Trial Makalah 1 Revisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DASAR FISIOLOGI REPRODUKSI “AMENORE PRIMER”



Oleh : Windarti (011924653002) Fadhilatul Karimah (011924653003) Ridzky Berliana Kusuma (011924653004) Ihda Nailul ‘Ilma Mufida (011924653008)



MAGISTER ILMU KESEHATAN REPRODUKSI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA 2019/2020



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon. Tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui vagina setiap bulan pada seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium (Speroff L, 2011)Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu: 1. Amenorea fisiologik Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan, masa laktasi dan sesudah menopause. 2. Amenorea patologik Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun ke atas belum pernah dapat haid; sedang pada amenorea sekunder penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi. Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder (Speroff L, 2011). Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik. Prevalensi amenore primer di Amerika Serikat didapatkan sebesar 30 IU/L ) dapat terjadi pada kelainan kromosom seperti sindrom Turner, XX atau XY Gonadal Disgenesis, Defisiensi enzim 17 α Hidroksilase dengan 46 XX (Brenner, 1999). a. Kelainan hipotalamus-hifofisis 1) Defisit gonadotropin terisolasi Defisit gonadotropin terisolasi merupakan penyebab yang jarang dari amenorea hipotalamus, termasuk sindrom Kallman dan



hipogonadisme



hipogonadotropik



idiopatik



(Christman,1998) Sindrom Kallman merupakan penyakit perkembangan heterogen genetik yang ditandai dengan defisiensi gonadotropinreleasing



hormone



dan



gangguan



perkembangan



nervus



olfaktorius, bulbus dan sulcus, dengan insidensi 1/40000 anak perempuan dan 1: 8000 anak laki-laki. Gangguan ini dapat bersifat autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap, autosomal resesif, resesif terkait X, atau dapat memiliki pola warisan oligogenik / digenik.16 Hingga kini, lima gen telah terlibat dalam patogenesis penyakit: KAL1, FGFR1, FGF8, PROKR2 dan PROK2. Namun, jumlah yang lebih kecil (sekitar 30%) dari subjek yang terkena menunjukkan mutasi pada salah satu gen ini. Wanita yang terkena menunjukkan hipogonadisme hipogonadik, amenorea dan tidak adanya karakteristik seksual sekunder



bersama-sama



dengan



hiposmia



atau



anosmia.



Umumnya, diagnosis dilakukan selama masa remaja berdasarkan pada gangguan reproduksi dan penciuman. Namun, pasien dengan sindrom Kallman dapat memanifestasikan karakteristik



lebih lanjut serta retardasi mental, ataksia serebelar, anomali kardiovaskular,



perubahan



kranio-fasial,



agenesis



ginjal,



gangguan pendengaran, dan perubahan yang abnormal dari visual spasial (Christman,1998) a) Hipogonadisme hipogonadik idiopatik adalah penyakit genetik langka yang disebabkan oleh defisiensi pelepasan gonadotropin-releasing



hormone



hipotalamus;



Namun,



gangguan ini juga bisa disebabkan oleh gangguan aksi gonadotropin-releasing hormone dalam sel gonadotropin di hipofisis.9 Hipogonadisme hipogonadik idiopatik telah diusulkan diakibatkan anomali fungsional terisolasi dari sinyal



neuroendokrin



untuk



pelepasan



gonadotropin-



releasing hormone atau gonadotropin. Bahkan, pada subyek ini tidak ada perubahan perkembangan atau anatomi aksis hipotalamus-hipofisis-gonadotropin yang telah dijelaskan; pasien yang terkena menunjukkan penciuman yang normal dengan adanya fenotipe yang berasal dari gonadotropin pra dan



pasca



kelahiran



dan



defisiensi



steroid



seks.



Hipogonadisme hipogonadotropik mungkin juga terjadi karena mutasi pada gen reseptor gonadotropin-releasing hormone (Budi, 2005) 2) Penyebab Hipofisis Gangguan hipofisis utama yang bertanggung jawab untuk amenorea termasuk tumor, gangguan inflamasi / infiltratif, panhipohipofisisme dan empty sella syndrome.2 Tumor hipofisis yang dapat menyebabkan amenorea termasuk prolaktinoma,dan tumor lainnya yang mensekresi hormon seperti hormon adrenokortikotropik, thyrotropin-stimulating hormone, hormon pertumbuhan, gonadotropin (luteinizing hormone, folliclestimulating hormone) (Christman,1998).



b. Sindrom Turner



Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang dijumpai dengan sindroma yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus. Penderita-penderita ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai wanita (Budi, 2005). Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang kromatin seks negatif. Pola kromosom pada kebanyakan mereka adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX. Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita. Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa, berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen (Budi, 2005). Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma Turner dapat dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm, dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke lateral, payudara tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada, amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis, gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, anomali ginjal (hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batasbatas normal atau renda (Budi, 2005). Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus yang klasik berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya kromatin



seks.



Pada



kasus-kasus



yang



meragukan,



perlu



diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai sebagai pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder yang sangat minimal atau tidak ada sama sekal (Budi, 2005).



