02 Askep Encephalitis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN: ENCEPHALITIS



Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dari Bapak Agus Nurdin, SKp, M.Kep., selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II



Oleh: Kelompok 2 Ai Raisa Q. A. Ajep Tohajudin Dinda Amelia Fitria Damayanti



Muggy Bahari Nisa Ainun Nizar Rusliana Widya Solehah



2B Keperawatan



POLITEKNIK KESEHATAN TASIKMALAYA PROGRAM STUDI KEPERAWATAN CIREBON Jl.Pemuda Nomor 38 Kota Cirebon 2019



ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM PERSYARAFAN: ENCEPHALITIS A. KONSEP PENYAKIT 1. Pengertian Menurut Yasmara, dkk (2017), Ensefalitis merupakan inflamasi jaringan otak dan biasanya terjadi di hemisper, batang otak, atau serebelum terinfeksi oleh mikroorganisme. Sedangkan menurut Purwanto (2016) Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. Ada banyak tipe-tipe dari encephalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh infeksi-infeksi. Paling sering infeksi-infeksi ini disebabkan oleh virus-virus. Encephalitis dapat juga disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari otak.



Gambar. hemisphere dan cerebelum biasanya tempat mikroorganisme penyakit ensefalitis. Sumber: Gosling, J.A. et.al. 2008. Human Anatomy Color Atlas and Textbook. USA: Mosby. . 2. Etiologi Di Amerika Serikat, sebagian besar Ensefalitis disebabkan oleh enterovirus (mis. Herpes simpleks 1 dan 2 ; coxsackievirus, echovirus, dan poliovirus), arbovirus (dari gigitan kutu atau nyamuk) dan penyakit lyme. Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 1 adalah Ensefalitis yang paling sering terjadi pada individu berusian



kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun. Penyakit ini menular,



disebarkan paling sering melalui inhalasi droplet/cipratan air. Ensefalitis yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe 2 biasanya menyebar melalui kontak seksual atau yang lebih jarang, bayi baru lahir dapat tertular virus dari ibu yang terinfeksi selama pelahiran. Di amerika 4 tipe Ensefalitis virus yang ditularkan melalui nyamuk adalah equine, lacrosse, St. Louis dan west nile. Virus yang lebih sedikit menyebabkan infeksi ini adalah virus gondongan, HIV, verisela dan rubella. Di Amerika dan juga Kanada, Ensefalitis powassan ditularkan ke manusia melalui gigitan kutu, yang sebelumnya mendapat virus dari rusa yang terinfeksi. Tidak pada seperti meningitis, sebgaian besar kasus Ensefalitis disebabkan oleh virus. Ensafalitis pada desawa paling sering disebabkan oleh herpes simpleks virus-1 (HSV-1). Sedangkan HSV-2 biasanya terjadi pada neonatus yang tertular saat proses persalinan dari ibunya yang mengalami infeksi herpes pada area genital. Virus ensafalitis dapat ditularkan melalui beberapa cara, antara lain melalui darah saat proses persalinan, dan melalui penularan lewat saraf. Transisi melalui saraf yang sering terjadi dimulai pada saraf perifer yang menjalar menuju otak. Arbovirus juga merupakan salah satu virus yang paling sering (Doenges et.al, 2018). 3. Patofisiologi Masuknya kuman patogen pada jaringan otak akan memicu terjadinya inflamasi atau peradangan di daerah tersebut. Ketika otak terinflamasi, limfosit akan memasuki jaringan dan selaput otak. Hal tersebut memicu terjadinya edema otak, sehingga dapat mendegenerasi sel otak dan menimbulkan kerusakan sel saraf secara luas komplikasi yang ditimbulkan dapat berlangsung singkat maupun lama. Pneumonia bronkial dan infeksi saluran nafas dapat merupakan komplikasi dari ensefalitis. Pasien juga dapat mengalami koma sehingga berisiko mengalami komplikasi terkait imobilisasi seperti kontraktur dan dekubitus. Sedangkan komplikasi lain dapat berupa epilepsi, parkinson, perubahan kepribadian, dan retardasi mental. Kondisi koma sendiri dapat berlangsung dalam hitungan hari, minggu, hingga bulan pasca-serangan akut (Yasmara, dkk, 2017). Terdapat dua tipe ensefalitis, yaitu primer dan sekunder. Ensefalitis primer secara langsung disebabkan oleh infeksi virus yang baru. Ensefalitis sekunder, atau ensefalitis pascainfeksi, muncul sebagai akibat dari infeksi virus yang berkelanjutan atau akibat prosedur imunisasi yang menggunakan sebuah virus. Prosedur imunisasi tersebut



