Tugas Kelompok HTN 8 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. SISTEM PEMERINTAHAN MENURUT UUD 1945



NEGARA



REPUBLIK



INDONESIA



Sistem Pemerintahan Republik Indonesia menganut sistem presidensiil, namun sistem ini bukan merupakan suatu konsekwensi yang diadakan karena Undang Undang Dasar 1945 menganut ajaran Trias politica. Jadi jika ada sistem pemerintahan presidensiil itu harus diukur dengan syarat-syarat seperti tersebut diatas, maka Indonesia tidak terdapat sistem presidensiil murni. Namun demikian jika dilihat dari pasal 5 ayat 1 dalam hubungan dengan pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, dapat dipastikan sudah, Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut sistem pemerintahan presidensiil sepenuhnya karena menurut pasal-pasal tersebut di atas Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama membuat undang-undang yang berarti sistem pemeritahan presidensiil di Indonesia itu bukan merupakan pelaksanaan dari ajaran Trias Politica. Pertanggung jawab Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat mengandung ciri-ciri Parlementer dan juga kedudukan Presiden sebagai mandataris pelaksana Garis-Garis Besar Haluan Negara menunjukan supermasi dari Majelis ( Parliamentary supremacy ) yang melambangkan sifat dari lembaga pemegang kedaulatan rakyat yang tidak habis kekuasaannya dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga Negara yang ada dibawahnya. Karena itu Majelis wawenang mengangkat dan mengesahkan suatu pemerintah ( eksekutif ) dan sekaligus memberhentikan pemerintah yang diangkat itu apa bila ia gagal atau tidak mampu lagi dalam melaksanakan kehendak rakyat melalui majelis itu. Jadi berdasarkan pasal 4 ayat 1 dan pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945, sistem pemerintahannya adalah presidensiil, karena presiden adalah eksekutif, sedangkan menteri-menteri adalah pembantu presiden. Dilihat dari sudut pertanggungan jawab presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka berarti bahwa eksekutif dapat dijatuhkan oleh lembaga Negara lain. Maka sistem pemerintahan di bawah Undang-Undang Dasar 1945 dapat di sebut quasi presidensiil. 1



Sistem pemerintahan adalah suatu sistem hubungan kekuasaan antar lembaga negara. Sistem pemerintahan dalam arti sempit ialah sistem hubungan kekuasaan antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif. Dalam pada itu, sistem pemerintahan dalam arti luas adalah sistem hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sistem pemerintahan dalam arti luas inilah yang dimaksud dengan sistem ketatanegaraan Indonesia. Kemudian Rukmana Amanwinata menyatakan bahwa sistem pemerintahan adalah hubungan antara kekuasaan eksekutif di satu pihak dengan kekuasaan legislatif di lain pihak. Eksekutif dalam konteks di atas adalah eksekutif dalam arti sempit yaitu menunjuk kepada kepala cabang kekuasaan eksekutif atau the supreme head of the executive departement. Sistem pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 harus dimulai dengan mempelajari berbagai persiapan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sistem pemerintahan merupakan salah satu pokok pembahasan yang diperdebatkan pada sidang yang dilakukan pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-17 Juli 1945. Dalam siding tanggal 31 Mei 1945 terdapat banyak gagasan yang diajukan, dan pidato Soepomo termasuk mendapat paling banyak perhatian karena gagasan yang disampaikan dalam pidato tersebut berkaitan dengan gagasan negara integralistik. Dalam pidatonya Soepomo mengkehendaki adanya suatu jaminan bagi pimpinan negara terutama Kepala Negara terus menerus bersatu dengan rakyat dan



untuk



menguatkan



pendapat



itu



Soepomo



menghendaki



susunan



pemerintahan Indonesia harus dibentuk sistem badan permusyawaratan. Pada rapat 1 Juni 1945, dengan alasan kapitalisme yang merajalela Soekarno secara implisit menolak lembaga legislatif seperti Amerika Serikat. Walaupun Soekarno mengkritik demokrasi model lembaga legislatif di Amerika Serikat, namun bukan berarti Soekarno setuju dengan praktik sistem pemerintahan parlementer.



2



Dalam Rapat Besar saat menyampaikan susunan kekuasaan pemerintahan pada tanggal 15 Juli 1945, Muh.Yamin mengusulkan agar kementrian baik secara keseluruhan maupun perorangan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan. Walaupun cenderung menolak sistem pemerintahan parlementer, anggota BPUPK tidak menemukan pembahasan yang secara eksplisit untuk menerima sistem pemerintahan presidensial. Pandangan yang ditemukan dalam rapat tersebut ialah bahwa bangsa Indonesia merdeka memerlukan pembentukan pemerintah yang kuat. Atau dengan kata lain stabilitas merupakan syarat mutlak untuk membangun sebuah negara baru. Bahkan ketika menyampaikan kesempatan tentang rancangan bentuk pemerintahan dalam rancangan undang-undang dasar pada 15 Juli 1945, Soepomo menjelaskan bahwa sistem pemerintahan yang ditegaskan dalam rancangan undang-undang dasar adalah sistem pemerintahan yang memberikan dominasi kekuasaan negara kepada pemerintah, terutama kepada Kepala Negara, pertanggungjawaban dan pemusatan kekuasaan berada di tangan Kepala Negara. Maka pada tanggal 18 Agustus 1945, sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia disahkan oleh PPKI. Ada empat alasan pokok yang dijadikan referensi oleh para pendiri bangsa dan pembentuk monstitusi memilih sistem pemerintahan presidensial, yaitu : 1) Indonesia memerlukan kepemimpinan yang kuat, stabil, dan efektif untuk menjamin



keberlangsungan



eksistensi



negara



Indonesia



yang



baru



diproklamasikan. Para pendiri bangsa meyakini bahwa model kepemimpinan negara yang kuat dan efektif hanya dapat diciptakan dengan memilih sistem pemerintahan presidensial dimana presiden tidak hanya berfungsi sebagai kepala negara tetapi, sekaligus sebagai kepala pemerintahan. 2) Karena alasan teoritis yaitu alasan yang terkait dengan cita Negara (staatsidee) terutama cita negara integralistik pada saat pembahasan UUD 1945 dalam sidang BPUPK. Sistem pemerintahan presidensial diyakini amat kompatibel dengan paham negara integralistik. 3) Pada awal kemerdekaan presiden diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan kewenangan-kewenangan DPR, MPR, dan DPA. Pilihan pada sistem presidensial dianggap tepat dalam melaksanakan kewenangan yang luar biasa



