LAPORAN PENDAHULUAN Abses-Submandibula, DM [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PENDAHULUAN I.



Konsep Dasar Abses Submandibula



1.1



Definisi Abses submandibula merupakan salah satu infeksi pada leher bagian dalam (deep neckinfection), disertai dengan pembentukan pus pada daerah submandibula. Pada umumnya sumber infeksi pada ruang tersebut berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe submandibula (Siregar, 2004).



Abses submandibula adalah abses yang terjadi di mandibula. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah leher (Smeltzer dan Bare, 2001).



1.2



Etiologi Menurut Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, (2001) abses submandibula sering disebabkan oleh infeksi didaerah rongga mulut atau gigi. Peradangan ini menyebabkan adanya pembengkakan didaerah submandibula yang pada perabaan sangat keras biasanya tidak teraba adanya fluktuasi. Sering mendorong lidah keatas dan kebelakang dapat menyebabkan trismus. Hal ini sering menyebabkan sumbatan jalan napas. Bila ada tanda-tanda sumbatan jalan napas maka jalan napas hasur segera dilakukan trakceostomi yang dilanjutkan dengan insisi digaris tengah dan eksplorasi dilakukan secara tumpul untuk mengeluarkan nanah. Bila tidak ada tanda- tanda sumbatan jalan napas dapat segera dilakukan eksplorasi tidak ditemukan nanah, kelainan ini disebutkan Angina ludoviva (Selulitis submandibula). Setelah dilakukan eksplorasi diberikan antibiotika dsis tinggi untuk kuman aerob dan anaerob.



1



1.3



Tanda dan Gejala Abses submandibula meliputi demam tinggi, nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Dapat juga terjadi sakit pada dasar mulut, trismus, indurasi submandibula dan kulit di bawah dagu eritema dan oedem, kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman anaerob Bacteriodes atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses submandibulla, dan ludovici (Ludwig’s Angina).



1.4



Patofisiologi Jika bakteri masuk kedalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi infeksi. Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan se-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalalm melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut, dan setelah menelan bakteri. Sel darah putih akan mati, sel darah putih yang mati inilah yang memebentuk nanah yang mengisi rongga tersebut. Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan disekitarnya akan terdorong jaringan pada akhirnya tumbuh di sekliling abses dan menjadi dinding pembatas. Abses hal ini merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut jika suatu abses pecah di dalam tubuh maka infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses (www.medicastre.com.2004).



2



Pathway



( Sumber : Hardjatmo Tjokro Negoro, PHD dan Hendra Utama, 2001 )



1.5



Pemeriksaan Penunjang 1.5.1



Laboratorium Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan leukositosis. Aspirasi material yang bernanah (purulent) dapat dikirim untuk dibiakkan guna uji resistensi antibiotik.



1.5.2



Radiologis a. Rontgen jaringan lunak kepala AP b. Rontgen panoramik



dilakukan apabila penyebab abses



submandibula berasal dari gigi. c. Rontgen thoraks perlu dilakukan untuk evaluasi



mediastinum,



empisema subkutis, pendorongan saluran nafas, dan pneumonia akibat aspirasi abses.



3



1.5.2.4 Tomografi komputer (CT-scan) CT-scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher dalam. Berdasarkan penelitian Crespo bahwa hanya dengan pemeriksaan klinis tanpa CT scan mengakibatkan estimasi terhadap luasnya abses yang terlalu rendah pada 70% pasien. Gambaran abses yang tampak adalah lesi dengan hipodens (intensitas rendah), batas yang lebih jelas, dan kadang ada air fluid level. 1.6



Komplikasi Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung



(perkontinuitatum)



ke



daerah



sekitarnya.



Infeksi



dari



submandibula paling sering meluas ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. Perluasan ini dapat secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati musculus pterygoid medial kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri



selubung karotis



mencapai



mediastinum



menyebabkan



medistinitis. Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat



timbul



tromboflebitis



dan



septikemia.



Faktor-faktor



yang



berhubungan dengan timbulnya komplikasi adalah usia yang lebih dari 65 tahun, penderita diabetes mellitus, adanya komorbiditas lainnya, infeksi submandibular



sekunder,



pembengkakan



submandibular



keterlibatan ruang multipel, dan keterlibatan ruang viseral anterior



1.7 Penatalaksanaan Terapi yang diberikan pada abses submandibula adalah :



4



bilateral,



1.7.1 Antibiotik (parenteral) Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positif dan gram negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat pemberian antibiotik dapat disesuaikan. Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone, yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan selama lebih kurang 10 hari. 1.7.2 Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses (gambar 4) dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas abses. Bila abses belum terbentuk, dilakukan panatalaksaan secara konservatif dengan antibiotik IV, setelah abses terbentuk (biasanya dalam 48-72 jam) maka evakuasi abses dapat dilakukan.



