Tugas Jiwa 2 Bu Aris [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH MENGENAI ASUHAN KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA MASYARAKAT PADA ANAK KORBAN TRAFFICKING,NARAPIDANA,DAN ANAK JALANAN



Dosen Pembimbing : Aristina Halawa,S.Kep.Ns.,M.Kes.



Nama : ALWI HASAN (2018.01.001)



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WILLIAM BOOTH SURABAYA 2020



Human Trafficking BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan orang (human trafficking) merupakan bentuk perbudakan secara modern, terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan perdagangan manusia semakin canggih. “Perdagangan orang/manusia bukan kejahatan biasa (extra ordinary), terorganisir (organized), dan lintas negara (transnational), sehingga dapat dikategorikan sebagai transnational organized crime (TOC)”. Demikian canggihnya cara kerja perdagangan orang yang harus diikuti dengan perangkat hukum yang dapat menjerat pelaku. Diperlukan instrument hukum secara khusus yang meliputi aspek pencegahan, perlindungan, rehabilitasi, repratriasi, dan reintegrasi sosial. Perdagangan orang dapat terjadi pada setiap manusia, terutama terhadap perempuan, dengan demikian upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan hal yang harus diimplementasikan. Kasus perdagangan orang yang terjadi, hampir seluruh kasus yang ditemukan dalam perdagangan manusia korbannya adalah perempuan dan anak. Diperkirakan setiap tahunnya 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional. Di Indonesia jumlah anak yang tereksploitasi seksual sebagai dampak perdagangan anak diperkirakan mencapai 40.000-70.000 anak. Disamping itu, dalam berbagai studi dan laporan NGO menyatakan bahwa Indonesia merupakan daerah sumber dalam perdagangan orang, disamping juga sebagai transit dan penerima perdagangan orang. Dari berbagai macam kejahatan yang ada, masalah perdagangan orang sangat kompleks, sehingga upaya pencegahan maupun penanggulangan korban perdagangan harus dilakukan secara terpadu. Adapun beberapa factor pendorong terjadinya perdagangan orang antara lain meliputi kemiskinan, desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik, ketidakmampuan system pendidikan yang ada maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak



putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi serta petugas Kelurahan dan Kecamatan yang membantu pemalsuan KTP. Secara umum korban perdagangan orang terutama perempuan yang dilacurkan dan pekerja anak adalah korban kriminal dan bukan pelaku kriminal. Elemen perdagangan orang meliputi pelacuran paksa, eksploitasi seksual, kerja paksa mirip perbudakan, dan transplantasi organ tubuh. Korban perdagangan orang memerlukan perlindungan, direhabilitasi, dan dikembalikan kepada keluarganya. Salah satu faktor tingginya kasus perdagangan orang yang pada umumnya perempuan, disebabkan oleh dijanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi di luar daerah, dengan korban adalah kalangan perempuan usia remaja yang ingin mencari kerja. Dimana, kasus perdagangan orang khususnya perempuan yang sangat tidak manusiawi tersebut, merupakan praktik penjualan perempuan dari satu agen ke agen berikutnya. Semakin banyak agen yang terlibat, maka semakin banyak pos yang akan dibayar oleh perempuan tersebut, sehingga gaji mereka terkuras oleh para agen tersebut. Fenomena tersebut perlu diantisipasi agar jaringan seperti rantai tersebut dapat diberantas dan diputuskan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan terlebih dahulu disosialisasikan agar masyarakat memahami khususnya kaum perempuan. Tingginya angka migrasi penduduk serta kemiskinan. Diduga ada peningkatan kualitas dan kuantitas kasus perdagangan anak dan perempuan (trafficking). Kemunculan kasus perdagangan tenaga kerja perempuan merupakan dampak langsung dari tidak sejahteranya masyarakat. Sebagian masyarakat cenderung mencari jalan pintas untuk bangkit dari kemiskinan. Fenomena ini memunculkan keprihatinan, sehingga perlu adanya langkah proaktif. Cara pintas yang diambil masyarakat kerap mengorbankan masa depan generasi muda. Pengiriman tenaga kerja ke luar daerah, seringkali tanpa mempertimbangkan legalitas dari jalur pengiriman. Ada kecenderungan jalur perdagangan orang diawali dengan berkedok penyaluran pembantu rumah tangga.



1.2 Rumusan Masalah Adapun Rumusan Masalah pada Makalah ini yaitu: 1. Jelaskan Definisi Trafficking Human? 2. Jelaskan Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking? 3. Jelaskan Bentuk dan Modus Human Trafficking? 4. Jelaskan Undang- undang tentang Human Trafficking? 5. Jelaskan Dampak/ Pengaruh Human Trafficking? 6. Jelaskan Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking? 1.3 Tujuan Penulisan Adapun Tujuan Penulisan pada Makalah ini yaitu: 1. Untuk Mengetahui dan Memahami Definisi Human Trafficking. 2. Untuk Mengetahui dan Memahami Faktor- Faktor Penyebab Human Trafficking. 3. Untuk Mengetahui dan Memahami Bentuk dan Modus Human Trafficking. 4. Untuk Mengetahui dan Memahami Undang- undang tentang Human Trafficking. 5. Untuk Mengetahui dan Memahami Dampak/ Pengaruh Human Trafficking. 6. Untuk Mengetahui dan Memahami Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking.



BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Pengertian Human Trafficking Human trafficking atau perdagangan manusia oleh Perserikatan Bangsabangsa (PBB) mendefinisikan sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, perbudakan, pemaksaan, pemerangkapan utang ataupun bentuk-bentuk penipuan yang lainnya dengan tujuan eksploitasi. Misalnya Caouette memberi batasan tentang perdagangan sebagai suatu perekrutan dan transfortasi orang atau sekelompok orang di dalam dan melawati perbatasan nasional menggunakan kekerasan terhadap orang lain. para korban dirayu, ditipu, diculik atau dalam berbagai cara diakali untuk masuk prostitusi. Menurut Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) pasal 1 ayat 1, dedinisi trafficking adalah tindakan perekrutaan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, peyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh peretujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Sebelum Undang-undang tindak pidana disahkan, pengertian tindak pidana perdagangan orang (trafficking) yang umum paling banyak digunakan adalah protokol PBB. Adapun menurut protokol PBB tersebut pengertian trafficking adalah: a. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penjualan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan atau penyaalah gunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitassi termasuk, paling tidak eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari



eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek serupa perbudakan, pengahambaa atau pengambilan organ tubuh. b. Persetujuan korban perdagangan orang terhadap eksploitasi yang dimaksud yang dikemukakan dalam sub line (a). c. Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seorang anak untuk tujuan eksploitasi dipandang sebagai perdagangan orang bahkan jika kegiatan ini tidak melibatkan satu pun cara yang dikemukakan dalam sub babline (a). d. Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. 2.2 Faktor- Faktor Penyebab Trafficking Human Terjadinya Trafficking baik itu berupa kasus kekerasan maupun eksploitasi terhadap anak-anak dan perempuan disebabkan oleh beberapa factor khususnya di Indonisia diantaranya ialah sebagai berikut: 2.2.1 Faktor Ekonomi Ekonomi yang minim atau disebut kemiskinan menjadi factor penyebab utama terjadinya Human Trafficking. Ini menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan bagi orang miskin. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa rendahnya ekonomi membawa dampak bagi prilaku sebagian besar masyarakat. Ekonomi yang pas-pasan menuntut mereka untuk mencari uang dengan berbagai cara. Selain itu budaya konsumvitisme, juga ikut andil menambah iming-iming masyarakat untuk mencari biaya penghidupan. Semua ini menjadikan mereka dapat terjerumus ke dalam prostitusi dan tindak asusila lainnya. 2.2.2 Posisi Subordinat Perempuan dalam Sosial dan Budaya Seperti halnya kondisi pedagangan manusia yang terjadi di dunia, untuk Indonisia penelitian-penelitia yang dilakukan di lembaga pendidikan dan LSM menunjukkan sebagian besar korban perdagangan manusia adalah perempuan dan anak-anak. Indonisia adalah suatu masyarakat yang patrialkhal, suatu struktur komonitas dimana kaum laki-laki yang lebih memegang kekuasaan, dipersepsi sebagai struktur yang mendegorasi perempuan baik dalam kebijakan pemerrintah maupun dalam prilaku masyarakat. Misalnya perumusan tentang



kdudukan istri dalam hokum perkawinan, kecenderungan untuk membayar upah buruh wanita di bawah upah buruh laki-laki, atau kecenderungan lebih mengutamakan anak laki-laki dari pada anak perempuan dalam bidang pendidikan, merupakan salah satu refleksi keberadaan permpuan dalam posisi subordinat dibandingkan dengan laki-laki. 2.2.3 Faktor Pendidikan Tingkat pendidikan yang rendah juga sangat mempengaruhi kekerasan dan eksploitasi terhadap anak dan perempuan. Banyaknya anak yang putus sekolah, sehingga mereka tidak mempunyai skill yang memadai untuk mempertahankan hidup. Implikasinya, mereka rentan terlibat kriminalitas. Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2000 lalu melaporkan bahwa 34,0% penduduk Indonisia berusia 10 tahun ke atas belum atau tidak tamat pendidikan dasar (SD) dan hanya 15% tamat SLTP. Menurut laporan BPJS Tahun 2000 juga terdapat 14% anak usia 7-12 tahun dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutka kejenjang pendidikan SLTP karena alasan ketidak mampuan dalam hal biaya. 2.2.4 Tidak Ada Akta Kelahiran Sebuah studi yang dipublikasikan oleh UNICEF APADA mei 2002 yang lalu memperkirakan bahwa hingga tahun 2000 lalu, 37% balita Indonesia belum mempunyai akta kelahiran. Pasal 9 konvensi mengenai hak-hak anak menentukan bahwa semua anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan juga harus mempunyai nama serta kewarganegaraan. Ada bermacammacam alasan mengapa banyak anak tidak terdaftar kelahirannyaa. Orang tua yang miskin mungkin merasa biaya pendaftaran terlalu mahal atau mereka tidak menyadari pentingtnya akata kelahiran. 2.2.5 Kebijakan yang Bias Gender Perempuan di Indonesia umumnya menikmati kesetaraan gender di mana hukum Undang-undang Dasar 1945 menjamin kesetaraan hak untuk lakilaki dan perempuan. Indonisia juga telah meratifikasi beberapa konvensi PBB yang menjamin kesetaraan hak bagi perempuan, antara lain rativikasi konvensi untuk penghpusan deskriminasi untuk perempuan (CEDAW) pada tahun 1984. Namun kenyataannya hukum perlindungan hanya di atas kertas sedangkan prakteknya masih jauh dari yang diaharapkan. Kesetaraan gender belum sepenuhnya terwujud, perempuan masih tertinggal secara sosial, politik, dan ekonomi dari kaum laki-laki.