Gambar Gejala Sindrom Turner Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah pengobatan substitusi yang bertujuan untuk: 



Merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama pertumbuhan payudara







Menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika uterus sudah berkembang







Mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun tidak mungkin untuk mendapat keturunan







Alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai wanita. Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi



dengan progestagen secara siklis sampai masa menopause atau pascamenopause.



Berhubung



dengan



kemungkinan



bahwa



pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara prematur sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda sampai penutupan garis epifisis sudah terjadi (Budi, 2005). c. Gonadal Disgenesis



Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan sistem Mulleri yang teraba, kadar testoteron wanita normal dan kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer. Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati pun terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi sejumlah androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal; tidak terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang usia (Budi, 2005). 2. Amenore Primer Grup II Wanita amenore primer grup II ( Payudara ada ; Uterus tidak ada) terdapat paparan estrogen yang normal dari produksi ovarium akan tetapi terjadi gangguan pertumbuhan organ reproduksi (Frindik, 2001). Ada dua kemungkinan pada grup ini yaitu : 1.



Ketiadaan uterus kongenital ( Sindrom Rokitansky Kustner Hauser ) → Karyotip 46 XX dengan gonad ovarium.



2.



Sindrom Insensitifitas Androgen ( Sindrom Feminisasi Testis ) → Karyotip 46 XY (Frindik, 2001). Pada Sindrom RKH, dasarnya genotip wanita akan tetapi terjadi



agenesis duktus Muller dengan ovarium normal, sehingga terjadi gangguan pada perkembangan genitalia vagina dan uterus, sedangkan hubungan aksis Hipotalamus – Hipofise – Ovarium normal yang memungkinkan terjadi ovulasi.



a. RKH (Mayer Rokitansky Kuster Hauser Syndrome ) Terhambatnya



perkembangan



duktus



Mulleri



(Mayer-



Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) merupakan diagnosis pada individu dengan keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi. Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai saluran penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter, bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria, diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal tubuh



atau



kadar



progesteron



perifer.



Pertumbuhan



dan



perkembangan penderita normal (Budi, 2005). Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus, pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila gambaran anatomis sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi. Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid, hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam kanalis inguinalis (Budi, 2005). Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada pembedahan, maka bila memungkinkan Speroff dkk lebih memilih alternatif untuk melakukan konstruksi bedah dengan membuat vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan



dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20 menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan makin besar, vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih dalam 6-12 minggu. Terapi operatif ditujukan bagi penderita yang tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank, atau gagal, atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih mungkin



untuk



dipertahankan.



Penderita



seperti



ini



dapat



diidentifikasi dengan adanya simptom retained menstruation. Ada juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks atresia, uterus harus diangkat (Budi, 2005). Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi kegagalan kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala obstruksi dan frekuensi urin. Septum transversalis dapat dibedakan dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi introitus pada manuver Valsava (Budi, 2005). Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian distal merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai keadaan emergensi. Keterlambatan dalam terapi bedah dapat menyebabkan peradangan dilakukan



terjadi dan



endometriosis.



sesegera



menggunakan



infertilitas mungkin.



jarum



tidak



sebagai



akibat



Pembedahan Diagnostik



boleh



perubahan



definitif dengan



dilakukan



harus aspirasi



karena



dapat



menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos. b. TFS (Testiscular Feminization Syndrome) Insensitifitas



androgen



komplit



(sindroma



feminisasi



testikuler) merupakan diagnosis yang paling mungkin bilamana terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan



ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita dengan feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki penderita; jadi individu ini memiliki testes dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi, individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau sangat kurangnya rambut kemaluan dan ketiak (Budi, 2005). Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang dimilikinya pria dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan bentuk insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini melalui X-linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap reseptor androgen intraseluler (Budi, 2005). Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut: 



Anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes seringkali mengalami parsial descensus







Penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus







Penderita tanpa bulu-bulu di tubuh. Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin



adanya hernia inguinal, dan penderita tidak dibawa ke dokter sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal. Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak cukup, puting susu kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50% dengan



hernia



inguinalis,



labia



minora



biasanya



kurang



berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang kala dengan hanya selapis epitel. Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang wanita, maka kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apaapa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal



dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis, maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormone (Budi, 2005). 3. Amenore Primer Grup III Pada amenore primer grup III ( Payudara tidak ada; Uterus tidak ada ) payudara tidak pernah terpapar oleh estrogen normal dari ovarium. Pada grup III ini karyotipenya adalah 46 XY dan dapat disebabkan oleh gangguan enzim yaitu defisiensi 17,20 – Desmolase atau 17 α Hidroksilase, sehingga steroidogenesis terganggu (Frindik, 2001). Pada defisiensi enzim 17,20 – Desmolase maka wanita tersebut tidak



bisa



mengkonversi



17



α



OH



Pregnenolon



menjadi



Dehidroepiandrosteron dan juga tidak bisa mengkonversi 17 α OH Progesteron menjadi Androstenedion, sehingga terjadi kegagalan sintesis semua seks steroid. Sintesis Kortisol tidak terpengaruh (Frindik, 2001). Pada defisiensi enzim 17 α Hidroksilase maka wanita tersebut tidak bisa mengkonversi Pregnenolon dan Progesteron menjadi 17 α OH Pregnenolon dan 17 α OH Progesteron, sehingga terjadi kegagalan sintesis semua seks steroid, sintesis Kortisol juga terpengaruh (Frindik, 2001). a. Defisiensi Enzim 17 α Hidroksilase Sindrom defisiensi enzim 17 α Hidroksilase adalah kelainan genetik dari biosintesis steroid yang sangat jarang, yang menyebabkan penurunan produksi glukokortikoid, steroid seks dan peningkatan prekursor mineralokortikoid. Produksi dan aktifitas



