Van Lambrex [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Van Lambrex Oleh Syarifah Isnaini



Benar kata orang-orang. Padang Pandjang itu kota yang selalu hujan. Rasanya tidak pernah sehari tidak hujan, paling tidak cuacanya lebih sejuk dibandingkan dengan Batavia yang selalu panas menyengat. Cuaca Padang Pandjang tidak jauh beda dengan di Netherland saat musim dingin, yang membuat beda di sini tentu tidak mungkin turun salju. Inilah yang membuat Van Lambrex berhasil membujuk istrinya Johanna Van Lambrex untuk tetap menetap di Hindia Belanda dan tidak perlu kembali pulang ke Netherland. Padahal sebelum pindah ke Padang Pandjang, Johanna hampir setiap hari uring-uringan selama tinggal di Batavia karena cuacanya yang panas membakar kulit. Wanita Netherland mana yang mau kulitnya menghitam terbakar matahari? Hampir setiap bepergian keluar rumah Johanna selalu menggunakan payung, keringat tak berhenti keluar dari pori-pori kulitnya, dan di saat itu juga ia terus mengutuk-utuk sembari berjanji akan kembali ke Netherland saja. Malam itu, satu minggu sebelum kepindahan mereka ke Padang Pandjang, suami istri itu bertengkar lagi. Pemicunya adalah Johanna yang tidak suka cuaca tropis di Hinda Belanda, kedua kemerosotan bisnis suaminya di Batavia. Sudah mati kepanasan, sekarang mereka hampir melarat karena jatuh miskin. “Aku ingin kembali ke Netherland. Aku punya sisa uang untuk menumpang kapal.” kata Johanna mantap pada suami yang tampak keheranan hampir kehabisan akal. “Lantas aku bagaimana? Kau ingin kita berpisah, Jo?” Johanna mendengus kesal, dihempaskan tubuhnya di atas kursi sembari meminum segelas limun dingin. “Apakah kau punya cara lain untuk membahagiakan istrimu? Tempat ini panas bagaikan di neraka! Dan sebentar lagi kita akan miskin, melarat. Kita akan sama dengan inlander!” jawabnya dengan gerutuannya. Van Lambrex mencoba menenangkan amarah dan kekesalan Johanna yang sedang mendidih, rumahtangga mereka sedang berada diujung tanduk perceraian. Ia menarik kursi di sebelah Johanna, duduk mendekat dengan istrinya itu. “Sayang, kita akan pindah ke Sumatera. Seorang kenalanku di sana memberikanku tawaran untuk memulai bisnis perkebunan. Aku yakin kali ini kita akan beruntung.” jelas Van Lambrex.



Johanna menoleh padanya, menatapnya dengan tidak yakin. Di pikiran Johanna masih terbayang kegagalan bisnis mereka di sini, mereka sempat menjadi bahan gunjingan Belanda lain. Tentu ini yang paling dihindarkan Johanna, ia tidak mau pandangan tentang status sosialnya di mata sesama Belanda jatuh. “Apakah semuanya akan baik-baik saja?” tanya Johanna meyakinkan kembali keputusan yang dibuat Van Lambrex. “Ya. Tidak usah khawatir. Hidup kita tidak akan seburuk inlander seperti yang kau bayangkan. Dan yang akan kau suka adalah cuaca di sana jauh lebih baik dari di sini.” ucap Van Lambrex dengan senyuman lega berhasil membujuk Johanna.



10 tahun sudah keluarga Van Lambrex tinggal di Padang Pandjang. Kota ini berhasil membuat kebisaan Johanna menggerutu soal panasnya cuaca sedikit berkurang. Ia menjadi jarang berkeringat dan kulitnya menerima cuaca sejuk Padang Pandjang dengan baik. Banyak yang telah terjadi selama 10 tahun ini, bisnis Van Lambrex di bidang perkebunan buah Nilam berjalan lancar malah sukses di luar dugaannya. Namanya menjadi tersohor di seantero kota karena kejayaannya membangun perkebunan buah Nilam. Buah Nilam mempunyai banyak kegunaan, terutama adalah minyaknya yang sering digunakan menjadi bahan utama minyak wangi dan pelumas peluru. Tiga tahun pertama, Van Lambrex masih bisa bersantai karena permintaan minyak Nilam tidak begitu banyak, ia tidak perlu susah payah mencari banyak pekerja. Namun setelahnya ia sangat membutuhkan itu, ada banyak pekerja pribumi yang bekerja di perkebunannya, tidak hanya dari wilayah Sumatera Tengah sekitarnya tapi dari Batavia dan Jawa juga. Pundi-pundi uang sudah berhasil ia kumpulkan selama 10 tahun terakhir, ia menjadi salahsatu orang terpandang dan terkaya di kota ini. Dan, pada tahun ketiga lahirlah seorang bayi manis bernama Thomas Van Lambrex. Sesuatu yang sangat mereka inginkan sejak 5 tahun pernikahan mereka. Thomas lahir pada minggu kedua bulan September di rumah sakit milik Netherland di Padang Pandjang. Van Lambrex dan Johanna menyambut dengan bahagia dan penuh cinta kelahiran putra pertama mereka. Rambut Thomas tidak berubah sejak ia lahir, tipis halus berwarna pirang sedikit kemerahan. Bola matanya yang bulat bak kelereng tampak indah dengan warna biru yang lembut. Dan kini anak laki-laki itu telah berusia tujuh tahun, Thomas dibesarkan dengan sangat baik oleh orangtuanya, terlebih Johanna yang memiliki tanggungjawab untuk mendidik anaknya menjadi seorang Netherland



tulen. Anak itu dibesarkan dengan cara Netherland, mulai dari cara duduk, berdiri, makan, berpakaian hingga bergaul. Johanna telah mengarahkan Thomas agar berteman dengan orang Netherland meskipun di sekitar lingkungan mereka ada beberapa orang inlander, baik itu rekan bisnis Van Lambrex, pembantu, tukang kebun, pedagang sate, dan pekerja di kebun milik mereka. Keluarga Van Lambrex memiliki seorang pembantu bernama Upik, seorang wanita Minang berusia sekitar 30 tahunan yang memiliki 4 orang anak dan seorang suami yang bekerja dengan Van Lambrex membuat minyak nilam. Upik telah bekerja di rumah itu sejak pertama kali Van Lambrex pindah ke Padang Pandjang, ia bersedia dibayar berapa pun saat itu dengan kondisi keuangan majikannya yang belum jelas demi membantu sang suami menghidupi dapur rumah mereka di kampung. Upik cukup tangguh menjadi seorang pembantu Netherland, terlebih mendapat majikan seperti Johanna yang judes, suka menyuruh seenaknya, dan bermulut kasar, tidak jauh beda dengan kebanyakan noni-noni Belanda lain, jadi Upik memakluminya. Upik tidak kesal pada Thomas, anak ini tidak tahu apa-apa mengenai perangai orangtuanya dan tentu tidak ada sangkut pautnya tentang itu. Upik merawat dan mengurusi Thomas seperti anaknya sendiri, rasa sayangnya pada Thomas tidak berbeda dengan rasa sayangnya pada 4 anaknya di rumah, yang membedakan hanyalah status sosialnya dengan sang tuan kecil. Pagi ini cuaca cerah. Thomas sedang bersiap berangkat ke sekolah, ia sudah terjaga tak lama setelah ayam jantan berkokok. Johanna tidak membantu anaknya itu bersiap, ia sibuk berdandan di kamarnya, membetulkan tatanan gaun yang melekat di tubuhnya dan perhiasan yang terpasang di daun telinga dan lehernya. Wanita Netherland memang suka bersolek, mereka bahkan sanggup menghabiskan setengah dari sehari waktu hidupnya untuk berdandan di depan cermin. Van Lambrex tengah bersiap pula pergi ke kebun, ia menyantap sarapan pagi yang dibuatkan Upik untuknya dan keluarganya. Thomas duduk bersama ayahnya di ruang makan, di satu meja bundar yang sama. Diperhatikannya Van Lambrex yang menyantap sarapan pagi dengan lahap, Thomas heran mengapa Johanna sering melewatkan waktu sarapan pagi bersama dirinya dan Van Lamrex. Johanna memekik dari kamarnya memanggil Upik. “Upik!” panggil Johanna dengan suaranya yang lantang dan melengking. Upik dengan segera bergegas pergi dari dapur meninggalkan pekerjaan menuju kamar sang majikan. Upik selalu menundukan wajahnya saat berbicara dengan tuannya, karena tidak sopan jika menegakkan kepala.



