuah karya sastra itu sendiri mempunyai daya tarik khusus, keduanya saling bekerja sama. Pembaca memiliki indra yang dapat merasakan keistimewaan cerita-cerita tertentu, sementara cerita itu sendiri memiliki daya tarik untuk mempesonakan pembaca. Dengan situasi dan kondisi demikian, melahirkan suatu suasana apresiasi tradisi. Jiwa pembaca terasa puas dengan membaca kisah-kisah lama karena bangsanya pernah menguasai alam buana, menjadi agung, dan terhormat (Sikana, 2009:140). Keempat, pendekatan arketipe sebagai kritik sastra pada dasarnya tidak dapat menentukan secara mutlak akan mutu sebuah karya. Pengaplikasiannya yang tidak secara mutlak ini menentukan kejayaan atau keberhasilan sebuah karya sastra karenan pendekatan ini tidak menghubungkan kajiannya terhadap nilai. Yang



terpenting adalah bagaimana aspek-aspek perulangan tradisi, baik dalam



aspek struktur maupun isi digunakan kembali oleh pengarang. Kajian arketipe ini lebih menekankan kepada unsur-unsur antropologi yang diaplikasikan ke dalam karya sastra, atau bagaimana unsur-unsur tradisi itu dikaji oleh antropologi untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mengenal aspek-aspek klasik yang berharga bagi suatu bangsa sering memberikan perhatian yang khusus bagi pembaca. Oleh karena itu, kritik arketipe terlalu menitikberatkan kepada unsur-unsur antropologikalnya, sehingga terkadang terjadi kesalahan



pengkajian. Kritik



arketipe ini lebih melihat karya sastra sebagai sebagai objek untuk mengenal tradisi masyarakat, ketimbang melihat unsur-unsur sastranya. Ini mengakibatkan bahan sastra dijadikan sebagai alat untuk mengetahui pergolakan zaman silam serta digunakan oleh ahli antropologi sebagai jembatan bagi mereka untuk mengkaji aspek-aspek lai seperti ekonomi, pendidikan, kepercayaan, bahasa, dan sebagainya (Sikana, 2009:142). Kelima, pendekatan arketipe meletakkan taraf penulis sebagai manusia luar biasa, mempunyai daya ingat yang tajam dan berkemampuan mengolah peristiwa-peristiwa klasik. Pembaca mempunyai kemampuan bawah sadar kelompok, dan karya sastra mempunyai daya tarik khusus, sementara itu penulis dikatakan mempunyai daya ingat yang tajam. Ketiganya bersatu membentuk suatu suasana kehidupan bersastra yang harmoni serta dapat memelihara aspek budaya dan tradisi. Menurut kajian-kajian psikologi budaya, manusia mempunyai persamaan pengalaman dasar yang tidak berubah-ubah. Di samping itu, terdapat juga gaya hidup yang menyimpang dari norma-norma budaya yang telah ditentukan. Jadi, di antara pengalaman dasar dan gaya hidup yang menyimpang dari normanya dijadikan sumber inspirasi atau bahan penulisan oleh para pengarang.



Ini



bergantung kepada kemampuan seseorang pengarang itu pula, jika daya ingatnya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



terlalu kuat, dia akan dapat menyelam ke sanubari permasalahan. Tetapi jika tidak, dia hanya mampu menyentuh secara luar saja atau penggarapannya tidak begitu mendalam dan menarik (Sikana, 2009:144) Keenam, sama seperti dengan pendekatan psikologi yang berdasarkan teori Freud, pendekatan arketipe juga dalam analisisnya melihat aspek perlambangan atau simbolisme, penggandaan makna, dan ambiguitas. Penggunaan kembali unsur-unsur tradisi seperti mitos, legenda, dongeng, misteri, fantasi, dan sebagainya, tentu saja mempunyai makna tersendiri. Pengaplikasiannya tanpa sadar, tentu tidak memberi arti apa-apa. Penciptaan mitos tanpa tujuan, sebenarnya tidak layak disebut mitos. Justru, mitologilah yang dapat memberi kekuatan pada sebuah karya sastra. Jung telah meletakkan dasar yang kokoh dalam konteks perlambangan ini, tetapi yang mengembangkan aspek ini adalah Frye yang menekankan kritik pada simbol, mitos, dan penjenisan teks. Frye has made use of symbolic structure as they exist whitin western culture, and at a deeper level, to contingent recurrence of fantasy. Frye menekankan kajiannya pada konsep mimpi dan kaitannya dengan sastra. For Jung dreams as literature, universally make use of primordial archetypes; mountain peaks, towers, river villages; a theory much exploited by James Joyce in his last work, the ‗dreamvision‘ Finnegan Wake (Wales, 2001:29, Sikana, 2009:150) Pengkritik harus menguraikan makna simbol mitologi yang digunakan. Visi sosial atau fungsi budaya yang menjadi rujukan karya perlu juga ditelusuri supaya hasil kritikan dapat menjadi jembatan kepada pembaca untuk memahami simbol-simbol tersebut. Dalam sebuah karya sastra, terutama yang bercorak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



psikologi,



mengandung



berbagai



nilai



yang



mendalam



perlambangan, ambiguitas atau makna ganda yang



justru



dalam



aspek



menjiwai dan



mempersatukan kehidupan kebudayaan suatu bangsa (Sikana, 2009:146) Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisis sinandong dengan menerapkan



kaidah arketipe dengan prinsip-prinsip yang didasarkan kepada



pendapat Manasikana di atas. Namun, tidak semua prinsip peneliti terapkan. Prinsip yang peneliti terapkan hanya pada poin pertama, kedua, dan keenam.



2.3.5 Teori Semiotik Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotik yang dikembangkan oleh Charles Sanders Pierce. Pierce merumuskan perbedaan tiga macam tanda dalam hubungan antara pemaknaan dengan denotatumnya, yakni ikon, indeks, dan simbol sebagaimana dijelaskan oleh Eagleton (1988 : 111), Ratna (2004 : 114-115), Sikana (2009 : 36-42), dan Zoest (1990 : 8-9). 1. Icon adalah tanda yang merujuk terus kepada objek yang digambarkan atau yang dibawa oleh objek dengan subjek. Ikon berasal dari bahasa Latin icon yang bermakna bayang, bayangan, mirip, kemiripan, keserupaan, replika, analogi, dan sebagainya. Jadi, ikon merupakan suatu tanda yang menggunakan



kesamaan atau ciri-ciri bersama dengan apa yang



dimaksudkannya. Menurut Zoest, ― Jika melalui kemiripan, dia merupakan tanda yang menggambarkan, sebuah ikon.‖ Contoh ikon adalah denah atau gambar grafis yang di gunakan sebagai petunjuk jalan. Demikian juga kalimat, ― Ia masuk, duduk, lalu melihat sekelilingnya ‖ bersifat ikonis,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



artinya urutan tersebut sesuai dengan urutan gerakan yang di tunjukkannya. Akan tetapi, apabila urutan dibalik maka lenyaplah ikonitas berurutannya. Singkatnya, menurut Eagleton, dalam ikonik terdapat lambang



yang



menyerupai benda yang diwakilinya ( misalnya, foto seseorang merupakan ikon dari orangnya ). Menurut Peirce, lambang ikonik adalah dinamik, utama, dan dekat dengan masyarakat. Hubungan antara signifier dan signified atau penanda dengan petanda adalah saling berkaitan dan saling melengkapi. Terdapat beberapa pecahan ikon, seperti imej, citra, simile, dan metafora. Ikonik sering digunakan pengarang dalam bahasa yang mereka gunakan. 2. Indeks, yakni suatu tanda yang mempunyai kaitan kausal dengan apa yang diwakilinya, baik berkaitan dengan dunia luar sebagai intertekstual maupun sebagai intratekstual. Dengan kata lain, indeks adalah tanda yang merujuk pada suatu tanda yang mengumpulkan satu atau beberapa fenomena, sebab akibat, simptom isyarat, ikatan, dan sebagainya. Dengan kata lain, indeks merupakan lambang yang melalui cara- cara tertentu dihubungkan dengan benda yang diwakilinya (misalnya, bintik adalah indeks dari campak). Indeks lebih luas dan kompleks dari ikon. Indeks adalah tanda-tanda yang berhubungan, berkaitan, bersebab dan berakibat. Dapat dicontohkan seperti penggunaan aforisme, alegori, personifikasi, hiperbola, dan imageri. 3. Simbol, yakni hubungan antara item penanda dengan item yang ditandainya, yang tidak bersifat alamiah, melainkan berupa kesepakatan masyarakat dan bergantung dari penggunaannya. Perbedaan ikon dengan simbol dapat di



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



rumuskan bila tanda ikonis dapat dianggap mendasar, primitif, maka simbol dianggap canggih, berbudaya. Di dalam proses penafsiran teks, menurut Eagleton, simbol dapat dihubungkan secara kesewenangan atau secara kebiasaan kepada referennya. Menurut Santoso (1993:120), hal ini di sebabkan, ―tanda yang berubah menjadi simbol dengan sendirinya akan dibubuhi sifat – sifat kultural, situasional, dan kondisional.‖ Sedangkan simbol, cakupannya lebih luas dan lebih umum, ada yang bersifat klasik, tradisional, dan modern. Pengarang akan menciptakan berbagai tanda secara arbitrer yang melahirkan corak sendiri-sendiri atau khusus. Penafsiran terhadap simbol, ikon, dan indeks akan mendasari analisis arketipe. Artinya setiap pemahaman terhadap mitos dan primordial imej yang terdapat dalam sinandong, tetap didasarkan pada konvensi simbol yang digunakan oleh masyarakat Melayu.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



2.4 Kerangka Berpikir



Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



Performansi Tradisi Malam Berinai



Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai



Pendekatan Performansi Pemikiran Finnegant dan Vansina



Pendekatan Kearifan Lokal dengan Teori Lapisan Kulit Bawang



- Performansi - Teks - Koteks - Konteks



- Makna dan Fungsi Tradisi Malam Berinai -Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai - Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai



Citra Arketipe Teks Sinandong Asahan dalam Tradisi Malam Berinai



Revitalisasi Tradisi Malam Berinai



Pendekatan Revitalisasi Pemikiran Vansina dan RUU 3 April 2013



Teori Arketipe C.G. Jung dan Semiotik C.S. Pierce



- Model Revitalisasi Tradisi Malam Berinai - Model Revitalisasi Sinandong



- Bentuk Sinandong - Citra Arketipe Sinandong



Bagan 2.1 Kerangka berfikir Keterangan Bagan: =



Garis Penelitian Lanjutan



=



Garis Hasil Penelitian



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kerangka penelitian ini dimulai dari tradisi malam berinai yang menjadi objek penelitian. Tradisi ini hidup pada masyarakat Melayu yang berpusat di Tanjungbalai. Peneliti menganalisis tradisi malam berinai ini berdasarkan rumusan masalah yaitu, performansi malam berinai, kearifan lokal, revitalisasi, dan citra arketipe Sinandong. Rumusan masalah yang telah ditentukan dianalisis dengan menggunakan teori dan pendekatan yang relevan. Performansi malam berinai dianalisis dengan pendekatan performansi dari pemikiran Finnegant dan Vansina. Kearifan lokal tradisi malam berinai dianalisis dengan pendekatan Kearifan lokal dari pemikiran Robert Sibarani. Model revitalisasi malam berinai dianalisis dengan pendekatan revitalisasi dari pemikiran Vansina.



Sedangkan



untuk melihat citra arketipe sinandong digunakan teori Arketipe yang dikemukakan oleh C.G. Jung dan teori Semiotik C.S. Pearce. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dalam tradisi malam berinai terdapat serangkaian acara yang merupakan performansi malam berinai dan sinandong merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari acara tradisi malam berinai. Kearifan lokal tradisi malam berinai meliputi lapisan makna dan fungsi, lapisan dan kearifan lokal. Sedangkan model revitalisasi untuk malam berinai meliputi dua bagian yaitu model revitalisasi malam berinai dan sinandong. Kemudian, analisis arketipe meliputi bentuk dan citra arketipe.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB III METODOLOGI PENELITIAN



3.1 Paradigma dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut Guba dan Yvonna S. Lincoln (2009:135-137), paradigma konstruktivisme dibangun oleh dasar ontologi yang relativisme, yaitu realitas adalah konstruksi sosial. Kebenaran realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan



oleh



aktor



sosial.



Dasar



epistemologi



konstruktivisme



adalah



transaksional/subjektivitas di mana pemahaman tentang realitas, atau temuan penelitian adalah hasil interaksi periset dengan objek studi. Sedangkan dasar aksiologi konstruktivisme menyangkut kepentingan ilmu pengetahuan terhadap masyarakatnya. Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian konstruktivisme dengan pendekatan



etnografi.



Pendekatan



Etnografi



merupakan



pekerjaan



mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Sebagaimana dikemukakan oleh Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapat pandangannya melalui dunianya. Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi belajar dari masyarakat.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik penelitian, teori, dan berbagai macam deskripsi kebudayaan. Sebagai teknik penelitian, etnografi merupakan suatu metode penelitian yang digunakan untuk memperlajari kebudayaan. Etnografi bermakna untuk membangun suatu pengertian yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dan perspektif orang yang telah mempelajari kebudayaan itu. Metode Etnografi ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai situasi dan kondisi atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat Melayu Tanjungbalai yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun fenomena tertentu. Metode etnografi ini digunakan untuk mendeskripsikan prosesi malam berinai dan model revitalisasi malam berinai, dan nilai kebudayaan yang terdapat pada masyarakat Melayu Tanjungbalai, yang tereduksi dalam tradisi tersebut. Metode etnografi ini diperlukan untuk melihat kebudayaan masyarakat pendukungnya dan untuk melihat model pewarisan budaya tersebut, yang dalam penelitian ini adalah budaya Melayu.



3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di kabupaten yang dulunya merupakan satu kesatuan wilayah Asahan sebelum pemekaran wilayah. Adapun yang menjadi tempat penelitian ini adalah di Kota Madya Tanjung Balai, Jln. Koramil, Kelurahan Selat Tanjung Medan, Kec. Datuk Bandar Timur, dirumah Bapak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Zailani. Jln. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar, dirumah Bapak H. Hasanuddin M. Yus.



3.3 Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah prosesi malam berinai dan sinandong yang diperoleh dari hasil rekaman pada pernikahan Reza dan Pida



yang diselenggarakan pada 5



Januari 2014 dan rekaman vidio malam berinai pasangan pengantin Liza dan Rahmad yang direkam pada tanggal 28 September 2015, juga informasi yang diperoleh dari informan. Informan dalam penelitian ini ditentukan dengan teknik snowball. Jadi, jumlah informan tidak dapat ditentukan, tergantung data di lapangan. Jika data sudah jenuh, artinya jika informasi yang diperoleh dari informan tidak ada lagi perkembangan, maka tidak perlu lagi mencari informan baru. Sedangkan data sekunder berupa data pendukung, diperoleh dari buku-buku, internet, dokumen, dan catatan lain. Juga dari diskusi-diskusi, seminar-seminar dan jurnal ilmiah.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sumber Data Penelitian



Data Primer



Data Sekunder



Prosesi Malam Berinai dan Sinandong dari Pernikahan Pida dan Liza Buku, dokumen,internet, dan hasil-hasil diskusi



Wawancara dengan 7 orang informan



Bagan 3.1 Sumber Data Penelitian Tradisi Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



3.4 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dapat dilakukan dengan metode: (1) Observasi Metode ini dipergunakan untuk mengadakan pengamatan secara langsung ke daerah objek penelitian. Bungin (2010a: 115) menjelaskan, observasi atau



pengamatan



adalah



kegiatan



keseharian



manusia



dengan



menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti, telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Karena itu observasi adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata serta dibantu dengan pancaindra lainnya. Dari pengertian observasi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan metode observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi tidak



berstruktur.



Peneliti



secara



pribadi



mengembangkan



daya



pengamatannya dalam mengamati suatu objek yang tentunya peneliti sudah menguasai ilmu tentang tradisi sinandong yang akan diteliti. Untuk meningkatkan validitas hasil pengamatan, peneliti menggunakan alat bantu, berupa kamera, tape recorder, handycam, dan alat tulis untuk pencatatan lansung. Kamera digunakan untuk membantu pengamat merekam dalam bentuk gambar. Begitu juga tape recorder, selain dipakai sebagai alat bantu interview, alat ini juga membantu pengamat mengingat apa yang seharusnya didengar pada saat observasi berlangsung. Alat-alat ini digunakan untuk merekam jalannya acara pertunjukan sinandong dan merekam kejadian dalam bentuk gambar. Metode ini digunakan untuk menganalisis masalah pertama dan ketiga. (2) Wawancara Informasi tentang budaya, mitos dan jati diri dapat diketahui lebih mendalam melalui wawancara langsung. Peneliti menggunakan metode wawancara mendalam. Bungin (2010a: 108) menjelaskan, wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Wawancara dilakukan dengan cara terbuka. Wawancara dilakukan dengan informan



secara



terbuka,



yaitu



informan



mengetahui



kehadiran



pewawancara sebagai peneliti yang bertugas melakukan wawancara di lokasi penelitian. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh keterangan yang sebanyakbanyaknya tentang keberadaan tradisi malam berinai ini. Peneliti akan bekerja di lapangan bersama informan. Interaksi sosial dengan informan dan lingkungan harus tetap dijaga agar wawancara dapat berjalan dengan sukses. Agar wawancara dapat berjalan lancar, digunakan alat perekam, surat tugas, surat izin, daftar pertanyaan, handicam, daftar responden, alat tulis, maupun peta. Perlengkapan wawancara ini hanya sebagai alat bantu atau suplemen saja, penggunaannya tergantung pada situasi di lapangan. Metode ini digunakan untuk menganalisis masalah pertama, kedua dan ketiga. (3) Rekaman Metode ini digunakan untuk merekam pelaksanaan prosesi tradisi malam berinai dengan menggunakan dua buah handycamp dan kamera untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mengambil gambar. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan masalah satu dan tiga. (4) Dokumenter Selain menggunakan metode observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan metode dokumenter. Metode ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data berupa fakta dan data sosial tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Data ini bisa berupa dokumen pribadi maupun dokumen resmi, seperti buku, jurnal, foto, kliping, dan sebagainya. Metode ini digunakan untuk membantu menganalisis masalah dua, tiga, dan empat. (5) Metode



penelusuran



data



online.



Menurut



Bungin



(2007:125),



pengumpulan data secara online memerlukan pemahaman teknologi informasi komunikasi. Hal ini disebabkan data yang akan ditemukan harus dilacak dengan perangkat teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan kemampuan pengaksesan perangkat teknologi ini dilakukan pencarian dari Google ke berbagai situs penyedia data online. Dari Google pengaksesan diarahkan pada media sosial penyedia data online yang dapat diunduh secara bebas yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode ini digunakan untuk melengkapi dalam data penelitian yang akan digunakan untuk masalah dua, tiga, dan empat. Metode analisis data penelitian tradisi malam berinai dapat dilihat pada bagan berikut ini,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Metode Pengumpulan Data



Data Sekunder



Data primer



Observasi



Prosesi Malam Berinai dan Perteunjukan Sinandong



Wawancara



Rekaman



Kearifan Lokal Malam Berinai



Dokumenter



Model Revitalisasi Malam Berinai



Penelusuran Data Online



Citra Arketipe dan Jati Diri Melayu dalam Senandung



Bagan 3.2 Metode Pengumpulan Data Tradisi Malam Berinai dan Sinandong dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3.5 Metode Analisis Data Menganalisis data kualitatif menurut Bodgan dan Biklen (Moleong, 2005: 248) mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan mengolah data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari, menemukan apa yang penting, apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan pada orang lain. Untuk mengungkapkan makna dan fungsi sinandong yang akhirnya akan menghasilkan kearifan lokal, digunakan teknik analisis kualitatif etnografik. Maksudnya peneliti berusaha mendeskripsikan secara etnografik tentang sikap, kata-kata, dan perbuatan pesinandong. Analisis ini dilakukan secara terus menerus baik pada saat di lapangan dan setelah di lapangan. Analisis dilakukan secara induktif sekaligus emik, artinya pemahaman atas dasar hakikat data itu sendiri sebagai data ilmiah. Data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan dokumen akan dikumpulkan dan dianalisis. Analisis data dilakukan terus menerus dari awal hingga akhir penelitian hingga diperoleh kesimpulan tentang tradisi Sinandong Asahan. Analisis data dilakukan dengan mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode, dan mengkatagorikan data sesuai dengan butir masalah. Setelah itu, dianalisis data yang menjadi fokus penelitian. Fokus penelitian ini dapat diperdalam melalui pengamatan dan wawancara berikutnya. Secara terperinci, analisis data dilakukan dengan prinsip-prinsip berikut,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



1. Dalam analisis data, peneliti bergantung pada data penelitian. Dalam hal ini pereduksian, penyajian, dan penyimpulan data merupakan hasil pembacaan dan pemahaman peneliti atas sumber data. 2. Mendengar dan membaca secara keseluruhan rekaman vidio tradisi malam bernai dan teks sinandong, lalu mencatat bagian-bagian yang memuat jati diri, nilai budaya, kearifan lokal, dan membuat model revitalisasi yang terdapat di dalamnya. 3. Mengungkapkan dan menganalisis konsep jati diri, nilai budaya, kearifan lokal, dan membuat model revitalisasi yang terdapat di dalam tradisi malam berinai dan sinandong tersebut. 4. Membuat kesimpulan dari analisis konsep jati diri, nilai budaya, kearifan lokal, dan model revitalisasi yang terdapat dalam tradisi malam berinai dan sinandong tersebut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB IV PAPARAN DATA DAN ANALISIS DATA PENELITIAN



4.1 Paparan Data Sebelum pada tahap deskripsi dan analisis, peneliti terlebih dahulu memberikan gambaran lokasi penelitian yang meliputi letak geografis, kondisi alam fisik, kondisi alam hayati, dan unsur-unsur kebudayaan masyarakat Melayu Tanjungbalai. Pada deskripsi data akan menggambarkan perihal pelaksanaan ritual malam berinai, tempat, dan waktu pelaksanaan. Terakhir adalah tahap analisis data yang meliputi, kajian karifan lokal, revitalisasi, dan arketipe. Pemaparan data



penelitian dilakukan dengan mendeskripsikan dan



menganalisis teks, konteks, dan koteks sinandong yang meliputi prosesi ritual pada malam berinai, dan perlengkapan yang digunakan pada acara riual. Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data primer yaitu prosesi malam berinai dan pertunjukan sinandong pada malam berinai Pida dan Liza sebanyak lima belas buah sinandong. Sinandong tersebut peneliti rekam dari pertunjukan sinandong pada malam berinai Pida dan Liza. Kelima belas sinandong itu terdiri dari, enam buah senadung dadong, tiga buah sinandong didong, dua buah sinandong mengonang naseb, tiga buah sinandong hiburan, dan satu buah sinandong mudamudi.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Kota Tanjungbalai Sejarah Kerajaan Asahan dimulai dengan petan raja pertama kerajaan tersebut yang berlangsung meriah di sekitar Kampung Tanjung. Peristiwa nobat penabalan raja pertama Kerajaan Asahan tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 27 Desember 1620, dan tanggal 27 Desember kemudian ditetapkan sebagai ―Hari Jadi Kota Tanjungbalai‖ dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor : 4/DPRD/TB/1986 tanggal 25 Nopember 1986. Mengenai asal-usul nama kota ―Tanjungbalai‖ menurut cerita rakyat yang ada di Tanjungbalai bermula dari sebuah kampung yang ada di sekitar ujung tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan. Lama kelamaan balai yang dibangun semakin ramai disinggahi karena tempatnya yang strategis sebagai bandar kecil tempat melintas ataupun orang-orang yang ingin berpergian ke hulu Sungai Silau. Tempat itu kemudian dinamai ―Kampung Tanjung‖ dan orang lazim menyebutnya balai ―Di Tanjung‖. Ditemukannya Kampung Tanjung kemudian menjadikan daerah itu menjadi semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri. Penabalan Sultan Abdul Jalil sebagai raja pertama Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung kemudian memulai sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1620. Dalam catatan sejarah, Kerajaan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang raja yang sejak raja pertama Sultan Abdu Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah tahun 1933, yang kemudian mangkat pada tanggal 17



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



April 1980 di Medan dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai. Pertumbuhan dan perkembangan Kota Tanjungbalai sejak didirikan sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl 1917 No. 284, sebagai akibat dibukanya perkebunan-perkebunan di Daerah Sumatera Timur termasuk Daerah Asahan seperti H.A.P.M, SIPEF, London Sumatera (Lonsum) dan lain-lain, maka Kota Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan menjadi penting artinya perkembangan perekonomian Belanda. Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan-Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau dieksport melalui Kota Pelabuhan Tanjungbalai. Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangannya di Kota Tanjungbalai antara lain : Kantor KPM, Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk Bangsa Eropa tinggal menetap di Kota Tanjungbalai, Assisten Resident van Asahan berkedudukan di Tanjungbalai dan karena jabatannya bertindak sebagai Walikota dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeenteraad). Sebagai kota pelabuhan dan tempat kedudukan Assisten Resident Tanjungbalai juga merupakan tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Pada waktu Gementee Tanjungbalai didirikan atas Besluit G.G tanggal 27 Juni 1917 No. 284, luas wilayah Gementee Tanjungbalai adalah 106 Ha. Atas persetujuan Bupati Asahan melalui maklumat tanggal 11 Januari 1958 No. 260



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



daerah-daerah yang dikeluarkan (menurut Stbl. 1917 No. 641) dikembalikan pada batas semula, sehingga menjadi seluas 200 Ha. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1956, Lembaran Negara 1956 No. 60 nama Hamintee Tanjungbalai diganti menjadi Kota Kecil Tanjungbalai dan jabatan Walikota Terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan Surat Mentri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956 No. UP 15/2/3. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjungbalai diganti menjadi Kotapraja Tanjungbalai.



2. Letak Geografis Daerah Penelitian



Gambar 4.1 Peta Kota Madya Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kota Tanjung Balai sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Asahan, namun pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-undang Darurat No 9 dengan mengganti nama Haminte Tanjung Balai menjadi kota kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai. Sementara itu tercatat 17 Kepala daerah yang pernah memimpin Kota Tanjungalai sejak tahun 1946 sampai sekarang. Perkembangan kota Tanjung Balai sangat pesat dan jumlah penduduk cukup padat, bahkan kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km², dengan luas wilayah hanya 199 Ha (2 Km²) menjadi 60 Km². Jumlah penduduk yang padat, menjadikan kota ini daerah yang berkembang dengan ditunjang adanya pelabuhan. Akhirnya kemudian kota ini diperluas menjadi 60 Km² dengan terbitnya peraturan pemerintah RI No. 20 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten



Asahan. Akhirnya



berdasarkan SK Gubsu No.



146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993, desa dan kecamatan yang ada dimekarkan serta seluruh desa berubah status menjadi kelurahan, berdasarkan Perda No 23 tahun 2001. Kemudian pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Tanjung Balai No 4 tanggal 4 Agustus tentang pembentukan kecamatan Datuk Bandar Timur dan No 3 tahun 2006 tanggal 22 Pebruari tentang Pembentukan Kelurahan pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka Kota



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tanjung Balai yang semula memiliki 5 Kecamatan berubah menjadi 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan. Yaitu: 1. Kecamatan Datuk Bandar 2. Kecamatan Datuk Bandar Timur 3. Kecamatan Tanjung Balai Selatan 4. Kecamatan Tanjung Balai Utara 5. Kecamatan Sei. Tualang Raso 6. Kecamatan Teluk Nibung. Secara geografis kota Tanjung Balai terletak diantara 2⁰ 58‘ LU dan 99⁰ 48‘ BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² (6.052,9 Ha), berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan, dengan batas-batas sebagai berikut: 1. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat 2. Sebelah Utara dengan Kecamatah Tanjung Balai 3. Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang 4. Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang empat Sebelum kota Tanjungbalai diperluas dari hanya 199 Ha(2 Km2) menjadi 60 Km2. Kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 dengan kepadatan penduduk ± 20.000 jiwa/km2. Akhirnya Kota Tanjungbalai diperluas menjadi lebih kurang 60 Km2 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 20 Tahun 1987, tentang perubahan



Batas



Wilayah



Kota



Tanjungbalai



dan



Kabupaten



Asahan



(https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tanjungbalai). Hasil Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Tanjung Balai berjumlah 154.445 jiwa yang terdiri atas 77.933 jiwa dan 76.512 jiwa perempuan. Penduduk Kecamatan terbanyak berada di Kecamatan Teluknibung dengan jumlah penduduk 35.802 jiwa sedangkan yang terendah berada di Kecamatan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tanjungbalai Utara Dengan jumlah penduduk 15.862 jiwa. Berikut adalah tabel penduduk Kota Tanjung Balai Per Kecamatan Tahun 2010 : Nomor Kecamatan Penduduk/Jiwa 1 Datuk Bandar 33.797 2 Datuk Bandar Timur 26.942 3 Tanjungbalai Selatan 19.330 4 Tanjungbalai Utara 15.862 5 Sei Tualang Raso 22.712 6 Teluknibung 35.802 Tabel 4.1: Penduduk Kota Tanjung Balai Per Kecamatan Tahun 2010 Posisi Kota Tanjung Balai berada di wilayah Pantai Timur Sumatera Utara pada ketinggian 0-3 m di atas permukaan laut dan kondisi wilayah relatif datar. Kota Tanjung Balai secara administratif terdiri dari 6 Kecamatan, 31 Kelurahan. Luas wilayah Kota Tanjung Balai 6.052 Ha (60,52 km²). Tabel berikut adalah nama-nama kelurahan yang ada di Tanjungbalai. No Kecamatan 1 Datuk Bandar Datuk Bandar 2 Timur Tanjungbalai 3 Selatan Tanjungbalai 4 Utara



Kelurahan Sijambi-Pahang-Sirantau-Pantai Johor-Gading Pulau Simardan-Bunga Tanjung-Semula Jadi-Selat Lancang-Selat Tanjung Medan TB Kota I-TB Kota II-Perwira-Karya-Pantai Burung-Indra Sakti TB Kota III-TB Kota IV-Sejahtera-Kuala Silo BestariMatahalasan Muara Sentosa-Sumber Sari-Pasar Baru-Keramat Kubah5 Sei Tualang Raso Sei Raja Perjauangan-Pematang Pasir-Kapias Pulau Buaya-Beting 6 Teluknibung Kuala Kapias-Sei Merbau Tabel 4.2: Nama-nama Kelurahan yang Ada di Tanjungbalai Berikut ini adalah foto kota Tanjungbalai yang diunggah dari hhtps://id.wikiwedia.org/wiki/berkas:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 4.2: Foto Tanjungbalai dari Udara pada Tahun 1930-an



Gambar 4.3: Pelabuhan Tanjungbalai pada Masa Hindia Belanda. Transportasi utama yang digunakan adalah sepeda motor. Angkutan umum utama yang digunakan adalah becak ditempeli sepeda motor utuh disamping (bukan becak yang ditambahi mesin motor atau separuh badan sepeda motor di belakang becak, seperti di Jawa). Juga disebut betor seperti di daerah lain. Seperti di kebanyakan daerah di Sumatera Utara, mobil (kendaraan beroda empat itu) disebut motor, motor (kendaraan beroda dua) disebut kereta, dan kereta (kendaraan bergerbong dan ber-rel) disebut kereta api. Aturan lalu lintas disini hampir tidak digubris. Pemakai helm tidak ada. Lampu merah yang hanya ada di empat persimpangan pun (dua tahun lalu setahu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



saya cuma ada dua) pun jarang digubris pemakai jalan. Karena makin banyaknya sepeda motor a.k.a kereta, PNS diwajibkan memakai sepeda untuk ke kantor setiap hari Jumat.



3. Struktur Masyarakat Melayu



Masyarakat Melayu menjalani kehidupan tidak terlepas dengan system dalam struktur masyarakat berkaitan dengan adat dan kebiaaan yang sudah berjalan secara turun temurun. Struktur kehidupan masyarakat Melayu pada umumnya, di bagi dalam dua golongan, yaitu golongan bangsawan dan golongan rakyat atau orang kebanyakan. Golongan bangsawan sudah ada sejak adanya kerajaan yang kemudian membedakan antara golongan bangsawan dengan golongan rakyat atau kebanyakan. Untuk melihat status seseorang apakah dari golongan bangsawan atau dari rakyat biasa dapat dilihat dari gelar yang ada di depan namanya. Masing-masing urutan gelar diberikan berdasarkan martabat dan kedudukannya dalam masyarakat seperti Tengku, Raja, Wan, Datuk,/Jaya, Orang Kaya, Encek/Tuan. Gelar Tengku yang berhak memakainya adalah dari turunan Sultan dan kerabatnya, dan turunan yang datu-nininya dulu mempunyai daerah otonom sendiri serta biasa dipanggil dengan sebutan tuanku. Pengertian Tengku sendiri dapat diartikan dengan berbagai arti seperti pemimpin atau guru, baik dalam akhlak, agama serta adat. Sementara dalam konteks kebangsawanan seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayah dan ibunya bergelar Tengku, atau ayahnya bergelar Tengku dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ibunya tidak Tengku, jadi gelar Tengku diwariskan berdasarkan hubungan darah, atau keturunan. Gelar raja yang diberikan untuk melihat status seseorang adalah sebuah gelar dalam pengertian golongan bangsawan, dalam hal ini gelar raja bukan dalam pengertian sebagai kedudukan dalam pemerintahan untuk memimpin sebuah kerajaan. Raja adalah gelar yang dibawa oleh bangsawan Indragiri (siak) ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu, Bilah, Panai, Kualuh dan Kota Pinang. Pengertian Raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara hubungan darah, bukan seperti yang diberikan oleh colonial Belanda. Oleh pihak Belanda gelar raja tersebut diberikan baik kepada mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja, yang sebenarnya hanya kepala atau ketua saja. Menurut keterangan sultan Deli, Tengku Amaludidin II, yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, bahwa kalau seorang perempuan dengan gekar Tengku menikah dengan seorang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang yang bergelar Sutan dari Pagaruyung Sumatera Barat, maka gelar Raja, berhak dipakai bagi keturuna atau anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Selanjutnya gelar wan didapat jika seorang perempuan Melayu bergelar Tengku kawin dengan seorang yang bulan Tengku atau dengan orang kebanyakan, maka anak-anaknya berhak mekakai gelar wan. Begitu juga dengan anak-anak laki-laki keturunan mereka seterusnya berhak memakai gelar ini. Sedangkan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



untuk anak wanita tergantung dengan siapa dia menikah, jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini akan hilang dan tidak berhak dipakai anaknya dan keturunannya, karena keturunannya akan mengikuti gelar suaminya. Gelar kebangsawanan datuk awalnya dari kesultanan aceh baik langsung maupun melalui perantara Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak laki-laki turunan dari datuk berhak atas gelar datuk pula, sedangkan untuk anak datuk yang perempuan berhak mendapat gelar kaja. Sultan atau raja dapat memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaannya. Adapaun incek merupakan panggilan kehormatan untuk rakyat biasa.



4.1.2 Paparan Data Prosesi Malam Berinai Malam berinai merupakan bagian dari adat perkawinan Melayu yang diselenggarakan sebelum akad nikah dilakukan. Malam berinai merupakan serangkaian acara yang dilaksanakan pada malam hari sebelum acara pesta perkawinan dilaksanakan. Pada masyarakat Melayu, tanda-tanda orang menjadi pengantin baru, jari tangan dan kaki, tetapak tangan dan kakinya diberi inai sehingga kelihatan kuning kemerah-merahan. Adapun yang menjadi data dalam prosesi malam berinai ini adalah rekaman vidio acara malam berinai yang direkam dari pasangan pengantin Pida dan Reza yang direkam pada 5 Januari 2014 dan rekaman vidio malam berinai pasangan pengantin Liza dan Rahmad yang direkam pada tanggal 28 September 2015.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.1.3 Paparan Data Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai Paparan data kearifan lokal dalam tradisi malam berinai terdapat lima unsur, yaitu kesopansantunan, kesetiakawanan sosial, rasa syukur, gotong royong, dan peduli lingkungan yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: No 1.



Kearifan Lokal Kesopansantunan



2.



Kesetiakawanan sosial



Uraian Dalam acara tepung tawar dapat dilihat kesopansantunan yaitu, saat bersalaman. Kedua mempelai mencium tangan orang yang lebih tua dan jika yang menepungtawari lebih muda maka dia yang harus mencium tangan si pengantin. Sikap sopan santun terhadap orang tua juga terlihat melalui teks yang terdapat dalam sinandong dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖, bait keenam baris ketiga dan empat. Frasa Kalau boso balaslah jaso, bermakna ‖jika sudah besar, harus pandai membalas jasa kedua orang tua‖. Membalas jasa orang tua adalah nilai sopan santun seorang anak terhadap orang tua. Sebagai ucapan rasa syukur karena telah dibesarkan dan dibekali dengan pengetahuan. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk membalas jasa kedua orang tuanya, jika nantinya dia menjadi orang yang sukses. patuh terhadap perintah orang tua juga termasuk ke dalam norma sopan santun. Seorang anak yang pandai membalas jasa, orang tuanya akan senang dan akan mendoakan anak tersebut agar diberi rezeki yang melimpah. Kesetiakawanan sosial dapat diilhat dalam tradisi pada malam berinai ini, yaitu: 1. Apapun permasalahan yang terjadi dalam pesta besar ini haruslah menjadi beban dan tanggung jawab bersama semua anggota keluarga untuk mengatasi dan menyelesaikannya. Kebersamaan dan kesetiaan itu penting untuk menanggung untung rugi dalam pesta tersebut. Jadi, anggota inti dalamkeluarga harus ikut merasakannya. Nilai yang ingin ditunjukkan adalah penyadaran bahwa manusia hendaknya hidup dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai satu tujuan yang sama. Nilai ini menghilangkan sikap yang saling berebut kuasa dan pengaruh, yang sering mementingkan diri sendiri atau kelompok . 2. Sesuai........dengan adat lembago Peribahasa ini terdapat dalam sinandong anak atau dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bait ketiga baris keempat. Nilai yang mengekalkan adalah rasa kesamaan adat dan budaya, mengentalkan hubungan antar puak dan suku. Nilai ini juga menyadarkan orang agar tidak terjebak kepada perbedaanperbedaan adat dan budaya, tetapi menganggap perbedaan itu sebagai khasanah budaya bersama yang perlu dijunjung dan dihormati. Nilai yang menumbuhkan rasa kebersamaan yag saling berbagi senang dan susah dan menjauhkan diri dari keinginan untuk menang sendiri, kenyang seorang. Peribahasa ini juga digunakan untuk kesetiakawanan sosial. Senasib sepenanggungan. Walau tidak ada apaapa untuk dimakan yang penting berkumpul dan bersatu untuk merasakan kebahagiaan dan kesedihan bersama. Yakni nilai yang menyadarkan orang akan kesamaan dan persatuan. Menumbuhkan rasa bersatu, ada dalam satu rumpun. 3. Kehadiran para undangan dalam upacara malam berinai ini juga merupakan bentuk kesetiakawanan sosial. Jika para undangan tidak hadir, maka upacara ini jadi sia-sia dilakukan. Nilai ini menumbuhkan rasa bertanggung jawab untuk memelihara tenggang rasa antar sesama anggota masyarakatnya, menumbuhkan rasa menghargai terhadap orang yang sudah memberi undangan. Selain itu nilai lain yang ingin diperjuangkan adalah anjuran untuk menumbuhkan rasa persaudaraan yang kental, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok. 3.



Rasa syukur



4.



Gotong royong



Melaksanakan acara pesta perkawinan adalah bentuk salah satu kearifan lokal dalam mewujudkan rasa bersyukur yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Batubara dan Tanjungbalai. Pernikahan bukan hanya sekedar untuk menjalankan perintah semata tetapi juga mengharapkan kemurahan rezeki oleh Tuhan dengan cara bekerja. Suami wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya, baik istri serta anak-anaknya. Anak merupakan amanah bagi orang tua untuk dijaga, dididik dan dibesarkan agar kehidupannya kelak bias membawa kebenaran untuk di duni dan akhirat. Bentuk tepung tawar yang terdapat dalam upacara malam berinai juga merupakan uangkapan rasa syukur kepada sang pencipta. Gotong-royong juga dapat dilihat dalam pesta perkawinan dan sunatan. Juga terlihat dalam upacara



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5.



Peduli lingkungan



malam berinai yang merupakan serentetan kegiatan dalam pesta perkawinan. Sanak saudara dan tetangga terdekat akan berdatangan membantu pekerjaan dalam perhelatan pesta tersebut. Biasanya mereka datang dua hari sebelum diadakan pesta. Gotong-royong ini dilakukan mulai dari mendirikan teratak, memasak makanan untuk pesta, mencuci piring, sampai membongkar teratak kembali sehabis pesta. Pekerjaan ini dilakukan secara gotong-royong selama lebih kurang empat hari. Sebagai imbalan orang yang ikut dalam gotong-royong ini, biasanya untuk keluarganya (anakanaknya) diantarkan rantang ke rumah yang berisi nasi dan lauk-pauk ke rumahnya selama orang tersebut ikut berpartisipasi dalam pesta itu. Penggunaan kata-kata boting Bogak, Siapi-api, Tanjungnapal, Limaumanis, merujuk kepada nama tempat. kopah, korang, kupang, dan ikan cengcaru, merujuk nama lauk-pauk yang berasal dari laut. Kedua hal ini menunjukkan bahwa orang Melayu Tanjungbalai peduli akan lingkungannya. Bubur sagu, wajik, dan kue putu, merujuk kepada peduli lingkungan terhadap makanan pokok. Semua bahan baku dari masakan tersebut merupakan bahan makanan pokok, seperti sagu, beras, pulut, gula merah, dan kelapa. Penggunaan kata-kata pucuk paoh, delimo batu, dan galenggang, adalah tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Pucuk pauh untuk awet muda. Delima batu banyak mengandung oksidan, baik untuk kesehatan tubuh dan kulit. Daun gelenggang dapat digunakan sebagai obat panu. Begitu juga dengan penggunaan peralatan dalam upacara tepung tawar yang berasal dari alam, yang semuanya itu termasuk dalam pemeliharaan lingkungan. Ketika tumbuh-tumbuhan tersebut masuk ke dalam perangkat upacara adat, artinya tumbuhan tersebut harus tetap tumbuh, supaya dapat dipergunakan. Hal ini menjadi kewajiban bagi orang Melayu untuk melestarikannya, walaupun tidak dilakukan oleh semua orang Melayu. Begitu juga dengan hidangan yang disajikan dalam pesta. Bahan bakunya harus tersedia seperti kelapa dan padi yang juga terdapat dalam sinandong tersebut sebagai komoditi penghasilan utama masyarakat Melayu Tanjungbalai selain dari hasil laut.



Tabel 4.3: Paparan Data Kearifan Lokal Upacara Malam Berinai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.1.4 Paparan Data Revitalisasi Data revitalisasi diperoleh dari hasil wawancara dengan Fauzi, Zainal Arifin, dan zainul. Mereka mengatakan ada beberapa bentuk yang bisa dilakukan untuk merivitalisasi malam berinai, yaitu: a. Acara malam berinai disatukan dengan acara akad nikah. b. Para tamu undangan memberikan uang sumbangan kepada tuan rumah yang dimasukkan ke dalam amplop. Jadi keesokan harinya mereka tidak lagi menghadiri acara resepsi pernikahan. c. Mempersingkat waktu pelaksanaan. Jika dahulu rangkaian acara malam berinai dilaksanakan sampai menjelang subuh, maka



sekarang



dilaksanakan lebih kurang sampai pukul 1.00 WIB. Sedangkan untuk merevitalisasi sinandong dapat dilakukan dengan mengadakan vestifal, memodifikasi group sinandong, dan memasukkan ke dalam kurikulum pendidikan sebagai muatan lokal.



4.1.5 Paparan Data Citra Arktipe dan Jati Diri Melayu dalam Sinandong Paparan data citra arketipe dan jati diri Melayu dapat dilihat melalui syair sinandong di bawah ini: 1. Didong (Sinandong Nelayan) (1) Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi... Ooooooooiiiiii... Didonglah didong..... didonglah kunun sayang... Ooooooiiiii didonglah didong sayang... Betolurlah kau senangin... Betolurlak kau senangin... betolurlah Betolurlah kunun... sepanjang pante... baya...



