Tugas 2 Hukum Administrasi Negara [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

NAMA



: HANDIKA SAPUTRA



NIM



: 030842913



TUGAS 2: HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 1. Kebutuhan lain dari negara adalah ketersedian negara terhadap barang milik negara.Secara umum, barang adalah bagian dari kekayaan yang dapat dinilai/dihitung/diukur dan sebagainya tidak termasuk uang dan surat berharga. Pertanyaanya :  Jelaskan jenis pembagian barang milik negara. 2. Bentuk perlindungan hukum terhadap rakyat atas perbuatan pemerintah dapat dilihat dari keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara dan Komisi Ombudsman Nasional. Pertanyaanya : Jelaskan kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara dan dasar hukumnya. Jawaban: 1. Pengertian Barang Milik Negara (BMN) Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 27 tahun 2014, Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN tersebut tidak terbatas hanya yang berada dan penguasaan kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah, namun juga yang berada pada Perusahaan Negara dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan statusnya.  Khusus BMN yang berada dalam penguasaan Perusahaan Negara, BHMN dan Lembaga lainnya yang belum ditetapkan statusnya menjadi kekayaan negara yang dipisahkan (Cahyo, 2011)



Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP RI) Nomor 6 Tahun 2006 Pasal 2, BMN/D meliputi: 1. Barang yang dibli atau diperoleh atas beban APBN/APBD dan; 2. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah. Batasan pengertian barang-barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah adalah sebagai berikut: 3. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; 4. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; 5. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undangan; atau 6. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Barang



Milik



Negara/Daerah



pada



dasarnya



digunakan



untuk



penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah. Dalam rangka menjamin tertib dalam penggunaan, pengguna barang harus melaporkan kepada pengelola barang atas semua BMN/D yang diperoleh untuk ditetapkan status penggunaannya. (Cahyo, 2011) Menurut PP RI No 27 tahun 2014 tentang Barang Milik Negara/Daerah, penetapan status penggunaan BMN dilakukan oleh Pengelola Barang dan BMD oleh Gubernur/walikota/bupati.



Gambar 1 Kewenangan Penetapan Status Penggunaan Tanah dan/atau bangunan, barang yang bernilai memiliki bukti kepemilikan seperti, Sepeda motor, mobil, kapal, pesawat terbang, alat berat, dan barang yang memiliki nilai diatas Rp. 25 juta, penetapan status penggunaannya oleh Pengelola Barang. Barang selain tanah dan bangunan yang bernilai sampai dengan Rp. 25 juta, penetapan status penggunaannya oleh Pengguna Barang. Sementara Alat Utama Sistem Persenjataan yang dimiliki POLRI dan TNI, tidak perlu dilakukan penetapan status penggunaannya. Penetapan status penggunaan Barang Milik Negara/Daerah dilakukan dengan tata cara Pengguna barang melaporkan barang yang diterimanya kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaannya. Setelah Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status penggunaan barang milik negara dimaksud.   1. Tata Cara Penetapan Status Penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan a. Tahap Persiapan 1) Penyelesaian Dokumen (Sertifikat tanah/IMB) b. Tahap Pengajuan Usul Penetapan Status Penggunaan



1) KPB pengajuan permintaan penetapan (1 bulan setelah dokumen diterima) 2) Pengguna barang merneruskan usul kepada Pengelola Barang (1 bulan setelah dokumen diterima) c. Tahap Penetapan Suatu Penggunaan 1) Pengelola Barang menetapkan status penggunaan dengan Surat Keputusan d. Tahap Pendaftaran, Pencatatan, Penyimpanan Dokumen 1) Pengelola Barang melakukan pendaftaran, pencatatan, penyimpanan dokumen dalam Daftar Barang Milik Negara dan Daftar Barang Pengguna 2. Tata Cara Penetapan Status Penggunaan BMN selain tanah dan/atau bangunan



Gambar 2 Tata Cara Penetapan Status Penggunaan BMN selain tanah dan/atau bangunan



