Uji Kadar Kafein [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

UJI KADAR KAFEIN PADA MINUMAN BERENERGI



DISUSUN OLEH : Kelompok 2 ADINDA SALSABILA BR.TARIGAN ANI MARLINA ADHEN MELDA FITRIAH



SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN IBU JAMBI 2022



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Konsumsi minuman energi menunjukkan pertumbuhan yang cukup pesat sejak tahun 1997. Banyak orang memilih untuk mengembalikan energi yang hilang selama aktifitasnya dengan minuman berenergi. Bahkan tidak sedikit orang yang mengkonsumsinya setiap hari. Beberapa minuman energi mengandung kafein. Berdasarkan fungsinya dalam metabolisme, kafein lebih cocok bertindak sebagai stimulan daripada sumber energi (Anonim, 2006a). Minuman berenergi yang beredar di Indonesia termasuk dalam golongan suplemen makanan dengan ijin edar SD (Suplemen yang diproduksi dalam negeri). Namun, sebelum ada Surat Keputusan Kepala Balai POM tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan, minuman berenergi memiliki ijin edar MD (Makanan yang diproduksi dalam negeri). Menurut Balai POM, minuman berenergi yang ada di Indonesia mengandung kafein sejumlah 50 mg per botol dan hanya diperbolehkan untuk mengkonsumsi sebanyak tiga botol per hari (Marlinda, 2001). Saat ini, banyak metode analisis telah dikembangkan untuk menetapkan kadar kafein. Pada penetapan kadar kafein dalam minuman, berbagai macam metode analisis seperti titrimetri, spektrofotometri dan KCKT telah banyak dilaporkan. Namun masih banyak kekurangan pada metode analisis tersebut. Pada titrimetri



penetapan



kadar



harus



melalui



isolasi



terlebih



dahulu.



Keberadaansenyawa lain akan mengganggu hasil titrasi sehingga hasil yang diperoleh tidak tepat. Metode KCKT merupakan metode yang sensitif dan dapat digunakan untuk penetapan kadar senyawa yang berupa campuran secara bersamaan. Metode ini membutuhkan biaya operasional yang cukup mahal untuk mengoperasikannya. Metode spektrofotometri merupakan metode yang cepat dan sederhana untuk menetapkan kadar kafein, namun metode ini tidak dapat digunakan untuk sampel yang kompleks sehingga harus dilakukan isolasi terlebih dahulu.



Saat ini spektrofotometri UV berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga dapat digunakan untuk menetapkan kadar campuran, salah satunya melalui derivatisasi. Karena adanya kebutuhan akan analisis yang cepat dan selektif, spektrofotometri derivatif dijadikan metode pilihan dalam penentuan kadar kafein. Hal ini dikarenakan metode ini dapat menetapkan kadar kafein dengan cepat dan selektif tanpa adanya isolasi terlebih dahulu. Metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak to peak didasarkan pada pengukuran pada daerah panjang gelombang yang mempunyai nilai ekstremum (amplitudo peakto-peak ) pada derivat kafein baku dan sampel.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



A. Kafein



(1,3,7 Trimetil Xantine; C8H10N4O2; BM 194,9) Kafein berbentuk anhidrat atau hidrat yang mengandung satu molekul air. Kafein mengandung tidak kurang dari 98,5% dan tidak lebih dari 101,0% C8H10N4O2, dihitung terhadap zat anhidrat ( Anonim, 1995 ). Pemerian. Serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat putih, biasanya menggumpal; tidak berbau; rasa pahit. Titik lebur antara 235ºC - 237ºC (Anonim, 1995 ). Kafein memiliki kelarutan 1:60 dengan air, 1:1 dengan air panas, 1:130 dengan etanol, 1:7 dengan kloroform. Sedikit larut dalam eter namun mudah larut dalam larutan asam encer. Dalam larutan asam encer, kafein memberikan serapan absorbsi maksimum pada 273 nm ( A1 = 504) (Clarke, 1986 ). Sama artinya dengan serapan jenis (A1% 1cm) di dalam Farmakope Indonesia IV yaitu serapan dari larutan 1% zat terlarut dalam sel dengan ketebalan 1 cm. Kafein adalah zat kimia yang tergolong dalam jenis alkaloid. Selain pada kopi, kafein banyak ditemukan dalam minuman, teh, cola, coklat, minuman berenergi, maupun obat-obatan. Kandungan kafein pada secangkir kopi sekitar 80-125 mg, sedangkan satu kaleng softdrink cola mengandung sekitar 23- 37 mg, teh mengandung sekitar 40 mg, dan satu ons coklat mengandung sekitar 20 mg kafein (Anonim, 2006b ).



