Widhi Cahya K - 202311101181 - LP COS [PDF]

  • Author / Uploaded
  • afdf
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN



ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CEDERA OTAK SEDANG (COS) DI RUANG MELATI RSD DR. SOEBANDI KABUPATEN JEMBER



oleh Widhi Cahya Kurniawan, S.Kep. NIM 202311101181



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2021



LEMBAR PENGESAHAN Laporan pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan COS di Ruang Melati RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember disusun oleh Mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Ners Fakultas Keperawatan Universitas Jember sebagai berikut: Nama : Widhi Cahya Kurniawan, S.Kep. NIM



: 202311101181



Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada: Hari



:



Tanggal : Jember,



2021



TIM PEMBIMBING Pembimbing Akademik



Pembimbing Klinik



Stase Keperawatan Medikal Bedah



Ruang Melati RSD dr. Soebandi



FKep Universitas Jember



Kabupaten Jember



N.s Baskoro Setioputro S.Kep, M.Kep. NIP. 198305052008121004



Ns. Umayanah, S.Kep. NIP. 19770611 200604 2 020



Mengetahui, Kepala Ruang Melati RSD dr. Soebandi Kabupaten Jember



Ns. Umayanah, S.Kep. NIP. 19770611 200604 2 020



DAFTAR ISI



LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................................iii BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT........................................................................1 1.1



Anatomi dan Fisiologi Otak..........................................................................1



1.2



Definisi...........................................................................................................3



1.3



Epidemiologi..................................................................................................4



1.4



Etiologi..........................................................................................................4



1.5



Komplikasi....................................................................................................5



1.6



Patofisiologi dan Clinical Pathway................................................................6



1.7



Manifestasi Klinis..........................................................................................8



1.8



Pemeriksaan Penunjang................................................................................8



1.9



Penatalaksanaan...........................................................................................8



BAB 2. PROSES KEPERAWATAN........................................................................100 2.1



Pengkajian.................................................................................................100



2.2



Diagnosa Keperawatan..............................................................................122



2.3



Intervesi Keperawatan...............................................................................133



DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................17



1



BAB 1. KONSEP TEORI PENYAKIT 1.1 Anatomi dan Fisiologi Otak Otak merupakan organ vital yang sangat penting dan sangat rumit, terdiri dari beberapa bagian dengan fungsi yang berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak memiliki berat ±2% dari total berat badan, membutuhkan sekitar 20% sirkulasi darah dari jantung, dan energi 400 Kkal setiap harinya (Faculty of Medicine Hasanuddin University, 2016). Otak juga membutuhkan oksigen dan glukosa, apabila kadarnya berkurang maka akan mengganggu proses metabolisme tubuh dan menyebabkan kematian jaringan saraf (Faculty of Medicine Hasanuddin University, 2016). Otak bekerja secara terus-menerus tanpa periode istirahat, sehingga total kebutuhannya relatif konstan.



Gambar 1. Anatomi otak manusia (National Center for Biotechnology Information, 2016) Bagian-bagian otak antara lain ada serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata (Yueniwati, 2017). Otak besar atau yang biasa disebut serebrum terbagi menjadi dua belahan otak. Di bawah kedua belahan otak tersebut terdapat otak kecil atau serebelum yang terhubung dengan batang otak dan tersambung dengan saraf tulang belakang (Yueniwati, 2017). Berikut penjelasan mengenai bagian otak dan fungsinya:



2



1.



Otak besar Cerebrum atau otak besar meliputi 85% bagian otak. Saat manusia berpikir,



memori jangka pendek dan panjang yang tersimpan merupakan peran dari otak besar tersebut (Yueniwati, 2017). Otak besar ini juga mengatur pergerakan otot yang dikendalikan secara sadar (Yueniwati, 2017). Otak besar terdiri dari belahan kanan dan kiri. Belahan otak kanan mengendalikan bagian tubuh kiri. Sebaliknya, bagian otak kiri mengendalikan bagian tubuh sebelah kanan.



