5 0 775 KB
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS Nama/MR
: Ny. W / 573973
Umur
: 22 tahun, 11 bulan, 24 hari
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
: Salabintana
Pekerjaan
: IRT
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Sunda
ANAMNESIS Keluhan utama: Nyeri menelan sejak 3 hari SMRS Riwayat penyakit sekarang:
OS merasa nyeri menelan sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan terutama saat menelan makanan dan berbicara. Nyeri menelan dirasakan semakin parah sehingga OS tidak bisa makan dan merasa sangat lemas. 4 hari SMRS juga OS merasa demam. Demam dirasakan tidak terlalu tinggi dan terutama pada malam hari. Demam tidak disertai menggigil dan kejang. OS juga mengeluh terdapat benjolan pada leher kanan yang dirasakan sejak 4 hari SMRS. Benjolan dirasakan semakin membesar dan terasa nyeri terutama saat membuka mulut. Pasien tidak mengeluhkan sesak nafas dan sakit kepala. Riwayat suara serak, batuk, pilek, dan pusing disangkal. Pasien juga menyangkal pernah sakit di telinga, hidung, dan tenggorokan sebelumnya. OS mengaku pernah mengalami sakit gigi di rahang bawah tetapi saat ini sudah tidak terasa sakit.
Riwayat penyakit dahulu:
Gigi berlobang sejak 10 tahun yang lalu di rahang kanan bawah
Tidak pernah menderita sakit atau bengkak di leher sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menderita pembengkakan atau sakit di leher. Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS Tanda vital Keadaan umum
: sedang
Kesadaran
: komposmentis kooperatif
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 98 x/menit
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
Suhu tubuh
: 36,8o C
Pemeriksaan sistemik Mata
: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
KGB
: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher.
Jantung
: iktus jantung tidak terlihat, batas jantung normal, bunyi murni, reguler, bising tidak ada
Paru
: simetris, fremitus kiri dan kanan sama, sonor, suara nafas vesikuler, tidak ada suara tambahan
Abdomen
: tidak membuncit, hepar dan lien tidak teraba, timpani, bising usus normal
Ekstremitas
: tidak ada paresis atau paralisis, reflek fisiologis (+/+), reflek patologis (-/-)
STATUS LOKALIS THT
Telinga AD
AS
normotia, tanda radang (-), nyeri
normotia, tanda radang (-), nyeri
tarik aurikula (-), nyeri tekan
tarik aurikula (-), nyeri tekan
Aurikula
tragus (-)
tragus (-)
hiperemis(-), udem(-), sekret(-),
hiperemis(-), udem(-),sekret(-),
serumen(-), tanda radang(-),
CAE
serumen(-), sekret(-), tanda
massa(-)
radang(-), massa(-)
intak (+), tenang, reflek cahaya (+)
intak (+), tenang, reflek cahaya Membran timpani
(+)
Hidung
Pemeriksaan
Kelainan
Dekstra
Sinistra
Edema
-
-
Hiperemis
-
-
Sekret
-
-
Massa
-
-
Laserasi
-
-
Eutrofi
Eutrofi
Rinoskopi Anterior
Mukosa Cavum nasi
Konka Inferior
Orofaring dan mulut Bagian
Pemeriksaan
Keterangan
NPOP Faring
Tonsil
Mulut
Mukosa
tenang
Granula
-
Post nasal drip
-
Mukosa
tenang
Besar
T3T3 hiperemis
Kripta
Melebar +/+
Detritus
-/-
Perlengketan
-/-
Mukosa mulut
tenang
Lidah
bersih, basah
Palatum molle
tenang
Gigi geligi
caries (+) premolar 1
Uvula
simetris
Pemeriksaan Leher (Regio Sub Mandibula-Sub Mental)
Inspeksi: Tampak pembengkakan submandibula kanan sebesar 3x3 cm, tidak hiperemis, pus tidak ada Palpasi : Konsistensi lunak, fluktuasi ada, tidak ikut dalam menelan, terfiksir, nyeri tekan Pemeriksaan kelenjar getah bening leher: tidak ada pembesaran
PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (25 Desember 2012)
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Satuan
Hematologi Hemoglobin
12,7
12-16
g/dl
Leukosit
