Akta Perdamaian Dalam Gugatan Perdata [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AKTA PERDAMAIAN DALAM GUGATAN PERDATA AKTA PERDAMAIAN DALAM GUGATAN PERDATA Dalam sidang perkara perdata, sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan olehmajelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Menurut pasal 130 HIR (Herziene Indonesisch Reglement), jika pada hari sidang yang telah ditentukan kedua belah pihak hadir, pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba mendamaikan mereka. Jika perdamaian tercapai maka perdamaian itu dibuat dalam sebuah akta (surat), dimana kedua belah pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang dibuat. Akta tersebut berkekuatan hukum sama seperti putusan pengadilan biasa. Menurut Yahya Harahap, dalam prakteknya upaya hakim untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa itu lebih merupakan suatu upaya formalitas belaka. Pasal 130 dan 131 HIR dalam pelaksanaannya belum cukup efektif meningkatkan jumlah perdamaian dalam sengketa dan mengurangi tumpukan perkara di Mahkamah Agung. Kurang efektifnya pasal-pasal tersebut dalam menciptakan perdamaian, merupakan motivasi dibentuknya regulasi teknis yang lebih memaksa (imperatif). Dengan motivasi itu, kemudian Mahakamah Agung (MA) membentuk Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 yang merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal 130 dan 131 HIR, yang secara tegas mengintegrasikan proses mediasi kedalam proses beracara di pengadilan. Sifat memaksa PERMA tersebut, tercermin dalam pasal 12 ayat (2), dimana dijelaskan bahwa pengadilan baru diperbolehkan memeriksa perkara melalui hukum acara perdata biasa apabila proses mediasi gagal menghasilkan kesepakatan. Menurut PERMA, MEDIASI merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan yang dilakukan melalui perundingan diantara pihak-pihak yang berperkara. Perundingan itu dibantu oleh mediator yang berkedudukan dan berfungsi sebagai pihak ketiga yang netral. Mediator berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai alternatif penyelesaian sengketa yang sebaik-baiknya dan saling menguntungkan. Mediator yang mendamaikan itu dapat berasal dari mediator pengadilan maupun mediator luar pengadilan. Dari manapun asalnya, mediator harus memenuhi syarat memiliki sertifikat mediator. Menurut pasal 13 PERMA, jika mediasi gagal, maka terhadap segala sesuatu yang terjadi selama proses mediasi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti. Selain semua dokumen wajib dimusnahkan, mediator juga dilarang menjadi saksi atas perkara tersebut – pihak yang tidak cakap menjadi saksi. Pernyataan maupun pengakuan yang timbul dalam proses mediasi, tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti persidangan perkara yang bersangkutan maupun perkara lain. Penggunaannya dalam persidangan menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan bukti. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian a. Disamakan kekuatannya dengan Putusan Yang Berkekuatan Hukum Tetap Menurut pasal 130 ayat (2) HIR, akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekuatan hukum tetap – dan terhadapnya tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. b. Mempunyai Kekuatan Eksekutorial



Karena telah berkekuatan hukum tetap, akta perdamaian tersebut langsung memiliki kekuatan eksekutorial. Jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi kepada pengadilan. c. Putusan Akta Perdamaian Tidak Dapat Dibanding Karena berkekuatan hukum tetap dan dapat dieksekusi, maka terhadap akta perdamaian tidak dapat diajukan banding maupun kasasi. Pihak-Pihak Penggugat/para penggugat/pemohon (bisa orang atau badan hukum). Tergugat/para tergugat/turut tergugat/termohon (bisa orang atau badan hukum). Para pihak bisa diwakili oleh kuasa hukum (advokat) dengan surat kuasa khusus. Tata Urut Sidang Perdata : 1. Upaya perdamaian atau mediasi 2. Pembacaan surat gugatan 3. Jawaban tergugat, bisa terdiri dari: ~ Eksepsi ~ Pokok perkara ~ Rekonpensi 4. Replik penggugat 5. Duplik tergugat 6. Pembuktian 7. Kesimpulan 8. Musyawarah Majelis Hakim 9. Pembacaan putusan 10. Upaya Perdamaian Salah satu asas hukum acara perdata : hakim wajib mengupayakan perdamaian bagi parapihak. Dilakukan pada sidang pertama sebelum masuk pemeriksaan pokok perkara, dan dalam setiap sidang sebelum pembacaan putusan. Upaya perdamaian para pihak prinsipal harus hadir (perkara perceraian). Majelis hakim memberi kesempatan untuk musyawarah para pihak (sidang ditunda). Majelis hakim memerintahkan kepada para pihak melakukan mediasi. MEDIASI Perma no . 2 tahun 2003 tentang prosedur mediasi di pengadilan,. Pasal 2 Ayat 1 Perma 02/2003 “Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahuludiselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator”. Majelis hakim menunjuk mediator (bisa hakim mediator atau mediator dari luar, atau para pihak menunjuk sendiri mediator yang disepakati). Waktu, tempat, dan tatacara mediasi disepakati oleh para pihak dengan mediator.Waktunya 40 hari. Hasil mediasi dilaporkan kepada majelis hakim. Jika berhasil, dibuat akta perdamaian danperkara diputus berdasarkan akta tersebut. Jika mediasi tidak berhasil, pemeriksaan perkara dilanjutkan. Kemungkinan Para Pihak Tidak Hadir



a.