2.2.6 Pengaruh Globalisasi Pemberitaan tentang trafficking (perdagangan manusia), pada beberapa waktu terakhir ini di Indonesia semakin marak dan menjadi isu yang aktual, baik dalam lingkup domistik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Perdagangan manusia yang paling menonjol terjadi khususnya yang dikaitkan dengan perempuan dan kegiatan industri seksual, ini baru mulai menjadi perhatian masyarakat melalui media massa pada beberapa tahun terakhir ini. Kemungkinan terjadi dalam skala yang kecil, atau dalam suatu kegiatan yang terorganisir dengan sangat rapi. Merupakan sebagian dari alasan-alasan yang membuat berita-berita perdagangan ini belum menarik media massa paa masa lalu. Adapun pengaruh dari akibat globalisasi dunia, Indonesia juga tidak dapat luput dari pengaruh keterbukaan dan Kemajuan di berbagai aspek teknologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kemajuan di berbagai aspek tersebut membawa perubahan pula dalam segi-segi kehidupan sosial dan budaya yang diacu oleh berbagai kemudahan informasi. 2.3. Bentuk dan Modus Trafficking Human 2.3.1 Bentuk Trafficking Seiring berjalannya waktu bentuk dan modus trafficking pun semakin komplek, banyak model dan bentuk perdagangan yang dipergunakan agar misi trafficking berhasil. Ini tidak dapat dipungkiri karena sudah menjadi fenomena yang menjamur diberbagai belahan dunia termasuk Indonisia. Adapun bentuk-bentuk tarfficking diantaranya adalah: 2.3.1.1 Eksploitasi Seksual, eksploitasi seksual dibedakan menjadi dua yaitu: a. Eksploitasi seksual komersial untuk prostitusi. Misalnya perempuan yang miskin dari kampung atau mengalami perceraian karena akibat kawin muda atau putus sekolah kemudian diajak bekerja ditempat hiburan kemudian dijadikan pekerja seks atau panti pijat. Korban bekerja untuk mucikari atau disebut juga germo yang punya peratutan yang eksploitatif, misalnya jam kerja yang tak terbatas agar menghasilkan uang yang jumlahnya tidak ditentukan.8 Korban tidak berdaya untuk menolak melayani laki-laki hidung belang yang menginginkan tubuhnya dan jika ia menolak maka sang mucikari tidak segan-



segan untuk menyiksanya karena biasanya mereka punya bodigard-budigard yang mengawasi mereka. b. Eksploitasi non komersial, Misalnya pencabulan terhadap anak, perkosaan dan kekerasan seksual. Banyak pelaku pencabulan dan perkosaan yang dapat dengan bebas menghirup udara kebebasan dengan tanpa dijerat hukum. Sementara perempuan sebagai korban harus menderita secara lahir dan batin seumur hidup bahkan ada yang putus asa dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ada juga yang karena tidak sanggup menghadapi semuanya terganggu jiwanya. 2.3.1.2 Pekerja Rumah Tangga Pembantu rumah tangga yang bekerja baik di luar maupun di dalam wilayah Indonesia dijadikan korban kedalam kondisi kerja yang dibawah paksaan, pengekangan dan tidak diperbolehkan menolak bekerja. mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang, upah yang tidak dibayar. Selama ini juga pekerja rumah tangga tau yang disebut pembantu tidaklah dianggap sebagai pekerja formal melainkan sebagai hubungan informal antara pekerja dan majikan, dan pekerjaan kasar yang tidak membutuhkan keterampilan. upah yang diterima sangat rendah dibawah UMR yang tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan, dimana jam kerja yang sangat panjang, tidak ada libur, bahkan banyak yang tidak ada waku untuk istirahat. Perlakuan yang lebih buruk lagi adalah mereka diperlakukan layaknya budak, baik ketika menyuruh suatu pekerjaan atau dalam hal makan, di mana mereka diberi makan yang sedikit dan tidak memenuhi standar gizi yang dapat memberikan asupan tenaga, dilarang menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya bahkan di luar negeri seringkali majikan dan agen menyita paspor TKW agar tidak bisa kabur jika mereka diperlakukan oleh semua majikan karena ada juga majikan yang baik dalam memperlakukan pembantu rumah tangganya bahkan menganggapnya sebagai keluarga.