Gambar 2. Susunan lobus pada otak besar (Sridianti, 2016) Tiap belahan otak memiliki empat bagian utama, yaitu: a)



Lobus frontal yang terletak di bagian depan berfungsi mengendalikan cara berpikir, membuat rencana, mengatur, memecahkan masalah, pergerakan fisik, dan memori jangka pendek.



b)



Lobus parietal yang letaknya di bagian tengah bertugas menafsirkan informasi sensorik, seperti: cita rasa, suhu, dan sensasi sentuhan.



c)



Lobus oksipital terletak di bagian belakang merupakan bagian yang akan memroses gambaran dari mata dan mengaitkan informasi tersebut pada memori yang ada dalam otak.



d)



Lobus temporal di bagian samping akan memroses informasi dari indera penciuman, pengecap, dan pendengaran. Bagian otak ini juga memiliki peran penting dalam penyimpanan memori.



2.



Otak kecil Berat otak kecil sekitar 8% dari berat batang otak (Faculty of Medicine



Hasanuddin University, 2016). Terletak di sebelah bawah belakang kepala (di



3



belakang batak otak dan tepat di bawah lobus oksipital) dekat ujung leher atas, otak kecil merupakan komponen otak terbesar kedua (Yueniwati, 2017). Otak kecil atau cerebellum ini juga merupakan pusat kendali koordinasi anggota tubuh, yaitu dengan cara menerima informasi dari otak besar dan panca indera melalui saraf tulang belakang. Selain mempengaruhi gerakan anggota tubuh, otak kecil juga mengontrol fungsi otomatis tubuh, seperti menjaga keseimbangan pada kemampuan berjalan, koordinasi otot dan gerakan tubuh, serta mengatur posisi tubuh (Yueniwati, 2017). 3.



Batang otak Batang otak atau brainsteam terdiri atas mesensefalon, pons, dan medula



oblongata. Letaknya berada di bawah otak besar dan di depan otak kecil. Area dalam batang otak berfungsi untuk mengontrol beberapa hal penting utamanya fungsi vital dalam tubuh, seperti: kesadaran, detak jantung, gerakan refleks, pergerakan usus, pernapasan, dan tekanan darah (Faculty of Medicine Hasanuddin University, 2016). Batang otak memiliki sekumpulan saraf yang berfungsi mengendalikan berbagai bagian kepala dan leher khususnya gerakan mata, sensasi, dan pergerakan wajah, gerakan menelan serta batuk (Yueniwati, 2017). 1.2 Definisi Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif ataupun kongenital, melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial (Valadka, 1996 dalam Rizal, 2018). Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996 dalam Rizal, 2018). Menurut Brain Injury Association of America (BIAA) mengemukakan bahwa cedera otak traumatis (Traumatic Brain Injury/TBI) didefinisikan sebagai pukulan atau sentakan ke kepala atau cedera kepala yang mengganggu fungsi otak. Tidak semua pukulan atau goncangan di kepala menghasilkan cedera otak, tergantung dari tingkat keparahan cedera. Cedera otak sedang (COS) adalah istilah yang digunakan ketika seseorang mengalami perubahan fungsi otak lebih dari beberapa menit setelah trauma (UAB, 2020). COS apabila dilakukan pemeriksaan neurologis akan didapatkan hasil GCS



4



9- 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Menururt American Association of Neurological Surgeons (2020), pasien dengan cedera kepala sedang kemungkinan 60% akan sembuh secara positif dan diperkirakan 25% tersisa mengalami tingkat kecacatan sedang, dan lainnya akan memiliki tingkat kecacatan yang parah. Pasien dengan cedera otak traumatis sedang memiliki variabilitas yang besar dalam keparahan cedera dan perjalanan fase akut (Lund dkk., 2016). Mereka mungkin mengalami cedera intra dan ekstrakranial yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder selama fase akut tersebut. 1.3 Epidemiologi Cedera otak traumatis/TBI adalah masalah kesehatan masyarakat global, World Health Organization memaparkan bahwa TBI akan menjadi penyebab utama ketiga kematian dan kecacatan di seluruh dunia pada tahun 2020 (Watanitanon dkk., 2019). Di India dan negara berkembang lainnya, cedera kepala juga masih menjadi penyebab utama mortalitas dan disabilitas, yaitu diperkirakan sebanyak 1,5-2 juta orang terkena cedera kepala setiap tahunnya (Gururaj dkk., 2005 dalam Callosum, 2014). Sedangkan di Indonesia sendiri, data epidemiologi cedera kepala belum tersedia secara nasional, data epidemiologi didapatkan antara lain dari bagian saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangunkusumo bahwa pada tahun 2004, yaitu sebanyak 367 kasus cedera kepala ringan, 105 kasus cedera kepala sedang, dan 25 kasus cedera kepala berat. Sedangkan pada tahun 2005 didapatkan 422 kasus cedera kepala ringan, 130 kasus cedera kepala sedang, dan 20 kasus cedera kepala berat (Akbar, 2008 dalam (Callosum, 2014). 1.4 Etiologi Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera traumatis lainnya pada kepala. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa faktor, termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan. Peristiwa umum yang menyebabkan cedera otak traumatis (MayoClinic Staff, 2021), meliputi: 1.



