AMENORE [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

AMENORE A. PENDAHULUAN Siklus menstruasi seseorang dapat menjadi indikator kesehatan secara keseluruhan



dan persepsi diri



tentang



kesejahteraan.



Amenore



primer



didefinisikan sebagai tidak adanya menstruasi seumur hidup, memerlukan evaluasi jika menarche belum terjadi pada usia 15 tahun atau tiga tahun pascatelarche. Sedangkan amenore sekunder ditandai dengan penghentian menstruasi yang sebelumnya teratur selama tiga bulan atau menstruasi yang sebelumnya tidak teratur selama enam bulan dan memerlukan evaluasi. Dokter dapat mempertimbangkan etiologi amenore yang dikategorikan sebagai kelainan outflow tract, insufisiensi ovarium primer, gangguan hipotalamus atau hipofisis, gangguan kelenjar endokrin lainnya, gejala sisa penyakit kronis, fisiologis, atau karena diinduksi. Anamnesis harus mencakup onset dan pola menstruasi, kebiasaan makan dan olahraga, adanya stresor psikososial, perubahan berat badan, penggunaan obat-obatan, galaktorea, dan penyakit kronis. Pertanyaan tambahan dapat menargetkan gejala neurologis, vasomotor, hiperandrogenik, atau terkait tiroid. Pemeriksaan fisik harus mengidentifikasi tren perkembangan antropometrik dan pubertas. Semua pasien harus disarankan untuk menjalani tes kehamilan dan pemeriksaan follicle-stimulating hormone, luteinizing hormone, prolactin, dan thyroid-stimulating hormone. Tatalaksana dari amenore harus mengatasi penyebab yang mendasarinya.. Amenore dapat dikaitkan dengan patologi yang menantang secara klinis dan mungkin membutuhkan perawatan seumur hidup.



B. AMENORE 1. Definisi Pasien-pasien yang memenuhi kriteria di bawah ini disebut amenorrhea (Speroff dan Fritz, 2005): a. Tidak mengalami menstruasi hingga usia 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan dan perkembangan tanda kelamin sekunder. b. Tidak mengalami menstruasi hingga usia 16 tahun meskipun terdapat pertumbuhan dan perkembangan normal dengan adanya tanda kelamin sekunder. c. Pada seorang wanita yang telah mengalami menstruasi, namun tidak mengalami menstruasi selama suatu rentang waktu selama paling tidak 3 interval siklus sebelumnya atau amenorrhea selama 6 bulan. 2. Epidemiologi Insiden amenore primer di Amerika Serikat kurang dari 1%. Setiap tahun, sekitar 5-7% wanita yang mengalami menstruasi di AS mengalami 3 bulan amenore sekunder. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa prevalensi amenore dipengaruhi oleh kelompok etnis. Namun, faktor lingkungan lokal yang terkait dengan nutrisi dan prevalensi penyakit kronis berpengaruh terhadap kejadian amenore. Misalnya, usia menstruasi pertama bervariasi berdasarkan lokasi geografis, seperti yang dipaparkan dalam studi World Health Organization



(WHO) dengan membandingkan 11 negara,



melaporkan bahwa usia rata-rata menarche bervariasi antara 13-16 tahun di berbagai senter (Desapri and Lucidi, 2019). Peningkatan tren kejadian obesitas anak-anak baru-baru ini di seluruh dunia juga dapat berkontribusi terhadap timbulnya menarche lebih dini dan peningkatan prevalensi gangguan menstruasi terkait obesitas, terutama di daerah-daerah dimana obesitas lebih banyak terjadi. Paparan terhadap racun atau toksin lingkungan, yaitu hormonally active endocrine disruptors, juga



dapat menyebabkan peningkatan kejadian gangguan menstruasi dan reproduksi di daerah endemis (Desapri and Lucidi, 2019). 3. Klasifikasi Amenore dapat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu amenore primer dan amenore sekunder. Amenore primer adalah tidak adanya inisiasi menstruasi, dan amenore sekunder adalah tidak adanya menstruasi pada wanita menstruasi yang sebelumnya normal (Klein et al., 2019). 4. Evaluasi Amenore dan Work-Up Diagnosis Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama harus mencari informasi sebagai berikut: bukti adanya gangguan psikologis ataupun strss emosional, riwayat keluarga dengan anomali genetik yang nyata, tanda adanya permasalahan dalam status nutrisional, abnormalitas tumbuhkembang, adanya traktus reproduksi yang normal, dan bukti adanya penyakit pada susunan saraf pusat. Pasien dengan amenorrhea selanjunya menjalani kombinasi terapeutik dan analisis laboratoris sesuai dengan gambar diagram algoritme. Oleh karena sejumlah besar pasien dengan amenorrhea juga mengalami galaktorrhea (sekresi ASI di luar masa menyusui/nonpuerperal breast secretion), sehingga terdapat kemiripan dalam evaluasi kedua kondisi ini, kerangka kerja yang dijelaskan di sini sesuai untuk pasien dengan amenorrhea, galaktorrhea, ataupun keduanya. Galaktorrhea merupakan temuan fisik klinis yang penting, baik apakah terjadi secara spontan ataupun hanya nampak dengan pemeriksaan yang seksama oleh pemeriksa, unilateral ataupun bilateral, persisten ataupun intermiten. Sekresi hormonal biasanya berasal dari duktus yang multipel, berbeda dengan sekresi patologis yang biasanya berasal dari duktus tunggal.