2.3.1.3 Penjualan Bayi Di sejumlah negara maju, motif adopsi anak pada keluarga modern menjadi salah satu penyebab maraknya incaran trafficker. Keluarga modern yang enggan mendapatkan keturunan dari hasil pernikahan menjadi rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengadopsi anak. Kebutuhan adopsi massal itulah yang menyebabkan lahirnya para penjual bayi, calo-calo anak dan segenap jaringannya. Disisi lain, negara-negara berkembang masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui proses perdagangan. Misalnya hilangnya 300 anak pasca sunami di Aceh yang kemudian dilarikan oleh LSM. Banyak pihak yang menduga anak itu dilarikan ke Amerika. 2.3.1.4 Jeratan Hutang Jeratan hutang adalah salah satu bentuk dari perbudakan tradiional, di mana korban tidak bisa melarikan diri dari pekerjaan atau tempatnya bekerja sampai hutangnya lunas. Ini terjadi mislanya pada para TKW, di mana ketika mereka berangkat ke negara tujuan dibiayai oleh PJTKI dan mereka harus mengganti dengan gaji sekitar empat bulanan yang padahal jika dihitung-hitung baiaya yang dikeluarkan oleh PJTKI tidak sebanyak gaji TKW tersebut. Ini menjadikan para TKW harus tetap bekerja apapun kondisi yang dihadapi di lapangan sampai habis masa kontrak. Karena itulah jeratan hutang dapat mengarah pada kerja paksa dan membuka kemungkinan terjadinya kekerasan dan eksploitasi terhadap pekerja. 2.3.1.5 Pengedar Narkoba dan Pengemis Dunia saat ini sudah diserang virus berbahaya yang namanya narkoba. Narkoba sudah mengglobal di seluruh dunia dan sulit untuk dicegah penyebarannya mulai dari kota besar sampai kepelosok desa. karena secara materi hasil dari penjualan narkoba sangat fantastis dibanding dengan pekerjaan atau bisnis apapun. Inilah salah satu yang menyebabkan orang-orang terjun kelingkungan mafia, karena satu sisi hasilnya sangat menggiurkan dan disisi lain



ia sulit menemukan pekerjaan yang layak dengan penghasilan besar walaupun resikonya juga sangat besar.



2.4. Modus Trafficking menjalankan operandinya para trafficker sering menggunakan mudus berupa imingiming. Di antara modus-modusnya antara lain yaitu: 2. 4.1 Tawaran Kerja Salah satu modus human trafficking yang sering dilakukan adalah penawaran kerja ke luar pulau atau luar negeri dengan gaji tinggi. Pelaku biasanya mendatangi rumah calon korbannya dan saat pemberangkatan juga tanpa dilengkapi surat keterangan dari pemerintah desa setempat. Cara tersebut dilakukan untuk menghilangkan kecurigaan sejumlah pihak, termasuk memberi kemudahan kepada keluarga korban untuk dapat diterima kerja tanpa harus mengurus sejumlah surat kelengkapan kerja di luar daerah atau negeri. Dari pihak orang tua korban sudah tidak memperdulikan aturan atau kelengkapan surat-surat kerja karena sudah termakan oleh bujukan pelaku. 2.4.2 Bius Rayuan dan iming-iming pekerjaan bukan lagi menjadi modus yang paling sering dilakukan dalam human trafficking, tetapi saat ini orang bisa menjadi korban perdagangan manusia dengan kekerasan seperti dibius. Modus ini menggunakan kekerasan, cara modus ini berawal dari penculikan terhadap korban, kemudian pelaku membiusnya dengan suntikan ataupun dengan alat yang lain yang digunakan untuk membius. Kemudian korban dibawa dan dipertemukan dengan sang bos. Setelah itu korban diserahkan jaringan lainnya untuk dibawa ke negara lain tanpa membawa paspor untuk dipekerjakan secara paksa sebagai pekerja seks.



2.5. Undang- Undang Tentang Trafficking 2.5.1 Undang Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, definisinya adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut,baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga yaitu: unsurproses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang. 2.5.1.1 Proses: tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut. 2.5.1.2. Cara: ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut. 2.5.1.3. Eksploitasi: tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.



2.5.1.4. Lokus: Tempat kejadian tindak pidana perdagangan orang bisa terjadi di dalam negara ataupun antar negara. 2.5.2 Sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang Kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta, sementara untuk perusahaan sanksi penjaranya minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar. 2.5.3 Korban Human Trafficking Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental. fisik, seksual, dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007). 2.5.4 Ciri-ciri perdagangan orang dalam konteks migrasi ketenagakerjaan? 2.5.4.1 Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan. 2.5.4.2 Ditempatkan tanpa perjanjian Kerja. 2.5.4.3 Perekrutan dibawah umur (-18 thn) dokumen dipalsukan. 2.5.4.4 Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali. 2.5.4.5 Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih). 2.5.4.6 Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan. 2.5.4.7 Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari Menteri Tenaga Kerja. 2.5.4.8 Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja. 2.5.4.9 Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai dengan peraturan Indonesia. 2.6. Dampak/ Pengaruh Trafficking Human Berdasarkan perspektif historis, startegi dan tahapan, serta faktor penyebab human trafficking, maka hal tersebut menempatkan perempuan korban trafficking dalam situasi yang beresiko tinggi yang berdampak terhadap fisik, psikis maupu kehidupan sosial



perempuan korban trafficking sebagaimana yang digambarkan Course Instruction sebagai berikut. 2.6.1 Dampak Psikologi dan Kesehatan Mental Menurut Williamson et al perempuan korban trafficking sering mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu peristiwa atau kejadian yang melibatkan cedera aktual atau terancam kematian yang serius, atau ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain" dan tanggapan mereka terhadap peristiwa ini sering melibatkan "rasa takut yang sangat, dan ketidakberdayaan, sebagai reaksi umum dari post traumatic stress disorder (PTSD). Pengalaman traumatis dan ketakutan dialami perempuan korban trafficking sejak awal mereka ditangkap secara paksa, mengalami penyekapan di daerah transit sebelum dikirim ke tempat tujuan untuk dijual dan di eksploitasi. Para perempuan korban trafficking seringkali mengalami kondisi yang kejam yang mengakibatkan trauma fisik, seksual dan psikologis. Kegelisahan, insomnia, depresi dan post traumatic stress disorder menggambarkan standar evaluasi atau penilaian yang mengecewakan nilai diri dengan memandang rendah diri sendiri. Para perempuan korban trafficking seringkali kehilangan kesempatan penting untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritual. Hilang harapan tanpa tujuan hidup yang jelas, suram dan gelap masa depan. 2.6.1.1 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) PTSD merupakan suatu pengalaman individu yang mengalami peristiwa traumatik yang menyebabkan gangguan pada integritas diri individu dan sehingga individu mengalami ketakutan, ketidakberdayaan dan trauma tersendiri. Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering menyebabkan peningkatan keadaan siaga yang berlebihan, deperti insomnia, waspada berlebihan dan iritabilitas terhadap lingkungan yang berbahaya. Peningkatan ansietas dapat menyebabkan perilaku agresif atau perilaku menciderai.