menggunakan sebuah virus yang telah diubah sehingga tidak mampu menyebabkan bahaya. Namun, dalam kasus yang jarang terjadi, vaksin itu sendiri menjadi berbahaya. Ensefalitis diklasifikasikan menjdi viral atau bakterial, dengan lebih banyak disebabkan oleh virus. Ensefalitis dapat mengancam jiwa dan menciptakan masalah neurologis seumur hidup, seperti ketidakmampuan belajar, kejang, dan defisit memori atau motorik. Ensefalitis West Nile (NSE) juga merupakan bentuk yang umum dan menimbulkan risiko paling besar pada lansia dan individu yang mengalami gangguan penurunan sistem imun. Lain-lain, tipe ensefalitis yang lebih jarang terjadi meliputi ensefalitis Equine, La Crosse, dan St. Louis (Mathews & Mott, 2007)



(Nurarif & Kusuma, 2015).



4. Manifestasi Klinis Tanda dan gejala ensefalitis mungkin didahului oleh gejala prodromal berupa gejala seperti flu sebelum demam memuncak dan terjadi kelemahan. Gejala lainnya adalah Sakit kepala, Diaforesis, Mual dan muntah, Aktivitas kejang, Peningkatan sensivitas terhadap cahaya dan suara bising (Hurst, 2016). 5. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa pasien ensefalitis antara lain (Doenges et.al, 2018). a.



Punksi Lumbal (LP) Merupakan pemeriksaan cairan spinal yang dilakukan untuk menentukan apakah cairan serebrospinal konsisten dengan diagnosis klinis. Arti Pemeriksaan: Alat diagnostik primer untuk ensefalitis dan meningitis. Pemeriksaan awal yang sering dilakukan pada dugaan infeksi sistem saraf pusat terdiri dari:  Protein: peningkatan protein seiring kali terlihat pada meningitis  Glukosa: dapat menurun ketika sel yang biasanya tidak ada menjadi ada untuk memetabolisme glukosa. Sel ini terdiri dari bakteria atau sel-sel yang ada karena inflamasi (SDP)  Hitung sel cairan serebrospinal total: SDP dapat meningkat pada infeksi saraf pusat  Diferensial SDP CSS: mungkin terjadi peningkatan neutrofi pada infeksi bakterial, peningkatan limfosit pada infeksi virus  Pewarna gram dapat dilakukan untuk mengobservasi mikroorganisme secara langsung  Kultur dan sesnsitivitas dapat dilakukan untuk bakteria, jamur, dan virus



b.



Pindai computed tomography (CT) Pemeriksaan yang menggunakan radiasi sinar x rendah untuk menciptakan gambaran otak tiga dimensi yang dihasilkan oleh komputer. Arti pemeriksaan: Dapat dilakukan setelah evaluasi CSS pada beberapa populasi (mis., kejang awitan baru, tanda mencurigakan yang menunjukan adanya lesi yang menempati suatu ruang, demam berkepanjangan,bukti peningkatan tekanan intrakarnial. Ct jauh lebih kecil sensitivitasnya dibandingkan MRI untuk ensefalitis HSV, terapi



dapat membantu karena tersedia secara cepat dan dapat menyingkirkan gangguan yang membuat punksi lumbal menjadi berisiko.



