Tumpang Tindih Zona Hutan Lindung Dan Permukiman Desa Dabong [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

TUMPANG TINDIH ZONA HUTAN LINDUNG DAN PERMUKIMAN (Wilayah Studi : Desa Dabong, Kabupaten Kubu Raya)



Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum dan Kebijakan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota



Oleh MUHAMMAD RESNU AMAHESI



D1091171006



FITRA ANDINI



D1091171010



PUJI SUKMANINGSIH



D1091171012



ADINDA RIZKY IFADA



D1091171028



FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2019



KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Paper Tumpang Tindih Zona Hutan Lindung Dan Permukiman Wilayah Studi : Desa Dabong, Kabupaten Kubu Raya. Kami sangat berharap paper ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai permasalahan tumpang tindih lahan yang banyak terjadi kini. Selama penyusunan paper ini, penyusun banyak sekali memperoleh bimbingan, masukan serta petunjuk dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penyusun ingin mengucapkan terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya kepada : 1. Orang tua kami yang telah memberi doa dan dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga kepada orang tua kami, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. 2. Dosen pembimbing Mata kuliah Hukum dan Kebijakan yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan kepada kami dalam proses belajar mengajar hingga tersusunnya makalah ini. 3. Teman-teman Perencanaan Wilayah dan Kota Universitans Tanjungpura yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian makalah ini. Tulisan ini disusun dari berbagai sumber yang menghubungkan dengan paper ini, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus demi terselesaikannya paper ini. Akhirnya kami meyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna baik dari segi penulisannya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan paper ini. Semoga laporan ini bermanfaat baik bagi penyusun dan bagi orang banyak. Pontianak, 27 September 2019 Tim Penulis



ii



DAFTAR ISI COVER...............................................................................................................................i KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ii DAFTAR ISI.................................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................................................ iv DAFTAR TABEL ..............................................................................................................................v BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................................................v 1.1.



Latar Belakang ....................................................................................................................1



1.2.



Rumusan Masalah ...............................................................................................................2



1.3.



Tujuan Penulisan .................................................................................................................2



1.4.



Manfaat Penulisan ...............................................................................................................2



BAB 2 PEMBAHASAN.....................................................................................................................4 2.1. Gambaran Umum Desa Dabong ..............................................................................................4 2.2. Berita Terkait Tumpang Tindih Zona di Desa Dabong ............................................................8 2.3. Tinjauan Kebijakan ............................................................................................................... 12 2.4. Kajian Literatur..................................................................................................................... 24 2.5. Identifikasi Kebijakan tentang Hutan Lindung dan Permukiman di Desa Dabong .................. 29 2.6.



Perumusan Alternatif Penyelesaian .................................................................................... 31



2.6.1. Judicial Review ............................................................................................................. 31 2.6.2. Fatwa MA ..................................................................................................................... 34 2.6.3. Peraturan Perundang-Undangan ..................................................................................... 34 2.6.4. Adendum Ketentuan Peralihan ....................................................................................... 36 BAB 3 PENUTUP ............................................................................................................................ 38 3.1. Kesimpulan............................................................................................................................ 38 3.2. Saran ..................................................................................................................................... 39



iii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1. Peta Desa Dabong .................................................................................................4 Gambar 2. Peta Jenis Tanah Desa Dabong ..............................................................................5 Gambar 3. Peta Tata Guna Lahan Desa Dabong .....................................................................6 Gambar 4. Peta Peguasaan Lahan Desa Dabong .....................................................................7



iv



DAFTAR TABEL



Tabel 1. Analisis Kebijakan Terkait ..................................................................................... 29



v



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan kawasan hutan dalam suatu wilayah merupakan bagian dari ruang wilayah p r o v i ns i m a u p u n k a bu p a t e n/ k o t a ya ng bersangkutan sehingga kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota akan memberikan implikasi luas terhadap keberadaan kawasan hutan tersebut. Adanya otonomi daerah dan pemberian kebebasan kepada daerah untuk mengatur daerahnya sendiri dari segi administrasi operasional dan lain-lain dipandang sebagai suatu langkah kebijakan yang baik. Namun apabila dilihat dari sudut penataan ruang, hal ini justru mulai memunculkan permasalahan baru. Salah satunya ketimpangan antara zona hutan lindung dan permukiman yang terjadi di Desa Dabong. Desa Dabong merupakan salah satu dari 20 desa di wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Desa Dabong awalnya merupakan kampung tua bernama Benua Dabong yang dihuni sejak tahun 1791 dan meliputi beberapa kampung yang sekarang sudah menjadi desa seperti antara lain Kampung Mengkalang Jambu, Kampung Mengkalang Guntung, Kampung Sungai Selamat, dan Olak Olak Kubu. Letaknya yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan, membuat Desa Dabong tidak hanya memiliki kekayaan kenekaragaman hayati berupa flora dan fauna darat tetapi juga flora dan fauna laut. Selain itu, sekitar 50% dari wilayah Desa Dabong merupakan hutan mangrove yang kaya sumber daya hutan. Masyarakat Desa Dabong sangat bergantung pada hutan mangrove tersebut sebagai sumber penghidupan mereka, tidak hanya untuk mendapatkan kayu bakar, tetapi untuk mendapatkan kepiting bakau yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Dari keseluruhan wilayah Dabong seluas 9.508,46 ha, sekitar 16 % merupakan tanah mineral, 50% merupakan area mangrove, sedangkan 34 % merupakan lahan gambut. Namun, dalam kenyataannya diketahui bahwa area mangrove pada Desa Dabong menjadi bagian dari area permukiman oleh warga sekitar yang sedari dulu telah bermukim di desa tersebut, kebijakan pemerintah menyatakan bahwa Desa Dabong merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya bebas dari kegiatan komersial atau budidaya Terlebih dengan adanya Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 259/kptsII/2000 yang menunjuk kawasan hutan dan perairan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah seluas 9.178.760 (Sembilan Juta Seratus Tujuh Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Enam Puluh) hektar dijadikan menjadi hutan lindung berupa hutan mangrove. Ini 1



mengakibatkan adanya konflik antara pemerintah dan masyarakat di Desa Dabong. Selain itu, penetapan hutan mangrove di Desa Dabong menjadi hutan lindung tidak sepenuhnya dapat melindungi ekosistem mangrove dari degradasi karena sebagian kawasan mangrove telah dikonversi menjadi tambak oleh masyarakat. Hal ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan lindung mangrove. Kajian pengelolaan ekosistem mangrove terutama yang terkait dengan kelembagaan perlu dilakukan agar didapat alternatif solusi kebijakan pengelolaan mangrove yang berkelanjutan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada, rumusan masalah dalam pembahasan ini diantaranya : a. Bagaimana gambaran umum Desa Dabong? b. Apa saja berita terkait tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong? c. Peraturan apa saja yang terkait dengan tumpang tindih kawasan tersebut? d. Penelitian apa saja yang pernah membahas terkait dengan permasalahan tersebut? e. Bagaimana hasil analisis dari peraturan yang terkait dengan permasalahan tersebut? f. Seperti apa rekomendasi alternatif penyelesaian terkait dengan permasalahan tersebut? 1.3. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah tersebut, beberapa tujuan penulisan paper ini diantaranya : a. Menjelaskan gambaran umum Desa Dabong; b. Menjelaskan berita-berita terkait tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong; c. Menjelaskan peraturan apa saja yang terkait dengan tumpang tindih kawasan tersebut; d. Menjelaskan penelitian apa saja yang pernah membahas terkait dengan permasalahan tersebut; e. Menjelaskan hasil analisis dari peraturan yang terkait dengan permasalahan tersebut; dan f. Memberikan rekomendasi alternatif penyelesaian terkait dengan permasalahan tersebut.



1.4. Manfaat Penulisan Sejalan dengan tujuan penulisan di atas, manfaat penulisan paper ini diantaranya : 2



a. Memberi pengetahuan singkat mengenai Desa Dabong; b. Menambah pengetahuan bagi penyusun; dan c. Membantu penyelesaikan problema tumpang tindih yang terjadi di Desa Dabong.