Kafein merupakan alkaloid kristal xanthine berwarna putih dan rasanya pahit yang bisa digunakan sebagai perangsang syaraf (psychoactive stimulant) dan juga memiliki efek diuretik (gampang beser) pada manusia dan hewan. Kafein ditemukan oleh ahli kimia Jerman, Friedrich Ferdinand Runge, pada tahun 1819. Dia menamainya dengan istilah "kaffein", yaitu sebuah senyawa kimia yang ada pada kopi, yang dalam logat Inggris menjadi caffeine. Kafein juga dinamai "guaranine" karena ditemukan pada guarana, "mateine" ketika ditemukan pada mate, dan "theine" ketika ditemukan pada teh. Semua nama ini merupakan sinonim dari kafein. Pada manusia, kafein merupakan perangsang sistem saraf pusat (central nervous system-CNS), memiliki efek sementara menghilangkan kantuk dan mengembalikan kesadaran. Banyak minuman yang mengandung kafein, misalnya kopi, teh, minuman ringan dan minuman energi. Kafein merupakan zat psychoactive yang paling bayak dipakai diseluruh dunia, tapi tak seperti zat lainnya, kafein legal dan tidak dibawah kendali Undang-undang. Di Amerika Utara, 90% orang dewasa mengkonsumsi kafein setiap hari. Badan Pangan dan Obat-obatan Amerika mendaftarkan kafein sebagai "Multiple Purpose Generally Recognized Safe Food Substance". Suatu studi tahun 2008 menyatakan bahwa perempuan yang mengkonsumsi 200 milligram atau lebih kafein perhari memiliki dua kali risiko keguguran daripada wanita yang tidak mengkonsumsi kafein, namun studi lain tahun 2008 menyatakan tidak ditemukan hubungan antara keguguran dan konsumsi kafein. B. Minuman Energi Minuman berenergi termasuk dalam golongan food supplement atau makanan tambahan. Produk ini dimasukkan ke dalam kelompok “produk berbatasan “ antara obat dan makanan / minuman. Meskipun termasuk makanan yang dijual bebas, produk minuman berenergi ini berisi zat-zat yang biasa terdapat dalam obat-obatan (Rafira, 2005). Kandungan zat aktif yang umum dijumpai pada produk minuman berenergi ini antara lain kafein, taurin, vitamin B, guarana, ginseng dan vitamin C ( Anonim, 2006a). Kelebihan produk minuman berenergi adalah manfaatnya yang