Gambar. CT scan kepala penderita encephalitis. Sumber: https://www.wfneurology.org. c.



Magnetic resonance imaging (MRI) Pemeriksaan yang menggunakan lapang magnetik dan teknologi komputer untuk menghasilkan gambaran anatomi internal otak. Arti pemeriksaan: Sensitif untuk awal ensefalitis HSV, menunjukkan edema di area orbitofrontal dan temporal, yang biasanya terinfeksi HSV. Dapat menunjukkan abnormalitas di basal ganglia dan talamus pada ensefalitis West Nile dan ensefalitis equine timur (eastern equine encephalitis). MRI dapat juga menyingkirkan lesi yang menyerupai ensefalitis virus (mis., abses otak, trombosis di sinus sagitalis).



d.



Kultur darah Menentukan keberadaan infeksi yang menular melalui darah dan agens yang bertanggung jawab. Arti pemeriksaan:  Menentukan keberadaan infeksi yang menular melalui darah dan agens yang bertanggung jawab. Pewarnaan gram mungkin psitif atau negatif  Kultur mungkin positif untuk H. Influensa, S. Pneumonia, atau N. Meningitidis, terutama ketika agens tersebut terdapat juga di nasofaring, sekresi pernafasan, lesi kulit.  Kultur virus dapat dilakukan untuk mengisolasi jenis virus dan agens yang tepat untuk mengatasi virus tersebut.



6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan untuk klien ensefalitis adalah sebagai berikut (Nurarif & Kusuma, 2015): a. Isolasi bertujuan mengurangi stimulus atau rangsangan dari luar dan sebagai tindakan pencegahan. b. Terapi antibiotik, sesuai hasil kultur c. Bila ensefalitis disebabkan oleh virus (hsv), agen antiviral acyclovir secara signifikan dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas HSC ensefalitis. Acyclovir diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/kg BB. Per hari dan dilanjutkan selama 10 sampai 14 Hari Untuk mencegah kekambuhan. d. Mengontrol hidrasi, monitor Balance cairan; jenis dan jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan pasien. e. Mengontrol kejang obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Obat yang diberikan ialah valium dan luminal. Valium dapat diberikan dengan dosis 0,3 sampai 0,5 Mg/kg BB/kali. Bila 15 menit belum teratasi/kejang lagi bila diulang dengan dosis yang sama. Jika sudah diberikan 2 kali dan 15 menit lagi masih kejang, berikan valium drip dengan dosis 5mg/kgbb/24jam. f. Mempertahankan ventilasi; bebaskan jalan nafas Berikan O2 sesuai kebutuhan 2 sampai 31 per menit g. Penatalaksanaan syok septik h. Untuk mengatasi hiperpireksia dapat diberikan kompres pada permukaan tubuh atau dapat juga diberikan antipiretikum seperti asetosal atau paracetamol bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat per oral. 7. Pencegahan Cara untuk mencegah Ensefalitis adalah menghindari virus yang dapat menyebabkan penyakit terebut. Dengan menjalani imunisasi untuk melawan virus penyebab Ensefalitis, seperti cacar air, campak (rubeola), gondok dan campak Jerman (rubella). Adapun intervensi yang paling utama dalam pencegahan dan pengendalian Ensefalitis adalah pengendalian vektor baik secara kimiawi maupun non kimiawi, menjaga kebersihan lingkungan permukiman dan peternakan bebas dari habitat perkembangbiakan nyamuk penular JE, penguatan surveilans, dan imunisasi



pada



manusia di samping vaksinasi hewan (babi, kuda dan unggas). Imunisasi merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah Ensefalitis pada manusia (depkes.go.id).



B. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Kemungkinan data yang dihasilkan saat pengkajian (Doenges et.al, 2012; Purwanto, 2016): a. Identitas : Ensefalitis dapat terjadi pada semua kelompok umur. b. Keluhan Utama, berupa panas badan meningkat, kejang, dan kesadaran menurun. c. Riwayat Penyakit Sekarang : Mula-mula anak rewel, gelisah, muntah-muntah, panasbadan meningkat kurang lebih 1-4 hari, sakit kepala. d. Riwayat Penyakit Dahulu : Klien sebelumnya menderita batuk, pilek kurang lebih 1-4 hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan tenggorokan. e. Riwayat Penyakit Keluarga : Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contoh : Herpes dan lain-lain. Bakteri contoh : Staphylococcus Aureus,Streptococcus, E, Coli, dan lain-lain. f. Aktivitas istirahat Gejala:  Perasaan tidak enak (malaise).  Keterbatasan yang ditimbulkan oleh kondisinya. Tanda:  Ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gejala involunter. Kelemahan secara umum, keterbatasan dalam rentang gerak.  Hipotonia. g. Sirkulasi Gejala:  Adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis, beberapa penyakit jantung kongenital (abses otak). Tanda:  Tekanan darah meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat (berhubungan dengan peningkatan TIK dan pengaruh pada pusat vasomotor).  Takikardia, disritmia ( pada fase akut ). h. Eliminasi Tanda: Adanya inkontinensia dan/atau retensi.



i. Makanan/cairan Gejala:  Kehilangan napsu makan.  Kesulitan menelan (pada periode akut). Tanda:  Anoreksia, muntah.  Turgor kulit jelek, membran mukosa kering. j. Higiene Tanda: Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada periode akut). k. Neurosensori Gejala:  Sakit kepala (mungkin merupakan gejala pertama dan biasanya berat).  Parestesia, terasa kaku pada semua persarafan yang terkena, kehilangan sensasi (kerusakan pada saraf cranial). Hiperalgesia/meningkatnya sensitivitas pada nyeri. Timbul kejang.  Gangguan dalam penglihatan, seperti diplopia (fase awal dari beberapa infeksi).  Fotofobia (pada meningitis).  Ketulian (pada meningitis atau ensefalitis) atau mungkin hipersensitif terhadap kebisingan.  Adanya halusinasi penciuman/sentuhan. Tanda:  Status mental/tingkat kesadaran ; letargi sampai kebingunan yang berat hingga koma, delusi dan halusinasi/psikosis organik (ensefalitis).  Kehilangan



memori,



sulit



dalam



mengambil



keputusan



(dapat



merupakan awal gejala berkembangnya hidrosefalus kemunikan yang mengikuti).  Afasia/kesulitan dalam berkomunikasi.  Mata (ukuran/reaksi pupil) ; unisokor atau tidak berespons terhadap cahaya (peningkatan TIK), nistagmus (bola mata bergerak gerak terus menerus).  Ptosis (kelopak mata atas jatuh). Karakteristik fasial (wajah) : perubahan pada fungsi motorik dan sensorik (saraf cranial V dan VII terkena).



 Kejang umum atau lokal (pada abses otak), kejang lobus temporal. Otot mengalami hipotonia/flaksid paralisis (pasa fase akut meningitis), spastik (ensefalitis).  Hemiparese atau hemiplegia (meningitis/ensefalitis)  Tanda Brudzinski positif dan/atau tanda Kernig positif merupakan indikasi adanya iritasi meningeal (fase akut).  Regiditas nukal (iritasi meningeal).  Refleks tendon dalam terganggu, Babinski positif.  Refleks abdominal menurun/tidak ada, refleks kremastetik hilang pada laki-laki. l. Nyeri/kenyamanan Gejala: Sakit kepala (berdenyut dengan hebat, frontal) mungkin akan diperburuk oleh ketegangan ; leher/punggung kaku; nyeri pada gerakan okular, fotosensitivitas, sakit ; tenggorokan nyeri. Tanda:



Tampak



terus



terjaga,



perilaku



distraksi/gelisah.



