Validitas Dan Reliabilitas [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

VALIDITAS DAN RELIABILITAS



A. Validitas



1. Pengertian Validitas



Menurut Azwar (1986) Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.



Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila instrumen tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan tes yang memiliki validitas rendah akan menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran.



Terkandung di sini pengertian bahwa ketepatan validitas pada suatu alat ukur tergantung pada kemampuan alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat. Suatu tes yang dimaksudkan untuk mengukur variabel A dan kemudian memberikan hasil pengukuran mengenai variabel A, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas tinggi. Suatu tes yang dimaksudkan mengukur variabel A akan tetapi menghasilkan data mengenai variabel A’ atau bahkan B, dikatakan sebagai alat ukur yang memiliki validitas rendah untuk mengukur variabel A dan tinggi validitasnya untuk mengukur variabel A’ atau B (Azwar 1986).



Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid tidak hanya mampu menghasilkan data yang tepat akan tetapi juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut.



Cermat berarti bahwa pengukuran itu dapat memberikan gambran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya mengenai perbedaan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh, dalam bidang pengukuran aspek fisik, bila kita hendak mengetahui berat sebuah cincin emas maka kita harus menggunakan alat penimbang berat emas agar hasil penimbangannya valid, yaitu tepat dan cermat. Sebuah alat penimbang badan memang mengukur berat, akan tetapi tidaklah cukup cermat guna menimbang berat cincin emas karena perbedaan berat yang sangat kecil pada berat emas itu tidak akan terlihat pada alat ukur berat badan.



Menggunakan alat ukur yang dimaksudkan untuk mengukur suatu aspek tertentu akan tetapi tidak dapat memberikan hasil ukur yang cermat dan teliti akan menimbulkan kesalahan atau eror. Alat ukur yang valid akan memiliki tingkat kesalahan yang kecil sehingga angka yang dihasilkannya dapat dipercaya sebagai angka yang sebenarnya atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar 1986).



Pengertian validitas juga sangat erat berkaitan dengan tujuan pengukuran. Oleh karena itu, tidak ada validitas yang berlaku umum untuk semua tujuan pengukuran. Suatu alat ukur biasanya hanya merupakan ukuran yang valid untuk satu tujuan yang spesifik. Dengan demikian, anggapan valid seperti dinyatakan dalam “alat ukur ini valid” adalah kurang lengkap. Pernyataan valid tersebut harus diikuti oleh keterangan yang menunjuk



kepada tujuan (yaitu valid untuk mengukur apa), serta valid bagi kelompok subjek yang mana? (Azwar 1986)



Pengertian validitas menurut Walizer (1987) adalah tingkaat kesesuaian antara suatu batasan konseptual yang diberikan dengan bantuan operasional yang telah dikembangkan.



Menurut Aritonang R. (2007) validitas suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan instrument itu untuk mengukur atu mengungkap karakteristik dari variabel yang dimaksudkan untuk diukur. Instrumen yang dimaksudkan untuk mengukur sikap konsumen terhadap suatu iklan, misalnya, harus dapat menghasilkan skor sikap yang memang menunjukkan sikap konsumen terhadap iklan tersebut. Jadi, jangan sampai hasil yang diperoleh adalah skor yang menunjukkan minat konsumen terhadap iklan itu.



Validitas suatu instrumen banyak dijelaskan dalam konteks penelitian sosial yang variabelnya tidak dapat diamati secara langsung, seperti sikap, minat, persepsi, motivasi, dan lain sebagainya. Untuk mengukur variabel yang demikian sulit, untuk mengembangkan instrumen yang memiliki validitas yang tinggi karena karakteristik yang akan diukur dari variabel yang demikian tidak dapat diobservasi secara langsung, tetapi hanya melalui indikator (petunjuk tak langsung) tertentu. (Aritonang R. 2007)



Menurut Masri Singarimbun, validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Bila seseorang ingin mengukur berat suatu benda, maka dia harus menggunakan timbangan. Timbangan adalah alat pengukur yang valid



bila dipakai untuk mengukur berat, karena timbangan memang mengukur berat. Bila panjang sesuatu benda yang ingin diukur, maka dia harus menggunakan meteran. Meteran adalah alat pengukur yang valid bila digunakan untuk mengukur panjang, karena memang meteran mengukur panjang. Tetapi timbangan bukanlah alat pengukur yang valid bilamana digunakan untuk mengukur panjang.



Sekiranya penelliti menggunakan kuesioner di dalam pengumpulan data penelitian, maka kuesioner yang disusunnya harus mengukur apa yang ingin diukurnya. Setelah kuesioner tersebut tersusun dan teruji validitasnya, dalam praktek belum tentu data yang dikumpulkan adalah data yang valid. Banyak hal-hal lain yang akan mengurangi validitas data; misalnya apakah si pewawancara yang mengumpulkan data betul-betul mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan dalam kuesioner. (Masri Singarimbun)



Menurut Suharsimi Arikunto, validitas adalah keadaan yang menggambarkan tingkat instrumen bersangkutan yang mampu mengukur apa yang akan diukur.



Menurut Soetarlinah Sukadji, validitas adalah derajat yang menyatakan suatu tes mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas suatu tes tidak begitu saja melekat pada tes itu sendiri, tapi tergantung penggunaan dan subyeknya.



2. Jenis-jenis Validitas



Ebel (dalam Nazirz 1988) membagi validitas menjadi :



• Concurrent Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan kinerja. • Construct Validity adalah validitas yang berkenaan dengan kualitas aspek psikologis apa yang diukur oleh suatu pengukuran serta terdapat evaluasi bahwa suatu konstruk tertentu dapat menyebabkan kinerja yang baik dalam pengukuran. • Face Validity adalah validitas yang berhuubungan apa yang nampak dalam mengukur sesuatu dan bukan terhadap apa yang seharusnya hendak diukur. • Factorial Validity dari sebuah alat ukur adalah korelasi antara alat ukur dengan faktorfaktor yang bersamaan dalam suatu kelompok atau ukuran-ukuran perilaku lainnya, di mana validitas ini diperoleh dengan menggunakan teknik analisis faktor. • Empirical Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor dengan suatu kriteria. Kriteria tersebut adalah ukuran yang bebas dan langsung dengan apa yang ingin diramalkan oleh pengukuran. • Intrinsic Validity adalah validitas yang berkenaan dengan penggunaan teknik uji coba untuk memperoleh bukti kuantitatif dan objektif untuk mendukung bhwa suatu alat ukur benar-benar mengukur apa yang seharusny diukur. • Predictive Validity adalah validitas yang berkenaan dengan hubungan antara skor suatu alat ukur dengan kinerj seorang di msa mendatang. • Content Validity adalah validitas yang berkenaan dengan baik buruknya sampling dari suatu populasi. • Curricular Validity adalah validitas yang ditentukan dengan cara menilik isi dari pengukuran dan menilai seberapa jauh pungukuran tersebut merupakan alat ukur yang benar-benar mengukur aspek-aspek sesuai dengan tujuan instruksional.



