Tugas 2 ISBD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar / MKDU4109



MULTIKULTURALISME DALAM ERA GLOBALISASI Makalah ini disusun sebagai Tugas ke-2 pada Sesi ke-5 Mata Kuliah ISBD



Disusun Oleh: Nama Mahasiswa



: RINA



NIM



: 043670092



Program Studi



: Ilmu Administrasi Negara



UNIVERSITAS TERBUKA 2021



ABSTRAK Didalam kehidupan kita sehari-hari, terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu. Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas, tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu faktor penyebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punya. Pedoman etika yang menjamin



proses-proses



dihasilkannya.



manajemen



Kajian-kajian



seperti



tersebut ini



akan



bukan



menjamin



hanya



mutu



yang



menyingkap



dan



mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.



A.



PENDAHULUAN Multikulturalisme berasal dari dua kata yaitu, multi (banyak/beragam) dan



kultural (budaya atau kebudayaan). Secara etimologi, multikulturalisme berarti keberagaman budaya yang mana hal tersebut merupakan cara pandang seseorang mengenai ragam kehidupan yang ada di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman yang ada dalam kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk kerjasama, kesederajatan dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak monokultur lagi. Indonesia merupakan salah satu bangsa yang kaya akan keanekaragamaan budaya, agama, ras, bahasa, suku bangsa dengan jumlah penduduk keempat terbesar di dunia dan luas wilayahnya yang terbentang dari sabang hingga merauke. Sebuah negeri yang dulu sangat dipuja-puji oleh bangsa lain karena kerukunan, kedamaian dan keramah tamahan masyarakatnya. Adat atau kebiasaan inilah yang menjadi ciri khas tersendiri bagi Indonesia untuk lebih dikenal oleh bangsa lain. Hal ini yang menjadi acuan utama demi terwujudnya masyarakat multikultural, karena multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan yang berlaku umum. Multikulturalisme yang ada di Indonesia sangatlah membutuhkan solidaritas antar sesama manusia demi tercapainya kehidupan yang harmonis. Menurut Emile Durkheim yang di kutip oleh Robbert M.Z Lawang (1985:63) Bahwa solidaritas sosial adalah keadaan saling percaya antar anggota kelompok atau komunitas. Jika orang saling percaya, maka mereka akan menjadi satu atau menjadi sahabat, saling menghormati, saling bertanggung jawab dan saling membantu untuk memenuhi kebutuhan antar sesama. Adanya solidaritas yang kuat serta masyarakatnya yang selalu berpegang teguh terhadap nilai gotong-royong menjadikan Indonesia tetep aman dan damai. Namun, akibat arus globalisasi yang tidak seimbang dan ketidakmampuan dalam memfilter budaya yang datang dari luar, menjadi salah satu faktor penyebab pudarnya jati diri dari masyarakat multikultural. sangat minim dan banyak dilupakan demi kepuasan diri sendiri atas kepentingan pribadi. Perpecahan diantara umat manusia semakin bertambah banyak jika tidak ada solidaritas yang dimulai dari dalam diri. penyebab adanya degradasi moral (kemerosotan moral) yang terjadi



pada milenial. Hal ini, diakibatkan karena kebebasan mereka dalam berpikir tanpa dilandasi dengan adanya norma dan etika agama yang memadai. Oleh sebab itu, adil serta berintegritas merupakan tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara agar dapat mewujudkan bangsa yang berasaskan pancasila khususnya sila (persatuan Indonesia) serta asas ketimuran yang sesuai dengan latar belakang Indonesia. Untuk itu diharapkan dengan adanya warga Indonesia yang saling bersinegri satu sama lain, perbaikan moral ini akan menghasilkan peningkatan yang semain baik. Dengan demikian, maka bangsa Indonesia akan kembali menjadi bangsa yang beradab yang diharapkan dapat mengarahkan menjadi bangsa yang maju serta mapan dikemudian hari. Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab beragam tantangan dari ombak besar bernama Globalisasi, yakni tantangan untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di berbagai bidang yang tidak dapat di elakkan lagi. Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangantantangan tersebut antara lain berupa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lintas negara di seluruh dunia, dimana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar menawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misalnya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tatanan global dan lokal sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process. Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bahwa, dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun



postmodern.



