1 - Laporan Kasus - Hipertensi Dalam Kehamilan - Pramana - Angga [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT



HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN



Oleh: Ni Putu Pramana Saras Utami



1902611120



Nyoman Angga Pramaharta Darma 1902611118



Pembimbing : dr. Made Bagus Dwi Aryana, Sp.OG(K)



DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DEPARTEMEN/KSM OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2020



i



KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat-Nya maka referat dengan topik “Hipertensi Dalam Kehamilan” ini dapat selesai pada waktunya. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya (KKM) di Departemen/KSM Ilmu Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada: 1.



Dr. dr. I G.N. Harry Wijaya Surya, Sp.OG selaku penanggung jawab pendidikan profesi dokter Departemen/KSM Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas bimbingan secara moral dan materiil yang diberikan.



2.



dr. Made Bagus Dwi Aryana, Sp.OG(K) selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan, kritik, dan saran di dalam pembuatan referat ini.



3.



Seluruh pihak yang membantu penulis dalam penyusunan referat ini. Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna dan banyak



kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan penulisan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.



Denpasar, Juli 2020 Penulis



DAFTAR ISI



Halaman Judul............................................................................................................i Kata Pengantar.............................................................................................................ii Daftar Isi.....................................................................................................................iii Bab I Pendahuluan......................................................................................................1 Bab II Tinjauan Pustaka..............................................................................................3 2.1. Definsi...............................................................................................................3 2.2. Epidemiologi.....................................................................................................3 2.3. Klasifikasi.........................................................................................................3 2.4. Faktor Risiko.....................................................................................................6 2.5. Patofisiologi......................................................................................................8 2.6. Manifestasi Klinis.............................................................................................12 2.7. Diagnosis..........................................................................................................15 2.8. Tatalaksana.......................................................................................................20 2.9. Pencegahan.......................................................................................................24 2.10. Komplikasi......................................................................................................26 2.11. Prognosis........................................................................................................27 Bab III Simpulan........................................................................................................28 Daftar Pustaka............................................................................................................29



BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipertensi dalam Kehamilan (HDK) merupakan salah satu diantara tiga penyebab mortalitas dan morbiditas pada ibu bersalin selain infeksi dan perdarahan. Proporsi ketiga penyebab kematian ibu tersebut telah mengalami perubahan. Perdarahan dan infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan proporsi hipertensi dalam kehamilan semakin mengalami peningkatan. Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling sering terjadi selama kehamilan dengan angka kejadian sekitar 5-15%. Hal ini dapat terjadi karena tingkat pengetahuan ibu hamil yang kurang baik mengenai bahaya hipertensi dalam kehamilan.1 World Health Organization (WHO) menemukan bahwa 16% kematian ibu di negara maju disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan. Lebih dari 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan. Di Asia dan Afrika, hampir sepuluh persen dari semua kematian ibu terkait dengan hipertensi dalam kehamilan sementara komplikasi pada kehamilan berkontribusi terhadap 25% dari semua kematian ibu di Amerika Latin. 1,2



Hipertensi yang disebabkan oleh kehamilan dianggap sebagai komplikasi obstetrik, dimana menimbulkan efek yang signifikan yakni dapat menghasilkan morbiditas atau kematian maternal.3 HDK apabila tidak segera ditangani dapat menyebabkan beberapa komplikasi antara lain gagal ginjal akut, DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), gangguan kardiovaskular, gagal hati akut, gangguan pernapasan, sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count) serta gangguan pada janin seperti IUGR (Intrauterine Growth Restriction), prematuritas hingga kematian janin dalam rahim. 4 Hipertensi pada kehamilan juga dapat berlanjut menjadi preeklampsia dan eklampsia yang dapat menyebabkan kematian pada ibu maupun janin.3 Harus selalu diingat bahwa kondisi ibu dengan abrupsio plasenta, gagal ginjal akut, pendarahan intraserebral dan edema paru juga akan memiliki efek



1



buruk pada janin. Demi keselamatan ibu, diperlukan rencana untuk melahirkan janin lebih awal. Kelahiran dini ini akan menyelamatkan ibu namun meningkatkan risiko pada bayi. Kesulitan dokter kandungan adalah memutuskan apakah melanjutkan kehamilan atau segera melahirkan.3 Penanganan hipertensi selama kehamilan harus segera dilakukan setelah diagnosis ditegakkan. Pemberian terapi obat antihipertensi harus segera dilakukan untuk menjaga tekanan darah agar tetap dalam kisaran normal.4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.



Definisi Hipertensi dalam kehamilan (HDK) adalah hipertensi yang terjadi saat



kehamilan berlangsung dan hipertensi dalam kehamilan biasanya terjadi pada usia kehamilan memasuki 20 minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila didapatkan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg.5 2.2.