Sementara itu, Kerlinger (1990) membagi validitas menjadi tiga yaitu: • Content validity (Validitas isi) adalah validitas yang diperhitungkan melalui pengujian terhadap isi alat ukur dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah “sejauh mana item-item dalam suatu alat ukur mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur oleh alat ukur yang bersangkutan?” atau berhubungan dengan representasi dari keseluruhan kawasan.



Validitas isi suatu instrumen berkaitan dengan kesesuaian antara karakteristik dari variaabel yang dirumuskan pada definisi konseptual dan operasionalnya. Apabila semua karakteristik variabel yang dirumuskan pada definisi konseptualnya dapat diungkap melalui butir-butir suatu instrument, maka instrument itu dinyatakan memiliki validitas isi yang baik. Sayangnya, hal itu mungkin tidak akan pernah tercapai karena sulitnya untuk mendefinisikan keseluruhan karakteristik itu. Selain itu, dari seluruh karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual suatu variabel seringkali sulit untuk mengembangkan butir-butir yang valid untuk mengungkap atau mengukurnya.



Validitas isi dapat dianalisis dengan cara memperhatikan penampakan luar dari instrument dan dengan menganalisis kesesuaian butir-butirnya dengan karakteristik yang dirumuskan pada definisi konseptual variabel yang diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan penampilan luar instrument itu disebut validitas tampang (face validity). Validitas tampang dievaluasi dengan membaca dan menyelidiki butir-butir instrument serta sekaligus membandingkannya dengan definisi konseptual mengenai variabel yang akan diukur. Validitas yang dianalisis dengan memperhatikan



kerepresentativan butir-butir instrument disebut validitas penyampelan (sampling validity) atau kuikulum (curriculum validity). Validitas tampang maupun penyampelan disebut juga sebagai validitas teoritis karena penganalisisannya lazim dilakukan tanpa didasarkan pada data empiris. Alat yang digunakan untuk menganalisis validitas itu adalah logika dari orang yang menganalisisnya.



Menurut Saifuddin Azwar, validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah ”sejauh mana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan ini (dengan catatan tidak keluar dari batasan tujuan ukur) objek yang hendak diukur” atau ”sejauh mana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur”.



Selanjutnya, validitas isi terbagi lagi menjadi dua tipe (Saifuddin Azwar), yaitu: 1. Face Validity (Validitas Muka) adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian selintas mengenai isi alat ukur. Apabila isi alat ukur telah tampak sesuai dengan apa yang ingin diukur maka dapat dikatakan maka validitas muka telah terpenuhi. 2. Logical Validity (Validitas Logis) disebut juga sebagai Validitas Sampling (Sampling Validity) adalah validitas yang menunjuk pada sejauh mana isi alat ukur merupakan representasi dari aspek yang hendak diukur.



Validitas logis sangat penting peranannya dalam penyusunan prestasi dan penyusunan skala, yaitu dengan memanfaatkan blue-print atu table spesifikasi.



• Construct validity (Validitas konstruk) adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauh mana alat ukur mengungkap suatu trait atau konstruk teoritis yang hendak diukurnya. (Allen & Yen, dalam Azwar 1986). Pengujian validitas konstruk merupakan prosesyang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait yang diukur.



Menurut Saifuddin Azwar, validitas konstruk adalah seberapa besar derajat tes mengukur hipotesis yang dikehendaki untuk diukur. Konstruk adalah perangai yang tidak dapat diamati, yang menjelaskan perilaku. Menguji validitas konstruk mencakup uji hipotesis yang dideduksi dari suatu teori yang mengajukan konstruk tersebut. • Criterion-related validity (Validitas berdasar kriteria). Validitas ini menghendaki tersedianya criteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian skor alat ukur. Suatu kriteria adalah variabel perilaku yang akan diprediksi oleh skor alat ukur.



Dilihat dari segi waktu untuk memperoleh skor kriterianya, prosedur validasi berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas (Saifuddinn Azwar), yaitu: 1. Validitas Prediktif. Validitas Prediktif sangat penting artinya bila alat ukur dimaksudkan untuk berfungsi sebagai predictor bagi kinerja di masa yang akan datang. Contoh situasi yang menghendaki adanya prediksi kinerja ini antara lain adalah dalam bimbingan karir; seleksi mahasiswa baru, penempatan karyawan, dan semacamnya. Menurut Saifuddin Azwar, validitas prediktif adalah seberapa besar derajat tes berhasil memprediksi kesuksesan seseorang pada situasi yang akan datang. Validitas prediktif ditentukan dengan mengungkapkan hubungan antara skor tes dengan hasil tes atau ukuran lain kesuksesan dalam satu situasi sasaran.



2. Validitas Konkuren. Apabila skor alat ukur dan skor kriterianya dapat diperoleh dalam waktu yang sama, maka korelasi antara kedua skor termaksud merupakan koefisien validitas konkuren.



Menurut Saifuddin Azwar, validitas ini menunjukkan seberapa besar derajat skor tes berkorelasi dengan skor yang diperoleh dari tes lain yang sudah mantap, bila disajikan pada saat yang sama, atau dibandingkan dengan criteria lain yang valid yang diperoleh pada saat yang sama.



Asosiasi Psikologi Amerika (APA) (1974; dalam Anastasia, 1982) membedakan tiga tipe validitas, yaitu validitas isi, yang dikaitkan dengan criteria, dan konnstrak. Ketiga tipe validitas tersebut dapat diuji dengan dan atau tanpa menggunakan instrument yang telah teruji validitas maupun reabilitasnya.