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Berombuslah kau angin... Berombuslah kau angin... berombus... Supayo copat kamilah sampe... Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Bacong tecacak di haluan Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan. Bukanlah bacong sembarang bacong Ka ka pariuk di ranting kayu Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang (2) Didong... didong... lah didong... didong lah... didong oooooooiiiiiiii didonglah didong... didong didonglah... didong... ala didong ooooooooooooiiiiiiiiiii oooooooiiiii didong di didong di didong oiiiiiii betolu jugo kau senangin... amboiiiiiiiiiiiii ... ooooooooooooooooiiiiiiiiiiii betolu kunun sepanjang pantai... oooooooooiiiiiiiiii berombuslah kau angin... sepanjang pantai... ooooiiiiiiiii... barombuslah kau angin... sepanjang pantai... supayo lokas kami nan sampai... oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooiiii... oooooooooiiiiiiii timurlah mari selatan mari... hai... asal jangan jang... si barat dayo... ooooooiiiiii barombuslah angin... barombus kunun... angin barombus... supayolah kami supatolah kami lokaslah sam... pai... (3) Oooooooooooiiiiiiiiiiiii nandong di nandong Inilah ooooooooiiiiiii senandong Asahan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Angin bertiup angin melambai oooooooooooooiiiiiiiiiii Penduduknyo banyak tani nelayan oooooiiiiiiiiii Di masa lalu raso gelisoh....ooooooiiiiiiiiiii Hasil didapat tak dapat dikunyah Oooooooooiiiiiiiiiiiiii nandung dinandung Nyiur melambai di topi pantai oooooooooiiiiiiiiiii Nelayan mengarang ombak dan badai ooooooiiiiiiiii Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung... Petani riang turun ke sawah ooooooooiiiiiiiiiii Tampak nelayan bekayuh santai oooooooooiiiiiiiii Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung... (2) Sinandong mengonang Naseb (1) Siapi-api si Tanjungnapal... Hutannyo lobat kayu langkadei Kalaulah mati tidak beramal... Bagai sampan dihompas badai



Turunlah ribut kugulung layar... Hanyutlah kapal patah kemudi Bolehnyo dirobut dunio nan lebar.... Sediokan amal sebolum mati Oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii Sungguhlah cantik tuan oooooooooooooiiiiiiii Amboiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Sungguhlah cantik si kain panjang... Dipakai nak daro kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiii Dipakai nak daro di waktu potang Ooooooooooooooiiiiiiiiii Berbuat baik kunun ooooooooooiiiiiiiiiiiii Amboooooooooooooooooiiiiiiiii Berbuat baik di kampung orang Supayo kito sudaroku oooooooooooiiiiiiiiiiiii Supayo kito disukoi orang Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan Dilindung buuuuuuulaaan Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii Hai menyuruh sholat baya sudaroku... Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo. Hai... menyuruhlah sho... lat baya Dengan pua... so Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii Ooooooooooiiiiiiii menumbuk kunun oooooooooooiiiiiiii Hai di losung batu Hai di losung batu... Ambeklah antan batang galengga... ng Oooooooooiiiiiiii oooooooooooiiiiiii sakitlah sungguh Sudaroku ooooooooooiiiiiiiiiiiiii Hai daga... ng piatu oooooooiiiiiiii ooooooooiiiiiiii Kainlah basa... baya koringlah… di pinggang... Oooooooooiiiiiiiiii sinandung Kain basahan... baya... koring di pinggang Sinandong ooooooooiiiiiiiiiiiii (2) Hoi... i... iiiiiiiiiiiii... Menumbuk kunun jang di losung batu Oi... ii... di losung baaaaatuuuu... oi... Noseb... malang... Antan dibuat jang batang gelenggang... iiiiiiiiiiiii... oi... naseb ... malang hoi... saketlah sungguh... dagang piatu daaaaagaaaaaaang piaaaaaaatu… tuan oi... iiiiiiiiii... lah nadong oi... oh... oh... kaenlah basah koreng... di pinggang... ala sinadong hoi... ii… koreng di... pinggang hoi... iii naek raket mengambek kupang... mengambek kupang oh... nandung oi... pukat di labuh topi kualo oi... oi… iii... iii…. oooooooiiiiiiiiii naseb malang hoi... sunggohlah saket badan menumpang hidup menumpang... hidup menom... pang... hoi... alah naseb... oi... oi ae yang koruh jang... oi… malang badan diminum jugo... oi... oi... sinandong oi... oi...



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



(3) Senadong Hiburan (1) Iyolah molek iyolah sayang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Berbuat baek lah baek orang pun sayang Berbuat baek lah baek orang pun sayang Angin bertiup layar terkembang Angin bertiup amboi layar terkembang Sampan melonjak malonjak naik gelombang Sampan melonjak melonjak naik gelombang Sedikit tidak amboi meraso bimbang Sedikit tidak amboi meraso bimbang Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Berbuat baek la baek orang pun sayang Berbuat baek la baek orang pun sayang Adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru Botinglah Bogak boting belacan tompat berlabuh perahu nelayan Sudahlah puas minum dan makan memandang laot tidaklah bosan



(2x)



(2) Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju Singgah mak ijah singgah makan la bubur sagu Makan mak ijah makan sodap apo laoknyo adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju Sila mak ijah makan wajik dan kue putu Makan mak ijah lokas kawan lamo menunggu Adolah bubur podas bubur orang Melayu Berlayar biduk ke pulau pandan Tarik kemudi jaga haluan Terima kasih mak ijah ucapkan Santapan lezat sudah dimakan



(2x)



Sayang sayang oi nak oi mak ijah ingin la pulang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



makanan sudah habis porut pun sudah konyang sayang sayang oi nak oi bukakan tali sampan air pun sudah surut simpat nak naek pasang kayoh mak ijah kayoh, kayoh lah laju-laju singgah mak ijah singgah makan lah bubur sagu makan mak ijah makan sodap apo laoknyo adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru Paparan data citra arketipe Sinandong Asahan terdiri dari empat unsur yaitu, makanan tradisional, asal usul orang Melayu, Mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, dan kampung halaman. Untuk mempermudah analisis maka data citra arketipe dapat dirincikan dalam tabel berikut: No. 1.



2.



3.



Citra Arketipe Uraian Makanan tradisional Dikaitkan beragam makanan lokal seperti Melayu rondang kopah, sombam ikan cengcaru, bubur sagu, wajik dan kue putu yang termaktub dalam syair di atas, dapat diduga bahwa sastra warna lokal tidak akan pernah kering dan akan tetap menjadi model dalam penulisan karya sastra. Pencitraan makanan tradisional rondang kopah dan sombam ikan cengcaru, ini merupakan kerinduan orang Melayu Batubara akan asal usul nenek moyang mereka sebagai orang pelaut. Di samping itu pula, makanan ini sudah mulai dilupakan orang Melayu. Dahulu, dalam jamuan pesta perkawinan, selalu ada hidangan rendang kepah dan ikan bakar, tetapi sekarang sudah digeser oleh ayam potong dan hidangan modern lainnya. Begitu juga dengan bubur sagu, wajik, dan kue putu. Bubur sagu terbuat dari santan kelapa, gula, dan tepung sagu. Wajik terbuat dari santan kelapa, gula merah, dan beras pulut atau ketan. Kue putu terbuat dari kelapa, gula, dan tepung beras. Dari segi bahan, ketiga kue ini terbuat dari kelapa, sagu atau pohon rumbia, pulut dan beras (padi). Asal-usul orang Melalui syair Cenggak cenggok jang payung Malako, Melayu dapat dilihat bahwa orang Melayu Tanjungbalai tidak melupakan asal-usulnya dari Malaka. Hal ini mengingatkan mereka akan asal-usulnya. Banyak para generasi muda orang Melayu Tanjungbalai yang meninggalkan desanya dan pergi ke kota. Mendoakan orang Jauh di mato di ati jangan yang sudah meninggal ―Jauh di mata di hati jangan.‖ dunia Lirik ini mengisyaratkan kerinduan akan orang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4.



Kampung halaman



yang sudah meninggal dunia. Manusia dianjurkan agar selalu mendoakan orang atau sanak saudara yang sudah meninggal dunia. Makin dalam berusaha melupakan seseorang, maka semakin rindu ingin bertemu. Semakin lama ditinggalkan seseorang, bukan semakin lupa, tetapi semakin ingat akan dirinya. Begitulah kekuatan ikatan batin antara orang yang ditinggal mati oleh seseorang, apalagi seseorang itu teramat istimewa (seperti sahabat, orang tua, sanak saudara). Tempat jatuh lagi dikonang, apolah lagi tompat bemaen ―tempat jatuh lagi dikenang apalagi tempat bermain‖. Lirik yang terdapat dalam Sinandong Asahan, mengingatkan manusia akan kerinduan kampung halaman. Setiap manusia mempunyai rasa rindu atau nostalgia kepada kampung halaman, tempat ia dilahirkan, dibesarkan hingga ia menjadi ―orang‖. Ibarat kata pepatah: Tempat jatuh lagi di kenang apalagi tempat bermain. Tidak mungkin dapat melupakan tempat tumpah darah, apalagi tempat bermain waktu kecil, bersenda gurau, belajar mengaji di sekolah, malamnya membaca al-Quran. Walaupun sudah jauh merantau dan bermukim di tempat lain, tetapi kata orang ada waktunya kita akan menjadi ―belut pulang ke lumpur atau bagai gagak pulang ke benua‖.



Tabel 4.4: Paparan Data Citra Arketipe dalam Sinandong Asahan pada Upacara Malam Berinai



Paparan data jati diri Melayu Sinandong Asahan terdiri dari lima unsur yaitu, adat, sistem perkawinan, sistem religi, sistem kekerabatan, dan sistem bahasa. Untuk mempermudah analisis maka data jati diri Melayu dapat dirincikan dalam tabel berikut: No. 1.



Jati Diri Melayu Adat



Uraian Sesuai dengan adat lembago, singgah mak ijah singgah, adolah bubur sagu.



2.



Sistem kekerabatan



Sistem kekerabatan etnik Melayu di Tanjungbalai sistem kekerabatan secara vertikal yang dimulai dari urutan tertua sampai yang termuda, adalah : (1) nini, (2) datu, (3) oyang(moyang), (4) atok(datuk), (5) ayah(bapak), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut, dll. Sedangkan sistem kekerabatan secara horizontal adalah (1) saudara satu ibu dan satu ayah(ayah tiri), (2) saudara



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3.



Sistem religi



4.



Sistem bahasa



5.



Sistem mata pencaharian



sekandung yaitu saudara seibu atau lain ayah, (3) saudara seayah yaitu saudara satu ayah lain ibu(ibu tiri), (4) saudara sewali yaitu ayah nya saling bersaudara, (5) saudara berimpal yaitu anak dari makcik(saudara perempuan ayah). Sapaan dan istilah kekerabatan adalah sebagai berikut : (1) ayah, (2) omak, (3) abang(abah), (4) akak(kakak), (5) uwak (saudara ayah atau ibu yang paling tua umurnya), (6) uda (saudara ayah atau ibu yang paling muda umurnya), (7)uwak ulung (saudara ayah atau saudara ibu yang pertamabaik laki-laki maupun perempuan), (8) uwak ngah (uwak tengah, saudara ayah atau saudara ibu yang kedua baik laki-laki maupun perempuan), (9) uwak alang (saudara ayah atau saudara ibu yang ketiga baik laki-laki maupun perempuan), (10) uwak uteh (saudara ayah atau saudara ibu yang keempat baik laki-laki maupun perempuan), (11) uwak andak (saudara ayah atau saudara ibu yang kelima baik laki-laki maupun perempuan), (12) uwak uda (saudara ayah atau saudara ibu yang keenam baik laki-laki maupun perempuan), (13) uwak ucu (saudara ayah atau saudara ibu yang bungsu/paing akhir baik laki-laki maupun perempuan). Kepercayaan dan keagamaan masyarakat Melayu meliputi tiga perkara yang sangat penting. Ketiga-tiga perkara tersebut ialah amalan dan kepercayaan masyarakat Melayu, magis Melayu dan Islam sebagai agama anutan resmi masyarakat tersebut. Syair sinandong Tanjungbalai Tani, nelayan



menggunakan



bahasa



Melayu



Tabel 4.5: Paparan Data Jati Diri Melayu dalam Sinandong Asahan pada Upacara Malam Berinai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB V PERFORMANSI TRADISI MALAM BERINAI



5.1 Performansi Malam Berinai Performansi malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad terdapat dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Berikut ini dijelaskan tentang kedua tahap tersebut. 1. Tahap Persiapan Mengingat proses malam berinai ini membutuhkan biaya yang besar dan pada tahap ini harus dipersiapkan dengan matang oleh tuan rumah yang punya hajatan. Sebelum acara dilakukan maka persiapan yang akan dilakukan adalah mengundang tamu, menyiapkan makanan untuk sajian kenduri dan hidangan bagi para undangan, penyiapkan perlengkapan berinai, tepung tawar, dan mengundang group kesenian dan tari. Group kesenian ini akan membawakan rawi, marhaban, kasidah, dan nandong yang akan menghibur para undangan dalam acara malam berinai. Biasanya yang diundang dalam acara malam berinai ini adalah keluarga dekat dari pihak calon pengantin perempuan, anggota wirid yang diikuti tuan rumah, dan tetangga. Untuk mengundang tamu yang datang ini bisa dilakukan dua hari sebelum acara malam berinai ini dilakukan. Mengundangnya bisa melalui telepon atau datang langsung ke rumah orang yang akan diundang tersebut. Memasak hidangan makanan dilakukan pada siang hari yang dimasak oleh para tetangga dan kerabat dekat. Group kesenian diberitahu sebulan sebelum acara



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dilaksanakan. Hal ini dilakukan agar jadwal pementasan group ini tidak bentrok dengan orang lain atau jika para pemain ada keperluan lain, bisa disesuaikan dengan jadwalnya. Sama halnya dengan group senaandung, group tari juga diberitahu sebulan sebelum acara dilaksanakan. Persiapan untuk berinai antara lain, tilam atau pelaminan yang sudah dihias, inai yang sudah ditumbuk halus, stiker inai, inai Mekah (hena) yang berbentuk odol, kain perca untuk membungkus inai. Keadaan colon pengantin pada saat diberi inai adalah berbaring telentang dengan tangan diangkat agar inai tidak mengotori yang lainnya. 2. Tahap Pelaksanaan Setelah akad nikah, yaitu sekitar pukul 22.00 WIB pada Selasa 28 September 2015, acara pelaksanaan malam berinai besar dimulai dengan group kesenian melantunkan rawi (barzanzi) yang dilanjutkan dengan marhaban. Seiring dengan marhaban dilantunkan, pasangan pengantin atau kedua mempelai berjalan menuju ke pelaminan yang berada di halaman rumah mempelai perempuan. Setelah itu mereka duduk di atas pelaminan yang dipandu oleh bidan pengantin. Caranya yaitu pengantin laki laki dan perempuan duduk dengan kaki dijuntaikan, lalu di atas paha mempelai diletakkan kain panjang sebagai pengalas tangan dengan posisi tangan telungkup. Setelah pengantin duduk di atas pelaminan, yaitu pukul 22.25 WIB maka di hadapan calon pengantin dipertunjukkan ―tari gubang‖, Tari



ini ditarikan



penari perempuan dan laki-laki yang diiringi musik dan sinandong ―Gubang‖. Jumlah penarinya dua pasang. Tari gubang ini merupakan upacara pembuka untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



prosesi berinai. Tari ini ini akan berakhir seiring dengan berakhirnya sinandong ―Gobang‖. Diakhir tarian, si penari mencoletkan inai kepada calon pengantin. Setelah tari gubang berakhir, barulah prosesi berinai dilakukan oleh kedua belah pihak sambil menepungtawari. Kemudian dilanjutkan dengan acara tepung tawar, pada pukul 22.45 WIB. Urutan yang menepung tawari adalah dimulai dari ibu bapaknya (serentak) dan kemudian diteruskan oleh ahli keluarga yang tertua dan terdekat. Kemudian dilanjutkan dengan abang dan kakak kandung beserta istri dan suami. Kemudian dilanjutkan dengan orang tua dari pihak pengantin laki-laki. Dilanjutkan dengan ahli keluarganya sampai selesai. Setelah itu barulah para undangan dan temanteman dari pengantin. Orang yang hendak ditepung tawari mula-mula menerima ataupun mengambil sedikit (sejumput) beras putih, beras kuning, bertih dan bunga rampai, lalu menaburkannya ke atas hariban atau keliling badan orang yang ditepung tawari, kadang-kadang disertai dengan ucapan ‗selamat‘, ―murah rezeki‖‘ ―sehat‖‘ dan sebagainya. Kemudian diambilnya berkas ikatan daun kalinjuhang dan daun lainnya, dicecahkan ke mangkuk puith yang berisi air dan beras putih serta irisan limau purut lalu dirinjis-rinjiskannya di atas kedua belah telapaktangan orang yang ditepungtawari. Selalu juga disertai dengan kata ‗selamat‘. Semua acara di atas dilakukan dengan khidmat. Orangtua ada juga merinjis-rinjiskan berkas ikatan tersebut ke atas ubun-ubun (kepala) calon pengantin. Setelah itu lalu bersalaman. Kemudian mencoletkan inai ke telapak tangan calon pengantin.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Jika yang menepungtawari lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya di dalam keluarga ataupun masyarakat dari orang yang ditepungtawari, maka orang yang ditepung tawari mencium tangan orang yang menepungtawari. Sebaliknya yang akan terjadi, jika yang menepungtawari lebih muda, maka dialah yang mencium tangan pengantin. Orang tua dan keluarga saudara kandung boleh berpelukan dan mencium pipi pengantin sebagai uangkapan sayang. Jadi makna dari upacara tepuk tepung tawar bagi masyarakat Melayu adalah memohon keselamatan dan kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa baik di dunia maupun di akhirat. Sembari



tepungtawar



berlanjut,



group



marhaban



melantunkan



marhabannya tetapi tidak dengan menggunakan pengeras suara, karena pengeras suara dipakai oleh pewara untuk memanggil sanak saudara yang akan menepungtawari kedua mempelai. Seiring dengan berakhirnya tepung tawar, maka berakhir pula syair marhaban yang dinyanyikan. Setelah berakhirnya tepung tawar dan marhaban, maka acara selanjtukaya adalah doa. Doa dibacakan dalam bahasa Arab dan intinya adalah meminta kepada Allah SWT agar acara pada malam ini mendapat berkah, dan untuk acara esok hari dijauhkan dari marabahaya. Kepada pengantin agar segera dikaruniai keturunan. Setelah acara doa berakhir maka dilanjutkan dengan menampilkan beberapa tarian yang diselingi dengan sinandong. Pertunjukan sinandong pun dimulai dengan menyanyikan beberapa lirik sinandong. Biasanya dimulai dari Sinandong Mengonang Naseb dan Sinandong Hiburan. Isi sinandong ini mengandung unsur nasehat dan penggambaran tentang kehidupan berumah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tangga. Kekuatan sinandong ini bisa membuat calon pengantin terpukau dan tidak sadarkan diri. Bahkan ada juga yang kesurupan, tetapi tidak jarang ada yang biasa-biasa saja sambil meneteskan air mata. Bagi calon pengantin yang kesurupan dan tidak sadarkan diri, setelah beberapa lama dan dirincis dengan air tepung tawar maka calon pengantin perempuan akan sadar kembali. Masyarakat percaya, jika calon pengantin pingsan berarti kehidupan rumah tangga mereka kelak akan berjalan dengan baik. Kekuatan sinandong ini disebut ―pitunang‖. Selanjutnya proses berinai dilaksanakan di dalam ruangan. Kedua pengantin meninggalkan pelaminan sekitar pukul 23.40 WIB. Pengantin laki-laki pulang ke rumahnya, jika rumahnya berada di kota Tanjungbalai. Jika pengantin laki-laki rumahnya di luar kota Tanjungbalai, maka mereka dititipkan di rumah yang sudah ditentukan oleh pihak pengantin perempuan. Pengantin laki-laki dibekali inai oleh pengantin perempuan. Pengantin laki-laki diinai di rumahnya oleh sanak keluarganya. Sedangkan pengantin perempuan diinai di ruangan tengah. Pengantin perempuan berbaring telentang di atas tilam. Kemudian diinai oleh sahabat ataupun orang yang ahli dengan seni berinai. Jika dilakukan oleh profesional, maka tidak diperlukan stiker, tetapi jika dilakukan oleh orang yang tidak profesional maka diperlukan stiker untuk mencetaknya. Dalam perkawinan berinai Liza dan Rahmad, mereka sudah melakukan inai kecil, jadi pada malam berinai besar ini yang diinai hanya kukunya saja, sedangkan bagian tangan tidak lagi. Sembari proses berinai dilakukan, maka pertunjukan seni kasidah dilangsungkan di depan pelaminan. Para group kasidah menunjukkan kebolehan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mereka melantunkan lagunya yang dimulai dengan alunan lagu (Sikka, Hijaz, Bayati, dan lain-lain). Untuk menghemat waktu mereka hanya melantunkan lima jenis kasidah saja. Kemudian dilanjutkan dengan nandong sebanyak 5 lagu. Dengan berakhirnya nandong tersebut maka berakhir pula rangkaian acara malam berinai sekitar pukul 1.30 pada Rabu 29 September 2015. Acara akan dilanjutkan besok hari dengan khatam al-Quran dan duduk bersanding.



5.2 Analisis Teks, Konteks, dan Ko-teks 5.2.1 Analisis Teks Dalam upacara malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad dan perkawinan Pida dan Reza, teks yang digunakan untuk mengiringi tari gubang adalah sama yaitu didong. Peneliti hanya menganalisis teks didong tersebut. Adapun alasan penulis tidak mengkaji teks lainnya karena dalam upacara adat malam berinai ini tidak ada kata-kata yang spesifik dalam acara ini, seperti kata sambutan atau kata-kata nasehat.



Penulis juga tidak mentranskripsikan rawi,



marhaban, dan kasidah karena teks tersebut sudah dibukukan dan seni tersebut sering dipertunjukkan di dalam upacara keagamaan lainnya, seperti dalam acara maulid nabi, melepas dan menyambut jamaah haji, mengayunkan anak, dan khitanan. Sedangkan sinandong ini khusus dipertunjukkan pada malam berinai. Teks sinandong Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi.... Ooooooooiiiiii........................ Didonglah didong..... didonglah kunun sayang......... Ooooooiiiii didonglah didong sayang..............



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Betolurlah kau senangin......... Betolurlah kau senangin..........betolurlah Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya.............. Berombuslah kau angin.................... Berombuslah kau angin..................berombus........... Supayo copat kamilah sampe.............. Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Bacong tecacak di haluan Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan.



Bukanlah bacong sembarang bacong Ka ka pariuk di ranting kayu Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang



5.2.1.1 Struktur Makro Struktur makro sebuah teks berhubungan dengan tema-tema sebuah teks. Teks didong ini merupakan teks karya sastra yang berbentuk pantun. Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi atau tema. Sampiran sinandong ini mengambil tentang tema kelautan. Kata-kata yang digunakan seperti (1) Betolurlah kau senangin, (2) sepanjang pante, (3) Berombuslah kau angin, (4) Sayang si bacong si dua bacong, dan (5) Bacong



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tecacak di haluan. Sedangkan isinya adalah ucapan selamat kepada pengantin baru. Hal ini dapat dilihat dengan menggunakan kata-kata (1) Bagailah mano ondak masuk anak bayo, (2) Bukanlah datang sembarang dating, dan (3) Datang menghibur penganten baru. Jadi, tema utama dari sinandong ini adalah tema menyambut kedatangan pengantin baru, sedangkan tema kecilnya adalah tema tentang kelautan.



5.2.1.2 Superstruktur Pada bagian pendahuluan, teks ini menggunakan tema kelautan (didong, senangin, pantai (pante), bacong, haluan). Pada bagian tengah digunakan tema pengantin baru (datang menghibur penganten baru). Sedangkan pada bagian akhir atau penutup digunakan tema gubang (gubang).



Sinandong di atas adalah



sinandong didong atau senandung memanggil angin. Sinandong ini lazim digunakan oleh para nelayan untuk meminta angin, jika terjadi angin mat di laut. Oleh karena itu, tema makro dari sinandong ini adalah tentang laut. Sedangkan tema mikronya adalah ucapan selamat kepada pengantin baru dan gubang. Gubang adalah senandung pengobatan yang digunakan oleh dukun untuk mengobati pasiennya dengan menyanyikan mantra untuk meminta kesembuhan yang disertai dengan ―tari gebuk‖. Dalam konteks malam berinai ini, gubang adalah tarian unuk mengusir roh atau makhluk gaib yang dipercayai akan datang mengganggu pengantin baru. Secara tersirat, gubang bermakna mengusir roh jahat, oleh karena itu calon pengantin harus diberi inai.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5.2.1.3 Struktur Mikro Struktur mikro dapat mencakup beberapa topik pembahasan, misalnya, pembahasan dengan ancangan fonologi, morfologi, sintaksis, wacana, semantik, pragmatik, stilistika, dan figuratif. Dari semua ancangan tersebut, struktur mikro di sini hanya membahas ancangan semantik yang dititik beratkan pada kajian semiotik dengan menggunakan teori C.S. Pierce sebagai berikut, (1) Didong adalah ikon dari syair nelayan. Didong dinyanyikan oleh para nelayan ketika mereka menangkap ikan di laut. Tiba-tiba angin tidak berhembus sehingga perahu mereka tidak bisa berjalan, maka para nelayan ini menyanyikan didong tersebut dan datanglah angin. (2) Gubang adalah simbol dari tari inai masyarakat Melayu Tanjungbalai. Gubang merupakan tari ritual yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam berinai. (3) Kata kunun, baya, nandong, sinandong Asahan, merupakan simbol yang menjadi ciri khas dalam bahasa Melayu Tanjungbalai. Begitu juga dengan kata anak bayo, intan payung, sayang, cek, tuan merupakan kata sapaan dan penghormatan bagi orang yang disayangi atau dituakan dan kata tersebut hanya dijumpai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. (4) Senangin adalah indeks dari ikan laut dangkal. Hal ini ini ditandai dengan kalimat



Betolurlah



kau



senangin..........betolurlah



Betolurlah



kunun............. sepanjang pante.... Hal ini juga menandakan bahwa orang Melayu Tanjungbalai memiliki pengetahuan yang luas tentang laut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



(5) Indeks lain yang menyatakan bahwa orang Melayu Tanjungbalai memiliki pengetahuan yang luas tentang laut adalah pemakaian akat-kata seperti pantai, bacong, haluan, angin, dan didong. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang berhubungan dengan laut. (6) Bagailah mano ondak masuk anak bayo, Musuh tepacak di tanjung puan, adalah indeks dari pengantin laki-laki tidak bisa masuk



ke rumah



pengantin perempuan. Hal ini ditandai oleh musuh berdiri di depan rumah pengantin perempuan, sehingga pengantin laki-laki terhalang masuk. Dalam adat perkawinan Melayu, ada acara ―hempang pintu‖. Jika pengantin laki-laki tidak membayar sejumlah uang kepada orang yang menghempang



pintu



tersebut,



maka



pengantin



laki-laki



tidak



diperkenankan masuk. Oleh karena itu, pihal pengantin laki-laki harus memberikan sejumlah uang tersebut. (7) Bukanlah datang sembarang datang, Datang menghibur penganten baru, adalah indeks dari group senandung tersebut datang untuk menghibur pengantin baru.



5.2.2 Analisis Konteks Analisis konteks tradisi malam berinai ini dilihat pada perkawnan Liza dan Rahmad. Konteks malam berinai ini didasarkan pada prosesi adat perkawinan Melayu di Tanjungbalai. Malam berinai adalah merupakan bagian dari adat perkawinan Melayu. Jadi analisis ini terfokus pada dua peristiwa, yaitu prosesi pada malam berinai adat perkawinan Melayu Tanjungbalai dan prosesi ritual tradisi bersinandung pada malam berinai yang menjadi sumber data penelitian ini. Konteks adalah situasi yang ada disekitar kita ketika sebuah peristiwa ritual berlangsung. Pemaknaan sebuah bahasa yang diungkapkan oleh seseorang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ditentukan oleh konteks, yakni pada saat kapan dan dimana ritual itu dilakukan. Pada upacara malam berinai ini peneliti melihat beberapa konteks yang meliputinya, yakni budaya, konteks sosial, konteks situasi, dan konteks idiologi. 1. Konteks budaya Konteks budaya penyelenggaraan ritual turut



mempengaruhi sebuah



tradisi. Upacara malam berinai yang diselenggarakan tentu berbeda dengan budaya



yang



dilakukan



pada



upacara



kematian.



Malam



berinai



ini



diselenggarakan serangkaian dengan pelaksanaan upacara adat perkawinan Melayu. Upacara malam berinai dilaksanakan dalam konteks budaya masyarakat Melayu di Tanjungbalai yang rangkaikan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang, kasidah, dan sinandong. Malam berinai ini berisi bermohonan kepada Tuhan agar makhluk gaib dan roh-roh halus tidak mengganggu pasangan pengantin. 2. Konteks sosial Konteks sosial mengacu kepada faktor-faktor sosial yang mempengaruhi teks. Faktor-faktor sosial itu berhubungan dengan perbedaan jenis kelamin, kelas sosial, suku, usia, dan sebagainya. Konteks sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang-orang yang terlibat dalam suatu upacara baik itu sebagai pelaku, pengelolah, penikmat, bahkan komunitas pendukungnya. Pelaku dalam upacara melam berinai ini melibatkan banyak pihak, mulai dari calon pengantin, orang tua, pengetua adat, tetangga, sahabat, dan group kesenian. Pengelolah atau penyelenggara dalam upacara malam ini adalah orang yang mempunyai finansial yang memadai dan mencintai budaya Melayu. Komunitas pendukung upacara ini adalah masyarakat Melayu Tanjungbalai.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Seiring berjalannya waktu, maka penyelenggaraan malam berinai ini juga semakin berkurang.



Hal



ini



disebabkan



karena



sekarang



masyarakat



ingin



meyelenggarakan suatu adat secara ringkas untuk menghemat biaya. 3. Konteks situasi Hal ini mengacu pada waktu, tempat, dan penggunaan upacara. Upacara malam berinai diselenggarakan pada waktu malam hari. Upacara ini ada yang dirangkaikan dengan akad nikah. Akad nikah diselenggarakan pada malam hari selepas sholat Isya (lebih kurang pukul 20.00 WIB). Kemudian acara dilanjutkan dengan barzanzi, marhaban, tari gubang dan sinandong gubang, kasidah, dan sinandong. Acara ini berakhir sampai tengah malam. Malam berinai dilakukan pada malam hari yaitu sehari sebelum pesta perkawinan digelar. Jika pesta perkawinan dilaksanakan pada hari minggu, maka malam berinai dilaksanakan pada hari sabtu malam sehabis sholat isya. Berinai dilakukan pada malam hari menurut kepercayaan masyarakat Melayu adalah lebih baik karena warnanya akan memerah, sedangkan jika dilaksanakan pada waktu siang hari warnanya akan memudar. Selain itu mengenakan inai tidak boleh ketika ayam berkokok. Oleh sebab itulah, kegiatan dilakukan pada waktu malam sebelum ayam berkokok. Malam berinai adalah malam duka cita. Suasana lebih meriah karena rumah pengantin calon perempuan banyak dikunjungi sahabat dan sanak saudara. Mereka ingin melihat sekaligus menggoda calon pengantin. Sambil berianai diselingi dengan pertunjukan sinandong.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Malam berinai dilakukan di rumah calon pengantin perempuan. Sekarang ini, untuk menghemat biaya dan efisiensi waktu, hanya berinai besar saja yang dilakukan. Ada juga yang hanya dilakukan oleh pihak calon pengantin perempuan saja, sedangkan pihak calon pengantin laki-laki melakukan ritual berinai curi saja. Bahkan sebagian besar masyarakat Tanjungbalai tidak membuat upacara malam berinai besar ini karena harus mengeluarkan biaya untuk upacara ini. Jadi mereka hanya membuat malam berinai curi saja. Tempat pelaksanaan upacara ini diselenggarakan di rumah calon pengantin perempuan.



Pasangan



pengantin



didudukkan



di



atas



perlaminan



lalu



ditepungtawari dan diinai secara simbolis. Kemudian pengantin pria kembali ke rumahnya dan diinai oleh sanak keluarganya. Sedangkan pengantin wanita diinai di kamarnya oleh sahabat atau tukang inai. 4. Konteks ideologi Meskipun saat ini masyarakat Tanjungbalai mayoritas menganut agama Islam, akan tetapi kebudayaan pra-Islam masih mempengaruhi adat kebiasaan terutama bentuk upacara ritual. Salah satunya adalah upacara malam berinai ini. Dalam upacara ini rangkaian kegiatan disesuaikan dengan acaran Islam, namun untuk dalam upacara ini menggunakan peralatan yang menyimbolkan suatu hal. Misalnya dalam upacara tepung tawar dan permakaian inai. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upacara berinai ini merupakan percampuran idiologi antara Islam dan non-Islam (Hindu). Anggapan ini cukup berasalan sebab ketika Islam diperkenalkan di alam Melayu, proses pengislaman tidak menentang adat kebiasaan. Bahkan adat kebiasaan dijadikan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sebagai wadah untuk memasukkan ajaran Islam secara perlahan-lahan dengan harapan akan terbentuk suatu generasi muslim yang dapat melangsungkan proses Islamisasi secara utuh dan berkesinambungan.



5.2.3 Analisis Koteks Koteks merupakan bagian penting dalam memberikan pemaknaan terhadap teks tradisi lisan. Ko-teks terdiri atas paralinguistic (suprasegmental), kinetic (gerak isyarat), prosemic (penjagaan jarak), dan unsur-unsur material atau benda-benda yang digunakan. Jenis ini cocok digunakan untuk menganalisis tradisi lisan yang berbentuk upacara. Berkut ini adalah unsur-unsur koteks yang terdapat pada tradisi malam berinai pada perkawinan Liza dan Rahmad. 1. Paralinguistic (suprasegmental) Unsur suprasegmental dalam teks sinandong dapat dilihat pada intonasi dan tekanan yang muncul saat dinyanyikan. Sinandong yang digunakan dalam mengiringi tari gubang dibangun oleh pola kalimat yang sama yaitu pantun sehingga intonasi yang digunakan pada baris pertama sama dengan pada baris ke tiga. Di setiap akhir baris digunakan bunyi oi... yang merupakan cirikhas dari sinandong. 2. Kinetic (gerak isyarat) Saat seseorang sedang bernyanyi biasanya ada gerakan-gerakan tertentu yang menyertainya seperti gerakan tangan, kaki, kepala, ekspresi wajah seperti tersenyum yang disesuaikan dengan irama lagu yang sedang dinyanyikan. Sehubungan dengan sinandong gubang, penyanyi melakukan gerakan badan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



melenggok ke kiri dan ke kanan diikuti gerakan kaki dengan ekspresi wajah gembira.



Gambar 5.1 Ekspresi wajah pesinandong ketika melantunkan sinandong didong (dokumentasi Lela Erwany, 2015)



Gerakan penepung tawar dapat dilihat dari uraian berikut: 1.



Ambil ―sejemput‖ beras kunyit, beras putih, dan beretih lalu taburkan melewati atas kepala, ke bahu kanan dan bahu kiri pengantin. Pada saat menaburkan, dilafaskan Salawat Nabi.



2.



Mencecahkan daun perenjis ke dalam air tepung tawar, lalu direnjiskan di atas dahi, bahu kanan dan kiri, lalu belakang telapak kedua tangan (posisi tangan pengantin harus telungkup).



3. Mengambil secolet inai lalu dioleskan di telapak tangan kanan dan kiri (jika pengantin sudah berinai kecil, maka yang dicoletkan adalah bedak dingin).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. kemudian bersalaman kepada kedua mempelai. 5.



Setelah semua orang yang ditunjuk sebagai penepung tawar selesai, acara ditutup dengan doa selamat. Makna tepung tawar :



1. Beras kunyit, beras basuh, dan beretih yang dihamburkan bermakana ucapan selamat dan turut bergembira. 2.



Merenjis kening bermakna berfikirlah sebelum bertindak atau teruslah menggunakan akal yang sehat.



3. Merenjis di bahu kanan dan kiri bermakna harus siap memikul beban dengan penuh rasa tanggung jawab. 4. Merenjis punggung tangan bermakna jangan pernah putus asa dalam mencari rezeki, selalu dan terus berusaha dalam menjalani kehidupan. 5. Menginai telapak tangan bermakna penanda bahwa mempelai sudah berakad nikah. Dalam konsekuensinya penyadaran bahwa ―sekarang‖ sudah tidak lajang atau dara lagi (sudah ada pendamping). 6. Doa selamat di penutup acara bermakna pengharapan apa yang dilakukan mendapat berkah dan ridho dari Allah Swt.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 5.2: Tatacara Tepung Tawar (Koleksi Lela Erwany, 2015) Gerakan dalam menginai pengantin biasanya dimulai dari menginai kuku tangan dengan menggunakan inai yang sudah ditumbuk halus. Kemudian dilanjutkan dengan mengias tangan dengan menggunakan inai odol dan menempelkan stiker di tangan pengantin. Kemudian dilanjutkan dengan menginai kuku kaki dan mengukir kaki dengan inai yang berbentuk odol.



Gambar 5.3: Motif Inai Mauliza pada Malam Berinai di rumahnya (dokumentasi Lela Erwany, 2015)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5. Unsur-unsur Material Unsur-unsur material yang dipergunakan dalam malam berinai ini adalah: 1.



Properti Tepung Tawar Adapun peralatan atau kelengkapan tepung tawar yang digunakan oleh



masyarakat Melayu secara garis besar terdiri dari dua bagian pokok, yaitu: - Ramuan Penabur - Ramuan Rinjisan a. Ramuan Penabur Di atas wadah terletak sepiring beras putih, sepiring beras kuning, sepiring bertih dan sepiring tepung beras, sebagai pelambang sebagai berikut : - Beras putih = kesuburan dan pembasuh diri dari yang kotor. - Beras Kuning = kemuliaan, kesungguhan dan keagungan. - Bertih = perkembangan, perlambang rezeki yang tumbuh dari bumi dan dari langit. - Bunga Rampai = Melambangkan wanginya persahabatan, manisnya persaudaraan, dan harumnya keakraban. - Tepung beras = kebersihan hati. - Arti keseluruhan dari bahan-bahan di atas adalah kebahagiaan.



b. Ramuan Rinjisan Sebuah mangkuk putih (kalau dulu tempurung kelapa puan) berisi air biasa, segenggam beras putih dan sebuah jeruk purut yang telah di iris-iris. Tempat/wadah tepung tawar disebut ampar artinya bumi.Di dalam mangkuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tersebut juga diletakkan sebuah ikatan daun-daunan yang terdiri dari 7 macam daun, yaitu : - Daun Kalinjuhang/jenjuang (tumbuhan berdaun panjang lebar berwarna merah). Melambangkan penolak bala dan menjauhkan dari hantu, setan serta iblis yang mengganggu masyarakat serta pembangkit semangat juang yang tinggi. - Tangkai pohon pepulut/setawar (tumbuh-tumbuhan berdaun tebal bercabang). Ini melambangkan sebagai penawar (obat) segala yang berbisa, bisa laut, bisa bumi dan membuang segala sesuatu yang jahat.Daun ini juga bermakna memulihkan sesuatu yang rusak atau yang sakit. - Daun Gandarusa (tumbuhan berdaun tipis berbentuk lonjong).Daun ini bermakna, berjuang untuk menahan sesuatu penyakit yang akan datang masuk ke suatu daerah. Daun ini juga merupakan daun penangkal musuh dari luar, penangkal dari dalam, penangkal sihir dan serapah, penangkal segala kejahatan yang dibawa setan lalu. - Daun ribu-ribu (Tumbuhan melata berdaun kecil bercanggah). Fungsinya sebagai pengikat diantara daun-daun tersebut, maknanya untuk mengikat segala penyakit yang datang dan penguat kesatuan dan kebersamaan serta penguat semangat. - Daun Keduduk/Senduduk. Maknanya segala penyakit yang datang didudukkan atau ditaklukkan dan dilumpuhkan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



- Daun sedingin, Daun ini bermakna akan memberikan kesejukan, ketengan dan kesehatan. - Pohon sambau dengan akarnya. Pohon yang memiliki akar yang liat dan sukar dicabut, mengingatkan kita pada kekuatan dan keteguhan. Maka ketujuh macam tumbuhan tersebut diatas melambangkan suatu seruan atau do'a tanpa suara untuk kesempurnaan orang yang ditepung tawari. Ketujuh daun tersebut diikat dengan akar atau benang jadi satu berkas kecil sebagai rinjisan. Adapun arti dari bahan-bahan di atas adalah sebagai berikut : - Mangkuk putih berisi air putih bermakna kejernihan. Kadang ada juga yang menggunakan air mawar, yang terbuat dari aneka daundaunan yang beraroma wangi seperti pandan, serai wangi, jeruk purut yang direbus. - Beras atau bedak beras. Dibuat dari tepung beras yang diadun bersama larutan wewangian alami dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai makna sebagai pendingin, peneduh kalbu, dan kesuburan. - Limau purut yang diiris tipis, yang mempunyai makna sebagai pemberi kekuatan dan kesabaran sekaligus membersihkan. Secara keseluruhan diartikan sebagai Keselamatan dan Kebahagiaan. Ketiga peralatan ini diaduk menjadi satu dalam satu wadah dan direnjis dengan menggunakan gabungan alat penepuk yang terdiri dari dedaunan tersebut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 5.4: Perlengkapan Tepung Tawar untuk Malam Berinai (dokumentasi Lela Erwany, 2015) 2.



Tari Gubang dan Propertinya Tari Inai adalah tari yang nyaris di semua daerah Melayu di Sumatera



Utara seperti Langkat, Deli, Serdang, Asahan maupun Labuhan Batu. Masingmasing masyarakat Melayu di daerah-daerah tersebut membentuk Tari Inai sesuai dengan alam, ungkapan dan falsafah yang dimilikinya. Oleh karena itu Tari Inai bisa sangat beragam. Antara daerah Melayu yang satu dengan daerah Melayu lainnya memiliki persamaan dan perbedaan. Baik penamaan ragamnya, istilah geraknya, garis edar pola lantainya, sampai kepada properti yang digunakannya. Meski demikian keberadaan Tari inai dimanapun tetap sama. Yaitu sebagai bagian dari prosesi pemberian tanda kepada pengantin wanita. Keberadaan Tari inai ini membuat ia jadi sangat khusus dan unik. Dikatakan khusus, karena ia hanya ditarikan di hadapan pengantin. Dengan kata lain, tari inai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tidak ditemukan hadir dalam acara-acara hiburan. Dikatakan unik, karena tari inai membawa lambang dan simbol tertentu melalui properti yang dibawa penari. Masyarakat Melayu Tanjungabalai menamakan tari inai sebagai tari gubang. Konsep tari gubang ini berbeda dengan tari inai yang ada di dalam masyarakat Melayu di Sumatera Utara. namun demikian, tujuannya sama, yaitu sebagai simbol untuk memberikan inai kepada calon pengantin. Tari gubang ini khusus dipertunjukkan untuk malam berinai. Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tari gubang ini, karena penari yang akan mempertunjukan tarian tersebut. Penari menjadi pusat perhatian penonton, sehingga diperlukan penari yang memiliki kecakapan dan kemampuan menarikan tari gubang tersebut di pelataran depan pelaminan pengantin. Pemilihan penari gubang yang peneliti dapatkan dilapangan merupakan anggota dari Sanggar Tari Ayu, Jln. Malaka Tanjungbalai. Sebagai sebuah tari rakyat, tari ini sangat disukai oleh para nelayan, mereka sering menarikannya dikala senggang setelah melaut. Kemudian tari ini dibawa ke istana untuk dipertunjukkan kepada raja, yang kemudian ditata atau disusun dengan pola gerak yang tertentu, dengan ditarikan oleh penari wanita dan pria. Kalau diperhatikan gerak-gerak yang dilakukan seperti gerakan untuk menyambut tamu. Hal ini dapat diamati dari gerak tangan yang menyembah, gerak mempersilahkan, gerak kaki maju mundur, melingkar dan lain sebagainya. Sehingga di dalam bentuk pengolahan yang baru di istana, tari ini tidak sekedar hiburan, tetapi dijadikan sebagai tari pemyambutan tamu dalam satu jamuan besar.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sinandong Didong yang dijadikan sebagai pengiring dalam tari ini, ternyata tidak hanya sebatas pengiring saja, menurut kepercayaan masyarakat Tanjung Balai, Didong dipercayai memiliki kekuatan untuk memanggil angin, melalui syair-syair yang berisi mantra-mantra, dilagukan sebagai permohonan dalam mewujudkan keinginan mereka. Berdasarkan kepercayaan ini, mereka kemudian menjadikan sinandong didong sebagai iringan dan dilantunkan di awal pertunjukan tari gubang. Dikarenakan lagu didong memiliki kekuatan untuk memanggil angin, akhirnya setiap pertunjukan tari Gubang, awal dari tari Gubang dinyanyikan dengan lagu Didong. Dalam mengiringi nyanyian Didong, digunakan instrumen musik seperti gendang yang berjumlah minimal 2 buah dengan ukuran yang tidak sama. Kemudian disertai tawak-tawak (gong) yang berfungsi sebagai pembawa siklus metrum dan berjumlah 1 buah, serta biola sebagai pembawa melodi. Biola boleh digunakan lebih dari satu asalkan memiliki nada yang serupa. Irama yang dibawakan dalam nyanyian Didong ini adalah irama sinandong, yang berarti bertempo lambat. Perkembangan selanjutnya, tari ini tidak hanya dipertunjukkan sebagai tari penyambutan saja, tetapi tari gubang sudah menjadi tari pertunjukan dengan memberikan pola garapan yang lebih ekspresif. Saat ini, tari gubang sudah jarang ditarikan, hanya pada perayaan besar seperti ulang tahun Kota Tanjung Balai, tari ini masih ditampilkan tetapi bukan sebagai tari penyambutan, seperti pada penyajian sebelumnya. Ada yang menarik dalam hal ini, karena tari penyambutan yang ditarikan saat ini tidak menyajikannya dengan tari gubang, melainkan tari Persembahan yang diiringi dengan nyanyian Makan Sirih, dan ditarikan oleh



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



penari wanita dengan masing-masing kelompok (group) memiliki kreasi yang berbeda dalam karya tarinya. Akhirnya, tari gubang kini khusus ditarikan pada malam berinai. Dari gerakan-gerakan tari gubang memiliki makna-makna religius.Tari



gubang memiliki ragam dan gerak-gerak tertentu. Ragam tari gubang mengandung kiasan dan arti yang diambil namanya dari nama-nama hewan yang berada di sekitar masyarakat Melayu. Ini menggambarkan bahwa tari inai sangat dekat dengan kehidupan masyarakat. Tari gubang ini mempunyai makna bahwa untuk mengusir hantu dan rohroh jahat agar tidak mengganggu calon pengantin. Itulah makanya, gerakannya menyerupai gerakan burung yang mengepakkan sayap untuk mengusir hantu. Gerakan ini banyak dilakukan di tari gubang ini (hasil wawancara dengan Pak .Fauzi, 30 September 2015). Dipercayai oleh masyarakat bahwa penyakit berasal dari ujung jari kaki dan tangan, oleh karena itu ujung jari perlu dibalut dengan inai supaya penyakit tidak masuk. Pada acara malam berinai, penari inai laki-laki menggunakan baju Kecak Musang pada bagian lehernya berupa kerah tegak seperti kerah shanghai, berkancing lima buah yang melambangkan rukun Islam yang berjumlah lima dan juga berlengan panjang. Jadi, pakaian yang dipakai oleh penari gubang ialah baju Gunting Cina atau baju Kecak Musang dan celana panjang longgar, kepala ditutup dengan memakain peci. Sesamping yaitu kain sarung atau songket yang dibentuk segitiga atau sejajar dan diikatkan ke pinggang tepatnya di atas lutut. Penari



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perempuan mengenakan kebaya tiga suku berlengan panjang dengan kain songket. Di sampingnya menggunakan selendang.