Jatuh. Jatuh dari tempat tidur atau tangga, menuruni tangga, saat mandi, dan jatuh lainnya adalah penyebab paling umum dari cedera otak traumatis



5



secara keseluruhan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua dan anak kecil. 2.



Kecelakaan. Tabrakan yang melibatkan mobil, sepeda motor, atau sepeda dan pejalan kaki yang terlibat dalam kecelakaan tersebut - adalah penyebab umum cedera otak traumatis.



3.



Kekerasan. Luka tembak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak dan serangan lainnya adalah penyebab umum. Sindrom bayi terguncang adalah cedera otak traumatis pada bayi yang disebabkan oleh guncangan hebat.



4.



Cedera olahraga. Cedera otak traumatis dapat disebabkan akibat sejumlah olahraga, termasuk sepak bola, tinju, baseball, lacrosse, skateboard, hoki, dan olahraga berdampak tinggi atau ekstrem lainnya. Ini sangat umum di kalangan remaja.



5.



Ledakan dan cedera pertempuran lainnya. Ledakan eksplosif adalah penyebab umum cedera otak traumatis pada personel militer aktif. Meski bagaimana kerusakan terjadi belum dipahami dengan baik, banyak peneliti percaya bahwa gelombang tekanan yang melewati otak secara signifikan dapat mengganggu fungsi otak.



6.



Cedera otak traumatis juga terjadi akibat luka tembus, pukulan hebat di kepala dengan pecahan peluru atau puing, dan jatuh atau benturan tubuh dengan benda setelah ledakan.



1.5 Komplikasi Menurut Ginsberg (2008) dalam Permatasari (2015) menyebutkan bahwa komplikasi dari cedera kepala antara lain: 1.



Kebocoran cairan serebrospinal. Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera. Komplikasi ini dapat ditangani dengan terapi infeksi, namun juga dibutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga diperlukan jika terjadi kebocoran cairan serebrospinal persisten.



2.



Epilepsy pascatrauma.



6



Terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (dalam minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi cranium, atau hematoma cranial. 3.



Kejang



4.



Herniasi otak



5.



Infeksi sistemik



1.6 Patofisiologi Ainsworth (2020) menjelaskan terkait patofisiologi dari cedera kepala. TBI dapat dibagi menjadi 2 kategori, cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer diartikan sebagai cedera awal pada otak sebagai akibat langsung dari trauma. Ini adalah cedera struktural awal yang disebabkan oleh benturan pada otak. Sedangkan, cedera otak sekunder didefinisikan sebagai cedera berikutnya pada otak setelah serangan awal. Cedera otak sekunder dapat terjadi akibat hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan TIK, atau sebagai akibat biokimia dari serangkaian perubahan fisiologis yang dipicu oleh trauma awal. Perawatan cedera kepala diarahkan untuk mencegah atau meminimalkan cedera otak sekunder. Trauma kepala yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau kecelakaan di ekstra kranial atau kulit kepala, tulang kranial, dan juga intra kranial atau di jaringan otak dapat mengakibatkan perdarahan, sehingga akan mengalami perubahan sirkulasi CSF (cairan serebrospinal) dan terjadi peningkatan TIK. Perlu diperhatikan bahwa otak berada di dalam tengkorak, wadah yang kaku dan tidak elastis. Karena otak ditempatkan di dalam wadah yang tidak elastis ini, hanya sedikit peningkatan volume di dalam kompartemen intrakranial yang dapat ditoleransi. Peningkatan ICP (tekanan intrakranial) adalah kondisi yang perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan penurunan CPP (tekanan perfusi otak) dan penurunan CBF (aliran darah otak), yang jika cukup parah dapat menyebabkan iskemia serebral. Peningkatan ICP yang parah sangat berbahaya karena selain menimbulkan risiko iskemia yang signifikan, ICP yang tidak terkontrol dapat menyebabkan pembengkakakn otak/herniasi. Herniasi



7



melibatkan pergerakan otak melintasi struktur dural, mengakibatkan cedera otak yang irreversibel dan seringkali fatal.