a. Pengulangan pengalaman trauma, ditunjukkan dengan selalu teringat akan peristiwa yang menyedihkan yang telah dialami itu, flashback (merasa seolah-olah peristiwa yang menyedihkan terulang kembali), nightmares (mimpi buruk tentang kejadian-kejadian yang membuatnya sedih), reaksi emosional dan fisik yang berlebihan karena dipicu oleh kenangan akan peristiwa yang menyedihkan. b. Penghindaran dan emosional yang dangkal, ditunjukkan dengan menghindari aktivitas, tempat, berpikir, merasakan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. Selain itu juga kehilangan minat terhadap semua hal, perasaan terasing dari orang lain, dan emosi yang dangkal. c. Sensitifitas yang meningkat, ditunjukkan dengan susah tidur, mudah marah / tidak dapat mengendalikan marah, susah konsentrasi, kewaspadaan yang berlebih, respon yang berlebihan atas segala sesuatu. 2.6.1.2 Kecemasan Kecemasan adalah kebingungan, kekhawatiran pada sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya (Videbeck, 2008). Satu studi melaporkan bahwa orang yang selamat dari trafficker mengalami 31 | A s u h a n K e p e r a w a t a n J i w a H u m a n T r a f f i c k i n g kecemasan dengan gejala kegugupan (95%), panik (61%), merasa tertekan (95%) dan keputusasaan tentang masa depan (76%). 2.6.1.3 Ketidakberdayaan Ketidakberdayaan adalah persepsi yang menggambarkan perilaku seseorang yang tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil, suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. Secara kognitif korban umumnya kurang konsentrasi, ambivalensi, kebingungan, fokus menyempit / preokupasi, misinterpretasi, bloking, berkurangnya kreatifitas, pandangan suram, pesimis, sulit untuk membuat keputusan, mimpi buruk, produktivitas menurun, pelupa. Afek korban terkadang tampak sedih, bingung, gelisah, apatis / pasif, kesepian, rasa



tidak berharga, penyangkalan perasaan, kesal, khawatir, perasaan gagal. Korban sering semakin sering mengeluh kelemahan, pusing, kelelahan, keletihan, sakit kepala, perubahan siklus haid. 2.6.2 Dampak Sosial Secara sosial para perempuan korban trafficking teralenasi, karena sejak awal direkrut, diangkut atau ditangkap oleh jaringan trafficker mereka sudah disekap, diisolir agar tidak berhubungan dengan dunia luar atau siapapun sampai mereka tiba ditempat tujuan. Eksploitasi seksual yang di alami para korban ditempat pekerjaan membatasi mereka untuk bertemu dengan orang lain (Course Instructions, 2011: 3, 4), kecuali harus melayani nafsu bejat para tamu (lelaki hidung belang). Para korban semestinya memandang dunia dan masa depan dengan mata bersinar, hidup aman tentram bersama perlindungan dan kasih sayang keluarganya, tibatiba harus tercabut masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam, menjadi korban sindikat trafficking. Konsekuensi sosial tersebut sebagai salah satu dampak yang banyak dialami oleh perempuan. Korban trafficking. Korban mengalami isolasi sosial, yang berfungsi sebagai strategi untuk perbudakan dan eksploitasi seksual. Sementara diperbudak, para korban terutama anak-anak biasanya kehilangan kesempatan pendidikan dan sosialisasi dengan teman sebayanya (Stotts & Ramey, 2009: 10). Karena trafficking perempuan tampaknya mengorbankan seluruh masyarakat, anak dan wanita, isolasi sosial merupakan upaya untuk mencegah mereka mendapatkan pendidikan dan meningkatkan kerentanan masa depan mereka untuk diperdagangkan. 2.6.3 Dampak Kesehatan Fisik Secara fisik, cedra aktual para perempuan korban trafficking terjadi, karena mereka mengalami kekerasan fisik dan seksual. Mereka seringkali terpaksa harus tinggal di lingkungan yang tidak manusiawi dan bekerja dalam kondisi berbahaya. Mereka tidak memiliki gizi yang cukup dan dikenakan penyiksaan secara brutal pada fisik dan psikis, apabila mereka tidakmemberikan pelayanan seksual yang diinginkan pelanggan (“lelaki hidung belang”) atau karena penolakan para korban terhadap eksploitasi seksual. Korban sering tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai dan tinggal dilingkungan yang najis dan tidak layak (Stotts & Ramey, 2009: 10). Perawatan kesehatan dan pencegahan penyakit seksual menular terhadap para korban hampir tidak ada, dan kesehatan biasanya diabaikan sampai mereka