Amenorrhea dan galaktorrhea merupakan informasi awal tunggal yang berdiri sendiri. Meskipun pada saat ini pasti didapatkan informasi atau data tambahan baik dari anamnesis ataupun pemeriksaan fisik, serta evaluasi terhadap kelenjar endokrin lainnya seperti misalnya kelenjar thyroid dan adrenal, namun informasi ini sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar diagnosis hingga keseluruhan kerangka kerja telah lengkap. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kesalahan diagnostik yang terlalu dini, meskipun kadang akurat, tidak jarang berujung pada penilaian yang sangat salah sehingga dilakukan pemeriksaan tambahan yang tidak tepat, mahal, dan tidak berguna. a. Langkah 1 Langkah awal dalam kerangka kerja paien amenorrhea setelah dapat menyingkirkan adanya kehamilan dimulai dengan pengukuran kadar TSH, kadar prolaktin, dan tes progesteron. Sedangkan langkah awal pada pasien dengan galakthorrhea, lpas dari riwayat menstruasi, juga meliputi pengukuran TSH dan prolaktin, namun ditambahkan dengan pencitraan sella tursica. Pemeriksaan radiologis terhadap sella tursica bisa tidak dilakukan pada pasien dengan galaktorrhea, namun dengan siklus menstruasi ovulatorik yang teratur. Hanya pada beberapa pasien dengan amenorrhea



dan/atau



galaktorrhea



akan



disertai



pula



dengan



hipothyroidisme yang tidak secara klinis nampak nyata. Meskipun tampaknya terlalu berlebihan untuk memeriksa kadar TSH pada sejumlah besar pasien untuk informasi balik yang sangat kecil, namun karena terapi untuk hipothyroidisme sangatlah sederhana dan dapat dengan cepat mengembalikan



siklus



ovulatorik,



serta



jika



memang



terdapat



galaktorrhea tanpa sekresi ASI yang nyata (proses yang lebih lambat dapat mencapai beberapa bulan), maka hal tersebut mengakibatkan



pemeriksaan TSH merupakan hal yang penting dilakukan (Speroff and Fritz, 2005)s. Durasi hipothyroidisme merupakan hal yang penting kaitannya dengan mekanisme terjadinya galaktorrhea; semakin lama durasi hipothyroidisme maka akan semakin tinggi insidens galaktorrhea dan semakin tinggi pula kadar prolaktin. Hal ini diduga berkaitan dengan penurunan jumlah dopamin dalam hipothalamus seiring dengan berlangsungnya hipothyroidisme. Hal ini akan mengakibatkan tidak adanya umpan balik terhadap efek stimulasi thyrotropin-releasing hormone (TRH) terhadap sel-sel hipofise yang mensekresi prolaktin. Menurut pengalaman kami, kadar prolaktin yang diakibatkan oleh adanya hipothyrodisme selalu kurang dari 100 ng/mL (Speroff and Fritz, 2005). Stimulasi konstan oleh hypothalamic-releasing hormones dapat mengakibatkan terjadinya hipertrofi ataupun hiperplasia hipofise. Oleh karena itu, gambaran radiologis yang menunjukkan adanya tumor (distorsi, ekspansi, ataupun erosi pada sella tursica) dapat pula dijumpai pada kasus dengan hipothyroidisme primer dan pada pasien dengan kenaikan kadar GnRH dan kenaikan sekresi gonadotropin yang diakibatkan oleh kegagalan ovarium yang terlalu dini. Terapi yang sesuai, akan diikuti dengan normalisasi gambaran awal yang terjadi dengan cepat. Pasien dengan hipothyroidisme dan hiperprolaktinemia primer dapat mengalami amenorrhea, baik primer ataupun sekunder (Speroff and Fritz, 2005). Tujuan dari dilakukannya tes progesteron adalah untuk mengukur kadar estrogen endogen dan kompetensi traktus outflow. Pada pasien diberikan serangkaian agen progetasional yang akan secara total menghambat aktivitas estrogenik. Terdapat 3 macam pilihan pemberian: secara parenteral yaitu progesteron dalam minyak (200mg); pemberian



micronized progesterone per oral, 300 mg per hari; atau pemberian preparat aktif medroxyprogesterone acetat per oral 10 mg per hari selama 5 hari. Pemberian preparat aktif secara per oral dapat menghindari ketidaknyamanan pemberian melalui injeksi IM (meskipun hal ini mungkin diperlukan jika mempertimbangkan faktor kepatuhan pasien). Dosis micronized progesterone relatif tinggi dan sebaiknya diberikan menjelang tidur untuk menghindari efek samping. Preparat hormonal lainnya seperti misalnya alat kontrasepsi oral, dalam hal ini bukanlah preparat yang tepat karena tidak memberikan efek progestasional yang murni (Speroff and Fritz, 2005). Dalam jangka waktu 2-7 hari setelah pemberian preparat progesteron, pasien akan mengalami perdarahan per vaginam atau bisa juga tidak. Jika pasien mengalami perdarahan per vaginam, artinya diagnosis anovulasi telah dapat ditegakkan. Adanya traktus outflow yang fungsional dan uterus dengan lapisan endometrium yang secara adekuat telah disiapkan oleh estrogen endogen telah behasil dikonfirmasi. Gambaran ini menunjukkan adanya estrogen serta fungsi minimal ovarium, hipofise, dan SSP. Bila tidak disertai dengan adanya galaktorrhea, dan kadar prolaktin serta TSH normal, maka tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut lagi (Speroff and Fritz, 2005). Seberapa banyak jumlah perdarahan yang menunjukkan respon lepas obat yang positif? Gambaran hanya beberapa bercak darah setelah pemberian rangkaian medikasi progesteron menekankan kadar marginal estrogen endogen. Pasien dengan hasil seperti ini harus terus diamati dengan cermat dan secara periodik dievaluasi ulang, oleh karena respon positif yang marginal dapat melanjut ke respon negatif, yang artinya menempatkan pasien pada kategori diagnostik yang baru. Perdarahan