Epidemiologi Hipertensi dalam kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan



mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi terjadi pada sekitar 5-15% kehamilan. HDK merupakan tanda awal dari preeklampsia dan dapat bertahan beberapa minggu setelah melahirkan. Preeklampsia terjadi pada sekitar 5% kehamilan dan sebagai faktor penyebab dari 16% kematian ibu secara global. Preeklampsia juga menyebabkan risiko kematian bayi meningkat hingga dua kali lipat. Preeklampsia bahkan kadang tidak menunjukkan gejala dan dapat berkembang menjadi kondisi yang mengancam nyawa yang disebut eklampsia.1,2 Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan juga masih cukup tinggi. Lebih dari 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang masih kurang jelas dan perawatan dalam persalinan masih ditangani oleh petugas non-medis serta sistem rujukan yang belum sempurna.2 2.3.



Klasifikasi Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the



National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001, ialah :6



Gambar 1. Klasifikasi Hipertensi Dalam Kehamilan6 a. Hipertensi Gestasional Diagnosis hipertensi gestasional dapat ditegakkan bila didapatkan tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan ≥ 20 minggu dan akan kembali normal dalam 12 minggu pasca persalinan tanpa disertai dengan proteinuria. Hipertensi gestasional juga dapat disertai tanda-tanda preeklamsia seperti nyeri epigastrik dan trombositopenia namun tanpa adanya proteinuria. Apabila didapatkan peningkatan tekanan darah yang signifikan maka diperlukan pengawasan yang lebih ketat karena kejadian eklampsia dapat mendahului proteinuria.5



b. Preeklampsia Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.7 Secara umum preeklampsia dibagi menjadi 2 yaitu preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.5 Preeklampsia ringan adalah suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi ≥140/90 mmHg disertai proteinuria ≥300 mg/24 jam atau ≥+1 pada pemeriksaan dipstik setelah usia kehamilan 20 minggu.5,7 Preeklampsia berat didefinisikan sebagai adanya peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg yang disertai proteinuria ≥500 mg/24 jam atau ≥+2 pada pemeriksaan dipstik. Namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia menyebabkan protein urin massif (≥500 mg/24 jam) telah dieliminasi dari kriteria preeklampsia berat. 7 Pada preeklampsia berat, sejumlah penanda laboratorium seperti fungsi ginjal dan fungsi hepar ditemukan meningkat, tetapi pada preeklampsia ringan peningkatannya hanya minimal atau bahkan tidak ada peningkatan sama sekali.5,7 c. Eklampsia Eklampsia didefinisikan sebagai timbulnya kejang pada ibu hamil, bersalin, dan nifas dengan atau tanpa penurunan kesadaran dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejala-gejala preeklampsia dan tidak dapat dibuktikan dengan adanya penyebab lain.8 d. Superimposed Preeclampsia pada Hipertensi Kronis Superimposed preeclampsia didefinisikan sebagai timbulnya proteinuria untuk pertama kali (≥ 300 mg/24 jam) di usia kehamilan ≥ 20 minggu, pada



wanita hamil yang sebelumnya telah terdiagnosis dengan hipertensi kronis/ kondisi hipertensi kronik yang ditambah dengan kondisi preeklampsia.5,7 Selain itu, superimposed preeclampsia juga dapat didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba di usia kehamilan 20 minggu dan tidak kembali turun ke tekanan darah normal dalam 12 minggu setelah persalinan.5,7 2.4.



Faktor Risiko Berdasarkan hasil penelitian faktor risiko hipertensi dalam kehamilan



Internasional terbaru, didapatkan dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko tinggi (riwayat preklampsia, hipertensi kronis, gangguan ginjal) dan faktor risiko rendah (primigravida, IMT, usia maternal, riwayat keluarga) : 1.



Riwayat Preeklampsia Sebelumnya Faktor ini merupakan faktor utama. Kehamilan pada wanita dengan



riwayat



preeklampsia



sebelumnya



berkaitan



dengan



tingginya



kejadian



preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.7 2.



Gangguan ginjal Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu hamil dapat



menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah.10



3.



Riwayat Hipertensi Kronis Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan dapat



meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan dimana komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimposed preeclampsia dan hipertensi kronis dalam kehamilan.11 4.



Usia maternal Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia 20 -30 tahun.



Komplikasi maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia dibawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi daripada komplikasi maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Dampak dari usia yang kurang dapat menimbulkan komplikasi selama kehamilan. Setiap remaja primigravida yang mempunyai risiko yang lebih besar mengalami hipertensi dalam kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun.10 5.



Primigravida Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan pertama.



Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan, graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai ketiga.11 6.



Riwayat Keluarga Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut



dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan hipertensi dalam kehamilan.11 7.



Indeks Massa Tubuh (IMT) Tinggi Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena kelebihan



kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus (DM), hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan gangguan kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya timbunan lemak berlebih dalam tubuh.10



2.5.