11,4
4,0-9,0
103 /uL
Hematokrit
37,1
35-45
%
Trombosit
345
150-350
103 /uL
Diagnosis kerja
: Abses submandibula Dextra
Diagnosis tambahan : Tonsilitis kronik exaserbasi akut
Penatalaksanaan
: Pemberian cairan maintenance (IVFD RL 20 tetes/menit) Antibiotik (ceftriaxone 2x1gr bolus iv & metronidazol 3x500mg drip iv) Analgetik (ketorolac 2x30mg bolus iv) Ranitidin (3x1 gram bolus iv)
Rencana
: Pemeriksaan laboratorium DPL ulangan
FOLLOW UP
S
O
A
P
Pemeriksaan penunjang
26/11 /2012 Pasien sudah tidak
Rongga mulut dan
Abses
IVFD RL 20 tpm
mengeluh demam,
orofaring:
submandibula
Ceftriaxone 2x1gr IV
Nyeri menelan
Faring tidak
berkurang, diet
hiperemis, tonsil
Tonsilitis
Ketorolac 2x30mg IV
lunak, Nyeri di
hiperemis, T3 T3
kronik ex. akut
Ranitidin 3x1 gr IV
rahang bwah kanan
Regio submandibula
masih terasa
Inspeksi: Tampak
Metronidazol 3x500mg
pembengkakan submandibula kanan sebesar 3x3 cm, tidak hiperemis, pus
tidak
ada Palpasi : Konsistensi lunak, fluktuasi ada, tidak ikut dalam menelan, terfiksir, nyeri tekan 27/11/ 2012 Pasien sudah tidak
Rongga mulut dan
Abses
Clindamycin 300 mg
Hb= 10,7 mg/
mengeluh demam,
orofaring:
submandibula
2x1
dl
Nyeri menelan
Faring tidak iperemis,
Metilprednisolon 8mg
Leukosit=
berkurang, diet
tonsil hiperemis,
Tonsilitis
2x1
6500 /ul
lunak, Nyeri di
T3T3
kronik ex. akut
Dexanta syr. 3x1 cth
Ht= 32,2%
rahang bwah kanan
Regio
Trombosit=
sudah tidak ada
submandibula:
322.000 /ul
Inspeksi: Tampak
pembengkakan submandibula kanan sebesar 2x2 cm, tidak hiperemis, pus
tidak
ada Palpasi : Konsistensi lunak, fluktuasi ada, tidak ikut dalam menelan, terfiksir, nyeri tekan tidak ada
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher. Pada abses submandibular, ruang potensial ini terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot milohioid.1 Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.2
2.2. Anatomi Ruang submandibula memiliki batas inferior yaitu lapisan superficial fascia leher dalam memanjang dari hyoid ke mandibula, batas lateral dibentuk oleh mandibula itu sendiri dan batas superior yaitu mukosa dari dasar mulut.3
Gambar 1 Submandibular space 2
Gambar 2. Otot Milohioid yang memisahkan ruang sublingual dan submental2
Gambar 3. Potongan vertikal ruang submandibula 3
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submaksila dan submental. Muskulus milohioid memisahkan ruang sublingual dengan ruang submental dan submaksila. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula di bagian lateral dan anterior, pada bagian inferior oleh m. milohioid, di bagian superior oleh dasar mulut dan lidah, dan di posterior oleh tulang hioid. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjer liur sublingual beserta duktusnya. Ruang submental di anterior dibatasi oleh fasia leher dalam dan kulit dagu, di bagian lateral oleh venter anterior m. igastrikus, di bagian superior oleh m. milohioid, di bagian inferior oleh garis yang melalui tulang hyoid. Di dalam ruang submental terdapat kelenjer limfa submental. Ruang maksila bagian superior dibatasi oleh m. milohioid dan m. hipoglossus. Batas inferiornya adalah lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher dan dagu. Batas medial adalah m. digastrikus anterior dan batas posterior adalah m. stilohioid dan m. digastrikus posterior. Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjer liur submaksila atau submandibula beserta duktusnya. Kelenjar limfa submaksila atau submandibula beserta duktusnya berjalan ke posterior melalui tepi m. milohioid kemudian masuk ke ruang sublingual. Akibat infeksi pada ruang ini mudah meluas dari satu ruang ke ruang lainnya.