B. Reliabilitas



1. Pengertian Reliabilitas



Walizer (1987) menyebutkan pengertian Reliability (Reliabilitas) adalah keajegan pengukuran. Menurut John M. Echols dan Hasan Shadily (2003: 475) reliabilitas adalah hal yang dapat



dipercaya. Popham (1995: 21) menyatakan bahwa reliabilitas adalah "...the degree of which test score are free from error measurement"



Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.



Menurut Brennan (2001: 295) reliabilitas merupakan karakteristik skor, bukan tentang tes ataupun bentuk tes.



Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan.



Dalam pandangan Aiken (1987: 42) sebuah tes dikatakan reliabel jika skor yang diperoleh oleh peserta relatif sama meskipun dilakukan pengukuran berulang-ulang.



Dengan demikian, keandalan sebuah alat ukur dapat dilihat dari dua petunjuk yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas. Kedua statistik tersebut masingmasing memiliki kelebihan dan keterbatasan (Feldt & Brennan, 1989: 105) Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama



(tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama. Tidak bisa diandalkan bila pengukuran yang berulang itu memberikan hasil yang berbeda-beda.



Pengukuran reliabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai alat statistik (Feldt & Brennan, 1989: 105) Berdasarkan sejarah, reliabilitas sebuah instrumen dapat dihitung melalui dua cara yaitu kesalahan baku pengukuran dan koefisien reliabilitas (Feldt & Brennan: 105). Kedua statistik di atas memiliki keterbatasannya masing-masing. Kesalahan pengukuran merupakan rangkuman inkonsistensi peserta tes dalam unit-unit skala skor sedangkan koefisien reliabilitas merupakan kuantifikasi reliabilitas dengan merangkum konsistensi (atau inkonsistensi) diantara beberapa kesalahan pengukuran. Dalam kerangka teori tes klasik, suatu tes dapat dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi apabila skor tampak tes tersebut berkorelasi tinggi dengan skor murninya sendiri. Interpretasi lainnya adalah seberapa tinggi korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. (Saifuddin Azwar, 2006: 29). Reliabilitas menurut Ross E. Traub (1994: 38) yang disimbolkan oleh dapat didefinisikan sebagai rasio antara varian skor murni dan



varian skor tampak . Secara matematis teori di atas dapat ditulis :



Reliabilitas alat ukur tidak dapat diketahui dengan pasti tetapi dapat diperkirakan. Dalam mengestimasi reliabilitas alat ukur, ada tiga cara yang sering digunakan yaitu (1) pendekatan tes ulang, (2) pendekatan dengan tes pararel dan (3) pendekatan satu kali pengukuran. Pendekatan tes ulang merupakan pemberian perangkat tes yang sama terhadap sekelompok subjek sebanyak dua kali dengan selang waktu yang berbeda. Asumsinya adalah bahwa skor yang dihasilkan oleh tes yang sama akan menghasilkan skor tampak yang relatif sama. Estimasi dengan pendekatan tes ulang akan menghasilkan koefisien stabilitas. Untuk memperoleh koefisien reliabilitas melalui pendekatan tes ulang dapat dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi linear antara distribusi skor subyek pada pemberian tes pertama dengan skor subyek pada pemberian tes kedua. Pendekatan tes ulang sangat sesuai untuk mengukur ketrampilan terutama ketrampilan fisik. Misalnya seorang guru hendak melihat reliabilitas tes yang telah dibuatnya. Setelah melakukan dua kali pengukuran didapatkan skor tes sebagai berikut:



Koefisien reliabilitas test di atas dapat dihitung dengan menggunakan formula korelasi



produk momen dari Pearson sebagai berikut:



Dengan demikian, korelasi sebesar 0,954 menggambarkan bahwa reliabilitas tes cukup tinggi. Salah satu kelemahan mendasar dari teknik test-retest adalah carry-over effect. Masalah ini disebabkan oleh adanya kemungkinan pada test yang kedua dipengaruhi oleh test pertama. Misalnya, jika peserta tes masih ingat dengan soal-soal dan bahkan jawaban ketika dilakukan test pertama. Hal ini dapat meningkatkan korelasi serta overestimasi terhadap PXX’. Ross E. Traub (1994: 38)



2. Jenis-jenis Reliabilitas Walizer (1987) menyebutkan bahwa ada dua cara umum untuk mengukur reliabilitas, yaitu: 1. Relibilitas stabilitas. Menyangkut usaha memperoleh nilai yang sama atau serupa untuk setiap orang atau setiap unit yang diukur setiap saat anda mengukurnya. Reliabilitas ini menyangkut penggunaan indicator yang sama, definisi operasional, dan prosedur pengumpulan data setiap saat, dan mengukurnya pada waktu yang berbeda. Untuk dapat memperoleh reliabilitas stabilitas setiap kali unit diukur skornya haruslah



sama atau hampir sama. 2. Reliabilitas ekivalen. Menyangkut usaha memperoleh nilai relatif yang sama dengan jenis ukuran yang berbeda pada waktu yang sama. Definisi konseptual yang dipakai sama tetapi dengan satu atau lebih indicator yang berbeda, batasan-batasan operasional, paeralatan pengumpulan data, dan / atau pengamat-pengamat. Menguji reliabilitas dengan menggunakan ukuran ekivalen pada waktu yang sama bias menempuh beberapa bentuk. Bentuk yang paling umum disebut teknik belah-tengah. Cara ini seringkali dipakai dalam survai.Apabila satu rangkaian pertanyaan yang mengukur satu variable dimasukkan dalam kuesioner, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dibagi dua bagian persis lewat cara tertentu. (Pengacakan atau pengubahan sering digunakan untuk teknik belah tengah ini.) Hasil masing-masing bagian pertanyaan diringkas ke dalam skor, lalu skor masing-masing bagian tersebiut dibandingkan. Apabila dalam skor kemudian skor masing-masing bagian tersebut dibandingkan. Apabila kedua skor itu relatif sama, dicapailah reliabilitas belah tengah. Reliabilitas ekivalen dapat juga diukur dengan menggunakan teknik pengukuan yang berbeda. Kecemasan misalnya, telah diukur dengan laporan pulsa. Skor-skor relatif dari satu indikator macam ini haruslah sesuai dengan skor yang lain. Jadi bila seorang subyek nampak cemas pada ”ukuran gelisah” orang tersebut haruslah menunjukkan tingkatan kecermatan relatif yang sama bila tekanan darahnya yang diukur.