“Ada apa, Nyonya?” “Ikatkan pita ini.” perintah Johanna sambil memegang dua utas kain berenda di bagian belakang pinggangnya yang ramping. Upik segera membantunya dengan posisi bersimpuh di belakang Johanna. Upik tidak begitu pandai berhias seperti Johanna, malah hampir tidak bisa. Jadi, ia hanya mengikatkan begitu saja dua utas kain itu seperti mengikatkan dua utas tali. “Sudah, Nyonya,” ucap Upik pelan. Johanna memutar badannya, dilihatnya hasil ikatan Upik pada pinggangnya. “Bukan seperti ini bodoh!” bentak Johanna kesal, suaranya terdengar hingga ruang makan. Thomas menoleh ke arah kamar itu, tapi tidak berani melihat ke dalam. “Saya tidak pandai, Nyonya,” kata Upik tak enak hati. “Lakukan seperti dulu kau mengikatkan tali sepatu Thomas.” Johanna masih kesal, ia membalikan badannya seperti semula, memberikan kesempatan sekali lagi pada Upik. Setelah selesai berdandan barulah Johanna menghampiri suami dan anaknya di meja makan untuk menyantap sarapan pagi mereka. Thomas adalah anak yang tidak begitu suka banyak bicara, ia tidak suka banyak basa-basi, dan ia akan bertanya hal-hal yang ia ingin tanyakan saja. Seperti biasa anak itu tidak bernafsu menyantap makanannnya, menghabiskan makanannya dengan lambat. “Thomas, mengapa kau selalu tampak tidak bernafsu menyantap makananmu? Masakan Upik tidak enak ya?” tanya Johanna dengan ramah. “Masakan Upik sangat enak, aku menyukainya,” jawanya sambil meneguk segelas susu. “Lalu mengapa?” “Aku ingin Mama sarapan pagi bersama kami tepat pada waktunya. Jangan terlalu lama berdandan di kamar,” jelas Thomas yang mengelap bibirnya dengan serbet. Johanna tersenyum, ia tidak menanggapi serius keluhan anaknya. “Baiklah. Tapi kau harus tahu, wanita itu harus berdandan, Nak,” kata Johanna membela dirinya, memperhatikan Thomas yang turun dari kursi, mengambil tas punggungnya. Van Lambrex pun demikian, mereka menghabiskan sarapannya di waktu yang hampir bersamaan. Johanna meletakan sendok garpunya saat melihat Van Lambrex berdiri dari duduknya, bergegas ia memberikan sentuhan terakhir pada pakaian Van Lambrex sebelum suaminya itu pergi meninggalkan rumah pagi ini.



“Tapi Mama sudah cantik. Jadi tidak perlu berdandan lagi.” tukas Thomas sambil berjalan keluar rumah bersama Van Lambrex. Thomas dan Van Lambrex melambaikan tangan mereka pada Johanna yang berdiri di depan pintu sebelum keduanya menaiki mobil.



Padang Pandjang adalah tempat persinggahan bagi siapapun yang melintas di Sumatera bagian tengah. Kota ini adalah pintu masuk menuju Boekittinggi dan Padang. Untuk itulah Padang Pandjang menjadi salahsatu kota militer agresi Netherland. Sama seperti kota pintu gerbang lainnya, tidak semua orang biasa leluasa keluar masuk, penjagaan ketat tentara Netherland ada dimana-dimana. Bahkan di tengah kota pun mudah dijumpai banyak tentara berjaga untuk mengantisipasi serangan dari pemberontak kaum Inlander. Pemandangan kaku ini menjadi pemandangan yang biasa dilihat Thomas seumur hidupnya. Wajah-wajah tentara yang kaku, pemarah, dan penuh kecurigaan pada siapapun tampak jelas baginya. Belum terpikirkan oleh bocah ini mengapa bangsanya yang notabene adalah bangsa pendatang di tanah orang justru lebih berkuasa. Thomas bersekolah di sebuah sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah Netherland. Jangan terkecoh dengan embel-embel ‘umum’ karena tidak sembarangan orang bisa bersekolah di sini. Anak-anak Netherland tulen tentu sudah pasti bisa bersekolah di sini, namun belum tentu bagi anak-anak berdarah campuran Inlander. Kalaupun ada pasti hanya beberapa orang saja, dan sudah pasti akan menjadi bahan ejekan bagi teman-temannya. Semua orang tahu jika seorang Netherland menikahi Inlander maka akan dianggap sebuah kehinaan dan kenistaan. Johanna telah mewantiwanti Thomas agar tidak bergaul dengan anak-anak blasteran Netherland dan Indonesia itu. Orang Indonesia yang beruntung bisa bersekolah di sekolah pemerintah Netherland adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah anak-anak dari orangtua mereka yang bekerja di pemerintahaan Netherland dengan posisi yang tinggi dan cukup disegani. Ya, hanya mereka yang mau bekerja dengan pemerintah Netherland saja yang boleh bersekolah. Dengan kata lain para wali adat, wali nagari, wali jorong, datuak-datuak, dan pemuka adat di perkampungan di Padang Pandjang tidak bisa menyekolahkan anak kemanakan mereka di sana. Sekolah dasar ini dinamai Eurospeesch Lagere School atau yang disingkat ELS. ELS menerapkan lama studi sekitar 7 tahun dengan materi pembelajaran menggunakan bahasa Netherland. Satu ruangan berisi sekitar 10 orang murid, satu meja belajar bisa ditempati 2 sampai 3 orang murid. Thomas duduk satu meja dengan Joep Barker, si anak super rapih nan jutek dan



Vince Bronkhosrt, teman dekat Thomas yang duduk di dekat jendela. Sudah menjadi kesukaan anak seumurannya untuk mengobrol dengan teman sebangku sebagai penghilang rasa suntuk di dalam kelas, tak peduli guru sedang mengajar di depan kelas. “Joep, pulang sekolah nanti kau mau menemaniku bermain tenis?” bisik Thomas. “Nee1. Ibuku pasti marah jika aku tidak pulang tepat waktu,” jawab si wajah bintik-bintik ini. “Lagipula di lapangan tenis itu hanya ada orang dewasa saja, Thom.” sambungnya. Thomas tentu kecewa, wajahnya agak sedikit ditekuk, hidupnya tidak seperti anak-anak Netherland lain yang bebas bermain sepulang sekolah. Bahkan dengan teman-temannya sekelasnya yang lain. Diambilnya karet penghapus milik Vince untuk menghapus tulisannya yang salah di buku. “Kita bermain di sekolah saja. Itu yang bisa kita lakukan,” kata Vince pada dua temannya itu. “Membosankan.” gerutu Thomas. “Kita bisa berlari-lari di lapangan, dan memanjati pohon jambu besar di pinggir lapangan itu, Thom. Tidak ada yang akan mengomeli kita,” ucap Joep. Thomas rasa ide Joep bagus juga, meskipun ia tidak begitu suka memanjat pohon, tapi ia rasa itu akan menyenangkan. Sudah terbayang olehnya semilir angin saat ia duduk di salahsatu batang sembari memperhatikan area sekolah dari atas. Perbincangan ketiganya tampaknya menggangu tiga anak pribumi yang duduk di belakang. Siti, salahsatunya. Gadis berambut hitam, berkulit sawo matang itu menegur ketiganya. “Jangan berisik!” tegur Siti dengan suara pelan tapi terdengar kesal. Joep tak suka jika ada seorang Inlander menegurnya, apalagi seorang bocah seumurannya. Joep menoleh dengan kesal dan memasang wajah penuh kesombongan pada Siti. Setelah merasa cukup melototi Siti, Joep memalingkan wajahnya dengan pongah. Di antara tiga sekawan ini, bagi Siti yang paling baik hati dan bersikap normal adalah Thomas meskipun terkadang Thomas mengesalkan baginya. Lonceng tanda istirahat berbunyi. Semua murid keluar dari dalam kelas bagaikan kelompok semut yang baru keluar dari sarang mereka. Mereka berpencar ke beberapa tempat untuk menyantap makan siang mereka, dan ada juga bermain. Ada beberapa anak Netherland yang mau menerima beberapa anak pribumi di lingkungan sekolah, ada beberapa kelompok yang terdiri dari anak Netherland dan pribumi sedang berkumpul bersama. Suara tawa dan teriakan suka cita terdengar dimana-mana, anak-anak 1