2.3. Etiologi Infeksi leher dalam potensial terjadi pada ruang faring. Sumber infeksi dapat berasal dari gigi-geligi (odontogenic infection), faring, atau akibat trauma pada saluran nafas dan organ cerna atas (upper aerodigetive trauma), dimana terjadi perforasi pada membrana mukosa pelindung mulut atau ruang faring. Selain itu, infeksi kelenjar liur, infeksi saluran napas atas,benda asing dan intervensi alat-alat medis (iatrogenic) dapat menjadi factor penyebab abses leher dalam. Namun masih terdapat sekitar 20% dari kasus yang terjadi, penyebabnya belum dapat diketahui. Kemudian penyalahgunaan pemakaian obat-obatan intravena dapat juga menyebabkan terjadinya kasus penyakit ini.6,7 Pada abses submandibula, infeksi terjadi akibat perjalan dari infeksi gigi dan jaringan sekitarnya yaitu pada P1,P2,M2,M2 namun jarang terjadi pada M3. Beberapa jenis bakteri yang menjadi penyebab abses submandibula ini dibagi menjadi golongan bakteri Aerob dan Anaerob.1,6,7
Untuk golongan aerob terdiri dari :7
Alfa Streptokokus hemolitikus
Stafilokokus
Bakteroides
Sedangkan yang termasuk kedalam golongan bakteri anaerob yaitu:4
Peptostreptokokus
Peptokoki
Fusobakterium nukleatum
2.4. Patofisiologi Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohiod. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior. Abses dapat terbentuk diruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari dareah kepala dan leher.1 Abses leher dalam dapat terjadi karena berbagai macam penyebab melalui beberapa proses, diantaranya: 5 1. Penyebaran abses leher dalam dapat timbul dari rongga mulut ,wajah atau infeksi leher superficial ke ruang leher dalam melalui system limfatik. 2. Limfadenopati dapat menyebabkan terjadi supurasi dan akhirnya menjadi abses fokal. 3. Infeksi yang menyebar ke ruang leher dalam melalui celah antar ruang leher dalam 4. Infeksi langsung yang terjadi karena trauma tembus. Karena kontinuitas dasar mulut dan regio submandibularis yaitu daerah sekeliling batas posterior muskulus mielohioideus dan di dalamnya terdapat akar-akar gigi molar dibawah mielohioideus, maka infeksi supurativa pada mulut dan gigi geligi dapat timbul di trigonum submandibularis. 4
2.5. Diagnosis Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos jaringan lunak leher atau tomografi komputer.6 Tanda dan gejala dari suatu abses leher dalam timbul oleh karena : 6 1. efek massa atau inflamasi jaringan atau cavitas abses pada sekitar struktur abses. 2. keterlibatan daerah sekitar abses dalam proses infeksi.
A. Anamnesis Beberapa gejala berikut dapat ditemukan pada pasien dengan abses submandibula adalah : 1 1. demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi 2. asimetris leher karena adanya massa atau limfadenopati pada sekitar 70%. 3. trismus karena proses inflamasi pada m.pterigoides 4. torticolis dan penyempitan ruang gerak leher karena proses inflamasi pada leher. Riwayat penyakit dahulu sangat bermanfaat untuk melokalisasi etiologi dan perjalanan abses pasien seharus ditanya : 1 1. tentang riwayat tonsillitis dan peritonsil abses. 2. riwayat trauma retrofaring contoh intubasi 3. dental caries dan abses. Tabel 1. Perbandingan gejala Abses Leher Dalam 8
Gambar 4 Inspeksi Abses Submandibular 9
B. Pemeriksaan Klinik Diagnosis untuk suatu abses leher dalam kadang-kadang sulit ditegakkan bila hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Ditemukan pembengkakan dibawah rahang baik unilateral maupun bilateral dan berfluktuasi. Karena itu diperlukan studi radiografi untuk membantu menegakkan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya dan perluasan penyakit. 5 Pemeriksaan tomography komputer dapat ditemukan daerah dengan densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada
dinding abses
dan edem jaringan sekitar abses.
Pemeriksaan kultur dan sensitivitas test dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan antibiotik yang sesuai. 5
C. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan anjuran yang digunakan di antaranya: 1,4,10 1. Laboratorium Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotic. 2. Roentgen leher posisi lateral Terdapat gambaran tissue swelling, tampak sebagai bayangan radioopak. 3. CT-scan CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT-scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien (dikutip dari Pulungan). Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level . 10
Gambar 6. CT-scan pasien dengan keluhan trismus, pembengkakan submandibula yang nyeri dan berwarna kemerahan selama 12 hari. CT-scan axial menunjukkan pembesaran musculus pterygoid medial (tanda panah), peningkatan intensitas ruang submandibular dan batas yang jelas dari musculus platysmal (ujung panah).11
2.6. Penatalaksanaan
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan aerob harus diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. 13 Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. 10,13