Patofisiologi Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan



jelas. Beberapa teori telah mengemukakan kemungkinan bagaimana terjadinya hipertensi dalam kehamilan, seperti :12 1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus myometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan arteri basalis memberi cabang arteria spiralis.12 Pada kehamilan normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteria spiralis yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi elastis dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan dengan remodeling arteri spiralis.12 Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.12



Gambar 2. Invasi Abnormal Trofoblas Ada beberapa teori yang mencoba menjelaskan kegagalan proses invasi trofoblas. Teori pertama adalah teori tekanan oksigen. Teori ini menjelaskan bahwa selama trimester pertama, awal diferensiasi trofoblas terjadi pada situasi dengan tekanan oksigen rendah. Pada umur kehamilan sekitar 10-12 minggu kehamilan, saat sudah terjadi hubungan antara ruang intervilus dengan darah ibu , maka tekanan oksigen meningkat. Peningkatan tekanan oksigen pada saat ini berhubungan dengan saat invasi trofoblas maksimal ke desidua maternal, yang mana situasi ini memungkinkan sel trofoblas ekstravilus untuk melakukan remodeling arteria spiralis. Pada keadaan preeklampsia terjadi pengeluaran Hypoxia Induced-Factor 1 (HIF-1) yang merupakan faktor yang mengaktivasi Transforming Growth Factor - beta 3 (TGF-beta3), yang merupakan inhibitor proliferasi trofoblas. Dengan adanya peningkatan kedua substansi tersebut memungkinkan untuk terjadinya kegagalan invasi trofoblas.13 Teori kedua yang mencoba menjelaskan kegagalan invasi trofoblas adalah teori angiogenesis, teori ini menyatakan bahwa kelangsungan hidup embrio san gat tergantung dari aliran darah. Ini berarti bahwa harus ada pembuluh darah sebagai perantara yang menghantarkan darah dari desidua maternal ke embrio yang sedang berkembang. Dengan demikian diperlukan proses pembentukan pembuluh darah atau sistem vaskuler yang disebut vaskulogenesis dan angiogenesis sebagai jawaban terhadap terhadap kebutuhan embrio terhadap oksigen dan nutrisi. Ada



tiga fase pada vaskulo-angiogenesis ini, yaitu fase inisiasi, fase proliferasi-invasi, dan fase maturasi-diferensiasi. Sebelum terbentuknya pembuluh darah yang pertama, sel-sel Hofbauer menghasilkan angiogenic growth factors, dimana kehadirannya



pada



saat



yang



sangat



dini



diperlukan



untuk



inisiasi



vaskulogenesis.13 Beberapa dari angiogenic growth factors itu adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF) dan placenta growth factor (PlGF). VEGF merupakan suatu protein penting yang berfungsi sebagai regulator pertumbuhan dan fungsi. Disrupsi dari gen yang mengkode VEGF telah terbukti menyebabkan gangguan pembentukan dan perkembangan kardiovaskuler yang menyebabkan kematian embrio. Ada banyak tipe dari VEGF ini, namun VEGF tipe 165 merupakan VEGF yang paling kuat dalam perannya sebagai stimulator proliferasi sel endotel, diferensiasi, invasi trofoblas, dan juga melepaskan mediator yang bersifat vasorelaksan. Saat fase maturasi-diferensiasi telah diketahui pula adanya suatu protein anti-angiogenik yang beredar didalam darah penderita preeklampsia, protein tersebut adalah soluble fms-like tyrosine kinase (sflt-1). Protein ini bertindak sebagai antagonis faktor angiogenik, dengan cara mengikat reseptor PLGF dan VEGF, sehingga peran keduanya dalam proliferasi dan invasi trofoblas menjadi kurang.13 2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel Oksidan atau radikal bebas adalah senyawa penerima molekul yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan atau radikal bebas. Salah satu oksidan yang dihasilkan iskemia plasenta adalah radikal hidroksil yang bersifat toksik, terutama terhadap membran sel endotel pembuluh darah karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah. Radikal hidroksil akan merusak membran sel endotel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak.12 Terdapat kerusakan sel endotel akibat terpapar terhadap peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandu ng



banyak asam lemak tidak jenuh. Kerusakan dimulai dari membran sel endotel, sehingga menyebabkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya struktur sel endotel. Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel, yang mengakibatkan:12 a. Gangguan metabolisme prostaglandin, dimana salah satu fungsi endotel adalah memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin ( PGE 2 ) yang merupakan vasodilator kuat. b. Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit akan menutup tempat-tempat di lapisan endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA 2



) yang merupakan vasokontriktor kuat. Normalnya kadar prostasiklin lebih



tinggi daripada tromboksan. Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tin ggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan kenaikan tekanan darah. c. Perubahan



khas



pada



sel



endotel



kapiler



glomerulus



(glomerular



endotheliosis). d. Peningkatan permeabilitas kapiler. e. Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar vasodilator menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriksi) meningkat. f. Peningkatan faktor koagulasi. 3. Teori Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen protein G (HLA-G) yang berperan penting dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh natural killer cell (NK) ibu. Adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, jadi HLA-G merupakan prokondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu selain untuk menghadapi sel NK.12



Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua pada daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi sel yang lebih rendah di banding pada normotensif.12 4. Teori Defisiensi Gizi/ Nutrisi Hasil penelitian menemukan bahwa pada populasi umum, ibu yang banyak mengkonsumsi buah dan sayuran dengan kandungan antioksidan berhubungan dengan penurunan tekanan darah. Insiden preeklampsia meningkat 2 kali pada ibu dengan konsumsi asam askorbik kurang dari 85 mg. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivitas trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.12,14 5. Teori Genetik Risiko anak perempuan mengalami preeklampsia dari ibu dengan riwayat preeklampsia adalah 20-40%, 11-37% preeklampsia diderita oleh saudara kandung ibu penderita preeklampsia, dan 22-47% pada wanita kembar mengalami preeklampsia. Predisposisi herediter preeklampsia merupakan hasil interaksi dari ratusan gen yang diturunkan dari maternal maupun paternal yang mengontrol fungsi metabolik dan enzimatik di setiap sistem organ. Ekspresi gen ini akan berbeda pada setiap orang tergantung pula dengan interaksi terhadap faktor lingkungan.7 2.6.



Manifestasi Klinis Gejala klinis pada hipertensi dalam kehamilan biasanya tidak begitu



tampak dengan jelas kecuali pada preeklampsia berat, superimposed preeklamsia , dan eklampsia. Gejala klinis antara masing-masing jenis hipertensi dalam kehamilan dapat menunjukkan kemiripan dan harus dibedakan melalui anamnesis mengenai onset terjadinya hipertensi, angka peningkatan tekanan darah, dan ha sil



pemeriksaan penunjang lainnya. Pembagian klinis hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut:10,12,14 a.



Hipertensi Gestasional Wanita dengan hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda



lain yang berkaitan dengan preeklampsia, misalnya nyeri kepala, nyeri epigastrium atau trombositopenia. 10,12,14 b.



Preeklampsia Diagnosis preeklampsi ditegakkan jika terjadi hipertensi disertai dengan



proteinuria yang terjadi akibat kehamilan setelah minggu ke-20. Preeklampsia dibagi menjadi dua berdasarkan derajatnya, yaitu ringan dan berat.10,12,14 1. Preeklampsia Ringan Manifestasi klinis pada pasien dengan preeklampsia ringan tidak begitu terlihat. Preeklampsia ringan ditegakkan apabila tekanan darah ≥140/90mmHg dan disertai proteinuria ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ +1 dipstik. 2. Preeklampsia Berat Preeklampsia berat apabila terdapat tekanan darah ≥ 160/110 mmHg pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang sama, proteinuria ≥ 500 mg/24 jam atau ≥ +3 dipstik, trombositopenia ( 20 minggu tanpa disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.5,15 b. Preeklampsia Peningkatan tekanan darah pada wanita hamil setelah usia kehamilan > 20 minggu dimana sebelum kehamilan tekanan darah adalah normotensi, dan disertai dengan adanya proteinuria. Dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.5,7,15



Gambar 3. Kriteria Diagnosis Preklampsia Ringan dan Berat7 c.



Eklampsia Tanda dan gejala klinis preeklampsia yang disertai oleh kejang-kejang dan/atau koma tanpa disebabkan oleh penyebab lainnya (epilepsi, perdaraha n subaraknoid, meningitis, dll).5,8,15



d.



Superimposed Preeklampsia Diagnosis ditegakkan apabila timbulnya proteinuria untuk pertama kali



(≥ 300 mg/24 jam) di usia kehamilan ≥ 20 minggu pada wanita hamil yang sebelumnya telah terdiagnosis dengan hipertensi kronis/ kondisi hipertensi kronik yang ditambah dengan kondisi preeklampsia, atau peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba di usia kehamilan 3 g/L Pada wanita hamil dengan kecurigaan preeklampsia ringan, maka dapat dilakukan pemeriksaan urin lengkap, terutama pemeriksaan proteinuria. Pada wanita hamil dengan adanya kecurigaan preeklampsia berat, maka selain pemeriksaan urin lengkap, diperlukan juga pemeriksaan laboratorium lainnya seperti darah lengkap, tes fungsi hati, dan tes fungsi ginjal, untuk mendeteksi adanya komplikasi pada organ lainnya. Pemeriksaan terhadap janin seperti USG dan kardiotokografi juga sebaiknya dilakukan untuk mengetahui kondisi janin.12



Gambar 4. Alur Penilaian Klinik Hipertensi Dalam Kehamilan.12



2.8.