dengan jumlah lebih banyak dari beberapa bercak darah, dikategorikan sebagai respon lepas obat yang positif (Speroff and Fritz, 2005). Terdapat 2 situasi klinis yang berkaitan dengan respon lepas obat negatif, meskipun terdapat kadar estrogen endogen yang adekuat. pada kedua situasi ini, endometrium mengalami desidualisasi dan oleh karena itu tidak gugur setelah terjadi withdrawal progestin eksogen. Kondisi pertama berupa endometrium yang mengalami desidualisasi sebagai respon terhadap kadar androgen yang tinggi. Pada kondisi klinis ke-dua yang jarang terjadi, dijumpai endometrium yang mengalami desidualisasi oleh tingginya kadar progesteron atau androgen, kaitannya dengan defisiensi enzim adrenal spesifik. Respon klinis seperti ini tidak jarang dijumpai pada pasien dengan hiperandrogenemia bermakna yang disertai dengan anovulasi dan polikistik ovarium (Speroff and Fritz, 2005). Semua pasien anovulatori membutuhkan penatalaksanaan terapeutik, dan dengan evaluasi yang minimal ini, terapi dapat segera direncanakan. Oleh karena adanya periode laten yang singkat dalam progresi jaringan endometrium yang normal menjadi atipik dan selnjautnya menjadi kanker, maka klinisi sensitif terhadap terjadinya kanker endometrial. Namun, sering kali para klinisi berpandangan bahwa permasalahan ini hanya terbatas pada usia tua. Gambaran kritis dalam kasus ini adalah paparan konstan estrogen tanpa adanya umpan balik. Sehingga, bahkan pada wanita muda sekalipun, dengan adanya siklus anovulatorik dalam rentang waktu yang lama dapat mengalami perkembangan kanker endometrial. Jika terdapat kecurigaan ke arah itu, perlu dilakukan evaluasi endometrium dengan menggunakan kuretase aspirasi. Di sisi lain, fase laten untuk kanker payudara relatif lama, mungkin mencapai 20 tahun. Sehingga wanita yang saat muda anovulatorik, mungkin mengalami kenaikan probabilitas kanker payudara saat post-menopausal.



Hal ini menggambarkan paparan terhadap estrogen tanpa adanya umpan balik negatif, atau bisa jadi merupakan konsekuensi infertilitas dan tidak adanya proteksi terhadap kanker payudara dengan adanya kehamilan pada awal masa reproduksi. Meskipun demikian, beberapa penelitian tidak menemukan hubungan antara anovulasi dengan resiko kanker payudara (Speroff and Fritz, 2005). Terapi minimal pada wanita anovulatorik membutuhkan pemberian preparat progesteron secara bulanan. Program yang dapat dengan mudah diingat oleh pasien adalah pemberian 5 mg medroxyprogesterone acetat per hari selama 2 minggu pertama tiap bulannya. Pengalaman dengan endometrium dalam program terapi estrogen telah menegaskan pentingnya pemberian selama lebih dari 10 hari untuk memberikan proteksi yang adekuat terhadap efek growth-promoting estrogen yang konstan. Jika penting untuk didapatkan kontrasepsi mantap, maka pemberian pil kontrasepsi oral dosis rendah dengan siklus seperti biasa merupakan hal yang tepat. Percobaan yang dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara penggunaan pil dan amenorrhea setelah periode penggunaan pil tersebut tidaklah berhasil. Anovulasi dengan amenorrhea ataupun oligomenorrhea bukanlah kontra indikasi untuk menggunakan kontrasepsi oral. Penggunaan metode kontrasepsi estrogen-progestin transdermal ataupun vaginal juga merupakan hal yang dapat dilakukan (Speroff and Fritz, 2005). Jika pasien anovulatorik gagal mengalami withdrawal bleeding dengan pemberian program progestin bulanan, hal ini merupakan tanda (dengan pasien tidak dalam keadaan hamil) bahwa ia telah berpindah ke kategori withdrawal bleed negatif, dan keseluruhan sisa kerangka kerja harus disesuaikan. Tes progesteron terkadang akan memacu terjadinya ovulasi pada pasien anovulatorik. Kata kuncinya adalah withdrawal bleed



yang terjadi lebih lama, 14 hari setelah tes progesterone. Jika tidak terjadi galaktorrhea dan jika kadar prolaktin serum tergolong normal (kurang dari 20 ng/mL untuk sebagian besar laboratorium), maka tidak diperlukan lagi evaluasi lebih lanjut mengenai tumor hipofise, jika pasien telah mengalami withdrawal bleed. Sampel prolaktin acak tunggal sudah cukup mewakili, oleh karena variasi amplitudo sekresi puncak, peningkatan yang terkait dengan saat tidur dan faktor makanan, nampaknya akan mengalami attenuasi baik pada status hiperprolaktinemia fungsional ataupun tumor. Jika kadar prolaktin meningkat, evaluasi radiologis terhadap sella tursica merupakan hal yang penting (seperti yang akan dibahas nanti). Pada titik ini dalam kerangka kerja, pernyataan ini merupakan aturan pokok yang berguna secara klinis: Respon withdrawal bleeding yang positif terhadap medikasi progestasional, tidak adanya galaktorrhea, dan kadar prolaktin yang normal, secara efektif akan menyingkirkan dugaan adanya tumor hipofise yang bermakna (Speroff and Fritz, 2005). Produksi



prolaktin



secara



ektopik



jarang



sekali



dijumpai.