Gambar 5.5: Tari gubang oleh Sanggar Tari “Ayu” (Koleksi Lela Erwany, 2015) Pemakaian inai pada upacara perkawinan di Tanjungbalai memiliki pengaruh dari Arab, karena pemakaian inai dilaksanakan setelah akad nikah. Inai dipercaya dapat menangkal roh jahat dan sebagai obat untuk luka dikulit, tetapi seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat, sekarang inai digunakan dalam masyarakat Melayu sebagai tanda sudah menikah. Jadi, properti yang digunakan penari pada acara malam berinai di Tanjungbalai adalah 2 buah piring kecil berisi inai yang sudah digiling halus.



3.



Properti Berinai Properti berinai yang digunakan pada upacara malam berinai baik Pida



maupun Liza tidak ada perbedaan, yaiitu inai yang digiling halus, stiker, dan inai Mekah yang berbentuk odol. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Properti berinai



Inai yang Digiling Halus



Stiker



Inai Mekah yang Berbentuk Odol



Bagan 5.1 Properti Berinai pada Upacara Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



1. Inai yang Digiling Halus Inai adalah tumbuhan yang hidup didataran tinggi yang memiliki daun yang lebat dan berukuran relatif kecil. Pokok inai mempunyai nilai pengobatan yang tinggi pada daunnya. Daun inai atau henna merupakan sejenis pokok renek dengan bunga yang berwarna hijau pucat serta daun-daun yang sangat berguna. Orang-orang Melayu dan Cina menggunakannya untuk menyembuhkan luka dan kudis di sekeliling kuku. Untuk itu, daun-daun ini dibersihkan dan ditumbuk, kemudian disapukan pada tempat yang sakit. Daun inai mengandung bahan pewarna glukosid dan asid henotanik. Asid henotanik pada daun inai menyebabkan kulit yang dikenai inai akan berwarna merah. Ini disebabkan pewarna yang terdapat dalam asid henotanik akan bergabung dengan kolagen pada sel kulit dan keratin pada kuku dan rambut. Minyak dari biji inai mengandung behenik, arasidik, sterik, palmitik, asid oleik dan linoleik.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Inai yang digunakan pada acara malam berinai pasangan Liza dan Rahmad adalah inai yang diambil dari halaman rumah tetangga mereka. Inai ini tidak dibeli tetapi hanya diminta saja. Masyarakat Melayu Tanjungbalai masih memiliki rasa solidaritas yang tinggi, sehingga mereka sudah terbiasa meminta atau memberi sesuatu tanpa pamri. Inai ini diambil pada sore hari, kira-kira jam lima sore dan langsung digiling. Inai ini digiling oleh bibinya, yaitu adik ayahnya yang paling kecil. Inai yang digunakan pada malam berinai ini giling di atas batu gilingan yang berbentuk oval. Untuk menghasilkan warna inai yang bagus, maka dipergunakan daun inai yang sudah tua. Daun yang telah tua ditandai dengan adanya bintik-bintik hitam yang terdapat di daun tersebut, daun yang tua itulah yang digiling halus dicampur dengan sedikit gambir, nasi, arang, dan kapur. Gambir, arang, dan kapur digunakan untuk menghasilkan warna merah kehitamhitaman. Nasi digunakan agar inai merekat lebih lama di tempat yang diinai. Inai yang digiling ini ditempelkan di ujung jari dan kuku kaki dan tangan. Inai tidak bisa ditumbuk di lesung, karena jika ditumbuk di lesung inai tidak akan halus. Lagi pula memerlukan waktu yang lama, jika ditumbuk di lesung. Tetapi jika digiling di batu gilingan, maka inai akan cepat lumat. Untuk hasil yang maksimal, maka daun inai harus digiling sedikit demi sedikit, jangan digiling sekaligus. Inai giling ini dipergunakan untuk menginai kuku dan ujung jari kaki dan tangan, serta telapak tangan. Berikut adalah gambar gilingan inai.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 5.6: Inai yang akan digiling (Koleksi Lela Erwany, 2015)



2. Stiker Stiker adalah gambar motif berinai yang dipergunakan untuk melukis tangan bagian belakang dan kaki bagian depan. Pemilihan motif tergantung kepada selera calon pengantin. Ada yang mengukirnya sampai kebagian lengan, sehingga berbentuk sarung tangan. Pada umumnya motif stiker ini berbentuk bunga. Semakin terampil seseorang dalam menggunakan stiker ini, maka dia akan memilih motif yang kecil-kecil dan rumit. Tetapi bagi yang belum terampil, biasanya mereka memilih motif yang besar agar mudah dalam pelaksanaannya. Stiker ini dapat ditemukan di tempat penjualan kosmetik.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 5.7: stiker untuk berinai (Koleksi Lela Erwany, 2015)



3. Inai Mekah yang berbentuk odol Inai mekah yang berbentuk odol dipergunakan untuk mengulir bagian tangan yang sudah dipasang stiker. Berdasarkan patron yang sudah ditentukan dari stiker tadi, maka pengerjaan berinai sudah bisa dilakukan. Inai ini biasanya warnanya tidak tahan lama, paling lama satu minggu sudah hilang. Inai ini digunakan untuk mengukir tangan Liza dan kaki Liza sampai ke pergelangan.



Gambar 5.8: inai yang berbentuk odol (Koleksi Lela Erwany, 2015)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. Properti Group Barzanzi, Marhaban, Kasidah dan Sinandong Seni barzanzi dan marhaban amat populer digunakan dalam upacaraupacara keagamaan Islam dan kebudayaan Melayu. Majelis barzanzi dan marhaban diselenggarakan di majelis-majelis



gembira. Misalnya untuk



mengabsahkan upacara perkawinan, sunatan, MTQ, maulid Nabi, melepas dan menyambut haji, dan sebagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, penyajian barzanzi selalu digandengkan dengan marhaban. Keduanya memang genre seni yang selalu berpasangan. Menurut pengamatan peneliti, baik barzanzi maupun marhaban masih dilagukan dalam bahasa Arab. Sedangkan menurut Takari, dkk. (2015: 278) di Semenanjung Malaysia, barzanzi dan marhaban sekarang sudah lazim diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Barzanzi berisi tentang sejarah kehidupan nabi Muhammad SAAW yang dimulai dari sejak kelahiran, perkawinan, proses pengangkatannya menjadi nabi, masa kenabiannya, hijrah ke Madinah, hingga Beliau wafat. Sedangkan marhaban berisi tentang penyambutan kaum Anshor terhadap kaum Muhajirin, ketika Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Di sini diceritakan tentang kesediaan dan kegembiraan kaum Anshor yaitu penduduk Madinah menerimah kehadiran kaum Muhajirin yang datang dari Mekkah al-Mukarramah. Kasidah adalah salah satu jenis kesenian Islam yang terdapat di alam Melayu. Kesenian ini diadopsi dari kesenian Arab. Kasidah yang ada di Tanjungbalai masih menggunakan bahasa Arab, tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kasidah berupa nyanyian-nyanyian dalam bahasa Arab yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berisikan tentang keesaan Tuhan dan dinyanyikan dengan menggunakan irama tertentu seperti sikka, bayati, dll. Sinandong adalah nyanyian yang isinya menceritakan tentang perihal kehidupan masyarakat. Di dalam pengucapannya memakai pantun dan mantra disertai kata-kata interjeksi dan suku kata tanpa arti (non-meaning syllables). Sianadog diadopsi dari Arab yang berbentuk syair. Sinandong menggunakan bahasa Indonesia dan dalam pengucapannya menggunakan pantun, syair, dan mantra. Sinandong biasanya dipertunjukkan pada malam hari. pelaksanaannya serangkaian dengan barzanzi, marhaban, dan kasidah yang diselenggarakan di majelis-majelis gembira seperti



pesta kerang, khitanan (malam hari, sehari



sebelum pesta khitanan), dan malam berinai. Pada upacara malam berinai Pida dan , pertunjukan sinandong dirangkaian dengan barzanzi dan marhaban, tanpa kasidah. Pertunjukan sinandong diiringi dengan alat musik seperti biola, gong, gendang, dan keyboard. Sedangkan dalam acara malam berinai Liza dan Rahmad, pertunjukan sinandong diiringi dengan barzanzi, marhaban, dan kasidah. Sinandong hanya diiringi dengan alat musik keyboard. Ini adalah bentuk penyederhanaan dalam penyelenggaraan malam berinai.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Gambar 5.9: Group Aljamiatul Kasidah Tanjungbalai (Koleksi Lela Erwany, 2015)



Properti yang digunakan oleh grop kesenian ini dari kedua acara malam berinai tersebut adalah seranggkaian alat musik dan makanan. Sedangkan pakaian yang digunakan oleh group kesenian tersebut adalah baju teluk belanga untuk pria sedangkan wanita menggunakan kebaya panjang dan jilbab dengan warna-warna yang menyolok. 1.



Alat Musik Alat musik yang dipergunakan dalam seni pertunjukan ini adalah biola,



gendang satu muka, gong, arkodion, dan keyboard. Penggunaan alat musik tersebut akan dijelaskan satu per satu dan dapat dilihat pada bagan berikut,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Perlengkapan Alat Musik Pertunjukan Sinandong



Biola



Gendang Satu Muka



Gong



Arkodion



Keyboard



Bagan 5.2 Perlengkapan Alat Musik Pertunjukan Sinandong A.



Biola Biola adalah sebuah alat musik dawai yang dimainkannya dengan cara



digesek. Biola memiliki empat senar (G-D-A-E) yang disetel berbeda satu sama lain dengan interval yang sempurna kelima – limanya. Nada yang paling rendah adalah G. Selain suaranya yang indah biola juga memilki bentuk yang unik. Alat musik gesek berdawai dua bangsa Turki dan Mongolia dawainya dari surai kuda, dimainkan dengan busur surai kuda, dan memiliki ukiran kepala kuda di bagian kepalanya. Biola, viola, dan cello yang busurnya masih dibuat dari surai kuda, adalah peninggalan bangsa nomaden tersebut. Dipercayai bahwa alat musik mula-mula tersebut dibawa ke Asia Timur, India, Bizantium dan Timur Tengah. Di tempat-tempat tersebut mereka menyesuaikan dengan lingkungannya dan berkembang menjadi alat musik erhu, esra, harpa tangan Bizantium, dan rebab. Biola dalam bentuk modern bermula dari Italia Utara pada awal abad ke-16, terutama di kota pelabuhan Venice dan Genoa yang berhubungan langsung ke Asia Tengah lewat jalur sutera. Biola Eropa



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



modern dipengaruhi oleh berbagai alat musik, terutama dari Timur Tengah dan Bizantium. Terjadi perubahan yang cukup besar pada pembuatan biola pada abad ke18, terutama dalam hal panjang dan sudut leher biola. Mayoritas alat musik yang lama telah diperbarui sesuai standar yang baru-baru ini, dan maka dari itu jelas berbeda dari keadaan alat musik tersebut ketika diselesaikan oleh seniman pembuat biola, termasuk perbedaan dalam hal suara dan respons. Namun alat-alat musik ini dengan kondisi mereka pada saat ini menjadi standar kesempurnaan pada seni pembuatan biola dan suara biola, dan pembuat biola di seluruh dunia berusaha untuk mendekati ideal tersebut sedapat mungkin menyerupai biola yang asli. Hingga hari ini, alat musik dari ―Jaman Keemasan‖ pembuatan biola, terutama yang dibuat oleh Stradivari dan Guarneri del Gesù, adalah alat-alat musik yang paling diburu oleh kolektor dan pemain biola professional. B. Gendang Gendang adalah jenis alat musik pukul dalam kelompok genderang yang paling dikenal di muka bumi. Alat musik ini dibuat dari kulit binatang yang diregangkan pada mulut tabung kayu dengan berbagai variasi bentuk dan ukuran. Setiap bangsa sejak Afrika sampai Asia Timur dan benua Amerika, dapat dikatakan memiliki gendang dengan bentuk, bunyi, kegunaan, dan nama tersendiri. Gendang dipakai juga sebagai ritual tertentu atau untuk membangkitkan kegembiraan. Di nusantara gendang sudah dikenal sejak abad ke sembilan sebagai alat musik pokok untuk acara persilatan, rentak tari menari, dan penyambutan raja



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



atau tamu terhormat yang pada pokoknya untuk memeriahkan suasana perayaan. Dalam peri kehidupan Melayu, gendang dikaitkan pula dengan keinginan dan kesenangan yang dicerminkan dalam pepatah atau perumpamaan. Gendang yang digunakan dalam gruop ini adalah gendang bermuka satu. C. Gong Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Tenggara dan Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini. Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis. Di Korea Selatan disebut juga Kkwaenggwari. Tetapi kkwaenggwari yang terbuat dari logam berwarna kuningan ini dimainkan dengan cara ditopang oleh kelima jari dan dimainkan dengan cara dipukul sebuah stik pendek. Cara memegang kkwaenggwari menggunakan lima jari ini ternyata memiliki kegunaan khusus, karena satu jari (telunjuk) bisa digunakan untuk meredam getaran gong dan mengurangi volume suara denting yang dihasilkan. D. Akordion Akordeon merupakan alat musik sejenis organ. Alat musik ini relatif kecil, dan dimainkan dengan cara digantungkan di leher. Pemusik memainkan tomboltombol akord dengan jari-jari tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memainkan melodi lagu yang dibawakan.Alat musik ini biasa dimainkan dengan cara dipompa. Alat musik ini termasuk sulit untuk dimainkan. Tidak banyak yang dapat memainkannya. Pada saat dimainkan, akordeon didorong dan ditarik untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menggerakkan udara di dalamnya. Pergerakan udara ini disalurkan ke lidah akordeon sehingga menimbulkan bunyi. Menurut sejarah dunia, akordeon yang asli ternyata diciptakan pada tahun 1822 oleh seorang seniman berasal dari Berlin, Jerman, bernama Christian Fried. Lalu oleh Cyrill Demian pada tahun 1829 Akordeon tersebut baru dipatenkan. Lalu semakin lama semakin terkenal dan mulai dikenal di Inggris di tahun 1831.Pada awalnya akordian memang sudah memiliki tuts piano namun masih sangat sederhana dan tradisional. Lalu, lama kelamaan setelah ditemukan pengembangan piano yang lebih modern akhirnya akordeon saat ini memiliki tuts yang sama dengan tuts piano pada umumnya. Selain itu juga akordeon saat ini memiliki ketahanan dan kualitas suara yang lebih baik. Akordeon ini memiliki tiga komponen universal, yaitu tubuh, palet, dan bellow dan banyak bagian lain yang variabel. Tubuh terdiri dari dua kotak kayu bersama oleh bellow. Dalam ini adalah ruang buluh yang menghasilkan suara. Komponen yang ada dalam sebuah akordeon adalah bagian kotak kayu, bellow, dan palet. Di dalam kotak kayu itu ada sebuah rongga tempat dimana suara akordeon dihasilkan. Sedangkan palet yang berbentuk seperti katup yang mengontrol keluar masuknya udara ke dalam akordeon tersebut. Sedangkan bellow adalah komponen yang dominan yang menciptakan kevakuman dan tekanan



udara



yang



digetarkan



sehingga



menghasilkan



suara



(http://alampedia.blogspot.co.id/2014/11/akordeon-alat-musik-tradisional-).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



E. Keyboard Alat musik keyboard sudah dikenal sejak zaman kuno. Namun awal tepatnya belum jelas. Dalam tangga nada barat disebut dengan diatonis, dan terbagi dalam 12 nada. Adanya nada penuh dan ada juga nada semi-tone. Pada alat musik keyboard, kedua kelompok ini biasa dibedakan dengan kunci berwarna terang dan gelap. Dalam sejarah alat musik keyboard, susunan deret kunci yang kromatik yang mencakup 12 nada muncul di Eropa pada abad ke 14. Pada awalnya, tutsnya masih dalam ukuran yang lebar. Satu tuts mempunyai lebar beberapa sentimeter, sehingga nada harmoni yang dihasilkan tidak banyak. Dalam sejarah alat musik keyboard di abad ke 16 baru muncul pembakuan tuts, ini berarti nada diatonik dapat dicakup dalam lebar satu tangan, sehingga musik harmonik pun dapat dihasilkan. Pada perkembangan ini pun kunci putih dan hitam sudah diciptakan. Keyboard elektronik muncul di abad ke 20, dimana pertama kali dipasarkan oleh Laurens Hammond di Amerika Serikat di tahun 1935. Dan sejak saat itu mulai berkembang menjadi alat musik yang sekarang menjadi rajanya alat musik. Ini karena suatu orkes simfoni dari pulhan alat musik dapat dihasilkan oleh satu buah keyboard saja. Pada tahun 1962 seorang insinyur yang berasal dari Italia bernama Paolo Ketoff mengeluarkan alat musik yang disebut dengan Synket. Alat ini menghasilkan musik eksperimental yang bagi pendengar awam tidak begitu musikal. Dua tahun kemudian di Amerika dalam sejarah alat musik keyboard, muncul alat musik yang diciptakan oleh Donald Buchla dan satunya lagi oleh



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Robert Moog. Alat musik milik Donald Buchla tidak menggunakan keyboard sebagai perangkat untuk memainkannya, namun dengan permukaan yang sensitif terhadap sentuhan. Sedangkan alat musik Robert Moog menggunakan keyboard sebagai perangkatnya, di sisinya dipasang alat pengontrol yang konvensional seperti tombol putar yang berfungsi sebagai volume dan juga untuk mengatur tinggi rendahnya nada yang dihasilkan. Dalam sejarah alat musik keyboard, alat musik ciptaan Robert Moog tersebut lebih memudahkan penggunaannya untuk mengalunkan musik tradisional dalam tatanan suara yang baru. Karya-karya dari J.S Bach dapat dimainkan oleh alat musik ciptaan Robert Moog yang dinamakan dengan Mini Moog. Saat itu, alat musik tersebut belum bisa memainkan nada harmonik, dan hanya satu nada yang dapat dimainkan. Dan alat musik ini pun menjadi populer sebagai pmbawa melodi dalam musik pop. Musik rock merupakan yang pertama dalam mengadopsi alat ini ke dalam genre progressive rock pada band-band sepertti Yes, Genesis dan lain-lain. Dalam sejarah alat musik keyboard, baru di tahun 1980 synthesizers dapat mengeluarkan suara harmonik. Yang pertama kali terkenal adalah Yamaha DX-7 yang keluar di tahun 1983. Peralatan ini merupakan pengembangan dari zaman Robert Moog dengan Frequency Modulation Synthesis yang dirancang oleh John Chowning dari California. Dalam sejarah alat musik keyboard Fm menghasilkan variasi timbre dengan cara mengubah frekuensi . Yamaha DX-7 memiliki keyboard 5 oktaf. Sejarah alat musik keyboard berlanjut, di tahun berikutnya Casio mengeluarkan CZ-101 yang menggunakan tenaga baterai, memiliki empat suara dan mengikuti kemampuan synthesizers analog. Dalam sejarah alat musik



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



keyboard juga berkembang Musical Instrument Digital Interface atau MIDI yang merupakan penggabungan peralatan musik agar bisa bekerja dalam suatau perangkat komputer. Alat musik keyboard yang memiliki kelengkapan teknologi suara digital memang semakin dicari banyak orang, apalagi alat musik ini memang dapat mewakili berbagai suara dari alat musik lainnya. Alat musik Keyboard mendapatkan suaranya dari manipulasi kunci-kunci. Ada yang ditekan (menggunakan jari tangan), dan ada juga yang dipijak (menggunakan kaki). Susunan Keyboard arahnya mengikuti logika, dari kiri nada-nada rendah, ke kanan nada-nada tinggi. Susunan kiri-kanan bass ke treble juga berlaku demikian.



2. Makanan Yang dihidangkan untuk para pemain adalah makanan ringan seperti roti, sprite, telur ayam kampung yang mentah, jeruk manis, bandrek, dan aqua. Sebelumnya para personil group kesenian sudah makan nasi terlebih dahulu. Jika mereka mau makan lagi, hidangan masih tersedia di meja hidang yang juga diperuntukkan bagi penonton. Hidangan nasi ala pransmanan disediakan sampai acara malam berinai ini selesai. Jadi makanan ringan ini fungsinya untuk menjaga agar suara penyair tidak serak. Sprite dipercaya oleh mereka untuk menjaga tubuh agar tidak masuk angin. Jika kuning telur ayam kampung yang masih mentah dicampur dengan sprite dipercaya dapat menambah kebugaran tubuh dan tubuh tidak mudah masuk angin. Jeruk manis dan bandrek dipercaya dapat mempertahankan pita suara agar



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tidak serak. Sedangkan roti dan aqua hanya sebagai pelengkap dan fungsinya hanya sebagai cemilan saja.



Gambar 5.10: Makanan Ringan untuk Group Kasidah (Koleksi Lela Erwany, 2015)



Secara keseluruhan performasi tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai dapat dilihat pada tabel berikut ini No



Prosesi malam berinai



Analisis Teks, Konteks, dan Koteks



tahap persiapan Tahap pelaksanaan



Teks Struktur



supernatural



makro 1.



Mengundang



Barzanzi



tamu



Konteks Struktur



Budaya



Koteks Sosial



situasi



Menyiapkan makanan



Marhaban



paralinguistk



kinetik



Unsur material



mikro



Tema



Awal:



Semioti



meyemb



Tema



k



ut



Adat



pelaku: calon Waktu:



Percam



Bunyi



Geraka



Ramuan tepung



perkawina



pengantin,



sekitar



puran



sebagai



n



tawar: ramuan



kelauatan,



n Melayu



orang



pukul



ideologi



penanda



tepung



penabur



penganti



Tengah:



Tanjungba



pengetua



22.00



Islam



sinandong



tawar



ramuan rinjisan



n baru



menyambut



lai



tua,



adat,



WIB



dan



pengantin



tetangga,



sampai



Hindu



Penutup:



sahabat, dan



pukul



gubang



group



1.00



senandung 2.



ideologi



Pengelolah:



oi



dan



WIB Tempat:



Tari gubang: baju



orang yang di rumah



melayu dan dua



mempunya



piring inai yang



penganti



i finansial n yang memadai dan



sudah digiling



permpua n di atas



cinta pelamin



budaya



an



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Melayu 3.



Perlengkapan



Duduk



berinai



pelaminan



di



Komunitas



Suasa



Berinai:



pendukung



na:



yang



:



suka



ditarikan,



masyarakat



cita



inai sudah



stiker,



inai



Melayu



Mekah



yang



Tanjungbal



berbentuk odol



ai 4.



Perlengkapan



Tari gubang



Tepung tawar



Penikmat:



Group



sanak



Sinandong:



saudara



biola, gendang



kaum



satu



pengantin



gong, arkodion,



perempuan



keyboard,



dan.



mkanan ringan:



Sahabat



roti,



sprite,



pengantin



telur



ayam



perempuan



kampung mentah,



muka,



jeruk



manis, bandrek, dan aqua. 5.



Mengundang



Tepung tawar



gruop senandung dan group tari



6.



Doa



7.



Tari-tarian



8.



Berinai



di



dalam rumah 9.



Kasidah



10.



Sedangdon g



Tabel 5.1 Performansi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB VI KEARIFAN LOKAL DALAM TRADISI MALAM BERINAI



Sebelum sampai kepada kearifan, akan dibahas terlebih dahulu mengenai lapisan makna tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, yaitu makna dan fungsi, nilai dan norma, serta kearifan lokal. Kearifan lokal malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai dapat dilhat pada tabel berikut, No. 1.



Lapisan Pemaknaan Makna dan Fungsi



Unsur Makna: mempersiapkan calon pengantin dalam menuju hidup berumah tangga. Magis Fungsi



Kesehatan Doa atau Harapan



2.



Nilai dan Norma



Estetik Nilai



Kesabaran Kesopanan



Norma 3.



Kearifan Lokal



Agama



Kesantunan Kesetiakawanan Sosial Rasa Syukur Gotong-royong Penjagaan Lingkungan



Tabel 6.1 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



6.1 Makna dan Fungsi Tradisi Malam Berinai 6.1.1 Makna Berinai Kata ―henna‖ berasal dari bahasa latin untuk tanaman Lawsonia Inermis yang diucapkan oleh orang Arab sebagai Hinna, di Indonesia dikenal dengan inai. Asal tepat dari inai sulit dikatakan karena seni ini telah berusia hampir 5000 tahun. Beberapa sejarahwan mengatakan bahwa bangsa Mogul yang membawa inai ke India tetapi sejarahwan lain mengatakan bahwa asal mula inai adalah India, sedang yang lain mengatakan bahwa asal mula inai adalah Timur Tengah atau Afrika Utara. Hal ini telah peneliti jelaskan pada bagian pendahuluan. Tumbuhan inai bisa mencapai ketinggian 4 sampai 6 kaki dan dapat ditemukan di negara-negara seperti Pakistan, India, Afganistan, Mesir, Suriah, Yaman, Uganda, Maroko, Senegal, Tanzania, Kenya, Iran dan Palestina. Inai tumbuh cukup baik di iklim panas. Inai adalah nama tumbuhan tertua yang digunakan sebagai kosmetik. Sangat aman digunakan. Jarang sekali menimbulkan masalah. Jika ragu karena mempunyai kulit sensitif, ada baiknya konsultasi dengan dokter dan mencobanya dalam kuantitas kecil. Contohnya dengan mengoleskan sedikit saja inai pada belakang leher atau dibawah lengan, karena kulit di daerah tersebut tergolong area yang paling sensitif. Inai alami biasanya aman karena tidak mengandung pewarna sintetis kimia atau bahan tambahan yang berbahaya lainnya. Inai bisa di pakai pada bagian tubuh dengan membuat pola dan desain yang indah. Inai juga dikenal khasiatnya untuk penyembuhan dan terapi. Sejak jaman dahulu, inai dipakai untuk menyehatkan rambut agar makin mengkilap,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berfungsi sebagai kondisioner rambut dan baik untuk kulit kepala. Di India, inai merupakan salah satu cara mempercantik diri selain memakai make up atau perhiasan. Bisa dipakai sehari-hari, atau memegang peran penting dalam acara khusus seperti pernikahan. Dua atau tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan, mempelai perempuan akan menghadiri pesta mehndi atau berinai yang diselenggarakan bersama keluarga dan teman. Tangan mempelai perempuan akan dihias inai dari ujung jari sampai siku, dan di kaki dari ujung kaki sampai lutut. Nama mempelai laki-laki akan dituliskan secara tersembunyi di sela-sela inai yang dipasang dan akan dijadikan permainan kuis pencarian nama calonnya. Pada saat sebelum pernikahan dimulai diadakan permainan di mana mempelai laki-laki harus menemukan lebih dahulu di mana tulisan namanya disembunyikan. Kadang-kadang mempelai laki-laki pun dihiasi dengan inai juga. Dalam sejarah pemakaian inai digunakan untuk menangkal kejahatan dan membawa nasib baik bagi pemakainya. Karenanya inai biasa dipakai sebelum melahirkan (sewaktu hamil) dan sebelum pernikahan (calon pengantin). Sebagian besar prosesi pernikahan tradisional di beberapa daerah yang ada di Indonesia memasukan ritual pemakaian daun pacar sebagai salah satu ritual pernikahan Melayu. Masing-masing daerah memiliki arti dan makna tersendiri untuk ritual tersebut, meski di masa sekarang ritual ini dianggap oleh sebagian kalangan masyarakat Indonesia sebagai pelengkap prosesi pernikahan suatu adat semata. Selain di India dan Pakistan, inai juga masih sering digunakan kaum perempuan di Afrika, Asia, bahkan Amerika. Di beberapa negara, inai dikenakan di hari pernikahan, baik itu untuk menghiasi kuku, lengan dan kaki para calon



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pengantin wanita. Selain untuk mempercantik penampilan, penggunaan inai juga diyakini dapat melindungi pemakainya dari berbagai gangguan. Seperti upacara Henna belly, melukis perut yang sedang hamil dengan daun pacar bukan lagi hal tabu. Selain melestarikan tradisi, mempercantik perut sudah menjadi bagian dari gaya hidup. Di Indonesia, henna lebih dikenal dengan inai atau paci atau pacar yaitu bahan pewarna alami dari daun tanaman pacar. Di beberapa tradisi dan adat budaya daerah di Indonesia, pemakaian henna atau inai adalah bagian dari ritual sebelum prosesi pernikahan. Seperti di Aceh dengan bahgoca, Padang dan Betawi melalui malam bainai. Di masyarakat Melayu dikenal dengan istilah malam berinai. Menjelang pernikahan biasanya diadakan malam inai atau wenni mappaci (Bugis) dan akkorontigi (Makasar). Upacara ini merupakan ritual pemakaian inai ke tangan si calon mempelai. Maknanya adalah untuk mempersiapkan calon pengantin untuk memasuki babak kehidupan baru. Meninggalkan hidup menyendiri menuju kepada kehidupan berumah tangga. Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, pada malam berinai ini, calon pengantin wanita dihias sedemikian rupa, dipakaikan baju yang indah dan dihias seperti pengantin. Lalu didudukkan di pelaminan dan ditepungtawari. Maknanya agar calon pengantin perempuan pada keesokan harinya tidak terkejut lagi bila duduk di pelaminan. Malam ini bisa juga dikatakan sebagai gladi resik untuk pelaksanaan perkawinan pada esok hari. Selain itu, malam ini adalah malam terakhir calon pengantin perempuan berada di rumah tersebut, karena setelah pernikahan pada kesesokan harinya, calon pengantin perempuan bukan lagi milik



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



keluarganya melainkan sudah menjadi milik suaminya. Setelah diselenggarakan pernikahan, pengantin perempuan akan dibawa ke rumah pengantin laki-laki. Adapun makna malam berinai bagi calon pengantin laki-laki adalah sebagai persiapan untuk pelaksanaan perkawinan. Calon pengantin laki-laki harus mempersiapkan dirinya untuk melepas masa lajangnya. Pada malam ini, calon pengantin laki-laki berkumpul dengan teman-teman dan sanak keluarganya. Pada malam ini, calon pengantin laki-laki bersenda gurau dengan teman-temannya, karena esok hari calon pengantin laki-laki memasuki babak baru dalam kehidupannya. Dia harus belajar bertanggung jawab, karena dia sudah menikah dan sudah berkeluarga (memiliki keluarga sendiri). Inai yang dipakai oleh calon pengantin laki-laki adalah inai yang dikirimkan oleh calon pengantin perempuan. Maknanya adalah untuk melihat kesungguhan hati dari kedua calon pengantin. Calon pengantin perempuan sudah mempersiapkan diri untuk melayani calon suaminya dengan mengirimkan inai tersebut. Calon pengantin laki-laki juga sudah siap menerima pelayanan dari calon istrinya. Di samping itu, maksud dari pengiriman inai ini adalah untuk melihat apakah colon pengantin laki-lakinya siap untuk melaksanakan pernikahan pada keesokan harinya. Karena dikhawatirkan, jangan-jangan pengantin laki-lakinya sudah pergi atau melarikan diri (hasil wawancara dengan Pak Zainul, tanggal 24 Mei 2015) 6.1.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai Adapun fungsi perhelatan tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah untuk : magis, kesehatan, dan doa atau harapan. Magis yaitu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menjauhkan diri dari gangguan mistik atau roh-roh jahat. Kesehatan adalah membersihkan diri dari hal-hal yang kotor. Doa atau harapan adalah menjaga diri dari segala hal yang tidak baik. Fungsi ini dapat dilihat pada bagan berikut



Fungsi Tradisi Malam berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



Magis



Kesehatan



Doa atau Harapan



Bagan 6.2 Fungsi Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



6.1.2.1 Magis Malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai memiliki fungsi magis yaitu menjauhkan diri dari gangguan mistik dan roh-roh jahat. Dalam ungkapan adat disebutkan : Malam berinnai disebut orang membuang sial muka belakang memagar diri dari jembalang supaya hajat tidak terhalang supaya niat tidak tergalang supaya sejuk mata memandang muka bagai bulan mengambang serinya naik tuah pun datang Mistik ada sejak manusia Melayu Tanjungbalai ada di bumi ini. Mistik merupakan jawaban terhadap segala fenomena alam jauh sebelum peradaban



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Islam masuk ke Melayu. Pada masa itu masyarakat MelayuTanjungbalai masih berkehidupan serba subjektif, abstrak, dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya. Di antara masyarakat Melayu tanjungbalai masih ada yang berusaha merasionalkan paham mistik yang dianutnya dan ada pula yang tegas-tegas lepas sama sekali dari tuntutan kemajuan jaman ini (hasil wawancara dengan pak Jefri, 25 Mei 2015). Paham mistik atau mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal, ajarannya berbentuk rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman) sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama sekali penganutnya. Selain serba mistis, ajarannya juga serba subyektif, tidak objektif. Tidak ada pedoman dasar yang universal dan yang otentik. Bersumber dari masyarakat dan pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu berbeda satu sama lain. Sehingga pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan dalam arti yang semestinya. Salah satu bagian dari kegiatan Mistik berkaitan dengan keadaan alam. Sebab alam dengan berbagai fenomena dapat memberikan hikmah untuk kelangsungan hidup manusia. Unsur-unsur alam seperti malam, siang, bulan, matahari, pohon, laut dan lain-lain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia dan alam berada dalam kesatuan yang harmoni dan saling melengkapi. Manusia harus dapat menjaga perlakuan dan tata susila kepada makhluk Allah SWT yang lain. Manfaat alam untuk manusia adalah menjadikan manusia lebih beriman dan bertanggung jawab akan alam. Karena yang menciptakan alam dan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



manusia adalah Allah SWT dan manusia menggunakan alam untuk memudahkan sebuah kehidupan. Masyarakat Melayu Tanjungbalai walaupun telah beratus tahun memeluk agama Islam dan menjalankan syariat Islam, namun masih juga ada penyimpangan kepercayaan dengan memberi tambahan perwujudan syariat, yaitu mempelajari serta mengamalkan mistik. Secara gamblang mistik merupakan suatu bentuk karya sastra yang berkaitan erat dengan kepercayaan atau religiositas karena mistik membutuhkan kepercayaan. Untuk mengangkat citra manusia dengan alam yang terdapat dalam mistik masyarakat Melayu Tanjungbalai, terlebih dahulu harus dicari barometer atau pendapat tentang kepercayaan atau konsep religiositas dari masyarakat Melayu itu sendiri. Untuk menjelaskan konsep religiositas masyarakat Melayu tersebut, akan dipaparkan beberapa pendapat agar jelas kita gambarkan tentang kepercayaan masyarakat Melayu tersebut. Daud (1994 : 74-75) mengatakan, ―…kepercayaan mereka daripada Animisme, Hindu-Budha hingga Islam melahirkan corak pemikiran-pemikiran yang seolah-olah menggabungkan tiga unsur kepercayaan tersebut‖. Kuasa gaib pada peringkat Animisme dapat dilihat pada kepercayaan tentang penunggu dan hantu. Hindu-Budha menampilkan para Dewa, dan Islam melahirkan kepercayaan terhadap Allah, Malaikat dan Rasul. Namun begitu tidaklah berarti masyarakat Melayu mengamalkan ketiga corak kepercayaan tersebut. Mereka tetap berpegang pada ajaran agama Islam. Pengaruh Animisme dan Hindu-Budha yang ada itu hanya menjadi unsur sampingan yang mewarnai kepercayaan mereka.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sejalan dengan hal tersebut, Abbas (dalam Safrin, dkk., 1996 : 26) menjelaskan, cara hidup orang Melayu masih dipengaruhi oleh tiga unsur kepercayaan, yaitu kepercayaan Animisme, Hinduisme-Budhaisme, dan Islam. Serta sedikit-sedikit pengaruh Barat. Setelah menerima agama Islam, orang Melayu masih juga mengamalkan cara hidup tradisional mereka dengan unsurunsur Animisme dan Hinduisme-Budhaisme. Dalam teks mistik ini pengaruh Hindu-Budha tidaklah begitu tampak. Tapi dalam upaya dan upacara turun tanah (pengambilan ilmu) banyak sekali dijumpai warna kepercayaan Hindu-Budha, seperti : tepung tawar, sesajen untuk jamuan, sperti ayam, pulut kuning, air jeruk purut, dan penebus mistik atau mahar mistik. seperti pisau, jarum, kain putih, mangkuk, benang tiga warna, dan lain-lain. Sedangkan pada teks mistik pengungkapan yang masih menggambarkan suasana zaman Hindu-Budha. Seperti kalimat ‗mambang yang menjaga tujuh penjuru alam‘. Kata mambang dalam kalimat tersebut bukanlah berupa hantu atau jembalang melainkan gambaran wujud penguasa yang memiliki kekuasaan menjaga tujuh penjuru alam. Taylor (dalam Hamid, 1991 : 29) mengatakan, ―kepercayaan yang mulamula tumbuh dalam alam pikiran manusia primitif, adalah kepercayaan Animisme‖. Hamid (1988 : 56) menjelaskan, Islam mulai tersebar di alam Melayu sejak abad ketiga belas Masehi. Agama Islam bertapak di Pasai, kira-kira sekitar tahun 1297 Masehi dan di Trengganu pada tahun 1303 Masehi. Kedatangan Islam ke daerah ini telah membawa perubahan yang dinamik dalam kehidupan orang Melayu. Sama ada dari segi luaran dan dalaman seperti yang ditegaskan oleh S.M



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Naguib al-Attas, bahwa agama Islam telah merubah jiwa dan fizikal masyarakat Melayu Indonesia. Selanjutnya Taib (dalam Ismail, 1988 : 56) menegaskan, Kedatangan Islam ke Nusantara telah membawa perubahan sehingga menjadikannya sebagian dari pada dunia Islam. Perubahan yang dimaksudkan itu meliputi semua aspek kehidupan orang Melayu. Seperti dalam bidang-bidang bahasa, sastra, intelektual, undang-undang, kepercayaan, politik, adat istiadat, kesenian, dan lain-lain. Selanjutnya Hamid (1988 : 56) lebih memperjelaskan lagi secara spesifik tentang kepercayaan orang Melayu. Beliau mengemukakan bahwa Islam mengubah pandangan dunia orang Melayu dari pada mempercayai dewa-dewa. Seperti yang mereka anut pada zaman Hindu kepada kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Disamping itu mereka mempercayai Nabi dan Rasul, Malaikat, kitab-kitab suci, seperti Injil, Taurat, Zabur, dan Al-Qur‘an. Percaya kepada hari kiamat dan kepada Qadha dan Qadar. Keimanan mereka diikuti dengan amal ibadah, seperti yang tersebut dalam rukun Islam yang berbentuk. solat, puasa, zakat, dan rukun Haji. Walaupun kepercayaan lama tidak dapat dihapuskan sepenuhnya, namun kepercayaan Islam telah berhasil mempengaruhi bentukbentuk kepercayaan Melayu lama dengan memperkenalkan konsep Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Misalnya dalam sihir atau mistik dimasukkan konsep Islam sebagai menggantikan paham ketuhanan Animisme dan Hinduisme. Walaupun unsur dewa-dewa masih lagi diwarisi dalam sastra dan tradisi lisan Melayu. Namun fungsi mereka tidak lagi sebagai Tuhan, tetapi hanya sebagai makhluk-makhluk alam gaib seperti hantu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dan jembalang yang masih lagi mempengaruhi alam pemikiran orang Melayu hingga dewasa ini. Dari keterangan pendapat para pakar di atas, bahwa kepercayaan yang latar belakangnya agama pada orang Melayu dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu. Islam, Hindu-Budha dan Animisme. Dan perlu dipertegas pula bahwa Islam merupakan yang utama. Sedangkan Animisme dan Hindu-Budha merupakan sampiran atau pewarna saja. Manusia pada zaman Animisme jelas sekali memiliki nilai religiositas. Hal ini dapat dilihat dengan adanya semacam pengakuan dan kepercayaan akan alam gaib serta kekuatan gaib. Mereka mempercayai itu semua dan membuat semacam tradisi kepercayaan tersendiri dengan jalan mereka sendiri pula. Apakah itu berupa pemujaan akan roh yang sudah mati, pohon besar, gunung, laut, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah tradisi menghanyutkan lancang yang dilakukan untuk memuja laut agar mereka mendapatkan hasil laut yang melimpah (hasil wawancara dengan pak Jefri, 25 Mei 2015). Dalam upacara malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai dapat dilihat dari acara tepung tawar yang merupakan budaya Hindu yang masih dipertahankan oleh masyarakat Melayu Tanjungbalai. Begitu juga dengan berinai itu sendiri, agar dijauhkan dari gangguan jin dan makhluk halus. Dari semua itu, yang paling utama adalah meminta doa kepada Allah SWT, agar dalam pelaksanaan pesta nantinya dapat berjalan dengan baik, tanpa suatu halangan apapun (hasil wawancara dengan pak Zainul, 24 Mei 2015).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



6.1.2.2 Kesehatan Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penaggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan/atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Pendidikan kesehatan adalah proses membantu sesorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang memengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat. Kesehatan adalah sesuatu yang sangat berguna Bila kita sehat kita akan menikmati hidup lebih indah. Salah satu tujuan nasional adalah memajukan kesejahteraan bangssa, yang berarti memenuhi kebutuhan dasar manusia, yaitu pangan, sandang, pangan , pendidikan , kesehatan, lapangan kerja dan ketenteraman hidup. Dalam konteks berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai, kesehatan berhubungan dengan kesucian. Hal ini sejalan dengan ajaran agama Islam yang telah menjadi sendi kehidupan masyarakat Melayu Tanjungbalai. Islam adalah agama yang mencintai kesucian, baik kesucian fisik atau ruhani. Di antara wahyu yang pertamakali turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat, ‗Dan pakaianmu bersihkanlah‘. (Q.s. al-Mudatstsir/74: 4). Bahkan, lebih dari itu, Islam memerintahkan umatnya untuk berhias-diri. Di antara perintah Allah SWT tentang hal ini adalah, ‗Hai manusia, pakailah pakaianmu yang indah di setiap



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



(memasuki) masjid…‘ (Q.s. al-A‗raf/7: 31). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan pada suatu kali Rasulullah saw. bersabda, ‗Kesucian-diri adalah separuh iman‘. (Hadits Riwayat Muslim) Salah satu fungsi berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah menjaga kesehatan. Menginai jari kuku bukan hanya untuk mempercaktik diri, tetapi juga menjauhkan diri dari penyakit kuku pecah dan membuat kuku lebih sehat dan berkilat. Masyarakat Melayu Tanjungbalai percaya bahwa sumber penyakit berasal dari ujung-ujung jari. Oleh karena itu, kuku harus diberi inai. Dalam dunia kesehatan, telur cacing suka bersarang diujung kuku. Jadi, dengan member inai di ujung kuku berarti sudah membunuh kuman-kuman dan telur cacing karena inai mengandung behenik, arasidik, sterik, palmitik, asid oleik dan linoleik yang berfungsi untuk menjaga kesehatan. Dahulu, orang Melayu Tanjungbalai juga menggunakan daun inai dengan menyapunya pada kulit untuk mengubati penyakit kulit, bisul dan melepuh. Mereka juga menggunakan daun-daunnya untuk menyembuhkan sakit kepala dan rasa panas di kaki. Penyakit wanita seperti haid yang berlebihan dan keputihan dikatakan mampu dirawat dengan menggunakan daun inai. Jus daun inai segar juga dikatakan mampu merawat spermatorhoea atau ejakulasi dini. Namun, sekarang mereka jarang menggunakannya karena sudah ada obat praktis dari dokter yang tersedia (hasil wawancara dengan ibu Rodiah, 25 Mei 2015). Daun inai juga berkhasiat untuk kecantikan. Inai bukan saja digunakan untuk memerahkan jari dan rambut tetapi juga berguna untuk yang lainnya. Untuk mendapatkan wajah yang cantik berseri membuatkan orang tidak jemu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



memandang gunakanlah khasiat inai. Caranya, segenggam daun inai yang sudah tua direbus dengan tiga gelas air dan diminum dua kali sehari.