Tidak.



memang selalu bersemangat saat bermain. Tiga sekawan ini hanya berdiri di pinggir taman bermain memperhatikan anak-anak Netherland lain bergelayut di empat buah ayunan, bermain perosotan, dan jungkat-jungkit. Permainan itu memang mengasyikan tapi ada kalanya membosankan, dan kini mereka sedang berada di titik kebosanan. “Ayo kita memanjat pohon jambu saja!” ajak Thomas yang beranjak dari duduknya, diikuti Joep dan Vince. Langit mulai terlihat mendung tapi belum terlalu gelap, tiupan angin mulai terasa di kulit mereka. Dari kejauhan terlihat sebuah pohon jambu di pinggir lapangan olahraga, sejauh mata memandang belum ada orang yang bertengger di atasnya, karena jarang sekali anak Netherland yang mau memanjat pohon seperti seekor kera. Ketiganya sudah berada di bawah pohon rindang itu, “Kau mau naik duluan, Thom?” tawar Joep, sebenarnya ia meledek temannya ini karena ia tahu Thomas tidak ahli soal memanjat pohon. Thomas memandangi dari bawah sampai atas pohon yang ada di hadapannya ini, ia mencoba melawan rasa takut dan keraguannya. Satu hal yang ia tahu saat ini adalah akan begitu menyenangkan jika ia berhasil bertengger di salahsatu dahannya. “Kau saja duluan. Nanti tolong bantu aku dari atas,” jawab Thomas. Tidak ada yang memandingi rasa percaya diri Joep Barker, ia lantas mengambil ancang-ancang untuk menaiki pohon itu. Thomas dan Vince membantunya naik dengan mendorong bokong Joep dari bawah hingga bungsu Barker itu berhasil naik. “Sekarang giliranmu anak manja,” kata Joep sambil mengulurkan tangannya pada Thomas yang menaikan kaki kanannya ke badan pohon. Thomas menggapai tangan Joep, berpegang kuatkuat padanya, ia terus berusaha agar bisa naik dan duduk di ranting yang sama dengan Joep. “Dimana aku akan duduk?” tanya Thomas dengan napas yang terengah-engah. Kini ia sudah berhasil naik meskipun posisinya di bawah Joep. Kedua kakinya berada di antara dua persimpangan cabang ranting yang besar. Joep tahu ranting yang didudukinya sekarang tidak begitu kuat untuk menompang dua badan anak-anak, jadi lebih baik Thomas duduk di tempat ia berdiri sekarang. “Di sana saja.” “Aku ingin lebih tinggi lagi!” pinta Thomas. “Di sana lebih baik daripada kita berdua jatuh. Kau tidak ingin kakimu patah lalu diomeli Nona Susan dan ibumu ‘kan?” seringai Joep.



“Tidak.” Thomas menggeleng, dan ia lantas duduk dengan tenang sembari membiarkan kedua kakinya menggantung. Sesekali ia menggerak-gerakan kakinya dengan senang. Ketiga sahabat itu saling bercerita, dari satu topik pembicaraan bisa berubah ke topik lain yang jauh berbeda. Thomas tidak melihat lagi hamparan langit biru cerah seperti yang ia lihat tadi pagi, kini yang ada awan warna kelabu pucat beriring. Sudah pasti ini pertanda akan turun hujan sebentar lagi. “Oi Bulando! Manga bapanjek batang jambu tu? Kecek ang anduang ang nan punyo2?” sorak satu dari segerombolan anak inlander dari balik tembok pembatas sekolah mereka. Sontak ketiganya menoleh ke arah suara anak laki-laki itu. Joep kesal karena ada yang menyorakinya dengan tidak sopan. Joep dan Thomas melihat ke sekeliling di bawahnya. Dan benar, ada tiga anak inlander kucel, berambut hitam, dan berkulit hitam kecokelatan hampir gosong jongkok di balik pagar pembatas. Terpampang jelas wajah-wajah kecil penuh kebencian pada mereka anak Netherland penjajah tanah mereka. Thomas, Joep, dan Vince mengerti bahasa Indonesia bahkan Minangkabau, karena mereka terlahir di kota ini. Di rumah mereka, bahasa Indonesia dan Minangkabau menjadi bahasa kedua mereka saat berinteraksi dengan para jongos. Tentu para jongos di rumah mereka tidak berani mengajarkan kata-kata kasar pada anak tuan mereka, tapi sesekali tidak sengaja terdengar oleh tuan mereka. “Baruak bulando!3” sorak anak lain dari gerombolan yang sama.



Joep yang kesal



membalas ejekan itu dari atas pohon. “Baruak kaliang4!” balas Joep dengan senyuman sombong sinis miliknya. Bunyi lonceng tanda masuk kelas tiba-tiba berbunyi, belum sempat membalasi umpatan Joep pada mereka, gerombolan anak inlander itu bergegas pergi karena takut ketahuan petugas sekolah. Thomas pun ikut bergegas turun dari pohon, ia sedikit canggung saat akan turun. “Bagaimana ini?” gumamnya seorang diri, sebelah kakinya hampir menyentuh tanah, kedua tangannya masih berpegang pada batang pohon. Vince membantunya turun. “Cepatlah, Thom!” perintah Vince yang panik melihat seorang guru laki-laki berkumis memperhatikan mereka dari depan ruangan kepala sekolah. Jika tiga anak itu tidak juga beranjak



2



Hei Belanda! Mengapa kau panjat pohon jambu itu? Kau pikir pohon itu milik kakekmu? Monyet Belanda! 4 Monyet hitam! 3



dari pohon itu dan masuk ke dalam kelas maka si pria berkumis akan datang untuk memarahi mereka. Mau tidak mau, Thomas melepaskan kedua genggaman tangannya, dan menurunkan satu kakinya meskipun menghadiahinya sedikit memar di dengkulnya saat terjatuh. Kemudian Joep turun, tiga anak Netherland itu berlari bergegas menuju kelas mereka. Memar didengkulnya memang sedikit menyakitkan baginya, tapi ia senang bisa memanjat pohon lagi. Bukan anak lakilaki namanya jika tidak memiliki luka di tubuhnya, begitu yang sering diucapkan Van Lambrex pada Thomas.