3. Tata Cara Penetapan Status Penggunaan BMN yang dioperasikan oleh pihak lain.



Gambar 3 Tata Cara Penetapan Status Penggunaan BMN yang dioperasikan oleh pihak lain 4.     Tata Cara Penetapan Kembali Status Penggunaan BMN Tanah dan/atau Bangunan yang Tidak Dipergunakan. BMN berupa tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan atau sudah tidak digunakan lagi oleh Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang -setelah dilakukan audit dengan memperhatikan standar kebutuhan tanah dan/atau bangunan- wajib diserahkan kepada Pengelola Barang, untuk BMD diserahkan kepada



Gubernur/Walikota/Bupati



melalui



pengelola



barang.



Selanjutnya



pengelola barang berwenangan untuk mengalihkan status penggunaan BMN/D tersebut kepada instansi lain yang memerlukan, dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi BMN/D, atau dipindahtangankan.



Gambar 4 Tatacara Penetapan Kembali Status Penggunaan BMN berupa tanah dan/atau bangunan yg tdk dipergunakan Pengguna barang/Kuasa Pengguna Barang yang tidak menyerahkan barang yang tidak/sudah tidak digunakan seperti tersebut di atas dapat dikenakan sanksi berupa pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/atau bangunan dimaksud. 5. Tata Cara Pengalihan Status Penggunaan BMN Tanah antar Pengguna Barang.



Gambar 5 Tata Cara Pengalihan Status Penggunaan BMN Tanah antar Pengguna Barang



Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah Menurut PP RI No 27 tahun 2014 tentang Barang Milik Negara/Daerah, Pemanfaatan adalah pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan/atau optimalisasi Barang Milik Negara/Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Pemanfataan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan oleh: 1. Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaannya; 2. Pengelola Barang dengan persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota, untuk Barang Milik Daerah yang berada dalam penguasaan Pengelola Barang; 3. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Negara yang berada dalam penguasaan Pengguna Barang; atau 4. Pengguna Barang dengan persetujuan Pengelola Barang, untuk Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang, dan selain tanah dan/atau bangunan. Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan pertimbangan teknis dengan memperhatikan kepentingan negara/daerah dan kepentingan umum. Bentuk Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah berupa: 1. Sewa; Sewa Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan oleh Pengelola Barang. Sewa Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan terhadap: a. Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola Barang;



b. Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota, dan dilaksanakan oleh Pengelola Barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati/ Walikota. c. Barang Milik Negara yang berada pada Pengguna Barang; d. Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau; e. Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan. Barang Milik Negara/Daerah dapat disewakan kepada Pihak Lain. Jangka waktu Sewa Barang Milik Negara/ Daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. Jangka waktu Sewa Barang Milik Negara/Daerah dapat lebih dari 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk: a. kerja



sama



infrastruktur,



Besaran



Sewa



atas



Barang



Milik



Negara/Daerah untuk kerja sama infrastruktur dapat mempertimbangkan nilai keekonomian dari masing-masing jenis infrastruktur. b. kegiatan dengan karakteristik usaha yang memerlukan waktu sewa lebih dari 5 (lima) tahun; atau c. ditentukan lain dalam Undang-Undang. 2. Pinjam Pakai Pinjam Pakai Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau antar Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Jangka waktu Pinjam Pakai Barang Milik Negara/Daerah paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali.



3. Kerja Sama Pemanfaatan Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan terhadap: a. Barang Milik Negara yang berada pada Pengelola Barang; b. Barang Milik Daerah berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang kepada Gubernur/Bupati/Walikota; c. Barang Milik Negara yang berada pada Pengguna Barang; d. Barang Milik Daerah berupa sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh Pengguna Barang; atau e. Barang Milik Daerah selain tanah dan/atau bangunan. 2. Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana terakhir diubah dengan UU  No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara orang atau Badan Hukum Perdata melawan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara, kewenangan atau kompetensi absolut terbatas pada mengadili dan memutus sengketa Tata Usaha Negara akibat diterbitkannya keputusan Tata Usaha Negara, yaitu penetapan tertulis yang bersifat konkrit individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kehadiran Undang-undang No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014, telah membawa perubahan yang signifikan terhadap kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, karena kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara yang semula terbatas, menjadi diperluas.  Pengertian Keputusan dan cakupan Keputusan dalam UU No. 30 Tahun 2014 lebih luas dari Keputusan sebagai obyek sengketa PERATUN menurut UU PERATUN. Berdasarkan pengantar diatas, maka dalam tulisan ini  akan di  diuraikan lebih lanjut, mengenai, bagaimana kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara, sebelum