3. Metode pengujian reliabilitas Tiga tehnik pengujian realibilitas instrument antara lain : a. Teknik Paralel (Paralel Form atau Alternate Form) Teknik paralel disebut juga tenik ”double test double trial”. Sejak awal peneliti harus



sudah menyusun dua perangkat instrument yang parallel (ekuivalen), yaitu dua buah instrument yang disusun berdasarkan satu buah kisi-kisi. Setiap butir soal dari instrument yang satu selalu harus dapat dicarikan pasangannya dari instrumen kedua. Kedua instrumen tersebut diujicobakan semua. Sesudah kedua uji coba terlaksana, maka hasil instrumen tersebut dihitung korelasinya dengan menggunakan rumus product moment (korelasi Pearson). b. Teknik Ulang (Test Re-test) Disebut juga teknik ”single test double trial”. Menggunakan sebuah instrument, namun dites dua kali. Hasil atau skor pertama dan kedua kemudian dikorelasikan untuk mengetahui besarnya indeks reliabilitas.Teknik perhitungan yang digunakan sama dengan yang digunakan pada teknik pertama yaitu rumus korelasi Pearson. Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas tes-retest adalah seberapa besat derajat skor tes konsisten dari waktu ke waktu. Realibilitas diukur dengan menentukan hubungan antara skor hasil penyajian tes yang sama kepada kelompok yang sama, pada waktu yang berbeda.



Metode pengujian reliabilitas stabilitas yang paling umum dipakai adalah metode pengujian tes-kembali (test-retest). Metode test-retest menggunakan ukuran atau “test” yang sama untuk variable tertentu pada satu saat pengukuran yang diulang lagi pada saat yang lain. Cara lain untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas, bila kita menggunakan survai, adalah memasukkan pertanyaan yang sama di dua bagian yang berbeda dari kuesioner atau wawancara. Misalnya the Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MPPI) mengecek reliabilitas test-retest dalam satu kuesionernya dengan mengulang pertanyaan tertentu di bagian-bagian yang berbeda dari kuesioner yang panjang.



Kesulitan terbesar untuk menunjukkan reliabilitas stabilitas adalah membuat asumsi bahwa sifat/ variable yang akan diukur memang benar-benar bersifat stabil sepanjang waktu. Karena kemungkinan besar tidak ada ukuran yang andal dan sahih yang tersedia. Satu-satunya faktor yang dapat membuat asumsi-asumsi ini adalah pengalaman, teori dan/atau putusdan terbaik. Dalam setiap kejadian, asumsi ini selalu ditantang dan sulit rasanya mempertahankan asumsi tersebut atas dasar pijakan yang obyektif.



c. Teknik Belah Dua (Split Halve Method) Disebut juga tenik “single test single trial”. Peneliti boleh hanya memiliki seperangkat instrument saja dan hanya diujicobakan satu kali, kemudian hasilnya dianalisis, yaitu dengan cara membelah seluruh instrument menjadi dua sama besar. Cara yang diambil untuk membelah soal bisa dengan membelah atas dasar nomor ganjil-genap, atas dasar nomor awal-akhir, dan dengan cara undian. Menurut Saifuddin Azwar, realibilitas ini diukur dengan menentukan hubungan antara skor dua paruh yang ekuivalen suatu tes, yang disajikan kepada seluruh kelompok pada suatu saat. Karena reliabilitas belah dua mewakili reliabilitas hanya separuh tes yang sebenarnya, rumus Spearman-Brown dapat digunakan untuk mengoreksi koefisien yang didapat.



Apa penyebab ketidakandalan? Ada beberapa sumber ketidakandalan (unreliability), beberapa di antaranya telah dituangkan. Satu sumber ketidakandalan yang terbesar adalah ketidaksahihan (invalidity). Berikut ini adalah daftar periksa (check list) sumber-sumber yang



menyebabkannya (Walizer ,1987) : 1. Orang atau unit yang diukur mungkin telah berubah sejak pengukuran pertama dan kedua. (Tentu saja perubahan dalam skor, haruslah ditafsirkan bukan sebagai ketidakandalan.) 2. Selama wawancara unit yang sedang diukur berubah, karena: a. Pewawancara memperoleh pengalaman b. Kelelahan pewawancara c. Subyek mengalami hal-hal yang menyebabkan penafsiran mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan berubah (sebagai kebalikan dari perubahan seharusnya dari apa yang sedang diukur). d. Kesalahan-kesalahan diperbuat. 3. Aspek situasi tempat pengukuran berlangsung mungkin berubah sejak pengukuran pertama dan yang kedua. Hal-hal seperti waktu (pagi, siang, sore), tempat berlangsungnya pengukuran, orang-orang yang berada dekat di sekitar yang mungkin mempengaruhi respon mereka dan sebagainya mungkin berbeda. 4. Pertanyaan-pertanyaan mungkin mendua artinya, sehingga ditafsirkan secara berbeda pada saat pengisian kuesioner yang berbeda. 5. Pengkode dan/atau pengamat mungkin membuat penafsiran sendiri-sendiri. 6. Apa yang nampak sebagai satu teknik ekivalen sebenarnya tidaklah demikian karena pemilihan pembandingan yang kurang baik. 7. Terjadi kekeliruan dalam mencatat hasil pengamatan atau memberi kode-kodenya. 8. Atau mungkin kombinasi penyebab-penyebab terdahulu.



Reliabel : Haruskah Ajeg? (Feldt & Brennan, 1989: 105)



Sering kita dengar baik dalam kuliah atau dalam ruang ujian, jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan "Apa yang dimaksud reliabilitas?" seperti ini : "Taraf Kepercayaan, yaitu seberapa besar tes dapat dipercaya. Tes yang reliabel akan menghasilkan skor yang relatif sama jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama . Dengan kata lain seberapa ajeg sebuah tes jika diteskan beberapa kali pada subjek yang sama di waktu yang berbeda." Jika demikian adanya, maka secara logis, satu-satunya cara untuk mengestimasi reliabilitas adalah dengan melakukan pengetesan paling tidak dua kali pada sekelompok subjek yang sama. Tapi benarkah begitu? Pada prakteknya kita mengenal paling tidak ada 3 pendekatan terhadap estimasi reliabilitas. Dan orang yang memberikan jawaban seperti di atas juga memilih metode estimasi reliabilitas yang hanya melakukan 1 kali administrasi tes. Jadi mana tingkat keajegannya? Baiklah, mungkin beberapa orang tidak terlalu peduli dengan hal ini. Yang penting ada angka reliabilitasnya, habis perkara. Tapi ijinkan kami mencoba berbagi pemikiran mengenai hal ini. Kita mulai dari konsep reliabilitas dulu. Reliabilitas seperti yang sering diucapkan atau ditulis di buku, memiliki arti tingkat kepercayaan. Kita coba pilah kata ini menjadi Rely dan Ability atau dapat dipercaya. Tapi apa maksud dari dapat dipercaya ini? Yang dimaksud dapat dipercaya disini adalah seberapa besar kita bisa mempercayai hasil tes yang kita dapatkan, atau juga seberapa besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes. Semakin besar tingkat kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes, hasil yang diperoleh dari tes tersebut makin tidak dapat dipercaya, makin tidak reliabel.