Keadaan



masyarakat



di



milenium



kelima



tersebut



memiliki



konsekuensi logis pada situasi yang akan menggiring kita sebagai “warga dunia” untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada kebudayaan itu sendiri. Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, polapola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan semacamnya. Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jati diri). Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermartabat. Sebab hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain.



B.



PEMBAHASAN



1. Budaya dan Warisan Budaya Kebudayaan atau budaya merupakan ciri penting (khas) dari manusia yang merupakan seperangkat atau keseluruhan simbol yang digunakan atau dimiliki manusia dalam hidupnya untuk bisa melakukan reproduksi dan menghadapi lingkungannya yang diperoleh lewat proses belajar dalam kehidupannya sebagai anggota suatu masyarakat atau komunitas (Ibid). Di sini perlu dicatat bahwa setiap manusia beserta komunitasnya memiliki perangkat simbol kebudayaan dan proses berkembangnya kebudayaan tersebut. Hal inilah yang kemudian melahirkan diversitas budaya dalam kehidupan manusia. Oleh karena hanya manusia yang dapat melakukan pemaknaan terhadap sesuatu dan sesuatu yang dimaknai ini merupakan sebuah lambang hasil kreasi manusia sendiri dan proses simbolisasi ini melahirkan kebudayaan. Lebih lanjut perlu diketahui bahwa terdapat tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat. Pertama adalah gagasan, ide, atau sistem nilai. Karena gagasan ini beroperasi pada tataran kognitif, maka agak sulit mengidentifikasinya. Selain itu, dapat diketahui simbol-simbol lain yang wujudnya lebih konkret dari wujud pertama untuk dapat menjadi pembeda atau berlaku sebagai cultural traits antara kebudayaan yang satu dengan lainnya. Wujud konkret dari simbol-simbol tersebut ialah perilaku, kebiasaan atau yang kita kenal dengan istilah adat-istiadat sebagai wujud kedua dari kebudayaan. Selain adat-istiadat, elemen lainnya ialah budaya material. Budaya material (material culture) atau artefak atau benda-benda hasil produksi suatu kebudayaan merupakan hal-hal dalam kebudayaan yang paling konkret (empirik). Ada empat bentuk yang dapat diidentifikasi dan dikategorikan sebagai peninggalan budaya. Pertama, benda-benda fisik atau material culture. Wujud pertama ini mencakup seluruh benda-benda hasil kreasi manusia, mulai dari benda-benda dengan ukuran yang relatif kecil hingga benda-benda yang sangat besar misalnya dari emblem kerajaan Sultan Nata Sintang, kain songket, keris, sampai Candi Borobudur. Kemudian, wujud kedua ialah pola-pola perilaku yang merupakan representasi dari adat-istiadat sebuah kebudayaan tertentu. Bentuk kedua ini meliputi hal-hal keseharian,seperti pola makan, pola kerja, pola belajar, pola berdoa, hingga pola-pola yang bersangkutan dengan aktivitas sebuah komunitas, seperti pola upacara adat ataupun ritual Ngaben di masyarakat Bali. Didalam pola-pola keseharian itu,terkandung nilai-nilai atau tata-aturan dari adat istiadat yang berlaku. Tata-aturan yang berlaku tersebut merupakan ejawantah dari



pandangan hidup atau sistem nilai dalam masyarakat tertentu, di mana pandangan hidup ini merupakan wujud ketiga dari kebudayaan. Wujud ketiga ini bersifat lebih abstrak dibanding kedua wujud sebelumnya. Sistem nilai atau pandangan hidup ini bisa berupa falsafah hidup atau kearifan lokal dari suatu masyarakat dalam memandang atau memaknai lingkungan sekitarnya. Hal ini tiada lain adalah representasi dari pola pikir atau pengetahuan atau logika masyarakat pengampu kebudayaan tertentu. Selain itu, dalam konteks tinggalan budaya di sini, terdapat satu lagi bentuk peninggalan yang merupakan wujud keempat, yakni lingkungan. Barangkali muncul pertanyaan dalam benak kita mengapa lingkungan dapat dikategorikan sebagai warisan budaya? Lantas, lingkungan seperti apa yang termasuk peninggalan budaya? Sebelum masuk pada pemaparan atas pertanyaanpertanyaan tersebut, ada baiknya bila mengetahui terlebih dahulu pengertian lingkungan di dalam tulisan ini. Ahimsa-Putra (2004: 38) menjelaskan bahwa lingkungan atau environment secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan sifat atau keadaannya dan asal-usulnya. Lingkungan atas dasar kategori sifat ini dapat dipilah lagi menjadi: 



Lingkungan fisik. Lingkungan fisik berupa benda-benda yang ada di sekitar kita, makhluk hidup, dan segala unsur-unsur alam;







Lingkungan sosial. Lingkungan sosial meliputi perilaku-perilaku manusia atau pelbagai aktivitas sosial yang berupa interaksi antarindividu serta berbagai aktivitas individu; dan







Lingkungan



budaya.