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap kuman aerob yaitu ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 10,13
Tabel 2. Antibiotik yang dianjurkan oleh beberapa penulis secara empiris 13 ∑
Antibiotik
S
I
R
Ampicillin
17
6(35%)
3(18%)
8(47%)
Ampicillin + sulbactam
16
6(37%)
5(31%)
5(31%)
Eritromicin
17
Cefixime
6(35%)
1(6%)
10(59%)
9
5(56%)
1(11%)
3(33%)
Chloramphenicl
16
9(56%)
3(19%)
4(25%)
Kotrimoxazole
8
1(12%)
2(25%)
5(63%)
Cefotaxime
16
11(69%)
3(18%)
2(13%)
Gentamycin
17
7(41%)
4(24%)
6(35%)
Cifrofloxacin
17
10(59%)
0
7(41%)
Ceftriaxone
17
12(70%)
1(6%)
4(24%)
Ceftazidime
18
11(61%)
4(22%)
3(17%)
Ceforazone
14
12(86%)
1(7%)
1(7%)
Ceforazone sulbactam +
10
9(90%)
0
1(10%)
Meropenem
16
Moxyfloxacine
12 S= sensitif
10(63%)
3(18%)
9(75%) I= intermediate R= resisiten
3(19%) 0
3(25%)
Tabel 3. Pola Kepekaan kuman anerob terhadap antibiotic 13 Antibiotik
R
I
S
∑
Amoksilin
7
0
0
7
Metronidazole
0
0
7
7
Klindamisin
1
3
2
6
Ampisilin/sulbaktam
6
0
0
6
11
1
37
Metronidazole
0
0
49
Klindamisin
2
3
32
Ampisilin/sulbaktam
0
1
42
Amoksilin
1
3
11
Metronidazole
0
0
15
15
Klindamisin
1
0
13
15
Ampisilin/sulbaktam
0
0
15
14
Gram positif
Amoksilin
2
0
5
15
non spora
Metronidazole
2
1
5
7
Klindamisin
0
0
7
8
Ampisilin/sulbaktam
0
0
5
7
Metronidazole
1
0
13
Klindamisin
0
1
11
Ampisilin/sulbaktam
0
0
14
40
0
17
Klindamisin
3
2
48
Ampisilin/sulbaktam
0
0
56
Bacteroides fragilis
Provotella
Amoksilin
Fusobacterium sp
Gram negatif lain
Gram positif lain
Metronidazole
49 49 37 43
5 14 12 14 57 53 56
S= sensitif
I= intermediate R= resisiten
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan.
Evakuasi abses
(gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau
eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses.5 Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda. 1
Gambar 7 Insisi dan Drainase Abses 9
Gambar 8 Algoritma penatalaksanaan abses leher dalam12
2.7. Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis.9 Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.10 Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan mediastinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis,
dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.14
Gambar 9 Komplikasi Abses Submandibular 15
2.8. Prognosis Pada awalnya, kematian yang terjadi akibat kasus abses submandibula ini lebih dari 50% kasus. Namun seiring dengan penggunaaan antibiotic yang semakin luas, angka mortalitas tersebut turun hingga mencapai di bawah 5%. Penggunaan antibiotic intravena memberikan prognosis yang baik jika digunakan pada masa-masa awal kasus penyakit. Kemudian tindakan operasi dilakukan jika terjadi obstruksi jalan napas, abses yang terlokalisir dan kegagalan penggunanaan antibiotic untuk meningkatkan kemungkinan kesembuhan. 7
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Abses leher dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI; 2007. hal 226 2. Standring, S. 2004. Grays Anatomy. The Anatomical Basis of Clinical Practise. Churcill LivingStone: Elsevier 3. Lee, K. J. 1999. Essential Otolaringologi : Head and Neck Surgery Eight Edition. Chapter 21. McGraw Hill Medical Publishing Division. 4. Rosen EJ, Bailey BJ. Deep Neck Space and Infection dibacakan dalam Grand Rounce Presentation, UTMB, Dept. of Otolaringology. Editor Quinn FB, Ryan MW. 2002 5. Marcincuk MC. Deep Neck Infection. Diakses dari www.emedicine.com. Last update 27 Mei 2005 6. Ruckenstein M.J. Comprehensive Review of Otolaryngology, Phyladelphia, Saunders. 2004. Pp 178-180. 7. Scott BA, Stiernberg CM,Driscoll BP.Infections of the Deep Spaces of the Neck.Dalam Bayley BJ, Head and Neck Surgery-Otolaryngology Vol 1Edisi Ketiga.Texas,Lippincott Williams and Wikins Publisher:2001.Hal 68. 8. Megran, D.W., Scheifele, D.W., Chow, A.W. Odontogenic Infection Disease. 1984. 3:21 9. Pictures of submandibular neck. Otolaryngology Houston. Diunduh dari http://prositesotohouston.homestead.com/neckabscess.html [Diakses tanggal 16 Juni 2011] 10. Pulungan
MR.
Pola
Kuman
abses
leher
dalam.
Diunduh
dari
http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAM - Revisi. [Diakses tanggal 16 Juni 2011] 11.
Micheau A, Hoa D. ENT anatomy: MRI of the face and neck - interactive atlas of human anatomy using cross-sectional imaging (updated 24/08/2008 10:51 pm). Diunduh dari http://www.imaios.com/en/e-Anatomy/Head-and-Neck/Face-and-neck-MRI.
[Diakses
tanggal 26 November 2012]. 12. Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization and management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg. 1997;26:131-134
13. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 145-48 14. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral Maxillofac. Surg. 2002; 31: 165–9 15. Dr David Maritz.
Deep space infections of the neck and floor of mouth- Hand Out.
16. Harrison G. Weed, L. Arick Forest. Deep Neck Infection. Cummings: Otolaryngology: Head & Neck Surgery, 4th Ed, 2005. 8: 2614-2620.