semakin terpuruk menderita penyakit HIV / AIDS, sipilis, gonorea dan penyakit seksual menular lainnya. 2.7. Pencegahan dan Penanggulangan Human Trafficking Perdagangan orang, khususnya perempuan sebagai suatu bentuk tindak kejahatan yang kompleks, tentunya memerlukan upaya penanganan yang komprehensif dan terpadu. Tidak hanya dibutuhkan pengetahuan dan keahlian professional, namun juga pengumpulan dan pertukaran informasi, kerjasama yang memadai baik sesame apparat penegak hokum seperti kepolisian, kejaksaan, hakim maupun dengan pihak- pihak lain yang terkait yaitu lembaga pemerintah (Kementrian terkait) dan lembaga non pemerintah (LSM) baik local maupun internasional. Semua pihak bisa saling bertukar informasi dan keahlian profesi sesuai dengankewenangan masing-masing dan kode etik instansi. Tidak hanya perihal pencegahan, namun juga penanganan kasus dan perlindungan korban semakin memberikan pembenaran bagi upaya pencegahan dan penanggulangan perdagangan peremuan secara terpadu. Hal ini bertujuan untuk memastikan agar korban mendapatkan ha katas perlindungan dalam hukum. Dalam konteks penyidikan dan penuntutan, aparat penegak hukum dapat memaksimalkan jaringan kerjasama dengan sesama apparat penegak hokum lainnya didalam suatu wilayah negara, untuk bertukar informasi dan melakukan investigasi bersama. Kerjasama dengan apparat penegak hokum di negara tujuan bisa dilakukan melalui pertukaran informasi, atau bahkan melalui mutual legal assistance, bagi pencegahan dan penanggulangan perdagangan perempuan lintas negara. Upaya Masyarakat dalam pencegahan trafficking yakni dengan meminta dukungan ILO dan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) yang melakukan Program Prevention ofChild Trafficking for Labor and Sexual Exploitation. Tujuan dari program ini adalah: 2. Memperbaiki kualitas pendidikan dari tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menegah Atasuntuk memperluas angka partisipasi anak laki-laki dan anak perempuan. 3. Mendukung keberlanjutan pendidikan dasar untuk anak perempuan setelah lulus sekolah dasar 4. Menyediakan pelatihan keterampilan dasar untuk memfasilitasi kenaikan penghasilan 5. Menyediakan pelatihan kewirausahaan dan akses ke kredit keuangan untuk memfasilitasi usaha sendiri. 6. Merubah sikap dan pola pikir keluarga dan masyarakat terhadap trafficking anak.



BAB 3 TINJAUAN KASUS 3.1 Kasus narasi mengenai kasus Trafficking Perdagangan Manusia (Masih) Marak, Berbungkus Berbagai Modus Suara Ibu Sulis terdengar geram ketika bercerita mengenai apa yang terjadi pada salah satu putrinya, yang menjadi korban – dan pada akhirnya penyintas – perdagangan orang pada akhir 2013. “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,” kata Ibu Sulis berapi-api. “Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” jelas Ibu Sulis yang berasal dari Palopo, Sulawesi Selatan. “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,” tegas ibu Sulis, 45 tahun. Bella yang lahir pada tahun 1995, menurut ibunya, tergoda dengan imingiming gaji Rp 10 juta per bulan sebagai SPG. Dia mendapat tawaran dari teman masa kecilnya yang memang sudah lebih dulu bekerja di Dobo, kota kecil di Kepulauan Aru di Maluku. Bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diam-diam meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban akan kegalauannya. Dari kampung mereka, Rawamangun di Palopo, gadis-gadis sebaya ini berangkat ke Makassar., Menginap satu malam di sebuah hotel dan bertemu dengan calon pemberi pekerjaan, yang ternyata adalah pemilik kelab malam. Lalu berangkat dengan pesawat menuju Ambon pada keesokan harinya. Para pelaku praktek perdagangan orang ini diduga menggunakan sistem sel yang terputus-putus di satu daerah ke daerah lain., Hampir serupa dengan cara sindikat narkoba beroperasi. Sehingga dari Ambon, gadis-gadis Palopo ini bertemu dengan orang yang berbeda yang membawa mereka ke Pulau Aru. Dan cerita sedih berkepanjangan dimulai ketika mereka menginjakkan kaki di tempat kerja mereka. “Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,” kata Ibu Sulis menceritakan apa yang dia dengar dari anaknya. Bella dan teman-temannya melihat perlakuan buruk kepada perempuan yang bekerja di sana.; Bukan hanya dari para pelanggan tetapi juga pekerja laki-laki serta pemilik tempat hiburan itu.



“Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.” “Bella juga melihat teman-temannya yang sakit atau hamil dibawa pergi dari pulau dan tidak pernah kembali.” Cerita Bella hanyalah satu dari ribuan kisah pilu perdagangan orang. Tersamarkan dengan berbagai modus yang terus diperbaharui seiring dengan perkembangan jaman untuk menjerat korbannya. Iming-iming gaji bulanan dengan jumlah fantastis masih sering digunakan, tetapi para pemangsa mulai menggunakan media sosial untuk menjerat targetnya. Dan sudah ada pula kasus-kasus dimana korban dijerat melalui perjalanan umrah.



3.2 Asuhan Keperawatan ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA Nn. B DENGAN KORBAN HUMAN TRAFFICKING DI RUANG.................................... Nama Klp : Kelompok 3



Tg/ Jam MRS : ……………………….



Tgl/ Jam Pengkajian : …………….



No. RM : ……………………....……..