cepat terasa karena mengandung zat pemanis buatan (sorbitol, aspartam, siklamat) yang mudah diserap tubuh. Sumber lain yang juga mempengaruhi kecepatan reaksi adalah kandungan kafein dan taurin di dalamnya (Marlinda, 2001). Kombinasi taurin dan kafein dalam minuman berenergi akan merangsang sistem saraf pusat untuk memicu reaksi katabolisme di otot. Mekanismenya melalui pengaktifan kerja saraf yang menghasilkan percepatan jantung untuk memompa darah dan oksigen, sembari menstimulasi peningkatan kadar gula darah (Anonim, 2006a). C. Kafein dalam minuman berenergi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara tegas menetapkan kadar kafein dalam minuman berernergi maksimal 50 mg. Jika lebih dari itu maka dalam jangka panjang pengkonsumsinya bisa terkena penyakit ginja, jantung, darah tinggi, diabetes, stroke, dan risiko abortus untuk wanita hamil. Secara jangak panjang konsentrasi kafein yang terakumulasi di dalam tubuh dalam jumlah yang melebihi batas dapat menimbulkan gangguan kesehatan. D. Spektrofotometri Spektrofotometri adalah salah satu teknik analisis fisika kimia yang didasarkan pengabsobsian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi dari panjang gelombang radiasi (Day dan Underwood, 2002). Spektrofotometri uv-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200 – 350 nm) dan sinar tampak (350 – 800 nm) oleh suatu senyawa. Serapan cahaya uv atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Panjang gelombang cahaya uv atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari pada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek.



BAB III PROSEDUR ANALISA KADAR



A. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah Kalium iodat, Asam sulfat 2N, Kalium iodida 10%, Natrium tiosulfat, indikator amilum 1%, kloroform, larutan NaCl jenuh, dan akuades. Sementara itu untuk sampel yang dianalisis adalah minuman berenergi sediaan sachet sebanyak 3 sampel yang diambil secara acak (random) dari seluruh pedagang yang ada di jalan. Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik, pipet volumetrik 10 mL, labu ukur 100 ml, erlenmeyer 250 ml, buret, statif dan klem, beaker gelas 250 mL, pipet tetes, corong pisah, botol akuades, dan penangas air. B. Prosedur Kerja Preparasi Sampel 1. Memipet sampel sebanyak 10 mL dan masukkan ke dalam labu pemisah 2. Menambahkan kloroform sebanyak 50 mL dan mengocoknya selama 5 menit 3. Mendiamkan selama beberapa menit sampai terlihat jelas batas pisah kedua cairan. 4. Mengalirkan cairan yang berada di bawah batas pisah melalui corong gelas yang telah diberi kertas saring ke dalam labu ukur 100 mL. 5. Mengulangi ektraksi dengan menambahkan kloroform sebanyak 40 mL dan mengocoknya selama 1 menit. 6. Mendiamkan selama beberapa menit sampai terlihat jelas batas pisah kedua cairan. 7. Mengalirkan cairan yang berada di batas pisah melalui corong pisah yang telah diberi kertas saring ke dalam labu ukur 100 mL sebelumnya. 8. Mengencerkan cairan ekstrak tadi dengan kloroform sampai batas garis.



Pengenceran 1. Memipet 2 mL larutan contoh dari labu ukur 100 mL ke dalam labu ukur 10 mL 2. Mengimpitkan sampai batas garis dengan kloroform Pembuatan Larutan Baku 1.



Larutan baku induk Menimbang ± 50 mg standar kafein, add 100 mL (500 ppm).



2.



Larutan baku kerja Memipet 10,0 mL larutan 1, add 50 mL (100 ppm)



Pembuatan Deret Standar Membuat deret larutan standar yang mengandung 4, 6, 8, 10, 12 ppm dari larutan baku kerja 100 ppm. a. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 4 mL ke dalam labu ukur 100 mL (4 ppm) b. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 6 mL ke dalam labu ukur 100 mL (6 ppm) c. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 8 mL ke dalam labu ukur 100 mL (8 ppm) d. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 100 mL (10 ppm) e. Dari 100 ppm dipipet sebanyak 12 mL ke dalam labu ukur 100 mL (12 ppm) Pengukuran Mengukur larutan sampel, standar, dan blanko pada λ maksimum.