Menangis/mengaduh/mengeluh. m. Pernafasan Gejala: Adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak). Tanda:  Peningkatan kerja pernafasan (episode awal).  Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah. n. Keamanan Gejala:  Adanya riwayat infeksi slauran napas atau/infeksi lain meliputi ; mastoiditis, telinga tenga, sinus, abses gigi ; infeksi pelvis, abdomen atau kulit, fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala, anemia sel sabit.  Imunisasi yang baru saja berlangsung ; terpajan pada meningitis, terpajan oleh campak, chickenpox, herpes simpleks, mononucleosis, gigitan binatang, benda asing yang terbawa.  Gangguan penglihatan/ pendengaran. Tanda:  Suhu meningkat, diaphoresis, menggigil.  Adanya ras, purapura menyeluruh, perdarahan subkutan.



 Kelemahan secara umum ; tonus otot flaksid atau spastik ; paralisis atau paresis & Gangguan sensasi. 2. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri Akut Dapat dihubungkan dengan: agen cedera biologis, adanya proses infeksi/inflamasi. Kemungkinan dibuktikan oleh:  Melaporkan sakit kepala  Perilaku distraksi: menangis, meringis, gelisah  Perilaku berlindung, memilih posisi yang khas  Tegangan muskuler: wajah menahan nyeri  Perubahan TTV 2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh Dapat dihubungkan dengan: kerusakan neuromuskuler yang mempengaruhi refleks gagal menelan dan fungsi GI. Kemungkinan dibuktikan oleh:  BB dibawah rentang normal  Membran mukosa pucat: tugor kulit/tonus otot buruk 3) Risiko tinggi terhadap penyebaran infeksi Faktor risiko:  Deseminata hematogen dari pathogen  Statis cairan tubuh  Pemajanan orang lain terhadap pathogen Kemungkinan dibuktikan oleh: [Tidak dapat diterapkan : adanya tanda dan gejala membuat diagnose aktual] 4) Risiko tinggi terhadap perubahan: serebral perfusi jarigan Faktor risiko :  Edema serebral yang mengubah/ menghentikan aliran darah arteri/vena  Hipovoemia  Masalah pertukaran pada tingkat seluler (asidosis) Kemungkinan dibuktikan oleh: [Tidak dapat diterapkan : adanya tanda dan gejala membuat diagnose aktual] (Doenges, et.al, 2012; berdasarkan NANDA-I).



3. Intervensi No. Dx 1.



Tujuan/ Kriteria Hasil Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan klien: - Melaporkan nyeri hilang/ berkurang - Menunjukan postur rileks dan mampu tidur / istrirahat dengan tepat



Intervensi



Rasional



2.



Setelah dilakukan Mandiri: 1. Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, 1. Kelemahan otot dan refleks yang hipoaktif/ hiperaktif tindakan menelan, batuk,pada keadaan yang teratur. keperawatan dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan selama 1x24 jam, alternative, seperti melaluiselang NGT dan sebagainya.



Mandiri: 1. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan 1. Menurunkan reaksi tehadap stimulasi dari luar atau agak gelap sesuai indikasi. sensitivitas pada cahaya dan meningkatkan istirahat/ relaksasi. 2. Tingkatkan tirah baring, bantulah 2. Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri. kebutuhan perawatan diri yang penting. 3. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian 3. Meningkatkan vasokontriksi, penumpukan resepsi dingin diatas mata. sensori yang selanjutnya akan menurunkan nyeri. 4. Dukung untuk menemukan posisi yang 4. Menurunkan iritasi meningeal, resultan nyaman, seperti kepala agak tinggi sedikit. ketidaknyamanan lebih lanjut. 5. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif 5. Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot secara tepat dan masase otot daerah leher/ yang meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak bahu. nyaman tersebut. 6. Gunakan pelembab yang agak hangat pada 6. Meningkatkan relaksasi otot dan menurunkan rasa nyeri leher/ punggung jika tidak ada sakit/ rasa tidak nyaman. demam. Kolaborasi: 7. Berikan analgetik, seperti asetaminofen, 7. Mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang kodein berat. Catatan: narkotik mungkin merupakan kontraindikasi sehingga menimbulkan ketidakakuratan dalam pemeriksaan neurologis.



diharapkan klien: - Mendemonstrasi kan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium. - Tidak ada tandatanda malnutrisi



3.