3



itu. Tambah lagi, dengan sistem presidensial, presiden dapat bertindak lebih cepat dalam mengatasi masalah-masalah kenegaraan pada masa teransisi. 4) Merupakan simbol perlawananan atas segala bentuk penjajahan karena sistem parlementer dianggap sebagai produk penjajahan oleh para pendiri bangsa. Sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan Republik Indonesia yang disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Ir.Soekarno dan Drs.Moh.Hatta dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama dan berdasarkan Aturan Peralihan Pasal IV, sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk maka segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional dengan tujuan agar mencegah terkonsentrasinya kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden serta membantu Presiden dan Wakil Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pemerintah. Kabinet presidensial dilantik pada tanggal 2 September 1945 oleh Presiden Soekarno. Berdasarkan UUD 1945 Pasal IV Aturan Peralihan, 50 orang KNIP kemudian mengeluarkan memorandum yang berisi : pertama, mendesak Presiden agar menggunakan kekuasaan istimewanya untuk segera membentuk MPR dan kedua, sebelum MPR terbentuk hendaknya anggota KNIP dianggap sebagai MPR. Atas desakan tersebut, pada tanggal 16 Oktober 1945, Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang berbunyi : Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuatan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubungan dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka yang bertanggungjawab kepada Komite Nasional Pusat. Materi maklumat tersebut dimaksudkan untuk menindaklanjuti UUD 1945 Pasal IV Aturan Peralihan yang memberi kekuasaan sangat besar kepada Presiden untuk melaksanakan tugas dan wewenang tiga lembaga negara (MPR, DPR, DPA) sebelum ketiga lembaga negara tersebut terbentuk menurut UUD. Besarnya kekuasaan Presiden dikarenakan kedudukan KNIP hanya sebagai pembantu yang berarti bekerja hanya 4



atas perintah Presiden. Dengan dikeluarkannya maklumat tersebut, KNIP diserahi kekuasaan legislatif, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta tugas-tugas yang berhubungan dengan Keadaan negara yang genting. Maklumat ini juga berisi pembentukan satu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat . Dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden ini dapat dikatakan bahwa telah terjadi perubahan UUD 1945 khususnya Pasal IV Aturan Peralihan yaitu kekuasaan Presiden atas MPR, DPR, dan DPA. Dengan dikeluarkannya Maklumat ini kekuasaan legislatif yang semula dipegang oleh Presiden dipegang oleh KNIP. Yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya Maklumat ini adalah Pasal 37 UUD 1945 jo Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945. Pasal 37 menyatakan perubahan UUD dilakukan oleh MPR tetapi karena MPR pada saat itu belum terbentuk maka berdasar Pasal IV Aturan Peralihan, kekuasaan MPR dipegang oleh Presiden bersama dengan Komite Nasional Pusat. Dengan demikian syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dalam mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden, meskipun yang mengumumkan wakil presiden namun beliau bertindak mewakil lembaga kepresidenan. Apalagi



Presiden



Soekarno



tidak



pernah



mempersoalkan



dikeluarkannya Maklumat tersebut. Kekuasaan Presiden mulai mengalami perubahan untuk kedua kalinya dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 Tentang Susunan dan Pembentukan Kabinet II yang menegaskan



bahwa



tanggung



jawab



ada



di



tangan



menteri.



Dengan



dikeluarkannya maklumat ini, terjadi perubahan sistem kabinet dalam UUD 1945 dari kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer. Isi Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 antara lain menyatakan : Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macammacam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan



kabinet baru itu ialah



pertanggungjawaban adalah ditangan Menteri. Maklumat ini kemudian dikuatkan oleh KNIP dalam sidang ke III tanggal 25-27 Nopember dengan membenarkan 5



kebijakan Presiden tentang kedudukan Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggungjawab kepada KNIP sebagai langkah yang tidak dilarang UUD dan diperlukan dalam situasi sekarang. Dengan adanya perubahan tersebut lingkup kekuasaan Presiden juga mengalami perubahan karena kepala pemerintahan berada ditangan Perdana Menteri bersama anggota kabinet lainnya. Menurut Ismail Suny, maklumat tersebut menggeser kekuasaan eksekutif dari Presiden kepada Perdana Menteri. Posisi kepala Negara dipegang oleh Presiden, sedangkan kepala eksekutif dipegang oleh Perdana Menteri bersama seluruh anggota kabinet, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertanggungjawab kepada KNIP atas seluruh penyelenggaraan pemerintahan. Untuk menindak lanjuti Maklumat 14 Nopember 1945 ini, maka dibentuk kabinet parlementer I dan menunjuk Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri. Namun kabinet ini berhenti pada 12 Maret 1946 dikarenakan adanya oposisi yang kuat dan dari lawan politiknya yaitu Persatuan Perjuangan, suatu koalisi partaipartai dan golongan-golongan di luar Badan Pekerja atau Komite Nasional Pusat. Setelah itu Kabinet Parlementer II dibentuk dengan Perdana Menteri yang sama, yaitu Sutan Syahrir (periode 12 Maret 1946 sampai 2 Oktober 1946). Kekuasaan pemerintahan pada masa ini diambil alih oleh Presiden Soekarno ketika terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Syahrir oleh kelompok Persatuan Perjuangan. Kabinet terus dipimpin oleh Presiden Soekarno sampai pada tanggal 2 Oktober 1946 dan setelah Sutan Syahrir dibebaskan, Presiden Soekarno menunjuknya sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 2 Oktober 1946 Kabinet Parlementer III dibentuk. Sutan Syahrir terpilih kembali menjadi perdana menteri tetapi karena Sutan Syahrir tidak mampu menghadapi Amir Syarifuddin dari Partai Sosialis Kiri, akhirnya Sutan Syahrir mengembalikan mandat kepada Presiden Soekarno pada tanggal 3 Juli 1947. Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh presiden sampai terbentuknya Kabinet Parlementer yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin. Namun kabinet ini tak lama kemudian kebinet ini di reshuffle dan kabinet 6



Parlementer ini dikenal dengan Kabinet Parlementer dengan Perdsana Menteri Amir Syarifuddin periode II. Pada masa ini keluar Maklumat Presiden No. 2 Tahun 1948 pada tanggal 23 Januari yang isinya membubarkan kabinet Amir II. Pembubaran ini dikarenakan kegagalan Amir dalam perundingan Renville dan pada tanggal itu juga presiden menunjuk Moh.Hatta (Wakil Presiden) sebagai formatur kabinet. Pada tanggal 29 Januari 1948 akhirnya terbentuklah kabinet baru yaitu kabinet Hatta (Hatta I) yang merupakan Kabinet Presidensial. Namun, menurut Bibit Soeprapto kabinet Hatta bukan merupakan kabinet parlementer yang murni seperti Kabinet Syahrir dan Kabinet Amir Syarifudin karena yang menjadi perdana menteri adalah Moh.Hatta (wakil Presiden), tetapi juga bukan sebagai kabinet presidensial yang murni seperti kabinet presidensial karena pertanggungjawaban para menteri kepada Badan Pekerja (parlemen) dan bukan kepada Presiden. Pada tanggal 19 Desember 1948 sampai tanggal 13 Juli 1949, kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh Kabinet darurat dengan Ketua/Perdana Menteri Mr.Syarifuddin Prawiranegara. Kekuasaan diserahkan kembali setelah presiden dan wakil presiden kembali ke Yogyakarta.