5



1.7.3Mengingat adanya kemungkinan sumbatan jalan nafas, maka tindakan trakeostomi perlu dipertimbangkan. 1.7.4 Pasien dirawat inap 1-2 hari hingga gejala dan tanda infeksi reda



6



1.8 Rencana Asuhan Klien dengan abses submandibula 1.8.1 Pengkajian a. Riwayat Keperawatan Riwayat keperawatan mencakup riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu dan riwayat kesehatan keluarga yang berhubungan dengan penyakit keturunan seperti diabetes mellitus dan penyakit lainnya seperti kelainan hati, ginjal dan kehamilan. b. Pemeriksaan fisik: Data fokus Data yang harus dikumpulkan dalam pengkajian yang dilakukan pada kasus abses submandibula menurut Doenges, (2001) adalah sebagai berikut : 1) Aktifitas/istirahat Data Subyektif : Pusing, sakit kepala, nyeri, mulas. Data Obyektif : Perubahan kesadaran, masalah dalam keseimbangan cedera (trauma). 2) Sirkulasi Data Obyektif: kecepatan (bradipneu, takhipneu), pola napas (hipoventilasi, hiperventilasi, dll). 3) Integritas ego Data Subyektif: Perubahan tingkah laku/ kepribadian (tenang atau dramatis) Data Obyektif : cemas, bingung, depresi. 4) Eliminasi Data Subyektif : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi. 5) Makanan dan cairan Data Subyektif : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera makan.



7



Data Obyektif : Mengalami distensi abdomen. 6) Neurosensori. Data Subyektif : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo. Data Obyektif : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh. 7) Nyeri dan kenyamanan Data Subyektif : Nyeri pada rahang dan bengkak Data Obyektif : Wajah meringis, gelisah, merintih. 8) Pernafasan Data Subyektif : Perubahan pola nafas. Data Objektif : Pernapasan menggunakan otot bantu pernapasan/ otot aksesoris. 9) Keamanan Data Subyektif



:



Trauma baru akibat gelisah.



Data Obyektif : Dislokasi gangguan kognitif. Gangguan rentang gerak.



1.9 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul 1.9.1 Diagnosa 1: Hipertermi a. Definisi Peningkatan suhu tubuh diatas nilai normal. b. Batasan karakteristik : 1) Konvulsi 2) Kulit kemerahan 3) Peningkatan suhu tubuh diatas kisaran normal 4) Kejang 5) Takikardi 6) Takipnea 7) Kulit terasa hangat



8



c. Faktor yang berhubungan 1) Anestesi 2) Penurunan respirasi 3) Dehidrasi 4) Pemajanan lingkungan yang panas 5) Penyakit 6) Pemakaian pakaian yang tidak sesuai dengan suhu lingkungan 7) Peningkatan laju metabolisme 8) Medikasi 9) Trauma 10) Aktivitas berlebihan



1.9.2 Diagnosa 2: Nyeri Akut a. Definisi Pengalaman sensori yang emosional yang tidak menyenangkan muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for The Study of Pain): Awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dengan berlangsung < 6 bulan. b. Batasan Karakteristik : 1) Perubahan selera makan 2) Perubahan tekanan darah 3) Perubahan frekuensi jantung 4) Perubahan frekuensi pernafasan 5) Laporan isyarat 6) Diaforesis



9



7) Perilaku distraksi (mis: berjalan mondar-mandir mencari orang lain dan atau aktifitas lain, aktifitas yang berulang) 8) Mengekspresikan perilaku (mis: gelisah, merengek, menangis) 9) Masker wajah (mis: kurang bercahaya, tampak kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus, meringis) 10) Sikap melindungi area nyeri 11) Fokus menyempit (mis: gangguan persepsi nyeri, hambatan proses berfikir, penurunan interaksi dengan orang dan lingkungan) 12) Indikasi nyeri yang dapat diamati 13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri 14) Sikap tubuh melindungi 15) Dilatasi pupil 16) Melaporkan nyeri secara verbal 17) Gangguan tidur



c. Faktor yang berhubungan Agen cedera (mis: biologis, zat kimia, fisik, psikologis)



