Tugas 1 ISIP4131 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH TUGAS 1



Nama Mahasiswa



: ALFIAN RENALDY



Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 041770576



Kode/Nama Mata Kuliah



: ISIP4131/Sistem Hukum Indonesia



Kode/Nama UPBJJ



: 49/BANJARMASIN



1. Karena dalam system kenegaraan sesudah amandemen UUD 1945 MPR tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk peraturan perundang-undangan. MPR hanya memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan terhadap peraturanperaturan yang bersifat menetapkan khususnya peraturan yang masih berlaku menurut TAP MPR Nomor 1/MPR/2003. 2.



Sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan, tata urutan peraturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia saat ini, mengacu pada UndangUndang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Sebelumnya pengaturan mengenai tata urutan perundang-undangan diatur dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dan UU Nomor 10 Tahun 2004. Dalam UU Nomor 12 tahun 2011, secara berurutan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1), hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, yaitu: (a) UUD 1945; (b) Ketetapan MPR; (c) UU/Perpu; (d) PP; (e) Perpres; (f) Perda Provinsi (g) Perda Kabupaten/Kota. Berdasarkan Pasal 8 : Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah UU, DPRD 81 Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang setingkat. Namun jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dalam ketentuan Pasal 8, tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Kekuatan hukum peraturan perundangundangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (1). Sedang yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan asas bahwa peraturan perundangundangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan rumusan Pasal 8 ini dan melihat pada jenis peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) , maka bentuk peraturan perundang-undangan dalam ketentuan Pasal 7 tersebut berjumlah 25 bentuk, yang meliputi: UUD RI Tahun 1945; TAP MPR; UU; Perpu; PP; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten Kota; Peraturan MPR; Peraturan DPR; Peraturan DPD; Peraturan BPK; Peraturan Komisi Yudisial, Peraturan MA; Peraturan MK; Peraturan Bank Indonesia; Peraturan Menteri; Peraturan Kepala Badan; Peraturan Lembaga; Peraturan Komisi; Peraturan DPRD Provinsi; Peraturan Gubernur; Peraturan DPRD Kabupaten/Kota; Peraturan Bupati/Walikota; Peraturan Desa. Dalam Pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2011 maupun pada penjelasannya terlihat bahwa bentuk peraturan perundang-undangan yang diatur dalam kelompok-kelompok (kualifikasi) wewenang , baik dari lembaga yang berwenang membentuknya maupun sumber wewenangnya. Hal ini sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang diartikan bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan



perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Kewenangan yang dimiliki oleh lembaga pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata untuk mengadakan pengaturan atau mengeluarkan keputusan selalu dilandasi oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi atau mandat. Pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini lahir wewenang pemerintahan baru. Pada delegasi, terjadi pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara (TUN) yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada Badan atau Jabatan TUN lainnya. Dalam hal mandat tidak ada pemindahan kewenangan, tetapi pemberi mandate (mandans) memberikan kewenangan kepada organ lain untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Misalnya antara Menteri dengan Direktur Jenderal, Inspektur Jenderal, Sekretaris Jenderal atau Kepala Badan, yaitu Menteri (mandans) menugaskan Direktur Jenderal atau Sekretaris Jenderal (mandataris) untuk atas nama Menteri melakukan suatu tindakan hukum dan mengambil serta mengeluarkan keputusan-keputusan TUN tertentu. Juridis keluar tetap Menterilah yang berwenang karena sebagai Pejabat TUN yang bertanggung jawab.