mineralokortikoid



yang



berlebihan



ini



akan



menyebabkan hipertensi dan hypokalemia (Frindik, 2001). Sindrom defisiensi enzim 17 α Hidroksilase ini adalah kelainan autosomal resesif, dimana gen yang mengkode enzim 17 α Hidroksilase ini ( CYP 17 ) terletak di kromosom 10 yang terdiri dari 8 ekson dan 7 intron. Abnormalitas genetik pada gen



CYP 17 mempengaruhi steroidogenesis baik di adrenal maupun gonad. Ketidakseimbangan produksi kortisol yang rendah akan menginduksi



peningkatan



mineralokortikoid



yang



ACTH berlebihan,



plasma maka



dan akan



produksi terjadi



peningkatan sekresi dan akumulasi 17 deoksi steroid di zona fasikulata termasuk pregnenolon, progesteron, deoksi kortison ( DOC ) dan kortikosteron. Hipogonadisme terjadi sebagai akibat dari defisiensi produksi steroid seks sehingga akan terjadi gangguan pertumbuhan seksual. Ada yang melaporkan bahwa mutasi ini terjadi pada duplikasi basa ke-4 ekson 8 dari gen CYP 17, yang mempengaruhi pembacaan kode genetik pada 26 asam amino C – terminal dari CYP 450 17 α ( 17 α Hidroksilase ) (Frindik, 2001). Wanita dengan defisiensi enzim 17 α Hidroksilase dengan karyotipe 46 XY tidak memiliki uterus dan hal ini yang membedakannya dari wanita dengan defisiensi enzim 17 α Hidroksilase dengan karyotipe 46 XX. Tidak adanya payudara membedakan wanita ini dengan Sindrom Feminisasi Testis (Christman, 1998). Walaupun terjadi defisiensi kortisol tetapi penderita dengan defisiensi 17 α Hidroksilase ini tidak mengalami insufisiensi adrenal ataupun krisis adrenal. Kortikosteron memiliki sedikit aktifitas glukokortikoid, dan peningkatan konsentrasinya ( ± 50 – 100 x) cukup adekuat untuk mencegah insufisiensi adrenal. Jadi penderita ini tidak mengalami hipoglikemia, hipotensi dan kerentanan terhadap infeksi (Frindik, 2001). Penderita ini akan mengalami amenore primer dengan tipe hipergonadotropin dan hipogonadisme. Dimana dengan paparan estrogen yang tidak ada / sedikit maka tidak didapatkan pertumbuhan seks sekunder. Biasanya penderita dengan 46 XX akan berkonsultasi saat terjadi ‘delayed puberty’ atau belum mendapat menstruasi. Dan penderita dengan 46 XY biasanya



akan tidak terdiagnosa sampai pubertas. Biasanya penderita ini akan “ tumbuh sebagai wanita” dan akan datang berkonsultasi ke ahli endokrin oleh karena tidak adanya tanda seks sekunder sampai usia pubertas. Oleh karena terdapat peningkatan aktifitas mineralokortikoid,



maka



akan



terjadi



hipertensi



dan



hypokalemia (Frindik, 2001). Pada pemeriksaan laboratorium, penderita 46 XX maupun 46 XY tidak memiliki perbedaan biokimia. Semua steroid seks yang memerlukan aktifitas 17 α Hidroksilase untuk produksinya akan berada pada konsentrasi yang rendah. 17 α Hidroksi Pregnenolon, 17 α Hidroksi Progesteron, 11 Deoksi Kortisol, Kortisol,



Dehidroepiandrosteron,



Androstenedion



dan



Testosteron akan berada pada konsentrasi yang rendah. Estrogen sebagai hasil aromatisasi dari testosteron juga menjadi rendah (Frindik, 2001). Konsentrasi Pregnenolon dan Progesteron akan meningkat. Kadar ACTH akan meningkat oleh karena sekresi kortisol yang rendah. Dan Gonadotropin ( FSH dan LH ) akan meningkat oleh karena defisiensi steroid seks dari gonad (Frindik, 2001). Pemberian glukokortikoid eksogen merupakan pilihan utama. Pemberian glukokortikoid menekan sekresi ACTH dan menurunkan kadar 11 Deoksi Kortikosteron dan Kortikosteron (Frindik, 2001). Tekanan darah dan kadar kalium biasanya akan membaik setelah



pemberian



glukokortikoid



ini



sehingga



aktifitas



mineralokortikoid dapat ditekan. Walaupun kadang-kadang tekanan darah tetap atau memberat sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun pada individu tertentu. Untuk keadaan ini maka diperlukan terapi tambahan dengan antihipertensi. Dosis hidrokortison antara 10 – 15 mg/m2/hari peroral dalam dosis terbagi (Frindik, 2001).