Peningkatan sekresi prolaktin seharusnya menarik perhatian kita ke kelenjar hipofise. Namun, untuk melengkapinya, kita juga harus menyebutkan laporan kasus mengenai sekresi ektopik oleh jaringan hipofise pada faring, karsinoma bronkogenik, karsinoma sel renal, gonadoblastoma, dan wanita dengan amenorrhea dan hiperprolaktinemia karena prolaktinoma pada dinding kista dermoid ataupun teratoma (Speroff and Fritz, 2005). b. Langkah 2 Jika



rangakaian



pemberian



medikasi



progestasional



tidak



menyebabkan terjadinya withdrawal bleeding, baik karena traktus outflow



organ



target



ternyata



inoperatif



atau



proliferasi



awal



endometrium karena estrogen tidak terjadi. Langkah 2 didesain untuk mengklarifikasi hal ini. Pemberian estrogen aktif secara per oral dengan jumlah dan durasi tertentu untuk menstimulasi proliferasi endometrial dan kemudian terjadi withdrawal bleeding akan menunjukkan bahwa pasien memiliki uterus yang reaktif dan saluran yang paten. Dosis yang diberikan adalah 1,25 mg conjugated estrogen atau 2 mg estradiol setiap hari selama 21 hari. Pada akhir rangkaian ini diberikan preparat progesteron aktif per oral (medroxyprogesterone acetat 10 mg per hari selama 5 hari) untuk dapat mencapai withdrawal bleeding. Dengan cara ini kapasitas Kompartemen I diuji dengan menggunakan estrogen eksogen. Jika tidak terjadi withdrawal bleeding, maka dapat diberikan rangkaian estrogen ke-dua dengan tujuan untuk validasi (Speroff and Fritz, 2005). Sebagai hasil dari uji farmakologis pada Langkah 2, pasien dengan amenorrhea akan mengalami perdarahan ataupun tidak. Jika memang tidak terjadi perdarahan, maka dapat ditegakkan diagnosis adanya defek pada kompartemen sistem I (meliputi endometrium, saluran genitalis) dengan keyakinan. Jika terjadi perdarahan, maka dapat disimpulkan bahwa sistem Kompartemen I memiliki kemampuan fungsional yang normal jika distimulasi secara adekuat oleh estrogen. Dari sudut pandang praktis, pasien dengan hasil pemeriksaan pelvis yang menunjukkan genitalia eksternal dan internal yang normal, serta tidak adanya riwayat infeksi atau trauma (misalnya kuretase), maka tidak mungkin dijumpai adanya abnormalitas pada saluran outflow. Permasalahan pada saluran outflow meliputi destruksi endometrium, pada umumnya akibat dari kuretase yang terlalu dalam atau akibat dari infeksi, ataupun amenorrhea primer akibat dari adanya diskontinuitas atau gangguan pada tuba mulleri. Abnormalitas pada sistem Kompartemen I tergolong hal yang



jarang dijumpai, dan jika tidak ada alasan untuk mencurigai permasalahan tersebut, maka Langkah 2 dapat dilewati (Speroff and Fritz, 2005). c. Langkah 3 Dengan kejelasan mengenai ketidakmampuan pasien dengan amenorrhea untuk memberikan jumlah stimulasi estrogen yang adekuat, maka mekanisme fisiologis yang bertanggung jawab dalam elaborasi steroid ini haruslah diuji. Dalam rangka untuk memproduksi estrogen, dibutuhkan ovarium yang mengandung apparatus folikuler normal dan gonadotropin hipofise yang adekuat untuk menstimulasi apparatus tersebut. Langkah 3 didesain untuk menentukan manakah diantara komponen penting ini (gonadotropin ataukah aktivitas folikuler) yang mengalami gangguan fungsi (Speroff and Fritz, 2005). Langkah ini melibatkan pemeriksaan kadar gonadotropin pasien. Karena Langkah 2 melibatkan pemberian estrogen eksogen, maka kadar gonadotropin



endogen



dapat



dipengaruhi



dan



untuk



sementara



mengalami peningkatan dibanding konsentrasi dasar yang sebenarnya. Sehingga, setelah dilakukan Langkah 2 harus diberikan jeda waktu selama 2 minggu sebelum dilakukan Langkah 3 yaitu pemeriksaan gonadotropin. Harus diingat bahwa lonjakan LH di tengah siklus mencapai sekitar 3 kali kadar dasar. Oleh karena itu, jika pasien tidak mengalami perdarahan dalam jangka waktu 2 minggu setelah diambil sampel darah, maka kadar yang tinggi tadi dapat diasumsikan sebagai abnormal. Langkah 3 didesain untuk menentukan apakah kekurangan estrogen terjadi karena adanya gangguan pada folikel (Kompartemen II) atau pada poros SSP-hipofise (Kompartemen III dan IV). Akibat dari pemeriksaan



gonadotropin



pada wanita



amenorrhea



yang tidak



mengalami perdarahan setelah pemberian preparat progesteron bisa



sangat tinggi (abnormal), sangat rendah (abnormal), atau dalam batas normal (Speroff and Fritz, 2005).