Sumber Data : Ny. S



Ruangan/ Kelas : …………………..



Metode : ……………………………...



No. Kamar : ………………………….



Alat/ Bahan : ………………………..



Diagnosa Medis : ….……………..



3.3 Identitas : 3.3.1 Nama : Nn. B 3.3.2 Umur : Lahir tahun 1995 3.3.3 Jenis Kelamin : Perempuan 3.3.4 Pekerjaan : SPG 3.3.5 Alamat dan No. Telp : Rawamangun, Palopo 3.3.6 Penanggung Jawab & Hubungan dengan Klien : Ny. S (45 Tahun) sebagai Ibunya



3.4 POLA PERSEPSI KESEHATAN ATAU PENANGANAN KESEHATAN 3.4.1 Keluhan Utama: Menurut Ny. S “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan kondisi keluarga kami,” 3.4.2 Riwayat Penyakit Sekarang : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.3 Lamanya Keluhan : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.4 Faktor yang Memperberat : Menurut Ny. S “Keluarga kami broken home. Anak-anak melihat orangtua tidak akur. Mungkin itu yang menyebabkan dia memutuskan pergi,” 3.4.5 Upaya yang dilakukan untuk mengatasi Keluhan : Menurut Ny. S bersama dengan teman lama dan sahabatnya, Bella pergi diamdiam meninggalkan desa dan merasa bahwa mencari nafkah sendiri merupakan jawaban akan kegalauannya. 3.4.6 Riwayat Penyakit Dahulu : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.7 Persepsi Klien tentang status kesehatan dan kesejahteraan : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.8 Riwayat Kesehatan Keluarga : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.9 Susunan Keluarga (Genogram) : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.4.10 Riwayat Alergi :



(Tidak terdapat dalam Kasus) 3.5 POLA NUTRISI DAN METABOLIK : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.6 POLA ELIMINASI : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.7 POLA AKTIVITAS DAN LATIHAN : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.8 POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR : (Tidak terdapat dalam Kasus) 3.9 POLA KOGNITIF DAN PERSEPTUAL Tingkat Ansietas: Menurut Ny. S “Tidak bisa saya bayangkan ketakutannya., Dia jauh dari rumah, bekerja untuk rumah biadab itu. Dia melihat semuanya., Dia seperti jadi orang lain ketika saya pertama kali mendengar suaranya (melalui telepon) setelah sekian lama tidak berhubungan,”. 3.10 POLA PERSEPSI DIRI/ KONSEP DIRI : 3.10.1 Role Peran : Konflik Peran Menurut Ny. S “Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang kaca. Bisa saya katakan separuh telanjang,” 3.10.2 Identity/ Identitas Diri : Merasa Terkekang dan Kurang Mampu menentukan Pilihan. Menurut Ny. S “Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. Ada ibu-ibu yang sama sekali tidak bisa meninggalkan tempat itu karena hutang banyak, anak banyak dan tidak jelas siapa saja bapaknya.” Masalah Keperawatan : Resiko Harga Diri Rendah.



3.11 POLA PERAN DAN HUBUNGAN : Pekerjaan : SPG 3.12 POLA SEKSUALITAS/ REPRODUKSI : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.13 POLA KOPING/TOLERANSI STRESS : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.14 POLA NILAI / KEPERCAYAAN : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.15 PENGKAJIAN PERSISTEM (Review of System) : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.16 PEMERIKSAAN PENUNJANG : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.17 TERAPI : (Tidak Terdapat dalam Kasus) 3.18 ANALISA DATA : Nama Klien : Nn. B Umur : Lahir Tahun 1995 Ruangan/ Kamar : No. RM : No



Data (Symptom)



Penyebab (Etiologi)



Masalah (Problem)



. 1



Objektif : 1. Menurut Ny. S “Anak saya mungkin frustasi dan tidak tahan



Perubahan Proses Keluarga



Perubahan Proses Keluarga



kondisi keluarga kami,”.



Frustasi



2. Menurut Ny.S “Keluarga kami broken home. Anakanak melihat



Tidak Tahan Kondisi



orangtua tidak akur. Mungkin itu



Keluarga



yang menyebabkan dia memutuskan pergi,”



Broken Home Orang Tua Tidak



2



Objektif :



Akur Resiko HDR



1. Menurut Ny. S “Dia magang untuk 3 bulan baru boleh dibawa keluar. Selama itu dia kerja



Rendah Kerja Melayani Tamu Pria



melayani tamu, menemani minum. Setiap hari dia disuruh memakai pakaian seminim mungkin dan dipajang di ruang



Memakai Pakaian Minim



kaca. Bisa saya Resiko HDR Kerja Melayani Tamu Pria Memakai Pakaian Minim Pekerjaan SPG Resiko Harga Diri separuh telanjang,”. 2. Menurut Ny. S “Mereka membuat perempuan menjadi binatang. Menjerat dengan hutang yang jelas-jelas tidak akan sanggup mereka bayar. 9.19 INTERVENSI KEPERAWATAN



Resiko Harga Diri



Pekerjaan SPG



N



DIAGNOSA



TUJUAN



KRITERIA



INTERVENSI



O 1



Proses



Pasien dan



HASIL Setelah Pertemuan



1. Pengkajian :



Perubahan



Keluarga



pasien mampu:



a. Kaji Interaksi antara pasien



Keluarga



mampu: 1.



1.



dan keluarga, waspada terhadap



Memahami



Mengidentifikasi



potensi perilaku merusak.



perubahan dalam Pola Koping.



b. Kaji Keterbatasan anak,



peran keluarga.