Steroid



seks



juga



diperlukan



untuk



mempromosi



pertumbuhan seks sekunder. Estrogen – progesteron terapi secara sekuensial akan dapat menimbulkan menstruasi pada penderita 46 XX. Akan tetapi untuk penderita dengan 46 XY dimana uterus tidak ada, maka pemberian progesteron tidak diperlukan, sehingga dapat diberikan Estrogen saja atau Testosteron. Dosis pemberian hormon seks pengganti ini dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai usia dan maturitas penderita. Pada penderita dengan 46 XY, dimana didapatkan kromosom Y maka diperlukan gonadektomi, oleh karena gonadnya ± 5% memiliki kecenderungan untuk menjadi ganas (Frindik, 2001). Pengamatan lanjutan pada penderita muda atau anak – anak setiap 3 – 4 bulan yaitu mengenai tinggi badan, berat badan, tekanan



darah



dan



kadar



kortikosteron.



Disamping



itu



pemeriksaan foto radiografi tulang panjang ( misal: Lengan kiri ) dapat dikerjakan tiap tahun untuk mengevaluasi maturitas skeletal.



Dosis



glukokortikoid



(



misal



Hidrokortison



)



disesuaikan sesuai respon individual yang dapat dievaluasi dari hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium selama terapi (Frindik,2001). b. Testicular Agonadism Penyebab lain dari amenore primer grup III ini adalah ‘Testicular



Agonadism’.



Menurut



teori,



wanita



dengan



agonadisme memiliki jaringan testis saat perkembangan embrio yang menekan perkembangan sistem Mulleri, akan tetapi setelah itu jaringan testis ini menghilang. Sindrom agonadisme ini juga dikenal dengan ‘The Vanishing Testes Syndrome (Frindik, 2001). Bila defisiensi enzim dapat disingkirkan pada wanita dengan amenore primer grup III, maka diagnosis Agonadisme dapat diberikan (Brenner, 1999).



4.



Amenore Primer Grup IV Pada amenore primer grup IV ( Payudara ada; Uterus ada ) terpapar estrogen yang normal yang diproduksi oleh ovarium. Kelainan pada grup ini dibagi menjadi dua yaitu



 Tanpa obstruksi outflow tract: Pituitary Adenoma , Resistant Ovary Sindrom dan Constitusional Delay 



Obstruksi Outflow Tract: Imperforate Hymen, Transverse Vaginal Septum, atau Cervical Atresia Evaluasi dan penatalaksanaan amenore primer grup IV sama



dengan amenore sekunder (Wiknjosastro, 2005). a. Himen Imperforata Himen imperforata telah diperkirakan memiliki insiden 1/1000.2 Diagnosis jarang pada masa bayi karena kondisi ini biasanya asimtomatik, meskipun dalam kasus yang jarang neonatus dapat menderita pembesaran abdomen yang bermakna. Yang lebih umum, perempuan dengan amenorea akan menerima diagnosis himen imperforata setelah mengalami nyeri abdomen, hematometra atau hematokolpos selama periode pubertasn (Christman, 1998). Himen imperforata adalah sebuah anomali yang ketika bermanifestasi



selama



periode



remaja,



biasanya



dapat



didiagnosis dengan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Remaja biasanya datang dengan amenorea primer, pola siklik dari nyeri abdomen bagian bawah / panggul, dengan atau tanpa gejala seperti nyeri punggung (38% -40%), retensi urin (37% -60%) atau konstipasi (27%). Pada pemeriksaan fisik, massa abdomen bagian bawah mungkin teraba, atau massa pelvis dapat dideteksi pada pemeriksaan rektal bimanual. Diagnosis himen imperforata sering dapat ditegakkan dengan mudah selama pemeriksaan perineum ketika himen imperforata yang menggembung dan berwarna kebiruan ditemukan di introitus.



Namun, kondisi tersebut dapat mudah terlewatkan jika anamnesis yang cermat dan pemeriksaan yang rinci tidak dilakukan. Ini menyoroti pentingnya mengejar prinsip-prinsip dasar dalam pengobatan, yaitu anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Pada anak perempuan yang mengalami nyeri abdomen, pemeriksaan yang cermat dari introitus, selain pemeriksaan perrektal wajib dilakukan. Pemeriksaan pencitraan atau laboratorium biasanya tidak diindikasikan untuk presentasi klasik dari himen imperforate (Wiknjosastro, 2005). b. Defek anatomi serviks Defek anatomi serviks merupakan penyebab penting lain dari amenorea primer. Ada dua jenis kelainan serviks: agenesis dan disgenesis. Kedua defek ini dapat terkait dengan perkembangan normal dari vagina. Secara rinci, sementara pada disgenesis pengembangan serviks parsial diamati, pasien agenesis cenderung datang lebih dini dengan riwayat amenorea primer dan nyeri abdomen bagian bawah yang berat yang terjadi dengan interval yang tidak teratur (Wiknjosastro, 2005). E. Pemeriksaan dan Diagnosa Penyebab Amenorea Primer 1. Anamnesa Pada anamnesa pasien dengan amenore diperlukan informasi mendalam terkait keluhan nyeri, kecemasan, riwayat kesehatan, aktivitas sehari-hari, dan riwayat kesehatan keluarga untuk menentukan arah diagnose dan penatalaksanaan amenore.