Tatalaksana Penatalaksaan untuk pasien dengan hipertensi dalam kehamilan didasarkan



pada klasifikasi pasien tersebut, apakah termasuk ke dalam hipertensi gestasional, preeklampsia ringan, preeklampsia berat, eclampsia, atau superimposed preeklampsia. a.Hipertensi Gestasional8 1. Dapat diberikan agen antihipertensi apabila tensi ≥ 160/100 mmHg. Jenis, dosis, dan cara pemberian sesuai dengan preeklampsia berat. 2. Untuk terminasi kehamilan : analog dengan preeklampsia ringan b.Preeklampsia Ringan 1. Penanganan Konservatif Pasien dengan preeklampsia ringan umumnya hanya memerlukan rawat jalan, tidak perlu tirah baring, diet reguler, melakukan pemeriksaan fetal assessment seperti USG dan non-stressed test (NST), dan melakukan kontrol kandungan (ANC) setiap minggu. Bila usia kehamilan < 37 minggu dan gejala tidak memburuk, maka kehamilan dapat dipertahankan sampai usia kehamilan aterm. Bila usia kehamilan ≥ 37 minggu, maka kehamilan akan dipertahankan sampai timbul onset partus atau mencapai 40 minggu, atau dapat dilakukan induksi persalinan. Akan tetapi, pasien dengan preeklampsia ringan dapat pula dilakukan rawat inap bila ditemukan adanya hasil fetal assessment yang buruk, adanya kecenderungan terjadi preeklampsia berat atau adanya gejala preeklampsia berat, atau tidak adanya perbaikan kondisi setelah beberapa kali kontrol.8,15 2. Penanganan Aktif Penanganan aktif dapat dilakukan bila usia kehamilan sudah aterm, hasil fetal assessment buruk dan mengarah ke emergensi, dan terdapat tandatanda impending eklampsia.8,15



c.Preeklampsia Berat Penatalaksanaan



pada



pasien



dengan



preeklampsia



berat



diberikan



berdasarkan usia kehamilan. Tujuan dari penatalaksanaan preeklampsia berat adalah mengontrol tekanan darah agar tidak semakin meningkat, terminasi kehamilan dengan trauma minimal bagi ibu dan bayi, selain itu melahirkan bayi yang mampu hidup di lingkungan luar kandungan, dan melakukan penyembuhan terhadap ibu.5 Ibu hamil dengan preeklampsia berat harus segera dirawat inap di rumah sakit dengan tirah baring miring ke sisi kiri secara intermiten. Diberikan pula inf us dengan ringer laktat atau ringer dekstrose 5%. Pemberian magnesium sulfat (MgSO4) direkomendasikan pada preeklampsia berat atau dengan adanya keluhan nyeri kepala, penurunan visus penglihatan, adanya klonus, nyeri pada kuadran atas kanan perut, dan tanda kejang. Pemberian magnesium sulfat direkomendasikan sebagai pencegahan dan terapi kejang. Pemberian MgSO



4



dibagi menjadi:8 a. Loading dose (initial dose) bila hanya tersedia MgSO4 40% : dosis awal 4 g MgSO4 40% dilarutkan dalam normal saline 10 cc IV pelan / 10-15 menit. b. Bila tersedia MgSO4 20% initial dose dapat diberikan 4 g (20 cc MgSO4 20% dilanjutkan dengan dosis maintenance dengan MgSO4 40% dalam syringe pump/infuse dengan kecepatan 1-2 g/jam). Cara pemberian MgSO4:8 a. Ambil 4 g MgSO4 40% (10 cc) dilarutkan dalam normal Saline IV / 10 -15 menit. b. Sisanya, 6 g MgSO4 (15 cc) dimasukan ke dalam satu botol larutan Ringer Dektrose 5% diberikan pe rinfus dengan tetesan 28 tetes per menit atau habis dalam 6 jam. Syarat-syarat pemberian MgSO4 lanjutan:8 a. Refleks patella normal



b. Laju pernapasan > 16 kali/menit c. Produksi urin dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc; 0,5 cc/kgBB/jam d. Tersedia Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc (antidotum). Antidotum diberikan bila timbul gejala dan tanda intoksikasi MgSO4, maka diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% dalam 10 cc IV pelan dalam waktu 3 menit. Bila kembali terjadi kejang setelah pemberian dosis awal maupun lanjutan dari MgSO4, maka dapat diberikan lagi MgSO4 20% 2 gram IV. Apabila masih tetap kejang (refrakter terhadap MgSO4), maka dapat diberikan salah satu regimen dibawah ini:8 a. 100 mg IV sodium thiopental b. 10 mg IV diazepam c. 250 mg IV sodium amobarbital Obat antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat, yaitu tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg, atau MAP > 125 mmHg. Pilihan obat antihipertensi yang dapat diberikan adalah nifedipin 10 mg oral dilanjutkan dengan 10 mg oral setiap 30 menit sampai target penurunan tekanan darah terpenuhi (penurunan tekanan darah sistolik 20-30% tekanan darah sistolik awal atau MAP < 125 mmHg). Bila penurunan tekanan darah belum tercapai, nifedipin tetap diberikan setiap 30 menit dengan melakukan monitoring ketat tekanan darah minimal setiap 15 menit dan monitoring kontinu janin dengan CTG. Dosis maksimal nifedipin dalam sehari adalah 120 mg. Setelah dosis awal diberikan dan tekanan darah membaik, dilanjutkan pemberian dosis lanjutan nifedipin oral 10 mg tiap 4-6 jam. Apabila selama perawatan tekanan darah kembali meningkat, dan pemberian kembali nifedipin tidak dapat menurunkan tekanan darah (hipertensi refrakter), maka obat antihipertensi bisa dikombinasi dengan metildopa 500-3000 mg per oral dibagi 2-4 dosis atau diberikan nicardipin secara IV drip. Pada kasus hipertensi emergensi apabila tidak terjadi penurunan tekanan darah dengan nifedipin dalam 6 jam, maka obat dapat diganti dengan nicardipine atau clonidine.5,7,16