3



BAB 2 PEMBAHASAN 2.1. Gambaran Umum Desa Dabong Desa Dabong terletak di wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Pusat Desa Dabong berada pada titik Longitude 109015’24.53’’E dan Latitude: 00 35’24.44’’S. Desa Dabong merupakan salah satu dari 20 desa di Kecamatan Kubu yang meliputi 3 dusun yaitu, Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya, dan Dusun Meriam Jaya. Luas wilayah Desa Dabong adalah 95,08 km2 atau sekitar 7,85 % dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Kubu (1.211,60 km2). Lokasi Desa Dabong di wilayah Kecamatan Kubu tergambar di Gambar 1. berikut.



Gambar 1. Peta Desa Dabong



Fasilitas umum di Desa Dabong adalah jalan desa; jalan produksi; dan jalan lingkungan; jembatan rabat beton; jembatan kayu; jembatan wisata mangrove; tower Telkomsel; dan dermaga Desa Dabong. Kondisi jalan desa, jalan produksi dan jalan lingkungan kurang baik karena sudah banyak yang rusak. Jembatan kayu juga sebagian sudah rusak. Fasilitas sosial di Desa Dabong antara lain gedung PAUD, gedung SD; gedung SMP; gedung Puskesmas Pembantu (Pustu); gedung Posyandu; gedung Poskesdes; kantor desa; masjid; mushola; pemakaman umum; tempat 4



penyulingan air bersih; dan WC umum. Kondisi semua fasilitas sosial tersebut masih berfungsi, tetapi membutuhkan perbaikan. WC umum di Dusun Meriam Jaya juga sudah rusak dan tidak dipergunakan lagi. Sedangkan jenis tanah yang terdapat di Desa Dabong berupa tanah gambut, tanah mineral dan area mangrove. Persebaran jenis tanah di Desa Dabong dapat dilihat pada Gambar 2. berikut



Gambar 2. Peta Jenis Tanah Desa Dabong Dari keseluruhan wilayah Desa Dabong, sebagian besar atau sekitar 39,18% merupakan hutan bakau. Sebagian besar lainnya sekitar 23,42 % merupakan sawit yang dikelola PT. SR dan warga desa. Sedangkan sekitar 22,58% merupakan pertanian ladang kering. Sebagian kecil luas wilayah dimanfaatkan untuk kebun kelapa kampung, pemukiman, area sekolah, ladang padi, tambak, nipah dan belukar. Tambak sekitar 479,67 ha di Desa Dabong merupakan sumber penghasilan yang diutamakan warga desa. Rinci pemanfaatan tanah di Desa Dabong dalam Gambar 3. berikut.



5



Gambar 3. Peta Tata Guna Lahan Desa Dabong Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 259/KPTS-II/2000 Tahun 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat dan menurut SK 733/MENHUT II/2014 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat, wilayah Desa Dabong merupakan Hutan Lindung (HL) dan Area Penggunaan Lain (APL). HL dikuasai oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; sedangkan APL dikuasai oleh PT. Sintang Raya; Pemerintah Desa; Warga; Mitra; dan Dinas Pendidikan. Tetapi dengan keluarnya SK No. 3820/Menlhk-PSKL/KPS/PSL.0/7/2017 tanggal 28 April 2017, Desa Dabong diberikan hak untuk mengelola Hutan Desa seluas ± 2.869 Hektar pada sebagian Kawasan Hutan Lindung tersebut. Rincian penguasaan tanah di Desa Dabong dapat dilihat pada Gambar 4. berikut.



6



Gambar 4. Peta Peguasaan Lahan Desa Dabong



Lahan gambut di Desa Dabong hanya sebesar 34% dari seluruh luas wilayah desa. Sebagian besar lahan gambut tersebut yaitu sekitar 1.942 ha atau 60% dari 7



keseluruhan luas lahan gambut dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan sawit dari PT. SR maupun lahan sawit mitra/plasma. Sekitar 39% dari luasan lahan gambut dimanfaatkan sebagai pertanian lahan kering milik warga dan kurang dari 1% sisanya merupakan pemukiman warga. 2.2. Berita Terkait Tumpang Tindih Zona di Desa Dabong A. Dishut Kubu Raya Temukan Penyalahgunaan Hutan Lindung Sungai Raya (Antara Kalbar) - Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Pertambangan Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, masih menemukan penyalahgunaan fungsi hutan lindung yang dilakukan baik oleh masyarakat maupun perusahaan swasta.



"Salah satu contohnya di salah satu wilayah didapatkan permukiman masyarakat pada areal hutan lindung, penyalahgunaan lahan tersebut terjadi di kawasan Dabong, Sungai deras, Sepok Laut, dan beberapa wilayah yang terdapat hutan lindung," kata Kepala Seksi Penataan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya Sutopo, S.PKP di Sungai Raya, Jumat.



Menurutnya, mengenai permukiman yang dibangun di atas hutan lindung, hal tersebut dapat diselesaikan jika proses-proses identifikasi dan inventarisasi yang dilakukan pihaknya diakomodir oleh panitia tapal batas yang dibentuk oleh Pemkab setempat.



Saat disinggung mengenai hutan lindung yang dimanfaatkan masyarakat Desa Sungai Deras Kecamatan Teluk Pakedai untuk pertanian, ia mengatakan hal itu sangat tidak dibenarkan karena melanggar undang-undang nomor 41 tentang kehutanan. Namun karena penyalahgunaan tersebut dilakukan oleh masyarakat, pihaknya tidak serta merta



langsung



mengambil



tindakan



hukum



kepada



masyarakat



tersebut.



"Namun, kami akan memberikan teguran kepada masyarakat, bahwa areal yang digunakan tersebut merupakan hutan lindung yang dilindungi oleh undang-undang," tuturnya.



Dia juga mengatakan, Dinas Kehutanan Kabupaten Kubu Raya mencatat sebanyak 171.407,35 hektare lahan hutan lindung yang dimiliki Kubu Raya tersebar di sembilan kecamatan yang ada. 8



Sutopo menjelaskan saat ini pihaknya terus melakukan pengawasan terhadap arealareal hutan lindung, hutan produksi maupun hutan produksi konversi yang termasuk dalam peta yang dimiliki pihaknya.



"Mengenai hutan lindung terus kami lakukan pengawasan, yang paling pertama adalah penguatan status kawasan hutan lindung yaitu dengan tapal batas," katanya.



Ia mengatakan sebelum menentukan tapal batas terkait hutan lindung yang berada di wilayah Kubu Raya, pihaknya telah melakukan inventarisasi dan identifikasi terlebih dahulu mengenai hak-hak pihak ketiga.



"Jika pada tapal batas pada hutan lindung terdapat hak-hak pihak ketiga, apakah itu pemukiman, pertanian, perkebunan maupun fasilitas umum yang dapat dibuktikan dan mempunyai legal formal, hal tersebut dapat di keluarkan dalam arti kata dilepaskan dari kawasan hutan lindung. Hal tersebut merupakan wewenang panitia tapal batas Kabupaten Kubu Raya termasuk Bupati Kubu Raya, Kepala Dinas Kehutanan Kubu Raya,



SKPD



terkait,



Camat



setempat



dan



Kades



setempat,"



jelasnya.