7



1. Sistem Pemerintahan Indonesia Pra Amendemen sistem pemerintahan sebelum perubahan UUD 1945 dapat diketahui dengan menelusuri pasal-pasal dan penjelasan UUD 1945 dalam bagian umum tentang pokok-pokok sistem pemerintahan. Karakter sistem pemerintahan dapat dilihat dari : 1. Pasal 1 Ayat (2) : Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR ini menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. MPR bertugas mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR memegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Presiden yanng diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden ialah mandataris MPR, ia wajib menjalankan putusan-putusan MPR. Pasal ini menentukan bahwa kedaulatan adalah ditangan Rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ini berarti bahwa menurut hukum, kekuasaan yang tertinggi adalah di tangan Rakyat. Kekuasaan tertinggi yang ada di tangan rakyat ini sebenarnya hanya merupakan asasnya saja, sebab kekuasaan tersebut sepenuhnya yang melakukan adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah penjelmaan daripada rakyat, oleh karena itu keputusannya adalah dianggap sebagai keputusan rakyat. Sebagai pelaksana sepenuhnya daripada kedaulatan, Majelis ini memiliki kekuasaan yang tertinggi dalam sistem Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945. Tidak ada suatu badan lain (kecuali rakyat seluruhnya) mempunyai kekuasaan yang tertinggi berwenang menentukan segalanya, walaupun didalam bekerjanya tentu saja harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, sebab justru Undang-Undang Dasar inilah yang memberikan kekuasaan kepadanya. Namun, MPR adalah satu badan yang besar sehingga tidak mungkin melaksanakan seluruh kekuasaannya itu, maka MPR menyerahkan lagi kekuasaannya kepada lembaga-lembaga yang ada dibawahnya. Dalam hal ini lembaga-lembaga yang terletak langsung di bawah MPR adalah Presiden, DPR, 8



DPA, MA, BPK. Dengan adanya Lembaga-lembaga Tinggi Negara itu menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menampung kekuasaan agar bisa dilaksanakan, yang sebenarnya merupakan kekuasaan MPR karena MPR sendiri menerima kekuasaan itu dari rakyat. Singkatnya seluruh macam kekuasaan tersebut terletak di tangan MPR tetapi MPR melimpahkannya lagi kepada-kepada lembaga-lembaga yang ada dibawahnya, yakni : a. Kekuasaan Eksekutif kepada Presiden b. Kekuasaan Legislatif kepada Presiden dan DPR c. Kekuasaan yudikatif kepada Mahkamah Agung dan untuk sebagian kecil diserahkan kepada Presiden. d. Kekuasaan Pemerikasaan Keuangan Negara kepada Badan Pemeriksa Keuangan e. Kekuasaan menasehati Eksekutif kepada DPA. Lembaga-lembaga tinggi negara tersebut adalah merupakan pemegang kekuasaan yang diambil dan dibagi dari kekuasaan MPR. Dengan maka adanya lembaga tertinggi dan lembaga tinggi Negara yang merupakan penjelmaan adanya aparatur demokrasi di tingkat pusat yang berpucuk kepada DPR. Pasal 4 Ayat (1) : Presiden memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang- Undang Dasar. Ayat (2) : Dalam melakukan kewajibannya Presiden di bantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasal 5 Ayat (1) : Presiden memegang kekuasaan membentuk undangundang dengan persetujuan DPR. Ayat (2) : Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan hal itu pasal 20 ayat (1) menentukan, bahwa tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20 ayat (2) menentukan, bahwa jika sesuatu rancangan Undang-undang tidak mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 21 ayat (1) menentukan, bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak memajukan rancangan Undang-undang. Pasal 21 ayat (2) menentukan, bahwa jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 6 : Presiden dan Wakil Presiden dipilih 9



oleh MPR dengan suara terbanyak. Pasal 7 menentukan, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Pasal 10 : Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Pasal 11 : Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 : Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang. Pasal 13 Ayat (1) : Presiden mengangkat duta dan konsul. Ayat (2) : Presiden menerima duta negara lain. Pasal 14 : Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pasal 15 : Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lainlain tanda kehormatan. Pasal 17 ayat (1) : Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Ayat (2) : Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukan Presiden tidak bergantung dari pada DPR tetapi bergantung Presiden. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Disampingnya Presiden adalah DPR. Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membentuk undangundang dan untuk menetapkan anggaran pedapatan dan belanja negara. Oleh karena itu Presiden harus bekerja bersama-sama dengan DPR, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, artinya kedudukan Presiden tidak bergantung daripada Dewan. Kedudukan DPR adalah kuat. DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden seperti halnya yang dilakukan dalam sistem parlementer Berdasarkan aturan yang termuat dalam UUD 1945 beserta penjelasannya maka dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia tidak sepenuhnya menganut karakter sistem presidensiil tetapi juga menganut sistem parlementer. Karakter sistem presidensiil terlihat dari : Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar (Pasal 4 ayat (1)). Hal ini diperjelas lagi dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden ialah Kepala Kekuasaan Eksekutif dalam negara. Kemudian di dalam penjelasan umum angka IV disebutkan bahwa Presiden ialah penyelenggara Pemerintahan Negara yang tertinggi di bawah Majelis.