Jika sidang pertama penggugat/kuasanya tidak hadir, dipanggil sekali lagi. Sidang ke2 tidak hadir lagi, perkara diputus GUGUR, penggugat dihukum membayar biaya perkara.(penggugat dianggap tidak sungguh-sungguh). Penggugat dapat mengajukan lagi dari awal. b. Jika sidang pertama tergugat/kuasanya tidak hadir, dipanggil sekali lagi. Sidang ke2 tidak hadir lagi, pemeriksaan perkara dilanjutkan dan diputus VERSTEK. Penggugat menang, karena tergugat dianggap telah menerima resiko dengan tidak hadir. Atas putusan verstek tersebut, tergugat bisa melakukan upaya hukum verzet (perlawanan) dalam tempo 14 hari setelah putusan diberitahukan. Jika verzet dikabulkan, maka pemeriksaan perkara berlanjut seperti biasa. PERUBAHAN GUGATAN Surat gugatan/permohonan yang sudah didaftarkan dapat dilakukan perubahan/ralat, dengan syarat :1). Sebelum tergugat/termohon mengajukan jawaban 2). Jika sudah memberikan jawabannya, maka untuk melakukan ralat/perubahan harusmendapatkan persetujuan tergugat/termohon (Rv. Ps. 271). Penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya (Rv. Ps. 127). Perubahan surat gugatan dibolehkan asal tidak mengakibatkan perubahan posita, dan tergugat tidak dirugikan haknya (Yurisprudensi MA RI No. 1043/K/Sip/1971). Biasanya tergugat pasti tidak setuju. Karena ia harus mencari titik lemah penggugat, utk bisa mengajukan eksepsi gugatan kabur (obscuur libel). Jika terdapat kesalahan ketik yang tidak prinsip cukup di renvoi, dicoret masih terbaca, kemudian ditulis tangan yang benar, dan diparaf. PEMBACAAN GUGATAN Jika upaya perdamaian/mediasi tidak berhasil, hakim membacakan gugatan (sebelumnyaditanyakan, apakah ada perubahan atau ralat). Biasanya cukup dianggap telah dibaca, karena gugatan sudah diterima oleh tergugat bersama relas panggilan sidang. Catatan : dimungkinkan GUGATAN LISAN. Menurut pasal 190 HIR/144 RBG (1) gugatan lisan ditujukan KEPADA KETUA PENGADILAN, KETUA PENGADILAN /HAKIM MENCATAT, GUGATAN DIBACAKAN KEPADA PENGGUGAT, SURAT GUGATAN DITANDA TANGANI KETUA PENGADILAN/HAKIM. Gugatan yang diajukan oleh orang buta huruf secara tertulis yang dibubuhi cap jempol penggugat tidak dapat diterima (Yurisprudensi No. 1077/K/K/Sip/1972). Syarat-Syarat Gugatan Tuntutan hak, dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan (untuk jenis perkara kontensius) atau permohonan (untuk jenis perkara voluntair). Di PA ada perkara semi kontensius/voluntair, yaitu perkara ijin poligami dan permohonan ikrar talak. Syarat-syarat gugatan : 1. Adanya tuntutan hak 2. Adanya kepentingan hukum 3. Adanya sengketa 4. Dibuat dengan cermat dan terang 5. Diajukan oleh orang yang berkepentingan/berhak