1.10 Perencanaan 1.10.1 Diagnosa 1: Hipertermi a. Tujuan dan kriteria hasil (outcomes criteria): berdasarkan NOC : Thermoregulation 1) Kriteria hasil: a) Suhu tubuh dalam rentang normal b) Nadi dan respirasi dalam rentang normal c) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing 2) Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC a) Fever treatment



10



b) Monitor suhu sesering mungkin c) Monitor IWL d) Monitor warna dan suhu kulit e) Monitor tekanan darah, nadi dan respirasi f) Monitor penurunan tingkat kesadaran g) Monitor WBC, Hb, dan Hct h) Monitor intake dan output i) Berikan anti piretik j) Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam k) Selimuti pasien l) Lakukan tapid sponge m) Kolaborasi pemberian cairan intravena n) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila o) Tingkatkan sirkulasi udara p) Berikan pengobatan untuk mencegah terjadinya menggigil 3) Temperature regulation a) Monitor suhu minimal tiap 2 jam b) Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu c) Monitor TD, nadi dan respirasi d) Monitor suhu dan warna kulit e) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi f) Tingktakan intake cairan dan nutrisi g) Selimuti pasien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh h) Ajarkan pada pasien cara mencegah keletihan akibat panas i) Diskusikan



tentang



pentingnya



pengaturan



suhu



dan



kemungkinan efek negatef dari kedinginan j) Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan penanganan emergensi yang diperlukan



11



k) Berikan anti piretik jika perlu 4) Vital sign monitoring a) Monitor TD, suhu, nadi, dan respirasi b) Catat adanya fluktuasi tekanan darah c) Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri d) Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan e) Monitor TD, suhu, nadi dan respirasi, sebelum, selama dan sesudah aktifitas f) Monitor kualitas dari nadi g) Monitor frekuensi dan irama pernafasan h) Monitor suara paru i) Monitor pola pernafasan abnormal j) Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulitMonitor sianosis perifer k) Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, brakikardi, peningkatan sistolik) l) Identifikasi peningkatan dan perubahan vital sign



1.10.2 Diagnosa 2: Nyeri Akut a. Tujuan dan kriteria hasil (oucomes criteria) berdasarkan NOC : 1) Pain level 2) Pain control 3) Comfort level b. Kriteria hasil: Mampu megontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan) c. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri



12



d. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) e. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.



1.11 Intervensi keperawatan dan rasional: berdasarkan NIC 1.11.1 Pain management 1.11.1.1 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 1.11.1.2 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 1.11.1.3 Gunakan tehnik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 1.11.1.4 Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 1.11.1.5 Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 1.11.1.6 Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan control nyeri masa lampau 1.11.1.7 Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 1.11.1.8 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 1.11.1.9 Kurangi faktor presipitasi nyeri 1.11.1.10 Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan interpersonal) 1.11.1.11 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 1.11.1.12 Ajarkan tehnik norfarmakologi 1.11.1.13 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 1.11.1.14 Evaluasi keefektifan control nyeri 1.11.1.15 Tingkatkan istirahat



13



1.11.1.16 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 1.11.1.17 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri 1.11.2 Analgesic administration 1.11.2.1.1 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat 1.11.2.1.2 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi 1.11.2.1.3 Cek riwayat alergi 1.11.2.1.4 Pilih analgetik yang diperlukan atau kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih dari satu 1.11.2.1.5 Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri 1.11.2.1.6 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal 1.11.2.1.7 Pilih rute secara IV, IM untuk pegobatan nyeri secara teratur 1.11.2.1.8 Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik pertama kali 1.11.2.1.9 Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 1.11.2.1.10 Evaluasi aktifitas analgetik, tanda dan gejala.



II. Konsep dasar Diabetes Melitus 1.1



Pengertian Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetic dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.