10



Biasanya pada negara-negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, selain menjadi Kepala Pemerintahan, Presiden berfungsi pula sebagai Kepala Negara. Memang didalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak didapatkan keterangan bahwa presiden merupakan Kepala Negara. Walaupun demikian, dasar konstitusional Presiden merupakan Kepala Negara dapat ditemui didalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 terhadap Pasalpasal 10, 12, 13, 14, dan 15 yang menyebutkan bahwa, Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini, ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan didalam penjelasan tentang MPR disebutkan nahwa Majelis mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Presiden Negara Republik Indonesia yang berfungsi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan memiliki kekuasaan-kekuasaan sebagai berikut : a) Kekuasaan Legislatif (Pasal 5 dan Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). b) Kekuasaan Administratif (Pasal 15 dan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). c) Kekuasaan Eksekutif (Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. d) Kekuasaan Militer (Pasal 10, 11, 12 Undang-Undang Dasar 1945). e) Kekuasaan Yudikatif (Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945). f) Kekuasaan Diplomatik (Pasal 13 Undang-Undang Dasar 1945). Adanya masa jabatan yang tetap (fix term) yaitu selama 5 tahun. Menterimenteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR tetapi kepada Presiden. DPR tidak dapat membubarkan Menteri-menteri dan demikian juga sebaliknya. Karakter sistem pemerintahan parlementer dalam UUD 1945 dilihat dari : 1. Pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat, dan dilakukan oleh MPR. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem supremasi parlemen yang merupakan karakter sistem pemerintahan parlementer karena sistem kedaulatan rakyat dilakukan sepenuhnyanoleh MPR. Maksudnya ialah bahwa sistem kekuasaan atau 11



kedaulatan rakyat yang dianut bangsa Indonesia pertama-tama diwujudkan secara penuh dalam MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya MPR mendistribusikan kewenangannya kelembaga-lembaga negara lainnya kepada Presiden, DPR, DPA, MA, BPK. 2. Pasal 6 Ayat (2) : Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Dalam sistem presidensial Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat atau badan pemilih di Amerika Serikat. Pemilihan Presiden yang dipilih melalui badan perwakilan (dalam hal ini MPR) merupakan karakter sistem pemerintahan parlementer. 3. Presiden bertanggung jawab kepada MPR. Dalam sistem pemerintahan presidensial Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen tetapi bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Ketentuan pertanggung jawaban Presiden kepada MPR dan bukan langsung kepada rakyat merupakan karakter sistem pemerintahan parlementer. 4. Tidak adanya pemisahan kekuasaan antara ekskutif dan legislatif secara tegas. Hal ini terlihat dari Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR dan berkaitan dengan pasal tersebut yaitu Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap undangundang mengkehendaki persetujuan DPR. Dari pasal ini dapat disimpulakn bahwa UUD 1945 tidak menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti dalam sistem pemerintahan presidensial melainkan menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) seperti dalam sistem parlementer.



12



2. Sistem Pemerintaham Indonesia Pasca Amendemen Salah satu produk reformasi ketatanegaraan yang kita bangun setelah perubahan pertama tahun 1999 kedua tahun 2000 ketiga tahun 2001 dan keempat tahun 2002 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 adalah di bentuknya Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya sederajat dan diluar Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga agar Konstitusi dibentuk untuk maksud mengawal dan menjaga agar Konstitusi sebagai hukum tertinggi ( The Supreme Law Of The Land ) benar-benar dijalankan dan ditegakkan dalam penyelenggaraan Kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip Negara hukum modern, dimana hukumlah yang menjadi faktor penentu bagi keselurahan dinamika kehidupan sosial, ekonomi dan politik di suatu Negara. Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 dengan mengatas namakan kedaulatan rakyat untuk mewujudkan demokratisasi yang kita kenal dengan Reformasi tersebut kemudian dimanifestasikan dengan perubahan UUD 1945 melalui Amandemen UUD 1945, dimana UUD 1945 merupakan panduan sistem ketatanegaran Indonesia. Amandemen UUD 1945 sebenarnya selain merupakan manifestasi dari gerakan reformasi adalah hal yang seharusnya dilakukan melihat banyaknya kelemahan UUD 1945 dan juga sifatnya yang sementara jika dilihat dari historis pembuatannya. Kelemahan tersebut dapat dilihat dari kewenangan eksekutif yang terlalu besar (executive heavy) dan kurangnya checks and balances, materi muatannya yang masih umum sehingga multi tafsir. Akan tetapi perubahan paradigma tersebut terjadi pada amandemen ketiga dan keempat yang mengubah secara fundamental sistem pemerintahan yang berimplikasi pada kedudukan MPR dan asas kedaulatan rakyat. Dengan demikian, tampak perubahan drastis antara amandemen pertama yang bertujuan melakukan demokratisasi UUD 1945 dan amandemen ketiga yang mengubah sistem pemerintahan. Demokratisasi jelas berbeda dengan perubahan sistem pemerintahan, karena esensi demokratisasi adalah persamaan dan kebebasan politik yang tidak identik dengan sistem presidensial. Sebagaimana 13



yang telah dijelaskan dalam latar belakang bahwa kesepakatan tentang sistem pemerintahan presidensial justru berujung pada perubahan sistem ketatanegaraan. Pertanyaannya, mengapa harus menggunakan sistem pemerintahan presiensiil murni, mengapa tidak menggunakan sistem pemerintahan parlementer murni Menurut Ali Masykur Musa,perlu kiranya sebelum memilih, untuk memperinci beberapa kelebihan dan kekuarangan dari sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer ini. Pertama, dalam sistem pemerintahan presidensial stabilitas kekuasaan eksekutif sangat dijamin akibat adanya penentuan masa jabatan yang ditetapkan oleh UUD yang sangat dimilikinya, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer stabilitas eksekutif sangat tergantung dari ada atau tidaknya mosi atau kepercayaan parlemen. Kedua, dalam sistem pemerintahan presidensiil pemilihan kepala pemerintahannya dianggap lebih demokratis karena dipilih langsung oleh rakyat atau melalui badan pemilihan, sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen, hal ini dianggap tidak demokratis karena tidak dapat menampung aspirasi langsung warga masyarakat. Ketiga, dalam sistem pemerintahan presidensial terjadi pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif, terutama dalam keanggotaan antara eksekutif dan legislatif dipandang sebagai sebuah ancaman bagi terjadinya tirani pemerintahan yang dapat mengekang atau membatasi kebebasan individu. Keempat, akibat adanya pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif di dalam sistem pemerintahan presidensial, maka hal ini dianggap dapat menimbulkan kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan, di saat terjadi ketidaksesuaian diantara keduanya. Namun terjadi sebaliknya pada sistem pemerintahan parlementer, potensi kemandegan atau kelumpuhan pemerintahan sangat minimal, karena tidak ada pemisahan jabatan atau keanggotaan diantara eksekutif dan legislatif. Kelima, adanya penentuan masa jabatan yang ditentukan oleh parlemen berdasarkan UUD yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial, menyebabkan adanya kekakuan atau ketidak elastisan pemerintahan yang dapat merespon situasi dan kondisi temporal yang terjadi, hal ini kondisinya berlainan dengan sistem pemerintahan 14



