Tugas Makalah Kelompok 3 Hukum Perdata [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH HUKUM PERDATA “Perikatan Dalam Perspektif BW dan Hukum Islam (KHES)” Disusun guna memenuhi tugas perkuliahan Mata Kuliah : Hukum Perdata Dosen Pengampu : : Edy Mulyanto, SH, MH.



Disusun Oleh: Kelompok 3 1. Rei Fisca Ardila 2. Ristima Purba 3. Sari Nurhayati 4. Sindi Fatika Sari 5. Syams Althoof Al-Farabi 6. Taufik Kurachman 7. Tri Sudarmanto



PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PAMULANG TAHUN 2021 DAFTAR ISI



DAFTAR ISI.............................................................................................................................................i KATA PENGANTAR..............................................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................................3 A. LATAR BELAKANG.........................................................................................................................3 1. Definisi umum perikatan.......................................................................................................................3 2. Pengertian Perikatan menurut para tokoh..............................................................................................5 B. Rumusan Masalah................................................................................................................................6 C. Tujuan Penulisan..................................................................................................................................6 BAB II PERSPEKTIF BW TERHADAP PERIKATAN..........................................................................7 BAB III PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PERIKATAN.................................................11 BAB IV PENUTUP................................................................................................................................14 Kesimpulan.............................................................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................15



i



KATA PENGANTAR



Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rahmat, nikmat dan karunianya-Nya sehingga dapat tersusunlah Makalah Hukum Perdata ini dengan tepat waktu sesuai waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi rangkaian pembelajaran dalam mata kuliah Hukum Perdata. Penyusunan materi perkuliahan ini menggunakan dari beberapa sumber literatur dari buku, referensi yang telah ada dan juga ditambah dengan pendapat beberapa ahli hukum terkemuka. Yang diharapkan mampu menambah wawasan kita Bersama dalam bidang Hukum Perdata khususnya. Diharapkan mudah-mudahan dengan materi ini dapat digunakan sebagai bahan pegangan dasar bagi rekan-rekan pembaca sekalian yang suatu saat nanti akan menempuh/mendalami bidang hukum Perdata, yang kelak kemudian hari dapat bermanfaat dalam tugas-tugas dinasnya. Harapan kami selaku penulis semoga materi ini dapat juga bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan mengetahui tentang bidang Keperdataan/hukum Perdata.



Pamulang, 23 Juni 2021 Penyusun,



ii



BAB I PENDAHULUAN



A.



LATAR BELAKANG



1. Definisi umum perikatan Pada umumnya, perikatan adalah hukum yang terjadi diantara dua orang atau lebih yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu. Dalam kehidupan sehari-hari banyak orang-orang yang tidak sadar bahwa setiap harinya mereka melakukan perikatan. Hal-hal seperti membeli suatu barang atau menggunakan jasa angkutan umum, perjanjian sewa-menyewa hal-hal tersebut merupakan suatu perikatan. Perikatan di Indonesia diatur pada buku ke III KUHPerdata(BW). Pengertian perikatan sendiri tidak diatur secara yuridis dalam KUHPerdata tapi dapat dipahami melalui pendapat-pendapat para Sarjana Hukum dan Ahli Hukum, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa perikatan itu adalah hubungan hukum antara subjek hukum (debitur dan kreditur) yang menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban) yang merupakan kepentingan di bidang kekayaan (sesuatu yang dinilai dari nilai ekonomis). Perikatan merupakan terjemahan istilah dalam bahasa Belanda verbintenis. Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih dimana satu pihak mempunyai hak dan pihak yang lain mempunyai kewajiban atas suatu prestasi. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa hukum yang dapat berupa: jual beli, utang-piutang, hibah, kelahiran dan kematian. Peristiwa hukum tersebut menciptakan suatu hubungan hukum. Dalam hubungan hukum tersebut, para pihak mempunyai hak dan kewajiban. Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut debitur dan sesuatu yang dituntut disebut prestasi. Dengan demikian perikatan dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum mengenai harta kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur. Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh pihak debitur dan prestasi merupakan objek dari perikatan. Dalam hukum perdata, penyertaan jaminan merupakan suatu kewajiban dalam memenuhi prestasi. Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan bahwa segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu. Jaminan umum ini dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang disepakati dalam perjanjian para pihak. Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan ada 3 (tiga) wujud prestasi, yaitu: 3