6.1.2.3 Doa atau Harapan Selain berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat dan kesehatan, malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai juga merupakan ungkapan doa dan harapan kepada calon pengantin. Dalam ritual berinai ini, diadakan acara tepung tawar yang bertujuan untuk menolak bala agar pelaksanaan upacara perkawinan berjalan dengan baik. Upacara malam berinai dilaksanakan pada malam hari, 3 hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan. Kegiatannya berbentuk macammacam namun tujuannya sama yaitu agar jalannya persiapan dan pelaksanaan upacara perkawinan calon pengantin tidak menemui masalah. Berinai bukan sekedar memerahkan kuku, namun mempersiapkan pengantin agar dapat menjalani pernikahan tanpa aral halangan. Setelah tepung tawar dan pelekatan inai secara simbolik oleh sanak keluarga selesai, lalu dilaksanakan pembacaan doa. Doa dipanjatkan kepada Allah SWT agar calon pengantin



diberikan umur yang panjang, cepat mendapat



keturunan, diberi rezeki yang melimpah, dan dijauhkan dari segala bencana (hasil wawancara dengan Pak Zainul, 24 Mei 2015). Doa adalah permohonan kepada Allah yang disertai kerendahan hati untuk mendapatkan suatu kebaikan dan kemaslahatan yang berada di sisi-Nya. Sedangkan sikap khusyu‘ dan tadharru‘ dalam menghadapkan diri kepada-Nya merupakan hakikat pernyataan seorang hamba yang sedang mengharapkan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tercapainya sesuatu yang dimohonkan. Doa dalam pengertian pendekatan diri kepada Allah dengan sepenuh hati, banyak juga dijelaskan dalam ayat-ayat AlQur‘an. Bahkan Al-Qur‘an banyak menyebutkan pula bahwa tadharu‘ (berdoa dengan sepenuh hati) hanya akan muncul bila di sertai keikhlasan. Hal tesebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang shalih. Dengan tadharu‘ dapat menambah kemantapan jiwa, sehingga doa kepada Allah akan senantiasa dipanjatkan, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, dalam penderitaan maupun dalam kebahagiaan, dalam kesulitan maupun dalam kelapangan. Dalam Al-Qur‘an Allah telah menegaskan : ―Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.‖ (QS. Al-Kahfi: 28). Al-Qur‘an juga memberikan penjelasan bahwa orang-orang yang taat melakukan ibadah senantiasa mengadakan pendekatan kepada Allah dengan memanjatkan doa yang disertai keikhlasan hati yang mendalam. Sebuah doa akan cepat dikabulkan apabila disertai keikhlasan hati dan berulangkali dipanjatkan. Hal ini banyak ditegaskan dalam ayat Al-Qur‘an, diantaranya : ―Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri (tadharu‘) dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut akan tidak diterima dan penuh harapan untuk dikabulkan. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.‖ (QS. Al-Ar‘af : 55-56). Walaupun secara kualitas doa disejajarkan dengan setengah ibadah wajib, tapi dari segi substansinya doa bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan inti dari setiap ibadah yang dilakukan kepada sang pencipta. Shalat yang kita lakukan terdiri dari kumpulan doa, mulai dari awal takbir sampai salam, begitupun ibadah yang lain. Makanya tidak salah kalau Rasullulah mengatakan bahwa doa adalah ruhnya ibadah. Tanpa doa ibadah tidak akan punya arti apa-apa. Secara mendasar doa bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan penghancuran nilai-nilai egoisme kemanusiaan yang selalu identik dengan kesombongan, keangkuhan dan merasa bahwa setiap keberhasilan adalah jerih payah sendiri tanpa menganggap adanya campur tangan Allah SWT sebagai Zat Pengatur. Keberhasilan selalu diidentikkan dengan kecerdasan kognitif semata, kesuksesan selalu dipahami sebagai jerih payah sendiri, disinilah celah tipuan setan untu menggiring kita menjadi manusia yang mengingkari nilai ketuhanan. Dengan berdoa manusia diajarkan tentang satu hal, bahwa sebagi makhluk Allah manusia memiliki sangat banyak kekurangan dan kelemahan, tanpa bantuan sang Khalik kita tidak akan bias memahami setiap kejadian di muka bumi ini. Manusia hanya sebutir kerikil di tengah samudera laupatan pasir, betapa kecil dan sangat dhaif. Maka tidak salah jika Allah memberikan cap sombong kepada manusia



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ketika dia tidak berdoa sedikitpun sehabis melaksanakan shalat dan dalam kegiatan sehari-hari. Harapan atau asa adalah bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan akan didapatkan atau suatu kejadian akan membuahkan kebaikan di waktu yang akan datang. Pada umumnya harapan berbentuk abstrak, tidak tampak, namun diyakini bahkan terkadang, dibatin dan dijadikan sugesti agar terwujud.



Namun ada kalanya harapan tertumpu pada seseorang atau



sesuatu. Pada praktiknya banyak orang mencoba menjadikan harapannya menjadi nyata dengan cara berdoa atau berusaha. Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tanpa harapan, berarti manusia itu mati dalam hidup. Orang yang akan meninggal sekalipun mempunyai harapan, biasanya berupa pesan-pesan kepada ahli warisnya.



6.2 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai Nilai adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar yang dicita-citakan oleh warga. Agar nilai dapat terlaksana maka dibentuklah norma yaitu ketentuan yang berisi perintah dan larangan yang dilengkapi dengan sanksi. Norma atau kaidah adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ketentuan tersebut mengikat bagi setiap manusia yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut, dalam arti setiap orang yang hidup dalam lingkungan berlakunya norma tersebut harus menaatinya. Di balik ketentuan tersebut ada nilai yang menjadi landasan bertingkah laku bagi manusia. Oleh karena itu, norma merupakan unsur luar dari suatu ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dalam masyarakat, sedangkan nilai merupakan unsur dalamnya atau unsur kejiwaan di balik ketentuan yang mengatur tingkah laku tersebut. Dalam tradisi



upacara malam



berinai



pada masyarakat



Melayu



Tanjungbalai ditemukan nilai estetis dan nilai kesabaran. Sedangkan norma pada malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai berupa norma kesopanan dan norma ekspresi ajaran agama Islam. Norma dan nilai tersebut dapat dilihat pada bagan berikut, Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



Nilai Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



Estetis



Kesabaran



Norma Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



Kesopanan



Ekspresi Ajaran Agama Islam



Bagan 6.3 Nilai dan Norma Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



6.2.1 Nilai Tradisi Malam Berinai 6.2.1.1 Nilai Estetis Estetis berkenaan pada satu apresiasi bentuk keindahan dan perasaan baru atau



kekaguman.



Misalnya



melihat



keindahan



tenggelamnya



matahari,



mendengarkan ritme rintik air hujan. Estetika umumnya dikaitkan dengan pengetahuan keindahan, sedang batasan singkat estetika adalah filsafat dan pengkajian ilmiah dari komponen estetika dan pengalaman manusia. Selanjutnya dikatakan pengalaman estetis menekankan pada melakukan hal-hal untuk sesuatu yang orisinil, artinya: keindahan akan menjadi sempurna jika keindahan itu diciptakan bukan ditiru atau dimanipulasi. Berinai dianggap merupakan produk budaya menjelang suatu pernikahan terutama di daerah Sumatra. Padahal budaya ini juga bisa ditemukan di suku lain baik di Indonesia maupun di beberapa negara Asia, seperti, Malaysia, Singapura, India, dan Pakistan. Bila beberapa tahun yang lalu terutama di Indonesia, berinai hanyalah sekadar memerahkan jari-jari tangan dan kaki, sedikit telapak tangan yang hanya dibuat lingkaran seperti matahari atau bunga matahari dan lingkaran yang mengelilingi kaki. Kini, ukiran inai sudah berkembang sedemikian rupa sehingga gambar yang ada benar-benar menyerupai body painting. Pengaruh ukiran inai gaya India dan Pakistan sangat terasa. Berinai sudah merupakan seni kreativitas tinggi. Tidak mudah melukis sebuah tangan dengan sentuhan yang sangat detail. Biasanya para pengukir inai sudah menyediakan beragam desain dan perkiraan berapa lama pembuatannya.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Hal ini untuk memudahkan calon pengantin mengatur waktunya kapan harus berinai. Dua sampai tiga jam adalah waktu normal yang dibutuhkan untuk mendapatkan ukiran inai yang bagus dan rapi. Termasuk waktu pengeringan. Bila mau membentuk ukiran inai yang tidak hanya menghias telapak tangan tapi juga sedikit di atas pergelangan tangan dengan ukiran rapat sekali, waktu yang dibutuhkan akan lebih lama lagi. Tidak jarang sang calon pengantin perempuan tertidur pulas selagi tangan dan kakinya diinai. Bentuk ukiran inai yang lazim dibuat adalah rangkaian bunga, bintang, bulatan-bulatan, garis-garis melengkung yang menyerupai untaian kalung batu manikam yang indah. Ada juga ukiran inai yang terinspirasi oleh gantungan lampu kristal atau rangkaian bunga yang cantik. Bentuk ini sangat dipengaruhi oleh selera dan keinginan dari pihak yang akan diinai. Saat ini sudah tersedia inai tempel seharga Rp15.000. Tetapi hasilnya kurang maksimal dan tidak cantik karena ada garis yang terputus-putus. Inai tempel ini tidak berbeda dengan tato anak-anak yang biasanya merupakan hadiah dari suatu produk makanan atau mainan. Kebanyakan wanita lebih suka berinai dengan diukir langsung oleh ahlinya.Untuk ukiran inai penuh sampai di atas pergelangan tangan, harganya Rp 200.000 – Rp 250.000. Kalau hanya sekitar telapak tangan dan sedikit daerah sekitar kaki, harganya Rp 150.000 hingga Rp 175.000. Cara meracik inai di Indonesia dan di negara luar berbeda. Di sana, inai bubuk dicampur dengan oil messo, kayuputih murni, dan campuran essential lainnya. Tradisional yang ada di daerah-daerah di Indonesia daun inai atau daun



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pacar yang baru dipetik ditumbuk halus sekali. Dicampur nasi putih dan dicampur pula dengan arang. Semua diuleni seperti membuat adonan kue. Cara mengukirnya pun ada perbedaan. Di India/Arab, terdapat pemandangan setiap hari wanita-wanita menginai kulitnya dengan berbagai motif ukiran yang cantik, baik untuk kesehatan maupun kecantikan. Di Indonesia, inai dipakaikan tidak bermotif cantik, dimulai dari kuku-kuku sampai telapak tangan/kaki, hanya pada calon pengantin, gunanya untuk mengusir roh-roh yang tidak baik yang akan mengganggu calon pengantin.



6.2.1.2 Nilai Kesabaran Kesabaran adalah kemampuan untuk mengontrol diri supaya tidak menampakkan gejala yang tidak baik pada saat marah, berupa perkataan atau perbuatan, beserta segala dampaknya berupa ucapan yang kasar atau tindakan yang tidak terpuji. Sedangkan dari segi istilahnya, sabar adalah menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, kemudian menahan lisan dari keluh kesah serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. Kesabaran modal utama dalam menghadapi semua masalah yang sedang menimpa. Tidak semua orang sanggup berlaku sabar dalam menghadapi masalah.sehingga meruntuhkan bangunan iman dalam dirinya. Dalam tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tajungbalai, ditemukan nilai kesabaran. Seorang yang diinai harus sabar menunggu inainya kering supaya mendapat efek warna yang bagus. Selama tiga malam berturut-turut calon pengantin wanita diinai. Jika dia tidak memiliki sifat sabar, maka dia tidak



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



akan dapat menyelesaikan tahapan berinai ini dengan baik. Kesabaran sangat dituntut dalam hal ini. Selama tiga malam, calon pengantin perempuan tidak boleh bergerak. Bahkan tidur juga tidak lelap. Dia harus tergeletak di atas tempat tidur dengan posisi terlentang. Jika ingin memiringkan badan, harus sangat hati-hati dan tidak boleh terlalu lama, karena kaki dan tangan harus tetap dijaga pada posisi aman, agar inainya tidak lekang dan mengenai alas tempat tidur. Seri kecantikan diperoleh melalui kesabaran. Pengantin harus berdiam diri sabar menanti, agar inai yang dipasang dijemari ditangan dan kaki menghasilkan warna yang terang cerah berseri. dan melambangkan kesucian. sebagai selain untuk memperindah calon pengantin wanita agar lebih tampak bercahaya menarik dan cerah. Malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai ini merupakan wahana untuk melatih kesabaran. Karena dalam mengarungi hidup berumah tangga, sang istri harus sabar menghadapi suaminya. Namun kesabaran adalah bukan semata-mata memiliki pengertian "nrimo", ketidak mampuan dan identik dengan ketertindasan. Sabar sesungguhnya memiliki dimensi yang lebih pada pengalahan hawa nafsu yang terdapat dalam jiwa insan. Dalam berumah tangga, sabar diimplementasikan dengan menerima pasangan apa adanya, mengetahui kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing. Saling mengisi satu sama lain.Kesabaran kunci utama dalam membina rumah tangga, agar tercipta keluarga yang harmonis. Berlaku dan bersikap sabar memang sangat sulit. Berusaha untuk bersabar lebih baik dari pada sama sekali tidak sabar. Bila ingin mengontrol alam emosi,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



baiknya berlatihlah untuk bersabar. Allah akan menyanyangi hambanya yang penuh kesabaran dan ketaatan. Milikilah kasih sayang Allah s.w.t yang sebaikbaiknya kasih sayang di dunia dan akhirat. Dalam al-Qur‘an banyak sekali ayat-ayat yang berbicara mengenai kesabaran. Jika ditelusuri secara keseluruhan, terdapat 103 kali disebut dalam alQur‘an, kata-kata yang menggunakan kata dasar sabar. Hal ini menunjukkan betapa kesabaran menjadi perhatian Allah SWT, yang Allah tekankan kepada hamba-hamba-Nya. Diantaranya, ْ ‫ْال َجا ُِلِييَ ِهيَ َّأَ ُم ْي إِلَ ْي ِِ َّي أَطْ ةُ َم ْي َدُ َُّي َعٌِّي تَظْ ِس‬ ‫اه‬ َ َ‫ف َّإِالَّ إِلَ ْي َِ يَ ْدعًٌَُِْي ِه َّوا إِلَ َّي أَ َحةُّ السِّجْ يُ َزبِّ ق‬ ―Yusuf berkata: ―Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.‖ (Yuusuf:33) َّ ‫تُ ْفلِحُْىَ لَ َعلَّ ُن ْن‬ ‫طاتِسُّا طْ ثِسُّاا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬ َ َّ ‫َّللاَ َّاتَّقُْا َّ َزاتِطُْا‬ ―Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.‖ (Ali ‗Imran:200) ْ‫ل َّ ْأ ُهس‬ َّ ‫َعلَ ْيَِا َّاطْ طَثِسْ تِال‬ َ َ‫ظالَ ِج أَ ُْل‬ ―Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.‖ (Thaahaa:132) ْ‫ل َّاطْ ثِس‬ َ ‫َّجْ ََُِ ي ُِسي ُدّىَ َّ ْال َع ِش ِّي َغدَات ِجاهْ َزتَُِّ ْن يَ ْد ُعْىَ الَّ ِرييَ َه َع ًَ ْف َس‬



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



―Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.‖ (AlKahfi:28) َّ ‫الظَّاتِ ِسييَ َه َع‬ َّ ‫َّللاَ إِ َّى َّال‬ َّ ‫ظالَ ِج تِال‬ ‫ظث ِْس ا ْستَ ِعيٌُْا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬ ―Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.‖ (Al-Baqarah:153) َّ ‫تُ ْفلِحُْىَ لَ َعلَّ ُن ْن‬ ‫ص اطْ ثِسُّا َءا َهٌُْا الَّ ِرييَ يَاأَيَُِّا‬ َ َّ ‫َّللاَ َّاتَّقُْا َّ َزاتِطُْا اتِسُّا‬ ―Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.‖ (Aali ‗Imraan:200) ُ ‫طثَ َس َّلَ َو ْي‬ َ ِ‫ْز ع َْز ِم لَ ِو ْي َذل‬ َ ‫ل إِ َّى َّ َغفَ َس‬ ِ ‫األ ُه‬ ―Tetapi orang yang bersabar dan mema`afkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.‖ (Asy-Syuuraa:43) ‫َي ٍء َّلٌََ ْثلُ ًََّْ ُن ْن‬ ْ ‫فاهْ ِهيَ تِش‬ ِ ْْ‫ُْع َخ‬ ِ ‫الظَّاتِ ِسييَ َّتَ ِّش ِس َّالثَّ َو َسا‬ ِ ُ‫ت َّاألَ ًْف‬ ٍ ‫س األَ ْه َْا ِه ِهيَ ًََّ ْق‬ ِ ‫ض َّ ْالج‬ ―Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.‖ (Al-Baqarah:155) ‫ب تِ َغي ِْس أَجْ َسُُ ْن الظَّاتِسُّىَ يُ َْفَّٔ إًَِّ َوا‬ ٍ ‫ِح َسا‬ ―Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.‖ (Az-Zumar:10) Kesabaran merupakan salah satu ciri mendasar orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kesabaran



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



merupakan setengahnya keimanan. Sabar memiliki kaitan yang tidak mungkin dipisahkan dari keimanan: Kaitan antara sabar dengan iman, adalah seperti kepala dengan jasadnya. Tidak ada keimanan yang tidak disertai kesabaran, sebagaimana juga tidak ada jasad yang tidak memiliki kepala. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menggambarkan tentang ciri dan keutamaan orang yang beriman sebagaimana hadits di atas. Amru bin Usman mengatakan, bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang. Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur‘an dan sunnah. Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, ketidak sabaran untuk berusaha, ketidak sabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. Sabar bagi masyarakat Tanjungbalai memiliki dimensi untuk merubah sebuah kondisi, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, menuju perbaikan agar lebih baik dan baik lagi. Bahkan seseorang dikatakan dapat diakatakan tidak sabar, jika ia menerima kondisi buruk, pasrah dan menyerah begitu saja. Sabar dalam ibadah diimplementasikan dalam bentuk melawan dan memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur, kemudian berwudhu lalu berjalan menuju masjid dan malaksanakan shalat secara berjamaah. Sehingga sabar tidak tepat jika hanya diartikan dengan sebuah sifat pasif, namun ia memiliki nilai keseimbangan antara sifat aktif dengan sifat pasif.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kesabaran dapat menghapuskan dosa. Rasulullah SAW menggambarkan dalam sebuah haditsnya; Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullan SAW bersabda, "Tidaklah seorang muslim mendapatkan kelelahan, sakit, kecemasan, kesedihan, mara bahaya dan juga kesusahan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosanya dengan hal tersebut." (HR. Bukhari & Muslim). Kesabaran merupakan suatu keharusan, dimana seseorang tidak boleh putus asa hingga ia menginginkan kematian. Sekiranya memang sudah sangat terpaksa hendaklah ia berdoa kepada Allah, agar Allah memberikan hal yang terbaik baginya; apakah kehidupan atau kematian. Rasulullah SAW mengatakan; Dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah salah seorang diantara kalian mengangan-angankan datangnya kematian karena musibah yang menimpanya. Dan sekiranya ia memang harus mengharapkannya, hendaklah ia berdoa, ‗Ya Allah, teruskanlah hidupku ini sekiranya hidup itu lebih baik unttukku. Dan wafatkanlah aku, sekiranya itu lebih baik bagiku." (HR. Bukhari Muslim). Dari uraian Alquran dan hadis tersebut di atas, maka kesabaran dpat digolongkan menjadi tiga hal, yaitu sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar untuk meninggalkan kemaksiatan dan sabar menghadapi ujian dari Allah: 1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah. Merealisasikan ketaatan kepada Allah, membutuhkan kesabaran, karena secara tabiatnya, jiwa manusia enggan untuk beribadah dan berbuat ketaatan. Ditinjau dari penyebabnya, terdapat tiga hal yang menyebabkan insan sulit untuk sabar. Pertama karena malas,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



seperti dalam melakukan ibadah shalat. Kedua karena bakhil (kikir), seperti menunaikan zakat dan infaq. Ketiga karena keduanya, (malas dan kikir), seperti haji dan jihad. Kemudian untuk dapat merealisasikan kesabaran dalam ketaatan kepada Allah diperlukan beberapa hal,



(a)



Dalam kondisi sebelum melakukan ibadah berupa memperbaiki niat, yaitu kikhlasan. Ikhlas merupakan kesabaran menghadapi duri-duri riya‘. (b) Kondisi ketika melaksanakan ibadah, agar jangan sampai melupakan Allah di tengah melaksanakan ibadah tersebut, tidak malas dalam merealisasikan adab dan sunah-sunahnya. (c) Kondisi ketika telah selesai melaksanakan ibadah, yaitu untuk tidak membicarakan ibadah yang telah dilakukannya supaya diketahui atau dipuji orang lain. 2.



Sabar dalam meninggalkan kemaksiatan. Meninggalkan kemaksiatan juga membutuhkan kesabaran yang besar, terutama pada kemaksiatan yang sangat mudah untuk dilakukan, seperti ghibah (baca; ngerumpi), dusta, memandang sesuatu yang haram dsb. Karena kecendrungan jiwa insan, suka pada hal-hal yang buruk dan "menyenangkan". Dan perbuatan maksiat identik dengan hal-hal yang "menyenangkan".



3. Sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah, seperti mendapatkan musibah, baik yang bersifat materi ataupun inmateri; misalnya kehilangan harta, kehilangan orang yang dicintai dsb. Pada intinya, sabar dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai merupakan salah satu sifat dan karakter orang mu‘min, yang sesungguhnya sifat ini dapat dimiliki oleh setiap insan. Karena pada dasarnya manusia memiliki potensi untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mengembangkan sikap sabar ini dalam hidupnya. Sabar tidak identik dengan kepasrahan dan menyerah pada kondisi yang ada, atau identik dengan keterdzoliman. Justru sabar adalah sebuah sikap aktif, untuk merubah kondisi yang ada, sehingga dapat menjadi lebih baik dan baik lagi. Allah akan memberikan jalan bagi hamba-hamba-Nya yang berusaha di jalan-Nya.



6.2.2 Norma Malam Berinai 6.2.2.1 Norma Kesopanan Sopan santun itu adalah sikap seseorang terhadap apa yang ia lihat, ia rasakan, dan dalam situasi, kondisi apapun. Sikap santun yaitu baik, hormat, tersenyum, dan taat kepada suatu peraturan. Sikap sopan santun yang benar ialah lebih menonjolkan pribadi yang baik dan menghormati siapa saja. Dari tutur bicara pun orang bisa melihat kesopanan kita. Baik/buruk, misalnya lagi dalam situasi yang ramai dimana kita akan melewati jalan itu, jika kita sopan pasti kita akan mengucapkan kata permisi pak, bu…..dalam berteman pun seperti itu lebih menghargai pendapat teman walaupun pendapat itu berbeda, sebenarnya pengertian sopan santun ini sudah umum. Dan mungkin semua orang sudah mengerti apa itu sopan santun, karna sifat ini telah ditanamkan sejak kecil pada diri individu tersebut. Dan bagaimana kita mengembangkannya saja. Dalam kehidupan kita dan disekitar kita. Norma kesopanan adalah peraturan hidup yang timbul dari hasil pergaulan sekelompok itu. Norma kesopanan bersifat relatif, artinya apa yang dianggap sebagai norma kesopanan berbeda-beda di berbagai tempat, lingkungan, atau



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



waktu. Norma kesopanan sangat penting untuk diterapkan, terutama dalam bermasyarakat, karena norma ini sangat erat kaitannya terhadap masyarakat. Sekali saja ada pelanggaran terhadap norma kesopanan, pelanggar akan mendapat sanki dari masyarakat, semisal cemoohan. kesopanan merupakan tuntutan dalam hidup bersama. Ada norma yang harus dipenuhi supaya diterima secara sosial. Sopan santun dapat dipengaruhi oleh apapun dan hal apa saja. Misalnya sopan santun yang buruk disebabkan oleh lingkungan yang tidak ada tata tertibnya, individu yang tak pernah mengenal pentingnya kepribadian, kurangnya pengenal sopan santun yang diajarkan oleh orang tua sejak dini, pembawaan diri individu itu sendiri. Kemudian sopan santun yang baik dapat dipengaruhi oleh latar belakang individu itu sendiri. Pendidikan yang cukup, pembawaan diri yang baik terhadap situasi apapun, tutur kata yang dijaga, terkadang faktor gen juga dapat mempengaruhi individu tersebut. Sopan santun bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun itu. Seperti halnya pada malam berinia. Upacara malam berinai ini dilaksanakan oleh orang tua calon pengantin perempuan sebagai uangkapan kasih sayang mereka kepada anaknya. Sudah sewajarnya si anak juga harus santun kepada orang tua, sebagai bakti kepada orang tua. Menghormati niat baik dari orang tua adalah contoh norma kesopanan. Dengan menunjukan sikap menerima, mendengarkan dengan baik, dan bila bertanya pun harus dengan yang baik. Sopan santun adalah suatu sikap atau tingkah laku yang ramah terhadap orang lain, sopan santun juga dapat di pandang oleh suatu masyarakat mungkin sebaliknya masyarakat juga dapat di pandang oleh masyarakat lain. Dalam



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



upacara malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai melibatkan banyak orang, mulai dari sahabat, kerabat, tetangga, dan sanak saudara. Calon pengantin harus bersikap hormat dan menghargai orang lain. Calon pengantin tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari pada orang lain, melainkan menganggap orang lain lebih baik daripada dirinya sendiri. Sopan santun tidak selalu menghasilkan kebaikan hati, keadilan, kepuasan, atau rasa syukur, tetapi ini dapat memberikan seseorang paling tidak terlihat sopan, dan membuatnya tampak dari luar apa yang seharusnya menjadi benar-benar terhormat. Sopan merupakan budi pekerti yang baik. Sopan santun merupakan sikap hormat dan ber-etika kepada siapa saja, yang lebih utama kepada orangtua, tetapi tidak hanya sikap, melainkan juga tutur kata. Sopan santun merupakan sikap yang sangat penting yang harus ada di tiaptiap diri masyarakat Melayu Tanjungbalai. Seseorang tidak akan menyukai orang lain jika sikap dan etikanya buruk. Sikap dan tutur kata harus dijaga setiap pergi kemana pun, karena itu merupakan suatu faktor seseorang untuk menilai diri orang lain. Diri tidak dinilai melalui perkataan tanpa perbuatan, melainkan perkataan dengan perbuatan yang telah dibuat sebagai buktinya. Dalam perkawinan masyarakat Melayu Tanjungbalai,



calon pengantin



sebagai orang yang masih muda harus menghormati seseorang yang lebih tua atau senior, misalnya seperti kepada orangtua, suami, mertua, saudara ipar, dan lainlain. Dimulai dari hal-hal yang kecil untuk membiasakan sikap sopan dan tutur kata yang bagus. Misalnya seperti mencium tangan kedua orangtua atau suami, jika ingin keluar rumah dan ucapkan salam. Membiasakan berkata terima kasih



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kepada seseorang yang telah membantu kesusahan, meminta maaf kepada orang yang telah disakiti (baik sengaja maupun tidak), tidak menggunakan kalimat yang bernada membentak dan tidak berkata kasar terhadap sesama.



6.2.2.2 Norma Ekspresi Ajaran Agama Islam Dalam



budaya



Melayu,



khususnya



dalam



masyarakat



Melayu



Tanjungbalai, pelaksanaan malam berinai disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Segala adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam akan di hilangkan. Dalam ajaran Islam, berinai disunahkan bagi kaum perempuan dan makruh bagi kaum laki-laki. Dalam berinai juga tidak boleh berlebih-lebihan, karena jika berlebihan, maka hukumnya haram. Setiap perbuatan yang berlebih-lebihan adalah mubazir dan mubazir adalah kawan syaitan. Oleh karena itu, bagian tangan yang diinai hanya sampai pergelangan tangan saja, untuk calon pengantin perempuan. Sedangkan untuk calon pengantin laki-laki, hanya kuku jari tangan dan kaki saja yang inai dan telapak tangan bagian dalam, sedangkan telapak tangan bagian luar tidak diinai. Bagi calon pengantin laki-laki, inai ini hanya sebagai penanda bahwa dia sudah menikah. Setiap studi tentang dunia Islam sebagai suatu keseluruhan lambat laun akan terbentur pada masalah hubungan antara peradaban Islam dengan kebudayaan-kebudayaan lokal dari kawasan-kawasan yang dalam arti teknis lambat laun mengalami pengislaman. Masalah hubungan antara lapisan peradaban ―universal‖ yang berkoeksistensi dengan peradaban ―kedaerahan‖, bukanlah semata-mata masalah khas Islam, melainkan juga merupakan ciri setiap kawasan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang ditilik dari segi kebudayaan yang dikenal sebagai peradaban dengan jangkauan supernasional atau ―universal‖. Realisasi masalah hubungan ini melahirkan pra-anggapan terdapatnya bukan saja suatu identifikasi Islam melainkan juga pemisahan antara unsur-unsur yang boleh dianggap mempunyai asal Islam dengan unsur-unsur lain yang kehadirannya tidak dapat dikaitkan dengan agama Islam (Grunebaum, 1983: 21). Menurut M.A. Fattah Santoso (dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, 2003: 50-51) ada beberapa faktor yang membentuk keragaman kebudayaan, yaitu: Pertama, otoritas kekuasaan dalam kerangka persaingan dan perebutan hegemoni dan dominasi kebudayaan sebagai ekspresi politik. Kedua, paham keagamaan, baik dalam bentuk mazhab fiqh maupun orde sufi (tarekat). Ketiga, ciri-ciri etnis dan rasial pemeluk Islam. Dan ciri ini bagaimanapun telah mempengaruhi bahasa dan kesusastraan, serta segala macam bentuk seni, termasuk musik, variasi dalam gaya kaligrafi, ornamen dan arsitektur, bahkan pakaian dan perhiasan. Keempat, sejarah. Kesamaan pengalaman sejarah dan jenis kesadaran yang dimiliki sebuah masyarakat tertentu di masa lampau tidak saja berpengaruh kuat dalam membentuk identitas kebudayaan, tetapi juga dalam menetapkan pola kebudayaan regionallokal. Kesamaan pengalaman sejarah dapat berupa kesamaan mengalami suatu kebudayaan pra-Islam tertentu. Kelima,ciri-ciri demografis dan geografis. Kawasan di mana selama berabad-abad timbul dan tenggelam secara terus menerus antara masyarakat nomadik dan penetap, mendapatkan ciri-ciri umum yang menonjol dalam beberapa segi kebudayaan, seperti juga kawasan-kawasan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang dihuni masyarakat agraris yang menetap secara penuh. Islam ketika harus diaktualisasikan dalam kebudayaan telah menampilkan wajahnya yang beragam, dan dalam keragaman kebudayaan Islam yang bersifat regional itu masih tersedia tempat bagi kebudayaan Islam lokal. Namun, semua keanekaragaman kebudayaan itu dipersatukan oleh ruh dan bentuk tradisi yang suci yang bersumber dari tauhid, menyerupai keanekaragaman dalam alam semesta yang merupakan pencerminan Theopani Yang Maha Esa. Dari keanekaragaman kebudayaan ini, terimplisitkan beberapa prinsip pengembangan kebudayaan Islam. Pertama, prinsip keterbukaan. Dengan prinsip ini, kebudayaan Islam tidak dibangun dari nol. Islam datang pada sebuah kebudayaan – dengan berbagai faktor yang melekat pada dirinya, seperti faktor sejarah, faktor etnis dan rasial, serta faktor demografis dan geografis – untuk kemudian memberikannya sebuah visi keagamaan, sesuai dengan paham hasil internalisasi masyarakat pendukungnya. Kedua, prinsip toleransi, sebagai konsekuensi dari prinsip pertama. Keterbukaan membutuhkan toleransi; tidak ada keterbukaan tanpa toleransi. Ketiga, prinsip kebebasan. Aktualisasi dari pemberian visi keagamaan menuntut kebebasan untuk mengembangkan kebudayaan sebagai proses eksistensi kreatif. Keempat, prinsip otentisitas yang tersirat dari visi keagamaan yang melandasi bekerjanya prinsip kebebasan. Keragaman yang lahir dari aktualisasi tiga prinsip pertama terintegrasikan dalam kesatuan spiritualitas melalui prinsip otentisitas ini (Santoso dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun Jinan, 2003: 59). Dialektika antara agama (Islam) dan kebudayaan yang memberi tempat pada keragaman kebudayaan Islam, tidak saja regional bahkan lokal. Dari



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pengalaman historis, terjadi tarik menarik antara prinsip keterbukaan dan prinsip otentisitas. Ketika masyarakat lebih kuat pada prinsip keterbukaan, antara lain mengambil unsur-unsur lokal lebih banyak, maka dapat terjadi sebuah sintesis kebudayaan Islam yang secara historis menguntungkan dakwah dan penyebaran Islam, tetapi dinilai sinkretis, belum Islam. Dan ketika masyarakat lebih kuat pada prinsip otentisitas, yang bentuk ekstrimnya berupa gerakan reformasi, maka dapat terjadi sebuah bangunan kebudayaan Islam yang tidak toleran terhadap tradisi lokal. Kenyataan tentang adanya pertautan antara agama dan realitas budaya juga memberikan arti bahwa perkembangan agama dalam suatu masyarakat, baik dalam wacana dan praktis sosialnya, menunjukkan adanya unsur konstruksi manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti bahwa



agama adalah



ciptaan manusia, melainkan hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi Tuhan, seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci, dan konstruksi manusia, terjemahan dan interpretasi dari nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada praktik ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka dipengaruhi oleh lingkungan budaya yang telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan mengapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan oleh Clifford Geertz (1971), misalnya membuktikan adanya pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia, Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik, sementara di Maroko, Islam mempunyai sifat yang agresif dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu menunjukkan betapa realitas agama sangat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dipengaruhi oleh lingkungan budaya. Pergulatan agama dan tradisi local sudah lama menjadi objek kajian, baik dalam tinjauan sosiologis maupun antropologis. Isu agama dalam bingkai budaya lokal tidak akan pernah habisnya, karena semakin dikaji akan semakin menarik. Geertz dalam kajiannya memandang bahwa agama dan budaya berjalan secara membalas, artinya pada satu sisi agama memberi pengaruh terhadap budaya dan pada saat yang sama budaya juga mempengaruhi agama. Dari sinilah terjadinya keragaman dalam kebudayaan Islam, di mana setiap daerah mempunyai corak atau ciri khas sendiri. Hal ini tentu saja merupakan konsekuensi dari bagaimana Islam masuk di daerah tersebut. Seperti juga agama lain, Islam adalah kekuatan spiritual dan moral yang mempengaruhi, memotivasi, dan mewarnai tingkah laku individu. Menguraikan tradisi Islam yang tumbuh di kelompok masyarakat tertentu adalah menelusuri karakteristik Islam yang terbentuk dalam tradisi populer. Pada titik ini, persoalan yang segera ditemui adalah unsure pembentuk tradisi tersebut, dan yang lebih penting lagi adalah unsur pembentuk ―Tradisi Islam‖ itu. Di sini istilah ―tradisi‖ secara umum dipahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktik, dan lainlain yang diwariskan secara turun temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin, dan praktik tersebut. Selanjutnya tradisi Islam merupakan segala hal yang datang dari atau dihubungkan dengan atau melahirkan jiwa Islam (Muhaimin AG., 2001: 11-12). Garna (1996: 186) menjelaskan tradisi merupakan kebiasaan sosial yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui proses sosialisasi. Tradisi menentukan nilai-nilai dan moral masyarakat, karena tradisi merupakan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



aturan-aturan tentang apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah oleh suatu masyarakat. Konsep tradisi menyangkut masalah pandangan dunia (world view), sistem kepercayaan, nilai-nilai dan cara serta pola berpikir masyarakat. Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan budaya lokal ini kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya (Hartati Soebadio, 1992). Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan



arah



pada



perkembangan



budaya



selanjutnya



(Soerjanto



Poespowardojo, 1986: 28-38). Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Melayu Tanjungbalai, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Melayu Tanjungbalai. Di sisi lain budaya-budaya lokal yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya lokal ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan ―akulturasi budaya‖, antara budaya lokal dan Islam. Bertolak dari pandangan bahwa agama dijadikan sebagai landasan budaya, maka dalam kehidupan masyarakat Melayu Tanjungbalai, hal itu dapat dilihat dari rentang kehidupan mereka. Berawal dari kepercayaan nenek moyang nusantara yang bersifat animisme-dinamisme, kemudian beralih kepada Hindu-Buddha, kemudian berpindah kepada agama tauhid, yaitu Islam. Setelah orang Melayu Tanjungbalai bersentuhan dengan agama Islam dan mereka tertarik dengan agama baru ini sehingga mereka meninggalkan kepercayaan lama. Paling tidak ada dua penyebab utama ketertarikan mereka terhadap agama baru ini, yaitu, pertama, agama Islam mampu memberikan jawaban yang memuaskan terhadap persoalanpersoalan yang selama ini belum bisa dijawab oleh agama atau kepercayaan terdahulu, seperti misteri hidup dan mati. Kedua, ajaran Islam sangat menghargai kebersihan ruhani, ketinggian budi pekerti dan penampilan bahasa yang halus. Semuanya ini amat bersesuaian dengan adat resam orang Melayu Tanjungbalai, yang menjunjung tinggi budi bahasa. Karena itu, dalam pandangan orang Melayu Tanjungbalai, inilah agama yang dapat dipakai untuk hidup serta dapat ditumpangi untuk mati. Islamisasi sistem nilai orang Melayu Tanjungbalai ini sejalan dengan Islamisasi sastra mereka, karena di dalam sastra itu mengandung nilai-nilai yang dipegang atau yang dipandang berkuasa. Dengan masuknya nilai-nilai Islam di



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dalam sastra Melayu Tajungbalai, maka dengan sendirinya berubah pula dasar pandangan atau pijakan nilai mereka. Islamisasi sistem nilai ini dimulai dari merubah penyembahan dewa kepada penyembahan Allah, menggantikan berbagai simbol kepercayaan lama dengan simbol yang bersumber dari Islam, serta merubah arah mitos yang sebelumnya bersumber dari adat atau kepercayaan leluhur kepada yang bersumber dari ajaran Islam. Pemalingan makna-makna ini menjadikan sistem nilai orang Melayu Tanjungbalai yang sebelumnya berpihak kepada animisme-dinamisme, Hindu-Buddha lebih bersifat Islami atau budaya Melayu Tanjungbalai yang mengandung nilai-nilai Islam. Dari perjalanan sejarah kehidupan dan proses Islamisasi itu, akhirnya masyarakat Melayu Tanjungbalai memiliki tiga sistem nilai yang hidup dalam masyarakat yang senantiasa dipelihara, dihayati, diindahkan, dan dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, sistem nilai yang diberikan atau bersumber dari agama Islam. Perangkat nilai ini merupakan sistem nilai yang tertinggi dan dimuliakan oleh masyarakat. Sistem nilai yang bersumber dari ajaran Islam ini diakui sebagai yang paling asasi dan bersumber dari Yang Mutlak (Allah), oleh karena itu sanksi yang muncul bukan hanya sebatas di dunia, tetapi juga yang sifatnya supernatural, yaitu yang tidak dapat dilihat dengan nyata dalam realitas kehidupan. Kekuatan sistem nilai ini akan terasa dari dalam diri manusia itu sendiri, sejauhmana dia dapat menyadari, memahami dan merenungkannya. Sistem nilai ini berjalan bukan karena suatu lembaga atau badan tertentu, tetapi lebih banyak oleh faktor kesadaran individu. Sistem nilai agama merupakan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



serangkaian nilai yang dipandang paling ideal – sumber segala nilai – namun ia tidak selalu dijabarkan begitu praktis dalam kehidupan nyata. Sebagai sumber, ia lebih bersifat konsep, dan ini berarti ia dapat dituangkan dalam berbagai kemungkinan. Sistem nilai agama selalu dipandang oleh sebagian orang Melayu sebagai sistem nilai yang vertikal saja, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan seperti ini sebenarnya keliru, karena Islam tidak hanya memuat nilai-nilai yang sifatnya vertikal, tetapi juga mengandung nilai-nilai yang sifatnya horisontal. Sebagai sistem nilai yang sifatnya horizontal, Islam mengajarkan atau memberi pedoman secara garis besar atau dalam hal-hal tertentu cukup detail tentang tata kehidupan manusia di muka bumi. Sistem nilai agama dalam masyarakat Melayu merupakan tolak ukur utama bagi sistem-sistem nilai lainnya. Oleh karena itu, tidak ada sistem nilai yang boleh bertentangan dengan yang telah digariskan oleh agama. Sistem nilai kedua ialah sistem nilai yang diberikan oleh adat. Sistem nilai ini memberikan ukuran dan ketentuan-ketentuan terhadap bagaimana manusia harus berbuat dan bertingkah laku, dan diikuti oleh serangkaian sanksi-sanksi yang cukup tegas. Sistem nilai yang diberikan oleh adat merupakan hasil pemikiran para penggagas adat yang mengatur lalu lintas kehidupan bermasyarakat, sehingga kehidupan dapat berjalan dengan damai dan harmonis. Dari tujuan serupa itu, maka sistem nilai adat merupakan sistem nilai yang bersifat horizontal. Sistem nilai yang memberikan keselarasan antara manusia dengan manusia. Jika pun ada gerak vertikal seperti hubungan rakyat dengan penguasa atau raja, itupun masih dalam sistem keharmonisan antar



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



manusia. Sistem nilai adat ini biasanya sudah bersifat tulisan yang dituangkan dalam berbagai peraturan adat atau undang-undang bernegara. Sistem nilai adat bias berubah sesuai kebutuhan dan kebijakan penguasa, tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan sistem nilai agama. Sistem nilai adat dipandang sebagai operasional atau penjabaran dari system nilai agama yang sifatnya lebih abstrak (konsep). Yang ketiga, yaitu sistem nilai yang bersumber dari tradisi. Jika sistem nilai adat merupakan sistem nilai yang mempunyai serangkaian kaedah, dan diikuti oleh sanksi-sanksi yang tegas, maka sistem nilai tradisi tidak memberikan sanksi yang demikian dalam pelaksanaan dari norma-norma yang diberikannya. Sistem nilai tradisi bersumber dari kebiasaan masyarakat, dan kebiasaan itu dipandang baik dan mendatangkan manfaat dalam kehidupan. Oleh karena itu, kebiasaan ini diikuti dan dilestarikan, yang kemudian menjadi kebiasaan masyarakat setempat serta diwarisi secara turun temurun. Sistem nilai tradisi ini juga bertujuan untuk menjaga keharmonisan dengan alam, sehingga dari sinilah lahirnya berbagai upacara dan mantra yang dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan kehidupan manusia. Sistem nilai tradisi ini merupakan sistem nilai yang terendah dalam masyarakat Melayu, dan ia senantiasa bisa berubah sesuai kebutuhan dan perkembangan masyarakat, tetapi ia tetap saja tidak boleh bertentangan dengan sistem nilai yang bersumber dari agama. Pada saat sekarang ini sudah banyak sekali kebiasaan orang Melayu masa lalu yang sudah ditinggalkan, kerana dipandang tidak efektif, efisien, dan ketinggalan zaman. Ketiga sistem nilai inilah yang berpengaruh dan mewarnai tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu. Dalam setiap kegiatan atau tingkah laku



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang ditampilkan oleh kelompok ataupun individu selalu berbeda, karena dalam setiap kegiatan tersebut mungkin system nilai agamanya yang lebih dominan, atau sistem nilai adat yang lebih dominan, atau sistem nilai tradisi yang dominan, dan tentu saja dibarengi oleh sistem nilai lainnya. Dalam masyarakat Melayu, ketiga sistem nilai ini tidak bisa dipisahkan secara tegas meskipun bisa dibedakan secara konseptual dan hadir bersama-sama dalam setiap kegiatan. Pertemuan Islam dengan budaya Melayu terjadi dalam keadaan yang seimbang dan sulit diungkaikan mana unsur-unsur yang berasal dari Islam dan mana unsur-unsur yang berasal dari Melayu. Melayu bukan hanya semata-mata persoalan geneologis, tetapi yang terpenting merupakan wilayah cultural yang merupakan ‗state of mind‘, demikian juga dengan Islam merupakan ‗state of mind‘. Pertemuan Islam dengan budaya Melayu – meminjam istilah Yusmar Yusuf – terjadi pada ‗padang datar‘ yang lebih berimbang sehingga tidak ada yang ‗terjajah‘ – ini berbeda dengan yang terjadi di Jawa, pertemuan Islam dengan budaya Jawa terjadi pada ‗padang miring‘, Islam berada di bawah (little tradition), sedangkan budaya Jawa berada di atas (great tradition) (Rachmat Subagya, 1981), dan Islam (yang berada di bawah) harus secara perlahan-lahan menggerogoti budaya Jawa (yang berada di atas) agar ia tetap eksis. Bahkan pertemuan Islam dengan budaya Melayu merupakan suatu bentuk akomodasi dan hubungan timbal balik (reciprocal) di mana Islam sudah di- Melayukan atau Melayu yang sudah diIslamkan. Integrasi Islam dalam budaya Melayu dalam istilah Tenas Effendy disebut ‗persebatian‘ (satu kesatuan yang sangat kokoh dan tidak mungkin dipisahkan), yang dalam ungkapan adat diibaratkan sebagai berikut:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Bersebatinya mata putih dengan mata hitam Rusak mata putih binasa mata hitam Rusak mata hitam binasa mata putih Bukan seperti kuku dengan daging Kuku bisa maju, daging tetap tinggal Bukan seperti aur dengan tebing Aur menumpang ke tebing Sedang tebing tidak menumpang ke aur Pada sisi kedua, yaitu perilaku (attitude) orang Melayu banyak memuat nilai-nilai yang sama dengan yang diajarkan oleh Islam. Seperti budaya malu dalam masyarakat Melayu, sebelumnya orang malu karena telah melanggar ketentuan adat. Setelah Islam datang pemahaman ini diluruskan orang malu karena melanggar ketentuan-ketentuan agama, di samping ketentuan-ketentuan adat yang tidak bertentangan dengan agama. Islam datang hanya meluruskan pandangan-pandangan dan pemahamanpemahaman yang dahulunya bersifat mitos dan mistis kepada hal-hal yang bersesuaian dengan nilai-nilai Islam. Hal ini dengan jelas 2diungkapkan dalam pepatah adat: Yang bengkok diluruskan Yang sesat dibetulkan Yang menyalah diperbaiki Ukuran bengkok, sesat dan menyalah adalah berdasarkan ajaran Islam. Oleh karena itu, dalam pandangan orang Melayu, jika terjadi pertelikaian (pertentangan) antara syara‘ dengan adat, maka adat harus mengalah dan syara‘ harus ditegakkan. Dengan demikian, adat dalam masyarakat Melayu, baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjabaran dari ajaran Islam, sehingga dapat dikatakan kebudayaan Melayu itu sendiri berintegrasi dengan Islam.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kehadiran Islam di dunia Melayu Tanjungbalai merupakan babakan baru bagi kehidupan mereka, karena sebelum datangnya Islam, orang Melayu Tanjungbalai hidup dalam dunia yang penuh mitos dan mistis. Islam hadir dengan membawa konsep-konsep dan nilai-nilai baru yang menggeser nilai-nilai yang berbau mistis ke arah pemikiran yang rasional. Islam juga mampu memecahkan persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam keyakinan orang Melayu Tanjungbalai sebelumnya. Begitu dalamnya pengaruh Islam dalam kebudayaan Melayu Tanjungbalai sehingga banyak kalangan mengatakan bahwa Melayu identik dengan Islam. Hal ini disebabkan karena adanya pepatah adat yang menyebutkan ―syarak mengata adat memakai‖, yang mengandung arti bahwa adat merupakan operasional dari nilai-nilai Islam. Di samping itu adat dalam kebudayaan Melayu Tanjungbalai bersumber dari Islam dan tidak boleh ada pertentangan adat dengan Islam, jika terdapat pertentangan maka adatlah yang harus mengalah. Hal ini diungkapkan dalam pepatah adat ―adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah‖.