14



( Price and Wilson, 2000 ) Diabetes mellitus adalah sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemi( Smeltzer and Bare,2000) Diabetes melitus merupakan peyakit kronis yang berkaitan denan defisiensi atau resistansi insulin relatif atau absolut dan ditandai dengan ganguan metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. (Paramita, 2011) 1.2 Etiologi Etiologi secara umum tergantung dari tipe Diabetes, yaitu : 1.2.1 Diabetes Tipe I ( Insulin Dependent Diabetes Melitus / IDDM ) Diabetes yang tergantung insulin yang ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pancreas disebabkan oleh : 1.2.1.1 Faktor genetic Penderita DM tidak mewarisi DM tipe 1 itu sendiri tapi mewarisi suatu predisposisi / kecenderungan genetic ke arah terjadinya DM tipe 1. Ini ditemukan pada individu yang mempunyai tipe antigen HLA ( Human Leucocyte Antigen ) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplatasi dan proses imun lainnya.



1.2.1.2 Faktor Imunologi Respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggap seolah-olah sebagai jaringan asing.



15



1.2.1.3



Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.



1.2.2 Diabetes Tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus / NIDDM ) Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II belum diketahui . 1.2.2.1 Faktor genetic diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin . Selain itu terdapat faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan yaitu : 1.2.2.1.1 Usia 1.2.2.1.2 Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun 1.2.2.1.3 Obesitas 1.2.2.1.4 Riwayat Keluarga 1.2.2.1.5 Kelompok etnik Di Amerika Serikat, golongan hispanik serta penduduk asli amerika tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes tipe II disbanding dengan golongan Afro-Amerika ( Smeltzer and Bare, 2000 )



1.3 Klasifikasi Klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa adalah sebagai berikut : 1.3.1 Diabetes mellitus 1.3.1.2.1



DM tipe 1 (tergantung insulin)



16



1.3.1.2.2



DM tipe 2 (tidak tergantung insulin) 1.3.1.2.2.1 Gemuk 1.3.1.2.2.2 Tidak gemuk



1.3.2 DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu 1.3.2.1 Penyakit pancreas 1.3.2.2 Hormonal 1.3.2.3 Obat atau bahan kimia 1.3.2.4 Kelainan reseptor 1.3.2.5 kelainan genital dan lain-lain 1.3.3 Toleransi glukosa terganggu 1.3.4 Diabetes Gestasional (Suyono, et al 2001)



1.4 Fatofisiologi dan fatway Dalam keadaan normal, jika terdapat insulin, asupan glukosa / produksi glukosa yang melebihi kebutuhan kalori akan di simpan sebagai glikogen dalam sel-sel hati dan sel-sel otot. Proses glikogenesis ini mencegah hiperglikemia ( kadar glukosa darah > 110 mg / dl ). Jika terdapat defisit insulin, empat perubahan metabolic terjadi menimbulkan hiperglikemi.



Empat perubahan itu adalah : 1.8.2.2.2.1.1 Transport glukosa yang melintasi membran sel berkurang 1.8.2.2.2.1.2 Glikogenesis berkurang dan tetap terdapat kelebihan glukosa dalam darah



17



1.8.2.2.2.1.3 Glikolisis meningkat sehingga cadangan glikogen berkurang dan glukosa hati dicurahkan ke dalam darah secara terus menerus melebihi kebutuhan. 1.8.2.2.2.1.4 Glukoneogenesis meningkat dan lebih banyak lagi glukosa hati yang tercurah ke dalam darah dari pemecahan asam amino dan lemak ( Long ,1996 ) Pada DM tipe 1 terdapat ketidak mampuan menghasikan insulin karena sel-sel beta telah dihancurkan oleh proses autoimun. Akibat produksi glukosa tidak terukur oleh hati, maka terjadi hiperglikemia. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tinggi, ginjal tidak dapat menyerap semua glukosa, akibatnya glukosa muncul dalam urine (glukosuria). Ketika glukosa berlebihan diekskresikan dalam urine disertai pengeluaran cairan dan elektrolit (diuresis osmotik). Akibat kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan berkemih (poli uri) dan rasa haus (polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan . pasien juga mengalami peningkatan selera makan (polifagi) akibat penurunan simpanan kalori.gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan Pada DM tipe 2 terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan ganguan sekresi insulin. Resistensi insulin ini disertai dengan penurunan reaksi intra sel sehingga insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Pada gangguan sekresi insulin berlebihan, kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun jika sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin maka kadar glukosa darah meningkat. Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Gejala yang dialami sering bersifat ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuri, polidipsi, luka



18



pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur ( jika kadar glukosanya sangat tinggi ) ( Smeltzer and Bare, 2000 )



FATWAY Lingkungan, Genetik , Imunologi,Obesitas, Usia Penurunan kadar insulin Penggunaan glukosa sel menurun, glukagon meningkat