Sutopo menuturkan identifikasi dan inventarisasi perlu dilakukan mengingat ketika hal tersebut telah terkoordinir dengan baik maka kawasan hutan lindung dapat ditetapkan secara mantap, tetap dan mempunyai dasar hukum yang jelas agar tidak ada ketimpangan penggunaan kawasan yang terjadi pada areal hutan lindung tersebut.***2***



Pewarta : Rendra Oxtora Editor : Nurul Hayat COPYRIGHT © ANTARA



B. KONFLIK WILAYAH DESA DABONG DENGAN KAWASAN HUTAN Desa Dabung yang sebelumnya bernama Benua Dabong, berdiri pada tahun 1791, Desa Dabong didirikan oleh Juragan Muhammad Shaleh yang melakukan perniagaan dan penyebaran Agama Islam. Desa Dabong terletak di wilayah Kecamatan Kubu, 9



Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, yang terdiri dari 3 dusun yaitu, Dusun Mekar Jaya, Dusun Selamat Jaya, dan Dusun Meriam Jaya yang luasanya mencapai 9.508,46 Ha, Topografi desa berbentuk bulat/slope datar dengan ketinggian 0 – 2 m dpl yang termaksud dataran rendah. Selain wilayahnya yang berupa pesisir yang berbatasan dengan laut cina selatan, sebagian besar wilayah desa Dabong merupakan tanah rawa asin, sehingga areal tanaman pangan sangat sempit. Pada Tahun 2000, pemerintah melakukan penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Propinsi Kalimantan Barat, seluas 9.178.760 Ha, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 259/KPTS-II/2000, penujukan tersebut berakibat pada sebagian wilayah pemukiman dan tambak yang diusahakan warga desa Dabong menjadi bagian dari Kawasan Hutan Lindung Mangrove yang luasannya mecapai 3.941,42 Ha. Dan penujukan tersebut yang akhirnya menjadi dasar sengketa yang melibatkan warga desa dengan pemerintah khususnya KLHK. Selain berimplikasi atas hilangnya hak dan akses warga Dabong atas wilayah yang dirujuk sebagai Hutan Lindung Mangrove, warga Dabong juga harus berhadapan dengan konsekuensi hukum. Sekitar 50 an warga desa yang telah dan masih mengusahakan/memanfaatkan serta tinggal di wilayah yang ditunjuk sebagai Hutan Lindung mangrove dikriminalisasi dengan dijadikan tersangka serta berstatus tahanan luar oleh kepolisian karena dianggap melakukan pendudukan dan pemanfaatan secara tidak sah (ilegal) di kawasan hutan lindung mangrove. Upaya hukum dilakukan oleh warga Dabong untuk melepaskan wilayah pemukiman dan tambak yang ada di desa untuk dikeluarkan dari kawasan Hutang Lindung Manggrove yang dikuasai oleh pemerintah melalui KLHK, salah satu upaya yang dilakukan adalah mendesak tim penyusun RTRW Kubu Raya, dalam beberapa kesempatan Tim RTRW yang menyatakan telah melepaskan pemukiman dan tambak desa dari kawasan Hutan Lindung Mangrove, namun SK MENHUT : 733/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Kalimantan Barat, menyebutkan bahwa kawasan Dabong masih termaksud dalam kawasan hutan lindung. Pada Tanggal 31 Januari 2017, warga desa Dabong bekerjasama dengan Tim SAMPAN Kalimantan, mengajukan Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa pada kawasan Hutan Lindung di wilayah Desa Dabong ke Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan dan pada tanggal 10 Juli 2017, keluarlah SK No. 3820/MenlhkPSKL/KPS/PSL.0/7/2017 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelola Hutan Desa Dabong Seluas ± 2.869 Hektar Pada Kawasan Hutan 10



Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat



dan



keputusan



tersebut



juga



terlampir



SK.3820/Menlhk-



PSKL/PKPS/PSL.0/7?2017 yang berisi tentang susunan pengurus pengelola Hutan Desa Dabung. Sumber Profil Desa Peduli Gambut Desa Dabong, Badan Restorasi Gambut (BRG) https://www.tanahkita.id/data/konflik/detil/NTFUZmlldG5HeHc



C. Permasalahan Penguasaan Lahan di Desa Dabong (Badan Restorasi Gambut) Sengketa penguasaan lahan lainnya yang pernah terjadi di Desa Dabong adalah sengketa antara warga desa dan pemerintah (KLHK) sebagai akibat dari penunjukan kawasan hutan lindung mangrove di wilayah Desa Dabong, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Dan Perkebunan Nomor 259/KPTS-II/2000 Tahun 2000 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan Barat Seluas 9.178.760 (Sembilan Juta Seratus Tujuh Puluh Delapan Ribu Tujuh Ratus Enam Puluh) hektar. Akibatnya, sebagian wilayah pemukiman dan tambak mereka dimasukkan dalam Kawasan Hutan lindung. Padahal warga Desa Dabong merasa bahwa mereka sudah tinggal dan memanfaatkan Sumber Daya Alam di wilayah desa mereka yang pada saat itu bernama Benua Dabong lebih dari dua abad yang lalu bahkan sebelum Kerajaan Kubu dan Pemerintah Republik Indonesia lahir. Konsekuensi dari dimasukkannya pemukiman dan tambak mereka ke dalam Kawasan Hutan Lindung adalah pemilik tambak-tambak udang dan ikan yang lokasi tambaknya di dalam peta kawasan hutan lindung, dijadikan tersangka, bahkan pernah terjadi penangkapan dan penetapan status tahanan luar terhadap sekitar 50-an masyarakat Dusun Mekar Jaya, Desa Dabong karena dianggap melakukan pendudukan dan pemanfaatan secara tidak sah di kawasan hutan lindung mangrove. Warga Desa Dabong berjuang untuk mengeluarkan pemukiman dan tambak warga yang dimasukkan dalam kawasan hutan lindung. Kesempatan untuk mengeluarkannya melalui penyusunan RTRWK Kubu Raya. Dalam pemaparan beberapa kali tim penyusunan RTRW Kabupaten Kubu Raya menyatakan bahwa permukiman warga telah dikeluarkan dari kawasan lindung. Namun, setelah keluar SK Penunjukan kawasan hutan SK MENHUT : 733/Menhut-II/2014, kawasan Dabong masih masuk dalam kawasan hutan lindung. Kemudian Desa Dabong bekerja sama dengan SAMPAN melakukan pengajuan usulan Hutan Desa di Desa Dabong. Wilayah yang diusulkan menjadi hutan desa adalah pada 11



kawasan hutan lindung. Tim SAMPAN Kalimantan mendampingi 5 desa dari Kabupaten Kapuas Hulu dan 3 desa Kabupaten Kubu Raya termasuk Desa Dabong ke Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan tanggal 31 Januari 2017 untuk menyerahkan proposal hutan desa. Pada tanggal 28 April 2017, akhirnya keluarlah SK No. 3820/MenlhkPSKL/KPS/PSL.0/7/2017 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelolan Hutan Desa Dabong Seluas ± 2.869 Hektar Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Dengan adanya izin Hak Pengelolaan Hutan Desa/HPHD ini, diharapkan konflik antara warga desa dengan KLHK atas kawasan hutan lindung bisa terselesaikan (Sampan Kalimantan, 2017). 2.3. Tinjauan Kebijakan A. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN 



Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.







Penggunaan kawasan hutan bertujuan untuk mengatur penggunaan sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan.







Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat dilakukan di dalam: a. kawasan hutan produksi; dan/atau b. kawasan hutan lindung.







Dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: 1. turunnya permukaan tanah; 2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah.







Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.



12



B. Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016 - 2036 



Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, meliputi kawasan hutan lindung, kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana alam.







Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, terdiri atas: a. kawasan hutan lindung Ambawang Kecil di Kecamatan Kubu; b. kawasan hutan lindung Gunung Ambawang Pemancing di Kecamatan Kubu; c. kawasan hutan lindung Gunung Teluk Air di Kecamatan Batu Ampar; d. kawasan hutan lindung Gunung Terjun Sungai Radak di Kecamatan Kubu; e. kawasan hutan lindung Sungai Haur-Munggulinang di Kecamatan Batu Ampar; f. kawasan hutan lindung Pulau Berembang di Kecamatan Kubu; g. kawasan hutan lindung Pulau Beruang Simpang Cabai di Kecamatan Kubu; h. kawasan hutan lindung Betingan Tengah di Kecamatan Sungai Kakap; i.



kawasan hutan lindung Pulau Karunia di Kecamatan Sungai Kakap;



j.



kawasan hutan lindung Pulau Limbung di Kecamatan Sungai Raya;



k. kawasan hutan lindung Pulau Nyamuk-Parit Kelabau di Kecamatan Sungai Kakap; l.