C. Pembahasan Kafein merupakan alkaloid kristal xanthine berwarna putih dan rasanya pahit yang bisa digunakan sebagai perangsang syaraf (psychoactive stimulant) dan juga memiliki efek diuretik (gampang beser) pada manusia dan hewan. Analisis kadar kafein ini dilakukan dengan metode spektrofotometri UV/VIS. Sampel yang digunakan adalah minuman berenergi. Tahapan analisis yang dilakukan yaitu :



1. Preparasi sampel Sebelum kadar kafein ditentukan menggunakan spektrofotometer, perlu dilakukan adanya preparasi sampel. Preparasi yang dilakukan adalah dengan proses ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik. Pelarut yang digunakan adalah CHCl3 (kloroform). Pemilihan pelarut yang digunakan didasarkan pada sifat kafein yang mudah larut dalam pelarut organik terutama kloroform. Kloroform ini dipilih karena mudah larut dengan komponen-komponen organik, mudah menguap sehingga mudah dipisahkan, kloroform bersifat tidak mengalami pembakaran di udara. Selain itu, kloroform merupakan pelarut yang efektif untuk senyawa-senyawa alkaloid, sehingga kloroform ini cocok untuk kafein yang merupakan senyawa alkaloid. Selain kelarutan, pemilihan pelarut ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu titik didih, toksisitas, serta reaktifitas pelarut dengan komponen yang akan diekstrak. Karena pelarut yang digunkan adalah pelarut organik maka seluruh peralatan yang digunakan harus kering, karena adanya air akan mengganggu pembacaan pada instrument. Air dapat menyerap radiasi uv pada panjang gelombang yang cukup rendah sehingga bisa saja transparan terhadap radiasi pengukuran, tetapi senyawa-senyawa organik banyak yang tidak larut dalam air termasuk kloroform, sehingga akan menyebabkan penyerapan radiasi pengukuran oleh pelarut. Untuk proses ekstraksi, mula-mula sampel dipipet sebanyak 10 mL ke dalam corong pisah, kemudian ditambahkan CHCl3 (kloroform) sebagai pelarut untuk pengekstrak. Kloroform yang digunakan sebanyak 50 mL, kemudian campuran antara sampel dengan kloroform tersebut diekstraksi selama 5 menit. Dengan waktu 5 menit ini diharapkan semua kafein yang terdapat dalam sampel akan terekstrak. Jumlah kloroform yang digunakan sebaiknya lebih besar, karena lebih besar volume pelarut yang digunakan dibanding jumlah bahan yang diekstrak maka rendemen yang dihasilkan juga semakin besar (Nurlita Soraya, 2008). Semakin banyak pelarut yang ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat diekstrak oleh pelarut. Rendemen hasil ekstraksi akan terus



meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Setelah titik jenuh larutan tercapai, maka tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut. Setelah diekstrak menggunakan kloroform sebanyak 50 mLkemudian didiamkan selama beberapa saat hingga terlihat batas pisah kedua cairan. Setelah terpisah kemudian bagian cairan yang berada pada lapisan bawah diturunkan ke dalam labu ukur 100 mL melalui corong gelas yang telah dilapisi dengan kertas saring. Penggunaan kertas saring ini bertujuan agar larutan akhir yang diperoleh berwarna bening, karena warna larutan yang keruh akan mengganggu pembacaan pada instrument. Setelah seluruh caiaran yang berada di bagian bawah sudah dialirkan semuanya ke dalam labu ukur kemudian ke dalam corong pisah ditambahkan lagi kloroform sebanyak 40 mL, kemudian diekstrak kembali. Jadi ekstraksi dilakukan sebanyak dua kali. Proses pemisahan antara pelarut dengan komponen contoh ini dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu sifat dari pelarut dan senyawa yang diekstrak, perbedaan ion, polaritas, ikatan hydrogen, serta sifat hidrofobik dan hidrofilik senyawa. Setelah proses ekstraksi selesai dan larutan didiamkan beberapa saat, kemudian terlihat batas pisah antara kedua lapisan. Lapisan bawah adalah kloroform yang telah mengandung analit (kafein) sedangkan bagian atas adalah bagian yang tidak larut dalam kloroform yaitu zat-zat lain yang terdapat dalam sampel sebagai pengotor yang dapat mempengaruhi hasil analisis. 2. Pengenceran Proses pengenceran yang dilakukan dengan cara memipet larutan contoh kafein dalam labu ukur 100 mL sebanyak 2 mL ke dalam labu ukur 10 mL. Sehingga pengenceran yang dilakukan adalah sebanyak 5 kali. Pengenceran ini dilakukan dengan tujuan agar konsentrasi larutan contoh yang terdapat dalam sampel tidak terlalu pekat yang akan menimbulkan over range dalam pembacaan menggunakan spektrofotometer. Karena apabila over range ini terjadi maka konsentrasi analit yang diukur tidak akan terbaca oleh alat. Alat hanya akan mengukur absorbansi larutan contoh. 3. Pembuatan larutan baku Larutan baku dibut dengan cara menimbang 50 mg kafein satndar berupa serbuk putih, kemudian diencerkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diimpitkan