5. Patofisiologi



Siklus menstruasi adalah perkembangan teratur dari peristiwa hormonal terkoordinasi dalam tubuh wanita yang merangsang pertumbuhan folikel untuk melepaskan sel telur dan menyiapkan tempat untuk implantasi jika pembuahan harus terjadi. Menstruasi terjadi ketika sel telur yang dikeluarkan oleh ovarium tetap tidak subur; selanjutnya, soggy desidua dari endometrium (yang diprioritaskan untuk menerima sel telur yang telah dibuahi) dihilangkan dalam aliran menstruasi sebagai persiapan untuk siklus lain. Siklus menstruasi dapat dibagi menjadi 3 fase fisiologis: folikel, ovulasi, dan luteal. Setiap fase memiliki lingkungan sekresi hormonal yang berbeda. Pertimbangan organ target hormon reproduksi ini (hipotalamus, hipofisis, ovarium, uterus) bermanfaat untuk mengidentifikasi proses penyakit yang mendasari terjadinya amenore pasien (American Society for Reproductive Medicine, 2008). Jenis amenore berdasarkan etiologi aksis HPO: 1) Amenore hipotalamus Disfungsi hipotalamus mengakibatkan sekresi GnRH menurun atau dihambat, yang mempengaruhi pelepasan pulsatil dari gonadotropin hipofisis, LH dan FSH, menyebabkan anovulasi. Penyebab umum amenore adalah amenore hipotalamus fungsional. Hal ini ditandai dengan sekresi GnRH hipotalamus abnormal, penurunan denyut gonadotropin, konsentrasi LH rendah atau normal, tidak ada lonjakan LH, perkembangan folikel abnormal, dan estradiol serum rendah. Konsentrasi FSH serum biasanya dalam kisaran normal, dengan rasio FSH-LH yang tinggi. Amenore hipotalamus fungsional dapat disebabkan oleh gangguan makan, olahraga, atau stres fisik atau mental yang berkepanjangan. Ini juga dapat mencakup gangguan kejiwaan utama seperti depresi. Hipotiroidisme, hipertiroidisme, sarkoidosis, galaktosemia, atau kondisi medis kronis apa pun dapat menyebabkan amenore (Desapri and Lucidi, 2019).



Hipogonadisme idiopatik hipogonadisme mengarah pada kadar gonadotropin (FSH / LH) yang rendah. Ketika ini terjadi dengan anosmia, itu didiagnosis sebagai sindrom Kallmann, tanda-tanda yang meliputi cacat wajah garis tengah, agenesis ginjal, dan defisiensi neurologis. Sindrom Kallmann hasil dari kegagalan sel GnRH untuk bermigrasi ke otak depan, sebuah fenomena yang terkait dengan mutasi pada gen KAL1, FGFR1, FGF8, PROKR2, dan PROK2. Sindrom Kallmann paling sering terjadi sebagai gangguan resesif terkait-X yang disebabkan oleh defek KAL1. Warisan autosom dominan dan autosom resesif kurang umum. Bukti menunjukkan korelasi negatif antara kadar lemak tubuh dan kelainan menstruasi. Level lemak tubuh yang kritis harus ada agar sistem reproduksi berfungsi secara normal (Desapri and Lucidi, 2019). Pada beberapa atlet wanita, efek sinergis dari olahraga yang berlebihan dan gangguan makan menyebabkan penekanan GnRH yang parah, yang menyebabkan kadar estradiol rendah. Triad atletik wanita, seperti yang didefinisikan oleh American College of Sports Medicine, ditandai dengan ketersediaan energi yang rendah dengan atau tanpa gangguan makan, amenore, dan osteoporosis. Sebuah studi tahun 2009 oleh DeSouza et al menemukan bahwa sekitar setengah dari wanita yang berolahraga bisa amenoreik. Amenore dapat menjadi presentasi awal triad atlet wanita. Anorexia nervosa adalah penyakit kejiwaan yang serius dengan komplikasi medis yang parah termasuk amenore primer (15%), osteopenia (52%), dan osteoporosis (35%) (American Society for Reproductive Medicine, 2008). Penyebab fungsional amenore termasuk penyakit kronis yang parah, penurunan berat badan yang cepat, kekurangan



gizi,



depresi



atau



gangguan



kejiwaan



lainnya,



penyalahgunaan narkoba, dan penggunaan obat-obatan psikotropika (Desapri and Lucidi, 2019). 2) Amenore hipofisis Kekurangan FSH dan LH dapat terjadi akibat mutasi gen reseptor GnRH, meskipun mutasi seperti itu jarang terjadi. Mutasi pada gen beta FSH juga telah dikaitkan dengan amenore; wanita dengan mutasi ini memiliki kadar FSH dan estradiol yang rendah dan kadar LH yang tinggi. Amenore primer yang disebabkan oleh hiperprolaktinemia adalah suatu kondisi langka yang ditandai dengan timbulnya thelarche dan pubarche pada usia yang tepat tetapi terhambatnya perkembangan pubertas sebelum menarke. Hiperprolaktinemia dikaitkan dengan penekanan GnRH dari hipotalamus dan penghambatan LH dan FSH selanjutnya, penekanan fungsi gonad dan galaktorea. Prolaktinoma adalah penyebab paling umum dari hiperprolaktinemia persisten, terhitung 40-50% dari tumor hipofisis. Prolaktinoma lebih sering ditemukan pada amenore sekunder. Tumor hipofisis dapat menekan sekresi gonadotropin, seperti pada penyakit Cushing atau tumor hipotalamus, craniopharyngioma, atau germinoma. Cidera otak atau iradiasi kranial juga dapat menyebabkan amenore. Penyebab hipofisis lainnya termasuk sindrom sella kosong, infark hipofisis, hemochromatosis, dan sarkoidosis(Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005). 3) Ovarium menyebabkan amenore primer Disgenesis gonad ditandai dengan kehilangan bawaan atau keterbelakangan sel kuman dalam gonad selama organogenesis. Gonad biasanya hanya mengandung jaringan fibrosa dan disebut streak gonad. Pada wanita, bentuk disgenesis gonad yang paling umum adalah sindrom Turner (45, X), di mana kadar gonadotropin, terutama kadar FSH, tinggi



selama anak usia dini dan setelah usia 9-10 tahun. Anomali tambahan yang terkait dengan sindrom Turner termasuk perawakan pendek, leher berselaput, koarktasio aorta (10%), kelainan ginjal (50%), hipertensi, nevi berpigmen, metacarpal dan metatarsal pendek, tiroiditis Hashimoto, obesitas, dan osteoporosis. Menipisnya folikel ovarium menyebabkan amenore (Speroff and Fritz, 2005). Insufisiensi ovarium primer spontan 46, XX (POI), (juga dikenal sebagai kegagalan ovarium prematur [POF] dan menopause dini) mempengaruhi 1 dari 10.000 wanita pada usia 20 tahun, 1 dari 1000 wanita pada usia 30 tahun, 1 dalam 250 wanita pada usia 35 tahun, dan 1 dari 100 wanita pada usia 40 tahun. POI adalah hipogonadisme hipergonadotropik, ditandai oleh oligomenore / amenore, defisiensi estrogen, dan gejala terkaitnya seperti hot flashes, kekeringan pada vagina, dispareunia, dan insomnia. Untuk informasi lebih rinci, lihat Kegagalan Ovarium Primer Spontan dan Kegagalan Ovarium Dini. Permutasi X yang rapuh menyumbang sekitar 6% dari kasus POI terbuka. Ini disebabkan oleh peningkatan jumlah pengulangan CGG pada gen FMR1 yang terletak di lengan panjang kromosom X. Dalam permutasi, jumlah pengulangan CGG berkisar 55-200. Sekitar 21% pembawa permutasi memiliki POF / POI dibandingkan dengan 1% pada populasi umum. Ooforitis autoimun terjadi pada 3-4% kasus POI (Desapri and Lucidi, 2019). Amenore juga terlihat pada disgenesis gonad murni 46, XX dan pada disgenesis gonad XY 46. Wanita-wanita ini secara signifikan meningkatkan kadar FSH karena tidak adanya folikel ovarium dan pengurangan umpan balik negatif pada FSH dari estradiol dan inhibin A dan B. Tahap awal pembentukan testis membutuhkan aksi beberapa gen, yang salah satu yang paling awal dan paling penting adalah wilayah



penentu jenis kelamin dari kromosom Y (SRY). Pada sindrom Swyer, suatu sindrom regresi testis yang terjadi sangat awal pada embriogenesis, janin memiliki kariotipe 46, XY tetapi dengan mutasi gen SRY sehingga testis tidak pernah terbentuk dan hormon anti-mullerian tidak diproduksi, sehingga mengakibatkan wanita fenotip. Orang-orang ini memiliki vagina, rahim, dan saluran tuba. Sel-sel germinal dalam gonad hilang sebelum lahir. Ston gonad harus diangkat melalui pembedahan karena meningkatnya risiko untuk mengembangkan tumor sel germinal. Disgenesis gonad murni terjadi ketika sindrom hanya menyerang gonad dan tidak ada gambaran dysmorphic lain yang dicatat. Sindrom ovarium polikistik (PCOS) biasanya muncul sebagai amenore sekunder, tetapi dalam beberapa kasus dapat muncul sebagai amenore primer (Desapri and Lucidi, 2019). Amenore juga bisa disebabkan karena terdapat kelainan anatomi bawaan yang terjadi pada pasien. Rahim dan saluran vagina yang paten diperlukan agar aliran menstruasi normal terjadi. Kelainan saluran reproduksi wanita menyumbang sekitar seperlima dari kasus amenore primer. Nyeri pelvis siklik sering terjadi pada anak perempuan dengan kelainan saluran reproduksi yang melibatkan obstruksi aliran keluar. Selaput dara imperforata menyebabkan obstruksi aliran keluar. Pasien-pasien ini dapat memiliki darah di vagina yang terkumpul dan dapat menghasilkan massa perirectal. Septum vagina transversal dapat berada di mana saja di sepanjang saluran antara cincin himen dan serviks (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005). Agenesis vagina, atau disgenesis mullerian (juga dikenal sebagai sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser [MRKH]) disebabkan oleh agenesis atau agenesis parsial dari sistem saluran mullerian. Hal ini ditandai



dengan aplasia kongenital uterus dan dua pertiga bagian atas vagina pada wanita menunjukkan perkembangan normal dari karakteristik seksual sekunder dan kariotipe 46, XX normal. Tanda pertama adalah amenore primer. Ini mempengaruhi 1 dari 4.500 wanita. Ini dapat dikaitkan dengan gangguan ginjal, tulang belakang, dan, pada tingkat lebih rendah, pendengaran dan jantung (Desapri and Lucidi, 2019). Selain itu, amenore bisa juga disebabkan karena defek reseptor dan enzim. Hiperplasia adrenal kongenital sebagai akibat dari defisiensi 17 alfahidroksilase



(CYP17)



menyebabkan



deoksikortison



berlebihan



yang



diproduksi dan defisiensi kortisol dan steroid seks adrenal dan gonad. Pasien dengan kelainan ini yang mengalami amenore primer dapat berupa laki-laki genotip (XY) atau perempuan (XX). Sindrom insensitivitas androgen lengkap disebabkan oleh reseptor androgen yang rusak. Meskipun pasien dengan sindrom ini memiliki kariotipe 46, XY dan menghasilkan testosteron yang diturunkan secara testis, testosteron tidak dapat mengaktifkan transkripsi seluler; oleh karena itu, pasien memiliki alat kelamin eksternal perempuan. Dalam kebanyakan kasus, gangguan ini terkait dengan X. Testis, terletak secara internal dan kadang-kadang di labia atau daerah inguinal, juga menghasilkan hormon penghambat mullerian, sehingga semua struktur yang diturunkan mullerian (yaitu, tuba fallopi) (Desapri and Lucidi, 2019). 6. Etiologi