2. Auskultasi bising usus, evaluasi adanya 2. Perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai distensi abdomen. akibat dari paralisis/ mobilisasi. 3. Catat asupan kalori setiap hari. 3. Mengidentifikasi kekurangan makanan dan kebutuhannya. 4. Catat makanan yang disukai/ tidak disukai 4. Meningkatkan rasa control dan mungkin juga dapat oleh pasien dan termasuk dalam pilihan meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak/ diet yang dikehendakinya. Berikan setengah padat menurunkan risiko terjadinya aspirasi. makanan setengah padat/ cair. 5. Anjurkan untuk makan sendiri jika 5. Derajat hilangnya control motorik mempengaruhi memungkinkan. Izinkan untuk makan kemampuan untuk makan sendiri. Harga diri dan sesuai waktu yang diinginkan/ yang perasaan control oleh upaya yang diarahkan sendiri menyenangkan bagi pasien untuk terus meskipun bila sangat terbatas. berusaha sendiri. Beri bantuan/ beri makan sesuai kebutuhan. 6. Anjurkan orang terdekat untuk ikut 6. Memberikan waktu bersosialisasi yang dapat berpartisipasi pada waktu makan, seperti meningkatkan jumlah masukan makanan pada pasien. member makan dan membawa makanan kesukaan pasien dari rumah. 7. Timbang berat badan setiap hari. 7. Mengkaji keefektifan aturan diet. Kolaborasi: 8. Berikan diet tinggi kalori atau protein 8. Makanan suplementasi dapat meningkatkan nabati, seperti eggnog. pemasukan nutrisi. 9. Pasang/ pertahankan selang NGT, berikan 9. Dapat diberikan jika pasien tidak mampu untuk makanan enteral/ parenteral. menelan (atau jika refleks menelan/ gag mengalami kerusakan) untuk pemasukan makanan, kalori, elektrolit, dan mineral. Setelah dilakukan Mandiri: tindakan 1. Berikan tindakan isolasi sebagai tindakan 1. Pada fase awal infeksi ensepalitis, isolasi mungkin diperlukan sampai organismenya diketahui/dosis



keperawatan pencegahan antibiotic yang cocok telah diberikan untuk selama 1x24 jam, menurunkan resiko penyebaran pada orang lain. 2. Menurunkan resiko pasien terkena infeksi sekunder. diharapkan klien: Mencapai masa Mengontrol penyebaran sumber infeksi, mencegah penyembuhan tepat 2. Pertahankan tingkat aseptic dan teknik cuci pemajanan pada individu terinfeksi (mis. Individu waktu, tanpa bukti yang mengalami infeksi saluran napas atas. tangan yang tepat baik pasien, pengunjung, penyebaran infeksi maupn staf. Pantau dan batasi 3. Terapi obat biasanya akan diberikan terus selama ± 5 hari setelah suhu turun (kembali turun dan tanda endogen atau pengunjung/staf sesuai kebutuhan. klinisnya jelas. Timbulya tanda klinis yang terus keterlibatan orang 3. Pantau suhu secara teratur. Catat menerus merupakan indikasi perkembangan dari lain. munculnya tanda tanda klinis dari proses menikosemia akut yang dapat bertahan sampai infeksi berminggu mingu/berbulan bulan atau terjadi penyebaran pathogen secara hematogen/sepsis. 4. Infeksi sekunder seperti miokarditis/ pericarditis dapat berkembang dan memerlkan intervensi lanjut. 4. Teliti adanya keluhan nyeri dada, berkembangnya nadi yang tidak teratur/distritmia atau demam yang terus 5. Adanya ronghi/mengi, takipneu dan peningkatan kerja menerus. pernapasan mungkin mencerminkan adanya akumulasi 5. Auskultasi suara napas. Pantau kecepatan secret dengan resiko infeksi pernapasan. pernapasan 6. Memobilisasi secret dan meningkatkan kelancaran 6. Ubah posisi pasien dengan teratur dan secret yang akan menurunkan resikoterjadinya anjurkan untuk melakukan napas dalam. komplikasi terhadap pernapasan. 7. Urine statis, dehidrasi, meningkatkan risiko terhadap infeksi kandung kemih/ginjal/awitan sepsis 7. Catat karakteristik urine seperti warna, 8. Orang orang dengan kontak pernapasan memerlukan kejernihan, dan bau. terapi antibiotika profilaksis untuk mencegah 8. Indentifikasi kontak yang berisiko terhadap penyebaran infeksi.