1. Memberikan sesuatu, misalnya menyerahkan benda, membayar harga benda, dan memberikan hibah penelitian; 2.Berbuat sesuatu, misalnya membuatkan pagar pekarangan rumah, mengangkut barang tertentu, dan menyimpan rahasia perusahaan; 3.Tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak melakukan persaingan curang, tidak melakukan dumping, dan tidak menggunakan merek orang lain. Pasal 1235 KUHPerdata menjelaskan pengertian “Memberikan sesuatu”, yaitu menyerahkan penguasaan nyata atas suatu benda dari debitur kepada kreditur atau sebaliknya. Dalam perikatan yang objeknya “Berbuat sesuatu”, debitur wajib melakukan suatu perbuatan yang telah disepakatu dalam perikatan. Dalam melaksanakan perbuatan tersebut, debitur harus mematuhi semua ketentuan yang telah disepakatu dalam perikatan. Debitur bertanggung jawab atas perbuatannya yang tidak sesuai dengan ketentuan perikatan. Dalam perikatan yang objeknya “Tidak berbuat sesuatu”, debitur tidak melakukan perbuatan yang telah disepakati dalam perikatan. Perikatan diatur dalam Buku KUHPerdata. Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan, perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233 KUHPerdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena perjanjian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber perikatan adalah Undang-Undang dan perjanjian. Pasal 1352 KUHPerdata menjelaskan perikatan yang lahir karena Undang-Undang dirinci menjadi dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan oleh Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatan orang. Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUHPerdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Sebagian besar perikatan yang terjadi di masyarakat lahir karena adanya suatu perjanjian. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Artinya, jika salah satu pihak tidak bersedia memenuhi prestasinya, kewajiban berprestasi itu dapat dipaksakan. Perikatan yang lahir dari suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian itu sah apabila terpenuhi 4 (empat) syarat, yaitu: 1. Adanya kata sepakat 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian 3. Adanya suatu hal tertentu 4



4. Adanya causa yang halal. 2. Pengertian Perikatan menurut para tokoh Istilah perikatan berasal dari Bahasa Belanda, verbintenis. KUH Perdata sama sekali tidak memberikan uraian mengenai pengertian perikatan. Meskipun demikian, pengertian perikatan dapat kita peroleh dari pendapat beberapa pakar hukum.



Berikut ini beberapa pengertian perikatan menurut para tokoh terkemuka :



Pitlo : Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.



Von Savigny : Perikatan hukum adalah hak dari seseorang (kreditur) terhadap seseorang lain (debitur).



Yustianus : Suatu perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari seseorang untuk mengadakan prestasi terhadap pihak lain.



Prof. Subekti : Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.



Prof. Soediman Kartohadiprodjo : Hukum perikatan ialah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam lingkungan hukum kekayaan.



Abdulkadir Muhammad : Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan.



Prof. Soediman Kartohadiprodjo : Hukum perikatan ialah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam lingkungan hukum kekayaan.



5



B.



Rumusan Masalah



Adapun rumusan masalah yang hendak di bahas adalah sebagai berikut: 1.      Apa saja definisi/pengertian dari Perikatan? 2.      Apa saja definisi Perikatan menurut Para Tokoh? 3.      Bagaimana Perspektif BW tentang Perikatan? 4.



C.



Bagaimana Perspektif Hukum Islam KHES tentang Perikatan?



Tujuan Penulisan



1.      Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Perdata 2.      Ingin mendeskripsikan pengertian Perikatan 3.      Ingin mengetahui perspektif BW terkait Perikatan 4.      Ingin mengetahui perspektif Hukum Islam tentang Perikatan