1. Penanganan Konservatif Manajemen konservatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan usia kehamilan < 34 minggu dengan kondisi ibu dan janin yang stabil. Selain itu, manajemen ekspektatif juga direkomendasikan untuk melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif bagi maternal dan neonatal. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama melakukan perawatan konservatif. Pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin, dimana kortikosteroid yang diberikan adalah deksametason dengan dosis 12 mg IM setiap 24 jam selama 2 kali pemberian.7,17 2. Penanganan Aktif Manajemen aktif atau agresif dapat dilakukan bila umur kehamilan ≥ 35 minggu, dimana



kehamilan



dapat diakhiri



setelah



mendapat terapi



medikamentosa untuk stabilisasi ibu. Kehamilan harus segera diakhiri tanpa memandang umur kehamilan bila dijumpai adanya kejang-kejang, gagal ginjal akut, edema paru, solutio plasenta dan fetal distress. Pada pasien dengan sindrom HELLP, persalinan bisa ditunda dalam 48 jam bila umur kehamilan < 35 minggu, untuk memberikan kesempatan pematangan paru.7,14 Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam penatalaksanaan secara aktif atau agresif adalah sebagai berikut: 8 1.Persalinan sedapat mungkin diarahkan pervaginam. 2.Bila pasien belum inpartu : a. Dilakukan induksi persalinan bila skor Bishop > 5. Bila perlu, dilakukan pematangan serviks dengan misoprostol. Induksi persalinan harus sudah mencapai kala II dalam waktu 24 jam. b. Indikasi seksio sesarea adalah : -



Tidak memenuhi syarat persalinan pervaginam.



-



Induksi persalinan gagal.



-



Terjadi gawat janin.



3. Bila pasien sudah inpartu : a. Kemajuan persalinan dikelola dengan partograf WHO atau kurva Friedman. b. Monitor tekanan darah tiap 30 menit. c. Tindakan operatif pervaginam (vakum atau forceps sesuai indikasi); tidak rutin dikerjakan kecuali: -



Tekanan darah tidak terkontrol (MAP > 125 mmHg)



-



Tanda-tanda impending eklampsia.



-



Kemajuan kala II tidak adekuat (20 menit dipimpin tidak lahir).



d. Seksio sesarea dilakukan apabila terdapat kegawatan ibu dan/atau janin, atau indikasi obstetrik. e. Bila harus dilakukan SC, pilihan anestesianya adalah regional atau epidural dan tidak dianjurkan anestesia umum. d.Eklampsia8 1. Menghentikan kejang dan mencegah kejang ulangan dengan pemberian MgSO4 (dosis dan tatacara pemberian sama dengan pada preeklampsia berat). 2. Menurunkan tekanan darah sampai sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg atau MAP 106 – 125 mmHg. 3. Memperbaiki keadaan umum ibu 4. Mencegah dan mengatasi komplikasi 5. Sikap



terhadap



kehamilan







semua



kehamilan



dengan



eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin, setelah kondisi ibu stabil. e.Superimposed Preeklampsia8 Penanganannya sama dengan penanganan preeklampsia berat. 2.9.



Pencegahan Strategi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya hipertensi dalam



kehamilan meliputi upaya non-farmakologi dan farmakologi. Upaya non-



farmakologi meliputi edukasi, deteksi prenatal dini dan manipulasi diet. Sedangkan upaya farmakologi mencakup pemberian aspirin dosis rendah dan antioksidan.5 a.



Edukasi Wanita yang mengalami hipertensi selama kehamilan harus dievaluasi



pada masa paska melahirkan dini dan diberikan edukasi mengenai kehamilan mendatang serta risiko dan komplikasi yang dapat terjadi. Wanita yang telah mengalami preeklampsi atau eklampsia akan lebih rentan mengalami penyulit hipertensi pada kehamilan berikutnya. Edukasi mengenai beberapa f aktor risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan seperti adanya penyakit sistemik penyerta, riwayat hipertensi dalam kehamilan sebelumnya, dan kebiasaan sehari-hari serta pola makan yang dapat memicu obesitas, perlu ditekankan kepada pasien. Dalam kehamilan selanjutnya, pasien disarankan untuk menghindari aktivitas fisik yang terlalu berat, rutin melakukan olahraga ringan yang aman bagi wanita hamil, mengonsumsi diet yang tepat, serta mengonsumsi antioksidan seperti vitamin C.14,17 b.