8 Faktor Risiko Penyebab COS (KLL, Benturan langsung pada kepala, jatuh, cedera kekerasan, cedera olahraga



Cinical Pathway



Ektra kranial/kulit kepala



Suplai darah ke otak menurun



Terputusnya jaringan otot, kulit, dan vaskuler



intrakranial



Tulang kranium



Terputusnya kontinuitas tulang



Fraktur tulang



Perdarahan jaringan otak



Ruptur pembuluh darah vena



Cerebral hematoma iskemia



Perdarahan, hematon, keruskan jaringan



Nyeri Akut



Perfusi perifer tidak efektif



Perubahan Sirkulasi CSF



Resiko Syok



Defisit Perawatan Diri



Peningkatan ICP



Hipoksia



Penurunan kesadaran



Perobekan arteri meningea media



Hematoma epidural



Subdural hematoma



Disfungsi batang otak



Defisit Neurologi



Tekanan hidrostatik meningkat



Gangguan persepsi sensori



Kerusakan saraf motorik



Kapiler bocor Gangguan Mobilitas fisik



Peningkatan asam lambung



Edema Paru



Distres spiritual Penurunan reflek batuk Defisit nutrisi



Gangguan menelan



Bersihan jalan nafas tidak efektif



Penumpukan sekret



PH arteri meningkat



Dilatasi Arteri



Mual muntah



Resiko hipovolemi



Harga diri rendah situasional



Nausea Resiko jatuh



Aliran darah ke otak meningkat



Edema serebri



Resiko Perfusi serebral tidak efektif



Resiko Infeksi



9



1.7 Manifestasi Klinis Menurut National Institute of Neurogical and Stroke, seseorang dengan TBI sedang atau berat cenderung menunjukkan gejala yang sama dengan TBI ringan, tetapi mayoritas akan mengalami sakit kepala yang semakin parah atau tidak kunjung sembuh, muntah atau mual berulang kali, kejang atau kejang absans, ketidakmampuan untuk bangun dari tidur, pelebaran salah satu atau kedua pupil mata, bicara cadel, kelemahan atau mati rasa pada ekstremitas, kehilangan koordinasi, dan peningkatan kebingungan, kegelisahan, atau agitasi (National Academies of Science - Engineering - Medicine, 2019). 1.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan Bajamal dkk. (2014) adalah sebagai berikut: 1.



CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.



2.



Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.



3.



X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.



4.



Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.



5.



Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.



1.9 Penatalaksanaan Menurut Bajamal dkk. (2014) pada Pedoman Tatalaksana Cedera Otak, penatalaksanaan pasien dengan cedera otak sedang adalah sebagai berikut : 1.



Stabilitasi airway, breathing, dan sirkulasi



2.



Pemasangan kateter untuk mengevaluasi produksi urin



3.



Melakukan anamneses, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan neurologis



10



4.



Terapi medikamentosa: a) Obat anti kejang Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif adalah phenytoin dan levetiracetam. Pengobatan profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan resiko kejang fase lanjut pasca trauma. Pemberian profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang fase dini pasca trauma. Penggunaan obat anti kejang tidak direkomendasikan untuk pencegahan kejang pasca trauma tipe lanjut (late type) karena sudah terbentuk fokus epilepsi. Diperbolehkan untuk menggunakan obat anti kejang sebagai profilaksis terhadap terjadinya kejang pasca trauma tipe dini yang terjadi dalam 7 hari pasca trauma (early type) pada pasien yang mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma. b) Obat analgesic Ketorolac dan acetaminophen dapat digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya boleh diberikan maksimal 5 hari. c) Obat simtomatik melalui IV Obat-obatan NSAID atau antidepresan lainnya



5.



Pembedahan dilakukan bila terjadi pada tulang tengkorak dan laserasi



6.