6



BAB II



PERSPEKTIF BW TERHADAP PERIKATAN Dalam BW telah diatur tentang perikatan (verbintenis). Maksud penggunaan kata “Perikatan” disini lebih luas dari pada kata perjanjian. Perikatan ada yang bersumber dari perjanjian namun ada pula yang bersumber dari suatu perbuatan hukum baik perbuatan hukum yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) maupun yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaakwarneming). Buku ketiga tentang perikatan ini mengatur tentang hak dan kewajiban yang terbit dari perjanjian, perbuatan melanggar hukum dan peristiwa-peristiwa lain yang menerbitkan hak dan kewajiban perseorangan. Buku ketiga bersifat tambahan (aanvulend recht), atau sering juga disebut sifat terbuka, sehingga terhadap beberapa ketentuan, apabila disepekati secara bersama oleh para pihak maka mereka dapat mengatur secara berbeda dibandingkan apa yang diatur didalam BW. Sampai saat ini tidak terdapat suatu kesepakatan bersama mengenai aturan mana saja yang dapat disimpangi dan aturan mana yang tidak dapat disimpangi. Namun demikian, secara logis yang dapat disimpangi adalah aturan-aturan yang mengatur secara khusus (misal : waktu pengalihan barang dalam jual-beli, eksekusi terlebih dahulu harga penjamin ketimbang harta si berhutang). Sedangkan aturan umum tidak dapat disimpangi (misal : syarat sahnya perjanjian, syarat pembatalan perjanjian). Dilihat dari ilmu hukum perdata, perikatan dapat dibagi atas 3 (tiga) macam yaitu perikatan dilihat dari subjek, objek dan daya kerjanya. a. Dilihat dari subjeknya, perikatan dapat dibagi atas : 1) Perikatan tanggung menanggung / tanggung renteng 2) Perikatan pokok dan tambahan b. Dilihat dari objeknya, perikatan dapat dibagi atas : 1) Perikatan positif dan negatif 2) Perikatan fakultatif 3) Perikatan kumulatif (konjungtif) 4) Perikatan alternatif 5) Perikatan sepintas lalu dan perikatanterus menerus 6) Perikatan generik dan spesifik 7) Perikatan yang dapat dibagi dan tak dapat dibagi c. Dilihat dari daya kerjanya, perikatan dapat dibagi atas : 1) Perikatan dengan ketetapan waktu. 2) Perikatan bersyarat



Berikut ini akan dijelaskan masing-masing pengertian dan maksud dari jenis-jenis perikatan berdasarkan ilmu hukum perdata. Perikatan tanggung menanggung adalah suatu perikatan yang pihaknya terdiri dari dua atau lebih kreditur, atau yang pihaknya terdiri dari dua atau lebih debitur. Berdasarkan pengertian ini, dikenal perikatan tanggung menanggung aktif dan tanggung menanggung pasif. Pada perikatan tanggung menanggung aktif (actieve hoofdelijk), yang memiliki hak untuk memilih adalah debiturnya. Artinya debitur dapat menentukan kepada kreditur yang mana akan membayar hutangnya. Namun jika salah satu kreditur telah menegurnya untuk menagih hutang, maka hilanglah hak memilih tersebut. Maksudnya si debitur hanya dapat memenuhi pembayaran hutangnya kepada kreditur yang menegur tersebut. Walaupun demikian, tidak membebaskan debitur untuk menghapuskan seluruh prestasi melainkan hanya sebesar tagihan dari kreditur tersebut (Pasal 1279 KUH Perdata). Sebaliknya pada perikatan tanggung menanggung pasif (passif hoofdelijk) yang memiliki hak untuk memilih adalah krediturnya. Kreditur dapat meminta untuk menentukan debitur mana yang akan memenuhi seluruh pembayaran. Tidak ada pemisahan kewajiban dari para debitur dan tidak menghilangkan hak debitur untuk menagih teman debitur mengenai hutang yang telah dibayarkan kepada kreditur (Pasal 1280, 1281, 1283 dan 1293 KUH Perdata). Perikatan tanggung menanggung harus dinyatakan dengan tegas kecuali ditentukan sebaliknya oleh undang-undang (Pasal 1282 KUH Perdata). Dalam praktek perikatan jenis ini sering terjadi dan memberikan jaminan yang kuat bahwa piutangnya akan dibayar oleh debitur. Dalam peri katan tanggung menanggung terdapat dua hubungan hukum yaitu hubungan hukum eksternal (antara kreditur dengan debitur) dan hubungan internal (antar debitur). Perikatan pokok dan tambahan adalah suatu perikatan yang di dalamnya terdapat dua hubungan hukum yaitu perikatan pokok sebagaii induknya (prinsipal) dan perikatan tambahan sebagai assesor darii perikatan induk. Jika perikatan pokoknya hapus atau berakhir, maka perikatan tambahan juga hapus. Perikatan positif adalah jika prestasinya merupakan sesuatu perbuatan yang positif (positieve handeling) yaitu memberikan sesuatu dan berbuat sesuatu, sedangkan perikatan negatif adalah jika prestasinya merupakan sesuatu perbuatan yangnegatif (negatieve handeling) yaitu tidak melakukan sesuatu. Perikatan fakultatif adalah perikatan yang hanya memiliki satu objek prestasi, yang di dalamnya debitur memiliki hak untuk mengganti prestasi yang semula ditentukan dengan prestasi yang lain. Misalnya debitur diwajibkan menyerahkan rumah. Kalau tidak mungkin, maka dapat digantikan dengan pembayaran sejumlah uang. Perikatan kumulatif (konjungtif) adalah perikatan yang didalamnya menentukan kewajiban debitur untuk melakukan bermacam-macam perbuatan. Perikatan alternatif adalah perikatan yang memberikan hak kepada debitur untuk memilih salah satu prestasi, kecuali jika dalam perjanjian ditentukan secara tegas hak itu ada pada kreditur. Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang



pemenuhan prestasinya berlangsung sekaligus dalam waktu yang relatif singkat dan sekaligus mengakhiri perjanjian, misalnya jual beli, sedangkan perikatan terus menerus adalah perikatan yang pemenuhan prestasinya berlangsung dalam waktu yang relatif lebih lama, misalnya sewa menyewa. Perikatan generik (soort verbintenis) adalah perikatan yang berisikan penentuan ‘jenis dan jumlah’ benda yang akan diserahkan debitur, sedangkan perikatan spesifik adalah perikatan yang didalamnya ditentukan secara khusus ciri-ciri dari benda yang akan diserahkan oleh debitur. Perikatan yang dapat dibagi (deelbaar verbintenis) adalah perikatan yang berkaitan dengan prestasi berupa barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang pelaksanaannya dapat dibagi-bagi, sedangkan perikatan yang tak dapat dibagi



(ondeelbaar



verbintenis)



adalah perikatan yang objeknya



barang



dimana



penyerahannya tak dapat dibagi-bagi. Pembentuk undang-undang membagi kedua perikatan ini secara tidak jelas atau samar-samar. Pembedaan kedua perikatan ini didasarkan kepada sifat dan maksud perikatan tersebut. Pembedaan ini memiliki arti penting apabila terdapat dua atau lebih seorang debitur dan kreditur. Artinya apabila perikatan itu menurut sifatnya dapat dibagi tetapi jumlah debitur dan krediturnya hanya satu orang, maka perikatan tersebut harus dianggap tidak dapat dibagi. Dalam perikatan dapat dibagi, masing-masing kreditur hanya berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi, sedangkan masing-masing debitur diwajibkan memenuhi prestasi secara menyeluruh. Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan yang waktunya sudah ditetapkan, dimana kreditur tidak berhak untuk menuntut pembayaran sebelum waktu itu tiba. Fungsi waktu dalam perikatan ini dibuat untuk kepentingan debitur kecuali ditentukan sebaliknya. Jika debitur membayar sebelum waktu itu tiba, maka pembayaran tidak dapat diminta kembali. Jika debitur memenuhi kewajibannya pada saat waktu yang ditentukan tiba maka daya kerja perikatan tersebut berakhir. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk verbintenis, contract beding) adalah perikatan yang di dalamnya digantungkan pada suatu syarat tertentu yaitu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu akan terjadi. Kalau dalam perjanjian sudah dapat dipastikan akan terjadi, maka perikatan itu menjadi batal. Banyak sekali jenis syarat yang dicantumkan dalam perjanjian, sehingga perlu kecermatan untuk menganalisisnya. Misalnya, jika syarat itu terjadi secara nyata maka dikatakan sebagai perikatan dengan syarat positif (Pasal 1258 KUHPerdata), sedangkan kalau syarat itu tidak terpenuhi atau tidak terjadi maka perikatan itu mengandung syarat negatif (Pasal 1259 KUH Perdata).