a. Riwayat kesehatan klien Tabel 2. Riwayat kesehatan klien Riwayat klien



Berhubungan dengan



Olahraga berat, kehilangan berat badan, penyakit kronis yang sedang/pernah di derita, penggunaan napza Menarche dan Riwayat menstruasi Konsumsi obat tertentu dari dokter Riwayat kemoterapi atau terapi sinar pada system saraf pusat Riwayat terapi sinar pada bagian panggul Stessor psikososial; pemenuhan nutrisi dan Riwayat olahraga Aktivitas seksual



Amenorea hipotalamus



Amenore primer atau sekunder Tergantung dari pengobatan Amenore hipotalamus Premature ovarian failure (POF) Anorexia atau bulimia nervosa Kehamilan



b. Riwayat kesehatan keluarga klien Tabel 3. Riwayat kesehatan keluarga klien Riwayat kesehatan keluarga Genetika



Berhubungan dengan Kasus multiple dari amenore primer Bentuk pertumbuhan rambut Sindrom insensitivitas pubis androgen Infertilitas Beragam penyebab Menarche dan Riwayat Keterlambatan pertumbuhan menstruasi (ibu dan saudara dan pubertas perempuan) Riwayat pubertas (cth. Keterlambatan pertumbuhan Keterlambatan pertumbuhan) dan pubertas



2. Pemeriksaan fisik Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan



Berhubungan dengan



Pengukuran tinggi badan



Keterlambatan pertumbuhan dan pubertas Indeks masa tubuh Sindrom polikistik ovarium (PCOS) Penampakan dismorfik Sindrom turner Kondisi uterus; rambut pubis Agenesis Mullerian Striae, buffalo hump, obesitas Penyakit cushing sentral, mudah memar, hipertensi, otot proksimal lemah Tingkatan tanner Amenore pirmer atau sekunder Pemeriksaan tiroid Penyakit tiroid Septum vagina transversal, himen Obstruksi saluran keluar imperforate Keberadaan testes, genitalia luar, Sindroma insensitivitas androgen rambut pubis Virilisasi; hipertrofi klitoris Tumor yang menghasilkan androgen Anosmia Sindrom Kallmann Nyeri abdomen tetap; perubahan Obstruksi saluran keluar payudara Galaktorea; sakit kepala dan Tumor hipofisis gangguan penglihatan Tumbuh rambut halus pada Sindrom polikistik ovarium wajah; berjerawat (PCOS) Tanda dan gejala dari hipotiroid Penyakit tiroid atau hipertiroid Simtom vasomotor Premature ovarian failure (POF)



Gambar 2. Skema Tanner



3. Pemeriksaan Penunjang a. USG b. MRI c. Sesuai indikasi pemeriksaan fisik d. Laborat (Kadar FSH, LH, TSHS, prolaktin)



4. Penetapan Diagnosa dan Penatalaksanaan Amenore Primer



Menentukan



usia



pubertas



termasuk



usia



saat



thelarche,



adrenarche, lonjakan pertumbuhan, dan menarche sangat membantu dalam mengevaluasi perkembangan pubertas. Meskipun terdapat variasi pada onset, derajat, dan waktu tahapan , namun progres tahapannya dapat diprediksi. Androgen adrenal sebagian besar bertanggung jawab untuk rambut aksila dan kemaluan; estrogen bertanggung jawab untuk perkembangan payudara, pematangan genitalia eksternal, vagina, dan rahim dan menstruasi. Kurangnya perkembangan pubertas menunjukkan kegagalan hipofisis atau ovarium atau disgenesis gonad. Komponen yang berkaitan dengan riwayat kesehatan dan operasi sebelumnya termasuk riwayat neonatal, pengobatan untuk keganasan, adanya gangguan autoimun atau endokrinopati, dan obat-obatan saat ini (ditentukan dan dijual bebas). Riwayat keluarga termasuk usia saat menarche dari kerabat ibu, ginekologis keluarga atau masalah kesuburan penyakit autoimun, atau endokrinopati. Tinjauan sistem harus fokus pada gejala penyakit hipotalamus hipofisis seperti perubahan berat badan, sakit kepala, gangguan penglihatan, galaktorea, poliuria, dan / atau polidipsia. Riwayat sakit perut siklik dan / atau panggul pada remaja dewasa dengan amenore dapat menunjukkan kelainan anatomi seperti himen imperforata. Jerawat



dan hirsutisme adalah penanda klinis androgen berlebih. Perubahan berat badan, kualitas kulit dan rambut, dan pola BAB dapat mengindikasikan masalah tiroid. Riwayat Kesehatan reproduksi harus mencakup aktivitas seksual,