Perkataan Joep padanya sungguh menjadi kenyataan. Johanna tak henti mengomel saat mendapati ada luka di dengkul anak laki-laki kesayangannya. Meskipun mulutnya terus berbicara seperti kereta api, Johanna terus mengobati luka kecil Thomas itu. Thomas duduk di pinggir tempat tidurnya mendengarkan Johanna yang menasehatinya sambil sesekali menjawab pertanyaan sang ibu. “Siapa yang mengajarimu memanjat, Thom?” tanya Johanna yang membersihkan dengkul Thom dengan alkohol. “Joep, Mama,” jawabnya jujur. “Joep? Tidak mungkin. Mama tidak percaya dia bisa melakukannya. Anak Netherland tidak seliar itu sayang.” Johanna tak percaya apa yang diucapkan anaknya, ia yakin pasti ada orang lain yang mempengaruhi anaknya untuk bertingkah seperti inlander. “Upik?” tuduh Johanna seenak perutnya. “Tidak.” “Lalu?” ia masih penasaran, dan terus mengintrogasi anak ini. Ia pikir-pikir tidak mungkin jika seorang wanita pandai memanjat pohon, lagipula ia tidak pernah melihat Upik memanjat pohon di rumah mereka. Ah! ada satu nama yang muncul di kepalanya. “Buyung?” si tukang kebun. Bisa saja karena yang mengurusi soal tanaman dan pohon di rumah mereka adalah Buyung. “Tidak juga,” jawab Thomas yang melihat pada obat merah yang dioleskan Johanna di dengkulnya. “Anak laki-laki harus pandai memanjat pohon. Joep dan Vince menertawaiku saat tahu aku tidak bisa memanjat pohon.” sambungnya. Johanna tersenyum simpul hampir tak kelihatan, berbicara dari hati ke hati dengan seorang anak bukanlah keahliannya, buktinya ia tidak bisa percaya pada anaknya sendiri dan Thomas tidak bisa jujur pada ibunya. Ia menggunting sekitar empat sentimeter perban lalu merekatkannya di dengkul Thomas.



“Apapun itu, jangan lakukan lagi. Berbahaya.” Johanna mengelus kepala Thomas dengan seutas senyum manisnya.



Sebuah kereta uap berhenti di stasiun Padang Pandjang, kepulan asapnya yang hitam berhasil ditembus oleh rintik hujan yang sedang mengguyur kota di atas bukit ini. Para penumpang dengan tujuan Padang Pandjang bergegas turun, banyak wajah-wajah Netherland dan pribumi di sini. Tukang angkat berbondong-bondong menghampiri para Menir dan Noni yang turun, membujuk kaum elit itu agar bersedia dibawakan barangnya. Beberapa orang pria baru saja turun dari kereta membawa barang mereka sendiri. Para pria pribumi itu memperhatikan stasiun Padang Pandjang yang menjadi tempat akhir pemberhentian mereka. Sudah berminggu-minggu mereka melakukan perjalanan dari Pulau Jawa ke Sumatera hanya untuk mencari pekerjaan baru di sini. Seorang pria Indonesia di Jawa menyuruh mereka datang ke Padang Pandjang agar bekerja dengan Van Lambrex di kebun Nilamnya. Di Jawa nama Van Lambrex mulai dikenal dikalangan Netherland karena kesuksesannya membangun bisnis perkebunan Nilam. Saat kelimanya hendak keluar dari stasiun, mereka dicegat oleh tentara Netherland penjaga di pintu masuk stasiun. Wajah mereka yang asing dan sangat pribumi menimbulkan kecurigaan para tentara itu. “Siapa kalian?” tanya komandan berkumis dan bertopi bundar. “Kami pekerja dari Jawa, Tuan,” jawab salah seorang dari mereka. Jawaban ini tidak memuaskan rasa penasaran si komandan, ia memperhatikan pria lusuh dan kurus itu dari ujung kaki sampai ujung rambut sembari memainkan kumisnya yang melintang dengan tangan kirinya. “Ada urusan apa kalian datang ke sini?” “Kami dikirim Adipati Dharma Sutjipto untuk bekerja dengan Tuan Lambek,” jawab si pria pribumi dengan jujur. Empat tentara Netherland masih tetap mematutkan pandangan mereka pada kelompok pekerja ini, mereka masih curiga jangan-jangan lima orang ini adalah mata-mata pemberontak Indonesia. Tapi tentara itu tahu jika Van Lambrex sering memesan pekerja untuk kebunnya dari luar daerah, jadi mungkin saja lima pribumi ini jujur. “Awasi mereka sampai mereka sampai di tempat Tuan Van Lambrex,” ucap pelankomandan pada anak buahnya. Tentara bersenjata itu membiarkan pekerja pergi tapi dua orang tentara muda mengikuti kelimanya diam-diam.



Panji, Dimas, Tono, Bambang, dan Ngadiem tampak masih kebingungan setelah lolos dari pemeriksaan Netherland. Mereka bingung kemana mereka setelah ini, dari kejauhan tak jauh dari pintu masuk stasiun ada beberapa bendi dan pedati terparkir di pinggir jalan. Mereka bergegas menghampiri salahsatu bendi dan bertanya. Si kusir bendi menyadari kedatangan calon penumpangnya, pria tua berkumis di dagu, berkumis, berkupiah hitam, berbaju koko, dan bersarung di pundaknya itu tersenyum lebar senang sekali. “Hendak kemana, Tuan?” tanyanya sopan. “Kami ingin pergi ke kebun Tuan Van Lambek. Bisakah bapak mengantarkan kami?” jawab Ngadiem dengan sopan santun. “Tuan Van Lambek?” si kusir tampak sedikit kebingungan, keningnya tertaut dan berkerinyit. “Tuan Van Lambek, pemilik kebun Nilam,” tambah Bambang. “Oh itu. Pak Lambiak. Bisa-bisa…” barulah si kusir ingat, ia cengengesan. “Ayo naik, biar saya antarkan.” sambungnya yang langsung berpindah ke depan di kursi kemudi. Kuda masih bertahan ditengah hujan yang turun deras, suara hentakan sepatunya terdengar, bersamaan dengan suara percicikan kaki saat menginjak genangan air. Tampaknya si kusir sangat senang, sedari tadi ia tak henti bersenandung syair Minangkabau yang pasti tidak dimengerti oleh Panji dan kawan-kawan yang menumpang di bendinya. “Kalian datang dari mana, Tuan?” tanya si kusir sambil bersenandung. “Kami datang dari Jawa, Pak,” jawab Ngadiem dengan logat jawanya yang medok. “Dari Jawa, jauh sekali. Di sini banyak pekerja Pak Lambiak yang berasal dari Jawa.” tanggap si kusir. “Pak Lambiak itu katanya baik, tapi banyak yang mengatakan jika Nyonya Lambiak sangat judes. Berbeda dengan suaminya.” sambungnya. “Begitu ya, Pak. Tapi ‘kan kami tidak bekerja untuk Nyonya Van Lambek,” ucap Dimas yang memegangi salahsatu besi pemegang di atas kepalanya. “Benar. Namun si nyonya katanya suka berkunjung ke perkebunan.” katanya, senandungnya terhenti tiba-tiba. “Aneh sekali, kaum pendatang bisa lebih galak daripada penduduk asli,” keluh si kusir. Tak lama kemudian, sampailah mereka di depan perkebunan milik Van Lambrex yang menghampar luas. Para pria Jawa itu turun sambil menurunkan barang bawaannya. Mereka mengumpulkan beberapa uang untuk membayar ongkos bendi, 10 sen.



“Tambahlah sedikit. Kuda saya kehujanan,” pinta si kusir dengan memelas. Beruntung ia bisa meminta ini pada pribumi, jika ia melakukanya pada Belanda paling tidak ia akan dimarahi. Sebenarnya tidak adalagi uang sen yang tersisa di kantung celana mereka, hanya ada dua koin uang 10 sen dan 5 sen di dalam saku celana Dimas. Dimas merogoh sakunya, memberikan uang 5 sen pada si kusir. “Ini, Pak. Terima kasih,” kata Dimas. “Sama-sama,” jawab si kusir yang puas dengan tambahan 5 sen untuknya. Kusir memecut kembali kudanya dengan pecutan di tangannya, bendi itu bergerak meninggalkan perkebunan tersohor itu.