Pengunaan terapi komplementer seperti : teknik distraksi napas dalam, guided imagery, hipnosis 5 jari, terapi musik, terapi benson, akupuntur, dan akupresur untuk mengurangi nyeri dan manajemen stres



11



BAB 2. PROSES KEPERAWATAN 2.1 Pengkajian a) Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pedidikan, pekerjaan, alamat, status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal untuk rumah sakit dan diagnosa medis b) Keluhan Utama Berisi data subjektif yang dirasakan pasien ketika masuk rumah sakit c) Riwayat penyakit sekarang Pasien mengalami penurunan kesadaran, mual muntah, nyeri kepala, kelemahan, perdarahan, fraktur tengkorak, amnesia sesaat, gangguan pendengaran, gangguan penciuman. d) Riwayat penyakit terdahulu Pasien pernah mengalami penyakit system syaraf. Riwayat trauma terdahulu, riwayat penyakit darah, dan riwayat penyakit sistemik. e) Riwayat penyakit keluarga Adanya riwayat penyakit menular f) Pemeriksaan Fisik  Vital Sign Tekanan darah :menunjukan normal hingga abnormal Suhu



: berada pada rentang hipertermi > 380C



Nadi



: takikardi



RR



: normal hingga abnormal



 Kesadaran GCS



: somnolen hingga koma : 9-12



 Keadaan umum 1. Status gizi



: pasien megalami kegemukan, normal, atau kurus



2. Sikap



: pasien menunjukkan menahan nyeri pada area kepala jika



terjadi peningkatan TIK atau fraktur tengkorak



12



 Pemeriksaan fisik 1. B1 ( Breating ) Inspeksi : pasien terlihat menggunakan otot bantu nafas. Pernafasan terlihat chyne stokes. Terlihat peningkatan frekuensi nafas. Auskultasi: Terdapat bunyi stridor yang diakibatkan lidah jatuh kebelakang ketika penurunan kesadaran ataupun kejang. Terdengar suara ronchi akibat penumpukan sputum pada jalan nafas Perkusi : Terdapat bunyi redup jika terdapat odeme paru Palpasi : Tidak terdapat benjolan atau masa pada thorak 2. B2 ( Blood ) Inspeksi : pasien telihat pucat, sianosis jika terjadi gangguan perfusi. Terdapat perdarahan pada area kepala dengan fraktur dan tanpa fraktur akibat kerusakan jaringan. Auskultasi : terdengar bunyi jantung s1 s2 tunggal. Perkusi : Tidak terdapat bunyi redup Palpasi: terjadi peningkatan frekuensi nadi, nadi teraba lemah, disritmia. Tidak terdapat pembesaran vena juularis. 3. B3 ( Brain ) Inspeksi : terjadi penurunan kesadaran, bingung. Respon pupil menunjukan mengecil menandakan disfungsi enchepalo dan gangguan metabolisme. Terlihat sulit menggerakan bagian tubuh sebagian tergantung bagian otak mana yang mengalami cidera. Palpasi : terdapat benjolan berupa hematoma karena adanya internal bledding. Terdapat nyeri tekan pada bagian yang mengalami luka 4. B4 ( Blader ) Inspeksi : tidak terdapat luka pada area blader. Pasien mengalami oliguria pada pasien dengan gangguan perfusi hingga ke ginjal akibat adanya gangguan metabolisme. Terjadi inkontinensia urin akibat gangguan sistem syaraf Palpasi : teraba keras apabila terjadi retensi urin atau pun bendungan urin



13



Perkusi : terdengar bunyi redup jika terdapat bendungan urin. 5. B5 ( Bowel ) Inspeksi : pasien terlihat mual dan muntah akibat peningkatan TIK. Auskultasi : penurunan jumlah bising usus dan akan terdengar lemah Palpasi : tidak terdapat gangguan berupa benjolan atau asites Perkusi : terdengar bunyi timpani 6. B6 ( Bone ) Inspeksi : pasien terlihat parese atau paraplegi akibat bagian otak yang rusak. Palpasi : terdapat nyeri tekan pada tulang tengkorak yang mengalami kontraktur atau fraktur. Terdapat ganguan reflek patela sesuai letak otak yang mengalami kerusakan serta penurunan tonus otot. 2.2 Diagnosa Keperawatan a) Risiko perfusi cerebral tidak efektif b.d cedera kepala b) Perfusi jaringan perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hb c) Nyeri akut b.d agen pencedera fisik (trauma kepala) d) Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskular e) Bersihan jalan napas tidak efektif b.d disfungsi neuromuskular f) Gangguan persepsi sensori b.d hipoksia serebral g) Nausea b.d peningkatan tekanan intrakranial h) Defisit perawatan diri b.d gangguan neuromuskular i) Distres spiritual b.d kejadian hidup yang tidak diharapkan j) Gangguan menelan b.d gangguan serebrovaskuler k) Risiko syok b.d kekurangan volume cairan, hipoksia l) Risiko infeksi b.d efek luka terbuka m) Risiko hipovolemia b.d kehilangan cairan secara aktif



14



2.3 Intervesi Keperawatan NO



1.