kawasan hutan lindung Pulau Panjang I dan Pulau Panjang II di Kecamatan Batu Ampar dan Kecamatan Kubu



m. kawasan hutan lindung Pulau Panjang III dan Pulau Panjang IV di Kecamatan Batu Ampar; n. kawasan hutan lindung Pulau Perling di Kecamatan Kubu; o. kawasan hutan lindung Pulau Selat Tikus di Kecamatan Batu Ampar; p. kawasan hutan lindung Pulau Sepauk-Pulau Perupuk di Kecamatan Sungai Kakap; q. kawasan hutan lindung Padang Tikar di Kecamatan Batu Ampar; r. kawasan hutan lindung Padu Empat – Sungai Kerawang di Kecamatan Batu Ampar; s. kawasan hutan lindung Sungai Ambawang di Kecamatan Sungai Raya; t. kawasan hutan lindung Sungai Bumbun di Kecamatan Batu Ampar; 13



u. kawasan hutan lindung bakau Sungai Dampang-Teluk Pakedai di Kecamatan Teluk Pakedai; v. kawasan hutan lindung Sungai Jenu di Kecamatan Batu Ampar; w. kawasan hutan lindung Sungai Lebak-Sungai Kerawang di Kecamatan Batu Ampar; x. kawasan hutan lindung Sungai Mendawak di Kecamatan Terentang; y. kawasan hutan lindung Pulau Pinang di Kecamatan Sungai Raya; z. kawasan hutan lindung Pinang Luar di Kecamatan Kubu; aa. kawasan hutan lindung Sungai Radak–Sungai Jenu di Kecamatan Batu Ampar; bb. kawasan hutan lindung Sungai Tebedak di Kecamatan Sungai Raya; cc. kawasan hutan lindung bakau Tanjung Prapat Muda di Kecamatan Batu Ampar; dd. kawasan hutan lindung Sungai Radak di Kecamatan Batu Ampar; dan ee. kawasan hutan lindung Gunung Padu Empat – Ence Manan di Kecamatan Batu Ampar. o Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan lindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. o Berdasarkan ketentuan umum zonasi Kriteria kawasan hutan lindung: 



Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;







Kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau







Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut.



C. Peraturan Presiden nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Lampiran) Arah kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove ditetapkan sebagai berikut: 1. Pengendalian pemanfaatan dan konversi ekosistem mangrove dengan prinsip kelestarian (no net loss). 14



2. Peningkatan fungsi ekosistem mangrove dalam perlindungan keanekaragaman hayati, perlindungan garis pantai dan sumberdaya pesisir serta peningkatan produk yang dihasilkan sebagai sumber pendapatan bagi negara dan masyarakat. 3. Pengelolaan ekosistem mangrove sebagai bagian integral dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) terpadu. 4. Komitmen politik dan dukungan kuat pemerintah, pemerintah daerah, dan para pihak. 5. Koordinasi dan kerjasama antar instansi dan para pihak terkait secara vertikal dan horizontal untuk menjamin terlaksananya kebijakan strategi nasional pengelolaan ekosistem mangrove. 6. Pengelolaan ekosistem mangrove berbasis masyarakat untuk meningkatkan dan melestarikan nilai penting ekologis, ekonomi dan sosial budaya, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. 7. Peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kewenangan dan kewajiban pengelolaan ekosistem mangrove sesuai dengan kondisi dan aspirasi lokal. 8. Pengembangan riset, iptek dan sistem informasi yang diperlukan untuk memperkuat pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan. 9. Pengelolaan ekosistem mangrove melalui pola kemitraan antara pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat dengan dukungan lembaga dan masyarakat internasional, sebagai bagian dari upaya mewujudkan komitmen lingkungan global. D. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 Pasal 4 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan: a. melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b. menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 15



c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan PulauPulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. E. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pasal 3 (1) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diberikan di dalam: a. Kawasan Hutan Produksi; dan/atau b. Kawasan Hutan Lindung. (2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pasal 4 (1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatankehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. (2) Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. religi, meliputi tempat ibadah, tempat pemakaman non komersial dan wisata rohani; b. pertambangan meliputi pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas bumi termasuk sarana, prasarana, dan smelter; c. ketenagalistrikan meliputi instalasi pembangkit, transmisi, distribusi listrik dan gardu induk serta teknologi energi baru dan terbarukan; d. panas bumi; e. telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi serta stasiun bumi pengamatan keantariksaan; f. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; g. sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; 16



h. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; i. fasilitas umum; j. industri selain industri primer hasil hutan; k. pertahanan dan keamanan, antara lain sarana dan prasarana latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai, pos lintas batas negara (PLBN), jalan inspeksi; l. prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat, \ karantina dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika; m. jalur evakuasi bencana alam, penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya yang bersifat sementara; n. pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan; o. pertanian tertentu dalam rangka ketahanan energi; p. pembangunan bandar udara dan pelabuhan; atau q. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. (3) Sarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g antara lain pembangunan jalan, kanal, pelabuhan atau sejenisnya untuk keperluan pengangkutan hasil produksi perkebunan, pertanian, perikanan atau lainnya. (4) Bandar udara dan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf p, hanya pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) F. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman. Pasal 1 3. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa Kawasan Perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau Lingkungan Hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. 5. Permukiman adalah bagian dari Lingkungan Hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan yang mempunyai Prasarana, Sarana, Utilitas Umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di Kawasan Perkotaan atau Kawasan Perdesaan.



17



Pasal 4 (1) Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman merupakan satu kesatuan sistem yang dilaksanakan secara terkoordinasi, terpadu dan berkelanjutan. (2) Penyelenggaraan Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan



prinsip



penyelenggaraan



kawasan



Permukiman



sebagai



dasar



penyelenggaraan Perumahan. (3) Prinsip penyelenggaraan kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan perwujudan kegiatan pembangunan peruntukan Perumahan di kawasan Permukiman sebagaimana yang dituangkan di dalam rencana tata ruang yang mengutamakan keterpaduan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum kawasan sebagai pengendalian dan pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pasal 47 (1) Arahan pengembangan kawasan Permukiman meliputi: a. hubungan antar kawasan fungsional sebagai bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung; b. keterkaitan Lingkungan Hunian perkotaan dengan Lingkungan Hunian perdesaan; c. keterkaitan antara pengembangan Lingkungan Hunian perkotaan dan pengembangan Kawasan Perkotaan; d. keterkaitan antara pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan dan pengembangan Kawasan Perdesaan; e. keserasian tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup; f. keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan Setiap Orang; dan g. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan kawasan Permukiman. (2) Arahan pengembangan kawasan Permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuandalam mewujudkan: a. hubungan antara pengembangan Perumahan sebagai bagian dari kawasan Permukiman; dan b. kemudahan penyediaan pembangunan Perumahan sebagai bagian dari kawasan Permukiman. Pasal 51 (1)



Keterkaitan antara



pengembangan Lingkungan Hunian



perdesaan dan



pengembangan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf ddilakukan untuk mewujudkan pengembangan Lingkungan Hunian 18



perdesaan yang sesuai dengan rencana, kebijakan dan strategi pengembangan Kawasan Perdesaan yang telah ditetapkan. (2)



Keterkaitan antara



pengembangan Lingkungan Hunian



perdesaan dan



pengembangan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk: a. mengendalikan Lingkungan Hunian dalam Kawasan Perdesaan sesuai dengan Peraturan Zonasi dalam rencana tata ruang Kawasan Perdesaan agar tidakmengubah fungsi kawasan lainnya melalui; dan b. mengembangkan Lingkungan Hunian dalam Kawasan Perdesaan sebagai pendukung kegiatan pemanfaatan sumber daya pada kawasan budidaya lain secara efektif dan efisien sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan. (3) Pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya mengembangkan Lingkungan Hunian sebagai bagian dari Kawasan Perdesaan yang mendukung kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam. (4) Pengembangan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya mengembangkan Kawasan Perdesaan yang: a. menjadi bagian wilayah kabupaten; atau b. mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota pada satu atau lebih wilayah provinsi. (5) Keterkaitan pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan dengan pengembangan Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan: a. perencanaan Lingkungan Hunian perdesaan yang sesuai dengan tujuan, kebijakan dan strategi rencana tata ruang Kawasan Perdesaan; b. perencanaan Lingkungan Hunian perdesaan yang mendukung sistem pusat kegiatan dan sistem jaringan Prasarana Kawasan Perdesaan; c. perencanaan Lingkungan Hunian perdesaan yang sesuai dengan pola ruang kawasan budi daya di Kawasan Perdesaan; d. pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan yang sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang Kawasan Perdesaan berupa indikasi program utama yang bersifat interdependen antardesa; dan e. pengendalian pengembangan Lingkungan Hunian perdesaan sesuai ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Perdesaan. 19



G. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota Paragraf 2: Penyusunan Rencana Pasal 9 (1) Penyusunan rencana dilakukan melalui tahapan kegiatan: a. pendataan; b. analisis; dan c. perumusan. (2) Penyusunan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan masyarakat antara lain melalui: a. pengisian kuesioner; b. wawancara; c. media informasi; dan/atau d. kegiatan forum-forum diskusi dan konsultasi publik. Pasal 10 (1) Pendataan dilaksanakan untuk pengumpulan: a. data primer; dan b. data sekunder. (2) Data primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya meliputi: a. sebaran perumahan dan permukiman; b. sebaran perumahan kumuh dan permukiman kumuh; c. ketersediaan dan kondisi prasarana, sarana dan utilitas umum; d. tipologi perumahan dan permukiman; e. budaya bermukim masyarakat; dan f. kualitas lingkungan pada perumahan dan permukiman. (3) Data sekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sekurangkurangnya meliputi: a. data dari RPJP dan RPJM Daerah Provinsi yang terdiri dari: 1. visi dan misi pembangunan daerah; 2. arah kebijakan dan strategi pembangunan daerah; 3. tujuan dan sasaran pembangunan daerah; 4. prioritas daerah; dan 20



5.program pembangunan daerah bidang perumahan dan kawasan permukiman. b. data dari RTRW Daerah Provinsi, meliputi: 1. arahan kebijakan pemanfaatan ruang kawasan permukiman; dan 2. rencana struktur dan pola ruang. c. data dan informasi tentang kebijakan pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman di tiap daerah kabupaten/kota; d. data izin lokasi pemanfaatan tanah; e. data dan informasi perumahan dan kawasan permukiman di tiap daerah kabupaten/kota yang berada dalam wilayah provinsi, sekurang-kurangnya meliputi: 1. data kependudukan tiap kecamatan; 2. data kondisi perumahan dan permukiman di daerah kabupaten/kota yang berbatasan; 3. data dan informasi tentang rencana pembangunan terkait pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman lintas daerah kabupaten/kota yang berbatasan, pada kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota; 4. data tentang prasarana, sarana, dan utilitas umum lintas daerah kabupaten/kota yang berbatasan; 5. data perizinan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang telah diterbitkan; 6. data daya dukung wilayah; 7. data tentang kemampuan keuangan pembangunan daerah; 8. data tentang pendanaan dan pembiayaan perumahan dan kawasan permukiman; dan 9. data dan informasi tentang kelembagaan terkait perumahan dan kawasan permukiman di daerah provinsi. f. peta-peta, meliputi: 1. peta dalam dokumen RTRW meliputi: a) peta batas administrasi; b) peta penggunaan lahan eksisting; c) peta informasi kebencanaan dan rawan bencana; d) peta kondisi tanah antara lain peta geologi, hidrologi, topografi; e) peta-peta identifikasi potensi sumberdaya alam; dan 21



f) peta rencana struktur dan pola ruang; 2. peta daerah kabupaten/kota yang berbatasan dengan skala sekurangkurangnya 1: 25.000 sampai dengan 1 : 50.000; 3. citra satelit untuk memperbaharui (update) peta dasar dan membuat peta tutupan lahan; dan 4. peta status perizinan lokasi pemanfaatan tanah. (4) Sumber data yang diinventarisasi disepakati oleh Pokja PKP sebelum dilakukan analisis data. (5) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menjadi profil Daerah Provinsi bidang perumahan dan kawasan permukiman. Pasal 11 Analisis data terdiri dari: a. analisis implikasi kebijakan pembangunan dan kebijakan tata ruang nasional dan daerah provinsi terhadap pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman; b. analisis implikasi kebijakan pembangunan dan kebijakan tata ruang daerah kabupaten/kota terhadap pembangunan dan pengembangan perumahan dan kawasan permukiman; c. analisis sistem pusat-pusat pelayanan yang didasarkan pada sebaran daerah fungsional perkotaan dan perdesaan yang ada di wilayah perencanaan; d. analisis karakteristik sosial kependudukan sekurang-kurangnya meliputi: 1. pola migrasi, pola pergerakan penduduk; 2. proporsi penduduk perkotaan dan perdesaan pada awal tahun perencanaan dan proyeksi 20 (dua puluh) tahun ke depan; 3. struktur penduduk berdasarkan mata pencaharian, usia produktif, tingkat pendidikan, sex ratio; dan 4. sebaran kepadatan penduduk pada awal tahun perencanaan dan proyeksi 20 (dua puluh) tahun ke depan; e. analisis karakteristik perumahan dan kawasan permukiman sekurangkurangnya meliputi: 1. identifikasi permasalahan perumahan dan kawasan permukiman di daerah; 2. jumlah rumah dan kondisinya; 3. jumlah kekurangan rumah (backlog) pada awal tahun perencanaan dan proyeksi 20 (dua puluh) tahun ke depan; 22



4. lokasi perumahan pada kawasan fungsi lain yang perlu penanganan khusus; 5. lokasi perumahan kumuh dan permukiman kumuh yang perlu dilakukan pemugaran, peremajaan atau pemukiman kembali; dan 6. lokasi perumahan dan permukiman yang memerlukan peningkatan kualitas. f. analisis arah pengembangan perumahan dan kawasan permukiman di daerah kabupaten/kota yang berbatasan terhadap rencana pengembangan wilayah kabupaten/kota secara keseluruhan; g. analisis kebutuhan prasarana, sarana dan utilitas umum wilayah provinsi, dan lintas daerah kabupaten/kota yang berbatasan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten/kota; h. analisis arah pengembangan perumahan dan kawasan permukiman, dukungan potensi wilayah, serta kemampuan penyediaan rumah dan jaringan prasarana, sarana, utilitas umum; i. analisis kesesuaian terhadap rencana investasi prasarana, sarana, dan jaringan utilitas regional atau rencana induk sistem; j. analisis besarnya permintaan masyarakat terhadap rumah; k. analisis kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman dengan memperhatikan kebijakan hunian berimbang; l. analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sertaoptimasi pemanfaatan ruang; m. analisis kemampuan keuangan daerah, sekurang-kurangnya meliputi: sumber penerimaan daerah, alokasi pendanaan dan pembiayaan pembangunan, dan prediksi peningkatan kemampuan keuangan daerah; dan n. analisis kebutuhan kelembagaan perumahan dan kawasan permukiman di daerah Provinsi.



23



2.4. Kajian Literatur Dinamika Konflik Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Lindung: Kasus di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya



Kawasan hutan di Provinsi Kalimantan Barat pertama kali ditetapkan menjadi hutan melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 757/Kpts/Um/10/1982 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penetapan kawasan hutan melalui TGHK dikuatkan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 259/KptsII/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Provinsi Kalimantan Barat atau yang dalam penelitian ini disebut dengan SK 259/2000. Kawasan hutan di Kalimantan Barat berdasarkan SK 259/2000 terbagi menjadi tiga jenis. Pertama, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam (darat dan perairan) seluas 1.645.580 hektar atau 17,91%. Kedua, hutan lindung seluas 2.307.045 hektar atau 25,13%. Ketiga, hutan produksi seluas 5.226.135 hektar atau 56,96%. SK 259/2000 inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pemerintah daerah melalui Dinas Kehutanan mengelola kawasan hutan lindung seperti yang terdapat di Desa Dabong. Hutan lindung di Kalimantan Barat terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu hutan lindung, hutan lindung gambut, dan hutan lindung mangrove. Ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Dabong merupakan salah satu kawasan hutan lindung yang diatur dalam SK 259/2000 tersebut.