Hiperglikemia



Rendahnya informasi



Kurang pengetahuan



Resiko infeksi



Sel kelaparan



Mual muntah, anoreksia



Diuresis osmotik



19 Poliuri Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan



Kekurangan volume cairan



Mikroangiopati



Sklerosis mikrovaskuler



Neuron



( Corwin, E.J. 2001 ) 1.5 Tanda dan Gejala 1.5.1 Ketoasidosis atau serangan diam- diam pada tipe 1 1.5.2 Yang Paling sering terjadi adalah keletihan akibat defisiensi energi dan keadaan katabolis 1.5.3 Kadang kadang tidak ada gejala ( pada diabetes tipe 2 ) 1.5.4 Dieuretik ostomotik yan disertai poliuria, dehidrasi, polidipsia, selaput lendir, dan kekencangan kulit buruk 1.5.5 Pada Ketoasidosi dan keadaan non-ketotik hipermosmolar hiperglikemik, dehidrasi berpotensi menyebabkan hipovolemia dan syok



20



1.5.6 Jika diabetes tipe 1 tidak dikontrol, pasien mengalami penurunan berat badan dan selalu lapar, padahal ia sudah makan sangat banyak (Paramita, 2011) 1.5.7 Gejala klasik : 1.5.7.1 Poliuri 1.5.7.2 Polidipsi 1.5.7.3 Polifagi 1.5.8 Penurunan Berat Badan 1.5.9 Lemah 1.5.10 Kesemutan, rasa baal 1.5.11 Bisul / luka yang lama tidak sembuh 1.5.12 Keluhan impotensi pada laki-laki 1.5.13 Keputihan 1.5.14 Infeksi saluran kemih (Suyono, et al 2001)



1.6 Komplikasi 1.6.1 Akut 1.6.1.1 Ketoasidosis diabetik 1.6.1.2 Hipoglikemi 1.6.1.3 Koma non ketotik hiperglikemi hiperosmolar 1.6.1.4 Efek Somogyi ( penurunan kadar glukosa darah pada malam hari diikuti peningkatan rebound pada pagi hari ) 1.6.1.5 Fenomena fajar / down phenomenon ( hiperglikemi pada pagi hari antara jam 5-9 pagi yang tampaknya disebabkan peningkatan sikardian kadar glukosa pada pagi hari )



21



1.6.2 Komplikasi jangka panjang 1.6.2.1 Makroangiopati 1.6.2.2 Penyakit arteri koroner ( aterosklerosis ) 1.6.2.3 Penyakit vaskuler perifer 1.6.2.4 Stroke 1.6.2.5 Mikroangiopati 1.6.2.6 Retinopati 1.6.2.7 Nefropati 1.6.2.8 Neuropati diabetik ( Price and Wilson, 2000 )



1.7 Pemeriksaan Diagnostik 1.7.1 Pemeriksaan kadar serum glukosa 1.7.1.1 Gula darah puasa



: glukosa lebih dari 120 mg/dl pada 2x tes



1.7.1.2 Gula darah 2 jam pp



: 200 mg / dl



1.7.1.3 Gula darah sewaktu



: lebih dari 200 mg / dl



1.7.2 Tes toleransi glukosa Nilai darah diagnostik : kurang dari 140 mg/dl dan hasil 2 jam serta satu nilai lain lebih dari 200 mg/ dl setelah beban glukosa 75 gr 1.7.3 HbA1C > 8% mengindikasikan DM yang tidak terkontrol 1.7.4 Pemeriksaan kadar glukosa urin



22



Pemeriksaan reduksi urin dengan cara Benedic atau menggunakan enzim glukosa . Pemeriksaan reduksi urin positif jika didapatkan glukosa dalam urin. (Carpenito, 2011) 1.8 Penatalaksanaan Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya mengurangi terjadi komplikasi vaskuler serta neuropatik.Tujuan terapetik pada setiap tipe DM adalah mencapai kadar glukosa darah normal tanpa terjadi hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktifitas pasien. Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan DM yaitu diet, latihan fisik, Pemantauan, terapi dan pendidikan kesehatan. 1.8.1 Penatalaksanaan diet Prinsip umum :diet dan pengndalian berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan DM. 1.8.1.1 Tujuan penatalaksanaan nutrisi : 1.8.1.1.1 Memberikan semua unsur makanan esensial missal vitamin, mineral 1.8.1.1.2 Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai 1.8.1.1.3 Memenuhi kebutuhan energi 1.8.1.1.4 Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap hari dengan mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan praktis. 1.8.1.1.5 Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat 1.8.2 Latihan fisik