penggunaan



kontrasepsi,



kemungkinan



kehamilan,



dan



penggunaan tembakau, obat-obatan, dan alkohol. Pasien juga harus ditanya tentang penyebab stres utama, gejala depresi dan kecemasan, perubahan berat badan, dan kebiasaan diet, termasuk asupan gizi, perilaku makan yang tidak teratur atau penurunan berat badan, dan tingkat aktivitas fisik. Grafik pertumbuhan menggambarkan tren dalam pertumbuhan dan merupakan alat yang berguna ketika mengevaluasi amenore. Sebagai contoh, retardasi atau kegagalan pertumbuhan longuitudinal dapat terjadi pada keadaan penyakit kronis seperti penyakit radang usus. Dalam kondisi yang berhubungan dengan nutrisi yang tidak adekuat, pasien biasanya memiliki berat badan kurang dibandingkan tinggi badannya. Pasien dengan kondisi penyakit kronis yang tidak memengaruhi status gizi seperti hipotiroidisme yang didapat biasanya kelebihan berat badan. Pemeriksaan fisik menyeluruh harus mencakup komponen yang tercantum pada tabel 4. Penampilan umum dapat mengungkapkan suatu sindrom (mis., Sindrom Turner dengan leher berselaput, dada pelindung (shield chest), puting dengan jarak yang berjauhan, peningkatan sudut lengan yang diangkut); cacat wajah garis tengah dapat dikaitkan dengan masalah sumbu hipotalamus-hipofisis dan anomali ginjal dan vertebral yang dapat diatasi dengan cacat Mullerian. Antropometrik dapat mengungkapkan malnutrisi atau obesitas dan / atau bertubuh pendek. Data ini, ketika dievaluasi dengan garis waktu pubertas historis, peringkat kematangan seksual pada pemeriksaan fisik, dan perbandingan dengan grafik



pertumbuhan,



dapat



menyarankan



pubertas



yang



secara



konstitusional tertunda jika tampaknya ada perkembangan normal melalui pubertas, namun pada tingkat yang tertunda. Kegagalan pertumbuhan longitudinal dapat menyarankan penyakit kronis yang mendasarinya. Tiroid



yang



membesar



pada



suatu



pemeriksaan



menunjukkan



kemungkinan penyakit tiroid. Selain menentukan peringkat kematangan



seksual payudara, keberadaan galaktorea dapat dinilai dengan kompresi lembut pada puting, yang meningkatkan kekhawatiran akan prolaktinoma. Pemeriksaan perut dapat mengungkapkan massa panggul. Komponen penting dari pemeriksaan genital eksternal meliputi peringkat kematangan seksual, penilaian estrogenisasi (lembab, mukosa vagina merah muda vs tipis, mukosa merah hipoestrogenisasi), kondisi himen, dan klitoromegali (lebar 0,5 mm), yang dapat dilihat dengan kelebihan androgen . Panjang vagina dapat dinilai dengan memasukkan aplikator apus basah yang dilembabkan ke dalam vagina. Panjangnya dikurangi (biasanya 2 cm) dengan septum vagina transversus rendah atau agenesis vagina. Kehadiran uterus dapat dinilai dengan satu jari atau pemeriksaan bimanual. Jika pasien tidak dapat mentolerir pemeriksaan internal, keberadaan uterus dapat dinilai dengan pemeriksaan rektoabdominal atau ultrasonografi. Pemeriksaan MRI panggul adalah tes yang lebih sensitif untuk mengevaluasi dugaan kelainan genital bawaan atau saluran genital yang terhambat. Pemeriksaan neurologis meliputi pengujian indra penciuman (tidak ada pada sindrom Kallman), pemotongan bidang visual, dan pemeriksaan opthalmologic untuk mengevaluasi papilledema, yang mungkin mengarah pada massa hipofisis atau sistem saraf pusat lainnya. Pemeriksaan kulit meliputi penilaian jerawat, hirsutisme, atau keduanya, yang dapat ditemukan dengan kelebihan androgen dan acanthosis nigricans, yang menunjukkan resistensi insulin. Studi laboratorium awal harus mencakup tes kehamilan urin, jumlah sel darah lengkap, hormon perangsang tiroid (TSH), prolaktin, dan hormon perangsang folikel (FSH). Jika bertubuh pendek dan pubertas tertunda, usia tulang harus diperoleh dan kariotipe harus dipertimbangkan. Pada pasien dengan pubertas yang tertunda secara konstitusional, beri waktu untuk mengamati pasien secara klinis setiap 3 hingga 6 bulan untuk memantau perkembangan menjadi pubertas dan menarche. Untuk pasien lain dengan karakteristik seksual sekunder, temuan pemeriksaan fisik normal termasuk genitalia eksternal dan uterus normal, tes kehamilan negatif, dan TSH normal, prolaktin, dan FSH, berikan uji tantangan