Kelompok hutan lindung yang dalam SK 259/2000 diberi nama



Kelompok Hutan Lindung Sungai Seruat-Pulau Tiga. Kementerian Kehutanan telah menetapkan ekosistem mangrove di Desa Dabong menjadi kawasan hutan lindung sejak tahun 1982 tetapi di lapangan terdapat fakta lain. Masyarakat dan pemda memanfaatan ruang dalam kawasan hutan lindung untuk kepentingan ekonomi dan bertentangan dengan peraturan Kementerian Kehutanan. Pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan lindung tersebut sudah berlangsung cukup lama seperti permukiman penduduk. Permukiman tersebut telah ada sebelum Kementerian Kehutanan menetapkan kawasan konflik menjadi hutan lindung.



Penetapan menjadi kawasan hutan



lindung diprotes keras oleh permukim yang sudah menempati secara turun temurun di wilayah konflik.



24



Ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove terjadi pada masyarakat yang tinggal di Desa Dabong. Masyarakat mengubah sebagian ekosistem mangrove menjadi kawasan budi daya. Kawasan budi daya tersebut antara lain permukiman penduduk di Kampung Dabong, tambak milik masyarakat dan lahan pertanian milik masyarakat. Konflik di Desa Dabong melibatkan dua pihak yang saling berseberangan yaitu unsur masyarakat sebagai pengambil manfaat dan unsur pemerintah sebagai pengelola. Pemerintah Pusat memandang bahwa keberadaan kawasan budi daya di dalam kawasan hutan lindung adalah menyalahi aturan oleh karena itu masyarakat yang memiliki aktivitas di dalam kawasan HL dianggap sebagai perambahan hutan. Terdapat tiga alasan penelitian tersebut dilakukan. Pertama, Kementerian Kehutanan telah menunjuk ekosistem mangrove menjadi kawasan hutan lindung tetapi kenyataannya terdapat pemanfaatan yang tidak sesuai peruntukannya. Kedua, pemanfaatan ruang di dalam kawasan hutan lindung tersebut sudah berlangsung sejak 1991 dan sampai sekarang tetapi belum ada penyelesaiannya. Ketiga, stakeholder yang terlibat dalam konflik tersebut beragam kepentingan baik dari masyarakat maupun instansi pemerintah. Berbagai macam kewenangan terlibat dalam konflik seperti otonomi daerah, tata ruang, agraria dan kehutanan. Konflik yang semula bersifat ruang berupa pemanfaatan ruang dalam kawasan hutan lindung yang tidak semestinya seperti konversi menjadi permukiman, tambak dan lahan pertanian kemudian berubah menjadi konflik non ruang karena telah melibatkan stakeholder dalam penyelesaiannya. Konflik tumpang tindih zona hutan lindung dan permukiman dalam pemanfaatan ruang melibatkan tiga aspek yaitu :  Space (kawasan hutan lindung)  Actor (stakeholder baik pemerintah maupun masyarakat)  Activity (kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan tata pemerintah) Prioritas penyelesaian konflik oleh Tim IP4T (Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) yang hanya difokuskan pada Zona I, II, III dan IV tidak mengakhiri konflik di Desa Dabong secara permanen karena konflik di Zona V dan VI berpotensi menjadi konflik destruktif di kemudian hari.



Tim IP4T yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Kubu Raya



seharusnya menyelesaikan konflik ruang di semua zona konflik. Terkait 25



penegakan hukum terhadap masyarakat maka perlu dikaji lagi oleh pemerintah dan aparat penegak hukum. Diketahui bahwa Pengukuhan kawasan hutan melalui prosedur diatur dalam peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 44/Menhut II/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan. Pasal 2 menjelaskan bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan melalui tiga tahapan. 



Pertama, penunjukan kawasan hutan.







Kedua, penataan batas kawasan hutan.







Ketiga, penetapan kawasan hutan. Ketiga tahapan tersebut belum dilaksanakan secara keseluruhan dalam



pengukuhan kawasan hutan lindung Sungai Seruat-Pulau Tiga di Desa Dabong Rekomendasi penyelesaian konflik menjadi dua kelompok dan lima model. Dua kelompok tersebut adalah kelompok konflik di zona tambak dan zona non tambak (permukiman dan pertanian). Hasil rekomendasi penyelesaian secara umum dibagi menjadi lima model. Model pertama, membentuk Tim IP4T, merevisi tata ruang dan sertifikasi tanah oleh BPN. Model kedua, membentuk Tim IP4T (Iventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah) , tidak merevisi tata ruang, mengelola tambak dengan silvofishery. Model ketiga, membentuk Tim IP4T, tidak merevisi tata ruang, menutup aktivitas tambak. Model keempat, membentuk Tim IP4T, merevisi tata ruang, sertifikasi tanah oleh BPN. Model kelima, membentuk Tim IP4T, tidak merevisi tata ruang dan relokasi permukiman/pertanian. Perlu dilakukan Focus Group Discussion (FGD) sebelum memutuskan penyelesaian konflik di Desa Dabong.



Supriyono. 2016. Dinamika Konflik Pemanfaatan Ruang di Kawasan Hutan Lindung: Kasus di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya. Universitas Gadjah Mada. Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/ pada tanggal 17 September 2019.



26



Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat



Seiring



dengan



pertambahan



penduduk,



pertumbuhan



ekonomi



dan



industrialisasi maka tekanan terhadap sumber daya alam menjadi semakin besar, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumber daya alam juga semakin tinggi. Ancaman tidak hanya muncul terhadap kawasan-kawasan yang dianggap sebagai kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan eksploitasi saja, akan tetapi juga tertuju kepada kawasan-kawasan yang ditetapkan dan ditunjuk sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi. Banyak kritik yang muncul terhadap keseriusan pemerintah selama ini dalam mengelola kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran, sementara upaya perlindungan dan konservasi bukanlah merupakan prioritas yang setara. Oleh karenanya ada kesan bahwa kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi seolah aturan pelengkap, dan bukan memainkan peran sebagaimana misi sebenarnya. Melihat tingkat kerusakan yang terjadi dan aktivitas-aktivitas yang sangat berpotensi menjadi ancaman terhadap kawasan konservasi, serta persoalanpersoalan yang memunculkan inefisiensi pengelolaan, maka dilakukanlah kajiankajian. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Sebagaimana



diketahui



bahwa



sebenarnya



peraturan



perundang-undangan



merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih dahulu di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) , ataupun pernyataan pejabat negara. Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum 27



dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN kemudian dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun atau REPELITA. Namun kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan pembangunan pemerintah selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan masyarakat. Justru yang paling menonjol adalah penerjemahan Hak Menguasai Negara (HMN) dimana sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak oleh Negara. Tanahtanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda seakan menjadi hapus apabila Negara menghendaki. Hal ini dapat dilihat di dalam UU Pokok Agraria (1960), UU Pokok Kehutanan, UU Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa Tanah adat dapat diakui sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, namun pengakuan tersebut hampir tidak pernah terjadi. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka.



Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan. Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia.



28



2.5. Identifikasi Kebijakan tentang Hutan Lindung dan Permukiman di Desa Dabong Analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi kebijakan mengenai hutan lindung dan permukiman di Desa Dabong, yaitu analisis deskriptif kualitatif. Tabel 1. Analisis Kebijakan Terkait



Aspek



Peraturan Pusat



Peraturan Daerah



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN.



PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUBU RAYA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN KUBU RAYA TAHUN 2016 – 2036.



Kriteria



Permukiman adalah bagian dari Lingkungan Hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan Perumahan yang mempunyai Prasarana, Sarana, Utilitas Umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di Kawasan Perkotaan atau Kawasan Perdesaan. Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa Kawasan Perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau Lingkungan Hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.



Ketentuan



Kawasan peruntukan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tersebar di seluruh kecamatan di wilayah kabupaten yang tidak ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.



Ditetapkan dengan kriteria: - berada diluar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana; - memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; dan/atau memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung. Kawasan peruntukan permukiman perkotaan merupakan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang ada di kawasan perkotaan. Kawasan permukiman pedesaan merupakan kawasan permukiman pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Ps.1/9 UUPR). Kawasan permukiman pedesaan yang berada dalam kawasan lindung dimana jumlah penduduknya kurang dari 50 KK diprioritaskan untuk dipindahkan dengan penyelenggaraannya dilakukan secara terpadu dengan program transmigrasi. Sedangkan bila penduduknya lebih dari 50 KK, maka kawasan pedesaan tersebut perlu segera ditata batas dalam masa rencana.