6.3 Kearifan Lokal Malam Berinai Di dalam penelitian kearifan lokal tradisi bersinandong terdapat beberapa kearifan yang merupakan nilai dan norma warisan leluhur yang menurut fungsinya dalam menata kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang peneliti analisis berdasarkan teks, konteks, dan koteks dari sinandong tersebut. Analisis Adapun kearifan lokal dari tradisi malam berinai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah kesopansantunan, kesetiakawanansosial, rasa syukur, gotong



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



royong, dan penjagaan lingkungan. Gambaran kearifan lokal ini berasal dari landasan agama Islam yang dianut oleh masyarakat Melayu Tanjung Balai seperti yang dapat dilihat pada bagan berikut,



Kearifan Lokal Malam Berinai pada Masyarakat melayu Tanjungbalai



Rasa Syukur



Kesopansan -tunan



Kesetiaka wanan sosial



Gotong royong



Penjagaan Lingkungan



Bagan 6.5 Kearifan Lokal Tradisi Malam Berinai dalam Masyarakat Melayu Tanjungbalai



6.3.1 Rasa Syukur Bersyukur (berterima kasih), kepada sesama manusia lebih cenderung kepada menunjukkan perasaan senang menghargai. Adapun bersyukur kepada Allah lebih cenderung kepada pengakuan bahwa semua kenikmatan adalah pemberian dari Allah. Inilah yang disebut sebagai syukur. Lawan kata dari syukur nikmat adalah kufur nikmat, yaitu mengingkari bahwa kenikmatan bukan diberikan oleh Allah. Kufur nikmat berpotensi merusak keimanan. Bersyukur kepada Allah adalah salah satu konsep yang secara prinsip ditegaskan di dalam Al-Qur‘an. Perumpamaan dari orang yang bersyukur dan kufur diberikan dan keadaan mereka di akhirat digambarkan. Alasan kenapa begitu pentingnya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bersyukur kepada Allah adalah fungsinya sebagai indikator keimanan dan pengakuan atas keesaan Allah. Dalam tradisi upacara malam berinai yang dilaksanakan di rumah pasangan calon pengantin Liza dan Rahmad, group Kasidah Aljamiatul Wasliyah membuka pertunjukan mereka dengan melantunkan dendang kasidah yang berjudul ―Sholawat Cheng Zamzam‖. Lirik kasidah ini berisi ucapan syukur atau terima kasih kepada Allah SWT atas rahmad dan karunia yang telah diberikan kepada umat manusia dan ucapan selawat kepada Nabi Muhammad yang telah menuntun umat manusia ke jalan yang benar. Adapun liriknya adalah sebagai berikut, Alhamdulillah, wasyukurillah Alhamdulillah, wasyukurillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Sholli wasallim ‗Alal mu‘allim Sholli wasallim ‗Alal mu‘allim Ahmad Muhammad yasiidi khoirol bariyah Ahmad Muhammad yasiidi khoirol bariyah Alhamdulillah, wasyukurillah Alhamdulillah, wasyukurillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Hadzihil madinah Fiha nabina



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Hadzihil madinah Fiha nabina Hu wa abu zahro yasiidi khoirol bariyah Hu wa abu zahro yasiidi khoirol bariyah Alhamdulillah, wasyukurillah Alhamdulillah, wasyukurillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Azka sholati wasalami Lirosulillah Dalam acara pembukaan kasidah, pewara mengatakan bahwa pertunjukan kasidah ini adalah bentuk ungkapan syukur kepada Allah dan sebagai doa harapan semoga pasangan pengantin ini menjadi pasangan yang senantiasa melaksanakan sholat yang merupakan kunci ibadah, patuh pada kepada kedua orang tua, patuh kepada keluarga, berbakti kepada nusa dan bangsa dan hendaknya menjadi keluarga mawaddah wa rahma di kemudian hari kelak, seperti kutipan berikut, Semoga pasangan pengantin ini menjadi pasangan yang senantiasa melaksanakan sholat yang merupakan kunci ibadah, mudah-mudahan anak kami ini dapat patuh pada kepada kedua orang tua, patuh kepada keluarga, patuh kepada nusa dan bangsa dan hendaknya menjadi keluarga mawaddah wa rahma di kemudian hari kelak. Alquran memerintahkan untuk mengingat nikmat Allah berulang-kali karena manusia cenderung melupakannya. Seluruh buku yang ada di dunia ini tidak akan cukup untuk menulis nikmat Allah. Allah menciptakan manusia dalam bentuknya yang sempurna, memiliki panca indra yang memungkinkan manusia untuk merasakan dunia di sekelilingnya, membimbingnya menuju jalan yang benar melalui Alquran dan Alhadits, menciptakan air segar dan makanan yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berlimpah, melancarkan pelayaran, yang kesemuanya itu ditujukan untuk keuntungan manusia. Setiap orang yang berdoa dan berbuat baik pasti juga bersyukur kepada Allah sebab orang-orang yang mengingkari nikmat Allah pasti juga tidak pernah ingat



kepada



Allah.



Seseorang



yang



bertingkah



laku



seperti



hewan,



mengkonsumsi segala sesuatu yang diberikan padanya tanpa mau berfikir mengapa semua itu dianugrahkan dan siapa yang menganugrahkan, sudah selayaknya mengubah tingkah laku seperti itu. Sebaliknya, bersyukur hanya di saat menerima nikmat besar saja tidak akan berarti. Itulah sebabnya orang mukmin hendaknya tidak pernah lupa untuk bersyukur kepada Allah. Janganlah pernah menghitung nikmat, mengkategorikannya saja tidak mungkin sebab nikmat Allah tidak terbatas banyaknya. Karenanya seorang mukmin tidak seharusnya menghitung nikmat, melainkan berdzikir dan mewujudkan rasa syukurnya. Anggapan kebanyakan orang, bersyukur kepada Allah hanya perlu dilakukan pada saat mendapatkan anugrah besar atau terbebas dari masalah besar adalah keliru. Padahal jika mau merenung sebentar saja, mereka akan menyadari bahwa mereka dikelilingi oleh nikmat yang tidak terbatas banyaknya. Setiap waktu setiap menit, tercurah kenikmatan tak terhenti seperti hidup, kesehatan, kecerdasan, panca indra, udara yang dihirup…; pendek kata segala sesuatu yang memungkinkan orang untuk hidup diberikan oleh Allah. Sebagai balasan semua itu, seseorang diharapkan untuk mengabdi kepada Allah sebagai rasa syukurnya. Orang-orang yang tidak memperhatikan semua kenikmatan yang mereka terima, dengan demikian telah mengingkari nikmat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



(kufur). Mereka baru mau bersyukur apabila semua kenikmatan telah dicabut. Sebagai contoh, kesehatan yang tidak pernah



diakui sebagai nikmat,



baru



disyukuri setelah sakit. Bersyukur kepada Allah adalah salah satu konsep yang secara prinsip ditegaskan di dalam Alquran pada hampir 70 ayat. Perumpamaan dari orang yang bersyukur dan kufur diberikan dan keadaan mereka di akhirat digambarkan. Alasan kenapa begitu pentingnya bersyukur kepada Allah adalah fungsinya sebagai indikator keimanan dan pengakuan atas keesaan Allah. Dalam salah satu ayat, bersyukur digambarkan sebagai penganutan tunggal kepada Allah, seperti di bawah ini, ―Hai orang-orang yang beriman! Makanlah di antara rezeki yang baik yang kami berikan kepadamu. Dan bersyukurlah kepada Allah jika memang hanya dia saja yang kamu sembah‖. (Al-Baqarah: 172) Pada ayat lain bersyukur digambarkan sebagai lawan kemusyrikan, ―Baik kepadamu maupun kepada nabi sebelummu telah diwahyukan: "Jika engkau mempersekutukan Tuhan, maka akan terbuang percumalah segala amalmu dan pastilah engkau menjadi orang yang merugi. Karena itu sembahlah Allah olehmu, dan jadilah orang yang bersyukur‖. (Az-Zumar: 65-66) Bersyukur kepada Allah merupakan salah satu ujian dari Allah. Manusia dikaruniai banyak kenikmatan dan diberitahu cara memanfaatkannya. Sebagai balasannya, manusia diharapkan untuk taat kepada penciptanya. Namun manusia diberi kebebasan untuk memilih apakah hendak bersyukur atau tidak seperti pada ayat berikut,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



―Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya dengan beban perintah dan larangan. Karena itu kami jadikan ia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami telah menunjukinya jalan yang lurus: Ada yang bersyukur, namun ada pula yang kafir‖. (Al-Insan: 2-3) ―Dan ingat pulalah ketika Tuhanmu memberikan pernyataan: "Jika kamu bersyukur pasti Kutambah nikmatKu kepadamu; sebaliknya jika kamu mengingkari nikmat itu, tentu siksaanku lebih dahsyat‖. (Ibrahim: 7) Melaksanakan acara pesta perkawinan adalah bentuk salah satu kearifan lokal dalam mewujudkan rasa syukur yang dilakukan oleh masyarakat Melayu Tanjungbalai. Pernikahan bukan hanya sekedar untuk menjalankan perintah semata tetapi juga mengharapkan kemurahan rezeki oleh Tuhan dengan cara bekerja. Suami wajib bekerja untuk menafkahi keluarganya, baik istri serta anakanaknya. Anak merupakan amanah bagi orang tua untuk dijaga, dididik dan dibesarkan agar kehidupannya kelak bias membawa kebenaran untuk di duni dan akhirat. Bentuk tepung tawar yang terdapat dalam upacara malam berinai juga merupakan uangkapan rasa syukur kepada sang pencipta.



6.3.2 Kesopansantunan Islam mengajarkan agar umatnya hidup bermasyarakat agar saling menolong antara yang satu dengan yang lain dalam memecahkan segala persoalan. Masyarakat Tanjung Balai bergaul dengan sesama mereka sehingga kehidupan mereka terjalin secara arif. Dengan bergaul berarti mereka saling



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menyempurnakan,



memberi



dan



menerima



untuk



kepentingan



bersama



masyarakat Tanjung Balai. Dalam pergaulan sesama, mereka dapat membedakan pergaulan yang baik dan buruk, dan pandai menempatkan diri agar tidak terombang-ambing dalam kehidupan. Kaidah agama berperan penting dalam mengatur interaksi dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai ialah kesopansantunan. Prinsip ini menekankan bahwa warga Tanjung Balai dalam berbicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Apabila mereka bertemu, bahasa dan sikap mereka harus mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci dan cita rasa, mengikuti aturan-aturan tatakrama yang sesuai dan sikap hormat yang pada tempatnya. Dalam berpakaian masyarakat Tanjung Balai, selain bersih, sesuai ajaran Islam yang menekankan pentingnya menutup aurat. Namun, masa kini remaja Melayu memiliki kecenderungan mengamalkan budaya barat. Dari perspektif pendidikan moral adat untuk membentuk masyarakat yang sopan, untuk membina masyarakat generasi muda yang dimulai dari institusi keluarga. Orang tua memainkan peranan penting di Tanjung Balai karena mereka bertanggungjawab mendidik anak-anak bangsa menjadi orang berguna. Sekaligus memastikan keharmonisan keluarga mereka. Untuk merangsang perkembangan mental dan rohani anak-anak, orang tua perlu menunjukkan teladan yang baik kepada anakanak. Namun kondisi sekarang banyak masalah sosial yang melanda masyarakat bermula dari kelalaian orang tua mengawasi pergerakan anak-anak mereka. Oleh



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



itu, orang Melayu perlu menilai kembali pegangan hidup mereka demi mengekalkan citra sopan Melayu. Nilai yang membentuk masyarakat Melayu Tanjungbalai menjadi penyabar dan penyayang, bersopan santun dan berbudi pekerti adalah sebahagian daripada nilai-nilai tamadun Melayu yang berkaitan dengan beradab (civilized). Masyarakat Melayu menganggap bahwa orang yang beradab sebagai halus budi pekertinya, manakala yang tidak beradab dianggap kasar. Sesuai dengan penegasan Nabi SAW bahwa, ―Rosul diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Islam menganjurkan pengikutnya sentiasa berbicara benar dan melarang berbohong. Nilai sopan santun dapat dilihat dalam tradisi bersinandong pada malam berinai, yaitu dalam upacara tepung tawar. Dalam upacara ini, orang yang dituakan menepungtawari terlebih dahulu. Setelah itu baru yang lebih muda. Mendahulukan orang yang lebih tua, seperti kakek, nenek, ibu, dan ayah adalah etika dalam sopan santun. Dalam tari tercermin aturan yang dipakai para penari. Mereka secara serentak menari diatur oleh ragam dalam gerak tari mereka. Sikap sopan santun terhadap orang tua juga terlihat melalui teks yang terdapat dalam sinandong dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖, bait keenam baris ketiga dan empat. Frasa Kalau boso balaslah jaso, bermakna ‖jika sudah besar, harus pandai membalas jasa kedua orang tua‖. Membalas jasa orang tua adalah nilai sopan santun seorang anak terhadap orang tua. Sebagai ucapan rasa syukur karena telah dibesarkan dan dibekali dengan pengetahuan. Sudah menjadi kewajiban bagi seorang anak untuk membalas jasa kedua orang tuanya, jika



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



nantinya dia menjadi orang yang sukses. patuh terhadap perintah orang tua juga termasuk ke dalam norma sopan santun. Seorang anak yang pandai membalas jasa, orang tuanya akan senang dan akan mendoakan anak tersebut agar diberi rezeki yang melimpah. Hal ini dapat dilhat dari petikan sinandong berikut, Kalau boso balaslah jaso Kemano pogi dapat jeroki



6.3.3 Kesetiakawanan Sosial Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan masyarakat Tanjung Balai. Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi masyarakat Tanjungbalai. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan mereka pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka yang kemudian dikenal menggunakan bahasa Indonesia. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan masyarakat Tanjungbalai telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan mereka dari mulai mereka menghadapi ancaman penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup mereka. Kesetiakawanan mereka menjadi benteng yang kuat dalam kelompok masyarakat etnis Melayu. Kesetiakawanan ini begitu rekatnya, maka kelompok mereka menjadi sebuah satu kesatuan yang aman dan amat solid.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Apapun isu yang menerpa masyarakat waktu itu memiliki rasa saling berkesetiakawanan merupakan hal positif yang diterapkan dengan rasa kekeluargaan sosial antara satu sama lainnya khususnya dalam kelompok bersama-sama. Namun, saat kesetiakawanan ini diuji dan hasilnya kesetiakawanan ini diterapkan maka, kelompok sosial khususnya menimbulkan dampak negatif, permusuhan bahkan peperangan internal. Kesetiakawanan sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati masyarakat melayu oleh karena itu .... dengan ideologi nasional, bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi social sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan. Kesetiakawanan sosial nasional adalah pilar utama untuk mewujudkan masyarakat adil dan sejahtera. Dituntut kepedulian dan ketenggangrasaan yang merupakan watak dasar bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Sayangnya kata kesetiakawanan sosial jarang terdengar. Dalam menghadapi tantangan kehidupan, dituntut kebersamaan, persaudaraan, dan kesetiakawanan. Oleh karena itu kesetiakawanan sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial, modal sosial yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu masyarakat sejahtera.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Orang Melayu senantiasa mengutamakan perasaan orang lain dalam pelbagai keadaan. Sikap bertimbang rasa menjadikan masyarakat Melayu tidak mementingkan perasaannya semata-mata. Pemikiran ini menunjukkan bahwa seseorang tidak mengikutkan perasaan saja, tetapi



perlu mempertimbangkan



perasaan orang lain. Nilai kesetiakawanan sosial ini adalah salah sifat terpuji dalam Islam. Kesetiakawanan sosial dapat diilhat dalam tradisi pada malam berinai ini, yaitu: 1. Apapun permasalahan yang terjadi dalam pesta besar ini haruslah menjadi beban dan tanggung jawab bersama semua anggota keluarga untuk mengatasi dan menyelesaikannya. Kebersamaan dan kesetiaan itu penting untuk menanggung untung rugi dalam pesta tersebut. Jadi, anggota inti dalamkeluarga harus ikut merasakannya. Nilai yang ingin ditunjukkan adalah penyadaran bahwa manusia hendaknya hidup dalam satu kesatuan yang utuh untuk mencapai satu tujuan yang sama. Nilai ini menghilangkan sikap yang saling berebut kuasa dan pengaruh, yang sering mementingkan diri sendiri atau kelompok . 2. Sesuai........dengan adat lembago Peribahasa ini terdapat dalam sinandong anak atau dadong (1) ―Sinandong Membuai Anak‖, bait ketiga baris keempat. Nilai yang mengekalkan adalah rasa kesamaan adat dan budaya, mengentalkan hubungan antar puak dan suku. Nilai ini juga menyadarkan orang agar tidak terjebak kepada perbedaan-perbedaan adat dan budaya, tetapi menganggap



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perbedaan itu sebagai khasanah budaya bersama yang perlu dijunjung dan dihormati. Nilai yang menumbuhkan rasa kebersamaan yag saling berbagi senang dan susah dan menjauhkan diri dari keinginan untuk menang sendiri, kenyang seorang. Peribahasa ini juga digunakan untuk kesetiakawanan sosial. Senasib sepenanggungan. Walau tidak ada apa-apa untuk dimakan yang penting berkumpul dan bersatu untuk merasakan kebahagiaan dan kesedihan bersama. Yakni nilai yang menyadarkan orang akan kesamaan dan persatuan. Menumbuhkan rasa bersatu, ada dalam satu rumpun. 2. Kehadiran para undangan dalam upacara malam berinai ini juga merupakan bentuk kesetiakawanan sosial. Jika para undangan tidak hadir, maka upacara ini jadi sia-sia dilakukan. Nilai ini menumbuhkan rasa bertanggung jawab untuk memelihara tenggang rasa antar sesama anggota masyarakatnya, menumbuhkan rasa menghargai terhadap orang yang sudah memberi undangan. Selain itu nilai lain yang ingin diperjuangkan adalah anjuran untuk menumbuhkan rasa persaudaraan yang kental, tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok.



6.3.4 Gotong Royong Menurut kodrat alam, manusia dimanapun dan pada jaman apapun selalu hidup bersama, hidup berkelompok. Sekurang-kurangnya hidup bersama ini terdiri dari dua orang, suami-istri ataupun orang tua dan anaknya. Dalam sejarah perkembangan manusia, tidak terdapat seorang pun yang hidup menyendiri,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



terpisah dari kelompok manusia lainnya, kecuali dalam keadaan terpaksa dan itupun hanyalah bersifat sementara. Manusia disebut makhluk sosial atau bermasyarakat, maksudnya adalah hidup manusia berada dalam suatu kelompok yang saling berhubungan. Manusia secara individu tidak dapat memisahkan diri dengan individu lainnya. Antara individu yang satu dengan individu lainnya salng berhubungan. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk individu atau perorangan. Di antara individu yang satu dengan individu yang lainnya saling membutuhkan dan saling tolong menolong. Oleh sebab itu, kita wajib mengembangkan sikap saling menghormati dan saling menghargai. Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan masyarakat biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang batu bata, tukang membuat gula, tukang jahit, bahkan tukang catut, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah bertani. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja, oleh karena itu, bila tiba musim panen atau masa menannam padi, pekerjaan-pekerjaan sambilan itu segera ditinggalkan. Pada masa pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu dilakukan karena biasanya satu keluarga saja tidak cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Sebagai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



akibat kerjasama tadi, timbullah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan nama gotong-royong yang bukan merupakan lembaga yang sengaja dibuat. Konsep gotong-royong merupakan suatu konsep yang erat hubungannya dengan kehidupan rakyat sebagai petani dan masyarakat agraris. Istilah gotong royong berasal dari bahasa Jawa, tetapi dari Jawa mana istilah ini berasal tidak cukup jelas. Istilah gotong-royong ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab sesusastraan Jawa Kuno maupun Jawa Madya (kakawin, kidung,dan sebagainya). Dalam kenyataan bahasa sehari-hari, antara rakyat di desa-desa, istilah ini juga tidak ada. Di berbagai daerah di Jawa ada istilah-istilah khusus yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Istilah gotong-royong untuk pertama kali tampak dalam bentuk tulisan dalam karangan-karangan tentang hukum adat dan juga dalam karangan-karangan tentang aspek-aspek sosial dari pertanian terutama di Jawa Timur oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen (Koentjaraningrat, 1987 : 56). Gotong-royong merupakan bentuk utama dari proses interaksi sosial, karena pada dasarnya orang atau kelompok orang melaksanakan interaksi sosial dalam rangka memenuhi kepentingan atau kebutuhan bersama. Sebenarnya masyarakat manusia itu sendiri terbentuk akibat adanya kerja sama dalam kelompok untuk hidup bersama, memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup bersama. Etika tentu bukan hanya dimiliki bangsa tertentu. Masyarakat dan bangsa apapun mempunyai etika; ini merupakan nilai-nilai universal. Nilai-nilai etika yang dikaitkan dengan etos kerja seperti rajin, bekerja, keras, berdisplin tinggi,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menahan diri, ulet, tekun dan nilai-nilai etika lainnya bisa juga ditemukan pada masyarakat dan bangsa lain. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, bersikap sopan misalnya masih ditemukan dalam masyarakat kita. Perbedaannya adalah bahwa pada bangsa tertentu nilai-nilai etis tertentu menonjol sedangkan pada bangsa lain tidak. Mulai dari kehidupan dalam keluarga, antarkeluarga dalam kesatuan kerabat luas, kehidupan antartetangga sampai ke dalam kehidupan masyarakat luas, manusia sudah disosialisasikan untuk saling kerja sama, untuk saling membantu, tolong-menolong, agar kepentingan atau kebutuhan bersama dapat dicapai secara berdaya guna dan berhasil guna. Dapat dipastikan bahwa perolehan kepentingan atau kebutuhan hidup akan lebih mudah dicapai melalui proses kerja sama atau gotong-royong dibandingkan melalui kerja sendiri-sendiri. Pada masyarakat sederhana seperti masyarakat komunal atau kesukuan dan masyarakat pedesaan, gotong-royong sudah sedemkian melembaga hampir dalam setiap pekerjaan yang sifatnya massal, seperti berburu, menangkap ikan, membuka ladang atau huma baru, mengerjakan sawah, memperbaiki bendungan, pengairan, membuat jembatan penyeberangan, menyelenggarakan upacara yang sakral seperti upacara adat dan keagamaan, dan lain sebagainya. Pada umumnya pola gotong-royong semacam ini didorong oleh motivasi untuk: 1. Menghadapi tantangan alam yang masih ‗ganas‘, 2. Melakukan pekerjaan yang butuh tenaga massal, 3. Melaksanakan upacara yang sifatnya sakral (suci),



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. Menghadapi serangan musuh dari luar. Dalam kehidupan masyarakat desa di kabupaten Tanjungbalai, gotongroyong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk untuk beraktivitas dalam suatu pekerjaan. Aktivitas gotong-royong dalam kehidupan masyarakat ini dapat dilihat sebagai berikut, 1. Aktivitas gotong-royong antara tetangga yang tinggal berdekatan untuk pekerjaan-pekerjaan kecil sekitar rumah dan pekarangan, misalnya: menggali sumur, mengganti dinding bambu dari rumah, menanam padi, panen, dan sebagainya. 2. Aktivitas gotong-royong antara kaum kerabat dan tetangga yang paling dekat untuk menyelenggarakan perta sunat, perkawinan, atau upacaraupacara adat lain sekitar titik-titik peralihan pada lingkaran hidup individu, seperti: menujuh bulan, kelahiran, pemberian nama, dan aqiqah sekaligus mencukur rambut. 3. Aktivitas spontan tanpa permintaan dan tanpa pamrih untuk membantu secara spontan pada waktu seorang penduduk desa mengalami kematian atau bencana. Di sini tidak diperhitungkan jasa dan konpensasinya. Semuanya dilakukan dengan ikhlas. Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, gotong-royong antartetangga masih tampak dalam pembuatan sumur dan mendirikan rumah yang terbuat dari kayu. Jika ada salah seorang warga yang ingin mendirikan rumah dan membuat sumur, maka tetangga-tetangga dekat akan diundang untuk mendirikan rumah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tersebut setelah semua bahannya terkumpul. Jadi, pembuatan rumah ini tidak berlansung lama, paling hanya memakan waktu dua hari. Untuk hal-hal pekerjaan kecil dari rumah tersebut, biasanya yang melanjutkan nantinya adalah tuan rumah, seperti memasang kunci, mengecet, memasang jerjak, dan lainnya. Masyarakat hanya mengerjakan rangkah rumah, dinding, dan atapnya saja. Untuk aktivitas menanam padi di sawah, seorang petani meminta beberapa orang tetangganya yang biasanya petani juga untuk membantunya dalam mempersiapkan sawahnya untuk masa penanaman yang baru. Pekerjaan ini meliputi memperbaiki saluran-saluran air dan pematang, mencangkul, membajak, menggaruk, dan sebagainya. Petani tuan rumah harus menyiapkan makan siang tiap hari kepada warga yang datang membantu, selama pekerjaannya berlangsung. Konpensasi lain tidak ada, tetapi yang minta bantuan tadi harus mengembalikan jasa itu dengan membantu semua petani yang diundangnya tadi, tiap saat apabila mereka memerlukan bantuannya. Dalam upacara tujuh bulanan, melahirkan, memberi nama, aqiqah, dan mencukur rambut, biasanya acara ini diselenggarakan dengan sederhana. Jadi, aktivitas gotong royong juga terlihat sangat sederhana. Para tetangga akan membantu jika diperlukan saja. Mereka membantu pekerjaan si tuan rumah mungkin hanya satu hari saja. Sebagai imbalan, biasanya tuan rumah menyediakan makanan. Gotong-royong yang dilakukan masyarakat Melayu Tanjungbalai yang secara spontan dapat dilihat ketika salah satu warga masyarakat ada yang meninggal dunia dan tertimpa bencana. Masyarakat akan secara suka rela



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



memberi sumbangan baik tenaga maupun uang. Sumbangan ini tidak ditentukan jumlahnya. Jika yang mengalami musibah ini orang miskin, maka untuk keperluan fardhu kifayah orang yang meninggal ini akan ditanggulangi oleh masyarakat. Terhadap orang yang tertimpa bencana, misalnya kebakaran, biasanya orangorang kampung akan mengutip sumbangan ke rumah-rumah penduduk. Sumbangan ini akan diserahkan kepada orang yang rumahnya kebakaran tersebut, untuk memperbaiki rumah dan kelengkapannya. Rumah ini akan didirikan kembali secara gotong-royong. Gotong-royong juga dapat dilihat dalam pesta perkawinan dan sunatan. Juga terlihat dalam upacara malam berinai yang merupakan serentetan kegiatan dalam pesta perkawinan. Sanak saudara dan tetangga terdekat akan berdatangan membantu pekerjaan dalam perhelatan pesta tersebut. Biasanya mereka datang dua hari sebelum diadakan pesta. Gotong-royong ini dilakukan mulai dari mendirikan teratak, memasak makanan untuk pesta, mencuci piring, sampai membongkar teratak kembali sehabis pesta. Pekerjaan ini dilakukan secara gotong-royong selama lebih kurang empat hari. Sebagai imbalan orang yang ikut dalam gotong-royong ini, biasanya untuk keluarganya (anak-anaknya) diantarkan rantang ke rumah yang berisi nasi dan lauk-pauk ke rumahnya selama orang tersebut ikut berpartisipasi dalam pesta itu. Dengan gotong-royong dimaksudkan dapat saling membantu dan melakukan pekerjaan demi kepentingan bersama. Menurut Koentjaraningrat (2002:65), ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotongroyong: pertama, orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berupaya untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya; kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya; ketiga, orang itu harus bersifat conform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha untuk menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya. Kerukunan masyarakat Melayu, tampak ketika masyarakat mengadakan upacara-upacara besar. Gotong royong sangat dibutuhkan dalam menjaga kerukunan dalam masyarakat. Masing-masing pihak telah mengetahui fungsi dan perannya masing-masing. Bentuk gotong-royong dapat dilihat dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan. Dalam upacara perkawinan, masyarakat Melayu baik di Batubara maupun di Tanjungbalai dalam menyajikan hidangan untuk acara pesta, biasanya dimasak oleh para tetangga dan saudara. Mereka memasak secara bergotong royong tanpa mengharapkan imbalan uang. Mereka memasak dengan suka rela, sebagai imbalan kepada keluarga mereka yang di rumah diantarkan makanan. Sementara itu, memenuhi undangan pesta merupakan suatu kewajiban sosial dan dari setiap tamu diharapkan sejumlah uang untuk tuan rumah. Besarnya sumbangan itu diingat oleh kedua belah pihak dan si pemberi boleh berharap akan menerima sumbangan serupa apabila mengadakan perayaan yang sama. Dalam segala macam bentuk gotong-rotong itu, orang Melayu Tanjungbalai tahu persis jumlah waktu kerja atau jumlah uang berapa yang masih harus dikembalikannya dan berapa yang masih berhak dituntut orang lain. 6.3.5 Peduli Lingkungan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pergulatan orang Melayu dengan alam dalam hal pertanian, hutan dan perairan membantu orang Melayu untuk meletakkan dasar-dasar masyarakat dan kebudayaannya. Teristimewa



penanaman padi memaksa seseorang untuk



mengembangkan bentuk-bentuk kerjasama sosial yang maju. Penanaman padi sangat mendorong segala kegiatan yang terarah pada pengendalian kekuatankekuatan alam yang ganas, rakyat dirangsang untuk mencapai tingkat kerjasama dan bantuan timbal balik yang tinggi dan dengan desa-desa tetangga perlu dipertahankan perdamaian. Alam bagi orang Melayu merupakan sumber rasa aman, begitu pula alam dihayati sebagai kekuasaan yang menentukan keselamatan dan kehancurannya. Oleh karena itu alam inderawi bagi orang Melayu merupakan ungkapan alam gaib, yaitu misteri berkuasa yang mengelilinginya, dari alam seperti ini orang Melayu memperoleh eksistensinya dan bergantung padanya. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang akhirnya menentukan kehidupannya. Dalam alam orang mengalami betapa bergantungnya kita dari kekuasaan-kekuasaan diduniawi yang tidak dapat diperhitungkan, yang disebutnya alam gaib. Kosmos termasuk kehidupan, peristiwa-peristiwa di dunia merupakan suatu kesatuan yang terkoordinasi dan teratur, suatu kesatuan eksistensi di mana setiap gejala, material dan spiritual mempunyai arti yang jauh melebihi apa yang Nampak. Begitu bagi orang Melayu alam empiris berhubungan erat dengan alam metempiris (alam gaib) mereka saling meresapi. Bukannya seakan-akan pengalaman-pengalaman empiris dan adikordati , dimana pengalaman langsung yang bersifat empiris dan indrawi berdasarkan suatu iman eksplisit, ditempatkan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ke dalam dimensi metafisik. Melainkan pengalaman-pengalaman empiris yang angker dan mengasikkan menjadi isi pengalaman itu sendiri. Alam empiris selalu sudah diresapi oleh alam gaib. Pedoman hidup masyarakat Melayu dalam penjagaan lingkungan alam dinyatakan oleh Rachmatullah (2010:64-65) bahwa barang siapa yang mengerti tempatnya dalam masyarakat dan dunia, maka ia juga memiliki sikap batin yang tepat dan dengan demikian juga akan bertindak dengan tepat. Sebalikmnya, siapa yang membiarkan diri dibawa oleh nafsu dan pamrihnya, yang melalaikan kewajiban-kewajibannya dan acuh tak acuh terhadap rukun serta hormat, dengan demikian memberi kesaksian bahwa ia belum mengerti tempatnya dalam keseluruhan alam semesta. Pedoman masyarakat Melayu biasa diungkapkan dengan peribahasa biar lambat asal selamat. Maksud peribahasa tersebut adalah bahwa semboyan orang Melayu yang lebih mementingkan tercapainya tujuan, meskipun waktunya lama. Maksudnya terjadi suatu kegagalan karena melanggar kehendak alam yang telah digariskan Tuhan Yang Maha Esa. Sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan semua mau cepat terakhirnya tidak mendapatkan apa-apa malah keburukan yang diterima karena melewati batasan yang diberikan Allah. Hal ini diajarkan pada orang Melayu untuk memperingatkan bahwa siapa yang ingin bertindak secara bertanggung jawab hendaknya mampu memahami batasan-batasannya dan bertindak sesuai dengan kedudukannya, sebab segala gangguan terhadap keselarasan kehidupan akan merugikan semua. Manusia yang membuat rencana-rencana besar untuk memperbaiki dunia ini dan berusaha untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



melaksanakannya tanpa memperhatikan maasyarakat dan alam merupakan tanda kesombongan, karena kekuasaan untuk mengubah sesuatu di dalam realitas tidaklah terletak di tangan manusia. Hendaknya manusia selalu ingat akan takdir. Segalanya sudah ditentukan oleh Allah. Setiap makhluk telah dibagi nasibnya, ditarik garis hidupnya, dan tidak dapat menyeleweng daripadanya. Orang yang bijaksana dibedakan dengan orang yang bodoh, sebab orang yang bijaksana memahami hal itu, ia memusatkan tenaganya pada usaha untuk mempertahankan garis hidupnya, artinya menemukan tempatnya dalam masyarakat dan membiarkan setiap unsur yang lain menemukan tempatnya sendiri-sendiri. Setiap manusia mempunyai darmanya dan tugas kehidupannya ialah untuk melaksanakan darmanya. Manusia menemukan darmanya dalam kewajiban yang ditentukan baginya, oleh kedudukannya di dalam masyarakat. Manusia diharapkan memenuhi darmanya dengan setia demi kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan keselarasan alam semesta serta untuk mencapai ketentraman bathin. Sedangkan konsep kedua dalam adat resam Melayu adalah



mengatur



hubungan antara manusia dan alam, serta sangsi terhadap pelanggaran yang terjadi. Resam Melayu, selalu menghindari kekerasan dan perilaku yang merusak keadaan serta moral. Resam Melayu ialah pencinta alam. Pada zaman Kedatukan Lima Laras, para Datuk ditempatkan yang merupakan perpanjangan tangan di dalam pemerintahan; dimana hutan, sungai, tanah ulayat, sangat diperhatikan. Masyarakat tidak berani melanggar adat-istiadat setempat. Jika mereka ingin menebang pohon, maka mereka harus permisi dengan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



luhak (kepala desa) walaupun pohon itu adalah milik mereka sendiri. Jika mereka akan membuka hutan, juga harus permisi dan juga harus membuat upacara adat yang akan dipersembahkan kepada makhluh penunggu hutan tersebut, agar mereka tidak mendapat celaka dan musibah di hutan tersebut. Apabila terdapat kerusakan alam, maka yang merusak lingkungan akan diberi hukuman sesuai dengan adat tempatan. Mistik mempunyai hubungan yang erat dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan, ahli mistik atau seorang datuk dapat mudah dikenal oleh masyarakat. Akan tetapi seorang Datuk atau ahli mistik, belum tentu mengenal seluruh masyarakat Melayu Tanjungbalai. Sebenarnya mistik dan kepercayaan terhadap hal-hal yang ghaib ini adalah usaha untuk menjaga lingkungan agar masyarakat tidak sembarang menebang pohon. Pohon merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Akarnya yang kuat berguna untuk menahan air dan mencegah longsor. Begitu juga dengan batang dan daunnya dapat menyerap debu, sehingga dengan banyaknya pohon yang diramatkan akan menjadikan desa tersebut menjadi desa yang asri, bersih dari volusi udara. Pohon juga berguna sebagai sumber oksigen bagi kehidupan manusia. Orang Melayu menyadari bahwa keseluruhan hidupnya bergantung pada alam semesta. Alam yang tampak nyata selalu berkaitan dengan alam gaib. Daur kehidupan masyarakat Jawa dipengaruhi oleh ala mini sehingga manusia Jawa harus tunduk pada kekuatan dan kekuasaan alam semesta. Bila ingin hidupnya aman dan tentram lahir batin, maka masyarakat Melayu harus menjaga lingkungan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



alam semesta ini. Menjaga keselarasan hidup antara manusia dengan lingkungannya dan masyarakat dengan dunia. Penggunaan



kata-kata



boting



Bogak,



Siapi-api,



Tanjungnapal,



Limaumanis, merujuk kepada nama tempat. kopah, korang, kupang, dan ikan cengcaru, merujuk nama lauk-pauk yang berasal dari laut. Kedua hal ini menunjukkan bahwa orang Melayu Tanjungbalai peduli akan lingkungannya. Bubur sagu, wajik, dan kue putu, merujuk kepada peduli lingkungan terhadap makanan pokok. Semua bahan baku dari masakan tersebut merupakan bahan makanan pokok, seperti sagu, beras, pulut, gula merah, dan kelapa. Penggunaan kata-kata pucuk paoh, delimo batu, dan galenggang, adalah tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Pucuk pauh untuk awet muda. Delima batu banyak mengandung oksidan, baik untuk kesehatan tubuh dan kulit. Daun gelenggang dapat digunakan sebagai obat panu. Begitu juga dengan penggunaan peralatan dalam upacara tepung tawar yang berasal dari alam, yang semuanya itu termasuk dalam pemeliharaan lingkungan. Ketika tumbuh-tumbuhan tersebut masuk ke dalam perangkat upacara adat, artinya tumbuhan tersebut harus tetap tumbuh, supaya dapat dipergunakan. Hal ini menjadi kewajiban bagi orang Melayu untuk melestarikannya, walaupun tidak dilakukan oleh semua orang Melayu. Begitu juga dengan hidangan yang disajikan dalam pesta. Bahan bakunya harus tersedia seperti kelapa dan padi yang juga terdapat dalam sinandong tersebut sebagai komoditi penghasilan utama masyarakat Melayu Tanjungbalai selain dari hasil laut.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dalam kehidupan orang Melayu, etos kerja mereka telah diwariskan oleh orang-orang tua secara turun-temurun. Setidaknya masyarakat Melayu dahulu kala memiliki etos kerja yang lazim disebut semangat kerja yang tinggi yang mampu mengangkat harkat dan matrabat kaumnya dengan semboyan angin berombus layar terkombang (angin berhembus layar terkembang). Hal ini dijumpai di dalam sinandong didong yang mengingatkan kita kepada sejarah bahwa orang Melayu adalah pelaut yang ulung. Gagah perkasa mengarungi lautan, pantang menyerah dan putus asa walaupun hujan badai merintangi. Orang-orang tua mengingatkan bahwa dalam mencari peluang kerja, jangan memilih-milih. Maksudnya jangan mencari kerja yang senang saja, tidak mau bekerja berat. Hal itu bukanlah sikap orang Melayu yang ingin maju. Kerja yang perlu dipilih adalah kerja itu jangan ‗menyalah‘, maksudnya jangan menyimpang dari ajaran agama dan adat-istiadat. Keutamaan kerja tercermin pula dalam memilih menantu atau memilih jodoh. Orang yang belum bekerja, lazimnya dianggap belum mampu ‗menghidupkan anak bininya‘. Orang ini sepanjang dapat dielakkan, tidak akan dipilih menjadi menantu atau jodoh anaknya. Beberapa contoh di atas memberi petunjuk betapa orang Melayu sudah menanamkan nilai etos kerja dalam kehidupan masyarakatnya. Orang Melayu yang mendasarkan budayanya dalam agama Islam selalu memandang bahwa bekerja merupakan ibadah, kewajiban dan tanggung jawab. Bekerja sebagai ibadah merupakan hasil pemahaman orang Melayu terhadap alQuran dan Hadist. Selaras dengan itu terdapat beberapa ungkapan tentang etos