Thomas yang manis tertidur di siang yang lembab ini di kamarnya. Johanna sedang tidak berada di rumah, seperti wanita berkelas Netherland lainnya kini ia sedang berkumpul dengan nyonya-nyonya Netherland lain di sebuah rumah. Salahsatu hobi wanita Netherland adalah berkumpul dan berpesta kecil-kecilan di rumah mereka. Menikmati air sirup yang merah, kue-kue manis dan obrolan yang menarik seputar kesuksesan suami mereka dalam hal mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Anak itu terjaga ketika penciuman hidungnya menangkap bebauan yang ia sukai, berasal dari asap panggangan tukang sate pikul yang melintas di depan rumahnya. Ya, Thomas telah membiasakan lidahnya pada beberapa makanan Hindia Belanda, dan sate adalah kesukaannya. Johanna sedikit keberatan jika anaknya menyukai makanan Hindia Belanda, ia terus mengingatkan Thomas agar tetap menyukai makanan bangsa mereka, tak lupa hampir setiap hari Johanna membuatkan keluarganya masakan Belanda. Thomas keluar dari selimut dan bergegas turun dari tempat tidur. Dipanggilnya Upik yang berada di dapur. “Bik Upik!” panggil Thomas yang tak sabaran. Mendengar sang tuan muda terjaga dan menyebut namanya, Upik bergegas menjumpai Thomas di ruang tengah. Thomas memperhatikan Upik dengan tatapan penuh harap dan senyuman manisnya. “Ada apa, Tuan?” “Aku ingin makan sate,” jawabnya dengan lugu, ia menolehkan pandangannya sejenak ke arah jendela rumah yang terbuka lebar, kain jendelanya yang tertiup angin. Upik pun mengikuti kemana pandangan Thomas menuntunnya, dilihatnya di seberang jalan ada seorang pria yang



memikul dua buah gentong besar berisikan sate. Pria yang menggunakai topi tani itu tampak basah dan gagah melewati deras hujan sore ini. “Tuan ingin makan sate? Kalau ketahuan oleh nyonya bagaimana? Nyonya akan marah,” jelas Upik yang sebenarnya enggan menuruti permintaan Thomas. Jika ketahuan Johanna ia pasti dimarahi habis-habisan. Bocah ini sedikit licik dan cerdik akibat berteman dengan si Joep yang berakal dan usil, ia tak akan kehabisan akal untuk membujuk Upik membelikannya sate kesukaannya. Dipasangnya tampang dengan ekspresi memelas. “Ayolah, sekali ini saja, Bik.” rayu Thomas. Upik bingung berkata apa, ia tergagu. “Ta-ta-pi Tuan---.” belum selesai penolakannya yang kedua, Thomas telah menarik tangannya, mengajaknya keluar rumah. Upik mengambil sebuah payung berwarna hitam yang ada di balik pintu saat Thomas membukakan pintu rumah dengan gembira. Satu langkah sebelum tuannya melangkahkan kakinya keluar, Upik telah mengembangkan payung dan memayungi Thomas. Thomas berjalan keluar pekarangan rumah sambil memegang erat tangan pembantunya itu, ia tidak percaya apa itu status sosial, baginya semua orang harus berbuat baik pada siapapun, dan setiap orang berhak menerima kebaikan dari orang lain. Upik sedikit tidak tenang saat mengantarkan Thomas membeli sate, sesekali ia melihat ke sekelilingnya, berjaga jika nyonya rumah sudah kembali dari berpesta. Bisa saja Johanna sudah kembali dan memergokinya membelanjakan Thomas sate lalu kemudian menjambak rambutnya dari belakang sambil marah-marah. Imajinasinya ini sebenarnya terlalu berlebihan, karena selama ini meskipun Johanna sangat judes padanya, ia belum pernah mengalami kekerasan fisik dari sang nyonya. Upik masih bisa melihat kebaikan dari diri Johanna Van Lambrex. “Bik, aku tidak memiliki uang. Bisakah aku meminjam uangmu terlebih dahulu? Nanti aku akan mengembalikannya,” kata Thomas yang tidak pernah menepati janjinya, hanya saja sering lupa. “Tentu Tuan. Tuan Thomas tidak perlu menggantinya,” jawab Upik yang ikhlas lima koin uangnya dipakai oleh Thomas. Thomas tersenyum senang, ia kemudian memesan lima tusuk sate daging sapi pada penjual. “Aku ingin makan sate. Ini uangnya,” katanya cuek, diberikannya lima koin itu pada pria bertopi caping itu. “Mau pakai lontong?” tawar si penjual.



“Nee. Thomas tidak suka lontong,” jawab Thomas dengan jijik menarik ke atas kedua bibir kecilnya. “Indak tantu nan lamak nyo ko. Salero anak bulando ko aneh yo 5,” ledek si penjual sate. Upik ikut tertawa pelan, Thomas masa bodoh si tukang sate meremehkan selera makannya. “Kalau tanpa lontong tidak kenyang, Tuan.” “Biar saja.” Thomas cuek, baginya inti kenikmatan dari sebuah sate adalah dagingnya. “Aden suko dagiangnyo sajo6.” tambahnya dengan bahasa Minang yang terbata dan masih terdengar logat Belandannya. “Jadih, tasarah di anglah, Yuang7,” kata si tukang sate yang semakin getol menggodai putra Van Lambrex ini. Si tukang sate mengambil lima tusuk sate, dan meletakannya di atas panggangan arang, mengipasinya dengan sabar. Thomas memperhatikan bagaimana lima tusuk satenya dibakar, ia heran mengapa tidak ada api sama sekali. “Mengapa apinya tidak menyala?” tanya Thomas penasaran. “Kalau apinya besar, nanti satenya akan gosong dan satenya jadi tidak enak, Tuan,” jelas Upik padanya. Thomas mengangguk mengerti. Upik memperhatikan Thomas yang sangat sabar menuggui satenya matang, tangan kiri Thomas terus menggenggam tangannya, dan tangan kanan Thomas sesekali mengusap peluh yang ada di pelipisnya. Anak ini sedang berusaha melawan penatnya. “Apakah Tuan lelah? Apakah Tuan ingin menunggu di rumah saja? Nanti biar saya bawakan untuk Tuan,” tanya Upik perhatian. Thomas menggeleng. “Tidak, Bik. Aku akan menunggunya,” jawab Thomas. Untungnya sate baru saja matang, si penjual segera memindahkan sate itu ke dalam wadah yang beralaskan daun pisang, kemudian menyiramnya dengan kuah kuning yang panas. Senyum puas Thomas merekah, ia senang. Diterimanya dengan kedua tangannya yang kecil seporsi sate padang yang begitu lezat, Thomas kemudian duduk di atas batu besar di bawah pohon besar di dekat tukang sate. Pancaran kebahagiaan begitu terlihat dari binar mata anak ini, begitu sukanya ia pada sate hingga membuatnya begitu lahap menyantap dan selalu tersenyum. Upik beruntung memiliki majikan yang mempunyai anak sebaik Thomas, baginya Thomas tidak banyak tingkah seperti anak



5



Tidak tahu yang enak dia. Selera anak Belanda memang aneh ya. Aku suka dagingnya saja. 7 Okelah, terserahmu sajalah, Nak. 6