perkembangan proses infeksi serebral dan anjuran mereka untuk meminta pengobatan. 9. Obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan Kolaborasi sensitivitas individu. Caution: obat infeksi mungkin 9. Berikan terapi antibiotika IV sesuai diindikasikan untuk basilus gram-negatif, jamur, indikasi: penicillin G, ampisilin, amuba 10. Bermanfaat untuk pengobatan herpes simplek kroranfenikol, gentamisin, amfoterisin B. ensepalitis. 11. Mungkin memerlukan drainase dari adanya abses otak 10. Berikan vidarabin(Vira-A, atau pengelepasan “pirau Ventrikel” untuk mencegah rupture/mengontrol penyebaran infeksi.



4.



11. Siapkan untuk intervensi perubahan sesuai indikasi Setelah dilakukan Mandiri tindakan 1. Pertahankan tirah baring dengan posisi 1. Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi keperawatan kepala datar dan pantau ttv sesuai indikasi adanya resiko herniasi batang otak yang memerlukan selama 1x24 jam, setelah dilakukan pungsi lumbal. tindakan medis dengan segera. diharapkan klien: 2. Pengkajian kecenderungan adanya perubahan tingkat 1. Mempertahanka 2. Pantau/catat status neorologis dengan kesdaran potensial peningkatan TIK adalah sangat teratur dan bandingkan dengan keadaan n tingkat normalnya seperti GCS. kesadaran berguna dalam menentukan lokasi,penyebaran/ biasanya/memba luasnya dan perkembangan dari kerusakan serebral. ik dan funsi 3. Merupakan indikasi adanya iritasi meningeal dan motorik/sensori 3. Kaji adanya regiditas nukal, gemetar, mungkin juga terjadi dalam periode akut atau kegelisahan yang meningkat, peka k rangsangan dan adanya serangan kejang. 2. Mendemontrasi penyembuhan dari trauma otak 4. Normalnya, auto regulasi mampu mempertahankan kan tanda-tanda 4. Pantau ttv. Catat serangan dari/hipertensi vital stabil aliran darah serebral dengan konstan sebagai dampak sitolik yang terus meneus dan tekanan nadi



3. Melaporkan tak yang melebar. adanya/ menurunkan berat kepala sekali 4. Mendemonstasi kan tak adanya perbaikan kognitif dan tanda penigkatan TIK 5. Pantau frekuensi/irama jantung



adanya fluktuasi pda tekanan darah sistemik . kehilangan fungsi auto regulasi mungkin mengikuti kerusakan vaskuler serebral local atau difus yang menimbulkan peningkatan TIK .fenomena ini dapat ditunjukan oleh peningkatan tekanandarh sistemik yang bersamaan dengan penurunan tekanan darah diasitolik (tekanan nadi yang melebar 5. Perubahan pada frekuensi (tersering adalah bradikardi) dan



distritmia



dapatterjadi



yang



mencerminkan



trauma/tekanan batang otak pada tidak adanya penyakit jantung yang mendasari. 6. Tipe dari pola pernapasan merupakan tanda yang berat 6. Pantau pernapasan, catat pola dan irama pernapasan, seperti adanya periode apnea setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan Cheyne-Stokes.