hingga tanda batas dengan menggunakan kloroform (500 ppm). Kemudian dipipet lagi sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur 50 mL (100 ppm) sebagai larutan baku kerja yang dapat digunakan dalam pembuatan deret standar. 4. Pembuatan deret standar Pembuatan deret standar dilakukan dengan memipet larutan baku kerja sebanyak 4 mL, 6 mL, 8 mL, 10 mL, dan 12 mL ke dalam labu ukur 100 mL. Sehingga konsentrasi standar yang dibuat adalah 4, 6 ,8 ,10, dan 12 ppm. Pembuatan deret standar ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi kafein yang akan diukur, apakah terletak dalam rentangan deret standar tersebut atau tidak. Selain itu dengan pembuatan deret standar akan diketahui tingkat ketelitian dalam pembuatan standar. 5. Pengukuran Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada daerah uv (ultraviolet). Hal ini dikarenakan kafein yang akan diukur akan menyerap pada daerah panjang gelombang antara 200-350 nm. Selain itu larutan yang akan diukur merupakan larutan yang bening sehingga akan terukur jika menggunakan sinar uv dengan menggunakan sumber lampu deuterium. Pengukuran sampel dilakukan dengan menggunakan kuvet sebagai tempat larutan yang akan diukur. Setiap penggantian larutan yang akan diukur kuvet ini dibilas sebanyak tiga kali menggunakan larutan yang akan diukur untuk menghilangkan sisa larutan yang diukur seselumnya. Mula-mula pengukuran dilakukan dengan mengukur zero base yang dilakukan dengan mengukur blanko. Blanko yang digunakan hanya terdiri dari pelarut yaitu kloroform. Pengukuran zero base ini berfungsi untuk menghilangkan serapan yangberasal dari pelarut. Blanko yang digunakan berfungsi untuk mengetahui besarnya serapan yang disebabkan oleh zat bukan analat, baik hanya pelarut untuk melarutkan atau mengencerkan ataupun pelarut dan pereaksi tertentu yang ditambahkan. Selisih nilai serapan analat dengan nilai serapan blanko menunjukkkan serapan yang disebabkan oleh komponen alat. Setelah pengukuran zero base kemudian dilanjutkan dengan mencari panjang gelombang maksimum dengan cara mengukur salah satu deret standar yang telah dibuat kemudian dibaca panjang gelombang maksimumnya.