Netherland lain. Thomas tidak pernah nakal padanya, dan tidak suka marah-marah seperti Johanna. Bagi Thomas, Upik bukanlah babunya, ia menganggap Upik adalah bagian dari keluarganya. Oh! Thomas tiba-tiba teringat sesuatu saat menyadarinya ia sedang berada di bawah pohon besar di depan rumah Tuan Deer ini. Ia ingin menceritakan apa yang ia alami hari ini pada Johanna selain jatuh dari pohon, tapi karena Johanna tidak ada maka ia akan bercerita pada Upik saja. “Bik, aku mau bercerita tentang apa yang terjadi di sekolah hari ini,” kata Thomas sambil menyuapkan sate ke mulutnya. “Cerita apa itu, Tuan?” “Saat aku duduk di atas pohon bersama Joep dan Vince, kami diejek oleh beberapa anak kampung dari balik pagar sekolah. Mereka menyebut kami monyet!” jelas Thomas. “Jahat sekali mereka. Kita tidak boleh mengejek oranglain,” “Ya. Aku diam saja, tapi Joep yang menjawab ejekan mereka,” kata Thomas yang menguyah satenya yang lezat di tengah cuaca yang dingin seperti ini, kepulan asap kecil terlihat dari piring satenya. Aroma khas rempah asli Hinda Belanda begitu pekat tercium oleh hidungnya. “Apa yang Joep katakan pada mereka?” “Dia bilang ‘Baruak Kaliang!’” ucap Thomas yang menirukan gaya bicara sahabatnya itu. “Mengapa anak inlander seperti mereka tidak sopan begitu, Bik?” Thomas benar-benar ingin tahu, ia melihat pada Upik, menanti jawaban dari pertanyaan. “Mereka seperti itu karena tidak dididik dan bersekolah seperti Tuan Thomas. Mereka tidak bisa sekolah seperti Tuan,” jawab Upik seadaanya. “Tapi bukankah anak-anak bibi, Sari, Amin, Sjafri, dan Indah adalah anak-anak yang baik? Mereka tidak bersekolah sepertiku,” tanya Thomas lagi. Pertanyaannya semakin sulit dijawab oleh Upik, sebuah pertanyaan yang jarang ditanyakan oleh anak berusia 7 tahun. Upik bingung bagaimana ia harus menjelaskannya pada Thomas, ia tidak yakin Thomas akan mengerti dengan jawabannya. “Itu semua tergantung bagaimana orangtua mereka mendidik. Tuan Thomas anak yang baik karena Tuan dan Nyonya mendidik Tuan Thomas dengan sangat baik,” jelas Upik dengan sederhana dan singkat. Thomas masih terdiam dan memandanginya sembari mencerna jawabannya barusan. “Jadi, apakah orangtua mereka jahat?” pertanyaan baru muncul lagi, kini Thomas membutuhkan jawaban memuaskan yang mampu mengusir dahaga penasarannya. Satu tusuk



terakhir ia suapkan ke dalam mulutnya, ini baru perutnya yang kenyang, keingintahuannya masih menggantung. Upik tidak bisa menjawab, pertanyaan ini sullit ia jawab untuk Thomas yang masih kecil. Ia mencari alasan agar mengalihkan perhatian tuan kecil ini. “Ayo cepat habiskan, Tuan, sebelum nyonya kembali.” kata Upik. “Sudah habis, Bik.” Thomas memberikan piringnya pada Upik. Di sekitar bibirnya masih terdapat kuah sate yang belepotan, anak ini terlalu bersemangat menyantap satenya. Upik memberikan piring itu pada penjual sate. “Bagaimana rasa satenya, Tuan?” goda si tukang sate ini. “Lamak bana8!” seru Thomas senang, si tukang sate tertawa melihat kepandaian bocah londo ini berbahasa Minang. “Tarimo kasih, Uda. Kami baliak dulu,9” kata Upik pamit. Mereka kembali ke rumah, sebelum masuk ke dalam rumah, tak lupa Upik membersihkan sisa kuah sate yang ada di bibir Thomas dengan ujung bajunya.



Thomas sedang asyik bermain mobil-mobilan seorang diri di pinggir jendela kamarnya, sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari kayu yang merupakan hadiah ulangtahun dari Van Lambrex 2 tahun lalu. Thomas memiliki banyak mainan jenis serupa di dalam laci meja kamarnya, mulai dari mobil-mobilan, gundu, pesawat-pesawatan pemberian Joep, boneka dari sepupunya, Maria yang berkunjung dari Bandoeng tahun lalu, hingga gasing tradisional hasil rengekannya pada Johanna saat mereka pergi ke pasar bersama Upik. Dari jendela kamarnya, Thomas melihat Johanna baru saja pulang. Ia melihat ibunya turun dari mobil dengan membawa sebuah bingkisan di tangannya. Thomas agaknya sedikit penasaran apa yang dibawakan oleh Johanna kali ini sebagai oleh-oleh dari pesta minum teh. Namun, Thomas cuek saja, ia tidak mau bertemu Johanna karena ada perasaan kecewa sang ibu jarang betah seharian di rumah bersamanya. Sudah menjadi rahasia umum jika para wanita Netherland di Hindia Belanda enggan mengurusi anak mereka. Mereka lebih suka membayar seorang penagasuh ataupun babu untuk mengurusi darah daging mereka. Antara lepas dan tidak, para wanita Netherland tetap ikut campur soal mendidik anak dengan cara mereka sendiri.



8 9



Lezat sekali! Terima kasih, Bang. Kami balik dulu.



Terdengar Upik menyambut nyonyanya pulang, dan di saat yang sama Johanna menyuruhnya mengambilkan segelas limun dingin. Johanna menghempaskan tubuhnya ke kursi tamu dengan lelah, entah apa yang sudah ia lakukan bersama teman-temannya hingga membuatnya begitu lelah. Lagaknya seperti baru berkeliling Padang Pandjang dengan berjalan kaki. “Dimana Thomas?”tanyanya pada Upik. “Tuan Thomas sedang berada di kamar, Nyonya,” jawab Upik. “Oh. Cepat ambilkan limun untukku!” perintah Johanna dengan suara pelan, ia sedang tidak mau senewen saat ini, suaranya sudah habis untuk berbincang dan tertawa selama pesta tadi. Mata indahnya melirik bingkisan berisi kue manis dari Amanda, temannya. Amanda sengaja membingkisinya beberapa kue manis khusus untuk Thomas. Senyum Johanna muncul, ia membetulkan posisi duduknya, kemudian menemui anak tampannya itu di kamar. Thomas tidak menyadari Johanna yang berdiri di pintu memperhatikannya, bahkan saat Johanna duduk di pinggir tempat tidurnya. Thomas baru menyadarinya saat tangannya tak sengaja menyenggol mobil-mobilannya hingga terjatuh ke lantai. “Mama sudah pulang,” kata Thomas yang mendekat pada Johanna. “Ya. Mama membawakan kue manis untukmu. Amanda membuatkan kue butter manis bergula kesukaanmu, Thom.” Johanna menyambut pelukan Thomas untuknya. “Aku mau memakannya, Ma!” “Ayo kita keluar,” kata Johanna yang menggiring Thomas ke ruang tamu. Anak kecil mana yang mampu menolak lezatnya kue manis bergula? Tidak ada ‘kan? Thomas tetaplah seorang anak Netherland yang menyukai makanan bangsanya sendiri. Upik menaruh dengan sangat sopan botol limun dan sebuah gelas kosong di atas meja di hadapan Johanna. Johanna memperhatikan Upik sejenak, ada sesuatu yang akan ia berikan pada pelayannya yang setia ini, mengingat jam pulang Upik sebentar lagi. Saat Upik akan berdiri menganggkat bokongnya, Johanna menahannya. “Tunggu sebentar!” kata Johanna yang mau tak mau kembali berdiri dari duduknya, ia pergi ke kamarnya. Membongkar lemari yang sebagian besar diisi oleh pakaiannya. Dipilihnya pakaian dan barang-barang lamanya yang pantas dipakai oleh Upik. Ah! Dia menemukannya. “Ambilah ini. Hadiah untukmu,” kata Johanna sambil menyodorkan sebuah selimut tebal berwarna merah tua, selimut mahal yang Johanna bawa dari Netherland dulu sebagai hadiah pernikahan dari kedua orangtuanya. Dengan senang hati bercampur segan Upik menerimanya.