2. Berpartisipasi



dengan demikian dapat



dalam proses



mengakomodasi anak untuk



membuat



berpartisipasi dalam aktivitas



keputusan tentang



sehari-hari.



perawatan setelah



2. Intervensi Umum :



rawat inap.



a. Bina Hubungan Saling



3. Berfungsi untuk



Percaya.



saling memberikan



b. Beri Kesempatan kepada



dukungan kepada



Keluarga sebagai Individu dan



setiap anggota



Sebagai Kelompok untuk saling



keluarga.



berbagi tentang perasaan yang



4.



mereka pendam.



Mengidentifikasi



c. Tekankan bahwa anggota



cara untuk



keluarga tidak bertanggung



berkoping lebih



jawab atas kebiasaan mabuk



efektif.



anggota keluarga lainnya. 3. Promosi Integritas Keluarga : a. Kaji Perasaan Bersalah yang mungkin dialami keluarga. b. Kaji jenis hubungan keluarga. c. Pantau hubungan keluarga saat ini. 4. Penyuluhan untuk Pasien/ Keluarga :



N



DIAGNOSA



TUJUAN



O



KRITERIA



INTERVENSI



HASIL a. Ajari keterampilan merawat pasien yang diperlukan oleh keluarga (misalnya, manajemen waktu, pengobatan). b. Ajari keluarga perlunya kerjasama dengan system sekolah untuk menjamin akses kesempatan pendidikan yang sesuai untuk penderita penyakit kronis atau anak cacat.



5. Aktivitas Kolaboratif a. Pelopori konferensi multidisiplin perawatan pasien, dengan melibatkan pasien/ keluarga dalam menyelesaikan masalah dan fasilitasi komunikasi. b. Berikan perawatan berkelanjutan dengan mempertahankan komunikasi yang efektif antara anggota staf mrlalui catatan keperawatan dan rencana perawatan. c. Promosi Integrasi keluarga (NIC), rujuk untuk terapi 2



Gangguan



Pasien mampu:



Setelah pertemuan



keluarga sesuai indikasi. SP.1 (Tgl…………………….)



konsep diri:



1.



klien mampu:



1. Identifikasi kemampuan



N



DIAGNOSA



O



TUJUAN



KRITERIA



INTERVENSI



harga diri



HASIL Mengidentifikasi 1.Mengidentifikasi



positif yang dimiliki :



rendah



kemampuan dan



kemampuan aspek



a.Diskusikan bahwa pasien



aspek posiif



positif yang



masih memiliki sejumlah



yang dimiliki.



dimiliki.



kemampuan dari aspek positif



2. Menilai



2. Memiliki



seperti kegiatan pasien di rumah



kemampuan



kemampuan yang



adanya keluarga dan lingkungan



yang dapat



dapat digunakan.



terdekat pasien.



digunakan.



Memilih kegiatan



b. Beri pujian yang realistis dan



3. Menetapkan/



sesuai



hindarkan setiap kali bertemu



memilih



kemampuan.



dengan pasien penilaian yang



kegiatan yang



3.Melakukan



negative.



sesuai dengan



kegiatan yang



2. Nilai kemampuan yang dapat



kemampuan.



sudah dipilih.



dilakukan saat ini : a.Diskusikan



4.Merencanakan



dengan pasien kemampuan yang



kegiatan yang



masih digunakan saat ini.



sudah dilatih.



b.Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien. 3. Pilih kemampuan yang akan dilatih : a. Diskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan dan dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan sehari-hari. b. Bantu pasien menetapkan aktivitas mana yang dapat pasien lakukan secara mandiri.



N



DIAGNOSA



O



TUJUAN



KRITERIA



INTERVENSI



HASIL SP.2 (Tgl……………………………) 1.Evaluasi kegiatan yang lalu (SP1). 2.Pilih kemampuan kedua yang dapat dilakukan. 3.Latih kemampuan yang dipilih. 4.Masukan dalam jadwal kegiatan pasien. SP.3 (Tgl………………………….) 1.Evaluasi kegiatan yang lalu (SP.1 dan 2). 2.Memilih kemampuan ketiga yang dapat dilakukan. 3.Masukan dalam jadwal kegiatan pasien.



BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan



Trafficking adalah perdagangan manusia, lebih khususnya perdangan perempuan dan anak-anak yang dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia ‘trafficker’ dengan cara mengendalikan korban dalam bentuk paksaan, penggunaan kekerasan, penculikan, tipu daya, penipuan ataupun penyalahgunaan kekuasaan atau kedudukan. Jenis-jenis trafficking ini meliputi perkawinan transinternasional, eksploitasi seksual phedopilia, pembantu rumah tangga dalam kondisi buruk, dan penari erotis. Faktor penyebab utama terjadinya tindakan trafficking ini adalah karena kemiskinan dan beberapa diantaranya adalah, karena tingkat pendidikan yang rendah, penganiyaan terhadap perempuan, perkawinan usia muda, dan kondisi sosial budaya masyarakat yang patriarkhis. Dampak yang bisa ditimbulkan dari trafficking ini adalah kecemasan, stress, dan ketidakberdayaan. 4.2 Saran Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya.



DAFTAR PUSTAKA Capernito, Lyda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed. 13. Jakarta: EGC Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika



Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Graha Ilmu Syafaat, Rachmad. 2002. Dagang Manusia-Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.