6. Adapun Unsur-Unsur Gugatan Adalah: o Identitas para pihak o Posita o Petitum Yang Dimaksud Identitas Para Pihak Identitas para pihak, memuat nama, umur, tempat kediaman, kedudukan dalam perkara (Ps. 67 UU-7/1989). Dalam hal identitas perlu ditambahkan agama, pekerjaan, dan pendidikan (khusus untuk perkara perceraian). Nama para pihak agar dilengkapi dengan nama ayahnya (bin, binti). Kedudukan misalnya sebagai penggugat, tergugat, turut tergugat, pemohon atau termohon. Tempat kediaman harus lengkap RT, RW, Kelurahan/desa, kecamatan, dan Kabupaten/kota. Posita Adalah dalil-dalil kongkrit tentang peristiwa, kejadian atau perilaku tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar atau alasan-alasan tuntutan. Posita ada dua bagian, bagian yang menguraikan tentang keadaan, kejadian, peristiwa atau perilaku, disertai tempat (locus) dan waktu (tempous). Dan bagian yang menguraikan tentang hukum yang menjadi dasar yuridis dari tuntutan (bagian ini tidak wajib ada). Posita harus dibuat secara kronologis, bahasa yang tegas, dan harus memposisikan penggugat sebagai pihak yang benar. Petitum Adalah apa yang oleh penggugat/pemohon diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. Petitum tidak boleh hanya bersifat kompositur (hanya memohon keadilan saja), melainkan harus terperinci dan tegas. Bentuk-bentuk petitum yang diperbolehkan : a. Primer saja secara lengkap/terinci b. Primer secara terperinci dan subsidair secra terperinci c. Primer secara terperinci dan subsidair hanya berbentuk compositur (ini yang biasa dilakukan. Petitum hendaknya didukung dan relevan dengan positanya. Dalam perkara kewarisan, petitum hendaknya merujuk, relevan atau sesuai dengan urutan dan rumusan yang disebut di dalam Pasal 49 UU-7/1989, yaitu : a. Menetapkan/menyatakan siapa-siapa yang menjadi ahli waris b. Menetapkan/menyatakan apa saja yang menjadi harta peninggalan pewaris c. Menetapkan/menyatakan bagian masing-masing ahli waris d. Menghukum … untuk melaksanakan pembagian tersebut e. Menghukum … untuk menyerahkan bagian masing-masing ahli waris. CACAT PADA GUGATAN Beberapa cacat pada gugatan yang menyebabkan tidak diterima atau ditolak, ada kalanya : 1. Error in Persona (cacat formil) Error In Persona, Diskualifikasi in persona, yaitu penggugat bukan orang yangberkepentingan, bukan orang yang berhak. Gemis aan voodaning heid, yaitu tergugat bukan orang yang berkepentingan untuk digugat. Apabila ada pihak lain yangberkepentingan dalam perkara tersebut tetapi tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara. Apabila gugatan ditandatangani oleh kuasa hukum tetapi tidak disertai dengan surat kuasa



khusus. Terjadi aan hanging, yaitu pengajuan perkara yang tergantung dengan perkara yang diajukan terlebih dahulu yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Apabila gugatan prematur. 2. Ne bis in idem (berulang) Perkara yang diajukan sudah pernah diputus. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Para pihak (subyek dan obyek) antara dua perkara itu sama. Menurut pasal 1917 KUH Perdata, gugatan (tuntutan) yang diajukan dengan dalil (dasar hukum) yang sama dan diajukan oleh dan terhadap pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, maka dalam gugatan tersebut melekat unsur ne bis in idem atau res judicata, yang oleh karenanya gugatan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima (lihat : M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata, hal. 439-448). 3. Obscuur Libel (kabur, tidak jelas) Posita tidak jelas, hanya bersifat umum saja, tidak menyebut tempous dan locus. Antara posita dengan petitum bertentangan, tidak relevan, tidak ada hubungan. Petitum tidak jelas, tidak terinci. Obyek gugatan tidak jelas, misalnya batas-batas tanah, alamat, luas. Jika batas-batas dan luas tanah tidak sesuai, tidak termasuk obscuur libel. Menurut Yurisprudensi putusan MA No. 492K/Sip/1970 dan putusan MA No. 582K/Sip/1973, bentuk-bentuk petitum yang tidak jelas yaitu antara lain, petitum tidak rinci dan atau kontradiksi antara posita dengan petitum, mengakibatkan gugatan tidak jelas dan memberi kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi obscuur libel. (lihat : M. Yahya Harahap, SH, Hukum Acara Perdata, hal. 451-453). TEKNIK PENYUSUNAN GUGATAN Selain syarat-syarat tersebut di atas, surat gugatan juga harus memenuhi hal-hal sebagai berikut : 1. Menggunakan kertas folio HVS, tidak kertas doorslag atau buram 2. Memuat tempat kedudukan, tanggal, perihal, dan alamat pengadilan yang dituju. Misalnya; Kepada Yth. Ketua Pengadilan Agama Semarang 3. Diketik jelas dengan format 1,5 spasi, tidak bolak-balik 4. Ditandatangani oleh penggugat/kuasa hukumnya, atau oleh hakim yang mencatatnya jika penggugat buta huruf 5. Tidak perlu dibubuhi materai 6. Jika surat gugatan ditandatangani oleh kuasa hukum, harus disertai surat kuasa khusus. PENGAJUAN GUGATAN Surat gugatan diajukan langsung ke pengadilan yang dituju, sesuai dengan kewenangan absolut dan relatif. Tidak ada keharusan lewat instansi lain, seperti kepala desa/lurah atau KUA. Surat-surat yang berkaitan dengan gugatan/permohonan, seperti kutipan Akta Nikah, KTP, atau keterangan domisili, pada prinsipnya diserahkan pada acara/tahap pembuktian. Tetapi bisa juga diserahkan bareng dengan surat gugatan. Surat-surat yang bukan asli harus dilegalisir oleh Panitera Pengadilan dan harus dimateraikan (nazegelen) di kantor pos, termasuk surat-surat bukti asli yang belum bermaterai cukup. Pendaftaran perkara harus dengan membayar panjar biaya perkara sesuai dengan taksiran, kecuali bagi orang miskin yang tidak mampu. Hal ini sesuai dengan asas hukum acara Perdata hakim bersifat menunggu dan pasif.