2.



Diagnosa Keperawatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) Risiko perfusi serebral tidak efektif



Perfusi perifer tidak efektif



Tujuan (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018)



Rencana Keperawatan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam perfusi serebral meningkat dengan kriteria:



SIKI (I.06198) Pemantauan TIK 1) Identifikasi penyebab peningkatan TIK 2) Monitor peningkatan TD 3) Monitor penurunan frekuensi jantung 4) Monitor ireguleritas irama napas 5) Monitor penurunan tingkat kesadaran



SLKI (L.02014) Perfusi Serebral Skala Indikator Awal Akhir Tingkat 5 kesadaran TIK 1 Gelisah 1 TD sistolik 5 TD diastolik 5 Keterangan : 1 : menurun 2 : cukup menurun 3 : sedang 4 : cukup meningkat 5 : meningkat Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam sirkulasi perifer adekuat dengan kriteria



Rasional



1. Menemukan penyebab dan mengantisipasi gejala 2. Mengobservasi tekanan darah 3. Mengobservasi nadi 4. Mengobservasi usaha bernapas 5. Mendeteksi dini perubahan yang terjadi sehingga dapat mengantisipasinya. 6) Monitor jumlah, kecepatan, dan 6. Mengetehui volume cairan karakteristik drainase cairan 7) Pertahankan posisi kepala dan leher 7. Mencegah terjadinya netral peningkatan TIK 8) Atur interval pemantauan sesuai 8. Mengetahui kondisi pasien kondisi klien terkini



Nama & Paraf



Widhi



SIKI (I.02079) Perawatan sirkulasi 1) 2)



Periksa sirkulasi perifer (nadi, 1. pengisian kapiler, warna, akral) Lakukan hidrasi 2.



Mengobservasi tanda penurunan sirkulasi perifer Mengoptimalkan turgor kulit



Widhi



15



SLKI (L.02011) Perfusi perifer Skala Indikator Awal Akhir Parastesia 3 2 Akral 2 4 Turgor 2 4 Keterangan : 1 : menurun 2 : cukup menurun 3 : sedang 4 : meningkat 5 : cukup meningkat



3) 4)



Anjurkan program rehabilitasi vaskuler misalnya dengan relaksasi otot 3. Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan (rasa sakit yang tidak hilang saat istirahat, 4. hilangnya rasa)



Nyeri akut



Setelah dilakukan intervensi selama 3 x 24 jam tingkat nyeri menurun dengan kriteria SLKI (L.08066) Tingkat Nyeri Skala Indikator Awal Akhir Meringis 1 Gelisah 1 Tekanan darah 5 Frekuensi nadi 5 Pola napas 5



Mengantisipasi kegawatan yang diketahui perawat



kondisi terlambat



SIKI (I.03121) Pemantauan cairan 5)



Monitor elastisitas atau turgor kulit



6) 7) 8)



Monitor jumlah dan warna urin Monitor intake dan output cairan Informasikan hasil pemantauan



5. 6. 7. 8.



3.



Mengoptimalkan sirkulasi



SIKI (I.08238) Manajemen Nyeri 1) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri 2) Identifiksi skala nyeri



Mengobservasi elastisitas kulit Mengobservasi urin output Mengobservasi balance cairan Memberikan informasi yang tepat



1. Mengetahui tanda-tanda nyeri dan karakteristiknya



2. Mempermudah penanganan nyeri 3. Mengetahui respon klien 3) Identifikasi respon nyeri non verbal terhadap nyeri 4. Mengurangi nyeri 4) Berikan teknik non farmakologi untuk mengurangi rasa nyeri (terspi non farmaologi) 5. Mengenalkan kondisi nyeri



Widhi



16



Keterangan : 1 : menurun 2 : cukup menurun 3 : sedang 4 : cukup meningkat 5 : meningkat 4.