parlementer, dimana masa jabatan pemerintahan yang sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, sehingga masa jabatan pemerintahan sangat ditentukan dari mosi atau ketidakpercayaan parlemen, yang berarti sewaktu-waktu dapat mengganti pemerintahan sesuai dengan kebutuhan atau situasi yang ada. Keenam, karena hanya ada satu pemenang yang akan menguasai pemerintahan dalam sistem pemerintahan presidensial, berakibat pada makin minimalnya kemungkinan untuk membentuk koalisi atau pembagian kekuasaan pada kelompok oposisi (kalah) yang ada. Hal ini dianggap sebagai ancaman bagi pembangunan sistem demokrasi, terutama di sebuah negara yang memiliki pluralitas yang tinggi. Lain halnya dengan sistem pemerintahan parlementer, dalam sistem ini terjadi pembagian kekuasaan atau terjadi koalisi diantara partai yang ada, sehingga dapat menampung sebagian besar aspirasi warga masyarakat. Mengapa sistem pemerintahan parlementer murni tidak dipertimbangkan dalam pembahasan BP MPR sehingga muncul kesepakatan akan menggunakan sistem pemerintahan presidensial? Karena jika melihat efektifitasnya terbukti sepanjang sejarah Indonesia merdeka sistem pemerintahan parlementer telah berhasil dalam mempertahankan integritas nasional selama masa revolusi kemerdekaan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat selama berlakunya UUDS 1950. Apabila yang dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas nasional, maka jelas bukan sistem pemerintahan presidensiil yang telah menciptakan stabilitas nasional selama masa orde baru. Demikian pula bila dimaksudkan untuk melakukan proses demokratisasi, terbukti sistem yang terdapat dalam UUD 1945 pra amandemen mampu mendorong proses transisi demokratik dari rezim orde baru kepada orde reformasi secara konstitusional dan relatif damai. Dan yang perlu diingat proses liberalisasi politik berupa pembentukan partai-partai politik dan pemilihan umum 1999 yang demokratis terjadi selama masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang bekerja berdasarkan sistem pemerintahan menurut UUD 1945 pra amandemen. Oleh karena itu, menjadi pertanyaan tersendiri mengenai argument sesungguhnya dibalik perubahan sistem pemerintahan itu. Apalagi jika ditinjau dari perspektif transisi demokratik yang bertujuan melakukan demokratisasi, maka perubahan 15



sistem pemerintahan menjadi tidak terlalu mengena dengan tujuan transisi demokratik. Sekalipun kesepakatan dasar adalah tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensiil, tetapi suasana kebatinan pada saat kesepakatan dasar dibuat tidak mengarah pada perubahan sistem pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang diberikan oleh Badan Pekerja (BP) MPR pada tahun 2000 mengenai



kesepakatan



dasar



tersebut.



Dalam



penjelasannya



BP



MPR



menguraikan ciri khas sistem pemerintahan presidensiil, pertama, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang mempunyai hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat, kedua, fixed term, bahwa presiden menjalankan kekuasaannya selama lima tahun tanpa terganggu dengan kewajiban memberi pertanggung jawaban kepada MPR pada masa jabatanya, ketiga, checks and balances yang kuat, bahwa hubungan presiden dengan lembaga negara lainnya diatur berdasarkan prinsip saling mengawasi dan salingmmengimbangi di antara lembaga-lembaga negara, keempat, impeachment, sebagaimana tertuang di dalam penjelasan UUD 1945, anggota DPR semuanya merangkap menjadi anggota MPR, oleh karena itu DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar haluan Negara yang ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka MPR dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat meminta pertanggung jawaban kepada presiden. Dengan demikian, dalam sidang istimewa, MPR dapat mencabut kekuasaan dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila presiden sungguhsunguh melanggar garis-garis besar haluan Negara dan atau UUD. Penjelasan BP MPR itu tampak kesepakatan dasar untuk menggunakan sistem presidensial tidak mengarah pada perubahan sistem pemerintahan menjadi sistem pemerintahan presidensial murni. Hal itu terlihat dari pengertian impeachment yang mengaitkannya dengan peran MPR sesuai dengan penjelasan UUD 1945. Bila konsisten dengan kesepakatan dasar yang menghendaki dimasukkannya penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif ke dalam batang tubuh, maka seharusnya ketentuan penjelasan UUD 1945 tentang impeachment dimasukkan ke dalam batang tubuh. 16



Besarnya kekuasaan presiden dalam UUD 1945 menyebabkan sistem negara yang diktaktorial, bahkan mengusai di seluruh cabang kekuasaan yang kemudian tiap-tiap lembaga pun hanya dapat melalukan sesuai dengan ”apa kata bapak”. Selain itu DPR yang seharusnya menjadi badan legislative justru hanya sebagai ”tukang stempel” RUU dan/atau peraturan pengganti undang-undang yang diajukan oleh presiden. MPR yang seharusnya sebagai pemegang kedaulatan rakyat hanya mengangkat Presiden karena anggota yang duduk dalam MPR adalah anggota DPR yang berasal dari partai-partai. Dimana saat itu partai yang ada adalah Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang mana Golkar merupakan partai politik asal Presiden Soeharto yang kemudian mewajibkan Pegawai Negeri untuk memilih partai tersebut. Dengan kondisi demikian maka pemilihan presiden hanyalah rekayasa belaka, yang tidak mencerminkan kedaulatan rakyat sama sekali. Sistem pemerintahan presidensial tidak mengenal adanya lembaga pemegang supremasi tertinggi. Kedaulatan negara dipisahkan (separation of power) ke legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang secara ideal diformulasikan sebagai trias politica oleh Montersquieu. Presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat untuk masa kerja yang lamanya ditentukan oleh konstitusi. Konsentrasi kekuasaan berada pada Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Selain itu, para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung jawab kepada Presiden. Hal utama dalam perdebatan tentang sistem pemerintahan demokrasi adalah hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sebagaimana telah dibahas dalam uraian-uraian sebelumnya, kekuasaan lembaga eksekutif adalah kekuasaan sentral dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Ia merupakan perancang dan pelaksana utama dari kebijakankebijakan negara. Sedangkan lembaga legislatif yang muncul dari kerangka pemikiran untuk menyeimbangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara, dalam perspektif kedaulatan rakyat merupakan lembaga yang mewakili kehendak dan kepentingan kelompokkelompok yang ada di dalam masyarakat dan diwujudkan dalam pembentukan 17



undang-undang. Perdebatan yang kemudian berlanjut dalam kaitannya dengan isu utama ini adalah bagaimana menciptakan keseimbangan kekuasaan di antara kedua lembaga ini agar tujuan untuk mengantisipasi dan mengeliminasi kecenderungan penyelewengan kekuasaan dari masing-masing lembaga dapat dilakukan secara optimal. Persoalan-persoalan yang diajukan untuk dijadikan bahan penilaian dalam mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing sistem adalah stabilitas pemerintahan, partisipasi politik dan pergolakan politik. Urgensi seperti itu jelas sejalan dengan semangat mengembangkan demokrasi Indonesia dalam era reformasi sekarang ini yang menginti kepada pokok yang sama yakni mengembalikan kedaulatan pada rakyat. Tentu