“Terima kasih banyak, Nyonya,” “Pakai itu saat malam terlalu dingin, agar kau tidak sakit dan bisa bekerja dengan baik di sini,” ucap Johanna dengan nada suara ketusnya yang khas. “Pakaikan juga pada anak-anakmu, agar mereka tidak sakit. Aku tidak mau kau cuti mengurusi mereka karena sakit.” sambungnya. Perkataannya terdengar kasar tapi masih ada kelembutan dan perhatian yang terasa. Ini bukanlah kali pertama Johanna memberikan barang bekasnya pada Upik, sudah beberapa kali ia berbaik hati memberikan sesuatu pada Upik. Ada sedikit kehangatan di dalam hati Johanna yang dingin, dan ada sedikit kelembutan di antara judesnya mulut Johanna. Ada sesuatu yang terjadi saat pesta minum teh siang ini. Di pesta itu Johanna menjadi pusat perbincangan wanita-wanita Netherland yang hadir karena kemurahan hatinya yang senang memberi hadiah untuk Upik. Mereka tidak memuji tindakan Johanna malah mencibirnya. Untuk apa seorang nyonya Netherland yang terhormat dan terpandang memberikan hadiah –meskipun barang bekas pakai- pada seorang babu yang status sosialnya berada di bawah? Apakah Upik bisa membalas kebaikan Johanna dengan memberikannya barang mewah berharga mahal? Tidak mungkin! Kedua telinga Johanna ia sumbat saat para nyonya Netherland itu mengoceh tentang hidupnya. Bolehlah jika perbedaan status sosial bagi bangsa Netherland itu sangat penting tapi bukankah ada yang lebih penting yaitu hati nurani? Mengasihi sesama manusia sekalipun pada seorang babu sama saja baiknya dengan mencintai seseorang sebangsa dan sederajat. Lagipula jika Upik tidak bisa membalas pemberiannya dengan harta benda dan barang mewah, Johanna yakin Upik telah memberikan kesetiaannya pada keluarga Van Lambrex. Diteguknya limun manis itu dengan wajah memerah padam menahan kecewa, Thomas yang sedang menikmati kue manis memperhatikan ibunya diam-diam.



Pagi yang gerimis dan lembab. Thomas turun dari mobil yang dikendarai Van Lambrex tepat di depan sekolahnya. Anak itu turun dengan membawa tas sekolah di punggungnya, kemudian mobil sang ayah pergi meninggalkanya. Tidak ada kata ‘terlambat datang ke sekolah’ bagi mereka yang bersekolah di sekolah Netherland. Gerbang sekolah sudah dimasuki oleh para murid yang bergegas, di beberapa titik dekat sekolah selalu ada mobil-mobil tentara yang berjaga. Itulah mengapa tiga orang anak



pribumi yang kemarin Thomas jumpai dari atas pohon tidak berani mengintip dari depan, mereka hanya bisa menyelinap dari jalan tikus di samping sekolah. Kelas pagi dimulai dengan kelas berhitung. Kaca jendela kelas basah dan berembun karena hujan kabut. Joep si anak manja itu hari ini memakai syal rajut berwarna hitam, sedangkan Vince memakai sweater rajut berwarna cokelat. Semua anak memperhatikan Susan Van Haven mengajarkan mereka berhitung di depan kelas. Ketika sedang berkonsentrasi penuh pada pelajaran, Thomas mendengar sesuatu yang memecah konsentrasinya. Ia mendengar suara anak kecil berbisik-bisik, segera ia menoleh ke belakang dimana Nilam, Suci, dan Annna duduk di kursi yang sama. “Jangan berisik!” tegur Thomas pada ketiganya. Anna si cantik berambut pirang kepang dua terheran, ia dan dua temannya tidak berbicara apa-apa sejak tadi. Thomas mendengan suara bisikan itu lagi saat ia masih melihat tiga anak perempuan ini. Susan mendapati Thomas tidak memperhatikannya di depan kelas. “Ada apa, Thomas?” kini giliran dirinya yang ditegur Nona Van Haven. “Aku mendengar ada yang mengobrol,” jawabnya dengan polos. Susan hanya tersenyum tidak terlalu memikirkan jawaban muridnya itu, ia tahu tidak ada yang berbicara selama ia mengajar tadi. “Oh begitu. Kau ingin ke kamar kecil, Thomas? Tampaknya cuaca dingin ini membuatmu sedikit tidak tenang,” kata Susan tanpa mengintimidasi bocah itu. Wajah Thomas yang putih tampak merah jambu karena malu, untuk menghindari dirinya dari tertawaan teman-teman sekelas, Thomas mengiyakan saran Susan padanya. “Aku permisi ke kamar kecil, Nyonya Van Haven,” ucap Thomas dengan sopan saat berdiri dari duduknya. “Tentu. Silakan.”



Hajatnya telah dibuang beberapa saat lalu. Kini Thomas berjalan keluar dari kamar kecil menuju kelasnya. Bangunan inti sekolah dengan kamar kecil terpisah. Saat berjalan dari ujung lorong kamar kecil menuju bangunan utama sekolah ia melewati taman kecil. Tak sengaja ia melihat anak-anak inlander yang kemarin mengejekinya monyet di atas pohon. Ketiga anak inlander itu tengah bersembunyi di sebalik dinding kelasnya, dengan membawa sebuah buku tulis usang dan sebuah pensil yang patah. Mereka tampak basah kuyup karena berlindung di bawah



kanopi kecil yang hanya bisa melindungi tubuh kecil mereka. Thomas terdiam beberapa saat untuk memperhatikan tiga anak inlander malang yang haus pendidikan itu. Ia merasa kasihan pada anakanak inlander yang tidak seberuntung dirinya, mengapa anak-anak inlander tidak memiliki hak yang sama seperti anak Netherland? Bukankah mereka juga manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini pertama kali muncul di kepalanya sejak melihat kepedihan ini, lamunannya seketika buyar saat mendengar teriakan seorang pria dari depan ruang kepala sekolah. “Apa yang kau lakukan di sana?” teriak Diedrick Adolfs, pria berkumis hitam pekat bak kopi, bertampang selalu serius dan menjengkelkan, tidak lain tidak bukan adalah sang kepala sekolah. “Masuk kelas!!” Thomas kecil yang takut pada pak tua itu bergegas kembali ke kelasnya. Setibanya kembali di kelas, Thomas mengikuti proses pembelajaran sambil sesekali mencuri pandang dengan ujung matanya ke arah jendela yang ada di sampingnya. Dari bayangan jendela yang terbuka itu ia melihat tiga kepala anak seumuran dirinya berada di bawah jendela. Sebuah ujung pensil yang patah pun bisa lihat lebih jelas. Thomas tidak akan memberitahukannya pada Susan tentang tiga bocah di sebalik dinding kelas mereka ini, Thomas membiarkan ketiganya bisa mendapatkan hak yang sama sebagai anak yang membutuhkan pendidikan. Sejujurnya Thomas ingin berkenalan dan berbicara dengan tiga anak ini, ia menunggu sampai pulang sekolah. Beruntungnya ketiga anak inlander ini bertahan hingga jam pelajaran terakhir. Pada saat lonceng pulang sekolah berbunyi, Thomas tak lantas pulang. Ia masih duduk di kursinya, Joep dan Vince sudah mengajaknya keluar kelas. “Ayo kita pulang, Thom!” ajak Joep. “Tunggu sebentar. Ada yang ingin ku tunjukukan pada kalian,” kata Thomas sedikit berbisik. Joep dan Vince tampak tak mengerti. Thomas keluar kelas, berputar menuju belakang kelas. Betapa terkejutnya Joep dan Vince mendapati ketiga anak inlander yang kemarin dnegan kasar mengejeki mereka. “Hei! Sedang apa kalian di sini?” bentak Joep dengan kesal. Thomas mencoba menahan Joep yang bergerak maju mendekati tiga anak inlander itu. “Pelankan suaramu,” kata Thomas sambil meletakan jari telunjuknya di depan mulutnya. Ketiga anak inlander ini tetap menatapi Thomas dan teman-teman dengan tatapan kebencian, mereka bersiap pergi.