5.



Gangguan mobilitas fisik



Nausea



5) Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri 6) Anjurkan memonitr nyeri secara mandiri



Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam mobilitas fisik meningkat dengan kriteria: SLKI (L.05042) Mobilitas Fisik Skala Indikator Awal Akhir Pergerakan 5 ekstremitas Kekuatan otot 5 ROM 5 Keterangan : 1 : meningkat 2 : cukup meningkat 3 : sedang 4 : cukup menurun 5 : menurun Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tingkat kenyamanan meningkat dengan kriteria: SLKI



(L.05064)



Status



7) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu SIKI (I.05173) Dukungan mobilisasi 1) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan 2) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi 3) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu 4) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis, duduk ditempat tidur, duduk di sisi tempat tidur,pindah daru tempat tidur ke kursi)



yang sedang dialami 6. Mempermudah klien untuk mengatasi secara mandiri atau perlu bantuan 7. Mengurangi nyeri yang tidak dapat diatasi dengan terapi nonfarmakologi 1. Mengobservasi keterbatasan fisik klien 2. Meminimalisir risiko cedera



Widhi



3. Meningkatkan mobilisasi agar tidak terjadi atrofi otot 4. Mempertahankan kekuatan otot



SIKI (I.031170 Manajemen mual 1) Monitor mual



1. Mengobservasi rasa mual yang dialami 2) Identifikasi dampak mual terhadap 2. Mengobservasi pegaruh mual kualitas hidup yang dirasakan 3) Kurangi atau hilangkan keadaan 3. Menghindari penyebab



Widhi



17



kenyamanan Indikator



Skala Awal Akhir 5 5



Gelisah Mual Keterangan : 1 : meningkat 2 : cukup meningkat 3 : sedang 4 : cukup menurun 5 : menurun



penyebab mual ketidknyamanan 4) Ajarkan penggunaan teknik non 4. Memberikan farmakologis untuk mengatasi mual keperawatan 5) Kolaborasi pemberian antiemetic 5. Memenuhi medikasi



terapi kebutuhan



18



Analisis Data Tanggal/Jam : NO 1.



KEMUNGKINAN ETIOLOGI Meningioma



DATA PENUNJANG



DS : - keluarga mengatakan klien kadang merespon dengan menggerakkan jari DO : - Klien ketika dipanggil namanya menjawab tetapi suara tidak jelas - Keadaan umum : lemah - GCS : 10 - Somnolen - Klien tirah baring - TD :1400/90 mmHg Nadi : 105 kali/menit RR : 25 kali/menit S : 37 0C



Paraf & Nama



MASALAH Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif



Cedera otak



Widi



Sakit kepala kronis Penurunan sirkulasi darah ke otak Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif



2.4 Implementasi Keperawatan



Implementasi merupakan tahap asuhan keperawatan yang keempat, yang berupa pengaplikasian intervensi pada klien untuk mencapai tijuan yang telah di susun secara sitematis. Disni peraat akan melakukan implementasi yang sesui dengan intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah klien. No. Diagnosa 1. Risiko



Implementasi 1. Memonitor tingkat kesadaran



Evaluasi Formatif 1. GCS 10 status kesadaran



perfusi



2. Memonitor tanda-tanda vital



Somnolen,



cerebral



3. Memonitor



mengatakan



tidak efektif (D.0017)



karakteristik



bicara 4. Menghindari aktivitas yang



Keluarga klien



kadang



respon dengan menggerakkan jari



dapat meningkatkan tekanan 2. TD 140/100 mmHg, Suhu 37



19



o



intracranial 5. Mendokumentasikan



hasil



pemantauan 6. Menjelaskan prosedur Informasikan



C, Nadi 105 x/menit, dan RR



25 x/menit 3. Klien Somnolen tidak dapat



tujuan



dan



pemantauan



menjawab pertanyaan dengan baik



hasil 4. Klien tirah baring



pemantauan



5. Hasil



pemantauan



terdokumentasikan 6. Keluarga paham dengan hasil pemantauan. 2.5 Evaluasi Keperawatan



Evaluasi keperawatan dilakukan untuk melihat perkembangan pasien setelah diberikan implementasi keperawatan. Evaluasi dilakukan secara sistematis sesuai dengan data pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi lalu evaluasi. Terdapat dua macam evaluasi yaitu evaluasi formatif dan sumatif. Evaluasi dilakukan untuk mengukur apakah Luaran (SLKI) telah tercapai atau masih belum dan melihat langkah apa selanjutnya yag harus dilakukan. Evaluasi keperawatan mengandung unsur SOAP (evaluasi sumatif), yaitu: 1. S (subjektif) merupakan respon klien setelah tindakan keperawatan. 2. O (objektif) merupakan data pasien yang ditemukan oleh perawat setelah dilakukan tindakan keperawatan. 3. A (analisis) merupakan masalah keperawatan pada pasien yang berkaitan dengan pencapaian apakah sudah teratasi, teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru.