salah



satu



manifestasi



dari



semangat



ini



adalah



memikirkan



penyelenggaraan pemilihan presiden secara langsung. Pemikiran ini memang membawa implikasi pada amandemen UUD 1945, khususnya terhadap pasal yang mengatur tentang pemilihan presiden. Upaya untuk membatasi kekuasaan Presiden tidak dapat dilepaskan dari pemberdayaan lembaga-lembaga yang berfungsi mengontrol kekuasaan tersebut, karena pembatasan kekuasaan semata tanpa ada lembaga yang mengawasi secara efektif tidak akan mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan. Untuk menjamin kemandirian dan keefektifan kontrol itu pola rekruitmen dan proses pengambilan keputusan di tiap-tiap lembaga harus lepas dari intervensi lembaga yang dikontrolnya yakni eksekutif, mekanisme ini akan mengurangi kendala psikologis, administrative dan politis bagi pengisi jabatan dalam menjalankan fungsinya. Yang terpenting juga dalam penyelenggaraan kelembagaan tersebut harus diiringi dengan mekanisme yang transparan sehingga peranan kontrol tidak hanya berputar di lingkaran elit saja, tapi juga melibatkan peran serta masyarakat dan infra struktur politik secara luas, dengan begitu aktivitas dari lembaga pengontrol kekuasaan Presiden juga dapat dikontrol oleh pihak luar dan dengan cara ini diharapkan tujuan kemandirian semakin dapat dicapai secara optimal. Dengan demikian, terdapat konsensus yang kuat tentang perlunya pertama, pemilihan presiden langsung oleh rakyat dan yang kedua, suatu sistem checks and balances antara kekuasaan eksekutif dan legislatif yang mengarah secara jelas 18



pada sistem pemerintahan yang lebih presidensiil dari pada parlementer. Sistem pemerintahan parlementer tidaklah sesuai dengan sistem bikameral dan bisa berjalan dengan baik jika terdapat sistem partai yang stabil. Tujuan Indonesia yang sukar dipahami tentang penggabungan kesatuan dan keberagaman lebih lanjut memerlukan keberadaan simbol manusia untuk persatuan bangsa. Karena ketiadaan monarkhi yang turun temurun, maka kekuasaan tersebut berada ditangan eksekutif yang dipilih secara demokratis.



Alasan tersebut diataslah, yang dijadikan landasan Indonesia untuk memilih menggunakan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Sehingga sistem pemerintahan presidensiil adalah sistem pemerintahan yang dipertimbangkan secara rasional (een rationale uitgedahcht stelsel), yang juga mempunyai dasar pertimbangan pembatasan kekuasaan melalui pembagian kekuasaan, meskipun Indonesia tidak mengikuti trias politica. Perbedaan utama antara sistem pemerintahan presidensial yang berlaku di Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan presidensial Indonesia adalah terletak pada cita negara dan teori bernegara yang dianutnya. Indonesia menganut sistem presidensial sendiri atas dasar presiden memegang kekuasaan pemerintah Negara menurut UUD 1945. Hukum yang berlaku secara umum dalam sistem pemerintahan presidensiil adalah adanya pemisahan kekuasaan menetapkan semua lembaga negara berada di bawah UUD 1945, sehingga UUD 1945 pun bersifat normatif closed yaitu hanya dapat diubah oleh badan yang berwenang dan melalui cara yang telah ditentukan oleh UUD tersebut. Dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa terdapat 8 (delapan) lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UUD 1945 (atributif), dengan kata lain kedelapan lembaga negara ini menerima secara langsung kewenangan konstitusionalnya dari UUD 1945 (supremacy of law). Kedelapan lembaga negara tersebut adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden dan Wakil Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY).



19



Struktur Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945 UUD 1945 Pasca Amandemen



Kekuasaan Legislatif



Kekuasaan Eksekutif



MPR



Presiden Dan



DPR



DPD



Wakil Presiden



Kekuasaan Yudikatif MA KY



MK



Kekuasaan Eksaminatif (Inspektif) BPK



Dalam rangka pembagian fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif tersebut, sebelum diadakan perubahan pertama terhadap UUD 1945, biasa dipahami bahwa hanya fungsi kekuasaan yudikatif sajalah yang tegas ditentukan bersifat mandiri dan tidak dapat dicampuri oleh cabang kekuasaan lain. Sedangkan Presiden, meskipun merupakan lembaga eksekutif, juga ditentukan memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, sehingga dapat dikatakan memiliki fungsi legislatif dan sekaligus fungsi eksekutif. Kenyataan inilah yang menyebabkan munculnya kesimpulan bahwa UUD 1945 tidak dapat disebut menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti yang dibayangkan oleh Montesquieu. Oleh karena itu, di masa reformasi ini, berkembang aspirasi untuk lebih membatasi kekuasaan Presiden dengan menerapkan prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara fungsi legislatif dan eksekutif itu. Fungsi legislatif dikaitkan dengan fungsi parlemen, sedangkan Presiden hanya memiliki fungsi eksekutif saja. Pokok pikiran demikian inilah yang mempengaruhi jalan pikiran para anggota MPR, sehingga diadakan Perubahan Pertama UUD 1945 yang mempertegas kekuasaan DPR di bidang legislatif dengan mengubah rumusan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Dengan adanya perubahan itu, berarti fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif telah dipisahkan secara tegas, sehingga UUD 1945 tidak dapat lagi dikatakan tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan dalam arti horizontal.



20



UUD 1945 memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan dibawah undang-undang kepada mahkamah agung (MA) sedangkan Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana presiden dan / atau wakil presiden yang menurut DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut UUD. Dengan kata lain, MA tetap diberi kewenangan sebagai court of law (lembaga pengadilan hukum) disamping fungsinya sebagai court of justice (lembaga pengadilan keadilan). Sedangkan MK tetap diberi tugas yang berhubungan dengan fungsinya sebagai court of justice disamping fungsi utamanya sebagai court of law. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan seratus persen antara court of law dan court of justice, tetapi hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang harus berbeda satu sama lain. MA lebih merupakan court of justice daripada court of law, sedangkan MK lebih merupakan court of law daripada court of justice. Keduanya merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan pasal 24 ayat (2) UUD 1945. yang kemudian muncul Komisi Yudisial (KY)115 sebagai lembaga yang diharapkan dapat mengontrol kinerja hakim agung, yang berfungsi untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun sayangnya, lembaga ini bagaikan singa tanpa taring karena kewenangannya secara tidak langsung telah dicabut oleh MK, karena adanya kerancuaan pada pasal tersebut antara ’hakim agung’ dan ’hakim’. Keberadaanya seharusnya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman sehingga sifat KY adalah mandiri. Dengan adanya putusan MK tersebut berarti kekusaan kehakiman bebas dari kontrol lembaga manapun kecuali dari rakyat. Sistem Pemerintah Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 pasca perubahan keempat tahun 2002 telah menetapkan tentang pembentukan susunan dan kekuasaan/ wewenang badan-badan kenegaraan adalah sebagai berikut : 1. Dewan Perwakilan Rakyat 2. Dewan Perwakilan Daerah 3. Majelis Permusyawaratan Rakyat 4. Badan Pemeriksa Keuangan 5. Presiden dan Wakil Presiden 21