Berperkara Secara Cuma-Cuma Cara berperkara dengan beaya Cuma-Cuma (prodeo) adalah sebagai berikut : a. Penggugat/pemohon mengajukan permohonan dilampiri surat keterangan miskin dari Kepala Desa/Lurah dan diketahui Camat b. Pengadilan menyelenggarakan sidang insidentil untuk memutus sela diterima atau ditolak c. Tergugat dapat mengajukan perlawanan (HIR Ps. 237 dan 239). JAWABAN Jawaban adalah tanggapan tergugat atas surat gugatan penggugat. Dalam surat jawaban tergugat bisa mengajukan 3 hal sebagai berikut : 1. Eksepsi, 2. Pokok perkara, 3. Rekonpensi. Eksepsi, adalah tangkisan dari tergugat bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Eksepsi adakalanya yang menyangkut kewenangan relatif dan adakalanya yangmenyangkut kewenangan absolut. Pengajuan eksepsi diatur sebagai berikut : - Eksepsi relatif harus diajukan pada jawaban pertama bersama-sama dengan jawaban atas pokok perkara (Ps. 133 HIR). Sedangkan eksepsi absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung. - Eksepsi prosesuil/relatif diperiksa sebelum memeriksa pokok perkara. Sedangkan eksepsi materiil/absolut diperiksa dan diputus bersama-sama dengan putusan pokok perkara. Jika eksepsi relatif/absolut dikabulkan, maka sifatnya adalah putusan akhir. Sedangkan jika ditolak, maka sifatnya adalah putusan sela dalam bentuk penetapan yang dapat dibanding bersama-sama dengan putusan akhir. Redaksi putusannya berbunyi : a. Menolak eksepsi tergugat/termohon b. Memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya c. Menangguhkan biaya perkara hingga putusan akhir d. Jawaban pokok perkara e. Jawaban tergugat/termohon dalam pokok perkara harus mengacu pada posita atau dalil-dalil yang dikemukakan penggugat/pemohon dalam surat gugatannya f. Jawaban hendaknya diberikan secara detail, jangan global, jelas, kronologis/urut, sistematis dan relevan. Misalnya menjawab tidak benar, maka harus disertai fakta yang benar. Pokok persoalan atau dalil-dalil penggugat/pemohon dijawab terlebih dahulu, dan jika ada keterangan tambahan diuraikan pada bagian tersendiri. Rekonpensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan atau sering disebut dengan gugat balik. Gugatan rekonpensi yang dibenarkan adalah : Bila pengadilan yang memeriksa gugatan rekonpensi berwenang mengadili



materi rekonpensi. Diajukan selama masih dalam tabap jawab jinawab, sebelum masuk pembuktian. Rekonpensi tidak boleh ada dalam memori banding. Sebutan para pihak dalam rekonpensi : Di dalam konpensi, para pihak cukup disebut dengan penggugat, tergugat, pemohon atau termohon. Tidak perlu disebut penggugat konpensi dst. Di dalam rekonpensi, para pihak disebut sebagai penggugat rekonpensi (semula tergugat), tergugat/turut tergugat rekonpensi (semula penggugat). Dalam perkara permohonan ijin ikrar talak, jika ada rekonpensi tetap disebut gugatan rekonpensi, bukan permohonan rekonpensi. INTERVENSI Pihak ketiga yang hak terganggu dengan proses peradilan dapat melakukan intervensi. Bentukbentuknya dapat berupa : a. TUSENKOMS ( MENENGAHI ) Pihak ketiga berdiri sendiri Kepentingan mencegah timbulnya kerugian Melawan pihak tergugat dan penggugat Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara b. VOEGING ( MENYERTAI ) Pihak ketiga memihak salah satu pihak. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan membela satu pihak. Memasukkan tuntutan terhadap pihak berperkara c. VRJWARING Pihak berperkara menarik pihak ketiga. Penarikan untuk meinta tanggungjawab. Misalnya : ( “P” digugat karena barang yang dibeli cacat padahal “T” membeli barang itu dari pihak ketiga). Catatan : intervensi didaftarkan dalam proses perkara berjalan, dikabulkan atau ditolak dengan Putusan Sela. REPLIK DAN DUPLIK Replik adalah tanggapan penggugat/pemohon atas jawaban tergugat/termohon. Replik harus relevan, terkait, dan mengacu pada jawaban tergugat/termohon yang dipandang masih perlu dijelaskan (yang masih disengketakan). Sedapat mungkin dihindarkan munculnya masalah baru. Target replik adalah mempertahankan kebenaran dalil-dalil dalam gugatan/permohonan dan sekaligus menanggapi hal-hal baru yang dikemukakan dalam jawaban tergugat. Replik juga harus dibuat secara sistematis, runtut, misalnya dimulai menanggapi eksepsi (jika ada), pokok perkara, dan baru rekonpensi (jika ada). Duplik adalah tanggapan tergugat/termohon atas replik penggugat/pemohon. Duplik juga harus relevan dan mengacu pada replik, dan diusahakan tidak memunculkan hal-hal baru, selain hanya mempertahankan dalil-dalil yang dikemukakan dalam jawaban adalah benar. Jika replik dan duplik dipandang belum cukup, maka para pihak bisa meminta kepada hakim memberikesempatan untuk menyampaikan rereplik dan reduplik. Tetapi ini jarang terjadi. Format surat jawaban, replik, dan duplik, pada prinsipnya sama dengan aturan suratgugatan/permohonan. PEMBUKTIAN