dan sesudah diundangkannya UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. 1. 1. Kompetensi Peradilan Tata Usaha  menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 2.      dan terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut ketentuan pasal 47 UU Peradilan Tata Usaha Negara, kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Dan yang dimaksud sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dibidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata akibat diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara.  Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. (Pasal 1 angka 9 UU Peradilan TUN.) Penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi, bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah pejabat di pusat dan diadaerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan Hukum TUN adalah perbuatan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu hukum Tata Usaha Negara yang dapat  menimbulkan hak atau kewajiban bagi orang lain. Bersifat konkrit artinya obyek yang diputuskan tidak abstrak  tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya keptusan TUN tidak ditujukan kepada umum tetapi tertentu baik alamat maupun yang dituju. Bersifat final artinya sudah definitif, dan karenanya sudah dapat menimbulkan akibat hukum. Dilihat dari uraian diatas, keputusan Tata Usaha Negara yang dapat menjadi obyek sengketa  Tata Usaha Negara, sangat luas. Namun apabila dilihat dari pembatasan yang diberikan Undang-undang Peradilan Tata Usaha itu sendiri sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Peradilan TUN,maka kompetensi Peradilan TUN dalam mengadili Keputusan TUN adalah terbatas. Pasal 2 UU Peratun : “Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini :



1. 1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; 2. 2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; 3. 3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan; 4. 4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan 5.     Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundangundangan lain yang bersifat hukum  pidana; 6. 5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan 7.     peraturan perundang-undangan yang berlaku; 8. 6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; 9. 7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.” Selanjutnya pasal 49 UU Peratun juga masih memberikan pengecualian sebagai berikut :  “Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan: 1. 1. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan 2.     perundang-undangan yang berlaku: 3. 2. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Disamping pembatasan/pengecualian tersebut diatas, dalam Undang-undang peratun mengatur adanya kewenangan tambahan, yakni sebagaimna diatur dalam pasal 3 UU Peratun : (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat



Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Badan atau Pejabat TUN yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut (keputusan fictif positif ) apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan. Apabila peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),  maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Disamping kewenangan diatas, berdasar UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), maka Peradilan Tata Usaha juga diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa informasi publik. Yakni sengketa informasi publik yang subyek sengketanya menyangkut Badan Publik Negara.(pasal 47 UU KIP). KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN TATA USAHA NEGARA PASCA PEMBERLAKUAN UU NO.30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN. Pemberlakukan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, telah membawa perubahan besar terhadap kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha Negara. Perubahan yang terjadi dengan diundangkannya UU Administarsi Pemerintahan, adalah menyangkut hal-hal sebagai berikut : 1. 1. Perluasan Pemaknaan Keputusan TUN. (pasal 1 angka 7 UU AP) 2. 2. Kompetensi Peradilan TUN terhadap Tindakan administrasi pemerintahan  /tindakan factual pejabat TUN.  (pasal 1 angka 8 UUAP). 3. 3. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara  terhadap Pengujian tentang ada atau tidaknya penyalah gunaan wewenang dalam penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara. ( Pasal 21 UU AP.)



4. 4. Kompetensi Peratun untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu. 5. 5. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negata Tingkat satu untuk mengadili gugatan pasca Upaya Administratif . 6. 6. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara untuk memutuskan terhadap obyek sengketa fiktif positif.  (Pasal 53 UU AP.)