Tugas Apoteker Muslim - Aziza Nurul Amanah - Kelompok 9 - Bab 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Tugas Resume Apoteker Muslim Dosen Pengampu : Apt. Barita Juliano Siregar, MM



Nama Kelompok 9: Gita Andriani Nuzula Salsabiela K Aziza Nurul Amanah



(41201097100090) (41201097100100) (41201097100105)



Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Februari / 2021



Bab 3: Semua Agama Menyembah Tuhan yang Sama?



Sebagai umat Muslim, kita telah bersaksi bahwa: Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Seluruh umat Muslim menyebut Tuhan dengan nama yang sama, Allah, seperti yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Dan sebagai umat Muslim, kita juga telah bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW yang merupakan nabi terakhir yang diutus oleh Allah untuk mengajarkan ajaran Tauhid kepada seluruh manusia, yaitu men-satu-kan Allah. Sesuai Surat Ali Imran ayat 9 dan 85, bahwa Allah hanya menurunkan satu agama untuk seluruh Nabi-Nya, yaitu agama yang mengajarkan Tauhid. Jika suatu agama tersebut tidak mengajarkan Tauhid, maka bukan merupakan agama yang diturunkan Allah untuk para Nabi-Nya, dan pasti merupakan agama budaya (cultural religion). Dalam film yang berjudul “?” (Tanda Tanya) menceritakan sosok Rika yang murtad dari agama Islam, namun dia digambarkan masih toleran dengan agama lain. Rika mengatakan bahwa agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan. Dalam pandangan Islam, murtad merupakan kesalahan besar, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik serta melepaskan hal yang paling berharga dalam hidup manusia, yaitu iman. Berkebalikan dengan kisah Nabi Ibrahim AS, beliau rela berpisah dengan ayah dan kaumnya demi mempertahankan keimanannya. Nabi Ibrahim AS tetap berdiri kokoh pada prinsip Tauhid dan mengajak kaumnya untuk meninggalkan tradisi syirik. Penganut paham pluralisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama saja, maka secara hakiki dia telah keluar dari Islam, karena dia tidak lagi menuhankan Allah. “Tuhan” baginya bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Padahal seorang Muslim sudah bersyahadat: “Tiada Tuhan selain Allah”. Kemudian timbul pertanyaan, jadi Tuhan mana yang disembah kaum pluralis, maka bisa jadi mereka mengatakan bahwa Tuhan tidak penting, karena dalam pandangan mereka Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua dianggap bisa dianggap sebagai Tuhan dan dituhankan, kemudian menganggap Tuhan tidak penting. Dalam bab pluralism dan toleransi, Islam sendiri membuktikan sebagai agama yang sangat toleran, karena sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan. Tafsir Buya Hamka dari surat Al-Kafirun, beliau mencatat bahwa: “soal akidah, di antara Tauhid



Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.” Lebih jauh lagi Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini member pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah diperdamaikan. Tauhid dan syirik tidak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jugalah yang menang.” Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa “semua agama adalah jalan kebenaran”, maka saat itulah di kepalanya telah hilang konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Saat itu, agama-agama sudah tidak ada dan sudah diganti dengan satu agama: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, dan “agama cinta”. Dalam era pasar bebas informasi, termasuk kampanye paham pluralism ini, agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama, tidak ada yang boleh mengklaim agamanya lebih baik dari yang lain. Hal tersebut dikatakan demi kerukunan, toleransi, dan perdamaian, padahal hal tersebut merupakan contoh toleransi beragama yang salah. Seharusnya, toleransi dijalankan tanpa merombak konsep teologis yang berbeda-beda pada masing-masing agama, namun justru itulah makna toleransi yang sebenarnya, yaitu menghormati dalam perbedaan. Pandangan yang menyatakan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang salah. Namun, perlu dicatat bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Nabi Muhammad menolak ajakan kaum kafir Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masingmasing secara bergantian. Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Dijelaskan dalam surat Al-Kafirun, bahwa konsep Tuhan berbeda serta cara beribadahnya pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyembah Tuhan yang sama. Jika menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy, maka Nabi Muhammad akan memenuhi ajakan kaum tersebut. Argumentasi kaum pluralis agama yang mengatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama, juga jelas merupakan pendapat yang batil. Jika semua agama benar, maka Allah tidak perlu memerintahkan kaum Muslim untuk berdoa “Ihdinash-shiraathal-mustaqiim!” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus!), yang berarti terdapat dua jalan, ada jalan yang lurus dan ada jalan yang tidak lurus, yaitu jalannya orangorang yang tersesat dan orang-orang yang dimurkai oleh Allah.



Fakta bahwa masing-masing agama mempunyai konsep dan nama-nama Tuhan yang berbeda-beda. Bahkan soal sebutan untuk Tuhan itu bisa menjadi hal yang sensitif dalam hubungan antar agama. Misalnya tentang keberatan kaum Hindu Bali terhadap penyebutan nama Tuhan oleh kamu Katolik di Bali. Salah satu hal yang diprotes kaum Hindu Bali yaitu penggunaan istilah Hindu untuk menyebut Tuhan kaum Kristen, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria”, dan lain-lain. Di Malaysia, pemerintah juga melarang kaum Kristen untuk menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka, karena Allah adalah nama Tuhan yang resmi disebutkan dalam Al-Quran. Allah dala AlQuran memiliki sifat-sifat tertentu yang tidak bisa diberi sifat sembarangan. Misalnya, Allah sendiri yang tidak menjelaskan sifat-sifat-Nya bahwa Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan dan Dia tidak serupa dengan sesuatu apapun. Sementara itu, kitab kaum Kristen memang tidak menyebut nama Tuhan mereka, karena itu dalam tradisi Kristen tidak ditemukan penyebutan nama Tuhan yang baku. Oleh karena itu, mereka boleh menyebut Tuhan mereka sesuai dengan tradisi atau kemauan mereka. Dalam konsep agama Budha, serang Buddhist tidak menyebutkan nama Tuhannya. Tuhan Yang Maha Esa di dalam agama Budha adalah Anatman (Tanpa Aku), suatu yang tidak berpribadi dan suatu yang tidak dapat digambarkan dalam bentuk apapun. Dalam agama Hindu, kaum Hindu Bali menyebut Tuhan Yang Maha Esa sebagai “Ida Sang Hyang Widhi Wasa”, sedangkan kaum Hindu India lebih suka menyebut “Brahman”. Hal diatas merupakan pandangan dan konsep sejumlah agama tentang Tuhan dan nama-Nya. Dalam pandangan Islam, Tuhan yang Satu itu (Allah SWT) telah mengutus utusan-Nya yang terakhir dan mengabarkan kepada umat manusia siapa nama Tuhan Yang Satu itu, bagaimana cara memanggil dan menyembah-Nya. Namun kaum pluralis menolak konsep kenabian dalam Islam tersebut. Paham pluralime agama bukanlah jalan untuk membangun kerukunan beragama, karena paham tersebut justru menambah konflik baru internal umat beragama. Jika paham ini dikembangkan ke tengah masyarakat Indonesia, maka sama saja dengan kampanye pendangkalan akidah Islam dan mendorong kaum Muslim untuk meninggalkan sikap yang adil dan beradab kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.



DAFTAR PUSTAKA Husaini, Dr. Adian. "10 Kuliah Agama Islam." Yogyakarta: Pro U Media, 2016. Halaman 69-94.