“Apo urusan ang? Ndak buliah kami sikola10?” jawab satu anak yang berbadan paling tinggi. “Tanah ko punyo kami. Kami punyo hak di siko11,” berangnya dengan mata yang memerah menahan amarah dan dendam. “Jangan bermimpi bisa bersekolah di sini, monyet!” sahut Joep yang terpancing, diejeknya tiga anak malang ini. “Dasar inlander!” “Boleh kita berkenalan, teman?” hanya Thomas yang rendah hati memberikan tangan kanan dan senyuman ramahnya. Si badan besar memperhatikan gelagat Thomas yang baginya hanya pencitraan dan penuh tipu daya. “Kalian bukan teman kami. Kalian adalah musuh kami, selamanya...” jawabnya ketus. “Penjajah tetaplah penjajah,” kata temannya yang berbadan kecil. “Sombong sekali. Mau ku adukan penjaga sekolah?” ancam Joep sok jagoan. Thomas harus berkenalan dengan tiga anak inlander ini. “Maafkan jika Joep berkata kasar pada kalian. Namaku Thomas Van Lambrex.” Thomas masih menjulurkan tangan kanannya. Ketiga anak ini masih tidak peduli siapapun nama Thomas, kebencian mereka pada Netherland sudah mendarah daging. “Den indak paduli12.” kata si badan besar sambil memukul tangan Thomas dengan tangannya, kemudian mengajak dua temannya yang lain bergegas pergi dari sana. “Pergi sana! Jangan kembali!” teriak Joep dengan jengkel. Ketiga inlander itu keluar pekarangan sekolah dengan cara melompati tembok. Penolakan persahabatan ini menampar hati bocah ini. Niat baiknya berteman dengan anak pribumi tidak disambut baik oleh teman-temannya sendiri apalagi tiga anak pribumi itu. Joep menyuruh Vince dan Thomas untuk pergi dari sana. Mereka berbincang saat berjalan menuju gerbang utama sekolah. Wajah Joep terlihat masam, pasalnya ia kesal harus berhadapan lagi dengan anak inlander dan ia juga kesal karena Thomas malah ingin berteman dengan anak kampung yang dekil itu. “Kau sungguh ini berteman dengan tiga anak kampung itu, Thom?” tanya Joep kesal tanpa melihat pada Thomas yang berjalan bersebelahan dengannya.



10



Apa urusanmu? Kami tidak boleh bersekolah? Tanah ini punya kami. Kami berhak di sini. 12 Aku tidak peduli. 11



“Ya,” jawab Thomas mantap. Beberapa menit Joep terdiam hingga mereka tiba di gerbang sekolah. Supir keluarga Barker sudah berdiri di depan pintu mobil, membukan pintu mobilnya untuk Joep. “Kalau kau ingin berteman dengan mereka, maka jangan berteman lagi denganku,” ucap Joep serius pada Thomas, mendengar pernyataan itu Thomas terdiam, begitu juga Vince. Joep masuk ke dalam mobilnya dan beranjak pergi. Vince bisa mengerti perasaan Thomas, ia menepuk pelan bahu sahabatnya itu. Bagi bungsu Bronkhosrt ini, berteman dengan anak pribumi bukanlah hal yang buruk. Tanpa sepengetahuan Thomas dan Joep, Vince Bronkhosrt berteman baik dengan anak jongosnya, anak laki-laki berusia 9 tahun bernama Saleh. “Tidak perlu khawatir, Thom. Aku tetap temanmu!” kata Vince tersenyum. “Lalu, bagaimana dengan Joep?” “Dia tidak akan marah terlalu lama. Dua hari lagi ia akan baik padamu. Nanti sore main ke rumahku ya! Aku tunggu!” mobil yang menjemput Vince datang, bergegas pula anak itu pulang.



Rumah keluarga Bronkhosrt tidaklah jauh dari rumah keluarga Van Lambrex. Sore ini Thomas berjalan sendirian menuju rumah sahabatnya itu, setibanya di sana ia disambut hangat oleh kedua kakak perempuan Vince, Lieke dan Saar. Lieke Bronkhosrt berusia sekitar 14 tahun, dan Saar Bronkhosrt berusia 12 tahun. Anak-anak keluarga Bronkhosrt ini hanya tinggal dengan ayah, dan nenek mereka. Ibu mereka Grietje Bronkhosrt meninggal dunia saat Vincer berusia tiga tahun karena sakit keras. Ayah Vince, Coen Bronkhosrt bekerja sebagai pegawai di kantor pemerintahan Hindia Belanda. Lieke dan Saar duduk di teras rumah mereka sambil memperhatikan Thomas dan Vince yang tengah bermain ayunan halaman depan. Ini menyenangkan bagi Vince karena Thomas berkunjung dan bermain di rumahnya, kedua anak laki-laki ini berdiri menaiki dua ayunan yang bersebelahan, berayun dengan kuat ke depan dan ke belakang. Thomas gundah karena apa yang dilakukannya sepulang sekolah tadi membuat Joep kecewa padanya, ia tahu jika Joep tidak akan pernah mau berteman dengan seseorang yang bukan dari kalangannya, Thomas seharunya paham sifat pongah sahabatnya itu. “Kau tidak mengajak Joep ke sini, Vin?” tanya Thomas yang masih asih bermain.



“Tidak. Kalau dia mau dia bisa datang kapan pun,” jawab Vince. Memang benar, Joep hampir



setiap



hari



bisa



datang



sesuka



hati



ke



rumah



Vince.



“Kau ingin bertemu dengannya?” “Aku ingin bicara padanya, agar dia tidak marah padaku,” jawab Thomas dengan nada tak enak hati. Sedang asyik bermain ayunan, dari kejauhan Joep datang. Rupanya Joep berniat datang ke rumah Vince hari ini, tapi saat baru sampai di depan gerbang kediama Bronkhosrt, bocah itu enggan masuk dan berbalik hendak pulang. Thomas segera menghentikan ayunannya, berlari mengejar Joep, diikuti Vince. “Joep! Tunggu!” panggil Thomas. Joep tak menoleh pada temannya, ia terus berjalan, sedangkan Thomas berjalan cepat mendekatinya. “Mari kita bermain bersama di rumah Vince.” bujuk Thomas. Joep kesal. “Aku tidak mau bermain denganmu, Thomas. Temanmu sekarang adalah bocah kampung itu!” ucap Joep kesal. “Kalau kau tidak mau datang ke rumahku karena Thomas, maka anggap saja dia tidak ada,” kata Vince memberi saran. Ketiga anak itu berhenti berjalan seketika, hanya beberapa meter dari pekarangan rumah Bronkhosrt. “Aku sudah adukan pada Papaku jika ada tiga anak kampung menyelinap ke sekolah,” kata Joep dengan serius. Thomas hanya diam mendengar perkataan Joep. Joep memang bisa melakukannya, ayahnya adalah seorang Netherland yang disegani di pemerintahan. “Jadi, mulai besok tidak ada yang menganggu kita lagi.” sambungnya dengan senang. Sudah pasti ayah Joep telah menyuruh tentara untuk mengusir tiga anak tak bersalah itu dari sekolah mereka atau bisa lebih buruk lagi dari itu. Entah bagaimana nasib mereka setelahnya, hidup atau mati. “Ayo teman, kita bermain bersama,” kata Thomas dengan rasa bersalahnya, hatinya terasa berat untuk tersenyum pada Joep. Senyum Joep sore itu kembali untuk Thomas, kemarahannya tadi siang sirna karena ia bisa melakukan sesuatu untuk apa yang ia benci. Dengan riang, Joep menerima ajakan dua temannya, ikut berbalik kembali ke rumah Vince. Thomas tidak pernah melihat lagi tiga anak inlander itu setelah ucapan Joep sore itu. Upik bercerita padanya jika ada tiga anak laki-laki di kampungnya sedang di penjara oleh pemerintah Hindia Belanda. Thomas merasaa dirinya kejam, kalau saja siang itu ia tidak memberitahukan



keberadaan anak-anak itu pada Joep mungkin mereka masih tetap bersembunyi di sebalik dinding kelasnya. SELESAI