Dari proses jawab menjawab antara para pihak, maka sudah dapat disimpulkan (sementara) dalildalil mana yang telah disepakati (dalil tetap), dan mana yang belum disepakati dan masih disengketakan (dalil belum tetap). Hal-hal yang masih disengketan inilah yang harus dibuktikan. Dari sini para pihak sudah mengetahui bukti-bukti apa saja yang akan diajukan untuk mendukung dalil-dalilnya, baik bukti-bukti tertulis maupun keterangan saksi-saksi. Hakim wajib memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti. Alat-Alat Bukti Perdata 1. Surat a.akta autentik Sengaja dibuat sebagai alat bukti Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang Ditandatangani oleh pejabat yang berwenang Bermaterai cukup Bisa juga dibuat oleh pejabat umum ( PPAT, PPAIW, Juru sita dll. ) Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat. b.akta dibawah tangan Tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti. Bernilai pembuktian jika diakui oleh pembuatnya. Yang diakui baik isi maupun tanda tangannya. Kekuatan jika diakui ; sempurna, namun jika dibantah maka dianggap sebagai permulaan. 2. Keterangan saksi/saksi ahli Syarat formil Memberi keterangan Bukan yang dilarang ~ meliputi keluarga sedarah dan semenda Membuat garis lurus dari pihak ~ Istri ( suami dari pihak yang sudah cerai ) ~ Anak dibawah umur ~ Orang yang tidak waras Dengan syarat materiilnya, Keterangan yangdiberikan tentang peristiwa ynag dialami, dilihat atau didengarnya. Keterangan yang diberikan bersumber jelas Keterangan saksi harus bersesuaian satu dengan alat bukti yang lain. Keterangan saksi ahli berkaitan dengan keahliannya tentang suatu disiplin ilmu. Nilai kekuatan keterangan saksi dan saksi ahli bersifat bebas ( VRIJ BE WIJSKRACT ) Terserah Hakim Jazim Boleh Dipakai Ragu Boleh Ditinggal. Adapun jika seorang SAKSI /SAKSI AHLI ~ Menghadap Sidang ~ Memberi Keterangan ~ Bersumpah 3. Persangkaan Kesimpulan Yang Ditarik Dari Suatu Peristiwa, Yg Sudah Dikenal Dlm Kedalam Suatu Peristiwa Yang Belum Dikenal.



Yang Menarik Kesimpulan Adalah Hakim + Undang-Undang Persangkaan Merupakan Pembuktian Yang Tidak Langsung 4. Pengakuan Pernyataan Seseorang Tentang Dirinya Sendiri, Bersifat Sepihak Dan Tidak Memerlukan Persetujuan Pihak Lain. Adapun Pengakuan Ada Dua Bentuk Yaitu a.Pengakuan Dalam Sidang Diterapkan Dalam Persidangan Bisa Lisan Bisa Tertulis Dinyatakan Dng Tegas, Tidak Diam-Diam Berupa Membenarkan Peristiwa Dengan Mempuyai Kekuatan Nilai ; Bukti Sempurna Bukti Sempurna Tidak Dapat Dicabut Bersifat Menentukan Berakibat Tuntutan Harus Dikabulkan b.Pengakuan Diluar Sidang Merupakan Bukti Tidak Langsung Masih Harus Dibuktikan Dalam Sidang Kekuatannya Merupakan Bebas Namun Pengakuan Dalam Sidang Pun Dibagi Lagi Menjadi Dua Yaitu A. Pengakuan Murni Bersifat Sederhana, Mengakui Sepenuhnya Tuntutan Penggugat B. Pengakuan Tidak Murni Berkausual Dengan Tambahan Bersifat Pembebasan ~ Berkualifikasi Dengan Tambahan Sifat Menyanggah 5. Sumpah Ada Tiga Bentuk a.Decesoir Inisiatif Ada Pada Pihak Tidak Ada Bukti Baik Dari “T” / “P”. Dapat Dikembalikan Kekuatannya Bersifat Menentukan Dan Sempurna Berakibat Pihak Lawan Dikalahkan. b.Suplatoir Inisiatif Ada Pada Pihak Sudah Ada Bukti Permulaan Tidak Dapat Dikembalikan Kekuatannya Bersifat Menentukan c. Asimatoir Ex Officio Dari Hakim Kepada Penggugat Jumlah Ganti Rugi Kekuatan Masih Bisa Dilawan