6. Mahkamah Agung 7. Mahkamah konstitusi 8. Komisi Yudisial 1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tugas MPR adalah ( Pasal 3 UUD 1945) 1. Mengubah dan menetapkan UUD 1945 2. Melantik Presiden dan Wakil Presiden 3. Dapat memeberhentikan Presiden dan Wakil Presiden Presiden dalam masa jabatan menuurut UUD Pasal1(2) UUD 1945, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD. Sebelumnya MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi atau pemegang kedaulatan rakyat, sebagai pemegang kekuasaan Negara tertinggi, MPR membawahi lembaga-lembaga yang lain. Dengan adanya perubahan ini, maka : 1. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara 2. Tidak lagi memegang kedaulatan rakyat 3. Tidak lagi memilih Presiden dan Wakil Presiden karena rakyat memilih secara langsung. Mengenai memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatanya, MPR mempunyai kewenagan apabila : 1. Ada usulan dari DPR 2. Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutuskan bahwa Presiden dan/ atau Eakil Presiden bersalah. Alasan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara dan pemegang kedaulatan rakyat ditiadakan adalah, karena MPR bukan satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, setiap lembaga yang mengembang tugastugas politik Negara dan pemerintahan adalah pelaksana kedaulatan rakyat dan harus tunduk dan bertanggung jawab kepada rakyat. Mengenai susunan keanggotaan MPR menurut pasal 2 (1) mengatakan : MPR terdiri atas anggota DPR dan Anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. 22



Dengan demikian keanggotaan MPR terdiri : 1. Seluruh anggota DPR 2. Anggota DPD Adanya anggota DPD agar lebih demokratis dan meningkatkan keikutsertaan daerah dalam penyelenggaraan sehari-hari praktek Negara dan pemerintahan disamping sebagai forum memperjuangkan kepentingan daerah. Mengenai perubahan UUD 1945 diatur mekanisme perubahan UUD dalam pasal 37 UUD 1945. 2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 1. Tugas wewenang DPR adalah : 2. DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang 3. DPR berfungsi Budget dan Pengawasan 4. DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pandapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan ususl dan pendapat serta hak imunitas. 5. DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat Duta Besar dan menerima penempatan duta Negara lain, memberikan Amnesty dan Abolisi. 6. DPR memberikan persetujuan bila Presiden hendak membuat perjanjian bidang ekonomi, perjanjian damai, mengadakan perang serta perjanjian internasional lainnya, dan memilih anggota-anggota BPK, mengangkat dan memberhentikan Anggota Komisi Yudisial dan menominisasikan 3 orang Mahkamah Konstitusi. 7. DPR memberikan persetujuan kepada Presiden dalam hal Presiden hendak mengangkat seorang Panglima TNI, Kepala Kepolisian. 8. DPR diberi wewenang untuk memilih/ menyeleksi Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi, Gubernur Bank Indonesia dan Anggota Komisi Nasional HAM. 9. DPR dapat mengusulkan untuk memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden,



setelah



Mahkamah



Konstitusi



memeriksa,



mengadili



dan



memutuskan bahwa Presiden bersalah.



23



Apabila dilihat tugas, wewenang, fungsi dan hak-hak DPR tersebut sangat banyak dan luas sekali, bahkan hamper semua bidang kekuasaan Presiden dimiliki DPR 3. Dewan Perwakilan Daerah ( DPD ) DPD diatur dalam pasal 22c dan 22d UUD 1945. Anggota DPD dipilih dari setiap propinsi melalui pemilihan umum. Jumlah anggota DPD setiap propinsi tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. DPD besidang sedikitnya sekali dalam setahun. Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan Undang-Undang. Wewenang DPD ( Pasal 22d) 1. DPD dapat mengajukan kepada DPR Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengolahan sumber daya alam dan sember daya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. 2. DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang mengenai otonomi daerah, pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah pengolahan sumber daya alam dan sember daya ekonomi lainnya pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara, pajak, pendidikan dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR. 3. DPD sebagai bagian dari kelembagaan MPR, mempunyai tugas melantik dan memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden, mengubah UUD 1945, memilih Presiden dan/ atau Wakil Presiden apabila dalam waktu yang bersamaan keduanya berhalangan tetap. Hak-hak DPD yaitu : 1. Menyampaikan usul dan pendapat 2. Memilih dan dipilih 3. Membela diri 4. Memerintah 5. Protokoler 6. Keuangan dan Administrasi



24



4. Presiden dan Wakil Presiden Presiden RI memegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD. Presiden dalam melakukan kewajibannya dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. UUD 1945 menempatkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara sederajat sehingga tidak dapat saling menjatuhkan dan/ atau membubarkan Pasal 8 UUD 1945 mengatakan : 1. Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatan, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. 2. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari MPR menyelenggarakan siding untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. 3. Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksanaan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama, selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu MPR menyelenggarakan siding untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya sampai berakhir masa jabatannya. 5. Mahkamah Agung ( MA ) UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum ( rechtsstaat ) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka ( machtsstaat). Pemerintahan berdasarkan system Konstitusi, tidak bersifat absolutism ( kekuasaan yang tidak terbatas). Prinsip dalam suatu Negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarkan peradilan guna penegakan



25



hukum dan keadilan. Kekuasaan kehaiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badanbadan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan. 1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer 4. Peradilan Tata Usaha Negara 5. dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman telah mencabut UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 35 Tahun 1994, dimana segala urusan mengenai peradilan baik teknis yudisial, organisasi administrasi dan financial berada di bawah satu atap yaitu Kekuasaan Mahkamah Agung. Negara Indonesia adalah Negara demokratis dimana kedaulatan ada ditangan rakyat dan juga Indonesia adalah Negara hukum atau kedaulatan hukum, keduanya menyatu dalam konsepsi Negara hukum yang demokratis atau Negara demokratsi yang berdasarkan hukum, dan selanjutnya sebagai perwujudan keyakinan bangsa Indonesia akan kedaulatan Tuhan dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan berdasarkan Pancasila, 6. Mahkamah Konstitusi ( MK ) Pasal 24 c UUD 1945 mengatakan : 1. Mahkamah Konstitusi berwenang pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD. 2. Memutus sengketa-sengketa kewenangan lembaga Negara yang wewenang diberikan oleh UUD. 3. Memutus pembubaran partai politik. 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 5. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut UUD. Perbandingan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi adalah: 1. Kedua-duanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman. 2. Mahkamah agung merupakan pengadilan keadilan ( Court of Justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi Lembaga Pengadilan Hukum (Court of Law). 26



7. Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK ) Diatur dalam BAB III A, pasal 23 E yang berbunyi : 1. Untuk memeriksa pengolahan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara didalam suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. 2. Hasil pemeriksaan keuangan itu diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. 3. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan UU 4. Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK juga berwenang melakukan pemeriksaan APBD, perusahaan daeah, BUMN, dan perusahaan swasta dimana didalmnya terdapat kekayaan Negara. 8. Komisi Yudisial ( KY ) Diatur dalam pasal 24 B UUD 1945 dan UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial adalah lembaga Negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh dari kekuasaan lainnya. Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Wewenang Komisi Yudisial adalah : 1. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR 2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga prilaku hakim. Tugas Komisi Yudisial yaitu : 1. Melakukan pendaftaran Calon Hakim Agung 2. Melakukan seleksi terhadap Calon Hakim Agung 3. Menetapkan Calon Hakim Agung 4. Mengajukan Calon Hakim Agung ke DPR 5. Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim 6. Mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan MA dan/ atau MK



27



2. LEMBAGA-LEMBAGA INDEPENDEN Lembaga-lembaga Independen yang dasar pembentukannya diatur dalam UUD 1945, adalah : 1. Komisi Pemilihan Umum 2. Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara ( TNI dan POLRI ) 3. Bank Indonesia 4. Kejaksaan Agung Lembaga-lembaga khusus yang tidak diatur dalam UUD 1945, adalah : 1. Komnas HAM 2. KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi 3. Komisi Ombudsmen 4. KPKPN ( Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara ) 5. Komisi Pengawas Persaingan Usaha ( KPPU ) 6. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ( KKR ) 2. Komisi Pemilihan Umum Diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 yang berbunyi : 1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. 2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan DPRD. 3. Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah Partai Politk. 4. Peserta Pemilihan Umum untuk meilih anggota DPD adalah perorangan. Ketentuan lebih lanjut dari amanat Pasal 22E UUD 1945 diatur dalam UU No. 12 Tahun 2003, tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD. Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) adalah lembaga yang bersifat nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan Pemilu. Tugas dan wewenang KPU adalah : 1. Merencanakan penyelenggaraan Pemilu. 2. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu.



28



3. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan Pemilu. 4. Menetapkan peserta Pemilu. 5. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota. 6. Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaankampanye dan pemungutan suara. 7. Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota. 8. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu. Melaksanakantugas dan kewenangan lain yang diatur UU.



3. Komisi Nasional HAM ( Komnas HAM ) Kewajiban menghormati hak asasi manusia terlihat dalam pembukaan UUD 1945 yang berkaitan dengan persamaan kedudukan warga Negara dalam hukum dan pemerintahan, kemerdekaan



berserikat



dan berkumpul, hak untuk



mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannyaitu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sehubungan dengan itu maka dengan Ketetapan MPR No. XVII Tahun 1998 tentang hak asasi manusia, 1. Menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi Negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan memperluas pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.. 2. Dan meratifikasi berbagai instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Atas perintah Konstitusi dan amanat MPR tersebut di atas, maka dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ( L.N. 165/ 1999) tentang hak-hak asasi manusia, yang pada dasarnya mengatur mengenai : 1. Mengatur mengenai pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia sebagai lembaga yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang dan tanggung jawab untuk



29



melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemamtauan dan mediasi tentang hak asasi manusia. 2. UU No. 39 Tahun 1999, berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, Konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, Konvensi PBB tentang hak anak dan berbaagi instrument internasional lain yang mengatur hak asasi manusia. 3. Komnas HAM menerima laporan/pengaduan dari masyarakat yang mempunyai alasan kuat bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang yang dipilih oleh DPR atas usulan Komnas HAM dan dilantik oleh Presiden selaku Kepala Negara (Pasal 83) Komnas HAM adalah lembaga independent yang bersifat mandiri yang bertugas dan berwenang untuk memberikan pendapat dalam perkara-perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan. Dengan demikian Komnas HAM melakukan sebagian dari fungsi peradilan sehingga berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.. 4. Tentara Nasional Indonesia Diatur dalam Pasal 30 Ayat 3 UUD 1945 yang mengatakan : “ Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, angkatan Laut, dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melidungi, memelihara kutuhan dan kedaulatan Negara.” Berkenaan dengan tugas dan wewenang serta kedudukan TNI, maka diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 trntang Tentara Nasional Indonesia. Tugas pokok TNI adalah : menegakkan Kedaulatan Negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan Negara. TNI dipimpin oleh seorang Panglima yang angkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. Dengan demikian dalam hal pengerahan dan penggunaan Kekuatan Militer, TNI berkedudukan di bawah Presiden. Sedangkan kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan. 30



5. Bank Indonesia Bank Indonesia diatur dalam Pasal 23 D UUD 1945 yang menyatakan : Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan wewenanh, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Bank Indonesia diatur oleh UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Menurut Pasal 4 UU No. 3 Tahun 2004 menyatakan : 1. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Indonesia 2. Bank Indonesia adalah Lembaga Negara yang Independen. 3. Bank Indonesia adalah Badan Hukum. Gunernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur, diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatannya. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan/ atau mengundang dalam siding cabinet yang membahas masalah ekonomi perbankan dan keuangan dan wajib memberikan pendapat dan pertimbangan mengenai Rancangan APBN dan kebijakan lain kepada pemerintah yang berkaitan tugas dan wewenang Bank Indonesia.



31



Daftar Pustaka



1. Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2. Rukmana Amanwinata, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Sosial Politik DIALEKTIKA Vol. 2 No. 2-2001, 3. Sri Soemantri M, Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen 1945, 4. dalam buku Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, 5. Malang : Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur kerja sama dengan InTrans, Februari 2004 6. Drs. Musanaf, Sistem Pemerintahan di Indonesia, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1989. 7. Ni’matul Huda, S.H.,M.Hum., Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. 8. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 9. Moh. Kusnardi SH. Harmaily Ibrahim, SH. Fakultas Hukum Indonesia CV. ‘Sinar Bakti’



32