23



Latihan penting dalam penatalaksanaan DM karena dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus otot juga diperbaiki dengan olahraga. 1.8.2.1 Pemantauan Pemantauan glukosa dan keton secara mandiri untuk deteksi dan pencegahan hipoglikemi serta hiperglikemia 1.8.2.2 Terapi 1.8.2.2.1 Insulin Dosis yang diperlukan ditentukan oleh kadar glukosa darah 1.8.2.2.2 Obat oral anti diabetik 1.8.2.2.2.1 Sulfonaria 1.8.2.2.2.1.1 Asetoheksamid ( 250 mg, 500 mg) 1.8.2.2.2.1.2 Clorpopamid(100 mg, 250 mg ) 1.8.2.2.2.1.3 Glipizid ( 5 mg, 10 mg ) 1.8.2.2.2.1.4 (Glyburid1,25 mg ; 2,5 mg ; 5 mg) 1.8.2.2.2.1.5 Totazamid (100mg ;250 mg ;500 mg ) 1.8.2.2.2.1.6 Tolbutamid ( 250 mg, 500 mg ) 1.8.2.2.2.1.7 Biguanid 1.8.2.2.2.1.8 Metformin 500 mg



1..8.2.2.3 Pendidikan kesehatan Informasi yang harus diajarkan pada pasien antara lain :



24



1..8.2.2.3.1 Patofisiologi DM sederhana, cara terapi termasuk efek samping obat, pengenalan dan pencegahan hipoglikemi / hiperglikemi 1..8.2.2.3.2 Tindakan preventif (



perawatan kaki,



perawatan mata , hygiene umum ) 1..8.2.2.3.3 Meningkatkan kepatuhan program diet dan obat (Smeltzer and Bare, 2000)



1.9 Pengkajian 1.9.1 Aktivitas / istirahat ; Lemah, letih, sulit bergerak / berjalan , kram otot, tonus otot menurun, Gangguan tidur dan istirahat, takikardi dan takipnea, letargi, disorientasi, koma, penurunan kekuatan otot 1.9.2 Sirkulasi ; Adanya riwayat hipertensi, Klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas Ulkus, penyembuhan luka lama Takikardi, perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tak ada, disritmia, krekles Kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung 1.9.3



Integritas ego; Stres, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi Ansietas, peka rangsang



25



1.9.4



Eliminasi ; Poliuri, nokturia, disuria, sulit berkemih, ISK baru atau berulang Diare, nyeri tekan abdomen Urin encer, pucat, kuning, atau berkabut dan berbau bila ada infeksi Bising usus melemah atau turun, terjadi hiperaktif ( diare ), abdomen keras, adanya asites



1.9.5



Makanan / cairan ; Anoreksia, mual, muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan glukosa / karbohidrat,Penurunan berat badan,Haus dan lapar terus, penggunaan diuretic ( Tiazid ), kekakuan / distensi abdomen,Kulit kering bersisik, turgor kulit jelek, bau halitosis / manis, bau buah (nafas aseton ).



1.9.6



Neurosensori : Pusing, pening, sakit kepala Kesemutan,



kebas,



kelemahan



pada



otot,



parastesia,



gangguan



penglihatan, disorientasi, mengantuk, supor / koma , gangguan memori ( baru, masa lalu ), kacau mental, reflek tendon dalam menurun/koma, aktifitas kejang 1.9.7



Nyeri / kenyamanan ; Abdomen tegang/nyeri, wajah meringis, palpitasi



1.9.8



Pernafasan ; Batuk, dan ada purulen, jika terjadi infeksi Frekuensi pernafasan meningkat, merasa kekurangan oksigen



1.9.9



Keamanan ;



26



Kulit kering, gatal, ulkus kulit, kulit rusak, lesi, ulserasi, menurunnya kekuatan umum / rentang gerak, parestesia/ paralysis otot, termasuk otototot pernafasan,( jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam) ,demam, diaphoresis 1.9.10 Seksualitas ; Cenderung infeksi pada vagina. Masalah impotensi pada pria, kesulitan orgasme pada wanita