Misalnya: seseorang dites (tes apa saja, karena reliabilitas tidak terlalu peduli dengan isu materi yang diteskan) kemudian memperoleh hasil sebesar 100. Nah jika tes tersebut reliabel, maka kita bisa yakin bahwa kapasitas orang tersebut memang 100. Atau dengan kata lain, angka 100 itu diperoleh bukan karena faktor lain selain kapasitas orang tersebut. Jika angka 100 ini diperoleh lebih banyak karena faktor lain (faktor lain ini yang disebut error), maka kita akan berkata bahwa tes tersebut tidak reliabel. Konsep reliabilitas didasarkan pada asumsi bahwa dalam tiap pengetesan selalu ada X, skor yang kita peroleh dari hasil pengetesan (skor Tampak) T, skor yang menggambarkan kapasitas seseorang yang sesungguhnya (skor Murni) e, faktor lain selain kapasitas yang juga menyumbang terhadap perolehan X yang disebut juga error. Dan ketiganya terkait satu sama lain dalam persamaan seperti ini : X=T+e



Ini dapat dibaca seperti berikut : dalam setiap pengetesan, hasil tes yang kita peroleh merupakan fungsi penjumlahan dari skor Murni dan error. Tes dapat dikatakan reliabel jika Tes menghasilkan error yang kecil, sehingga hasil tes makin mencerminkan kapasitas yang sebenarnya (atau X = T ).



Lalu dari mana ide "keajegan" muncul?



Diasumsikan bahwa nilai T memiliki sifat ajeg dalam beberapa kali pengukuran pada subjek yang sama. Tapi keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik saja, karena keajegan yang dimaksud di sini adalah keajegan T jika memenuhi syarat tertentu :



Tiap pengetesan bersifat saling independen, pengukuran pertama tidak mempengaruhi pengukuran berikutnya. Jadi anggaplah seseorang dites lalu dihipnotis untuk membuatnya lupa dengan jawaban dan soal yang telah diberikan. Kapasitas orang itu sendiri belum berubah. Jadi keajegan ini hanya mungkin jika setelah dites, orang ini dimasukkan dalam mesin waktu dan dikembalikan ke keadaannya saat dites pertama kali.



Mustahil? Ya jelas! maka dari itu ide mengenai keajegan ini hanya ada dalam abstraksi teoretik.



Namun demikian tentu saja kita tetap dapat mengestimasi reliabilitas dengan cara melakukan tes berulang lalu mengkorelasikan hasil tes pertama dengan tes kedua. Dengan mempertimbangkan beberapa kelemahan dan persyaratannya.



Pendekatan-Pendekatan Estimasi Reliabilitas (Feldt & Brennan, 1989: 105)



Dari beberapa asumsi yang mendasari pemikiran mengenai reliabilitas, kemudian diturunkanlah beberapa pendekatan untuk mengestimasi reliabilitas. Pendekatan Tes-Retes. Pendekatan ini mengestimasi reliabilitas tes dengan melakukan tes ulang, kemudian mengkorelasikan hasil tes pertama dengan hasil tes kedua. Hasil korelasi ini yang merupakan estimasi reliabilitasnya, sering juga disebut sebagai koefisien stabilitas atau keajegan. Jadi definisi reliabilitas =keajegan hanya berlaku untuk pendekatan ini. Tapi tentu saja karena tidak mungkin memenuhi persyaratan di atas, pendekatan ini memiliki beberapa kelemahan



o Hanya dapat diterapkan pada tes yang mengukur konstruk yang bersifat cenderung ajeg, misalnya kepribadian. o Estimasi reliabilitas akan dipengaruhi oleh adanya carry over effect. Maksudnya, jika jarak pengetesan pertama dan kedua sangat dekat, maka subyek akan cenderung mengingat jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama. Ini membuat makin besarnya kemungkinan subyek akan memberikan jawaban pada pengetesan kedua yang cenderung sama dengan jawaban yang diberikan pada pengetesan pertama.Hal ini akan menyebabkan overestimasi reliabilitas, tes terkesan/ terlihat lebih reliabel daripada yang sebenarnya. o Estimasi reliabilitas juga dipengaruhi adanya practice effect. Ini terjadi ketika subyek, dalam rentang waktu antara tes pertama dan kedua, belajar atau berlatih untuk meningkatkan kapasitasnya, ini terjadi khususnya dalam estimasi reliabilitas tes performansi maksimal seperti tes prestasi. Practice effect akan menyebabkan underestimasi reliabilitas, tes terkesan tidak ajeg karena adanya pembelajaran, sehingga hasil tes kedua akan cenderung lebih baik dari hasil tes pertama. Pendekatan Tes Paralel, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan menggunakan dua tes paralel, dua tes yang mengukur hal /konstruk yang sama, kemudian mengkorelasikan hasil pengetesan dari tes pertama dengan hasil tes paralelnya. Koefisien korelasi yang didapatkan disebut juga koefisien ekuivalensi. Namun demikian pendekatan ini sangat jarang (kalaupun ada) dilakukan karena sulitnya menghasilkan dua tes yang benar-benar paralel. Pendekatan Konsistensi Internal, pendekatan ini mengestimasi reliabilitas dengan membelah tes menjadi beberapa bagian, lalu "mengkorelasikan" bagian-bagian tersebut. "Korelasi" di sini sebenarnya tidak benar-benar mengkorelasikan bagian-



bagian secara harafiah, tapi menggunakan formula-formula yang dikembangkan untuk mengestimasi reliabilitasnya. Koefisien yang diperoleh dinamai juga koefisien konsistensi internal. Pendekatan inilah yang paling sering digunakan selama ini karena lebih praktis dan ekonomis. Meskipun demikian pendekatan ini tidak dapat mengestimasi error yang diakibatkan oleh keadaan temporer karena hanya dilakukan satu kali. Jadi pendekatan ini memang bukan "jawaban terhadap segala masalah" dalam hal mengestimasi reliabilitas.