Deteksi Prenatal Dini Selama kehamilan, waktu pemeriksaan prenatal yang dijadwalkan adalah 1



kali saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 2 kali pada trimester ketiga. Kunjungan dapat ditambah bergantung pada kondisi maternal. Pada pemeriksaan secara rutin selama kehamilan, dapat dilakukan deteksi dini hipertensi dalam kehamilan seperti pengukuran tekanan darah secara berkala. Wanita hamil dengan hipertensi yang nyata (≥ 140/90 mmHg), terutama bila terdapat tanda adanya preeklampsia berat, perlu dilakukan rawat inap untuk mengevaluasi hipertensi dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan urinalisis untuk melihat adanya proteinuria pada pasien dengan hipertensi dalam kehamilan menjadi pemeriksaan utama yang dapat menegakkan diagnosis dini preeklampsia.14



c.



Manipulasi Diet Manipulasi diet yang dapat dilakukan pada wanita hamil untuk mencegah



terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah pembatasan asupan garam. Diet tinggi kalsium dan pemberian kapsul dengan kandungan minyak ikan dapat menyebabkan penurunan bermakna tekanan darah serta mencegah hipertensi dalam kehamilan.7,14 d.



Aspirin Dosis Rendah Pemberian aspirin dosis rendah 60 mg pada wanita primigravida dikatakan



mampu menurunkan kejadian preeklampsia. Pemberian aspirin dosis rendah dikatakan dapat menurunkan terjadinya disfungsi endotel karena adanya supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta tidak terganggunya produksi prostasiklin.14 e.



Antioksidan Terapi antioksidan dikatakan secara bermakna menurunkan aktivasi sel



endotel dan dapat bermanfaat dalam pencegahan hipertensi dalam kehamilan, terutama preeklampsia. Antioksidan yang dapat diberikan adalah vitamin C dan vitamin E.14 2.10.



Komplikasi Komplikasi dari hipertensi dalam kehamilan dapat mengenai ibu atau



janin. Komplikasi yang dapat mengenai ibu adalah perdarahan intraserebral, sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet count), DIC (disseminated intravascular coagulation), payah jantung, gagal ginjal, ablasio retina, ruptur hepar, dan ablasio plasenta. Komplikasi pada janin dapat berupa pertumbuhan janin yang terhambat atau kematian janin dalam kandungan.9,18 Sindrom HELLP terjadi pada < 1% dari seluruh kehamilan, tetapi terjadi pada 20% kehamilan dengan preeklampsia berat. Diagnosis HELLP cukup sulit ditegakkan dikarenakan gejalanya mirip dengan berbagai penyakit lain. Evaluasi sindrom HELLP membutuhkan tes darah lengkap dan tes transaminase hati atau



tes fungsi hati. Terdapatnya sindrom HELLP dapat meningkatkan kejadian kematian ibu saat bersalin yang diakibatkan oleh perdarahan, kegagalan organ multipel, dan gangguan pembekuan darah. Wanita dengan sindrom HELLP sebaiknya diberi magnesium sulfat saat masuk rumah sakit hingga 24 -48 jam setelah persalinan. Mengakhiri kehamilan juga sebaiknya dilakukan pada wa nita dengan sindrom HELLP tanpa memandang usia gestasi.18 Abrupsio plasenta adalah lepasnya plasenta dari dinding rahim yang diakibatkan oleh penurunan perfusi darah ke uteroplasenta sehingga menyebabkan plasenta mengalami iskemia. Lepasnya plasenta dapat menyebabkan terjadinya perdarahan dan kerusakan plasenta yang dapat memperburuk kondisi ibu dan janin.9 Pertumbuhan janin yang terhambat dapat terjadi oleh karena berkurangnya masukan nutrisi dan oksigen selama masa kehamilan yang dapat disebabkan oleh kondisi preeklampsia. Janin akan mengalami hipoksia dan kekurangan nutrisi pada trimester akhir yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pematangan berbagai organ pada janin.9 2.11.