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang terdapat dalam sinandong dadong bahwa mereka rela pergi merantau meninggalkan keluarga demi mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ungkapan di atas mencerminkan bagaimana utamanya kedudukan kerja dalam pandangan orang Melayu Tanjungbalai. Orang yang mampu bekerja keras, dianggap bertanggung jawab, baik terhadap diri dan keluarganya maupun terhadap masyarakat, agama, adat-istiadat dan norma-norma sosial yang dijadikan pegangan dan sandaran. Sebaliknya orang yang malas, culas, dan memilih –milih kerja, disebut bebal dan tidak tahu diri. Masyarakat



Melayu



Tanjungbalai



mementingkan



nilai



bekerja



bersungguh-sungguh. Nilai ini juga sebahagian daripada ajaran agama Islam yang menuntut pekerjaan halal dan kesungguhan bekerja. Mengikut pemikiran ini, hasil pekerjaan akan menjadi sebahagian daripada darah daging dan juga keluarga. Apabila melakukan perkerjaan yang haram atau tidak melakukan pekerjaan dengan sempurna, dan perkara yang tidak baik akan berakibat pada diri sendiri dan keluarga. Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah SWT amat menyukai mukmin yang tekun dan teliti dalam menunaikan suatu pekerjaan. Masyarakat Melayu Tanjungbalai mementingkan perkara yang berkaitan dengan etika kerja. Hal ini berkaitan dengan etika kerja. Hal ini berkaitan dengan tata tertib, peraturan, agama dan adat istiadat. Orang tua Melayu menekankan kepada anak-anaknya supaya berhati-hati dalam bekerja dan mengambil keputusan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Mata pencaharian utama masyarakat Melayu Tanjungbalai adalah nelayan. Hampir seluruh laki-laki yang berada di desa ini menggantungkan hidupnya dengan hasil laut, meskipun penduduknya mempunyai mata pencaharian tambahan dengan berladang, buruh, dan jasa. Usaha kaum perempuannya bersifat industri rumah tangga, seperti membuat jaring ikan dan berjualan di depan rumah.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB VII MODEL REVITALISASI



7.1 Model Revitalisasi Malam Berinai Revitalisasi berarti nilai-nilai budaya lokal harus terus diperbaharui, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal ini berarti bahwa budaya lokal harus diberi nafas baru dalam menghadapi gelombang pengaruh kapitalisme dan budaya global. Tradisi lisan telah menjadi korban perubahan dari budaya global yang berdampak pada keterpurukan dan kepunahan berbagai warisan budaya lokal. Globalisasi memberi ruang terhadap penciptaan produkproduk budaya yang universal, sehingga produk-produk budaya lokal akan terserap di dalamnya. Globalisasi menjadikan universalitas sebagai tujuan utamanya sehingga menciptakan hegemonisasi budaya. Kemorosatan budaya lokal juga dipengaruhi oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat sekarang hanya tampil sebagai penikmat budaya ketimbang menjadi pelaku aktif, memandang tradisi lisan dari segi pragmatisme saja. Sikap pragmatis ini lebih jauh lagi memandang bahwa tradisi lisan ini bukan menjadi bagian dari hidup mereka. Tradisi lisan berfungsi sebagai alat komunikasi semata dengan mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya yang melekat pada tradisi lisan tersebut. Sebagai aktivitas kultural yang mengandung aspek estetika dan moral, tradisi lisan berfungsi berdasarkan atas kemampuan tradisi lisan tersebut dalam menyebarkan aspek-aspek moral dan etika yang terdapat di dalamnya. Fungsi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



revitalisasi tradisi lisan upacara malam berinai menggambarkan keterkaitan totalitas fungsi tradisi lisan dengan kehidupan masyarakat. Tradisi memiliki muatan normatif atau moral, yang merupakan pembentukan karakter pengikat masyarakat lokal. Tradisi terkait erat dengan proses interpretatif, di mana masa lalu dan masa sekarang saling terkait serta terhubungkan. Malam berinai berkaitan erat dengan pemahaman nilai-nilai moral yang diselenggaran berdasarkan aturan-aturan yang bersumber dari ajaran-ajaran adat masyarakat setempat, terkait dengan struktur dan dinamika sosial masyarakat Melayu. Tradisi ini berfungsi untuk tetap menjaga nilai-nilai yang terkandung dalam adat istiadat ataupun tradisi yang melekat pada masyarakat. Upacara malam berinai sebagai produk budaya lokal, fungsi sosial tradisi lisan ditujukan untuk membangun suasana kebersamaan yang berdampak positif pada penguatannya ikatan batin di antara sesama anggota masyarakat. Dengan demikian, bila dikatakan bahwa memudarnya tradisi lisan di masyarakat, merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial diantara mereka, dan sebaliknya. Perwujudan dari sistem budaya yang melekat pada masyarakat tradisional dapat menciptakan keseimbangan sosial (social equilibrium), melalui upaya pengendalian sosial (social control). Pentingnya lembaga-lembaga atau pun sarana pengendalian sosial, bergantung pada konteks sosiokultur di mana pengendalian sosial tersebut beroperasi. Efektifitas pengendalian sosial juga bergantung pada perubahan-perubahan sosial dan nilai-nilai dalam masyarakat. Tanjungbalai dengan karakteristik masyarakat dan budayanya yang berbeda dengan wilayah lain di nusantara, memiliki sturuktur adat yang bertumpu pada



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



adat Melayu. Konsep adat ini merupakan kebiasaan yang berlaku secara turuntemurun yang membentuk atau nilai-nilai yang dilaksanakan oleh masyarakat. Berdasarkan aturan kultural, norma, dan nilai-nilai tradisional, kehidupan sosial yang selaras dan harmonis dapat terwujud. Segala aturan yang bersumber dari nilai-nilai tradisional mampu menjadi perekat dalam membangun ikatan sosial masyarakat yang tercerai berai dalam alam perubahan yang ditimbulkan oleh globalisasi. Tata



nilai



kehidupan



masyarakat



tradisional



sifatnya



mengikat,



bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut masyarakat modern yang menuntut kompromistis dan kebebasan. Tata nilai ini bertujuan untuk melestarikan dan memelihara tatanan moral yang kuat pada masyarakat dan keberadaan kearifan lokal sebagai identitas masyarakat. Budaya



global



telah



memunculkan



sikap



yang



kompromistis,



individualistik, dan konsumtif. Nilai tradisional, yang mengacu pada tradisi, mulai tergantikan oleh sistem yang dihasilkan oleh budaya global. Melalui media massa, perubahan masyarakat yang tanpa arah akan mengancam integritas sosial, sistem normatif, dan keutuhan identitas lokal. Nilai-nilai tradisi lokal akan semakin jauh dari masyarakat. Perubahan pola hidup masyarakat tradisional tampak nyata dalam berbagai aspek kehidupan. Tata nilai yang bersumber dari adat istiadat tidak lagi mampu membendung terciptanya pola-pola hidup yang dianggapnya modern. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional akan berubah menjadi museum hidup (the living museum).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Revitalisasi



nilai-nilai



budaya



lokal



merupakan



langkah



untuk



memberdayakan budaya lokal dalam mengantisipasi tantangan zaman ke arah kehidupan masyarakat yang lebih baik, dalam arti tidak terikat dengan sifat ketergantungan pada globalisasi. Makna revitalisasi menunjukan hubungan antara identitas, inovasi, dan edukasi terhadap pembentukan ketahanan budaya. Penghargaan terhadap lokalitas akan memberikan ruang bagi pembentukan identitas lokal. Warisan budaya lokal harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Saat ini arus kapitalisme global semakin kuat, maka saat ini pula dirasakan mengecilnya peranan tradisi lisan di tengah masyarakat. Di balik proses pengerdilan itu tentunya bahasa dan sastra daerah ikut pula menyertainya. Tak berlebihan apabila dikemukakan bahwa akan terjadi pemudaran dan penghilangan seperangkat sistem kebudayaan lokal yang menjadi identitas masyarakat lokal. Tradisi lisan sarat dengan norma-norma yang mengatur tata hidup masyarakat. Proses inovasi harus tetap mempertahankan nilai-nilai tradisi yang terdapat didalamnya. Inovasi membuka peluang terhadap pemahaman warisan tradisi masa lalu yang mampu menjawab persoalan kekinian yang terus berubah tanpa dapat dihindari. Inovasi ini menuntut perubahan, baik dimanfaatkan yang lama atau dalam bentuk yang lain, tanpa menghilangkan tipikal tradisi lisan tersebut. Proses inovasi tradisi lisan harus lebih berkembang dalam rangka menanamkan sikap positif masyarakat dalam berprilaku. Inovasi dapat pula memberikan wadah bagi penyaluran nilai-nilai moral dan etika yang dapat menuntun ke arah yang lebih bermakna. Warisan budaya lokal berupa tradisi lisan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mampu hadir di tengah-tengah masyarakat, sebagai solusi alternatif, dalam mengatasi persoalan-persoalan pelik yang melanda tanah air. Tradisi lisan terbukti mampu melintasi zaman dan terbukti mampu memberikan solusi berbagai persoalan. Sadar budaya harus ditumbuhkan kembali untuk menanamkan pemahaman akan pentingnya kedudukan dan fungsi warisan budaya lokal. Kesadaran budaya yang tinggi dapat menimbulkan pengaruh positif masyarakat dalam menilai keberadaan warisan budaya yang dimilikinya. Penilaian itu berkaitan dengan apresiasi, tanggapan ataupun penerimaan warisan budaya sehingga tidak mudah tergiring oleh gelombang globalisasi. Masyarakat Melayu Tanjungbalai mengalami perubahan pola hidup dan gaya hidup, yang sudah meninggalkan nilainilai tradisional yang dianut masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak akan lagi memiliki ketahanan budaya jika tidak mencari solusi alternatif dalam membendung perubahan zaman yang bergerak sangat dinamis. Ketahanan budaya dapat tercipta jika masyarakat berperan aktif dalam segala aktivitas kultural. Ketahanan budaya dapat dirumuskan sebagai rasa memiliki jatidiri dan kekuatan budaya sendiri, sehingga dengan begitu tidak perlu merasa rendah diri jika berhadapan dengan kebudayaan lain. Untuk mencapai ketahanan budaya, diperlukan pengetahuan untuk memahami serta menghayatinya, dan pengetahuan itu perlu disampaikan dengan sengaja melalui upaya terarah dan terencana. Dengan membangun ketahanan budaya, masyarakat akan mampu mempertahankan budayanya sendiri dan merespon berbagai gejolak globalisasi. Tanpa upaya yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan, masyarakat akan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kehilangan produk budaya lokal yang tak ternilai harganya. Kesadaran budaya harus ditumbuhkan untuk memberikan apresiasi terhadap budaya-budaya lokal, yang selanjutnya mengarah pada ketahanan budaya. Hal ini hanya dapat terwujud melalui revitalisasi budaya-budaya lokal yang berlandaskan pada konteks lokal. Tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai sudah mulai kehilangan pendukungnya seiring dengan berkurangnya kesadaran masyarakat Melayu Tanjungbalai untuk memakai adat tersebut. Pada masa sebelumnya, masyarakat adalah pencipta, pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari tradisi tersebut. Masyarakat Melayu Tanjungbalai dengan tulus menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan biaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan tradisi tersebut. Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap tradisinya dengan demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki, dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana. Kesadaran ini harus dibangkitkan kembali. Sebagian besar masyarakat Melayu Tanjungbalai sudah meninggalkan adat tersebut karena alasan biaya yang besar. Mereka lebih memilih kepada bentuk yang ringkas saja dalam melaksanakan upacara adat perkawinan. Untuk mengaktifkan kembali tradisi malam berinai maka perlu kerja sama antara pemuka adat, masyarakat Melayu, dan



pemerintah untuk mensosialisasikan



bahwa adat Melayu harus dijunjung tinggi dan memungsikan kembali tradisi malam berinai sebagai wadah untuk bersilaturrahmi bagi pihak keluarga. Untuk



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mengatasi masalah keuangan bisa ditempuh dengan mebuat arisan keluarga sehingga upacara ini dapat terus berlangsung. Dalam hal pengelolaan yang perlu mendapat perhatian untuk direvitalisasi adalah pewara. Dari dua penyelenggaraan malam berinai ini, pewaranya hanya satu orang saja. Jadi, perlu dilatih generasi mudah untuk menjadi pewarah dalam acara tersebut. Kemudian, dari segi waktu. Acara ini dimulai terlalu lama sehingga menyita waktu bagi tuan rumah, sehingga pada keesokan harinya tuan rumah dan pengantin terlihat lelah dan bahkan ada yang jatuh sakit. Pengelolah juga harus mempromosikan tradisi malam berinai ini. Hal ini tentu saja harus bekerja sama dengan Pemda setempat. Pemerintah harus memberikan fasilitas kepada pengelolah agar tradisi ini dapat terus berlangsung. Sedangkan untuk model pewarisannya adalah menyederhanakan upacara malam berinai ini. Penyederhanaannya ini berupa mempersingkat waktu pelaksanaan. Biasanya pelaksanaannya sampai menjelang fajar, sekarang pelaksanaannya hanya sampai pukul 1. 00 WIB saja. Acara yang disederhanakan biasanya adalah kasidah dan nandong. Kasidah dilagukan sebanyak empat atau lima buah dengan irama Sikkah dan Hijas, kemudian disambung dengan nandong sebanyak empat atau lima sinandong. Sinandong tersebut biasanya dimulai dengan Sinandong Mengonang Naseb dan diakhiri dengan Sinandong Hiburan. Penyederhanaan acara juga bisa dilakukan dengan tidak menampilkan kasidah. Jadi, setelah pembacaan doa, maka acara dilangsungkan dengan hiburan yaitu nandong dan diselingi beberapa tarian. Jika waktu sudah menjelang malam, maka tarian juga bisa ditiadakan. Untuk teknis penyederhanaan ini, tidak ada



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



aturan yang mana yang harus disederhanakan. Jadi, tergantung kepada tuan rumah, mana yang ingin tampilkan. Pada kasus malam berinai di rumah Fida, yang disederhanakan adalah kasidah. Mereka lebih fokus kepada sinandong dan tari. Sedangkan pada upacara malam berinai di rumah Liza, yang disederhanakan adalah tari dan nandong. Mereka hanya menari Tari Gubang saja dan group kasidah menyanyikan sinandong sebanyak lima buah. Inventarisasi tradisi malam berinai berhubungan dengan pencatatan atau pengumpulan data tentang kegiatan malam berinai. Sedangkan publikasi adalah membuat konten yang diperuntukkan bagi publik atau umum. Publikasi juga berhubungan dengan hak cipta bagi masyarakat penciptanya yang merupakan hak ekslusif yang diberikan untuk mempublikasikan hasil karyanya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan berikut ini, Model Revitalisasi Malam Berinai



Mengaktifkan



- Mensosialisasikan budaya adat Melayu - Memungsikan kembali malam berinai sebagai ajang untuk bersilaturrahmi - Membentuk arisan keluarga



Mengelolah



- Mengelolah waktu - Pelatihan untuk pewara - Mempromosikan kepada masyarakat



Mewariskan



- Menyederhanakan upacara malam berinai - Menginventarisasi - Publikasi



Bagan 7.1 Model Revitalisasi Tradisi Malam Berinai pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



7.2 Model Revitalisasi Sinandong Keprihatinan terhadap kehidupan seni tradisional semakin hari semakin meredup telah menggugah hasrat dari berbagai pihak untuk melakukan kegiatan revitalisasi kesenian. Kegiatan tersebut telah menghabiskan tenaga, waktu, pemikiran dan dana yang luar biasa. Beberapa diantaranya berhasil, namun sebagian besar kegiatan revitalisasi belum menujukkan hasil yang memuaskan. Masalah revitalisasi kesenian memang bukan masalah yang sederhana. Ketersediaan fasilitas dan dana yang melimpah belum menjamin keberhasilan dari usaha revitalisasi. Masalah kehidupan kesenian, termasuk kesenian tradisi memang kompleks. Masalah kesenian bukan semata mata masalah estetik belaka, tetapi juga masalah yang lebih luas menyangkut masalah sosial, budaya, dan yang lainnya. Kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat dan lingkungannya. Ketika situasi dan kondisi masyarakat dan lingkungannya berubah dari waktu ke waktu, kehidupan kesenian kemungkinan besar juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan masyarakat dan lingkungannya. Berikut ini adalah hanya salah satu contoh kasus perubahan sosial tersebut, yang dampaknya cukup besar terhadap perkembangan kehidupan kesenian tradisional. Mulai beberapa dekade belakangan ini, pola hidup masyarakat desa mengalami perubahan yang signifikan sehubungan dengan adanya perubahan disain hunian dan lingkungan mereka. Perubahan pola hidup tersebut antara lain dapat dilihat pada perubahan pola kehidupan kampung yang bergeser ke pola kehidupan perumnas, real estate, dan apartemen. Selain konsep ruang yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berubah yang relatif menjadi lebih sempit dan tertutup, juga penduduknya menjadi semakin heterogen, baik dilihat dari asal etnik, daerah, pendidikan, pekerjaan dan tingkat kemampuan ekonomi mereka. Kebutuhan, kepentingan dan selera mereka juga sangat bervariasi. Sungguh suatu kondisi yang kurang menguntungkan bagi kehidupan kesenian tradisional yang biasanya didukung oleh masyarakat yang relatif homogen, masyarakat yang memiliki kepentingan dan kebutuhan yang sama. Pencukupan kebutuhan dan kepentingan tersebut dilakoni bersama dengan cara bekerja sama. Kesenian tradisional hadir dan diperlukan dalam hampir setiap kegiatan, pekerjaan dan untuk kepentingan mereka. seperti: bekerja, bersyukur, beragama, bersenang senang maupun dalam duka (sakit atau bahkan mati). Bukan satu hal yang baru bahwa masyarakat menjadi lebih individual, dalam bermain, bekerja maupun dalam memilih hiburan atau kesenian. Dalam persaingan global seperti sekarang ini, kesenian yang memiliki akses yang lebih baik pada masyarakat, cenderung untuk mendapat kesempatan lebih baik untuk dikenal, dikonsumsi dan pada gilirannya bahkan mendominasi kesenian yang lain. Kesenian yang memiliki akses yang baik adalah kesenian yang mengusai atau yang dikuasai media dan atau industri. Kesenian jenis ini aktif mendatangi rumah-rumah bahkan kamar-kamar lewat radio, televisi maupun produk industri rekaman. Selera masyarakat dibentuk oleh industri dengan berbagai cara: sistem bintang, gosip seniman, sms, kuis berhadiah, dan sebagainya. Tidak penting apakah kesenian tersebut berguna bagi masyarakat tertentu atau tidak. Kesenian yang tidak masuk dalam selera produser industri sulit



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



mendapat tempat di pasar. Terjadilah jarak antara kesenian tradisi dengan masyaratnya yang baru. Kesenian tradisi dalam bentuknya yang ―asli‖ semakin kehilangan masyarakat yang mendukungnya. Suatu jenis kesenian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya karena lebarnya jarak atau kesenjangan antara kesenian dengan masyarakatnya. Jarak tersebut menurut Rahayu Supanggah (http://tradisilisan.blogspot.co.id/2008/04/) meliputi : a. Jarak fisik. Seperti telah disebut sebelumnya bahwa sekarang ini terdapat perubahan



paradigma



dalam



cara



menikmati,



menonton



atau



mendengarkan kesenian. Sekarang ini kesenian cenderung mendatangai konsumennya, penonton atau pendengar (sampai masuk ke dalam kamar, kekantor kantor atau di mana saja konsumen berada, lewat mesin berjalan dalam bentuk cd/dvd/audio walkman, maupun lewat media cetak dan atau elektronik. Hal yang berbeda dengan cara menikmati kesenian pada masa sebelumnya



yang



penonton/pendengar



mesti



datang



ke



tempat



diselenggarakannya pertunjukan atau pameran kesenian dengan atau tanpa membayar tiket. Harus diakui bahwa sampai saat ini masih susah didapati rekaman audio visual tentang kesenian tradisi yang tersedia di pasar maupun yang ada di perpustakaan dan dokumentasi audio visual. b. Jarak intelektual. Walaupun kesenian pada dasarnya multi interpretasi, artinya, orang boleh memberi tafsir yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lain. Atau dalam pengertian yang lebih ekstrem orang tidak perlu mengerti atau memahami dalam menonton/ mendengarkan karya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



seni, tetapi lebih pada merasakan, menikmati atau menghayati suatu karya seni. Namun perlu dicatat juga bahwa semakin baik pemahaman seseorang terhadap suatu ekspresi seni, ia akan dapat menghayati suatu kesenian dengan lebih baik pula. Kesenian pada dasarnya merupakan sarana komunikasi antara seniman dan penghayatnya. Terdapat beberapa bahasa atau idiom tertentu yang digunakan oleh seniman untuk menyampaikan pesan kepada khalayaknya. Kemampuan intelektual dalam kadar dan bentuk tertentu dari kedua belah pihak, terutama pada pihak seniman sangat penting dalam menciptakan dan atau menjembatani komunikasi antara kedua belah pihak. Untuk seniman, terutama pencipta, kemampuan intelektual



sangat



menunjang



dalam



kreativitas



kekaryaannya.



Perkembangan jaman yang cepat seperti yang terjadi sekarang ini, dimana ilmu pengetahuan dan teknologi sangat besar peran dan pengaruhnya terhadap dunia kesenian, baik untuk menunjang bentuk dan kualitas kekaryaan, juga dalam rangka pengambangan kesenian. Teknologi pencahayaan, set maupun tata suara merupakan salah satu contoh kebutuhan yang hampir tidak dapat dipisahkan dalam penyajian penyajian kesenian. Sedangkan diseminasi, alih kemampuan dan ketrampilan, sosialisasi, publikasi, dokumentasi, pemasaran kesenian dan sebagainya, bantuan produk teknologi jelas sangat dibutuhkan. Sayangnya, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian terbesar dari pendukung kesenian tradisional di Indonesia pada umumnya memiliki latar belakang pendidikan yang tidak terlalu tinggi. Meskipun belum ada hasil penelitian



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang menyebut adanya korelasi sejajar atau seiring, bahwa tingkat pendidikan



seseorang



selalu



mencerminkan



tingkat



intelektualitas



seseorang. Namun tidak dipungkiri bahwa pendidikan sangat besar perannya dalam mengasah kemampuan intelektual dari seseorang. Dengan bekal pengetahuan yang lebih tinggi dan atau luas, seseorang juga berepotensi untuk lebih cerdas dalam menggunakan berbagai cara dalam memberi, menerima dan mengelola (me-manage) informasi. c. Jarak informasi. Ketika kita berada dalam abad informasi, siapa yang paling menguasai informasi, mereka pulalah yang paling potensial untuk menguasai dunia. Sayangnya lagi, masyarakat kesenian tradisional masih jauh dari menguasai teknologi informasi dan komunikasi disebabkan oleh tingkat pendidikannya. Sebagian besar dari mereka masih gagap teknologi komunikasi dan informasi. Sebagian besar dari mereka menggunakan komunikasi lisan dalam memberikan atau menerima informasi. Sedangkan ajang pertukaran informasi, termasuk mengenai informasi tentang kesenian itu sendiri, seperti pasar tradisional, upacara, hajatan dan berbagai pertemuan keluarga atau masyarakat, saat ini juga semakin surut. Supermarket, EO (event organiser) telah mengambil alih kerepotan hajatan



atau



kerja



kebersamaan



antaranggota



masyarakat



dalam



menyiapkan dan menyelenggarakan hajatan. Demikian pula acara kumpul kumpul bareng. Hajatan keluarga saat ini juga cenderung makin ringkas, praktis dan pendek. kesempatan tukar informasi antar anggota masyarakat dengan demikin menjadi semakin menyempit. Media masa, tulis maupun



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



elektronis, juga tidak berpihak kepada kesenian tradisonal karena dianggap tidak memiliki nilai jual, sehingga masyarakat pada umumnya kurang mendapat informasi yang baik dan benar tentang kesenian tradisi. Sebaliknya informasi tentang dunia seni pop atau hiburan justru sangat berlebihan. d. Jarak emosional. Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu berlaku juga dalam kaitannya dengan kehidupan seni tradional. Kesenjangan informasi tentang dunia kesenian tradisi, menjadikan masyarakat semakin tidak tahu tentang kesenian tradisional. Apalagi secara natural, kekuatan kesenian ini bukan semata mata pada ujud fisiknya saja yang menarik atau indah, namun lebih pada makna yang terkandung pada kesenian yang bersangkutan serta guna dan manfaatnya bagi masyarakat. Beberapa makna dan guna kesenian itu antara lain dapat disebut bahwa kesenian bermanfaat sebagai perekat kehidupan masyarakat, sarana edukasi moral, mendekatkan manusia dengan lingkungan serta penciptanya dan sebagainya. Komunikasi dalam kesenian sangat penting untuk mendekatkan anggota masyarakat dengan sesama, dengan lingkungan maupun kepada Sang Pencipta. Komunikasi kesenian menggunakan bahasa lambang yang kadang ―hanya‖ berlaku dan dimengerti oleh lingkungan (kelompok) masyarakat pendukung kesenian ini. Pengertian terhadap pemaknaan lambang pada kesenian tradisi ini semakin menipis karena pertemuan dan komunikasi antar anggota keluarga dan masyarakat juga semakin



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



berkurang karena perubahan pola hidup. Diantara anggota keluarga sudah semakin jarang ketemu karena kesibukan masing-masing disamping tidak tersedianya forum. Dongeng oleh orang tua untuk menidurkan anak sudah semakin langka. Kesenjangan pengertian ini sekali lagi menjadikan orang menjadi kurang sayang, kurang mencintai, kurang memiliki rasa memiliki (sense of belonging) dan dengan demikian menjadi kurang peduli dan tanggung jawab untuk memelihara atau mengembangkan kehidupan kesenian tradisional. Pada masa sebelumnya, masyarakat adalah pencipta, pelaku, pengguna sekaligus pemilik dari kesenian tradisi. Masyarakat dengan tulus dan ikhlas, berkenan menyediakan waktu, tenaga, pikiran dan biaya demi mendukung keberadaan serta pengembangan kesenian mereka. Kebutuhan sekaligus dukungan masyarakat terhadap keseniannya dengan demikian dilandasi oleh rasa cinta, tanggung jawab, rasa memiliki, dedikasi dan komitmen yang tinggi, termasuk berbagai pengorbanan dalam berbagai hal, waktu, tenaga, pikiran dan dana. Kesenjangan jarak jarak antara masyarakat dengan beberapa jenis kesenian yang semakin hari semakin lebar tersebut, sebenarnyalah merupakan salah satu penyebab pokok mengapa beberapa jenis kesenian menjadi surut bahkan mati. Dengan demikian, revitalisasi kesenian diharapkan akan berhasil jika, pemerintah, masyarakat, seniman, sponsor, media dan berbagai pihak lainnya bekerja sama untuk mempersempit atau mengilimasi jarak-jarak tersebut. Masing masing pihak bisa mengambil bagian sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Banyak uang dan fasilitas belum cukup untuk keberhasilan revitalisasi kesenian.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Seniman sebagai pelaku dan pencipta seni dapat mengambil peran yang cukup besar dalam revitalisasi, terutama melalui kegiatan kreatifnya dengan melakukan kegiatan-kegiatan reformasi memberi format baru, reinterpretasi memberi makna baru terhadap kesenian yang sama, serta rekreatifnya, yaitu menciptakan bentuk kesenian baru berbasis dan atau dengan menggunakan materi lama dalam genre kesenian yang baru. Bersama dengan pihak lain yang merupakan partner kerja, saling bekerja sama dengan mengilimasi kesenjangan jarak tersebut. Dengan membuat kesenian lebih indah dan bermakna, mudah mudahan kesenian makin memiliki fungsi yang makin luas sehingga lebih berguna bagi kemaslahatan manusia. Kesenian selain memberi hiburan lahiriah dan batiniah, ia juga mampu memberi kebanggaan terhadap masyarakat atau bangsa yang menghidupinya, karena ia memang mampu merefleksikan sifat masyarakat tertentu dalam bentuk sebuah kemasan seni yang artistik dan bermutu. Melihat kesenjangan masyarakat terhadap kesenian tradisional seperti itu, berbagai pihak sekarang ini semakin tergerak hatinya untuk melakukan revitalisasi terhadap kehidupan kesenian kesenian yang dianggap kehidupannya dalam keadaan bahaya. Kesenian yang mulai ―kehilangan‖ masyarakatnya karena kesenian tersebut telah kehilangan fungsinya di masyarakat. Pada masa lalu tradisi lisan, seperti Sinandong Asahan, masih punya penggemar karena tidak ada alternatif hiburan lain. Sekarang dengan perkembangan teknologi, Sinandong Asahan jadi tidak laku. Nilai-nilai masa kini adalah dinamis. Nilai masa lalu yang ada pada Sinandong Asahan berubah. Sinandong Asahan hanya bisa dihidupkan melalui revitalisasi. Caranya,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



memperkenalkan sinandong ini kepada masyarakat dengan membuat festifal sinandong. Membuat group sinandong yang terdiri dari personil muda mudi. Kemudian, membuat group sinandong yang lebih modern sehingga disukai oleh masyarakat umum. Pembelajaran sinandong di sekolah sebagai muatan lokal, juga bisa dipakai sebagai sarana revitalisasi senadung, tentu saja dengan dukungan Pemda setempat. Selain itu, ada satu model revitalisasi yang menurut peneliti efektif untuk dikembangkan. Model ini peneliti namakan ―campur sari‖. ―Campur sari‖ bermakna bahwa dalam pementasan keyboard atau kasidah sebagai hiburan di dalam pesta perkawinan ataupun hajatan lainnya, syair-syair sinandong dapat disisipkan. Dengan demikian sinandong ini tetap masih dikenal oleh masyarakat walaupun sifatnya hanya sebagai hiburan. Adapun syair-syair sinadong yang dapat disisipkan dalam pementasan tersebut adalah sinandong mengonang naseb, sinandong hiburan, didong, dadong, dan sinandong muda-mudi. Revitalisasi tidak hanya menyangkut dipentaskannya kembali Sinandong Asahan dalam berbagai festival, tetapi juga harus menyentuh aspek bagaimana mengemas kembali Sinandong Asahan tersebut dalam format yang lebih atraktif sehingga layak untuk bersaing dengan berbagai budaya populer saat ini. Dari sudut pandang kebudayaan, tradisi lisan sebagai salah satu unsur kebudayaan, akan berubah, bahkan unsur yang paling mudah berubah (koentjaraningrat: 1991). Dalam perubahan ini sangat mungkin ada genre yasng tidak mampu mengikuti perubahan itu lalu pudar dan punah. Akan tetapi ada



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



genre yang terus dapat hidup, yaitu genre yang mempunyai ruang untuk menyesuaikan diri dengan rentak kehidupan jaman. Sejak penghujung abad ke-20, ada kesadaran menghidupkan kembali kesenian tradisional dengan cara memeperkenalkannya kepada anak-anak. Ketika itu diketengahkan istilah lestari, melestarikan, dan dilestarikan. Artinya, keseniankesenian daerah itu, sebagai budaya bangsa harus dilestarikan, dipelihara, dan dihiupkan selalu. Dalam perkembangannya, pelestarian kerap bermakna memelihara dalam keadaan asalnya. Kemudian timbul gagasan revitalisasi. Kebudayaan lama dan tradisi lisan direvitalisasi, dihidupkan, dipertunjukkan, diberi nuansa baru yang sesuai dengan kehidupan jamannya, dibawa ke pestival, diajarkan di sekolah atau di lembaga-lembaga pelatihan seni, dijelaskan dan disosialisasikan kepada publik. Pelestarian ataupun revitalisasi membuat tradisi lisan tetap ada, dikenal oleh masyarakat, bahkan pada suasana dan era pariwisata ini, sinandong dikenal oleh kalangan yang lebih luas. Demikianlah tradisi lisan dilihat dan disaksikan oleh orang dari luar khalayak asalnya. Satu fenomena yang harus diapresiasi adalah upaya seniman modern untuk membawa tradisi lisan ke dalam dunia modern, yaitu sinandong diarasemen dengan musik modern lalu dibawakan kepada khalayak masa kini. Ini adalah salah satu cara menghadapi tantangan yang datang terhadap sastra lisan. Kemasannya, baik dalam bentuk kaset atau cd adalah masalah teknis. Masalah prinsipnya adalah membawakan kesenian tradisi, kepada khalayak masa kini melanjutkan keberadaan sastra lisan, senantiasa memelihara, dan mencari khalayak sastra itu.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Berbagai kegiatan revitalisasi kesenian sinandong dapat dilakukan antara lain dalam bentuk : 1.



Refungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau memberi fungsi yang baru terhadap kesenian yang direvitalisi, sehubungan dengan aktivitas lama yang biasanya menggunakan jasa kesenian yang dimaksud, sudah tidak eksis atau tidak berlangsung lagi. Refungsionalisai yang sering dilakukan adalah mengembangkan, menambah atau mengubah fungsinya yang lama dengan fungsinya yang baru. Contoh seperti kesenian yang dulunya digunakan sebagai bagian dari kegiatan upacara, nyanyian untuk kerja, kemudian ditambah atau berubah menjadi seni pertunjukan, komoditas ekonomi atau pariwisata, sarana hiburan dan atau memenuhi fungsi terapan lainnya seperti sebagai alat promosi suatu produk dan atau kampanye suatu program atau tujuan lain dari suatu lembaga tertentu.



2. Representasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekuensi maupun dalam ujud, forum atau konteks yang bervariasi. Sebagai contoh adalah peristiwa festival kesenian yang sampai saat ini diselenggarakan dimana-mana dengan mementaskan beberapa jenis seni rakyat maupun tradisional. Dengan diadakannya festival, sinandong bisa tetap lestari. 3. Reformasi, yaitu perubahan format atau bentuk penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru. Isi, makna dan massage/pesan yang ingin disampaikan oleh kesenian yang direformasi kemungkinan bisa juga berubah. Pemahaman tentang esensi dari suatu kesenian tetap menjadi hal yang sangat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



penting sehingga dalam melakukan reformasi tidak menjadikan sebuah kesenian kehilangan maknanya. Selain tetap menggunakan vokabuler dan kekayaan lama, koreografer juga memperluas, memperkaya karyanya dengan menggunakan unsure-unsur budaya baru, ciptaan baru maupun yang ―dipinjam‖ dari budaya luar, sehingga tercipta bentuknya yang baru. 4. Reinterpretasi, upaya lain yang diperlukan adalah menjadikan sinandong menjadi salah satu topik pembicaraan di sekolah dengan cara melihat pertunjukannya. Anak-anak sekolah adalah generasi masa depan bangsa. Mereka perlu tahu apa yang mereka miliki sebagai bangsa yang memiliki sejarah kebudayaan, sehingga jika menjadi wakil negara ini berhadapan dengan wakil negara lain, ia dapat menjelaskan apa yang dimiliki dan apa yang datang dari luar. Jadi, untuk kebertahannya, ada upaya ataupun ruang dari dalam sinandong itu sendiri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman dan upaya dari luar tradisi tersebut, misalnya upaca dari seniman modern di daerahnya, upaya dan



dukungan



pemerintah,



dan



lembaga-lembaga



yang



mengelolah



kebudayaan. 5. Reorientasi. Kesenian tradisional kehadirannya hampir selalu tidak mandiri, namun hampir selalu terkait dengan kegiatan keseharian masyarakat, keagamaan atau kerajaan. Pemerintah adalah patron utama. Ketika pemerintahan bergeser dari monarki ke republik, orientasi kesenianpun bergeser mengarah patronnya yang baru. Ketika ekonomi dan industri menjadi patron baru dari kesenian, tak pelak kesenian juga akan berorientasi kesana.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Orientasi kesenian tersebut tersirat dalam pesan-pesan yang disampaikan oleh seniman seniman melalui kekaryanya. Oleh karena itu, hendaknya sinandong dijadikan sebagai kesenian negara, artinya setiap ada kegiatan pemerintahan daerah, sinandong harus dipertunjukkan sebagai ikon Tanjungbalai. 6. Modifikasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru. Kesenian atau informasi lama digunakan sebagai sumber, pijakan atau titik tolak untuk penciptaan kesenian yang baru, baik dalam format maupun dalam genre. Idiom ungkap kesenian baru juga sangat dipertimbangkan kalau bukannya penting untuk diciptakan. Dalam produksi kekaryaan seni, pekerjaan ini sering disebut sebagai karya yang dibuat base on atau inspired by sesuatu yang dirujuk sebagai pijakan pembuatan karya seni yang baru. Versi baru (new version) juga sering digunakan dalam kegiatan re – kreasi kesenian ini. Kekinian juga dapat dilihat pada instrumen pengiring. Di sini, yang dimaksud dengan penggunaan istrumen modern, atau pun penggabungan instrumen lain dari yang secara tradisional digunakan. Sinandong yang selama ini mengunakan instrumen berupa seruling, gendang, dan biola, tetapi dalam perkembangan akhir-akhir ini sinandong digabungkan dengan instrumen lain, seperti keyboard. Seiring dengan hal itu, irama pendendangannya pun berkembang, tidak lagi sekedar lagu tradisional, tetapi sudah dimodifikasi atau termodifikasi sesuai dengan melodi instrumennya. Irama yang paling banyak digunakan adalah irama dangdut. Sementara itu teksnya pun bermacammacam, tetapi umumnya tentang kehidupan sehari-hari, merespon keadaan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sosial ekonomi, menyatakan hati yang sedih, atau menyesal tentang keadaan hari ini. Prinsipnya amanat disampaikan dengan cara bergurau. Ada kecendrungan bahwa kesenian tradisional tersisih dari kehidupan orang muda. Alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa generasi muda kita beralih ke kesenian modern dengan beragam alternatif dan dapat diakses dengan cara yang sangat mudah. Selain itu, sesungguhnya pendidikan tidak memberi ruang untuk apresisiasi kepada kesenian tradisional.tidak hanya kesenian, bahkan semangat kebangsaan pun terkesan belum terbangun dengan baik dalam dunia pendidikan. Hal ini sudah menjadi kegundaan nasional. Jadi, kalau anak-anak muda jauh dari tradisi petrtamanya, dapat dimengerti. Khalayak yang menghidupi sastra lama biasanya dalah masyarakat pertama sastra itu, artinya orang masih hidup di kampung pertama kesenian itu. Paling tidak, secara historis pernah menikmati sastra itu. Sebagain besar mereka sudah tua, sebagian yang lain orang muda.akan tetapi yang perlu diingat adalah ketika suatu genre kesenian disesuaikan dengan kekinian masyarakatnya, tidak berarti bentuk yang lama atau yang asli hilang. Bentuk yang lama tetap ada khalayaknya, ada senimannya, dan hidup berdampingan dengan yang baru. Kekinian dalam seandung dapat dipandang dari sudut yang lain atau dengan cara yang lain, yaitu bahwa hal ini merupakan upaya untuk mempertahankan sastra lisan, sastra yang tradisional, tradisinya orang kampung. Di pihak lain, adalah realitas bahwa sekarang demikian banyak hiburan alternatif dan mudah diakses di mana saja, disertai dengan berbagai artis dengan berbagai gaya. Hal ini menjadi pedoman gaya (role model) dan mejadi identitas kemoderenan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Itulah kondisi yang harus dilawan oleh seniman tradisional. Keadaan seperti ini hampir menjadi pada sdetiap genre sastra lisan di tiap daerah. Langkah langkah yang disebut diatas merupakan sesuatu yang dapat dan biasa dilakukan oleh berbagai pihak yang melakukan revitalisasi: lembaga pemerintah, swasta, juga seniman baik praktisi maupun pencipta. satu hal yang lebih penting, yaitu belum banyak pihak yang melakukan diagnosa penyebab kesenian tertentu menjadi sakit. Masyarakat, terutama kamu muda, harus dikenalkan kembali dengan khasanah tradisi lisan. Dalam berbagai kegiatan pribadi maupun publik, tradisi lisan sudah harus kembali ditampilkan, walaupun mungkin untuk tahap awal hanya merupakan selingan. Dengan berbagai modifikasi dan pelatihan yang memadai, tradisi lisan masih bisa berharap untuk eksis di tengah masyarakat. Masyarakat sesungguhnya masih memiliki memori tentang masa lalu mereka. Namun, karena kesibukan dan perubahan zaman, masyarakat menjadi abai dengan warisan leluhur yang sesungguhnya memiliki begitu banyak ajaran moral dan tuntunan kehidupan. Dekadensi moral seperti saat ini, salah satunya disebabkan karena masyarakat sudah ‖kehilangan‖ nilai-nilai moral yang harus mereka anut. Tradisi lisan dengan kearifan lokalnya dapat menjadi penawar dahaga di tengah lautan kehidupan yang semakin gersang seperti saat ini. Secara sederhana model revitalisasi kearifan lokal tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah ini.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sinandong



Pelestarian Tradisi Sinandong: 1. Refungsionalisasi 2. Representasi 3. Reformasi 4. Reinterpretasi 5. Reorientasi 6. Modifikasi



Lisan



1. Sanggar 2. Balai Adat 3. Sekolah



Praktik tradisi



1. 2. 3. 4.



Acara Perkawinan Acara Khitanan Pesta Budaya Festival



Bagan 7.2 Model Revitalisasi Sinandong pada Masyarakat Melayu Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB VIII CITRA ARKETIPE DALAM SINANDONG ASAHAN



8.1 Analisis Bentuk Sinandong Didong adalah ikon dari syair nelayan. Pada awanya syair ini digunakan oleh para nelayan yang pergi ke laut untuk menangkap ikan. Mereka melagukan syair ini untuk menghibur hati. Menurut mitos, didong ini adalah asal mula atau nenek moyangnya sinandong. Menurut kisah, ada tiga orang nelayan yang sedang menangkap ikan ke laut. Perahu mereka terombang-ambing oleh angin kencang yang tiada mengenal belas-kasihan terhadap sang nelayan yang hampir kehabisan bekal. Dari kejauhan terdengar suara berisik, dahan kayu yang bergerak dipukul angin dan suara air yang tak henti-hentinya berdebur di timba ruang perahu. Dengan rasa kecut, mereka berpikir tidak akan sampai lagi ke laut. Kalaulah diteruskan mereka akan mati kelaparan. Di dalam rasa gundah-gulana mencekam diri mereka, Si Haluan duduk memegang bagese (seruling yang dibuat yang dibuat dari bambu). Ia mulai meniup bangsinya, menirukan suara angin dan suara gesekan kayu dari kejauhan. (Kata "bagese" akhirnya berubah menjadi bangsi) sedangkan si Timba Ruang terus saja menimba air yang hampir saja memenuhi sampan itu. Seorang lagi yang duduk di buritan mulai putus asa karena kemudi sampan itu hampir-hampir tidak dapat lagi dikendalikannya. Tiba-tiba angin kencang itu mulai reda dan berhenti berhembus. Mereka terkatung-katung dibuai oleh ombak yang sekali-sekali mengangkat sampan mereka itu setinggi-tingginya dan menghempas kembali



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dengan tiada ampunnya. Si Buritan memekik sekuat-kuatnya memanggil dan memuja angin meminta pertolongan. Lagu ini akhirnya dinamai lagu Didong seperti contoh berikut ini: Ooooooooooiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii Bertelur kau sinangin Bertelur sepanjang pantai Berhombuslah kau angin Supaya lokas kami sampai Sekonyong-konyong



angin



mulai



berhembus



dan



mereka



mulai



mengembangkan layarnya untuk kembali ke darat. Oleh sebab itu, lagu Didong merupakan ikon dari lagu memanggil angin. Ditinjau dari pemilihan kata yang terlihat dalam lirik didong



di atas



dapat dilihat bahwa didong ini mengambil bentuk dari pantun yang bersajak abab. Dua baris pertama merupakan sampiran dan dua baris berikutnya merupakan isi. Jika diringkaskan maka sinandong ini alan terlihat seperti pantun berikut, Betolurlah kau senangin Betolurlah sepanjang pantei Berombuslah kau angin. Supayo copat kamilah sampei.



Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooiiii Bacong tecacak di haluan Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan.



Bukanlah bacong sembarang bacong



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Ka ka pariuk di ranting kayu Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru Kata kunun, baya, nandong, sinandong Asahan, merupakan simbol yang menjadi ciri khas dalam bahasa Melayu Tanjungbalai dan sekitarnya10. Di sini jelas terlihat bahwa yang menciptakan syair ini adalah orang Melayu Tanjungbalai dan sekitarnya. Begitu juga dengan kata anak bayo, intan payung, sayang, cek, tuan merupakan kata sapaan dan penghormatan bagi orang yang disayangi atau dituakan dan kata tersebut hanya dijumpai dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. Kata-kata yang digunakan dalam didong ini, pada umumnya sama dengan kata-kata yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun demikian, penciptanya sadar bahwa penggunaan dan penempatan kata-kata dalam didong tersebut dilakukan secara hati-hati dan teliti. Kata yang dipilih mampu mengemban fungsi yang diharapkan oeh pendengar. Penggunaan kata-kata seperti nelayan, senangin, pantai, tanjung, laut, ikan, angin timur, angin selatan, angin barat daya, mempunyai hubungan dengan kelautan yang ikon dari didong. Penyair mempertimbangkan efek yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Kata-kata yang digunakan dalam perpuisian biasanya cenderung bergantung pada makna konotasi. Nilai kata konotasi justru lebih banyak memberi efek bagi para penikmat. Namun, di dalam didong ini tidak ditemukan kata-kata konotatif. Walaupun kata-kata yang digunakan dalam sinandong ini mengandung makna denotatif, tetapi tidak mengurangi keindahan dalam sinandong tersebut.



10



Termasuk etnis Melayu Batubara, Asahan, dan Labuhanbatu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Keindahan didong ini lebih terarah kepada bentuk pantunnya yang mengutamakan persajakan. Kata-kata dedotatif dapat dilihat dalam tabel berikut: No



Kata Detotasi



Makna



1.



Betolur



Bertelur



2.



Senangin



Sejenis ikan laut



3.



Bacong



4.



Pulak



Bendera pengenal yang ditancapkan di haluan kapal. Pula



5.



Cek



Singkatan dari ―incek‖, sebutan untuk paman



6.



Kunun



kata khas Melayu



7.



Supayo



Supaya



8.



Sekorat



Sekerat, sepotong



9.



Kaen



Kain



10.



Tompat



Tempat



11.



Nangko



Nangka (jenis buah)



12.



Ditutuh



Ditetak



13.



Ditobang



Ditebang



14.



Tepacak



Berdiri



15.



Mengarang



Mengarungi



16.



Ambek



Ambil



Tabel 8.1: Kata-kata Denotatif dalam Teks Sinandong



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Masalah lain yang menyangkut tentang pemanfaatan bahasa dalam didong ini adalah masalah pengimajian. Pada dasarnya masalah pengimajian atau pencitraan merupakan masalah diksi juga. Pengimajian berkaitan dengan pemilihan kata-kata untuk mewujudkan khayalan agar makna abstrak dalam didong menjadi konkret dan cermat. Dengan kata lain, melalui didong menuangkan imajinasinya dengan meilih kata-kata yang mendukung. Berbagai cara digunakan penyair untuk membangkitkan daya bayang pendengar. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti. Imajinasi disebut juga dengan daya bayang, daya fantasi, daya khayal, tetapi bukanlah hayalan atau lamunan. Imajinasi tetap berpangkal dari kenyataan dan pengalaman. Imajinasi dilakukan penyair untuk membangkitkan perasaan dan kegairahan penikmat dalam menghayati sesuatu. Sehingga, penikmat seakan-akan melihat, mendengar, merasakan yang terdapat dalam didong. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dalam karya mereka. Kata-kata itu harus dapat memperkuat serta memperjelas daya bayangpikiran manusia dan dapat mendorong imajinasi untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Imajinasi tidaklah sama persis dengan realita yang sesungguhnya dan tidaklah sama pada setiap orang dalam mengimajinasikan sesuatu. Dalam kaitan ini, Semi (1988: 96) menegaskan, Harus diakui bahwa angan itu tidak sama tepatnya dengan isi ujaran dalam kata. Karena angan itu bersifat abstrak maka ia hanya dapat diketahui wujud konkretnya oleh yang bersangkutan saja. Hanya dengan melahirkannya dalam bentuk tanda –dalam hal ini bahasa- angan itu akan dapat diketahui oleh orang lain, tetapi tanda itu sendiri tidak persis sama dengan uyang ditandainya. Dekatnya hubungan antara sesuatu yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dikhayalkan dengan konkrisasinya bergantung kepada kemampuan pengarang mengkonkritkan apa yang dikhayalkan dan dirasakannya. Mengkonkritkan apa yang dihayalkan itulah yang dinamakan imajinasi. Dari uraian di atas, maka pengimajian dapat didefenisikan sebagai kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Dalam dunia perpuisian dikenal beberapa macam imajinasi, seperti imajinasi visuil, imajinasi auditory, imajinasi olfaktory, imajinasi gustatory, imajinasi artikulatory, imajinasi factual, imajinasi kinaestetik, dan imajinasi organik (Situmorang, 1983: 20-21) Imajinasi



visuil adalah imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti



melihat sendiri yang dikemukakan oleh penyair. Bait atau baris puisi itu seolaholah merupakan benda yang nampak dan bergerak-gerak. Pengimajian ini ditandai dengan gambaran atas bayangan konkret yang dapat dihayati secara nyata. Dalam didong ini didukung oleh:



Supayo kami copatlah sampai Bacong tecacak di haluan Musuh tepacak di tanjung puan. Ka ka pariuk di ranting kayu Nyiur melambai di topi pantai Tampak nelayan bekayuh santai Anak nelayan di ujung tanjung Menunjukkan budi budaya Asahan Menunjukkan budi budaya asli Dahan nangko jangan ditutuh tuan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Imajinasi auditory adalah imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar yang dikemukakan oleh penyair. Pendengar sinandong ini seolah-olah mendengar bunyi angin berhembus dan orang bernyanyi. Ini dapat dilhat pada kutipan didong berikut: Berombuslah kau angin Angin bertiup angin melambai menghibur penganten baru Kami nyanyikan lagu sinandong Imajinasi organik adalah imajinasi badan yang menyebabkan seperti melihat atau merasakan badan cape, lesu, loyo, senang, sakit, lapar, kecewa, dan lain-lain. Hal ini dapat ditemukan dalam didong, yaitu seseorang yang merasa gelisah dan riang, seperti kutipan didong berikut: Di masa lalu raso gelisoh Petani riang turun ke sawah Imanijasi kinaestetik adalah imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan pendengar merasakan atau melihat gerakan otot-otot tubuh. Dalam didong dapat dlihat petikan berikut: Datang menghibur penganten baru Nelayan mengarang ombak dan badai Ambek sekorat jang sampiran kaen nelayan bekayuh santai Mudik ke laot menjalo ikan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kata-kata tidak bermakna (nonsence), yaitu kata-kata yang secara lingual tidak bermakna. Hal ini muncul karena permainan bunyi untuk memperindah bentuk dan sebagai ciri khas dalam sinandong. Dalam didong ini ada beberapa kata yang tidak mempunyai makna leksikal, melainkan hanya kata seru saja. Beberapa kata itu adalah ooiii, nandung di nandung, didonglah didong, kunun, baya, jang, ka ka pariuk, gu gu gu gubang, dan amboi. Didong ini dipergunakan pada prosesi acara malam berinai. Biasanya diiringi oleh tari gubang. Didong ini mengandung makna bahwa pihak calon pengantin pria akan datang ke rumah pihak calon pengantin wanita untuk melaksanakan acara duduk bersanding. Ketika calon pengantin pria datang, mereka dihadang di depan pintu. Biasanya pihak calon pengantin pria harus menyediakan uang untuk membuka kunci pintu tersebut. Dalam adat istiadat Melayu disebut sebagai hempang pintu. Setelah uang diserahkan oleh pihak calon pengantin pria, barulah hempang pintu itu dilepas dan calon pengantin pria bisa masuk ke dalam rumah calon pengantin wanita untuk berinai besar. Seperti yang terdapat pada kutipan didong berikut: Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan. Selain itu, makna untuk menghibur pengantin baru juga muncul dalam didong ini. Kata-kata ini ditujukan oleh si pesinandong untuk menghibur calon pengantin baru yang sedang bersanding di pelaminan. Kedua calon pengantin didudukkan di pelaminan diiringi oleh tari gubang dan sinandong. Di akhir sinandong dan diakhir tari gubang, para penari akan menginaikan kuku tangan calon pengantin secara simbolis dengan meletakkan inai di kuku tangan kedua



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



calon pengantin. Untuk merapikan letak inai di jari tangan dan kaki, akan diakukan setelah prosesi malam berinai besar selesai. Jadi, syair sinandong lebih ditujukan kepada kedua calon pengantin agar mereka tidak jenuh dan mengantuk dalam melaksanakan adat berinai besar. Hal ini dapat dilihat pada kutipan didong berikut: Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru



8.2 Citra Arketipe Melalui syair Sinandong Asahan, dapat dilihat citra masa lampau seperti, kerinduan akan makanan tradisional, dan asal-usul orang Melayu, mrndoakan orang yang sudah meninggal dunia, dan kampung halaman, seperti bagan berikut ini,



Citra Arketipe Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan



Makanan Tradisional



Asal Usul Orang Melayu



Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal



Kampung Halaman



Bagan 8.1 Citra Arketipe Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



8.2.1 Makanan Tradisional Melayu Dikaitkan beragam makanan lokal seperti rondang kopah, sombam ikan cengcaru, bubur sagu, wajik dan kue putu yang termaktub dalam syair di atas, dapat diduga bahwa sastra warna lokal tidak akan pernah kering dan akan tetap menjadi model dalam penulisan karya sastra. Penulisan seperti ini, di satu pihak diperkuat dengan adanya kecenderungan dalam teori kontemporer didalamnya yang selama ini dianggap sebagai marginal akan memperoleh perhatian. Di pihak lain pengarang tidak semata-mata dibekali dengan kekuatan imajinasi seperti pendapat masyarakat pada umumnya, melainkan juga keterampilan dalam mengumpulkan data dan unsur estetikanya dapat dilakukan secara detail. Disinilah diharapkan akan terjadi hubungan timbal-balik antara fakta dan fiksi, karya sastra dengan ilmu pengetahuan, dan antara sastra dengan antropologi. Agama, berbagai bentuk kepercayaan, adat istiadat, mitologi, takhayul, makanan tradisional, pakaian tradisional, permainan rakyat, lagu-lagu rakyat, dan sebagainya, adalah sebagian kecil yang berhasil teradopsi dalam karya sastra. Masa lampau meskipun sudah berlalu bahkan mungkin sudah dilupakan tidak berarti hilang sama sekali. Masa lampau masih tersimpan dalam gudang memori. Masa lampau tidak hilang, melainkan terekam, tersimpan dalam ketaksadaran manusia, pada umumnya disebut sebagai memori. Memori ini akan muncul sewaktu-waktu, yang disebut sebagai kenangan, lamunan, khayalan, dan berbagai bentuk ingatan dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa yang pernah dialami. Masa lampau dapat timbul atau dengan sengaja dipanggil kembali. Bentuk khayalan dan lamunan adalah medium terselanggaranya masa lampau.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Masa lampau dianggap sebagai energi bagi kehidupan masa kini, juga masa yang akan datang. Pencitraan makanan tradisional rondang kopah dan sombam ikan cengcaru, ini merupakan kerinduan orang Melayu Tanjungbalai akan asal usul nenek moyang mereka sebagai orang pelaut. Di samping itu pula, makanan ini sudah mulai dilupakan orang Melayu. Dahulu, dalam jamuan pesta perkawinan, selalu ada hidangan rendang kepah dan ikan bakar, tetapi sekarang sudah digeser oleh ayam potong dan hidangan modern lainnya. Untuk mengingatkan kembali kerinduan akan makanan ini, maka penyair memasukkannya ke dalam syairnya. Begitu juga dengan bubur sagu, wajik, dan kue putu. Bubur sagu terbuat dari santan kelapa, gula, dan tepung sagu. Wajik terbuat dari santan kelapa, gula merah, dan beras pulut atau ketan. Kue putu terbuat dari kelapa, gula, dan tepung beras. Dari segi bahan, ketiga kue ini terbuat dari kelapa, sagu atau pohon rumbia, pulut dan beras (padi). Pohon sagu atau rumbia jumlahnya sudah sangat sedikit, areal persawahan untuk menanam pulut, padi, dan rumbia sebagian besar sudah digantikan untuk menanam kelapa sawit. Begitu juga dengan kebun kelapa, jumlahnya semakin berkurang karena masyarakat Tanjungbalai lebih suka menanam kelapa sawit. Dahulu, bubur sagu dijadikan hidangan untuk berbuka puasa dan kue putu sebagai salah satu kue untuk lebaran. Sekarang, bubur sagu hampit tidak ditemukan lagi, sedangkan kue putu dan wajik masih ada, tetapi jumlahnya terbatas. Kebanyakan masyarakat Tanjungbalai lebih suka membali kue yang sudah jadi dibandingkan dengan membuat sendiri. Jadi, melalui syair di atas,



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dapat dilihat kerinduan orang Melayu akan masa-masa menanam padi, memanjat pohon kelapa, membuat kue, dan melihat hamparan padi menguning. Makanan yang dibuat dengan tangan sendiri tidak harus diartikan sebagai ketinggalan zaman dan kuno. Membuat makanan dengan tangan sendiri menunjukkan bahwa melatih kemampuan otot, membangkitkan kenikmatan melalui struktur tubuh. Membuat makanan sendiri juga merupakan warisan yang diterima secara kodrati. 8.2.2 Asal-Usul orang Melayu Analisis psikologis, khususnya dalam kaitannya dengan tradisi psikologi analitik Jungian, memandang struktur primordial sebagai ekuivalensi struktur arketipe. Individu terdiri dari dua lapis ketaksadaran, yaitu ketaksadaran personal, yang isinya diterima melalui pengalaman langsung dan kehidupan sehari-hari; dan ketaksadaran kolektif yang isinya diterima melalui kualitas spesies, termasuk kelas, ras, dan ciri-ciri genetik lainnya. Indivudu mesti memiliki relevansi dengan masa lampau. Oleh karena itulah, kompleks ide harus distrukturisasikan dan dienegisasikan di sekitar citra arketipe. Citra arketipe selanjutnya menggarisbawahi dan mengarahkan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan secara tidak langsung, seperti cita-cita dan kehendak, kreasi dan imajinasi, khususnya perilaku yang berkaitan dengan citra masa lampau. Dengan dasar warisan nenek moyang, arketipe berfungsi sebagai prototipe, cetak biru pola-pola perilaku individu (Ratna, 2011: 141-142).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Melalui syair Cenggak cenggok jang payung Malako, dapat dilihat bahwa orang Melayu Tanjungbalai tidak melupakan asal-usulnya dari Malaka. Hal ini mengingatkan mereka akan asal-usulnya.



Banyak para generasi muda orang



Melayu Tanjungbalai yang meninggalkan desanya dan pergi ke kota. Memang bisa



dimaklumi



karena



pada



umumnya



generasi



muda



mengharapkan



kesejahteraan di masa depannya dan dengan segala keterbatasan di desa sehingga membuat mereka berpikiran untuk mencari potensial usaha di tempat lain, dan ini dibuktikan oleh sebagian besar warga Tanjungbalai hijrah ke luar daerah bahkan ke luar pulau. Kini kebanyakan malah ke daerah di luar Indonesia karena memang dekat dari desa mereka menyebrangi laut, seperti Malaysia. Keadaan ini semakin memprihatinkan seiring waktu terus berjalan, semakin tinggi tingkat urbanisasi warga desa ke kota ataupun ke tempat lain yang lebih menjanjikan. Karena itu wajar juga jika generasi muda selanjutnya dengan kebutuhan yang semakin beraneka, dan meninggalkan budaya mereka salah satunya melaut. Tinggal orang-orang tua yang hampir renta, masih lanjut didorong semangat sudah tradisi, melaut dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Memang masih ada satu dua generasi muda yang terjun melaut seperti itu tetapi bisa dihitung dengan jari. Bagi generasi muda yang tidak merantau ke kota, mereka mebuat usaha seperti jasa transportasi, membuka warnet, ataupun para pengrajin dan tukang. Intinya memilih meninggalkan melaut yang kian tipis menjadi harapan memenuhi kebutuhan. Asal usul memiliki kaitan dengan masa lalu atau masa lampau. Manfaat masa lampau adalah energi untuk menghidupkan kembali dimensi-dimensi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kemanusiaan yang seolah-olah sudah mati. Masa lampau dianggap sebagai energi bagi kehidupan masa kini, bahkan juga masa yang akan datang. Kehidupan masa kini adalah akumulasi kehidupan masa lampau sebagai pengalaman terdahulu. Secara jasmaniah manusia bertambah besar, tinggi, dan bera oleh karena pertumbuhan sel, menjadi dewasa oleh karena bertambahnya umur. Tatapi perubahan yang jauh lebih penting adalah bertambahnya pengalaman sebagai proses pembelajaran. Tanpa pengalaman manusia tidak memiliki arti.



8.2.3



Mendoakan Orang yang Sudah Meninggal Dunia Jauh di mato di ati jangan ―Jauh di mata di hati jangan.‖ Lirik ini mengisyaratkan kerinduan akan orang yang sudah meninggal



dunia. Manusia dianjurkan agar selalu mendoakan orang atau sanak saudara yang sudah meninggal dunia.



Makin dalam berusaha melupakan seseorang, maka



semakin rindu ingin bertemu. Semakin lama ditinggalkan seseorang, bukan semakin lupa, tetapi semakin ingat akan dirinya. Begitulah kekuatan ikatan batin antara orang yang ditinggal mati oleh seseorang, apalagi seseorang itu teramat istimewa (seperti sahabat, orang tua, sanak saudara). Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, di mana ada kehidupan di situ ada kematian.Ketika berjumpa dengan sesorang bersiaplah untuk berpisah dengannya, karena cepat atau lambat hal itu akan terjadi. Meskipun telah jauh berpisah tetapi jangan lupa pada yang ditinggalkan, begitulah maksud peribahasa ‗Jauh di mata di



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



hati jangan‘. Begitu juga dengan orang yang sudah meninggalkan dunia, walaupun mereka sudah jauh di alam sana, janganlah melupakan mereka. Oleh karena itu hendaklah kita senantiasa berdoa untuk mereka yang telah pergi. Minta agar Allah mengampuni segala dosanya. Walaupun sudah di dunia yang berbeda, namun doa yang dikirim akan membantu mereka di alam kubur. Orang yang sudah meninggal dunia sangat mengharapkan doa dari orang yang masih hidup. Mereka tidak mempunyai kekuatan lagi kecuali doa. Oleh karena itu doakanlah mereka yang sudah tiada.



8.2.4



Kampung Halaman Tempat jatuh lagi dikonang, apolah lagi tompat bemaen ―tempat jatuh lagi dikenang apalagi tempat bermain‖. Lirik yang terdapat dalam Sinandong Asahan, mengingatkan manusia akan



kerinduan kampung halaman. Setiap manusia mempunyai rasa rindu atau nostalgia kepada kampung halaman, tempat ia dilahirkan, dibesarkan hingga ia menjadi ―orang‖. Ibarat kata pepatah: Tempat jatuh lagi di kenang apalagi tempat bermain. Tidak mungkin dapat melupakan tempat tumpah darah, apalagi tempat



bermain waktu kecil, bersenda gurau, belajar mengaji di sekolah,



malamnya membaca al-Quran. Walaupun sudah jauh merantau dan bermukim di tempat lain, tetapi kata orang ada waktunya kita akan menjadi ―belut pulang ke lumpur atau bagai gagak pulang ke benua‖. Secara antropologis manusia memiliki kaitan erat dengan tempat kelahiran masing-masing. Kerinduan pada rumah dirasakan oleh setiap orang. Khususnya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



bagi mereka yang pergi merantau. Tidak menjadi masalah apakah rumah yang dimiliki lebih baik atau sebaliknya lebih buruk dibandingkan dengan rumah di perantauan. Misalnya, mudik atau tradisi pulang ke kampung halaman pada saat hari raya lebaran. Cinta terhadap tanah air dalam pengertian yang lebih umum adalah contoh kerinduan orang pada tempat kelahiran. Pemilihan para pemimpin daerah yang berasal dari daerah setempat adalah contoh lain dalam rangka mempertahankan kearifan lokal, sekaligus memenuhi hasrat kembalinya masa lampau. Otonomi daerah, sebagai salah satu akibat langsung logosentrisme, metanarasi dalam arti seluas-luasnya diharapkan dapat memenuhi kerinduan masyarakat sekaligus memelihara potensi wilayah masing-masing (Ratna, 2011: 97). 8.3 Jati Diri Orang Melayu Jati diri orang Melayu dapat dilihat melalui teks sinandong. Adapun jati diri tersebut adalah adat, sistem religi, sistem kekerabatan, sistem perkawinan, dan sistem bahasa, seperti pada diagaram berikut,



Jati Diri Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan



Adat



Sistem Religi



Sistem Kekerabatan



Sistem Perkawinan



Sistem Bahasa



Bagan 8.2 Jati Diri Masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam Sinandong Asahan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



8.3.1



Adat Walaupun kerajaan-kerajaan Melayu sudah wujud sebelum ini, namun



zaman Kesultanan Melayu Melaka telah memulakan babak sejarah yang amat penting dan signifikan dalam membentuk ―identiti dan jati diri‖ Melayu yang benar-benar mempunyai keperibadian yang tersendiri dan diwarisi hingga ke hari ini. Kehadiran Islam ke Nusantara menjadi titik-tolak sejarah besar dan bermakna kepada bangsa Melayu sehingga tamadun Melayu diakui kewibawaannya hingga sekarang. Agama Islam diakui oleh ahli-ahli sejarah sebagai pembawa perubahan dan pencetus zaman kegemilangan Melayu di rantau sebelah sini. Berkat penerapan ajaran Islam yang dinamik dan progresif ini, kepulauan Melayu telah mengalami revolusi dalaman yang secara drastik telah mengubah identitas dan jati diri, membebaskan akal-budi dan pemikiran orang Melayu daripada belenggu tahyul dan mitos, lantas membimbingnya ke dunia nyata dan rasional. Islam mencetuskan dan membangunkan tradisi ilmu dan tamadun akliah-rohaniah yang berkembang subur dengan begitu pantas dan menyeluruh. Apa yang dikenali sebagai ―faham jahiliah‖ dengan anutan pelbagai kepercayaan pelbagai kepercayaan animisme, Hinduisme dan Buddhisme yang dikatakan lebih mementingkan upacara dan kesenian (estetika) itu tidak membawa sebarang kemajuan dan pembangunan kepada dunia Melayu. Walaupun saki-baki adat istiadat dan adat resam Hinddu-Buddha kononnya masih ―melekat‖ di kalangan orang Melayu seperti adat persandingan, istiadat perajaan dan amalan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



perbomohan, namun adat dan amalan-amalan tersebut sudah diwarnai atau diIslamkan hampir sepenuhnya. ―Faham Tauhid‖ atau faham Keesaan Tuhan yang menjadi asas utama ajaran Islam telah diterima baik oleh orang Melayu. Sesuai dengan sifat ajaran Islam yang bertepatan dengan fitrah kejadian manusia, Islam telah menjadi pilihan orang Melayu sebagai ―the way of life‖ atau cara hidup yang mengubah cara hidup lama zaman animisme dan Hindu-Buddha. Pada hakikatnya, Islamlah yang menjadi penafsir kebangkitan orang Melayu dalam segala aspek kehidupan. Islam telah memperkenalkan dunia Melayu kepada budaya ilmu dan pemikiran rasional yang menolak faham tahyul dan mitos. Islam jugalah yang memperkenalkan dunia Melayu kepada dunia luar, baik Timur maupun Barat, sehingga memungkinkan bangsa Melayu terkenl dalam sejarah. Islamlah juga yang telah menyempurnakan faham keperibadian sendiri, mengemaskinikan Faham Kebangsaan Melayu dan menjadi faktor pemersatu (the unifying force) orang-orang Melayu di rantau ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Syed Naquib dalam bukunya Islam Dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu: Meskipun unsur-unsur nasib politik dan keturunan telah ada rumusannya di kala sebelum Islam telah menyerapi perolahan sejarah yang menuju ke arah kebangsaan, tetapi kedua-dua unsur ini sahaja tidak mencukupi syarat kehendak sejarah bagi membawa kepada faham kebangsaan yang sebenarnya. Hanya dengan kedatangan Islam, yang membawa ke dalam perolahan sejarah Kepualauan ini dua unsur lain yang tadinya tiada nyata. Iaitu unsur-unsur penyatuan satu bahasa sastera, dan satu agama serta segala kebudayaan yang bersangkutan dengannya, barulah sempurna dalam sejarah Melayu-Indonesia faham keperibadian sendiri yang membentuk faham kebangsaan (1997: 56).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Hal ini dapat dibuktikan memalui contoh bahasa. Islamlah yang mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa antarabangsa pada zaman itu. Bahasa Islam (iaitu bahasa Arab) telah menyerap masuk ke dalam bahasa Melayu, membawa konsep-konsep baru



yang sebelum itu tidak wujud dalam



perbendaharaan kata Melayu. Perkataan-perkataan seperti amal, adab, adil, alam, ilmu, iman, ihsan, ibadah, halal-haram, hayat, jasad, jihad, makruf, mesyuarat, nikmat, qariah, sabat, taat dan lebih separuh daripada perkataan bukan benda diambil secara langsung daripada bahasa Arab (sila rujuk Kamus Dewan, rujuk asal kata daripada kependekan Ar). Perkataan-perkataan ini bukan sahaja menjadi pelengkap perbendaharaan kata Melayu, malah menjadi ciri asas kepada pembinaan keperibadian dan jati diri bangsa Melayu itu sendiri. Contoh yang lebih jelas tergambar dalam perkara-perkara kebudayaan atau cara hidup orang Melayu. Islamlah yang telah memberikan ―prinsip-prinsip kehidupan‖ kepada manusia Melayu dengan menegaskan dasar kehidupan melalui prinsip-prinsip keadilan, prinsip hidup bermasyarakat dan bernegara, pinsip makan-minum, prinsip berpakaian dan sebagainya. Ini tergambar dengan katakata ―raja adil raja disembah (ditaati), raja zalim raja disanggah‖, ―syura‖, ―amanah‖, ―hak dan batil‖, ―halal-haram‖, ―aurat‖ dan lain-lain lagi. Prinsipprinsip akhlak inilah yang membentuk identiti dan jati diri bangsa Melayu. Adat yang berlaku dalam masyarakat Melayu di Tanjungbalai bersumber dari Malaka dan Tanjungbalai merupakan Kerajaan Melayu dan adatnya bermula dari istana, seperti disebutkan Tonel (1920) dalam bagian lain seperti berikut:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Maka segala adat-istiadat Melayu itu pun sah menurut syarak Islam dan syariat Islam. Adat-istiadat itulah yang turun-temurun berkembang sampai ke negeri Johor, negeri Riau, negeri Indragiri, negeri Siak, negeri Pelalawan, dan sekalian negeri orang Melayu adanya. Segala adat yang tidak bersendikan syariat Islam salah dan tidak boleh dipakai lagi. Sejak itu, adat-istiadat Melayu disebut adat bersendi syarak yang berpegang kepada kitab Allah dan sunah Nabi.



Adat Melayu dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu adat sebenar adat, adat yang diadatkan, dan adat yang teradat. a. Adat Sebenar Adat Yang dimaksud dengan ―adat sebenar adat‖ adalah prinsip adat Melayu yang tidak dapat diubah-ubah. Prinsip tersebut tersimpul dalam ―adat bersendikan syarak‖. Ketentuan-ketentuan adat yang bertentangan dengan hukum syarak tidak boleh dipakai lagi dan hukum syaraklah yang dominan. Dalam ungkapan dinyatakan:



Dari ungkapan di atas jelas terlihat betapa bersebatinya adat Melayu dengan ajaran Islam. Dasar adat Melayu menghendaki sunah Nabi dan Al Quran sebagai sandarannya. Prinsip itu tidak dapat diubah, tidak dapat dibuang, apalagi dihilangkan, itulah yang disebut ―adat sebenar adat‖. b. Adat yang Diadatkan ―Adat yang diadatkan‖ adalah adat yang dibuat oleh penguasa pada suatu kurun waktu dan adat itu terus berlaku selama tidak diubah oleh penguasa berikutnya. Adat ini dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi dan perkembangan zaman, sehingga dapat disamakan dengan peraturan pelaksanaan dari suatu ketentuan adat. Perubahan terjadi karena



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan perkembangan pandangan pihak penguasa, seperti kata pepatah ―Sekali air bah, sekali tepian beralih‖. Selanjutnya para penguasa (raja) mengatur hak dan kewajiban para kawula menurut tingkat sosial mereka. Hak-hak istimewa raja dan para pembesar diatur dan diwujudkan dalam bentuk rumah, bentuk dan warna pakaian, kedudukan dalam upacara-upacara, dan larangan bagi rakyat biasa untuk memakai atau mempergunakan jenis yang sama. Dengan demikian tercipta ketentuan-ketentuan yang berisi suruhan dan pantangan. Di samping itu juga tercipta kelas-kelas dalam masyarakat yang pada umumnya terdiri dari raja dan anak raja-raja, orang baik-baik, dan orang kebanyakan. Stratifikasi sosial dalam masyarakat Melayu itu telah menciptakan hak dan kewajiban yang berbeda bagi tiap-tiap tingkatan, sebagaimana kutipan berikut: Pasal menyatakan, adat Raja-raja Melayu yang tidak boleh dipakai oleh orang luar yaitu, rumah yang bersayap layang atau jamban dan pagar kampung yang di atasnya tertutup; rumah beranak keluang dan rumah yang tengahnya berpintu sama; geta yang bersulur bayung lima, tilam berulas kuning, dan memakai bantal yang bersibar kuning; tikar berhuma kuning dan baju pandakpun, yaitu baju lepas kuning; tilam pandak dan tudung hidangan kuning; sapu tangan tuala kuning; memakai kain yang tipis berbayang-bayang; tidak boleh memakai payung di depan istana raja dan tidak boleh berhasut pada majelis balai raja; tiada boleh membuang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



sapu tangan kepala di hadapan raja; tidak boleh duduk bertelekan di hadapan raja; tiada boleh melintangkan keris ketika menghadap raja; tidak boleh memakai hulu keris panjang yang tutupnya berkunam; tidak boleh membawa senjata yang tidak bersarung ke hadapan raja besar; di hadapan raja



jangan



banyak



tertawa-tawa



dan



berkipas-kipas;



jangan



menyangkutkan kain, baju, atau sapu tangan di atas bahu di hadapan raja; tatkala duduk pada majelis, jangan menentang kepada raja; jika raja menyorongkan sesuatu (makanan atau piala minuman), hendaknya segera disambut dan diletakkan ke bawah, kemudian disembah kewah duli seraya duduk undur pada tempat kita sambil memberi hormat. Baru kita minum atau makan. Sebenarnya tidak seperti itu adabnya, melainkan makanlah dengan laku yang sederhana. Jika menerima pakaian dari baginda sendiri atau dibawa oleh pegawainya, hendaknya pakailah pakaian itu di hadapan majelis baginda, serta memberi hormat kepada raja. Jika tidak kita pakai pun boleh, akan tetapi menurut Melayu disebut kurang adab (Sujiman, 1983). Dalam perjalanan sejarah adat-istiadat Melayu, ―adat yang diadatkan‖ mengalami berbagai perubahan dan variasi. Hampir dapat dipastikan bahwa adat ini merupakan adat yang paling banyak ragamnya, sesuai dengan wilayah tumbuh dan berkembangnya. ―Adat yang diadatkan‖ yang terdapat di daerah Riau beragam, karena di daerah Riau pernah terdapat kerajaan-kerajaan yang tersebar dari kepulauan sampai ke hulu-hulu sungai. Setiap kerajaan tentu mempunyai corak dan variasinya yang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang sejarah, serta pengaruh yang masuk ke sana.



c. Adat yang Teradat Adat ini merupakan konsensus bersama yang dirasakan baik, sebagai pedoman dalam menentuhan sikap dan tindakan dalam menghadapi setiap peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Konsensus itu dijadikan pegangan bersama, sehingga merupakan kebiasaan turuntemurun. Oleh karena itu, ―adat yang teradat‖ ini pun dapat berubah sesuai dengan nilai-nilai baru yang berkembang. Tingkat adat nilai-nilai baru yang berkembang ini kemudian disebut sebagai tradisi. Dalam ungkapan disebutkan: Pelanggaran terhadap adat ini sanksinya tidak seberat kedua tingkat adat yang disebutkan di atas. Jika terjadi pelanggaran, maka orang yang melanggar hanya ditegur atau dinasihati oleh pemangku adat atau orangorang yang dituakan dalam masyarakat. Namun, si pelanggar tetap dianggap sebagai orang yang kurang adab atau tidak tahu adat. Ketentuan adat ini biasanya tidak tertulis, sehingga pengukuhannya dilestarikan dalam ungkapan yang disebut ―pepatah adat‖ atau ―undang adat‖. Apabila terjadi kasus, maka diadakan musyawarah. Dalam musyawarah digunakan ―ungkapan adat‖ yang disebut ―bilang undang‖. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan berikut:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Dari uraian dapat disimpulkan bahwa ketentuan-ketentuan adat yang lebih dikenal sebagai hukum tidak tertulis telah diwariskan dalam bentuk undangundang, ungkapan, atau pepatah-petitih, seperti dalam syair Dadong di bawah ini, Tidolah-tidolah nak picengkan mato... Anakku sayang.... sirajo mudo.... Ruponyo elok nak, bijaklaksono.... Sesuai...dengan adat lembago.



8.3.2



Sistem Kekerabatan Dalam kebudayaan Melayu, garis keturunan ditentukan berdasarkan pada



garis keturunan bilateral, yaitu garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Namun, dengan masuknya agama Islam dalam kehidupan etnik Melayu yang dijadikan pandangan hidupnya, maka garis keturunan cenderung ke arah garis keturunan patrilineal, yaitu berdasar kan garis keturunan ayah. Pembagian harta pusaka berdasarkan kepada hokum Islam (syara`) yang mengatur pembagian yang adil. Sistem kekerabatan etnik Melayu di Tanjungbalai sistem kekerabatan secara vertikal yang dimulai dari urutan tertua sampai yang termuda, adalah : (1) nini, (2) datu, (3) unyang (moyang), (4) atok (datuk), (5) ayah (bapak), (6) anak, (7) cucu, (8) cicit, (9) piut. Urutan anak secara vertikal adalah (1) ulung (iyung/ayung), (2) ongah, (3) alang, (4) uteh, (5) andak, (6) uda, (7) ucu. Sedangkan sistem kekerabatan secara horizontal adalah (1) saudara satu ibu dan satu ayah (ayah tiri), (2) saudara sekandung yaitu saudara seibu atau lain ayah, (3) saudara seayah yaitu saudara satu ayah lain ibu (ibu tiri), (4) saudara sewali yaitu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ayahnya saling bersaudara, (5) saudara berimpal yaitu anak dari makcik (saudara perempuan ayah). Sapaan dan istilah kekerabatan adalah sebagai berikut : (1) ayah, (2) omak, (3) abang (abah), (4) akak (kakak), (5) uwak (saudara ayah atau ibu yang paling tua umurnya), (6) uda (saudara ayah atau ibu yang paling muda umurnya), (7) uwak ulung (saudara ayah atau saudara ibu yang pertama baik laki-laki maupun perempuan), (8) uwak ongah (uwak tengah, saudara ayah atau saudara ibu yang kedua baik laki-laki maupun perempuan), (9) uwak alang (saudara ayah atau saudara ibu yang ketiga baik laki-laki maupun perempuan), (10) uwak utih (saudara ayah atau saudara ibu yang keempat baik laki-laki maupun perempuan), (11) uwak andak (saudara ayah atau saudara ibu yang kelima baik laki-laki maupun perempuan), (12) uwak uda (saudara ayah atau saudara ibu yang keenam baik laki-laki maupun perempuan), (13) uwak ucu (saudara ayah atau saudara ibu yang bungsu/paing akhir baik laki-laki maupun perempuan). Dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai, menghormati dan memuliakan orang yang tua adalah satu nilai yang jelaskan sekali berlaku. Nilai ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat Melayu Tanjungbalai bahwa orang yang lebih tua usianya mempunyai lebih banyak pengalaman berbanding orang-orang muda. Pengalaman adalah sesuatu yang senantiasa dipandang penting dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. Golongan muda dianjurkan merantau untuk mencari pengalaman lain (pendidikan). Dalam konteks Islam, Baginda Muhammad SAW. tidak memberi syafaat kepada umat yang tidak menghormati orang yang tua dan menyayangi orang yang orang muda. Menghormati dan mendengar nasihat orang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



tua, orang muda tidak akan melakukan kesilapan dan kesalahan dalam hidup mereka. Apa yang penting ialah kerjasama antara orang muda dengan orang tua harus dipupuk untuk menjamin keharmonian masyarakat sekeliling. Salah satu nilai budaya orang Melayu Tanjungbalai tidak memandang rendah kepada orang lain. Orang Melayu Tanjungbalai saling menghormati orang lain dan bersikap rendah diri, memberi penghormatan terlebih dahulu kepada orang lain. Orang yang tidak membalas penghormatan yang diberi akan dipandang rendah. Memuliakan tamu merupakan satu nilai yang penting dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai. Mengikut ajaran agama Islam, tamu hendaklah dilindungi, dimuliakan dan dilayani dengan sebaik mungkin, malah tuan rumah disunahkan berkorban dan tidak mementingkan diri sendiri demi menjaga dan menghormati tamu. Oleh yang demikian, tamu senantiasa dipandang baik oleh orang Melayu dan dimuliakan dengan sebaik-baiknya. Sistem kekerabatan terdapat dalam syair sinandong seperti penggunaan kata, Mak ulung, Mak alang dan Mak ongah dalam ―Sinandong Hiburan‖. Cenggak cenggok jang payung Melako Singgah somalam di ujung tanjung Mak ulung oi Jangan rusak jang jangan binaso Tori puntung bungo cempako mak alang oi Payong boso rajo mudo... Mak alang oi... Jangan rusak nak jangan binaso, Bogi kuntom bungo cempako... Mak ongah oi...tinggi-tinggi tinggi...tinggi...sampai atap Bolum tumbuh gigi pandai baca kitab.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Memuliakan tamu terlihat dalam syair sinandong dengan menyuguhkan berbagai jenis makanan tradisional kepada tamunya yang bernama Mak Ijah. Orang Melayu Tanjungbalai terkenal dengan ramah-tama. Jika ada orang yang datang bertamu, mereka tidak akan menelantarkan tamu tersebut. Orang Melayu Tanjungbalai merasa terhormat, jika ada orang datang ke rumahnya. Tamu tersebut akan diajak bercerita, sambil disuguhkan mulai dari makanan ringan (kue dan teh manis), sampai kepada makanan berat (nasi dan lauk-pauknya). Suatu kebanggaan bagi orang Melayu Tanjungbalai untuk menjamu tamunya. Jika belum diberi makan, maka tamu tersebut tidak diperbolehkan pulang. Jika hidangan yang disediakan tidak dimakan oleh tamunya, maka tuan rumahnya akan merasa tersinggung. Dianggap masakannya tidak enak dan tamunya dianggap tidak tahu sopan santun. Hal ini dapat dilihat pada kutipan syair berikut, Kayoh Mak Ijah kayoh, kayoh la laju-laju Singgah Mak Ijah singgah makan la bubur sagu Makan Mak Ijah makan sodap apo laoknyo Adolah rondang Kopah sombam ikan Cencaru



Kayoh Mak Ijah kayoh, kayoh la laju-laju Sila Mak Ijah makan Wajik dan kue Putu Makan Mak Ijah lokas kawan lamo menunggu Adolah bubur Podas bubur orang Melayu



8.3.3



Sistem Religi Masyarakat melayu telah melalui beberapa fase perubahan dalam sistem



kepercayaan. Antaranya masyarakat Melayu telah menganuti kepercayaan animisme, Budha, Hindu, Islam. Kendati begitu, antara ke empat kepercayaan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



yang telah disebutkan, Islam adalah agama yang telah memberikan kesan yang mendalam bagi hidup masyarakat melayu. Kepercayaan dan keagamaan masyarakat Melayu meliputi tiga perkara yang sangat penting. Ketiga-tiga perkara tersebut ialah amalan dan kepercayaan masyarakat Melayu, magis Melayu dan Islam sebagai agama anutan resmi masyarakat tersebut. A. Amalan dan Kepercayaan Masyarakat Melayu Kepercayaan masyarakat Melayu terhadap kuasa-kuasa ghaib memaksa anggotanya untuk mempunyai amalan-amalan ataupun upacara-upacara yang tertentu bagi menangani kuasa ghaib tersebut. Dalam hal ini, amalan meminta restu daripada ―datuk nenek‖sebelum membuang air besar ataupun kecil merupakan salah satu daripada amalan yang dipraktikan orang Melayu. Selain itu juga terdapat beberapa upacara lain yang secara khusus dilakukan bagi tujuan-tujuan tertentu. Misalnya, dalam upacara mandi safar, masyarakat melayu akan melalui upacara permandian yang dilakukan pada hari rabu yang terakhir dalam bulan safar. Upacara tersebut dianggap sebagai upacara menolak bala‘. Antara amalan lain yang dilakukan ialah dalam kepercayaan orang melayu dengan benda-benda yang dianggap keramat, yaitu objek-objek yang mempunyai kuasa-kuasa sakti yang tertentu. Misalnya, kepercayaan terhadap makan-makan para ulama yang diyakini memiliki kelebihan yang luar biasa. Tempat-tempat makan tersebut dijadikan tempat pemujaan dan juga sebagai tempat persembahan pembayaran nadzar.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



B. Magis Melayu Amalan Magis sebenarnya merupakan sebuah amalan yang biasa dan sering ditemui dalam berbagai budaya, Dalam rangka kepercayaan dan Magis masyarakat Melayu, perkara yang sentral dalam mendekati konsep tersebut adalah konsep semangat.Semangat merujuk kepada kuasa pemberian tenaga spiritual kepada individu maupun objek. Dalam rangka kepercayaan Melayu, semangat seseorang itu dapat digugurkan dengan kaidah-kaidah tertentu. Ilmu-ilmu tersebut hanya akan diajarkan kepada individuu-individu yang dianggap sesuai untuk mempelajarinya. Selain itu mempelajari ilmu pengasih juga untuk tujuan-tujuan tertentu seperti ingin mendapatkan pekerjaan, dan mengeratkan hubungan suami istri dan sebagainya. C. Pengaruh Islam pada Budaya Melayu Kedatangan agama islam membawa perubahan yang sangat besar, mereka percaya bahwa islam adalah agama yang suci dan benar, atas dasar itu kesucian haruslah di pelihara. Adapun kebudayaan jahiliyah yang dikikis Islam antara lain : Khanah‖tenung‖ dengan segala macamnya, patung berhala yang di sembah. Adapun kebudayaan yang diperbaiki dan disempurnakan antara lain ilmu bahasa, kesusasteraan, retorika dan lain-lain. Adapun kebudayaan baru diciptakan islam banyak sekali, antaranya rancang bangun seperti mesjisystem musyawarah dalam pemerintah ilmu syariat, ilmu berdebat, ilmu kedokteran, dan lain-lain. Kedatangan Islam bukan saja bersifat membangun,tetapi juga menghapus jenis-jenis kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran islam‖dalam buku akidah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dan ibadah‖, kemudian juga memperbaiki dan menyempurnakan jenis-jenis kebudayaan yang masih bisa diperbaiki. Dengan demikian islam bertindak lebih maju untuk membangun satu kebudayaan . Konsep halal dan haram mencakupi berbagai aspek kehidupan kaum muslimin, selain dari pada pengunaannya dalam konteks pemakanan, konsep halal dan haram turut mencakupi budaya, adat dan gaya hidup manusia. Sebagai contoh berzina merupakan suatu perkara yang diharamkan disisi agama islam. Islam memberikan pedoman kehidupan bagi masyarakat melayu. Kepercayaan kepada Allah SWt turut berarti bahwa orang melayu percaya akan rasul-rasul Allah serta ayat-ayat yang terkandung didalam Alquran. Kepentingan agama islam dalam konsep kepercayaan dan kehidupan masyarakat Melayu. Pengaruh Islam pada budaya Melayu, seperti dipergunakannya aksara Melayu, Arab gundul, huruf Jawi pada karya tulis Melayu yang tersebar ke seluruh dunia. Naskah Melayu itu menyangkut kerajaan-kerajaan Samudra Pasai, Malaka, Banten, Demak, Mataram, Riau-Johor-Pahang dan Lingga. Dalam bidang lain pengaruh perkembangan agama Islam dalam bidang kesastraan nampak pada karya-karya yang diciptakan oleh cendikiawan riau raja Ali Haji seperti gurindam dua belas yang ditulis dipulau penyengat pada 23 rajab 1263 H, Bustn Al Katibin pada tahun sembilan belas lima tujuh, tsamarak Al Muhimmah, kitab pengetahuan bahasa, silsilah melayu dan bugis sekalian rajarajanya dan karya sastra lainnya. Orang Melayu mengaku identitas kepribadiannya yang utama adalah beradat istiadat Melayu dan agama Islam. Dengan demikian orang yang mengaku



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



dirinya Melayu harus beradat istiadat Melayu, berbahasa Melayu dan beragama Islam. Penerapan ajaran agama Islam dapat dilihat pada petikan Sinandong Mengonang Naseb yang menekankan kepada perintah sholat dan puasa berikut, Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan Dilindung buuuuuuulaaan Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii Hai menyuruh sholat baya sudaoku.......... Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo. Hai............. menyuruhlah sho...........lat baya Dengan pua............so oi Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii



8.3.4



Sistem Bahasa Di Tanjungbalai, masyarakat yang bertutur hampir sama dengan bahasa



Melayu lainnya yang berbeda hanya sebahagian kecil saja. Hampir semua masyarakat Melayu Tanjungbalai menguasai bahasa ibunya dan dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Melayu Tanjungbalai menggunakan dialek Melayu yang menggunakan pelafalan huruf "R" yang tidah jelas, yaitu seperti lafaz huruf "‫("غ‬gh) jika berada di tengah kata. Tetapi jika berada di akhir kata, bunyi ―R‖ dihilangkan. Contoh yang terdapat di tengah kata: doghas = deras, dan dongo = dengar. Bunyi ―a‖ diakhir kata berubah menjadi bunyi ―o‖, misalnya ―dimana‖ menjadi ―dimano‖. Apa=apo, kepala=kepalo. Bunyi ―e‖ di tengah kata berubah



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



menjadi bunyi ―o‖, misalnya lemas=lomas, pekak= pokak, lebat=lobat, besar=boso. Bunyi vokal ―i‖ berubah menjadi ―e‖, misalnya, cantik=cantek, betis=botes, keris=koghes. Dalam sinandong terlihat jelas pemakaian bahasa Melayu Tanjungbalai seperti syair berikut, Tidolah anakku.... tidolah sayang Kalau gugo....gugo kepoyang.... Jatoh ke bumi terobang melayang.... Jatoh...terobang melayang. Tido anakku tidolah sayang.... Agar omakmu biso ke ladang. Lalalalala...