1.10 DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.10.1 Diagnosa umum yang muncul pada pasien Diabetes Melitus : 1.10.1.1 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan defisiensi insulin, penurunan intake oral, status hipermetabolisme 1.10.1.2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuretic osmotic, kehilangan cairan gastric berlebihan , pembatasan cairan 1.10.1.3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan hiperglikemi, penurunan fungsi lekosit, perubahan sirkulasi 1.10.1.4 Resiko tinggi perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan zat kimia endogen, ketidakseimbangan elektrolit, glukosa, insulin 1.10.1.5 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, misinterpretasi pengobatan



1.11 INTERVENSI 1.11.1 Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan defisiensi insulin, penurunan intake oral, status hipermetabolisme



27



Tujuan : klien mendapatkan nutrisi yang adekuat 1.11.1.1 Kriteria hasil : 1.11.1.1.1 BB stabil 1.11.1.1.2 BB mengalami penambahan ke arah normal 1.11.1.2 Intervensi : 1.11.1.2.2.1



Mandiri :



1.11.1.2.1.1.1 Timbang BB setiap hari sesuai indikasi 1.11.1.2.1.1.2 Tentukan program diet dan pola makan klien 1.11.1.2.1.1.3 Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri , mual muntah 1.11.1.2.1.1.4 Berikan makanan oral yang mengandung nutrient dan elektrolit sesuai indikasi 1.11.1.2.1.1.5 Observasi tanda – tanda hipoglikemi



1.11.1.2.2.2



Kolaborasi :



1.11.1.2.2.1



Pantau kadar gula darah secara berkala



1.11.1.2.2.2



Kolaborasi ahli diet untuk menentukan diet pasien



1.11.1.2.2.3



Pemberian insulin / obat anti diabetik



1.11.2 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuretic osmotic, kehilangan cairan gastric berlebihan , pembatasan cairan Tujuan : klien memperlihatkan status hidrasi adekuat 1.11.2.2.1.1.1 Kriteria Hasil : 1.11.2.1.1 TTV stabil dan dalam batas normal



28



1.11.2.1.2 Nadi perifer teraba 1.11.2.1.3 Turgor kulit dan pengisian akpiler baik 1.11.2.1.4 Output urin tepat 1.11.2.1.5 Kadar elektrolit dalam batas normal 1.11.2.2 Intervensi : 1.11.1.2.2.1 Mandiri 1.11.1.2.2.1.1 Kaji riwayat muntah dan diuresis berlebihan 1.11.1.2.2.1.2 Monitor TTV, catat adanya perubahan TD ortostatik 1.11.1.2.2.1.3 Kaji frekuensi, kwalitas dan dan pola pernafasan, catat adanya penggunaan otot bantu, periode apnea, sianosis, 1.11.1.2.2.1.4 Kaji suhu, kelembapan, warna kulit 1.11.1.2.2.1.5 Monitor nadi perifer, turgor kulit dan membran mukosa 1.11.1.2.2.1.6 Monitor intake dan output cairan, catat BJ urin 1.11.1.2.2.2 Kolaborasi 1.11.1.2.2.2.1 Pemeriksaan Hb, Ht, BUN, Na, K, Gula Darah 1.11.1.2.2.2.2 Pemberian terapi cairan yang sesuai (Nacl, RL, Albumin) 1.11.3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan hiperglikemi, penurunan fungsi lekosit, Perubahan sirkulasi Tujuan : klien terhindar dari infeksi silang



1.11.3.1 Kriteria hasil :



29



1.11.3.1.1 Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah / menurunkan resiko infeksi 1.11.3.1.2 Klien mendemonstrasiakn tehnik



gaya



hidup untuk



mencegah infeksi 1.11.3.2 Intervensi : 1.11.3.2.1.1 Mandiri 1.11.3.2.1.1.1 Observasi tanda – tanda infeksi seperti panas, kemerahan,



keluar nanah, sputum



purulen 1.11.3.2.1.1.2 Tingkatkan upaya pencegahan dengan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan klien, termasuk klien sendiri 1.11.3.2.1.1.3 Pertahankan tehnik aseptic pada setiap prosedur invasif 1.11.3.2.1.1.4 Lakukan perawatan perineal dengan baik dan



anjurkan



klien



wanita



untuk



membersihkan daerah perineal dengan dari depan ke belakang 1.11.3.2.1.1.5 Berikan perawatan kulit secara teratur, masase daerah yang tertekan , jaga kulit tetap kering 1.11.3.2.1.1.6 Auskultasi bunyi nafas dan atur posisi tidur semi fowler 1.11.3.2.1.1.7 Lakukan perubahan posisi dan anjurkan klien untuk batuk efektif / nafas dalam bila klien sadar / kooperatif 1.11.3.2.1.1.8 Bantu klien melakukan oral hygiene