BAB III PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TERHADAP PERIKATAN Berdasarkan KUH Perdata Pasal 1233 dinyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Dalam pasal ini terdapat istilah perikatan dan juga istilah persetujuan/ perjanjian. Menurut Syamsul Anwar, istilah perikatan dalam bahasa Belanda disebut sebagai verbintenis, sedangkan persetujuan (yang juga diidentikan dengan perjanjian dan bahkan juga dengan istilah kontrak) memiliki padanan kata dengan overeenkomst. Dalam hukum Islam kontemporer, perikatan (verbintenis) memiliki padanan kata dengan “iltizâm”, sedangkan istilah perjanjian/ kontrak/ overeekomst memiliki padanan kata dengan kata “`aqd” (akad). Penggunaan istilah akad sebagai padanan kata “kontrak” (contract) juga disetujui beberapa sarjana seperti oleh Linquat Ali Khan, Hasan S. Karmi, dan Edward William. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa padanan kata yang digunakan untuk menjelaskan makna perikatan adalah iltizâm dan verbintenis, sedangkan padanan kata untuk istilah persetujuan adalah perjanjian, kontrak, contract, overeekomst, dan juga `aqd (akad). Konsep iltizâm/ perikatan dalam hukum Islam, menurut Syamsul Anwar dapat diartikan sebagai:



“Terisinya dzimmah seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikanya kepada orang lain atau pihak lain. ”Istilah dzimmah, digunakan oleh para fukaha ketika membahas tentang hubungan perutangan antara dua pihak atau lebih. Secara bahasa arti dzimmah adalah tanggungan, sedangkan secara istilah artinya adalah suatu wadah dalam diri seseorang yang menampung hak dan kewajiban. Maka bisa dikatakan jika seseorang mempunyai hutang hak kepada orang lain, maka dzimmah orang tersebut telah terisi. Jika dikaitkan dengan akad, maka hubungan antara iltizâm dan akad adalah kaitan sebab akibat. Menurut Mustafa Zarqa, akad merupakan salah satu sumber dari adanya perikatan. Hal ini juga sesuai dengan KUH Perdata Pasal 1233 yang menyatakan bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan (perjanjian) atau karena undang-undang. Disisi lain akad memiliki artian yang lebih khusus daripada perikatan. Akad, menurut Ibnu Mandzur dalam Lisân al-arab secara bahasa berarti ikatan, atau lawan kata dari terurai/ terlepas. Ibnu Mandzur mengatakan: Aku mengikat tali, maka tali itu terikat (ma’qûd), begitu juga dengan ‘ahd (janji). Contohnya adalah akad nikah (`uqdatun-nikâh), dan telah terikat ikatan tali itu dengan sebenar-benar ikatan. Menurut Wahbah Zuhaili, akad memiliki dua sisi makna, yaitu makna umum dan makna khusus. Makna umum dari akad adalah setiap hal yang diazamkan seseorang untuk dilakukan, baik itu yang berkaitan dengan kehendak satu pihak (seperti wakaf, talak, dan sumpah), maupun yang berkaitan dengan kehendak dengan berbilang pihak, seperti jual beli, sewa, perwakilan, dll. Dalam artian umum ini, akad bisa dikatakan sama dengan perikatan (iltizâm). Dalam artian khusus (yang merupakan topik dalam penelitian ini) akad berarti : ‫ارتباطُإيجابُبقبولُعليُوجهُمشروعُيثبتُأثرهُفيُمحله‬ Artinya: ikatan/ hubungan antara ijab dan kabul yang sesuai dengan syariat yang menimbulkan akibat hukum terhadap objek akad. Contohnya dalam akad jual beli, ketika pembeli menyatakan “aku menjual buku ini kepadamu” hal ini dinamakan sebagai ijab, sedangkan pernyataan pembeli “ya, saya beli buku itu” merupakan bentuk dari kabul. Agar ijab-kabul ini menjadi sah haruslah sesuai dengan aturan syariat baik dari segi pelaku, objek, maupun tujuanya, setelah itu barulah kemudian akad tersebut menimbulkan akibat hukum berupa berpindahnya kepemilikan buku dari penjual ke pembeli. Jenis-Jenis Perikatan Secara garis besar, perikatan dalam Islam terbagi ke dalam empat macam, yaitu: a. Perikatan hutang (al-iltizâm bi ad-dain) Perikatan hutang adalah perikatan yang terjadi ketika seseorang memiliki dzimmah (tanggungan) terhadap orang lain baik berupa uang atau barang. Dalam hal ini hutang dapat



berupa hutang dalam artian meminjam uang/ barang, hutang dalam artian tanggungan, hutang yang disebabkan karena kehendak (wasiat, nadzar, hibah), hutang karena perbuatan melawan hukum (misalnya tangung jawab ganti rugi karena perusakan dan perampasan), dan juga hutang karena kewajiban syariat (misalnya nafkah dan mahar).