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB IX TEMUAN HASIL PENELITIAN



Malam berinai dilakukan di rumah keluarga pengantin perempuan dan hanya satu malam. Tujuannya untuk memberitahu tetangga bahwa sang pengantin sudah ada yang memiliki dan sudah siap untuk menikah, sekalian berpamitan dengan orang tuanya, sebab pengantin wanita akan meninggalkan rumah dan akan dibawa ke rumah pengantin pria. Prosesi malam berinai di Tanjungbalai pada jaman dahulu, terdiri atas tiga tahap, yaitu berinai curi, berinai kecil dan berinai besar. Berinai curi dilakukan oleh teman dari pengantin wanita, sedangkan berinai kecil dan berinai besar sudah mulai melibatkan pihak keluarga. Informan kunci menjelaskan berinai curi dilakukan tiga hari sebelum pembacaan akad pernikahan. Di malam hari saat pengantin wanita tertidur, teman-temannya datang memasangkan daun inai yang sudah ditumbuk halus pada kedua tangan dan kaki. Ketika si pengantin wanita bangun esok paginya, ia akan terkejut melihat tangan dan kakinya sudah berwarna merah kecoklatan. Oleh karena dilakukan pada saat pengantin wanita tertidur, makanya dinamakan berinai curi. Tahap berikutnya adalah inai kecil dan besar. Inai kecil dilakukan dua hari sebelum akad pernikahan dan pengantin hanya menggunakan pakaian biasa. Sedangkan, inai besar dilakukan pada malam sebelum akad pernikahan pengantin, kemudian pengantin pria dan wanita sudah menggunakan pakaian adat pernikahan, lalu didudukan di pelaminan. Pada inai besar semua kerabat, teman-



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



teman dan undangan sudah bisa menyaksikan prosesi ini. Hal ini dilakukan jika calon pengantin sudah melaksanakan akad nikah, jika belum melaksanakan akad nikah, maka yang duduk di pelaminan hanya pengantin wanita saja. Pada pelaksanaannya ada yang dilaksanakan dengan cara duduk satu-satu (pengantin laki-laki dan perempuan terpisah), dan ada pula kedua mempelai duduk berdua sekaligus. Pelaksanaan duduk satu-satu dengan pertimbangan bahwa kedua pengantin belum melakukan mahar batin dan akan melaksanakan tebus kipas. Sedangkan tepuk tepung tawar duduk berdua dapat dilakukan dengan pertimbangan kedua mempelai sudah menikah. Dalam penelitian ini, mempelai didudukkan berdua karena sebelumnya mereka telah melaksanakan akad nikah. Menurut informan kunci, terdapat dua bentuk pelaksanaan dalam acara malam berinai besar ini. Pertama, acara malam berinai besar dilaksanakan hanya untuk calon pengantin wanita saja. Upacara ini dilakukan sebelum akad nikah dilaksanakan. Jadi, calon pengantin wanita didudukkan di pelaminan, lalu di marhabankan. Setelah itu dipersembahkan tari Gobang, dan ditepungtawari oleh pihak keluarga sambil mencoletkan inai di kuku calon pengantin wanita. Kemudian pengantin wanita diinai di dalam kamar oleh teman-temannya atau oleh seseorang yang pandai mengukir inai, agar inainya lebih cantik dan menawan. Di luar rumah, hiburan tetap berlanjut dengan kasidah dan sinandong. Menurut sepengatuhuan informan, pelaksanaan yang seperti ini sudah jarang dilaksanakan lagi di Tanjungbalai. Kedua, acara malam berinai besar dilaksanakan untuk kedua calon pengantin, maka malam berinai dilakukan setelah akad nikah. Jadi, pada malam



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



itu, selepas sholat Isya, dilaksanakan akad nikah, kemudian dilanjutkan dengan acara malam berinai besar. Selepas akad nikah, kedua pengantin berjalan menuju pelaminan yang dibuat di luar rumah, sambil group Marhaban melantunkan barzanzi dan marhaban. Setelah itu dipersembahkan tari Gobang yang diiringi dengan sinandong Gobang, lalu dilanjutkan dengan tepung tawar dan mencoletkan inai di kuku kedua pengantin secara simbolis. Setelah itu pengantin wanita masuk ke rumah dan inai oleh teman-temannya atau orang yang ahli dalam seni berinai. Sedangkan pengantin pria kembali ke rumahnya dan inai oleh kerabat atau saudaranya. Di luar rumah hiburan terus berlanjut dengan mendendangkan kasidah dan sinandong sampai tengah malam. Bentuk yang kedua inilah sekarang yang berkembang di Tanjungbalai.



9.1 Kemajuan Jaman dan Kepraktisan Mengikis Tradisi Kemajuan jaman dan modernisasi membuat tradisi malam berinai mulai terkikis dari keasliannya. Malam berinai yang sejatinya dilaksanakan selama tiga malam berturut dipersingkat menjadi hanya satu malam saja. Banyaknya waktu dan biaya yang dibutuhkan, membuat masyarakat lebih memilih untuk melaksanakan malam berinai lebih singkat dan cepat. Sehingga pada malam berinai ini, bukan hanya berinai yang dilaksanakan, namun pada malam ini juga dilaksanakan akad nikah. Masyarakat Melayu Tanjungbalai sekarang tidak lagi memegang pepatah biar lambat asal selamat, akan tetapi sekarang masyarakat Melayu Tanjungbalai sudah banyak yang beranggapan boleh cepat asalkan tepat sasaran dan tujuan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



utamanya tercapai. Hal ini juga yang menyebabkan maka sebagaian besar masyarakat Melayu Tanjungbalai menyeserhanakan upacara adat perkawinan tersebut, sehingga upacara malam berinai tidak dilakukan lagi. Dengan kata lain, kepraktisan dapat mengikis budaya.



9.2 Filosofi Malam Berinai Berdasarkan nilai filosofisnya. Malam berinai tidak lagi diartikan sebagai pemberi kekuatan gaib, Karena perkembangan agama, berinai diartikan sebagai pertanda seorang gadis telah memiliki suami guna menghindarkan dari fitnah. Prosesi dari malam berinai memiliki makna filosofis tersendiri. Tradisi upacara malam berinai sendiri telah ada sejak masyarakat Melayu memiliki kepercayaan yang dianut semasa itu, animisme yaitu percaya pada roh-roh nenek moyang. Menurut kepercayaan mereka, berinai memberi kekuatan gaib, supaya mereka langgeng, kuat dan bertenaga. Sehingga pengantin yang diinaikan bisa membangun rumah tangga yang baik. Warna merah pada inai diartikan sebagai kekuatan yang memberikan keberanian. Inai yang diusapkan pada kedua tangan dan kaki dipercaya menjadi sumber utama mobilitas dan kekuatan manusia. Sebenarnya, beberapa daerah juga memiliki malam berinai yang mirip dengan tradisi budaya melayu, namun dengan nama yang berbeda. Di Aceh disebut Bohgaca, di Minangkabau terkenal dengan malam bainai, di Palembang dikenal dengan berpacar, sedangkan di betawi disebut dengan malem pacar. Walaupun beragam namanya, namun makna dan tujuannya tetap sama. Sebab tradisi itu berasal dari rumpun budaya yang sama.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



BAB X SIMPULAN DAN SARAN 10.1 Simpulan Dari paparan datan yang telah diuraikan pada bab terdahuliu, maka dapatlah dismpulkan sebagai berikut: 1. Performansi tradisi malam berinai adalah serangkaian upacara yang dilaksanakan pada malam hari sebelum pengantin duduk bersading. Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan adalah barzanzi, marhaban, tari gubang, tepung tawar, berinai besar, kasidah, dan sinandong.



Kegiatan



ini berlangsung sampai tengah malam. Tradisi upacara malam berinai ini tidak terlepas dari teks, konteks, dan ko-teks. Teks dalam tradisi ini peneliti fokuskan pada teks Sinandong Didong yang diiringi oleh tari Gubang yang berfungsi sebagai penanda malam berinai. Sedangkan konteks dalam tradisi ini berhubungan dengan konteks budaya, sosial, situasi, dan idiologi. Analisis ko-teks tradisi ini meliputi gerak dan peralatan yang digunakan dalam tradisi ini. 2.



Tradisi bersinandong merupakan warisan budaya yang mempunyai nilainilai budaya yang patut dikembangkan diantaranya adalah kearifan lokal. Kearifan lokal dipergunakan oleh nenek moyang bangsa ini sebagai sistem norma dalam masyarakat, sebagai pengetahuan tradisional, dan konsep, bahkan teori yang digunakan dalam rangka menopang keberlangsungan kehidupannya. Kearifan lokal yang terdapat dalam tradisi malam berinai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ini meliputi kesopanan, kejujuran, kesetiakawanan sosial, kerukunan dan penyelesaian konflik, pikiran positif, rasa syukur, etos kerja, pendidikan, kesehatan, gotong royong, pengelolaan gender, pelestarian alam dan kreativitas budaya, dan peduli lingkungan. 3. Model revitalisasi tradisi malam berinai pada masyarakat Melayu Tanjungbalai dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen yaitu, mengaktifkan, mengelolah, dan mewariskan. Mengaktifkan tradisi malam berinai dapat dilakukan dengan mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tradisi malam berinai ini merupakan budaya adat Melayu. Yang harus dijaga kelestariannya. Kemudian memungsikan kembali malam berinai sebagai ajang untuk bersilaturrahmi. Selain itu juga membentuk arisan keluarga untuk menanggulangi biaya penyelenggaraan upacara tersebut. Mengelolah tradisi malam berinai berkaitan dengan mengelolah waktu



pelaksanaan,



mengadakan



pelatihan



untuk



pewara,



dan



mempromosikan tradisi ini kepada masyarakat Melayu yang ada di Tanjungbalai maupun di luar dari suku Melayu. Mewariskan tradisi Malam berinai ini bukan hanya menyangkut masalah penyederhanaan acara, tetapi juga menginventarisasi dan memuplikasikan tradisi ini, baik dengan cara manual maupun digital. Penyederhanaan acara juga berkaitan dengan pemanfaatan waktu dan penghemaant biaya konsumsi. Pada upacara tradisi malam berinai ini bisa dirangkaikan dengan akad nikah, jadi susunan acaranya akad nikah terlebih dahulu, baru setelah itu berinai. Sedangkan Model revitalisasi sinandong dapat dilakukan dengan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Refungsionalisasi, yaitu menambah, mengembangkan, mengganti atau memberi fungsi yang baru terhadap sinandong. Representasi, artinya menyajikan kembali, baik dalam frekuensi maupun dalam ujud, forum atau konteks yang bervariasi. Reformasi, yaitu perubahan format atau bentuk penyajian kesenian dari yang lama ke bentuknya yang baru, yang dianggap sesuai dengan kebutuhan, selera, waktu dan tempatnya yang baru. Reinterpretasi, upaya lain yang diperlukan adalah menjadikan sinandong menjadi salah satu topik pembicaraan di sekolah dengan cara melihat pertunjukannya. Reorientasi yaitu sinandong dijadikan sebagai kesenian negara, artinya setiap ada kegiatan pemerintahan daerah, sinandong harus dipertunjukkan sebagai ikon Tanjungbalai. Modifikasi, yaitu membuat atau meng-create lagi sesuatu yang (sama sekali) baru. 4. Sinandong yang dipergunakan masyarakat Melayu Tanjungbalai dalam kegiatan seperti upacara perkawinan, khitanan, dan mencukur anak. Lirik sinandong ini mengingatkan manusia akan masa lalu atau masa lampau. Melalui syair sinandong hiburan ini dapat dilihat citra arketipe antara lain, makanan tradisional Melayu, asal-usul Melayu, mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, dan kampung halaman.



10.2 Saran



Globalisasi dan kemajuan teknologi terus melanda dunia ini, membuat kekhawatiran peneliti terhadap tradisi penyampaian sinandong yang semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Tradisi lisan sinandong ini sudah kehilangan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



pendukungnya, karena orang sudah sangat jarang menggunakan tradisi ini. Tradisi bersinandong ini hanya dipakai oleh sebagian kecil masyarakt Melayu pada upacara malam berinai dalam upacara adat perkawinan Melayu. Selanjutnya sinandong ini juga dipakai sebagai hiburan dalam upacara pesta kerang serta mengayunkan anak. Oleh karena itu, sinandong ini perlu direvitalisasi agar sinandong ini tetap eksis di tengah-tengah masyarakat. Pada saat sekarang ini fungsi dan kedudukan sinandong sudah bergeser. Dahulu sinandong digunakan dalam setiap ritual upacara adat, tetapi sekarang tidak lagi. Sinandong hanya tidak lebih sebagai hiburan belaka. Padahal, lebih dari itu, sinandong dapat dijadikan cirikhas oleh daerah Melayu Tanjungbalai karena kekhasannya terhadap cengkok dan ritme yang membedakannya dari sinandong lain yang ada di Sumareta Utara. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan kerjasama dengan Pemda setempat untuk melestarikan dan merevitalisasi sinandong ini. Harapan peneliti kerpada masyarakat Melayu yang ada di Tanjungbalai, hendaklah menjadikan sinandong sebagai hiburan dalam setiap penyelenggaraan acara adat dan pesta perkawinan, mengayunkan anak, dan sunat rasul. Melalui group sinandong pendidikan karakter anak dapat ditanamkan. Hal yang paling penting lainnya adalah dalam upaya pelestarian budaya. Kalau tidak kita, siapa lagi yang akan melestarikan budaya sendiri.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



DAFTAR PUSTAKA



Abidin, Zainal. 2006. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung: Remaja Rosdakarya Alisjahbana, S. Takdir. 2008. Seni dan Sastra di Tengah-tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan. Jakarta: Dian Rakyat Al-Hadi, Syed Alwi Sheikh. 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka All About Living with Life. 2009. ―11 Benefits of Positive Thinking‖. Tersedia pada:



http://www.allaboutlivingwithlife.blogspot.com/



2009/07/11-



benefit-of-positive thingking.html Avan, Alexander. 2010. Parijs van Soematra. Medan: Rainmaker Publishing House Azra, Azyumardi. 1999. KonteksBerteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. Bungin, Burhan. 2010a. Penelitian Kualitatif (Komuniasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya). Jakarta: Predana Media Group Bungin, Burhan. 2010b. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers Cartwright, Catherine



and Jones. 2008. North African Henna: History and



Technique. United States of America: Henna Page Publications Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka utama grafiti Dandes, Alan. 1965. The Study of Folklore. Englewood: Pretice-Hall Eliade, Mircea. 2002. Mitos Gerak Kembali yang Abadi, Kosmos dan Sejarah. Penerjemah Cuk Ananta. Yogyakarta: Ikon Teralitera Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah mada University Press



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress Eprison. 2009. ―Jatidiri Masyarakat Kerinci dalam Sastra Lisan Kerinci‖ (Tesis). USU Erwany, Lela. 2012. ―Strukturalisme ‗Dadong‘ Sinandong Asahan Tanjung Balai‖ dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume IV Edisi Februari. Medan: FKIP UMSU Erwany, Lela. 2013.―Citra Arketipe ‗Sinandong Hiburan‘ dalam Senandong Asahan Melayu Batubara‖ dalam Bahtera, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Volume VI Edisi Februari. Medan: FKIP UMSU Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal Arts: A Guide to Reserach Practices. London and New York: Routledge. Foley, John Miles. 1988. The Theory of Oral Composition: History and Methodology. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Garna, K. Judistira. 1996. Ilmu-ilmu Sosial Dasar – Konsep – Posisi. Bandung: Ps. UNPAD Grunebaum, Gustave E. Von (ed.). 1955. Islam: Essays in Nature and Growth of a Cultural Tradition. London: Basic Books. Hamid, Ismail. 1988. Masyarakat dan Budaya Melayu. Kuala lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Hardjana, Andre. 1991. Kritik sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Hartoko, Dick. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia http://alampedia.blogspot.co.id/2014/11/akordeon-alat-musik-tradisional- diunduh tanggal 2 Desember 2015 http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf) diunduh pada tanggal 16 Nopember 2015 http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?project_id=00022



diunduh



pada



tanggal 20 Januari 2016



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/02/pengertian-tujuan-dan-ruang-lingkup -ilmubudaya), diunduh pada tanggal 16 Nopember 2015 http://patch.com/connecticut/greenwich/bp--history-of-mehndi-history-of-henna, diunduh pada tanggal 20 April 2016 Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia terhadap Kebudayaan Indonesia. Penerjemah Yusuf Anas. Jakarta: Citra Kartodirjo, Sartono. 1978. Kedudukan dan Peranan Sistem Gotong Royong dalam Perkembangan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: UGM Ki Zerbo, Joseph. 1990. "Methodology and African Prehistory" dalam UNESCO International Scientific Committee for the Drafting of a General History of Africa. James Currey Publishers. Koentjoroningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern. Jakarta: Pusaka Indonesia Satu Lutviansori, Arif. 2010. Hak Cipta dan Perlindungan Folklor di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu M.S., Suwardi. 2008. Dari Melayu ke Indonesia, Peranan Kebudayaan Melayu dalam Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin Muhaimin AG. 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal Potret Dari Cirebon. Jakarta: Logos. Mulhern, Francis. 2010. Budaya/metabudaya, Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Jalasutra Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ong, Walter J. 1982. Orality and Literacy. London and New York: Routledge. Peck, John & Coyle, Martin. 1990. Literary Term and Criticism. London: Macmillan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Pradopo, Rachmad Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Rachmat Subagya. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Ratna, Yoman Khuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Yoman Khuta. 2010a. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Yoman Khuta. 2011. Antropologi Sastra, Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ratna, Yoman Khuta. 2010b. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan Ilmu Sosoal Humaniora pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ridwan, T.Amin. 2005. Budaya Melayu Menghadapi Globalisasi. Medan: USU Press Roekhan. 1990. ―Penelitian Tekstual dalam Psikologi Sastra: Persoalan Teori dan Terapan‖ dalam Sekitar Masalah Sastra,



Aminuddin (Ed.). Malang:



YA3 Rusyana Yus. 1978. Sastra Lisan Sunda. Jakarta: Depdikbud Sahril. 2007. ―Sinandong dan Estetika Melayu‖ dalam Medan Makna, Volume 4. Medan: Balai Bahasa Salim, Agus. 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Santoso, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Jakarta: Angkasa Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta: Grasindo Sarwono, Sarlito Wirawan. 2000. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang Sarwono, Sarlito Wirawan. 2002. Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokohtokoh Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sarwono, Sarlito Wirawan. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada Semi, M.Atar. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal, Hakikat,Peran, dan Medote Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan Sibarani, Robert. 2015. Pembentukan Karakter Langkah-langkah Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan Sikana, Mana. 2009. Teori Sastera Kontemporari. Singapore: Pustaka Karya Sikana, Mana. 2007. Teras Sastra Melayu Tradisional. Singapore: Pustaka Karya Sinar,T. Luckman. 1994. Jatidiri Melayu. Medan: MABMI Sinar,T. Luckman. 2006. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur. Medan: Yayasan Kesultanan Serdang Sinar, Tengku Silvana. 2011. Kearifan Lokal Berpantun dalam Perkawinan Adat Melayu Batubara. Medan: USU Press Siregar, Miko. 1996. ―Tabuik Piaman, Kajian Antropologis terhadap Mitos dan Ritual‖ (Tesis). UI Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra, Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soerjanto Poespowardojo. 1986.―Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi". Dalam Ayatrohaedi (ed.). Kepribadian budaya bangsa (localgenius). Jakarta: Pustaka Jaya. Sumarjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesustraan. Jakarta: Gramedia Takari, Muhammad dan Fadlin. 2008. Sastra Melayu Sumatera Utara. Medan: USU Takari, Muhammad, dkk. 2015. Adat Perkawinan Melayu. Gagasan, Terapan, Fungsi, dan Kearifannya. Medan: Bartong Jaya Tarigan, Henry Guntur. 1991. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Teeuw,A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tiezzi, E., Marchettini, T. & Rossini, M. TT. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. http://library.witpress.com/pages/ paperinfo.asp. Tim Redaksi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan Nasional. 2005. Pedoman Kajian Tradisi Lisan (KTL) sebagai Kekuatan Kultural. Jakarta Tim Redaksi Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Toha, Riris K. dan Sarumpaet. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Ubaedy, An. 2008. Kedahsyatan Berpikir Positif. Depok: PT Visi Gagas Komunika. Umri, Syafwan Hadi. 2010. Mitos Sastra Melayu, Kajian Tekstual dan Kontekstual. Medan: USU Press Vansina, Jan. 1961. De La Tradition Orale. Terjemahan oleh H.M. Wright. Oral Tradition: A Study in Historical Methodology. London: Routledge & Kegan Paul. Vansina, Jan. 1985. Oral Tradition as History. London: James Currey Publishers Wales, Katie. 2001. A dictionary of Stylistics. London: Macmillan Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Andi Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Penerjemah Melani Budianta. Jakarta: Gramedia Yunita, Erni. 2011. ―Analisis Semiotik Tradisi Bermantra Pagar Diri di Desa Huta Ujung Gading Julu, Kabupaten Padang Lawas Propinsi Sumatera Utara‖ (Tesis). USU Yuwono, Untung. 2007. Gerbang Sastra Indonesia Klasik. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Zakiyuddin Baidhawy & Mutohharun Jinan(eds.). 2003. Agama dan Pluralitas Budaya Lokal. Surakarta: PSB-PS UMS. Zoest, Aart Van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik. Penerjemah Manoekmi Sardjoe dan Apsanti Ds. Jakarta: Intermasa



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



LAMPIRAN:



Lampiran I: Identitas Informan



1. Nama



: H. Hasanuddin M. Yus



Umur



: 69 tahun



Pekerjaan



: bertani



Jabatan



: Pimpinan Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)



Alamat



: Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



2. Nama



: Fatimah Yus



Umur



: 64 tahun



Pekerjaan



: pesinandong



Jabatan



: Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)



Alamat



: Jl. Jendral Sudirman Gg. Langgar no. 6, LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



3. Nama



: Fauzi



Umur



: 53 tahun



Pekerjaan



: Pengawai Dinas Pendidikan Tanjungbalai



Alamat



: Jl. Malaka Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. Nama



: Nur Banun



Umur



: 51 tahun



Pekerjaan



: Pegawai Dinas Pendidikan Tanjungbalai



Jabatan



: Pimpinan Sanggar Tari Kharisma



Alamat



: Jl. Malaka Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



5. Nama



: M. Zainul



Umur



: 61 tahun



Pekerjaan



: Pegawai Dinas Pariwisata Tanjungbalai



Jabatan



: Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)



Alamat



: Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



6. Nama



: H. Hasanuddin M. Yus



Umur



: 69 tahun



Pekerjaan



: bertani



Jabatan



: Pimpinan Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)



Alamat



: Jl. Jendral Sudirman LK II Kel. Pantai Johor, Kec. Datuk Bandar Kodya Tanjungbalai



7. Nama Umur



: Ramadhan Sitorus : 48 tahun



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pekerjaan



: Guru SD



Jabatan



: Anggota Jamiatul Qashidah Indonesia (JQI)



Alamat



: Jln. Selat Lancang Kodya Tanjungbalai



8. Nama



: Zainal Arifin



Umur



: 52 tahun



Pekerjaan



: Wiraswasta



Jabatan



: Sekretaris Dewan Kesenian Tanjungbalai



Alamat



: Jl. Gereja no. 2 Kodya Tanjungbalai



9. Nama



: Jefri



Umur



: 60 tahun



Pekerjaan



: Nelayan



Jabatan



: Pengetua Adat Melayu



Alamat



: Bagan Asahan



10. Nama



: Rodiah



Umur



: 67 Tahun



Pekerjaan



: Bidan Desa



Alamat



: Jln. Dusun II Kelurahan Pulau Simardan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran II: Daftar Pertanyaan Wawancara 1. Apakah malam berinai ini hanya dilaksanakan dalam masyarakat Melayu Tanjungbalai saja? Adakah berbedaannya dengan daerah lain? 2. Bagaimana pelaksanaan upacara malam berinai di Tanjungbalai jaman dahulu dan sekarang? Adakah perbedaannya? 3. Dalam perkembangannya adakah upacara malam berinai di Tanjungbalai mengalami perubahan? Apa yang menyebabkannya? 4. Apa makna malam berinai bagi masyarakat Melayu Tanjungbalai? 5. Apa makna gerakan tari yang ada di dalam tari Gubang? 6. Mengapa orang Melayu di Tanjungbalai sudah mulai meninggalkan tradisi upacara malam berinai ini? 7. Apakah tujuan orang untuk membuat acara malam berinai ini? 8. Adakah makna filosofi yang terdapat pada malam berinai? 9. Apakah Anda pernah melihat pertunjukan Sinandong, kapan dan bagaimana bentuk pertunjukannya? 10.



Dalam upacara adat apa saja sinandong dipertunjukkan? Apakah ada



dalam acara lain? 11.



Pada mulanya sinandong dipertunjukkan untuk siapa?



12. Apakah sinandong ini merupakan identitas dari masyarakat Tanjungbalai? Apakah ada perbedaan sinandong yang di Tanjungbalai dengan daerah Melayu lainnya? 13. Apakah Anda mengetahui mitos atau asal usul tentang sinandong? 14. Apa yang menyebabkan bergesernya fungsi sinandong? 15. Apakah ada campur tangan pemerintah Kodya Tanjungbalai untuk melestarikan budaya upacara malam berinai dan pertunjukan sinandong ini? 16. Bagaimana kebijakan pemerintah setempat terhadap pelestarian budaya ini? 17. Bagaimana model pewarisan upacara malam berinai yang diinginkan oleh masyarakat? 18. Bagaimana model pewarisan sinandong yang diinginkan oleh masyarakat?



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



19. Apa saja yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk melestarikan tradisi upacara malam berinai dan pertunjukan sinandong? bagaimana cara melestarikan hal tersebut?



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Lampiran III: Teks Sinandong



A. Sinandong pada Malam Berinai Pasangan Pida dan Reza 1. Dadong (Sinandong Anak) (1). Sinandong Membuai Anak Tidolah-tidohlah sayang.... Tidolah nak tidolah sayang tidolah-tido, Picengkan mato tak lamo lagi ayahmu balek nak Jangan rusak nak, jangan binaso Jangan dibogi semacam penyaket.... Tidolah tido tidolah sayang..... Tidolah-tidolah sayang.... Tidolah-tidolah nak picengkan mato... Anakku sayang.... sirajo mudo.... Ruponyo elok nak, bijaklaksono.... Sesuai...dengan adat lembago. Tidolah-tido...lah sayang.... Tidolah-tido nak picengkan mato, Anak intan jang sari gomalo, Salah pikeh jang rusaklah kito... Salah tingkah jang menjadi kato... Tidolah...tido...tidolah...sayang... Tidolah-tidolah sayang... Tidolah tido nak, picengkan mato Anak omak si buah hati... Kalau boso balaslah jaso Kemano pogi dapat jeroki Tidolah-tido nak...tidolah sa...sa...yang Tidolah nak...tidolah sayang... (2) Dadonglah dadong....dadong........dadong...... Dadong...........dadong............dadong....didadong....... Dadong dadong...........nak dadong didadong ala sayang.........



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Putek pauh jang delimo batu....... Anak sembilang nak di tapak tangan........ Sunggoh jauh nak beribu batu...... Hilang dimato nak di hati jangan... Dadonglah dadong....dadong.......didadong...... Dadong...........dadong...........nak dadong didadong....... Dadong dadong..........dadong didadong ........ Didadong dadong dadong nak dadong didadong....... Ondak guleilah guleilah nangko.... Jangan ditimpok nak....si batang paoh......... Ondak tido nak tidolah matoooooooooo.... Jangan dikonang ayah yang jaoh..... Dadong dadong....dadong........didadong...... Dadong...........dadong.....nak.......dadong....didadong....... Dadong dadong...........dadong..... didadonglah sayang........ Dadong dadong....dadong........didadong...... Ondak di ruang tidak teruang........ Sudah menjadi si combul gadeng........ Ondak dibuang tidak tebuang....... Sudah menjadi si darah dageng........ Dadong dadong....dadong........didadong...... Dadong dadong...........didadong......



.



(2). Sinandong Menimang Anak Iyolah molek iyolah sayang.... Iyolah molek iyolah....molek sayang Tido anakku tidolah anakku Tidolah anakku.... tidolah sayang Kalau gugo....gugo kepoyang.... Jatoh ke bumi terobang melayang.... Jatoh...terobang melayang. Tido anakku tidolah sayang.... Agar omakmu biso ke ladang. Lalalalala...



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Cenggok- cenggok payong Malako Payong boso rajo mudo... Mak alang oi... Jangan rusak nak jangan binaso, Bogi kuntom bungo cempako... Mak ongah oi...tinggi-tinggi tinggi...tinggi...sampai atap Bolum tumbuh gigi pandai baca kitab. Timang-tmang gulai keladi Asyek bek betimang kerojo tak menjadi... Intan sari gumalomak uteh oi... Salah pikeh jang rusaklah kito Salah tingkah menjadi kato Timang si lado-lado, Lado menggulai bolut... Asyek bak betimang Kerojo pun begulut...



(3). Sinandong Menidurkan (Menguletkan) Anak Dado-dado dado di dado Dado di dado dado dado di dado... Dadolah dado nak dado Didado ....iiii dado didado... Dadolah dado... Kalaulah gugo nak gugolah nangko... Usah ditimpoh nak oi... Si ranteng paoh....... Kalau nak tido nak tidolah mato.... Jangan dicinto.... ayah yang jaoh Dadolah dado dado di dado.... Dado di dadoooooooo.... dado di dado.... Ayamlah kurek yang kulaboh ke Sontang.... Siko tatambatlah nak oi.....di Limau Manis, Tak lamo lagi hari pun potang.... Bontanglah tiko ala nak oi....tunduk menangis..... Dadodidado..........dadolah dado dado di Dado..... Dadodi.....dado....dadodidadolah nak Oi..........



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



2. Didong (Sinandong Nelayan) (1) Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi.... Ooooooooiiiiii........................ Didonglah didong..... didonglah kunun sayang......... Ooooooiiiii didonglah didong sayang.............. Betolurlah kau senangin......... Betolurlak kau senangin..........betolurlah Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya.............. Berombuslah kau angin.................... Berombuslah kau angin..................berombus........... Supayo copat kamilah sampe............... Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii Sayang si bacok si buah bacok ala kunun oooooooooiiiiiiii Sayang si bacok si buah bacok ala kunun oooooooooiiiiiiii Bacok tecacak di haluan Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan. Bukanlah bacok sembarang bacok Ka ka pariuk di ranting kayu Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang (2) Didong.............didong......... lah didong........didong lah......... didong oooooooiiiiiiii didonglah didong................. didong didonglah...........didong.............. ala didong ooooooooooooiiiiiiiiiii oooooooiiiii didong di didong di didong oiiiiiii betolu jugo kau senangin............ amboiiiiiiiiiiiii ........ooooooooooooooooiiiiiiiiiiii betolu kunun sepanjang pantai.........oooooooooiiiiiiiiii berombuslah kau angin......................sepanjang pantai............. ooooiiiiiiiii.... barombuslah kau angin............. sepanjang pantai................ supayo lokas kami nan sampai............oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooiiii.... oooooooooiiiiiiii timurlah mari selatan mari..........



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



hai........asal jangan jang............. si barat dayo......ooooooiiiiii barombuslah angin....... barombus kunun......angin barombus....... supayolah kami supatolah kami lokaslah sam..............pai................. (3) Oooooooooooiiiiiiiiiiiii nandong di nandong Inilah ooooooooiiiiiii senandong Asahan Angin bertiup angin melambai oooooooooooooiiiiiiiiiii Penduduknyo banyak tani nelayan oooooiiiiiiiiii Di masa lalu raso gelisoh....ooooooiiiiiiiiiii Hasil didapat tak dapat dikunyah Oooooooooiiiiiiiiiiiiii nandung dinandung Nyiur melambai di topi pantai oooooooooiiiiiiiiiii Nelayan mengarang ombak dan badai ooooooiiiiiiiii Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung...... Petani riang turun ke sawah ooooooooiiiiiiiiiii Tampak nelayan bekayuh santai oooooooooiiiiiiiii Oooooooooooiiiiiiiii nandung di nadung...... (3) Sinandong mengonang Naseb (1) Siapi-api si Tanjungnapal.................... Hutannyo lobat kayu langkadei Kalaulah mati tidak beramal................. Bagai sampan dhompas badai Turunlah ribut kugulung layar............. Hanyutlah kapal patah kemudi Bolehnyo dirobut dunio nan lebar............... Sediokan amal sebolum mati Oooooooooooiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii Sungguhlah cantik tuan oooooooooooooiiiiiiii Amboiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Sungguhlah cantik si kain panjang........... Dipakai nak daro kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiii Dipakai nak daro di waktu potang Ooooooooooooooiiiiiiiiii Berbuat baik kunun ooooooooooiiiiiiiiiiiii Amboooooooooooooooooiiiiiiiii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Berbuat baik di kampung orang Supayo kito sudaroku oooooooooooiiiiiiiiiiiii Supayo kito disukoi orang Ooooooooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooooiiiiiiiiiiiiii Kayulah arang kunun ooooooooooooooiiiiiiiiiiii Oooooooooiiiiiiiiiiiiii dilindung bulaaaaaaan Dilindung buuuuuuulaaan Patah dahannyo diguncanglah ombaaaaaaaaaaaaaak Ooooooooooooiiiiiiiiiiiiiii oooooooooooooooiiiiiiiiiii Setiap tahuuuuuuuuuuuuuuuuuunnnnn Hai setiap tahuuuuuuuuuun sudaroku ooooooooiiiiii Ooooooooooooiiiiiiiii nabi berpooooooooosan Oooooooooooooiiiiiiii oooooooooooooiiiiiiiiiiii Hai menyuruh sholat baya sudaoku.......... Dengan puaaaaaaaaaaaaaaasooo. Hai............. menyuruhlah sho...........lat baya Dengan pua............so Sinandung ooooooooooooiiiiiiiiii Ooooooooooiiiiiiii menumbuk kunun oooooooooooiiiiiiii Hai di losung batu Hai di losung batu.................... Ambeklah antan batang galengga.....................ng Oooooooooiiiiiiii oooooooooooiiiiiii sakitlah sungguh Sudaroku ooooooooooiiiiiiiiiiiiii Hai daga.................ng piatu oooooooiiiiiiii ooooooooiiiiiiii Kainlah basa...........baya koringlah...... di pinggang........ Oooooooooiiiiiiiiii sinandung Kain basahan..............baya.... koring di pinggang Sinandong ooooooooiiiiiiiiiiiii (2) Hoi........ i...........iiiiiiiiiiiii.... Menumbuk kunun jang di losung batu Oi...ii.......di losung baaaaatuuuu....oi........ Noseb...............malang............... Antan dibuat jang batang gelenggang................ iiiiiiiiiiiii..............oi...........naseb ............malang hoi............saketlah sungguh.................... dagang piatu daaaaagaaaaaaang piaaaaaaatu......tuan oi...........iiiiiiiiii.....lah nadong oi...........oh...........oh........kaenlah basah koreng.............. di pinggang......ala sinadong hoi......ii....koreng di...........pinggang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



hoi....iii naek raket mengambek kupang............. mengambek kupang oh.....nandung oi.......... pukat di labuh topi kualo oi..........oi..iii.....iii. oooooooiiiiiiiiii naseb malang hoi.......sunggohlah saket badan menumpang hidup menumpang.....hidup menom.............pang........ hoi.............alah naseb...............oi.................oi ae yang koruh jang...........oi.......malang badan diminum jugo...............oi...............oi.............. sinandong oi..................oi.......... (4) Senandong Muda-mudi Hooooooooiiiiiiiiiii hooooooiiiiiiiii Beribu-ribu bijit nangkoku.............. Bijit.................nangkoku......... Alah abang sayang oooooooooiiiiiiiiiii Cincin pemato jang jatuh ke ruang...oooooooooooooiiiiiiiiiii Alah abang sayang........ooooooooooooiiiiiiiiiii Kalau rindu sobut namoku............. Sobut namoku bang oooooooooiiiiiiiiiiiii ooooooooooooiiiiiiiii Abang sayang oiiiiiiiii oooooooiiiiiiiii Aelah mato ............jangan dibuang......... Abang sayang oooooooiiiiiii........ Jangan dibuang............ abang ooooiiiiiiii....... Kupu kupu teobang ke langit Teobang ke langiiiiiiiiiiiit alah bang oooooooiiiiii Tibo di langit mencabek kaen.......oooooooooooiiiiiiiiiiiii Alah abang sayang ooooooooooiiiiiiiiii Adindo .......... tidak bang oooooooiiiiiiiiii Mencari yang laen alah bang sayang.......oooooooooiiiiiiiii Adindo.......... tidak mencari laen Abang sayang.......oooooooooiiiiiiiii



(5) Senadong Hiburan Hoi............... dulu ditutuh intan ooooooooooooiiiiiii Baru ditobang............baru ditobang............. Ambek sedahan samparan kaen........... Oooooooiiiiiii ooooooooiiiiiiii ooooooooiiiii sudaroku Oooooooooiiiiiiiii oooooooooooiiiiiiiiiiiiiii Tompatlah jatoh..........tompatlah jotoh...... Dikonang.......dikooooooooooooooonang oooooooooiiiiiiii Intan payong............. kununlah puak..........



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tompatlah bermain............alah gunung Tompat bermaeeeeeeeeeeeeeen sudaroku........... oooiiiiiiiii Puteklah intan oooooooooiiiiiiiiidelimo batu..... Delimo batu............. Anak sembilang di tapak taaaaaaaaaaaaangan Oooooooiiiiiiiii oooooooooooiiiiiiiii oooooooiiiiiiii sudaaaaaaaaaaroku Sunggohlah jaaaaaaaaaaaaoh................... Sunggohlah jaoh sudaroku................ Oooooooooiiiiiiiiii beribu ba..........tu ooooooooiiiiiiii Intan payong oooooooiiiiiiiiiiiiiiii Hilang di maaaaaaaaaaa......to........ Di hatilah jangan.............. alah gunong........ Di hati jaaaaaaaaa......ngan..........sudoroku oooooooiiiiiiiiii B. Sinandong pada Pasangan Liza dan Rahmad 1. Sinandong Anak (Dadong) (1) Ondakla gugur jang gugur kau nangko Jangan ditimpok si ranting paoh Ondakla tidur anak oi tidur kau manjo Jangan dikonang nak oi orang nan jaoh Ohoi..ondakla gugur tuan oi Ai..gugur kau nangko..gugur kau nangko Jangan ditimpok jang si ranting paoh hoi.. Intan payong oi…. Amboi..ondakla tidur..ondakla tidur jang tidur kau manjo Ahai..tidur kau manjo hoi..intan payong Oi..jangan dikonang nak oi orang nan jaoh Oh intan payung kudodoi orang nan jaoh Sinandong oi…



(2) Iyolah molek iyolah sayang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Berbuat baek lah baek orang pun sayang Berbuat baek lah baek orang pun sayang Angin bertiup layar terkembang Angin bertiup amboi layar terkembang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Sampan melonjak malonjak naik gelombang Sampan melonjak melonjak naik gelombang Sedikit tidak amboi meraso bimbang Sedikit tidak amboi meraso bimbang Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang Lamat nelayan..nelayan dalam berjuang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Iyolah molek yo molek iyolah sayang Berbuat baek la baek orang pun sayang Berbuat baek la baek orang pun sayang



2. Sinandong Nelayan (Didong) Didonglah di didong didonglah didong oooooooooi.... Ooooooooiiiiii........................ Didonglah didong..... didonglah kunun sayang......... Ooooooiiiii didonglah didong sayang.............. Betolurlah kau senangin......... Betolurlak kau senangin..........betolurlah Betolurlah kunun............. sepanjang pante.... baya.............. Berombuslah kau angin.................... Berombuslah kau angin..................berombus........... Supayo copat kamilah sampe............... Ooooooooooooooiiiiii oooooooooooii ooooooooooiiiii Sayang si bacong si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Sayang si bacon si dua bacong ala kunun oooooooooiiiiiiii Bacok tecacak di haluan Ooooooooooooooooooooiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii Bagailah mano ondak masuk anak bayo oooooiiii Musuh tepacak di tanjung puan. Bukanlah bacon sembarang bacong Ka ka pariuk di ranting kayu Bukanlah datang sembarang datang Datang menghibur penganten baru Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang Gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gu gubang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3. Sinandong Hiburan (1) Cenggak cenggok jang payung malako Singgah somalam di ujung tanjung mak ulung oi Jangan rusak jang jangan binaso Tori puntung bungo cempako mak alang oi Tiang la cenggok tinggi (2x) Tinggi-tinggi la sampai ke atas atap (2x) Copat la tumbuh gigi (2x) Supayo copat membaco kitab (2x) (2) Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju Singgah mak ijah singgah makan la bubur sagu Makan mak ijah makan sodap apo laoknyo Adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru Boting la bogak boting belacan tompat berlabuh perahu nelayan Sudah la puas minum dan makan memandang laot tidak la bosan



(2x)



Kayoh mak ijah kayoh, kayoh la laju-laju Sila mak ijah makan wajik dan kue putu Makan mak ijah lokas kawan lamo menunggu Adolah bubur podas bubur orang Melayu Berlayar biduk ke pualu pandan Tarik kemudi jaga haluan Terima kasih mak ijah ucapkan Santapan lezat sudah dimakan



(2x)



Sayang sayang oi nak oi mak ijah ingin la pulang makanan sudah habis porut pun sudah konyang sayang sayang oi nak oi bukakan tali sampan air pun sudah surut simpat nak naek pasang



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



kayoh mak ijah kayoh, kayoh lah laju-laju singgah mak ijah singgah makan lah bubur sagu makan mak ijah makan sodap apo laoknyo adolah rondang kopah sombam ikan cengcaru



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA