Alasan Melakukan Riba Sampai Selesai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Alasan Melakukan Riba 1. Lemahnya keimanan 2. Tidak takut kepada Allah 3. Diperbudak oleh dunia 4. Berasumsi selalu mendapat keuntungan Alasan Pembenaran Melakukan Riba (Disarikan dari Buku ‘Nasihatul Mukminin’ karya KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA. *) – KH. Drs. Yakhsyallah Mansur, MA. adalah Dosen Ulumul Quran Sekolah Tinggi Shuffah Al Quran Abdullah bin Masud Lampung. Aktif narasumber Kajian Al Quran berbagai media.)



Sudah jelas pengambilan uang riba itu diharamkan. Tapi tetap saja masih ada cendekiawan yang mencoba untuk memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang. Padahal ayat-ayat dan hadits riba sudah sangat jelas dan sharih menjelaskan haramnya pengambilan uang riba tersebut. Berikut di antaranya alasan cendekiawan yang membenarkan akan pengambilan riba: 1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya. Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat seperti yang dinyatakan syara’ (Alah dan Rasul-Nya), bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini. Imam Suyuti dalam bukunya, al-Asybah wan Nadzair menegaskan bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan dengan cepat, akan membawanya ke jurang kehancuran atau kematian.” Dalam literatur klasik, emergency ini sering di contohkan dengan seseorang yang tersesat di hutan dan tidak ada makanan yang lain kecuali daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah menghalalkan daging babi dengan batasan-batasan. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disebut selain Allah Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al Baqarah [2]: 173) Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penerapan al Qawaid al Fiqhiyyah seputar keadaan darurat. Sesuai dengan ayat di atas, para ulama merumuskan kaidah: َّ ُ ‫الض ُرور‬ َ ‫بِ َقد َِر‬ ُ‫َات‬ ‫ها تُ َّق َّد ُُر‬ “Darurat itu harus dibatasi sesuai kadarnya”. Artinya, darurat itu ada masa berlakunya serta ada batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk memakan daging babi menjadi hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup



cukup dengan tiga suap, tidak boleh melampui batas hingga tujuh atau sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangganya. 2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja dilarang, sedangkan suku bunga yang “wajar” dan tidak mendzalimi, diperkenankan. Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.” Sepintas, surat Ali Imran ayat 130 itu memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, jika memahami kembali ayat tersebut secara cermat, termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan. Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba. Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar daripada semula. Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus 6 kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam Ada pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan wajar-wajar saja dibenarkan. Pendapat ini berasal dari pemahaman yang keliru atas surat Ali Imran [3] ayat 130:



َّ ‫ض ا عَ ف َ ة ً ۖ َو ا ت َّق ُوا‬ ‫ّللا َ ل َ ع َ ل َّ كُ ْم‬ ْ َ ‫الر ب َ ا أ‬ َ ‫ض ع َ ا ف ً ا ُم‬ ِ ‫ي َ ا أ َي ُّ َه ا ال َّ ِذ ي َن آ َم ن ُ وا ََل ت َأ ْكُ ل ُوا‬ ‫ت ُفْ لِ ُح و َن‬ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.



Sepintas, surah Ali Imran 130 ini memang hanya melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap fase-fase pelanggaran riba secara menyeluruh akan sampai pada kesimpulan bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan. Kriteria berlipat ganda dalam ayat ini harus dipahami sebagai hal atau sifat dari riba dan sama sekali bukan merupakan syarat. Syarat berarti kalau terjadi pelipatgandaan maka riba, jika kecil maka tidak riba.



Menanggapi hal ini, Dr. Abdullah Draz, dalam salah satu konferensi fiqih Islami di Paris tahun 1978, menegaskan kerapuhan asumsi syarat tersebut. Ia menjelaskan secara linguistik (‫)ضعف‬arti “kelipatan”. Sesuatu berlipat minimal 2 kali lebih besar dari semula, sedangkan (‫ )أضعاف‬adalah bentuk jamak dari kelipatan tadi. Minimal jamak adalah 3. dengan demikian, (‫ )أضعافا‬berarti 3×2=6. Adapun (‫ )مضاعفة‬dalam ayat adalah ta’kid (penguatan). Dengan demikian, menurutnya, kalau berlipat ganda itu dijadikan syarat maka sesuai dengan konsekuensi bahasa, minimum harus enam kali atau bunga 600%. Secara operasional dan nalar sehat, angka itu mustahil terjadi dalam proses perbankan maupun simpan pinjam. Menanggapi pembahasan surah Ali Imran ayat 130 ini, Syekh Umar Bin Abdul Aziz al Matruk, penulis buku Ar Riba wal Muamalat Al mashrafiyyah ri Nadzri ash Syariah al Islamiah, menegaskan: ‫هذا الربا كل يبلغ أن المقصود فليس فيها باإلضعاف والتعبير عمران آل بأية االستدالل أما‬ ‫هذا أصح ولهذا السنين تعاقب مع كذلك يصبح أن عامة الربا شأن من المقصود بل الملغ‬ ‫الشرع لغة في للربا عاما وصفا التعبير‬ “Adapun yang dimaksud dengan ayat 130 surah Ali Imran, termasuk redaksi berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda) menjadi sifat umum dari riba dalam terminologi syara (Allah dan Rasul-Nya). Dr. Sami Hasan Hamoud dalam bukunya, Tathwiir al A’maali al Mashrafiyyah bimaa yattafiqu wasy-syariah halaman 138-139 menjelaskan bahwa bangsa Arab di samping melakukan pinjam meminjam dalam bentuk uang dan barang bergerak juga melakukannya dalam ternak. Mereka biasa meminjamkan ternak berumur 2 tahun (bint makhad) dan meminta kembalian berumur 3 tahun (bint Labun). Kalau meminjamkan bint labun, meminta kembalian haqqah (berumur 4 tahun). Kalau meminjamkan haqqah, meminta kembalian jadzaah (berumur 5 tahun). Kriteria tahun dan umur ternak terkadang loncat dan tidak harus berurutan bergantung pada kekuatan supply and demand (permintaan dan penawaran) di pasar. Dengan demikian, kriteria tahun bisa berlipat dari ternak berumur 1 ke 2, bahkan ke 3 tahun.



Perlu direnungi pula bahwa penggunaan kaidah mafhum mukhalafah dalam konteks Ali Imran: 130 sangatlah menyimpang, baik dari siyaqul kalam, konteks antar ayat, kronologis penururunan wahyu, maupun sabda sabda Rasulullah seputar pembungaan uang serta praktik riba pada masa itu. Secara sederhana, jika kita menggunakan logika mafhum mukhlafah yang berarti konsekuensi secara terbalik, jika berlipat ganda dilarang, maka kecil boleh; jika tidak sendirian, ya bergerombol; jika tidak di dalam, ya di luar; dan sebagainya- kita akan salah kaprah dalam memahami pesan-pesan Allah.



O O



O O



Dampak Riba 1. Dampak negatif riba bagi individu menurut pandangan Islam Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa Memakan riba menyebabkan pelakunya mendapat laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah.



2. Dampak negatif riba bagi masyarakat menurut pandangan Islam O Riba menimbulkan permusuhan dan kebencian antar individu dan masyarakat serta menumbuh kembangkan fitnah dan terputusnya jalinan persaudaraan. O Masyarakat yang berinteraksi dengan riba adalah masyarakat yang miskin, tidak memiliki rasa simpatik. O Perbuatan riba mengarahkan ekonomi ke arah yang menyimpang dan hal tersebut mengakibatkan ishraf (pemborosan). O Riba mengakibatkan harta kaum muslimin berada dalam genggaman musuh dan hal ini salah satu musibah terbesar yang menimpa kaum muslimin. O Tersebarnya riba merupakan “pernyataan tidak langsung” dari suatu kaum bahwa mereka berhak dan layak untuk mendapatkan adzab dari Allah ta’ala.



O



Bahaya riba yang sangat besar ternyata tidak hanya mengancam kehidupan akhirat seorang muslim. Bahaya riba secara nyata juga dapat berdampak buruk bagi kehidupan baik pada tingkat pribadi maupun masyarakat. Bagi seorang pribadi, riba merupakan cerminan buruknya akhlak karena pelaku riba identik dengan sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras, menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya. Selain itu riba dapat melunturkan sifat belas kasih dan rasa simpati yang dimiliki orang seseorang. Buruknya akhlak seseorang tentu memiliki dampak buruk terutama berkaitan dengan hubungannya dengan orang lain. Selain itu, menurut Dr. Abdul Aziz Ismail (dosen di salah satu fakultas kedokteran di Mesir) riba dapat berdampak buruk terhadap kesehatan seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, bahkan stroke, pendarahan di otak dan mati mendadak (Tarmizi, 2014, hal. 343).