Prognosis Prognosis hipertensi dalam kehamilan dikatakan cukup baik apabila pasien



hanya mengalami preeklampsia ringan atau hipertensi gestasional, dimana kondisi hipertensi dapat menghilang setelah terminasi kehamilan. Namun, pada pasien dengan preeklampsia berat, eklampsia, dan superimposed preeklampsia, berbagai komplikasi yang ada dapat memperburuk kondisi ibu dan janin, bahkan hingga menyebabkan kematian. Kondisi hipertensi yang ada dapat menetap setelah terminasi, sehingga dapat menimbulkan berbagai komplikasi jangka panjang.7



BAB III SIMPULAN Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling sering terjadi selama kehamilan dengan angka kejadian hipertensi pada kehamilan sekitar 5 - 15%. Hipertensi dalam kehamilan diklasifikasikan menjadi hipertensi gestasional, preeklampsia, eklampsia, superimposed preeklampsia, dan hipertensi kronis. Hipertensi dalam kehamilan adalah hipertensi yang terjadi saat kehamilan berlangsung dan biasanya terjadi pada usia kehamilan memasuki 20 minggu, ditegakkan bila didapatkan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg. Pemeriksaan penunjang seperti urinalisis untuk melihat adanya proteinuria juga menjadi penunjang diagnosis. Faktor risiko dalam hipertensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial. Tujuan dari tatalaksana pasien dengan hipertensi dalam kehamilan adalah mengontrol tekanan darah agar tidak semakin meningkat, terminasi kehamilan dengan trauma minimal bagi ibu dan bayi, selain itu melahirkan bayi yang mampu hidup di lingkungan luar kandungan, dan melakukan penyembuhan terhadap ibu. Pencegahan berupa non - farmakologi atau farmakologi perlu dilakukan untuk mencegah berulangnya hipertensi dalam kehamilan dan mencegah terjadinya komplikasi berlanjut. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi perdarahan intraserebral, sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzyme, low platelet count), DIC (disseminated intravascular coagulation), payah jantung, gagal ginjal, ablasio retina, ruptur hepar, dan ablasio plasenta. Komplikasi pada janin dapat berupa pertumbuhan janin yang terhambat atau kematian janin dalam kandungan. Prognosis pada gestasional hipertensi dan preeklampsia ringan cenderung baik sedangkan pada preklampsia yang berkembang menjadi eklampsia, superimposed preklampsia cenderung buruk akibat kondisi hipertensi yang menetap pasca komplikasi dan menyebabkan komplikasi jangka panjang.



DAFTAR PUSTAKA 1. Sirait, A. Prevalensi Hipertensi Pada Kehamilan di Indonesia dan Berbagai Faktor yang Berhubungan (Riset Kesehatan Dasar 2007). Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2012;15(2):103-104. 2. Sari N, Rahayujati T, Hakimi M. Kasus Hipertensi pada Kehamilan di Indonesia. Berita Kedokteran Masyarakat. 2018;32(9):295. 3. Coutts J. Pregnancy Induced Hypertension : The Effects on The Newborn. Cambridge University. 2007;33:11-29. 4. Khosravi S, Dabiran S, Lotfi M, Asnavandy M. Study of the Prevalence of Hypertension and Complications of Hypertensive Disorders in Pregnancy. Open Journal of Preventive Medicine. 2014;4(11):860-867. 5. Cunningham F, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hauth J, Wenstrom K. Hipertensi Dalam Kehamilan dalam Obstetri Williams. 23rd ed. EGC. 2013;740-794. 6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy, 2001, Am Fam Phys ician, 64 : 263-70. 7. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia : Diagnosis dan Tata Laksana Pre-Eklampsia. POGI. 2016;1-59. 8. Panduan Praktek Klinis SMF Obstetri dan Ginekologi. 2015. RSUP Sanglah Denpasar. 9. Roberts



JM.



Hypertension



in



Pregnancy.



American



College



of



Obstetricians and Gynecologists. 2013;13-49. 10. Manuaba, I. Pengantar Kuliah Obstetri. EGC.2007;401-431. 11. Katsiki N, Godosis D, Komaitis S, Hsatzitolio A. Hypertention in Pregnancy : Classification, Diagnosis and Treatment. Medical Journal Aristotle University of Thessaloniki. 2010;37(2):9-18. 12. Prawirohardjo S. Hipertensi dalam Kehamilan dalam : Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. PT Bina Pustaka. 2013;530-561. 13. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi SA. Preeclampsia, a disease of the maternal endothelium: The role of antiangiogenic factors and implications for



later



cardiovascular



disease.



Circulation.



2011;123(24):2856-2869.



doi:10.1161/CIRCULATIONAHA.109.853127 14. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL. Obstetrical Complication. Williams Obstetrics. Mc Grawl Hill Education. 2014;728-779. 15. Karkata MK, Kristanto H. Panduan Penatalaksanaan Kasus Obstetri. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. 2012;115-130. 16. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi A. Preeclampsia, A Disease of The Maternal Endothelium : The Role of Antiangiogenic Factors and Implications for Later Cardiovascular Disease. American Heart Association Journals. 2016;123(24):2856-2869. 17. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Pre-Eklamsia dan Eklamsia dalam Ilmu Kebidanan Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2007;281-301. 18. Angsar MD. Hipertensi dalam Kehamilan. Edisi 4. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009;530-559.