Kesimpulan Jadi, reliabilitas apakah sama dengan keajegan? Jika kita melihat permasalahan ini dari kacamata asumsi yang mendasari pemikiran reliabilitas di atas, maka reliabel = ajeg. tentu saja dengan persyaratan yang mustahil untuk dipenuhi tadi. Tapi jika dilihat dalam konteks aplikasinya, reliabilitas tidak selalu sama dengan keajegan, tergantung dari pendekatan mana yang digunakan untuk mengestimasinya.



Mungkin akan lebih aman jika kita menyebut reliabilitas sebagai "tingkat kepercayaan, seberapa jauh error yang dihasilkan dari tes, dan seberapa jauh hasil tes dapat dipercaya". (Feldt & Brennan, 1989: 105)



1 Pengertian Uji Asumsi Klasik Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda yang berbasis ordinary least aquare (OLS). Jadi analisis regresi yang tidak berdasarkan OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi klasik, misalnya regresi logistic atau regesi ordinal, demikian juga tidak semua uji asumsi klasik harus dilakukan pada analisis regresi linear, misalnya uji multikolinearitas tidak dilakukan pada analisis regresi linear sederhana dan uji autokorelasi tidak perlu diterapkan pada cross sectional. Uji asumsi klasik juga tidak perlu dilakukan untuk analisis regresi linear yang bertujuan untuk menghitung nilai pada variabel tertentu. Misalnya nilai return saham yang dihitung dengan market model, atau market adjusted model. Perhitungan nilai return yang diharapkan dapat dilakukan dengan pengemasan regresi, tetapi tidak perlu diuji asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan terjemahan dari chlasical linear regressiom model (CLRM) yang merupakan asumsi yang diperlukan dalam analisis regresi linear dengan ordinary least square. Sebagai informasi, semua ini berkat kejeniusan seorang matematikawan Jerman bernama Carl Friedch Gauss. CLRM juga sering disebut dengan The Gaussian Standard, yang sebenarnya terdiri dari 10 item. Akan tetapi, yang sering kita jumpai dalam berbagai penelitian, atau berbagai buku statistic terapan mungkin hanya 4 atau 5 saja. Mengapa? Berikut sedikit uraian tentang 10 item tersebut. 1. Asumsi 1: Linear regression model Model regresi haruslah linear, meskipun bila saja sebenarnya variabel terikat Y dengan variabel bebas X tidak linear. Istilah linear ada dua macam, yaitu linearitas pada variabel dan linearitas pada parameter. Yang



disebut



ldengan



linearitas



pada



variabel



adalah



jika



digambarkan dalam grafik maka akan berbentuk garis lurus. Misalnya persamaan Y = a + bX. Seandainya persamaannya adalah Y = a + b X2 dapat disebut linear jika koefisien b mempunyai pangkat 1. Asumsi yang



diperlukan dalam regresi linear adalah linearitas pada parameter, bukan linearitas pada variabel. 2. Asumsi 2: Values are fixed in repeated sampling Nilai variabel X diasumsikan stokastik atau dianggap tetap dalam sampel yang berulang. Misalnya ada 7 data yang akan dianalisa dengan regresi (ini hanya contoh saja, karena regresi dengan 7 data tampaknya terlalu sedikit) Gaji (Juta)



Pengeluaran (Juta)



3



2,5



3



2



3



3



4



3



4



2,5



5



4,5



5



4



Jadi misalnya ambil nilai tetap untuk X, yaitu gaji 3 juta maka sampel pertama mempunyai pengeluaran 2,5 juta. Lalu ambil lagi kedua dengan gaji 3 juta maka pengeluarannya adalah 2 juta. Demikian seterusnya untuk sampel dengan gaji 4 juta dan 5 juta. Nilai X dianggap tetap pada sampel yang berulang. (dalam regresi lanjut, dapat disaumsikan bahwa X tidak stokastik). 3. Asumsi 3: Zero mean value of disturbance ui Nilai Y hasil prediksi dengan model regresi tentunya mempunya kesalahan atau tidak tepat sama dengan nilai Y pada data. Selisihnya sering disebut dengan disturbance dan sering disimbolkan dengan u. nilai ini harus mempunyai rata-rata sama dengan 0 (eksak). Ketika telah mendapatkan garis lurus pada model, maka nilai Y yang sebenarnya bisa berada di atas atau dibawah garis lurus tersebut, akan tetapi jumlahnya akan seimbang sehingga rata-ratanya sama dengan 0.



4. Asumsi 4: Homoscedasticity or equal variance of ui



Homo berarti sama atau equal, scedasticity berarti disperse atau scatter atau ada yang mengartikan sebaran. Jadi varians dari error atau disturbance haruslah sama pada masing-msaing nilai X. sebagai contoh, ada 3 orang dengan gaji 3 juta sehingga memberikan tiga buah error dan mempunyai varians. Varians ini harus sama (equal) dengan varians error pada nilai X yang lain misalnya 4 juta. Demikian seterusnya. 5. Asumsi 5: No autocorrelation between the disturbances Asumsi ini masih berkaitan dengan nilai error, yaitu bahwa untuk sembarang 2 buah nilai X, maka kedua error itu tidak berkorelasi (atau mempunyai korelasi 0). Missalnya error pada X sebesar 3 juta dengan Y sebesar 2 juta tidak berkorelasi. Penelitian lain adalah misalnya ada persamaan Y=a+bX+u dengan u adalah error. Jika ada korelasi antara u dengan u-1 (error sebelumnya) maka model akan gagal, karena Y pada model harusnya dipengaruhi oleh X saja, akan dipengaruhi oleh u. demikian seterusnya. 6. Asumsi 6: Zero covariance between ui and Xi Artinya nilai variabel bebas (X) dengan error (ui) tidak berkorelasi. Diasumsikan bahwa Y adalah dipengaruhi oleh X dan u, sehingga X dan u harus tidak saling berkorelasi. Jika X atau u berkorelasi, maka tidak mungkin mencari pengaruh masing-masing terhadap Y. Jika X berkorelasi positif dengan u, maka jika X meningkat u juga meningkat, atau jika X menurun maka u juga menurun (juga sebaliknya jika berkorelasi negatif). Sehingga sulit untuk mengisolasi pengaruh X dan u terhadap Y. asumsi ini sebenarnya akan terpenuhi secara otomatis jika X merupakan stokastik karena untuk X bernilai tetap, u akan berubah. 7. Asumsi 7: The number of observation n must than tehe number of parameters to be estimated Asumsi ini sebenarnya tidak asing bagi matematika sederhana. Jika ada dua parameter yang akan dicari nilainya maka tidak mungkin diselesaikan dengan satu persamaan (observasi).