O



O O O O



Kondisi ini umumnya terjadi pada saat kondisi ekonomi yang sedang memburuk sehingga membebani kesahatan pelaku riba yang umumnya bersifat kikir dan tamak terhadap harta. Selain memiliki bahaya terhadap pribadi atau individual, riba juga dapat memberikan dampak bagi kehidupan dalam masyarakat. Pertama riba dapat merusak sumber daya manusia, sebab menurut Ar Razy (wafat 606H) menciptakan manusia-manusia yang malas bekerja dan takut mengambil resiko untuk mengembangkan hartanya (Tarmizi, 2014, hal. 345). Padahal sumber daya manusia merupakan penggerak utama roda ekonomi suatu masyarakat. Kedua riba menjadi salah satu penyebab inflasi dorongan biaya. Hal ini disebabkan seorang produsen yang meminjam uang untuk mengembangkan usahanya harus membayar sejumlah biaya bunga (riba), untuk menutupi biaya tersebut produsen akan menaikkan harga sehingga dalam skala makro berkontribusi dalam meningkatkan inflasi. Ketiga, riba dapat menciptakan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Hal ini disebabkan pihak yang memiliki kelebihan dana akan meminjamkan dana yang dimilikinya untuk memperoleh pendapatan dan sudah dipastikan akan mendapatkan keuntungan dari dana yang dipinjamkan tersebut. Sedangkan disisi lain, pihak peminjam akan tetap menghadapi risiko untung-rugi dari dana yang dipinjamnya untuk melakukan usaha. Selain itu peminjam juga harus mengeluarkan biaya ekstra yaitu bunga (riba) dari pinjamannya dimana hal tersebut tentu mengurangi kesejahteraannya. Keempat, perilaku riba dapat menciptakan beragam penindasan, permusuhan, dan perpecahan ditengah masyarakat. Referensi Muslim, M. N. (2008, Maret 18). Riba dan Dampaknya (2). Diambil kembali dari Muslim.or.id: https://muslim.or.id/576-riba-dan-dampaknya-2.html Tarmizi, E. (2014). Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: BMI Publishing.



Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil Bunga



Bagi Hasil



Penentuan tingkat suku bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi selalu untung



Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan asumsi pada kemungkinan untung rugi



Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan



Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh



Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi



Bagi hasil tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan sekiranya itu tidak mendapatkan keuntungan, kerugian akan ditanggung kedua belah pihak



Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”



Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan



Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan



Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil



Pendapat Ulama tentang Bunga Bank Pendapat para Ulama ahli fiqh bahwa bunga yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (utang piutang, al-qardh wa al-iqtiradh) telah memenuhi kriteria riba yang di haramkan Allah SWT., seperti dikemukakan,antara lain,olehAl-Nawawi berkata, al-Mawardi berkata: Sahabatsahabat kami (ulama mazhab Syafi'I) berbeda pendapat tentang pengharaman riba yang ditegaskan oleh al-Qur'an, atas dua pandangan.Pertama, pengharaman tersebut bersifat mujmal (global) yang dijelaskan oleh sunnah. Setiap hukum tentang riba yang dikemukakan oleh sunnah adalah merupakan penjelasan (bayan) terhadap kemujmalan al Qur'an, baik riba naqad maupun riba nasi'ah.Kedua, bahwa pengharaman riba dalam al-Qur'an sesungguhnya hanya mencakup riba nasai'yang dikenal oleh masyarakat Jahiliah dan permintaan tambahan atas harta (piutang) disebabkan penambahan masa (pelunasan). Salah seorang di antara mereka apabila jatuh tempo pembayaran piutangnya dan pihang berhutang tidak membayarnya,ia menambahkan piutangnya dan menambahkan pula masa pembayarannya. Hal seperti itu dilakukan lagi pada saat jatuh tempo berikutnya. Itulah maksud firman Allah : "… janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda… " kemudian Sunnah menambahkan riba dalam pertukaran mata uang (naqad) terhadap bentuk riba yang terdapat dalam al-Qur'an. Bunga uang atas pinjaman (Qardh) yang berlaku di atas lebih buruk dari riba yang di haramkan Allah SWT dalam Al-Quran,karena dalam riba tambahan hanya dikenakan pada saat jatuh tempo. Sedangkan dalam system bunga tambahan sudah langsung dikenakan sejak terjadi transaksi. Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan fatwa pengharaman bunga bank. Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh AlSyirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga. Ketetapan akan keharaman bunga Bank oleh berbagai forum Ulama Internasional, antara lain:      



Majma'ul Buhuts al-Islamy di Al-Azhar Mesir pada Mei 1965 Majma' al-Fiqh al-Islamy Negara-negara OKI Yang di selenggarakan di Jeddah tgl 10-16 Rabi'ul Awal 1406 H/22 28 Desember 1985. Majma' Fiqh Rabithah al-Alam al-Islamy, keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di makkah tanggal 12-19 Rajab 1406 H. Keputusan Dar Al-Itfa, kerajaan Saudi Arabia,1979 Keputusan Supreme Shariah Court Pakistan 22 Desember 1999. Fatwa Dewan Syari'ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan bahwa bunga tidak sesuai dengan Syari'ah.







  



Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammdiyah tahun 1968 di Sidoarjo yang menyarankan kepada PP Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi system perekonomian khususnya Lembaga Perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung yang mengamanatkan berdirinya Bank Islam dengan system tanpa Bunga. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/fa'idah), tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqa'idah 1424/03 Januari 2004;28 Dzulqa'idah 1424/17 Januari 2004;dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004