20



4. P (planning) merupakan rencana intervensi berupa pilihan untuk dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau dimodifikasi sesuai dengan hasil analisis berdasarkan data yang diperoleh. No. Hari/Tgl/Jam 1. Rabu/06



Diagnosa Risiko perfusi



Evaluasi Sumatif S:



September



cerebral tidak



-



2021/11.00



efektif (D.0017)



Keluarga



mengatakan



kadang



klien



merespon dengan menggerakkan jari O: -



GCS 10 status kesadaran Stupor



-



TD 140/100 mmHg, Suhu 37 oC, Nadi 105 x/menit, dan RR 25 x/menit



-



Klien Somnolen tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik



-



Klien tirah baring



A: Risiko perfusi cerebral tidak efektif belum teratasi P: Lanjutkan intervensi 1. Monitor tingkat kesadaran 2. Monitor tingkat orientasi 3. Monitor ukuran, bentuk, kesimetrisan, dan reaktifitas pupil 4. Monitor tanda-tanda vital 5. Monitor kesimetrisan wajah 6. Monitor karakteristik bicara 7. Hindari aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan intracranial 8. Dokumentasikan hasil pemantauan 9. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan Informasikan hasil pemantauan



21



22



DAFTAR PUSTAKA Ainsworth,



C.



R.



2020.



Head



Trauma.



https://emedicine.medscape.com/article/433855-overview#a7 [Diakses pada March 1, 2021]. American Association of Neurological Suegeons. 2020. Traumatic Brain Injury. https://www.aans.org/Patients/Neurosurgical-Conditions-andTreatments/Traumatic-Brain-Injury [Diakses pada February 28, 2021]. Bajamal dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak (Guideline In Management



of



Traumatic



Brain



Injury).



http://spesialis1.neurologi.fk.unair.ac.id/wpcontent/uploads/2017/03/Neurotrauma-Guideline-2014.pdf



[Diakses



pada



February 28, 2021]. Callosum, T. 2014. Trombositopenia Sebagai Prediktor Kematian Cedera Kepala Berat. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Faculty of Medicine Hasanuddin University. 2016. Bahan Ajar: Ensefalopati. https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2016/09/Bahan-Ajar_-Ensepalopati.pdf [Diakses pada February 28, 2021]. Lund, S. B., K. H. Gjeilo, K. G. Moen, K. Schirmer-Mikalsen, T. Skandsen, dan A. Vik. 2016. Moderate traumatic brain injury, acute phase course and deviations in physiological variables: an observational study. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine. 24(77):1–8. MayoClinic



Staff.



2021.



Traumatic



Brain



Injury.



https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/traumatic-braininjury/symptoms-causes/syc-20378557 [Diakses pada February 28, 2021]. National Academies of Science - Engineering - Medicine. 2019. Evaluation of the Disability Determination Process for Traumatic Brain Injury in Veterans. Washington (DC): National Academies Press (US). Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia.



23



Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standart Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi 1. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat PP. UAB.



2020.



Traumatic



Brain



Injury



Model



System.



https://www.uab.edu/medicine/tbi/newly-injured/questions-about-traumaticbrain-injury-tbi/what-is-a-moderate-tbi#:~:text=A moderate TBI is a,See Resources [Diakses pada February 28, 2021]. Watanitanon, A., V. H. Lyons, A. V. Lele, V. Krishnamoorthy, N. Chaikittisilpa, T. Chandee, dan M. S. Vavilala. 2019. Clinical epidemiology of adults with moderate traumatic brain injury. Crit Care Med. 46(5):781–787. Yueniwati,



Y.



2017.



Pencitraan



Pada



Interpretasinya. Malang: UB Press.



Tumor



Otak:



Modalitas



Dan