dari adanya perubahan TIK/ daerah serebral yang terkena dan mungkin merupakan indikasi perlunya untuk melakukan intubasi dengan disertai pemasangan ventilator mekanik. 7. Demam biasanya



berhubungan



dengan



proses



inflamasi tetapi mungkin merupakan konplikasi dari 7. Pantau suhu dan atur juga suhu lingkungan sesuai kebutuhan. Batasi penggunaan selimut,lakukan komrpres hangat jika ada demam



kerusakan hipotalamus. Terjadi peningkatan kebutuhan metabolism dan konsumsi oksigen (trauma dengan menggigil) yang dapat meningkatkan TIK. 8. Hipertemia meningkatkan kehilangan air tak kasat mata dan meningkatkan resiko dehidrasi, terutama jika



tingkat



kesadaran



menurun/munculnya



mual



8. Pantau masukan dan haluran. Catat menurunkan pemasukan melalui oral. karakteristik urine, turgor kulit, dan 9. Aktivitas seperti ini meningkatkan tekanan intra torak keadaan membrane mukosa. dan intra abdomen yang dapat meningkatkan TIK. Ekshalasi selama perubahan posisi tersebut dapat 9. Bantu pasien untuk berkemih/membatasi mencegah pengaruh maneuver Valsalva. 10. Meningkatkan istirahat dan menurunkan stimulasi batuk, muntah, mengejan. Anjurkan paien untuk mengeluarkan napas selama sensori yang berlebihan. pergerakan/perpindahan ditempat tidur. 11. Mencegah kelelahan berlebih. Aktivitas yang 10. Berikan tindakan yang menimbulkan rasa nyaman, seperti masase punggung. 11. Berikan waktu istirahat antara aktivitas perawatan dan batasi lamanya tindakan tersebut.



dilakukan secaraterus menerus dapat meningkatkan TIK dengan menghasilkan akumulatif stimulus. 12. Mendengarkan suara yang menyenangkan dari orang terdekat/keluarga tampaknya menimbulkan pengaruh relaksasi pada beberapa pasien dan mungkin akan dapatmenurunkan TIK



12. Anjurkan keluarga untuk berbicara dengan pasien jika diperlukan.



(Doenges, et.al, 2012)



4. Implementasi Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Purwanto, 2016). Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana perawatan dilaksanakan; melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan. Pada tahap ini, artinya perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas-aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan pasien. 5. Evaluasi Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. (Carpenito, 1999). Disamping itu perawat juga memberikan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai sehingga proses keperawatan dapat dimodifikasi.



DAFTAR PUSTAKA Carpenito, L. J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Alih bahasa: Monica Ester, Setiawan. Jakarta: EGC. Doenges, M. E, et.al. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih bahasa: I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC. _________________. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman asuhan klien anak−dewasa. Alih bahasa: Devi Yulianti, Miskiyah Tiflani Iskandar. Jakarta: EGC.



Gosling, J.A. et.al. 2008. Human Anatomy Color Atlas and Textbook. USA: Mosby. http://www.depkes.go.id/article/view/18030500001/mengenal-penyakit-radang-otakjapanese-enchepalitis.html https://www.wfneurology.org Hurst, Marlene. 2016. Belajar Mudah Keperawatan Medikal-Bedah. Alih bahasa: Egi Komara Yudha, Devi Yulianti. Jakarta: EGC. Matthews, C. M & Mott, M: Getting ahead of acute meningitis and encephalitis. Nursing 37(11):36-39, 2007. Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jakarta: MediaAction. Purwanto, Hadi. 2016. Keperawatan Medikal-Bedah II. Jakarta: PPSDM Kesehatan. Yasmara, D., dkk (ed.). 2017. Rencana Asuhan keperawatan Medikal-Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: ECG.