a. Etiologi Amenore Primer Sangat penting untuk menyingkirkan kondisi kehamilan pada pasien. Diagnosis amenore primer biasanya disebabkan karena adanya kelainan genetik atau anatomi. Prevalensi relatif amenore primer meliputi



hipogonadisme



hipogonadisme



hipergonadotropik



hipogonadotropik



(27,8%),



(48,5% dan



kasus),



eugonadisme



(keterlambatan pubertas dengan gonadotropin normal; 23,7%) (Desapri and Lucidi, 2019). Kategori hipogonadisme hipergonadotropik termasuk pasien dengan kromosom seks abnormal (yaitu, sindrom Turner), yang merupakan 29,7% dari semua kasus amenore primer, dan pasien dengan kromosom seks normal. Kelompok kromosom seks normal termasuk kelompok pasien 46, XX (15,4%) dan kelompok pasien 46, XY (3,4%) . Sedangkan hipogonadisme hipogonadotropik meliputi (Desapri and Lucidi, 2019): 1) Kelainan kongenital 2) Gangguan endokrin 3) Tumor



4) Penyakit sistemik (2,6%) 5) Gangguan makan (2.3%) Kelainan bawaan yang dapat menyebabkan hipogonadisme hipogonadotropik meliputi (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005): 1) Defisiensi GnRH yang terisolasi (8,3%) 2) Hipopituitarisme (2,3%) 3) Defek central nervous system (CNS) (0,8%) 4) Constitutinal delay (6%) Gangguan endokrin yang dapat menyebabkan hipogonadisme hipogonadotropik meliputi (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005): 1) Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) (0,8%) 2) Sindrom Cushing (0,4%) 3) Pseudohypoparathyroidism (0,4%) 4) Hiperprolaktinemia (1,9%) Tumor yang dapat menyebabkan hipogonadisme hipogonadotropik meliputi (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005): 1) Adenoma hipofisis tanpa klasifikasi (0,8%) 2) Craniopharyngioma (1,1%) 3) Tumor ganas yang tidak terklasifikasi (0,4%) Eugonadisme dapat terjadi akibat kelainan anatomis atau gangguan interseks. Kelainan anatomi termasuk tidak adanya uterus dan vagina sejak lahir atau congenital absence of uterus and vagina



(CAUV;



16,2%) dan atresia serviks (0,4%). Gangguan interseks termasuk insensitifitas androgen (1,5%), defisiensi 17-ketoreduktase (0,4%), dan system umpan balik yang tidak sesuai (5,3%) (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005).



b. Etiologi Amenore Sekunder Gangguan terkait dengan FSH yang rendah atau normal merupakan 66% dari kasus amenore sekunder, termasuk (Desapri and Lucidi, 2019): 1) Penurunan berat badan / anoreksia 2) Nonspecific hypothalamic 3) Anovulasi kronis termasuk PCOS 4) Hipotiroidisme 5) Sindrom cushing 6) Tumor hipofisis, empty sella, sindrom Sheehan Gangguan di mana FSH tinggi (12%) meliputi (Speroff and Fritz, 2005): 1) Premature ovarian failure karena kariotipe abnormal (45, X mosaik / kromosom cincin) 2) Disgenesis gonad murni Gangguan yang terkait dengan tingkat prolaktin tinggi merupakan 13% dari kasus. Gangguan anatomi (yaitu, sindrom Asherman) menyumbang 7% dari jumlah kasus yang ada. Sedangkan keadaan hiperandrogenik sebagai penyebab amenore sekunder (2%) meliputi (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005): 1) Sindrom ovarium polikistik (PCOS) 2) Tumor ovarium 3) CAH non-klasik 7. Tatalaksana Pengobatan ditentukan berdasarkan etiologi amenore dan keinginan dari pasien. Idealnya, pengobatan harus diarahkan untuk memperbaiki



patologi yang mendasarinya. Dalam kasus outflow tract abnormalities (misalnya, hymen imperforata), operasi dapat diindikasikan. Dalam kasus lain, memperbaiki patologi yang mendasarinya harus mengembalikan fungsi endokrin ovarium yang normal dan mencegah perkembangan osteoporosis. Contohnya



penggunaan



agonis



dopamin



efektif



dalam



mengobati



hiperprolaktinemia. Dalam kebanyakan kasus, terapi ini mengembalikan fungsi endokrin dan ovulasi ovarium yang normal (Desapri and Lucidi, 2019). Terapi penggantian hormon diperlukan untuk mencapai kepadatan tulang puncak pada pasien yang patologi dasarnya tidak dapat dikembalikan ke fungsi endokrin yang normal. Dalam kondisi yang menyebabkan defisiensi



estrogen,



terapi



penggantian



hormon



diperlukan



untuk



mempertahankan kepadatan tulang. Wanita yang terbukti menderita hiperandrogenisme dan menstruasi yang tidak teratur memiliki banyak masalah medis lain yang harus diatasi (misalnya, PCOS dengan diabetes dan hipertensi terkait). Terapi gonadotropin atau penggunaan terapi pulsatile gonadotropin-releasing hormone (GnRH) mungkin diperlukan untuk menginduksi ovulasi pada pasien dengan infertilitas yang patologinya tidak dapat dikembalikan seperti semula (Desapri and Lucidi, 2019). Selain kehamilan, constitutional delay, anovulasi, dan penyakit kronis, sebagian besar gangguan lain yang menyebabkan amenore mungkin memerlukan rujukan ke subspesialisasi untuk tatalaksana. Banyak metode pengobatan yang memerlukan pembedahan atau terapi khusus. Untuk remaja dengan constitutional delay dan anovulasi, tujuannya haruslah memulihkan siklus ovulasi. Jika siklus ovulasi tidak dipulihkan secara spontan, terapi estrogen-progestin diindikasikan untuk diberikan (Desapri and Lucidi, 2019). a. Pencegahan osteoporosis