Analisis



Pada Perda Kabupaten Kubu Raya telah menjelaskan lebih rinci mengenai kriteria pada kawasan peruntukan permukiman perkotaan dan kawasan peruntukan permukiman pedesaan. Diketahui bahwa Desa Dabong merupakan kawasan pedesaan yang memiliki kegiatan utama.



Dalam pemaparan beberapa kali tim penyusunan RTRW Kabupaten Kubu Raya menyatakan bahwa permukiman warga telah dikeluarkan dari kawasan lindung. Namun, setelah keluar SK Penunjukan kawasan hutan SK MENHUT : 733/Menhut-II/2014, kawasan Dabong masih masuk dalam kawasan hutan lindung. Namun, Pada tanggal



29



28 April 2017, akhirnya keluarlah SK No. 3820/MenlhkPSKL/KPS/PSL.0/7/20 17 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa Kepada Lembaga Pengelola Hutan Desa Dabong Seluas ± 2.869 Hektar Pada Kawasan Hutan Lindung di Desa Dabong Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat. Tercantum didalam Perda Kabupaten Kubu Raya bahwa terdapat beberapa pemanfaatan salah satunya yang tertera di tabel peraturan daerah.



-



Pengembangan kawasan permukiman perkotaan yang terpadu. Pengembangan kawasan permukiman perdesaan



PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN



PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUBU RAYA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN KUBU RAYA TAHUN 2016 – 2036.



Kriteria



Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.



Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih. Kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen). Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut.



Di RTRW Kabupaten Kubu Raya sudah menjabarkan kriteria hutan lindung seperti fungsi hutan lindung yaitu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya. Di Desa Dabong wilayah yang menjadi kawasan hutan lindung adalah hutan mangrove dimana hutan mangrove memberikan perlindungan kepada kawasan pantai agar dapat meminimalisir abrasi.



Ketentuan



Kegiatan usaha pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana



Ketentuan Umum Kegiatan a. pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan



Sudah ada hubungan dari peraturan pemerintah dengan



Pemanfaatan



30



dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan : a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya; b. pengolahan tanah terbatas; c. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; d. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau e. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.



Pemanfaatan



Pemanfaatan kawasan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usaha : a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa liar; f. rehabilitasi satwa; atau g. budidaya hijauan makanan ternak.



penyelidikan serta wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi, dan penurunan keanekaragaman hayati spesifik lokal; c. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budi daya hanya diizinkan bagi penduduk sekitar kawasan hutan dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan; dan d. kegiatan penambangan boleh dilakukan dengan cara pinjampakai dan mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang kehutanan.



RTRW Kabupaten Kubu Raya. Di Desa Dabong, pada kawasan hutan lindung terdapat permukiman dan hutan mangrove dengan di dominasi oleh hutan mangrove dan perkembangan di hutan tersebut sudah di batasi oleh pemerintah.



Di dalam RTRW Kabupaten Kubu Raya tidak menjabarkan tentang pemanfaatan hutan lindung di Kabupaten Kubu Raya.



2.6. Perumusan Alternatif Penyelesaian 2.6.1. Judicial Review Dalam Judicial Review memuat temuan kelemahan-kelemahan peraturan terkait dengan tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong. Setelah di telaah, beberapa kelemahan yang kami temukan diantaranya : A. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Dikatakan bahwa : 



Dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: 1. turunnya permukaan tanah; 31



2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah. Dalam kebijakan ini tidak tertulis berapa persen atau berapa luas penggunaan lahan kawasan hutan lindung yang dapat dan boleh dilakukannya penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan pasti, sehingga dapat menyebabkan terjadinya penambangan tak terkendali dan berpotensi merusak lingkungan hutan lindung. B. Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016 – 2036 Pada Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a tertulis kawasan-kawasan hutan lindung yang terdapat pada Kabupaten Kubu Raya secara urut, namun tidak tercantum Desa Dabong sebagai salah satu kawasan hutan lindung di Kubu Raya, yang mana berdasarkan penggunaan lahan pada Desa Dabong dapat dikatagorikan bahwa Desa Dabong merupakan salah satu kawasan hutan lindung di Kecamatan Kubu Kabupaten Kubu Raya. Seperti hutan mangrove yang terdapat di Desa Dabong yang berdasarkan peraturan mengenai kehutanan mengatakan bahwa hutan mangrove merupakan termasuk hutan lindung. C. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan



Dan



Kawasan



Permukiman



Daerah



Provinsi



Dan



Daerah



Kabupaten/Kota Peraturan ini dirasa telah sesuai dan memuat hal-hal mengenai Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota. D. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Pada Pasal 1 (3) • Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa Kawasan Perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau Lingkungan Hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.



32



Perlu dinyatakan dengan jelas bahwa kegiatan permukiman tersebut tidak akan sejalan dengan keberadaan hutan lindung karena permukiman merupakan kawasan komersil yang tidak hanya ada perumahan namun juga kegiatan lainnya seperti peribadatan, perdagangan dan lain sebagainya. Perlu dinyatatakan dengan jelas bahwa keberadaan hutan lindung memang tidak sejalan dengan kegiatan permukiman.



E. Peraturan Presiden nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Lampiran) Pada Arah kebijakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove, tertulis bahwa: • Pengendalian pemanfaatan dan konversi ekosistem mangrove dengan prinsip kelestarian. Dirasa kurang optimal jika hanya dengan prinsip kelestarian sebaiknya ditambah dengan prinsip keberlanjutan, sehingga pengendalian pemanfaatan da konversi ekosistem mangrove tersebut tidak berhenti begitu saja. F. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 Peraturan ini dirasa telah sesuai dan memuat hal-hal mengenai Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota. G. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Pada pasal 4 tertulis kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang diperbolehkan untuk dapat dilakukan di kawasan hutan lindung secara rinci meliputi kegiatan pertambangan, jalan umum dan lain-lain, namun dalam peraturan ini juga tidak dicantumkan berapa persen atau berapa luas penggunaan lahan yang diperbolehkan guna kegiatan kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut. Ini dapat berdampak pada keberlanjutan keberadaan hutan lindung bila mana kegiatan kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan ini menjadi tak terkontrol.



33



Juga disebutkan salah satu kegiatan kepentingan di luar kegiatan kehutanan yaitu, fasilitas umum yang mana tak tertulis dengan jelas fasilitas umum apa yang sebenarnya diperbolehkan atau dapat dibangun pada kawasan hutan lindung.



2.6.2. Fatwa MA Dalam Fatwa MA, memuat temuan masalah-masalah yang tidak boleh terulang kembali terkait dengan tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong. Masalah masalah yang dapat ditemukan di Desa Dabong, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kuburaya yang berkaitan dengan hutan lindung ialah seperti adanya potensi hutan di Desa Dabong menyebabkan masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti kayu untuk membuat rumah sehingga masyarakat Desa Dabong tidak harus membeli kayu di luar. Tentu pengambilan kayu tidak dengan skala besar tetapi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Adanya kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya



mengakibatkan



terjadinya alih fungsi hutan rawa gambut yang menjadi pemukiman dan tambak yang telah dimasukkan dalam kawasan hutan lindung. Hal itu menyebabkan terjadi konflik antara masyarakat dengan negara, yang menyebabkan beberapa warga menjadi tersangka karena dianggap merambah kawasan hutan lindung tersebut, padahal mereka sudah tinggal disana bahkan sebelum Pemerintah Republik Indonesia lahir. Penetapan kawasan lindung membuat masyarakat lebih berhati-hati dalam memanfaatkan kayu di hutan. Adanya pemukiman yang diikuti dengan pembuatan drainase dalam yang mengubah ekosistem alami gambut tersebut menjadi lebih kering, sehingga menambah risiko terjadinya kebakaran pada setiap musim kemarau. Masalah-masalah yang terjadi pada hutan rawa gambut akan berdampak pada berkurangnya keanekaragaman hayati. Untuk itu, dalam pengesahan rencana tata ruang wilayah (RTRWK) Kabupaten Kubu Raya perlunya memperhatikan kondisi eksisting dan perlunya pendekatan yang lebih baik pada masarakat yang ada. Agar dalam pelaksanaan tata ruang. 2.6.3. Peraturan Perundang-Undangan Dalam PERPU memuat temuan baru (ide) terkait dengan peraturan-peraturan yang perlu ditambahkan atau diperbaiki. Beberapa peraturan yang sudah diperbaharui diantaranya :