progestin medroxyprogesterone asetat, 10 mg melalui mulut setiap hari selama 10 hari . Respon positif dengan penarikan perdarahan pervaginam, biasanya 2 sampai 10 hari setelah selesai pengobatan, mengkonfirmasi adanya uterus yang dipicu oleh estrogen. Respons negatif menunjukkan keadaan estrogen yang rendah. Pengamatan lebih lanjut dari berat dan grafik pertumbuhan dapat mengungkapkan berat kurang dari tren sehat pasien sebelumnya dan kebutuhan untuk penambahan berat badan kembali ke garis dasar yang sehat untuk memulai kembali menstruasi. Selain itu, penilaian lebih lanjut dari tingkat aktivitas fisik dan stresor dapat mengungkapkan amenore fungsional. Untuk pasien dengan berat dan fungsi yang tepat, pertimbangan lebih lanjut dari lesi hipofisis atau sistem saraf pusat lainnya dan penyakit kronis yang mendasarinya diperlukan. Studi laboratorium tambahan termasuk urinalisis dan panel kimia (termasuk tes fungsi ginjal dan hati) dan tingkat sedimentasi eritrosit, jika belum diperoleh, dapat bermanfaat. Konsultasikan pada neurologis atau endokrinologis untuk pencitraan otak dan studi neuroendokrin. Setelah diidentifikasi, mengobati penyakit yang mendasarinya akan sering mengakibatkan dimulainya kembali menstruasi. Kepadatan tulang juga perlu menjadi pertimbangan bagi pasien dengan hipoestrogenemia yang berkepanjangan (0,6 bulan) karena mereka beresiko untuk pengembangan osteopenia. Selain melanjutkan dan mempertahankan berat badan yang sehat, pasien ini harus dinasihati untuk mendapatkan asupan kalsium (1300 mg setiap hari) dan vitamin D (400 IU setiap hari) yang memadai. Tes densitometri tulang dapat dianggap sebagai dasar setelah 6 bulan atau lebih amenore. Peningkatan TSH menunjukkan hipotiroidisme dan hipertiroidisme TSH rendah. Panel tiroid yang diperluas termasuk total tiroksin (T4) dan T4 gratis dapat memberikan informasi tambahan tentang fungsi tiroid sebelum rujukan ke ahli endokrinologi pediatrik dan / atau perawatan. Peningkatan kadar hormon prolaktin menunjukkan kemungkinan tumor prolaktinsekresi. Kehamilan, prolaktinemia idiopatik, adenoma hipofisis,



penyakit



hipotalamus



(mis.,



Craniopharyngioma),



hipotiroidisme, dan obat-obatan yang merupakan antagonis reseptor dopamin termasuk antipsikotik dan agen motilitas lambung dapat meningkatkan kadar prolaktin. Tes prolaktin juga sensitif dan dapat ditingkatkan dengan stimulasi puting atau stres. Tes yang sedikit meningkat harus diulang sebelum pencitraan resonansi magnetik otak untuk prolaktinoma dilakukan. Pasien dengan peningkatan nilai berturutturut harus dirujuk ke spesialis endokrinologi anak. Peningkatan



FSH



menunjukkan



insufisiensi



ovarium



atau



disgenesis gonad, dan kariotipe untuk sindrom / mosaik Turner harus diperoleh. Ooforitis autoimun harus dinilai oleh antibodi anti-ovarium jika analisis kromosomnya normal. Pasien dengan oimhoritis autoimun beresiko terkena insufisiensi adrenal dan endokrinopati autoimun lainnya seperti penyakit tiroid dan paratiroid, diabetes mellitus, miastenia gravis, dan anemia pernisiosa, dan harus dirujuk ke ahli endokrin pediatrik untuk evaluasi lebih lanjut. Pasien dengan hasil pemeriksaan hiperandrogenemia termasuk hirsutisme dan jerawat harus dilakukan evaluasi kadar androgen adrenal termasuk testosteron total dan bebas serta dehydroepiandrosterone sulfat. Polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah kelainan endokrin yang paling umum terjadi pada wanita usia reproduksi. Ini terjadi pada hingga 6% remaja dan 12% wanita dewasa. PCOS ditandai oleh disfungsi ovarium, gangguan



sekresi



gonadotropin,



dan



hiperandrogenemia,



yang



menyebabkan amenore, hirsutisme, dan jerawat. Banyak remaja dengan PCOS kelebihan berat badan, dan asosiasi PCOS  dengan resistensi insulin sudah mapan. Remaja dengan PCOS berada pada risiko yang meningkat terkait obesitas  morbiditas termasuk diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia dan penyakit kardiovaskular, harga diri rendah, dan masalah kesehatan reproduksi dewasa termasuk infertilitas dan kanker endometrium. Peningkatan kadar testosteron (.200 ng / dl) atau dehydroepiandrosterone sulfate (.700 mg / dl) yang berlebihan, atau keduanya, berkaitan dengan tumor adrenal atau ovarium, dan pencitraan panggul dan adrenal untuk mengevaluasi kemungkinan tumor diperlukan. Jika faktor-faktor penyebab



virilisasi lain seperti hiperplasia adrenal kongenital onset lambat (riwayat pubarche prematur, dehydroepiandrosterone sulfate, clitoromegaly) diduga dini, pagi hari pertama 17-hydroxyprogesterone harus dikumpulkan untuk mencari defisiensi 21-hidroksilase. Kortisol urin atau tes penekan deksametason dilakukan jika diduga ada sindrom Cushing. Jika pasien kelebihan berat badan atau memiliki acanthosis nigricans, atau keduanya, tes insulin puasa, panel lipid, dan tes tantangan glukosa oral 2 jam direkomendasikan. Tes glukosa puasa sederhana kurang ideal karena banyak wanita dengan PCOS memiliki hasil glukosa puasa normal tetapi mengganggu tes postprandial. Konsultasi dengan ahli endokrin pediatrik dapat membantu dalam evaluasi lebih lanjut dan pengelolaan kadar androgen dan endokrinopati yang meningkat secara signifikan. Mendorong perubahan gaya hidup yang akan mendorong penurunan berat badan adalah tujuan utama terapi PCOS pada remaja. Penurunan berat badan dikaitkan dengan peningkatan regulasi menstruasi dan penurunan gejala hiperandrogenemia,



komorbiditas



terkait



obesitas,



dan infertilitas.