8. Asumsi 8: Variabillity in X values Harus ada variasi nilai dalam variabel X. jika X nilainya sama untuk semua observasi maka tentunya tidak dapat diestimasi. Meskipun ini mudah dimengerti namun sering dilipakan. 9. Asumsi 9: The regression model is correctly specified Model regresi yang dibangun haruslah benar dalam arti sesuai dengan teori yang telah dikembangkan. Seperti telah dijelaskan bahwa statistic hanyalah untuk menguji teori atau fenomena tertentu. Jadi jika menggunakan variabel yang sembarangan (atau tidak berdasarkan teori tertentu) maka model regresi yang dihasilkan juga patut dipertanyakan. 10. Asumsi 10: there is no perfect multicollinearity Tidak ada hubungan linear yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Jadi asumsi ini tentunya tidak bisa diterapkan pada regresi dengan satu variabel bebas (regresi linear sederhana).



2. Uji Normalitas Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai tersebut berdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang berdistribusi normal. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel. Hal ini tidak dilarang tetapi model regresi memerlukan normalitas pada nilai residualnya bukan pada masing-masing variabel penelitian. Pengertian normal secara sederhana dapat dianalogikan dengan sebuah kelas. Dalam kelas siswa yang bodoh sekali dan pandai sekali jumlahnya hanya sedikit dan sebagian besar berada pada kategori sedang atau rata-rata. Jika kelas tersebut bodoh semua maka tidak normal, atau sekolah luar biasa. Dan sebaliknya jika suatu kelas banyak yang pandai maka kelas tersebut tidak normal atau merupakan kelas unggulan. Pengamatan data yang normal akan memberikan nilai ekstrim rendah dan ekstrim tinggi yang sedikit dan



kebanyakan mengumpul di tengah. Demikian juga nilai rata-rata, modus dan median relative dekat. Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji P Plot, uji Chi Square, Skewness dan Kurtosis atau uji Kolomogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan perbedaan persepsi diantara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistic bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistic lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik. Jika residual tidak normal tetapi dekat dengan nilai kritis (misalnya signifikasi Kolomogorov Smirnov sebesar 0,049) maka dapat dicoba dengan metode lain yang mungkin memberikan justifikasi normal. Tetapi jika jauh dari nilai normal, maka dapat dilakukan beberapa langkah yaitu: melakukan transformasi data, melakukan trimming data outliers atau menambah dataobservasi. Transformasi data dapat dilakukan ke dalam bentuk logaritma.natural, akar kuadrat, inverse, atau bentuk yang lain tergantung dari bentuk kurva normalnya, apakah condong ke kiri, ke kanan, mengumpul di tengah atau menyebar ke samping kanan dan kiri. Uji asumsi normalitas untuk mendeteksi kemungkinan normalitas kesalahan pengganggu. Uji ini dilakukan dengan cara uji chi square goodness of fit atau dapat dengan langsung mengamati distribusi yang terbentuk dari output computer untuk data yang berdistribusi normal. Metode yang digunakan untuk menguji normalitas dalam penelitia ini adalah kolomogorov-smirnov. Apabila dari hasil pengujian normalitas, terlihat sebaran data variabel X1, X2 , X3, X4, dan X5 mengikuti kurva normal maka dapat langsung diadakan pengujian hipotesis. Untuk menentukan posisi normal dari sebaran data, langkah awal yang dilakukan adalah menghitung standar deviasi. 𝐷𝑣 − 𝐷𝑣 𝑆𝐷 = ∑ ( ) 𝑛



 SD 1 = 68%  SD 2 = 95%  SD 3 = 99,7% Penentuan area ini penting, karena sebaran data yang dikatakan normal apabila sebagai berikut: 



Sebanyak 68% dari observasi berada pada area SD1







Sebanyak 95% dari sisanya berada pada area SD2







Sebanyak 99% dari sisanya berada pada area SD3



Sebaran data yang dikatakan normal: 



Apabila data tidak normal, maka diperlukan upaya untuk mengatasi seperti: memotong data yang out liers, memperbesar sampel, atau melakukan transformasi data.







Data



yang



tidak



normal



juga



dapat



dibedakan



dari



tingkat



kemencengannya (skewness). Jika data cenderung menceng ke kiri disebut positif skewness, dan jika data cenderung menceng ke kanan disebut negative skewness. Data dikatakan normal jika datanya simetris.



2.3 Asumsi Klasik Autokorelasi Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t-1). Secara sederhana adalah bahwa analisis regresi adalah untuk melihat pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terkait, jika tidak boleh ada korelasi antara observasi dengan observasi sebelumnya. Sebagai contoh adalah pengaruh antara tingkat inflasi bulanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar. Data tingkat inflasi pada bulan tertentu, katakanlah bulan Februari, akan dipengaruhi oleh tingkat inflasi bulan Januari. Berarti terdapat gangguan autokorelasi pada model tersebut. Contoh lain, pengeluaran rutin dalam suatu rumah tangga. Ketika pada bulan Januari suatu keluarga mengeluarkan belanja bulanan yang relative tinggi, maka tanpa ada pengaruh dari apapun, pengeluaran pada bulan Februari akan rendah.