34



A. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan 1. Perlindungan terhadap hutan lindung meliputi : a. Mencegah dan membatasi pembangunan dan pemanfaatan di kawasan hutan lindung; b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak pemerintah terhadapa pemanfaatan hutan lindung; c. Mengamankan areal hutan lindung yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; d. Mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap gangguan yang terjadi di areal hutan lindung; e. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada instansi kehutanan yang terdekat; dan f. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang sesuai dengan kebutuhan. 2. Pemanfaatan hutan lindung dan penggunaan kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan apabila telah memiliki izin dari pejabat yang berwenang. 3. Termasuk dalam kegiatan pemanfaatan hutan tanpa izin ialah : a. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan lindung di luar areal yang diberikan izin; b. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan lindung melebihi target volume yang diizinkan; c. pemegang izin melakukan penangkapan/pengumpulan flora fauna melebihi target/ quota yang telah ditetapkan; dan d. pemegang izin melakukan pemanfaatan hutan lindung dalam radius dari lokasi tertentu yang dilarang undang-undang. 4. Prinsip kelestarian hutan lindung yaitu meliputi a. Keberlanjutan untuk memperhatikan pemanfaatan dan pengendalian hutan lindung. 5. Peraturan tentang kegiatan kepentingan di luar kegiatan kehutanan yaitu fasilitas umum yang perlu dijabarkan apa saja yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun. B. Peraturan Daerah Kabupaten Kubu Raya Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016-2036 35



1. Mencantumkan Hutan Dabong termasuk kedalam hutan lindung di Kabupaten Kubu Raya; dan 2. Mencantumkan hutan mangrove yang ada di hutan Dabong menjadi kawasan hutan lindung. C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman 1. Perlu ada peraturan yang menyatakan bahwa kegiatan permukiman tidak sejalan dengan kegiatan kehutanan karena merupakan kegiatan komersil; dan 2. Kegiatan lainnya yang juga tidak sejalan dengan hutan lindung juga tidak boleh terlaksana di kawasan hutan lindung. D. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Lampiran) Menambahkan peraturan yang menjabarkan tentang prinsip keberlanjutan, yang mana memperhatikan sebagai berikut. a. Pemanfaatan ekosistem hutan mangrove; dan b. Pengendalian ekosistem hutan mangrove. E. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 1. Menambahkan peraturan yang menjabarkan tentang fasilitas umum yang boleh dibangun di kawasan hutan lindung; dan 2. Menambahkan peraturan yang menjabarkan tentang fasilitas umum yang tidak boleh dibangun di kawasan hutan lindung. 2.6.4. Adendum Ketentuan Peralihan Adendum Ketentuan Peralihan memuat keputusan akhir daripada kebijakan terkait tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong. Setelah meninjau peraturan terkait dan permasalahan yang masih sering terulang di Desa Dabong, beberapa keputusan yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi hal tersebut. Beberapa diantaranya adalah : a. Merevisi peraturan terkait dengan peraturan yang termuat dalam poin 2.6.3. Peraturan Perundang-Undangan; b. Memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan lahan, khususnya hutan lindung yang terdapat di Desa Dabong; 36



c. Memperketat perizinan pembangunan permukiman, agar tidak mengganggu kawasan lindung yang ada dan meminimalisir dampak lingkungan yang ada; d. Melaksanakan peninjauan kawasan lebih lanjut ketika akan membuat peraturan, karena aturan yang ada seyogyanya tetap mampu menyesuaikan dengan kondisi eksisting yang ada; dan e. Peraturan yang dibuat juga harus memperhatian kondisi masyarakat di kawasan subjek/objek aturan.



37



BAB 3 PENUTUP 3.1. Kesimpulan Desa Dabong merupakan salah satu dari 20 desa di wilayah Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Dari keseluruhan wilayah Dabong seluas 9.508,46 ha, sekitar 16 % merupakan tanah mineral, 50% merupakan area mangrove, sedangkan 34 % merupakan lahan gambut. Dalam beberapa dekade terakhir, ekosistem mangrove di Desa Dabong terancam karena penebangan liar. Kerusakan ekosistem mangrove tentu saja berpengaruh pada penghidupan warga Desa Dabong. Masalah masyarakat terkait hutan adalah sebagian pemukiman warga dan tambak warga dimasukkan dalam kawasan hutan lindung. Hal itu menyebabkan terjadi konflik antara masyarakat dengan negara, yang menyebabkan beberapa warga menjadi tersangka karena dianggap merambah kawasan hutan lindung tersebut, padahal mereka sudah tinggal disana bahkan sebelum Pemerintah Republik Indonesia lahir. Mereka mempertanyakan kenapa penunjukan hutan lindung tidak dikomunikasikan dengan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Masuknya pemukiman di dalam kawasan hutan lindung tidak hanya membuat warga desa khawatir dikriminalisasi tetapi juga mempersulit pembangunan sekolah atau fasilitas umum dan sosial lainnya di dalamnya. Tetapi berdasarkan SK No. 3820/MenlhkPSKL/KPS/PSL.0/7/2017 Desa Dabong sudah diberikan hak pengelolaan hutan desa seluas kurang lebih 2.869 ha. Dengan skema perhutanan sosial ini diharapkan masyarakat dapat melindungi kawasan hutannya dari pihak–pihak lain yang mengganggu kelestarian kawasan hutan, antara lain ancaman ekspansi perusahaan perkebunan sawit. Beberapa peraturan terkait dengan tumpang tindih ini diantaranya a) PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan; b) PERDA Kabupaten Kuburaya Nomor 7 Tahun 2016 tentang RTRW Kabupaten Kubu Raya Tahun 2016 – 2036; c) PERMEN PU Nomor 12 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Daerah Provinsi Dan Daerah Kabupaten/Kota; d) PP Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman; e) Lampiran PERPRES nomor 73 tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove; dan f) PERMEN LHK Nomor P.27/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2018 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Alternatif penyelesaian yang dapat penyusun rekomendasikan terkait dengan masalah tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong 38



diantaranya: a) Merevisi peraturan terkait dengan peraturan yang termuat dalam poin 2.6.3. Peraturan Perundang-Undangan; b) Memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan lahan, khususnya hutan lindung yang terdapat di Desa Dabong; c) Memperketat perizinan pembangunan permukiman, agar tidak mengganggu kawasan lindung yang ada dan meminimalisir dampak lingkungan yang ada; d) Melaksanakan peninjauan kawasan lebih lanjut ketika akan membuat peraturan, karena aturan yang ada seyogyanya tetap mampu menyesuaikan dengan kondisi eksisting yang ada; dan e) Peraturan yang dibuat juga harus memperhatian kondisi masyarakat di kawasan subjek/objek aturan. 3.2. Saran Berbagai permasalahan yang terjadi terkait dengan tumpang tindih kawasan hutan lindung dan kawasan permukiman di Desa Dabong sebenarnya dapat diminimalisir dengan adanya koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan pihak swasta. Untuk kedepannya diharapkan hal ini dapat diperhatian agar kejadian yang sama tidak perlu terulang dimasa depan. Ragam permasalahan yang ada juga seharusnya tidak menghambat perkembangan dari Desa Dabong yang memiliki banyak potensi yang masih dapat diekplorasi serta dikembangkan secara bijak.



39



JOBDESC Muhammad Resnu Amahesi



Manfaat Penulisan Tinjauan Kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Saran



Fitra Andini



Tujuan Penulisan Kajian Literatur Fatwa MA Saran



Puji Sukmaningsih



Rumusan masalah Gambaran Umum Desa Dabong Adendum Ketentuan Peralihan Kesimpulan



Adinda Rizki Ifada



Latar Belakang Berita Terkait Judicial Review Kesimpulan



40