Lingkungan



ini



mencakup



pandangan-pandangan,



pengetahuan,norma-norma serta aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sedangkan, lingkungan yang dilihat dari asal-usulnya berupa: (1) lingkungan alami (natural environment), di mana lingkungan jenis ini memiliki pengertian keseluruhan unsur di luar diri manusia yang bukan ciptaan manusia, dan (2) lingkungan buatan (built environment) yakni lingkungan yang merupakan hasil kreasi manusia. Dengan demikian, lingkungan sebagai salah satu entitas penting dalam pembentukan sebuah kebudayaan dapat dikategorikan sebagai warisan atau peninggalan budaya, sehingga harus dilindungi dan dilestarikan. 2. Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi pada umumnya orang Indonesia masa kini mengenal multikulturalisme adalah sebuah konsep asing. Konsep



multikulturalisme



tidaklah



dapat



disamakan



dengan



konsep



keanekaragaman secara suku-bangsa atau kebudayaan suku-bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas. Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus



diperjuangkan,



karena



dibutuhkan



sebagai



landasan



bagi



tegaknya



demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan



konsep-konsep



mengembang-luaskannya



untuk dalam



dijadikan



acuan



kehidupan



bagi



memahaminya



bermasyarakat.



Untuk



dan dapat



memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bagian dari konsepkonsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah



yang



sama



tentang



multikultutralisme



sehinga



terdapat



kesamaan



pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. 3. Pemahaman Tentang Multikulturalisme Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus disamakan atau tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai oleh ahli atau ahliahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia.



Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam



berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antarmanusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan



sumbangan



yang



penting



dalam



upaya



mengembangkan



dan



memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi Indonesia.



Salah satu isu yang cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai



manajemen



pengelolaan



sumber-sumber



daya



adalah



corak



dari



kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan operasionalisasi



nilai-nilai



budaya



tersebut



atau



etos,



dalam



pengelolaaan



manajemen yang dikaji. Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (input) menjadi keluaran (output). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang betulbetul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?. Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas, tetapi pada masa sekarang ini bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi. Masalah yang kita hadapi sekarang berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat kompleks. Apakah para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan untuk memberikan informasi mengenai



multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokohtokoh masyarakat atau partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan untuk turut melakukan reformasi. 4. Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktural masyarakat Indonesia pada tingkat lokal maupun nasional. Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial dalam masyarakat Indonesia yang mencakup reformasi dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dengan berbagai corak dinamikanya. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan



dan



manajemen.Pedoman



etika



ini



akan



membantu



upaya-upaya



pemberantasan KKN secara hukum. Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan apabila pemerintah nasional maupun pemerintahpemerintah daerah dalam berbagai tingkatan tidak menginginkannya atau tidak



menyetujuinya. Ketidak inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan. Bersamaan dengan



upaya-upaya



tersebut,



sebaiknya



Kemendikbudristek



mengadopsi pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di Aceh, Papua, Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Sebagai



penutup



mungkin



dapat



kita



pikirkan



bersama



apakah



multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung cita-cita demokrasi akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan bagi pembangunan masyarakat Indonesia. Perilaku masyarakat akibat perubahan sosial dapat berupa pemberontakan, aksi protes, demonstrasi, tindakan kriminal dan lain-lain. Berikut beberapa contoh perubahan sosial budaya di Indonesia: 



Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) terjadi ketika sebagian kecil



kelompok masyarakat Ambon yang dipimpin oleh Christian Robert Steven Soumokil, bekas Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT) yang tidak puas dengan terjadinya proses kembali ke negara kesatuan setelah Konferensi Meja Bandar (KMB). Pemberontakan ini menggunakan unsur KNIL yang merasa tidak pasti tentang status mereka setelah KMB. Pemberontakan ini berlangsung sekitar 4 bulan dan berakhir setelah pemimpin mereka dr. Soumokil ditangkap. Sebagian dari yang berhasil lolos dari kejaran TNI melarikan diri ke Belanda dan bergabung dengan mereka yang telah bermigrasi lebih awal serta membentuk RMS di pengasingan. Disini jelas bahwa pemberontakan yang mereka lakukan karena adanya perubahan sosial-budaya khususnya status mereka sebagai anggota KNIL setelah KMB. 