30



1.11.3.2.1.1.9 Anjurkan makan dan minum adekuat 1.11.3.3 Kolaborasi 1.11.3.3.1



Pemeriksaan kultur dan sensitivity test



1.11.3.3.2



Pemberian antibiotik yang sesuai



1.11.4 resiko tinggi perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan zat kimia endogen, ketidakseimbangan elektrolit, glukosa, insulin Tujuan : persepsi sensori klien adekuat 1.11.4.2.1



Kriteria hasil :klien dapat mengobservasi adanya kerusakan



persepsi sensori 1.11.4.2.2



Intervensi :



1.11.4.2.1 Mandiri : 1.11.4.2.1.1 Orientasikan klien terhadap orang, tempat dan waktu 1.11.4.2.1.2 Pantau TTV dan status mental 1.11.4.2.1.3 Pelihara aktifitas rutin klien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari 1.11.4.2.1.4 Jadwalkan



intervensi



keperawatan



yang



tidak



mengganggu istirahat klien 1.11.4.2.1.5 Lindungi dari cedera, pasang pagar tempat tidur, dan bantal pada pagar 1.11.4.2.1.6 Evaluasi lapang pandang penglihatan 1.11.4.2.1.7 Kaji keluhan parestesia, nyeri / kehilangan sensori pada kaki, kaji adanya ulkus, kehilangan denyut nadi perifer 1.11.4.2.1.8 Bantu klien dalam ambulasi / perubahan posisi



1.11.4.2.1 Kolaborasi



31



1.11.4.2.1.1 Pemeriksaan



laboratorium



:



gula



darah,



osmolaritas darah, Hb,Ht, ureum kreatinin 1.11.4.2.1.2 Pemberian obat-obatan yang sesuai 1.11.5 Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang informasi, misinterpretasi pengobatan Tujuan : klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya 1.11.5.1



Kriteria hasil : 1.11.5.1.1



Mengidentifikasi tanda dan gejala serta proses penyakit



1.11.5.1.2



Melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam program pengobatan



1.11.5.2



Intervensi : 1.11.5.2.1 Mandiri 1.11.5.2.1.1 Diskusikan topik utama seperti tanda dan gejala, penyebab, proses penyakit serta komplikasiyang sesuai dengan tipe DM klien 1.11.5.2.1.2 Diskusikan rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat, dan manajemen diet 1.11.5.2.1.3 Buat jadwal aktifitas yang teratur, kaitkan dengan penggunaan insulin 1.11.5.2.1.4 Identifikasi



gejala



hipoglikemi,



jelaskan



penyebab dan penanganannya 1.11.5.2.1.5 Anjurkan untuk tidak mengkonsumsi obatobatan bebas 1.11.5.2.1.6 Diskusiakan tentang pentingnya kontrol untuk pemeriksaan gula darah, program pengobatan dan diet secara teratur



32



1.11.5.2.1.7 Diskusikan



tentang



perlunya



program



latihanBerikan informasi tentang perawatan sehari-hari misal perawatan kaki.



33



DAFTAR PUSTAKA



1. Lynda Juall Carpenito. 2001.Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC. 2. Long, B.C. 1996. Essential of medical – surgical nursing : A nursing process approach. Volume 3. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran; 3. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2000. Brunner and Suddarth’s textbook of medical – surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; (Buku asli diterbitkan tahun 1996) 4. Corwin, E.J. 2001.Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC. 5. Price, S.A. & Wilson, L.M. 2000. Pathophysiology: Clinical concept of disease processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC. 6. Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 1999. Nursing care plans: Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M. Jakarta: EGC. (Buku asli diterbitkan tahun 1993) 7. Suyono, S, et al.2001. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 8. Arif Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius. 9. Nurarif, Amin Huda, Hardhi Kusuma. 2015. APLIKASI ASUHAN KEPERAWATN BERDASARKAN DIAGNOSA MEDIS & NANDA Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 2, Cetakan 1. Jogjakarta: MediAction. 10. Siregar, R,S.2004. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Editor Huriawati Hartanta. Edisi 2. Jakarta:EGC.



34



11. Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan MedikalBedah Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC.



35