b. Perikatan benda (al-iltizâm bi al-‘ain) Maksudnya adalah perikatan yang terjadi dengan objek berupa benda untuk dipindah-milikan baik manfaatnya maupun bendanya sendiri. Misalnya adalah akad jual beli tanah atau sewa motor. Sumber-seumber dari perikatan ini adalah akad (jual beli), kehendak sepihak (wasiat atas benda tertentu), PMH (mengembalikan barang yang dirampas, akan tetapi jika barang tersebut sudah hilang maka perikatan berubah menjadi perikatan hutang). c. Perikatan kerja/ melakukan sesuatu (al-iltizâm bi al-‘amal) Maksud dari perikatan kerja adalah hubungan hukum antar dua pelaku akad untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad ishtishna’ dan ijarah. Istishna’ adalah perjanjian untuk membuat sesuatu, contohnya adalah meminta tukang kayu untuk membuat almari. Sedangkan ijarah adalah sewa. Sewa disini bisa berarti dua, yaitu sewa manfaat (sewa biasa), dan bisa juga berarti perjanjian kerja (sewa kemampuan/ skill) yang dalam bahasa arabnya disebut sebagai ijarah ‘amal (suatu akad yang objeknya adalah melakukan suatu pekerjaan). Jenis inilah yang masuk ke dalam kategori al-iltizâm bi al-‘amal. d. Perikatan jaminan (al-iltizâm bi at-tautsîq) Maksud dari al-iltizâm bi at-tautsîq adalah suatu perikatan yang objeknya menanggung suatu perikatan. Misalnya, pihak A bersedia menanggung hutang yang dimiliki pihak B kepada bank C. Sumber dari perikatan ini adalah akad kafalah.



BAB IV PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan materi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam perspektif BW mengenai perikatan telah diatur dalam Buku Ketiga BW tentang Perikatan (verbintenis) disitu telah dijelaskan tentang ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perikatan. Sedangkan dalam perspektif Hukum Islam perikatan (verbintenis) memiliki padanan kata dengan “iltizâm”, sedangkan istilah perjanjian/ kontrak/ overeekomst memiliki padanan kata dengan kata “`aqd” (akad). Penggunaan istilah akad sebagai padanan kata “kontrak” (contract) juga disetujui beberapa sarjana seperti oleh Linquat Ali Khan, Hasan S. Karmi, dan Edward William. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan secara singkat bahwa padanan kata yang digunakan untuk menjelaskan makna perikatan adalah iltizâm dan verbintenis, sedangkan padanan kata untuk istilah persetujuan adalah perjanjian, kontrak, contract, overeekomst, dan juga `aqd (akad). Saran Saran dari kami selaku penulis, semoga dari makalah yang kami sampaikan ini dapat diperoleh manfaat khususnya bagi para Mahasiswa Fakultas Hukum dan umumnya bagi masyarakat umum diharapkan dengan materi yang telah disampaikan semoga dapat menambah wawasan kita dalam bidang Keperdataan/Hukum Perdata.



DAFTAR PUSTAKA BUKU



Badrulzaman, Mariam Darus dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung , 2001. Kerangka Dasar Hukum Perjanjian, dalam Hukum Kontrak Indonesia, ELIPS, Jakarta, 1998. KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan I, 1996. Aditya Bakti, Bandung, 1999. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2003. Sazali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: 1993. Shahrur, Muhammad, Metodeologi Fiqih Islam Kontemporer (Nahw Usul Jadidah Li Al-Fiqih al-Islami), Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004 Shiddieqi, M. Habsi Ash, Filafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Siroj, A. Malthuf Pembaruan Hukum Islam di Indonesia: Telaah Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2012.



UI Press,