KESIMPULAN Setelah Tahap Pembuktian Dinyatakan Selesai, Tahap Akhir Dari Seluruh Rangkaian Persidangan Perdata adalah para pihak diberi kesempatan untuk membuat kesimpulan akhir. Kesimpulan harus dibuat poin-poin yang sistematis, jelas, dan harus relevan dengan dalildalil yang pernah dikemukakan. Membuat kesimpulan tidak wajib, tetapi sangat penting dibuat untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan. Apalagi dalam perkara yang berkasnya cukup tebal, di mana hakim terkadang malas atau kurang cermat, kesimpulan sangat menentukan kemenangan. PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN BERDASARKAN PERMA NOMOR 01 TAHUN 2008



Jenis Perkara Yang Dimediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. [Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008] Tahap Pra Mediasi Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai Perma No. 1 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: A. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; B. Advokat atau akademisi hukum; C. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; D. Hakim majelis pemeriksa perkara; E. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. [Pasal 7 Perma No. 1 Tahun 2008]



Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. Jika setelah jangka waktu maksimal yaitu 2 (dua) hari, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. [Pasal 11 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. [Pasal 12 Perma No. 1 Tahun 2008] Tahap-Tahap Proses Mediasi Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008] Kewenangan Mediator Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturutturut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan



a. b. c. d.



pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. [Pasal 13 Perma No. 1 Tahun 2008] Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 14 Perma No. 1 Tahun 2008] Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. [Pasal 17 Perma No. 1 Tahun 2008] Tugas-Tugas Mediator: Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. [Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008] Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja, para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15 Perma No. 1 Tahun 2008, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.



a. b. c. d. e.



Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud diatas, berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. [Pasal 18 Perma No. 1 Tahun 2008] Tempat Penyelenggaraan Mediasi Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau ditempat lain yang disepakati oleh para pihak. Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. [Pasal 20 Perma No. 1 Tahun 2008] Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. Pengajuan gugatannya harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: sesuai kehendak para pihak tidak bertentangan dengan hukum tidak merugikan pihak ketiga dapat dieksekusi dengan iktikad baik. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008] Perdamaian Di Tingkat Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. [Pasal 23 Perma No. 1 Tahun 2008] CONTOH SURAT PERJANJIAN PERDAMAIAN TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA



PERJANJIAN PERDAMAIAN TENTANG PEMBAGIAN HARTA BERSAMA Yang bertanda tangan di bawah ini : 1. Nama: Alamat: selanjutnya disebut juga “PIHAK PERTAMA”; 2. Nama: Alamat: selanjutnya disebut juga “PIHAK KEDUA”; Untuk PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA selanjutnya disebut juga “PARA PIHAK”; PARA PIHAK menerangkan terlebih dahulu sebagai berikut: a. bahwa pada tanggal … PIHAK PERTAMA sebagai PENGGUGAT telah mengajukan gugatan terhadap PIHAK KEDUA sebagai TERGUGAT mengenai pembagian harta bersama di Pengadilan Negeri …; b. bahwa pada tanggal … PIHAK KEDUA sebagai TERGUGAT telah mengajukan Jawaban terhadap gugatan PIHAK PERTAMA tersebut; c. bahwa pada tanggal … kedua belah pihak telah bersepakat untuk menyelesaikan perkara yang timbul berdasarkan gugatan tersebut dalam bentuk perdamaian; Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, kedua belah pihak telah bersepakat untuk dan dengan ini mengadakan perjanjian perdamaian mengenai pembagian harta bersama dengan ketentuan-ketentuan dan persyaratan-persyaratan sebagai berikut: Pasal 1 Kedua belah pihak telah bersepakat bahwa harta bersama di antara kedua belah pihak adalah sebagai berikut: a. Sebidang tanah …, selanjutnya disebut juga “Harta A”; b. Satu unit kendaraan bermotor roda empat …, selanjutnya disebut juga “Harta B”; c. …, selanjutnya disebut juga “Harta C”; d. … , selanjutnya disebut juga “Harta D”; e. … , selanjutnya disebut juga “Harta E”. Pasal 2 Kedua belah pihak telah bersepakat untuk membagi harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 di antara kedua belah pihak dengan jalan menjual semua harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan kemudian membagi dengan bagian yang sama besarnya di antara kedua belah pihak uang hasil penjualan itu setelah dipotong dengan biaya pembuatan akta peralihan, pajak-pajak yang harus dibayar untuk peralihan tersebut, dan uang jasa yang harus dibayar kepada pihak yang ditunjuk untuk memasarkan harta tersebut. Pasal 3 (1) Kedua belah pihak telah bersepakat menunjuk pihak ketiga untuk memasarkan harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dengan harga jual sebagai berikut: a. Harta A dengan harga jual serendah-serendahnya sebesar Rp…, dan setinggi-tingginya sebesar Rp…; b. Harta B dengan harga jual serendah-serendahnya sebesar Rp…, dan setinggi-tingginya sebesar Rp…; c. Harta C dengan harga jual serendah-serendahnya sebesar Rp…, dan setinggi-tingginya sebesar Rp…;