Pemberontakan Darul Islam (DI/TII) di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh Pemberontakan ini merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan membentuk



negara Indonesia berazaskan hukum Islam. Pemberontakan di daerah-daerah tersebut pada umumnya terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang tidak memberikan penghargaan yang pantas untuk mereka yang telah



berjuang membela dan mempertahankan RI. Bentuk ketidakpuasan itu tentu mempunyai latar belakang yang berbeda. Yang pasti para pemimpin gerakan merasa tidak puas karena adanya perubahan sosial budaya. Di Aceh misalnya Daud Beureh tidak puas akan kedudukannya yang semula sebagai Gubernur Daerah istimewa Aceh menjadi salah satu karesidenan Sumatra utara bukan lagi provinsi. Pemerintah



RI



setelah



kembali



menjadi



negara



kesatuan



melakukan



penyederhanaan administrasi, sehingga status Daud Beureh tidak lagi menjadi gubernur Aceh melainkan hanya seorang Residen. 



Pemberontakan PRRI/Permesta Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) terjadi di



Sumatra Barat dan Permesta di Sulawesi Utara. Kedua pemberontakan ini terjadi karena ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tersentralisir yang dikeluarkan pemerintah pusat yang semula otonomi. Sebab dalam kenyataannya hasil yang diperoleh dari daerah ke pusat tidak dimanfaatkan untuk mensejahterakan penduduk daerah mereka sendiri. Mereka menuntut kembali adanya desentralisasi ekonomi khususnya di bidang ekspor.



C.



PENUTUP Multikulturalisme hanya sekedar wacana titipan di negeri ini, kenapa harus



belajar pada refrensi asing tentang wacana Multikulturalisme bangsa ini jika rujukunnya ke nusanatara dan tradisi perbedaan yang sering dihadapi bangsa ini. Kita telah banyak belajar dengan tradisi kita dimasa lalu, hanya saja hari ini sepertinya kita lebih percaya dengan semangat multikulturalisme yang ditawarkan oleh globalisasi Eropa modern, yang terlahir dari berbagai konflik yang lebih banyak terjadi akibat konsprirasi politik para penguasa dunia di tingkat global. jika itu terjadi bisa jadi Wacana multikulturalisme hari ini hanya sekedar titipan proyek bagi orang-orang tertentu untuk hadir sebagai pahlawan di negeri ini. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh besar baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif bagi kehidupan suatu negara termasuk negara kita Indonesia. Globalisasi merupakan suatu keberkahan bagi kehidupan namun juga sebagian masyarakat menganggap sebagai penghancur kehidupan ini. Akan tetapi masyarakat itu sendiri yang menciptakannya seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin canggih. Maka untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh globalisasi diperlukan adanya suatu strategi, dimaksudkan agar tidak terjadi ketimpangan. Pada dasarnya, multikulturalisme dalam era globalisasi yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu kebudayaan masyarakat. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam. Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih



terdapat



berbagai



hambatan



yang



menjadi



kendala



terbentuknya



multikulturalisme di masyarakat, khususnya di era globalisasi yang merupakan sebuah babak baru dalam proses perkembangan bangsa yang menyangkut seluruh aspek penting



kehidupan menuju proses perubahan, hal ini ditandai dengan



semakin berkembangnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Digital yang merupakan suatu penggerak globalisasi itu sendiri.



DAFTAR PUSTAKA http://www.pustaka.ut.ac.id/reader/index.php?subfolder=MKDU4109/&doc=M5.pdf https://elearning.ut.ac.id/mod/resource/view.php?id=3189422 https://www.kompasiana.com/aliyalisa/5e807f64d541df29707424b3/jati-dirimultikulturalisme-di-era-globalisasi-indonesia http://pustaka-makalah.blogspot.com/2011/03/multikulturalisme-dan-problem.html http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme https://youtu.be/C-APwfkiGM0 https://youtu.be/TQGky1m3F1k