Berdasarkan hasil pembacaan dengan menggunakan standar 6 ppm diperoleh nilai λ maksimum adalah 276 nm. Setelah pngukuran λ maks ditemukan, selanjutnya adalah mengukur deret standar yang telah dibuat. Berdasarkan hasil pengukuran deret standar 4, 6, 8, 10, dan 12 ppm diperoleh hubungan antara nilai absorbansi dengan konsentrasi zat yang diukur (koefisien korelasi) adalah 0,9999. Hal ini menunjukkan bahwa standar yang dibuat memiliki linieritas yang baik dan ketelitian yang baik. Karena semakin harga r (koefisien korelasi) mendekati 1 maka semakin baik. Setelah pengukuran standar kemudian dilakukan pengukuran terhadap sampel. Berdasarkan hasil pengukuran yang pertama diperoleh nilai absorbansi sebesar 1,858, namun konsentrasi yang dihasilkan berada diluar deret standar (terjadi over range). Setelah dilakukan pengenceran 5 kali dan dilakukan pembacaan kembali, maka konsentrasi yang terbaca adalah 7,1763 ppm dengan absorbansi 0,379. Setelah diperoleh konsentrasi pembacaan sampel, kemudian dilakukan perhitungan konsentrasi sebenarnya terhadap kadar kafein yang terdapat dalam minuman berenergi tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan yang telah dilakukan diperoleh kadar kafein yang terkandung dalam contoh minuman berenergi tersebut adalah 53,83 mg/150 mL. sedangkan dalam label yang terdapat dalam contoh adalah 50mg/150 mL. Apabila kafein yang terdapat dalam contoh benar-benar 50 mg, maka seharusnya konsentrasi pembacaan yang terukur adalah 6,666 mg/L. Hal ini berarti kadar kafein yang terdapat dalam contoh tersebut melebihi standar yang ditetapkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang secara tegas menetapakan batas kadar kafein dalam minuman berenergi maksimal 50 mg (www.bioalami.blogspot.com). Selain dilakukan pengukuran terhadap sampel dilakukan pula pengukuran standar 6 ppm sebanyak 6 kali untuk menghitung % recovery atau % perolehan kembali. Berdasarkan hasil pengukuran % recovery satndar yang diperoleh adalah 96,77- 97,99%. Ini menunjukkan bahwa standar tersebut memiliki nilai perolehan kembali yang baik karena masuk ke dalam persyaratan yang ditentukan. Untuk konsentrasi menengah criteria kcermatan yang dipersyaratkan adalah 96-105%.



BAB IV KESIMPULAN Berdasarkan hasl analisis kadar kafein dapat disimpulkan bahwa pengukuran kafein secara spektrofotometri uv/vis ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi dengan menggunkan pelarut organic (kloroform) dengan manggunakan λ maksimum 276 nm. Berdasarkan hasil pengukuran dikethui kadar kafein dalam contoh minuman berenergi tersebut adalah 7,1763 mg/L sehingga berdasarkan perhitungan konsentrasi yang sebenarnya adalah 53,83 mg/150 mL. Sedangkan dalam label pada kemasan contoh kadar kafeinnya adalah 50 mg/150 mL. hal ini mengindikasikan adanya kecurangan yang dilakukan oleh produsen, karena kadar kafein melebihi standar yang ditetapkan oleh BPOM yaitu 50 mg.



DAFTAR PUSTAKA Marlinda, I, 2001, Bahaya Minuman Berenergi, http://www.indomedia.com/Intisari/online/kesehatan/410kes1.htm Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2006a, Benarkah Minuman Energi Selalu Berenergi?, http://www.infosehat.com/content.php?s_sid=794. Herliani, An an. 2008. Spektrofotometri. Cianjur. VEDCA Cianjur Soraya, Nurlita. 2008. Isolasi Kafein Dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis Powdery secara Ekstraksi. Bogor : Fateta, IPB. Novita L, Aritonang. Penetapan Kadar Kafein Pada Minuman Berenergi Sediaan Sachet Yang Beredar Di Sekitar Pasar Petisah Medan. Universitas Sari Mutiara Indonesia Volume I, Nomor 1, Tahun 2017, Hal 37-42 Susanti, N. P. M., dkk. 2012. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dan Refluks Terhadaap Rendemen Andrografolid Dari Herba Sambiloto (Andrographis Paniculata (Burm.F.) Ness). Universitas Udayana, 2234.