Kombinasi kontrasepsi hormon estrogen / progesteron  memperbaiki keteraturan menstruasi dengan meningkatkan globulin pengikat hormon seks, yang secara efektif mengurangi paparan androgen gratis. Tidak ada pedoman saat ini untuk penggunaan obat peka insulin seperti metformin untuk mengobati PCOS pada remaja; Namun, dapat dipertimbangkan dengan intoleransi glukosa. Jika pemeriksaan fisik atau ultrasonografi menunjukkan adanya uterus yang tidak ada, analisis kromosom dan hormon testosteron harus diperoleh



untuk



membedakan



antara



disgenesis



Mullerian



dan



insensitivitas androgen.  Disgenesis Müllerian, atau sindrom MayerRokitansky-KüsterHauser, adalah tidak adanya bawaan dari  vagina dengan perkembangan uterus yang bervariasi. Wanita ini memiliki kadar hormon testosteron normal. Pencitraan resonansi magnetik panggul sangat membantu untuk mengklarifikasi sifat agenesis vagina dan untuk membedakannya dari septum vagina transversus berbaring rendah, agenesis uterus dan vagina, dan selaput dara imperforata. Pencitraan ginjal



untuk menyingkirkan kelainan ginjal yang terkait juga penting. Pasienpasien ini harus dirujuk ke dokter kandungan dengan keahlian di bidang ini. Individu dengan insensitivitas androgen adalah fenotip betina tetapi tidak memiliki vagina bagian atas, uterus, dan saluran tuba, kariotipe pria, dan peningkatan kadar hormon testosteron (kisaran normal untuk jenis kelamin pria). Pada kasus seperti ini harus dirujuk ke spesialis endokrinologi anak. Pengangkatan testis secara bedah juga diperlukan untuk mencegah munculnya keganasan.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan



1. Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual sekunder. 2. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat). 3. Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.



Daftar Pustaka



ASRM, The practice committee of the American Society for Reproductive Medicine, Current evaluation of amenorrhea, fertility and sterility, 2009; Vol.86.148-155. Budi, R. 2005. Amenorrhea Primer. Available at 12 Maret 2016 in http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14620/1/09E00837.pdf Brenner PF, Primary Amenorrhea; in Atlas of Clinical Gynecology, editor : Stenchever – Mishell, Vol III, Appleton & Lange, 1999, p. 1 – 22. Christman GM, Paradis CJ, Amenorrhea : A Practical Approach To Management; in Emergency Care Of The Woman, editor : Pearlman – Tintinali, McGraw-Hill, 1998, p. 467 – 479. Frindik JP, Hydroxylase Deficiency Syndrome, eMedicine Journal, November 2, 2001, Vol.2,No.11. Hoffman BL, Schorge P, Bradshaw KD et al. William Gynecology Third Edition, Mc Graw Hill, 2016; p:369-378. Hayden CJ, Balen AH, Primary Amenorrhea: Investigation and Treatment. Obstetrics Gynaecology and Reproductive Medicine Journal, 2007; p17:7. Sokol, E. R., Lurvey, L., & Brisinger, M. N. (2007). Menstrual Disorders. General Gynecology, 367–381. doi:10.1016/b978-032303247-6.10015-2 Sass, A. E. (2011). Primary and secondary amenorrhea. Berman’s Pediatric Decision Making, 41–45. doi:10.1016/b978-0-323-05405-8.00019-x Scherzer WJ, McClamrock H, Amenorrhea; in Novak’s Gynecology, editor : Jonathan S. Berek, ed 12th, Williams&Wilkins, 1996, p. 809 – 832. Professional Guide to Disease (Profesional Guide Series). 8th Ed.: Lippincott Williams & Wilkins; 2005 Speroff, Leon. Frizt, Marc A. 2011. Clinical Gynecologic Endocrinology and Fertility, Ed.VII TH. USA:



Lippincott Williams & Willkins



Philadelphia 530 Walnut Street, Philadelphia, PA 19106



John F. Kennedy Blvd. 2014. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology: Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management, Seventh Edition. Philadelphia. Saunders, an imprint of Elsevier Inc Wood, Ellen, et.al.,2016. Amenorrhea. South Florida. The American College of Osteophatic Obstetrician and Gynecologists (2016 Fall Conference). https://www.acoog.org/web/Online/PDF/FC16/Thu/08-Wood10616.pdf Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: evaluation and treatment. Am Fam Physician. 2006;73(8):1374–82 Deligeoroglou E, Athanasopoulos N, Tsimaris P, Dimopoulus KD, Vrachnis N, Creatsas G. Evaluation and Management of Adolescent Amenorrhea. Ann. N. Y. Acad. Sci. 2010 Sep; 1205:23-32 Travera G, Lazebnik R. Mullerian Agenesis Masquerading as Secondary Amenorrhea. Case Rep Pediatr. 2018:6912351. Gasner A, Rehman A. Primary Amenorrhea. [Updated 2020 Feb 26]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554469/ Wiknjosastro, H dkk. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan edisi 5. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.