(2) Jika di pasaran terjadi perubahan harga atas harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harga itu dapat dilakukan penyesuaian atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 4 Selama harta bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 belum terjual kepada pihak ketiga, biaya listrik, biaya air leding, iuran kebersihan dan keamanan, dan Pajak Bumi dan Bangunan dan biaya-biaya lain yang timbul dari harta tersebut akan ditanggung oleh kedua belah pihak masing-masing dengan bagian yang sama besarnya. Pasal 5 … Demikian perjanjian ini dibuat oleh kedua belah pihak dengan sebenarnya dalam keadaan sadar, sehat jasmani dan rohani, serta tanpa tekanan, paksaan, pengaruh dari apa dan siapa pun. Jakarta, … PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA, .............. ..............



Peraturan Mahkamah Agung R.I. no.1/2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Posted by teknosehat pada Oktober 21, 2008



PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. b. Bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif). c. Bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 RBg, mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di Pengadilan Negeri. d. Bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung. e. Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. Mengingat: 1. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Reglemen Indonesia yang diperbahrui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk



Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) Staatsblad 1927 Nomor 227; 3. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Lembaran Negara Nomor 8 Tahun 2004; 4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 2004 dan Tambahan Lembaran Negara No 4359 Tahun 2004; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, lembaran Negara Nomor 20 Tahun 1986, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran Negara Nomor 34 Tahun 2004; 6. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000. 7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Lembaran Negara Nomor 73 Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang -Undang Nomor 3 Tahun 2006, Lembaran Negara Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4611. MEMUTUSKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Perma adalah Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. 2. Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa. 3. Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk mengadili perkara perdata; 4. Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya; 5. Kesepakatan perdamaian adalah dokumen yang memuat syarat-syarat yang disepakati oleh para pihak guna mengakhiri sengketa yang merupakan hasil dari upaya perdamaian dengan bantuan seorang mediator atau lebih berdasarkan Peraturan ini; 6. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian; 7. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator;



8. Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bukan kuasa hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian; 9. Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan ini; 10. Resume perkara adalah dokumen yang dibuat oleh tiap pihak yang memuat duduk perkara dan atau usulan penyelesaian sengketa; 11. Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung; 12. Proses mediasi tertutup adalah bahwa pertemuan-pertemuan mediasi hanya dihadiri para pihak atau kuasa hukum mereka dan mediator atau pihak lain yang diizinkan oleh para pihak serta dinamika yang terjadi dalam pertemuan tidak boleh disampaikan kepada publik terkecuali atas izin para pihak. 13. Pengadilan adalah Pengadilan Tingkat Pertama dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. 14. Pengadilan Tinggi adalah pengadilan tinggi dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama. Pasal 2 Ruang lingkup dan Kekuatan Berlaku Perma (1) Peraturan Mahkamah Agung ini hanya berlaku untuk mediasi yang terkait dengan proses berperkara di Pengadilan. (2) Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam Peraturan ini. (3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. (4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Pasal 3 Biaya Pemanggilan Para Pihak (1) Biaya pemanggilan para pihak untuk menghadiri proses mediasi lebih dahulu dibebankan kepada pihak penggugat melalui uang panjar biaya perkara. (2) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung bersama atau sesuai kesepakatan para pihak. (3) Jika mediasi gagal menghasilkan kesepakatan, biaya pemanggilan para pihak dalam proses mediasi dibebankan kepada pihak yang oleh hakim dihukum membayar biaya perkara. Pasal 4 Jenis Perkara Yang Dimediasi Kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan



Usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator. Pasal 5 Sertifikasi Mediator (1) Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2) Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. (3) Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia; b. memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi; c. sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan; d. memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pasal 6 Sifat Proses Mediasi Proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain. BAB II Tahap Pra Mediasi Pasal 7 Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum (1) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. (2) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. (3) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (4) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. (5) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak



menempuh proses mediasi. (6) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa. Pasal 8 Hak Para Pihak Memilih Mediator (1) Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut: a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. (2) Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri. Pasal 9 Daftar Mediator (1) Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator dan disertai dengan latarbelakang pendidikan atau pengalaman para mediator. (2) Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. (3) Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. (4) Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar mediator pada pengadilan yang bersangkutan. (5) Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. (6) Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. (7) Ketua Pengadilan berwenang mengeluarkan nama mediator dari daftar mediator berdasarkan alasan-alasan objektif, antara lain, karena mutasi tugas, berhalangan tetap, ketidakaktifan setelah penugasan dan pelanggaran atas pedoman perilaku. Pasal 10 Honorarium Mediator (1) Penggunaan jasa mediator hakim tidak dipungut biaya. (2) Uang jasa mediator bukan hakim ditanggung bersama oleh para pihak atau berdasarkan kesepakatan para pihak.