Uji autokorelasi hanya dilakukan pada data time series (runtut waktu) dan tidak perlu dilakukan pada data cross section seperti pada kuisioner di mana pengukuran semua variabel dilakukan secara serempak pada saat bersamaan. Model regresi pada penelitian di nbursa efek Indonesia di mana periodenya lebih dari satu tahun biasanya memerlukan uji autokorelasi. Beberapa uji statistic yang sering dipergunakan adalah uji DurbinWatson, uji dengan Run Test dan jika data observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange Multiper. Beberapa cara untuk menanggulangi autokorelasi adalah dengan mentranformasikan data atau bisa juga dengan mengubah model regresi ke dalam bentuk persamaan beda umum (generalized difference equation). Selain itu juga dapat dilakukan dengan memasukkan variabel lagi dengan variabel terkaitnya menjadi salah satu variabel bebas, sehingga data observasi menjadi berkurang.  Sebab- sebab Autokorelasi 1). Interia: data umumnya yang digunakan berbentuk kumulatif bukan individual series. Sehingga nilai data pada satu titik lebih besar dari data sebelumnya. 2). Manipulasi Data: menggunakan data tahunan menjadi triwulan dengan cara membagi tiga data tahunan secara langsung.  Tujuan penerapan Autokorelasi Uji autokorelasi bertujuan menguji apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antara kesalahanpengganggu pada periode (t) dengan kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya). Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada problem autokorelasi. Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi Uji auto korelasi dilakukan dengan 𝛼=5%,



menggunakan



uji



Durbin-Watson



(D-W),



dengan



tingkat



kepercayaan apabila D-W terletak antara -2 sampai +2 maka tidak ada autokorelasi.  Mendeteksi adanya autokorelasi



Dalam praktek secara umum, metode yang sering digunakan adalah: Durbin-Watson Method. Dalam regresi linier tidak terjadi autokorelasi jika nilai Durbin-Watson: 1,70-2,30.  Akibat Autokorelasi Akibatnya adalah niali (t) hitung akan menjadi bias pula, karena nilai (t) diperoleh dari hasil bagi Sb terhadap b (t=b/sb). Berhubung nilai Sb bias maka nilai (t) juga akan bias atau bersifat tidak pasti (misleading). Karena adanya masalah korelasi dapat menimbulkan adanya bias pada hasil regresi.



2.4 Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas adalah untuk melihat ada atau tidaknya korelasi yang tinggi antara variabel-variabel bebas dalam suatu model regresi linear berganda. Jika ada korelasi yang tinggi diantara variabel-variabel bebasnya, maka hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terkaitnya menjadi terganggu. Sebagai ilustrasi, adalah model regresi dengan variabel bebasnya motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja dengan variabel terkainya adalah kinerja. Logika sederhananya adalah bahwa model tersesbut untuk mencari pengaruh antara motivasi, kepemimpinan dan kepuasan kerja terhadap kinerja. Jadi tidak boleh ada korelasi yang tinggi anatara motivasi dengan kepemimpinan, motivasi dengan kepuasan kerja atau antara kepemimpinan dengan kepuasan kerja. Alat statistic yang sering dipergunakan untuk menguji gangguan multikolinearitas adalah dengan variance inflation factor (VIF), korelasi pearson antara variabel-variabel bebas, atau dengan melihat eigenvalues dan condition index (CI). Beberapa alternative cara untuk mengatasi masalah multikolinearitas adalah sebagai berikut: 1. Mengganti atau mengeluarkan variabel yang mempunyai korelasi yang tinggi 2. Menambah jumlah observasi



3. Mentranformasikan data ke dalam bentuk lain, misalnya logaritma natural, akar kuadrat atau bentuk first difference delta. Multikolinearitas adalah suatu keadaan dimana terjadi korelasi linear yang “perfect” atau eksak diantara variabel penjelas yang dimasukkan ke dalam model. 



Konsekuensi Multikolinearitas Apabila belum terbebas dari masalah multikolinearitas akan menyebabkan nilai koefisien regresi (b) masing-masing variabel bebas dan nilai standar error-nya (Sb) cenderung bias, dalam arti tidak dapat ditentukan kepastian nilainya, sehingga akan berpengaruh pula terhadap nilai (t).







Pendeteksian Multikolinearitas Terdapat beragam cara untuk menguji multikolinearitas diantaranya: menganalisis



matrix



korelasi



dengan



Pearson



Correlation



atau



Spearman’s Rho Correlation, melakukan regresi partial dengan teknik auxiliary regression. Pendapat Gujarati (1995) yang mengatakan bahwa bila korelasi antara dua variabel bebas melebihi 0,8 maka multikolinearitas menjadi masalah yang serius. Gujarati juga menambahkan bahwa, apabila korelasi antara variabel penjelas tidak lebih besa disbanding korelasi variabel terkait dengan masing-masing variabel penjelas, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah yang serius. Engan demikian, dapat dismimpulkan bahwa apabila angka korelasi lebih kecil dari 0,8 maka dapat dikatakan telah terbebas dari masalah multikolinearitas. Dalam kaitan adanya kolinear yang tinggi sehingga menimbulkan tidak terpenuhinya asumsi terbatas dari masalah multikolinearitas, dengan mempertimbangkan sifat data dari cross section, maka bila tujuan persamaan hanya sekedar untuk keperluan prediksi, hasil regresi dapat ditolerir, sepanjang nilai (t) signifikan. 



Tujuan Penerapan Multikolinearitas



Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independen). Dalam model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel bebas. Uji multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF) dari hasil analisis dengan menggunakan SPSS. Apabila nilai tolerance value lebih tinggi daripada 0,10 atau VIF lebih kecil daripada 10 maka dapat disimpulkan tidak terjadi multikolinearitas. 2.5 Uji Heteroskedastisitas Uji



heteroskedastisitas



adalah



untuk



melihat



apakah



terdapat



ketidaksamaan varians dari residual satu ke pengamatan yang lain. Model regresi yang memenuhi persyaratan adalah di mana terdapat kesamaan varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap atau disebut heteroskedastisitas. Deteksi heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan metode scatter plot dengan memplotkan nilai ZPRED (nilai prediksi) dengan SRESID (nilai nresidualnya). Model yang didapatkan jika tidak terdapat pola tertentu pada grafik, seperti mengumpul di tengah, menyempit kemudian melebar atau sebaliknya melebar kemudian menyempit. Uji statistic yang dapat digunakan adalah uji Glejser, uji Park atau uji White. Beberapa



alternatif



solusi



jika



model



menyalahi



asumsi



heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas mencul apabila kesalahan (e) atau residual dari model yang diamati tidak memiliki varians yang konstan dari satu observasi ke observasi lainnya rumus regrensi diperoleh dengan asumsi bahwa variabel pengganggu (error) atau e, diasumsikan memiliki variabel yang konstan (rentangan e kurang lebih sama). Apabila terjadi varian e tidak konstan, maka kondisi tersebut dikatakan tidak heteroskedastisitas atau mengalami heteroskedastisitas.