Pasal 11 Batas Waktu Pemilihan Mediator (1) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim. (2) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim. (3) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas. (4) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim. (5) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator. (6) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. Pasal 12 Menempuh Mediasi dengan Iktikad Baik (1) Para pihak wajib menempuh proses mediasi dengan iktikad baik. (2) Salah satu pihak dapat menyatakan mundur dari proses mediasi jika pihak lawan menempuh mediasi dengan iktikad tidak baik. BAB III Tahap-Tahap Proses Mediasi Pasal 13 Penyerahan Resume Perkara dan Lama Waktu Proses Mediasi (1) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masingmasing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator. (2) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk. (3) Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) dan (6). (4) Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. (5) Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.



(6) Jika diperlukan dan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi. Pasal 14 Kewenangan Mediator Menyatakan Mediasi Gagal (1). Mediator berkewajiban menyatakan mediasi telah gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut. (2) Jika setelah proses mediasi berjalan, mediator memahami bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasi melibatkan aset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat gugatan sehingga pihak lain yang berkepentingan tidak dapat menjadi salah satu pihak dalam proses mediasi, mediator dapat menyampaikan kepada para pihak dan hakim pemeriksa bahwa perkara yang bersangkutan tidak layak untuk dimediasi dengan alasan para pihak tidak lengkap. Pasal 15 Tugas-Tugas Mediator (1) Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati. (2) Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam proses mediasi. (3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. (4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak. Pasal 16 Keterlibatan Ahli (1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat di antara para pihak. (2) Para pihak harus lebih dahulu mencapai kesepakatan tentang kekuatan mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan atau penilaian seorang ahli. (3) Semua biaya untuk kepentingan seorang ahli atau lebih dalam proses mediasi ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan. Pasal 17 Mencapai Kesepakatan (1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan



secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. (2) Jika dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. (3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. (4) Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. (5) Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. (6) Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai. Pasal 18 Tidak Mencapai Kesepakatan (1). Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3), para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan atau karena sebab-sebab yang terkandung dalam Pasal 15, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. (2). Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. (3) Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. (4) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan. Pasal 19 Keterpisahan Mediasi dari Litigasi (1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lain. (2) Catatan mediator wajib dimusnahkan. (3) Mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan. (4) Mediator tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata atas isi kesepakatan perdamaian hasil proses mediasi.



BAB IV Tempat Penyelenggaraan Mediasi Pasal 20 (1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama atau di tempat lain yang disepakati oleh para pihak. (2) Mediator hakim tidak boleh menyelenggarakan mediasi di luar pengadilan. (3) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang Pengadilan Tingkat Pertama tidak dikenakan biaya. (4) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan. BAB V PERDAMAIAN DI TINGKAT BANDING, KASASI, DAN PENINJAUAN KEMBALI Pasal 21 (1) Para pihak, atas dasar kesepakatan mereka, dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding, kasasi, atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus. (2) Kesepakatan para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili. (3) Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang mengadili segera memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding yang berwenang atau Ketua Mahkamah Agung tentang kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian. (4) Jika perkara yang bersangkutan sedang diperiksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali majelis hakim pemeriksa di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 (empat belas) hari kerja sejak menerima pemberitahuan tentang kehendak para pihak menempuh perdamaian. (5) Jika berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali belum dikirimkan, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib menunda pengiriman berkas atau memori banding, kasasi, dan peninjauan kembali untuk memberi kesempatan para pihak mengupayakan perdamaian. Pasal 22 (1) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak penyampaian kehendak tertulis para pihak diterima Ketua Pengadilan Tingkat Pertama. (2) Upaya perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut di tingkat pertama atau di tempat lain atas persetujuan para pihak. (3) Jika para pihak menghendaki mediator, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan menunjuk seorang hakim atau lebih untuk menjadi mediator.



(4) Mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), tidak boleh berasal dari majelis hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan pada Pengadilan Tingkat Pertama, terkecuali tidak ada hakim lain pada Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. (5) Para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. (6) Akta perdamaian ditandatangani oleh majelis hakim banding, kasasi, atau peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dicatat dalam register induk perkara. (7) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5) peraturan ini, jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian yang telah diteliti oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan para pihak menginginkan perdamaian tersebut dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, berkas dan kesepakatan perdamaian tersebut dikirimkan ke pengadilan tingkat banding atau Mahkamah Agung. Bab VI Kesepakatan di Luar Pengadilan Pasal 23 (1) Para pihak dengan bantuan mediator besertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan. (2) Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai atau dilampiri dengan kesepakatan perdamaian dan dokumen-dokumen yang membuktikan ada hubungan hukum para pihak dengan objek sengketa. (3) Hakim dihadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. sesuai kehendak para pihak; b. tidak bertentangan dengan hukum; c. tidak merugikan pihak ketiga; d. dapat dieksekusi. e. dengan iktikad baik. Bab VII Pedoman Perilaku Mediator dan Insentif Pasal 24 (1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator (2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator.



Pasal 25 (1) Mahkamah Agung menyediakan sarana yang dibutuhkan bagi proses mediasi dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. (2) Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. BAB VIII Penutup Pasal 26 Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 27 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 31 Juli 2008 KETUA MAHKAMAH AGUNG BAGIR MANAN