Bukti studi menunjukkan bahwa hilangnya keteraturan menstruasi, terutama



jika



terkait



dengan



hipogonadisme



hipogonadotropik,



merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteoporosis dan patah tulang pinggul. Pasien dan dokter perlu melihat ovarium sebagai organ endokrin penting yang membantu menjaga kesehatan tulang. Penundaan yang berlebihan dalam evaluasi dan perawatan menstruasi yang tidak teratur dapat berkontribusi pada osteoporosis. Banyak pasien kekurangan vitamin D di dalam tubuhnya, tercermin dari kadar vitamin D 25-hidroksi serum kurang dari 30 nmol / L. Jika demikian, pasien harus dirawat selama 8-12 minggu dengan vitamin D dosis tinggi, 50.000 IU / minggu, untuk repletion. Setelah tingkat 25-OH-D lebih besar dari 30 nmol / L, 1000 IU / d vitamin D dapat diberikan (Desapri and Lucidi, 2019). b. Masalah kesehatan emosional Amenore primer dan potensi gangguan kesuburan memengaruhi kesehatan emosi remaja dan keluarganya. Masa remaja meliputi spektrum kematangan emosi yang luas, yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian dan perawatan. Untuk gadis remaja, gangguan reproduksi berdampak pada perkembangan rasa dirinya, citra tubuh, dan seksualitas, yang dapat mempengaruhi harga dirinya dan hubungannya dengan orang lain. Karena sifat seksual dari gangguan reproduksi, perasaan malu, tidak mampu, atau melindungi dapat menyulitkan keluarga. Keluarga harus didorong untuk bersikap terbuka dan jujur mengenai kondisi tersebut dan tidak dianjurkan untuk menjaga kerahasiaan diagnosis (Desapri and Lucidi, 2019). Keluarga adalah unit emosional dan pendekatan sistem keluarga untuk menangani masalah kesehatan adalah yang paling tepat. Orang tua harus terlebih dahulu menangani perasaan mereka sendiri tentang kondisi



tersebut sebelum mereka dapat membantu anak mereka. Mereka juga harus diberi alat untuk membangun percakapan berkelanjutan dengan anak mereka. Dokter harus peka secara budaya karena dalam beberapa budaya identitas wanita di masa dewasa sebagai seorang ibu dapat memainkan peran penting dalam hidupnya. Tujuannya adalah untuk membantu gadis remaja merumuskan harga diri dan citra tubuh yang positif, meskipun kesuburannya terganggu (Desapri and Lucidi, 2019). c. Pengobatan Berdasarkan Penyebab Umum Meskipun diagnosis diferensial untuk amenore luas, sebagian besar pasien yang datang dalam pengaturan rawat jalan dengan amenore primer atau sekunder memiliki 1 dari 5 masalah medis yang umum: PCOS, amenore hipotalamus, hiperprolaktinemia, kegagalan ovarium, atau disfungsi tiroid. Untuk wanita dengan amenore primer, kelainan mullerian merupakan diagnosis penyebab kedua tersering setelah kegagalan ovarium prematur. Faktor-faktor penyebab amenore yang tidak biasa dan tidak umum, seperti sarkoidosis, memerlukan rujukan dan evaluasi oleh spesialis (Desapri and Lucidi, 2019). 1) Sindrom Ovarium Polikistik Sindrom ovarium polikistik atau polycystics ovarium syndrome (SOPK atau PCOS) ditandai oleh oligomenorea atau amenorea, suatu lingkungan hormon androgen yang berlebih (terdeteksi secara klinis atau biokimiawi), dan ovarium yang muncul secara polikistik pada ultrasonografi. Indeks massa tubuh tinggi (BMI) dan resistensi insulin juga memainkan peran penting dalam patogenesis sindrom PCO. Wanita dengan sindrom PCO memiliki peningkatan risiko seumur hidup terhadap diabetes



mellitus, hipertensi,



kelainan lipid,



hipotiroidisme, dan kanker endometrium (Desapri and Lucidi, 2019).



Apabila pasien tidak menginginkan kehamilan, maka bisa dilakukan induksi monthly withdrawal bleeding. Progesteron siklik (10-12 hari per bulan) dan kontrasepsi oral dapat mencapai monthly withdrawal bleeding; Namun, kontrasepsi oral menggunakan mekanisme berbeda untuk mengontrol aspek PCOS lainnya. Kontrasepsi oral mengurangi sekresi LH, yang menyebabkan produksi androgen yang lebih rendah dan perbaikan pada jerawat dan hirsutisme.



Kontrasepsi



oral



menyebabkan



atrofi



lapisan



endometrium, mengurangi risiko hiperplasia endometrium dan kanker endometrium (Desapri and Lucidi, 2019). Metformin saat ini ditawarkan untuk meningkatkan ovulasi. Tidak ada bukti bahwa metformin meningkatkan angka kelahiran hidup, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan hal itu terkait dengan peningkatan kehamilan klinis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah metformin harus digunakan untuk pencegahan perkembangan jangka panjang diabetes mellitus, penyakit kardiovaskular, dan gangguan lipid pada orang dewasa. Pasien harus dianjurkan untuk mempertahankan rasio IMT dalam rentang referensi dan berolahraga secara teratur karena keduanya adalah terapi lini pertama yang digunakan untuk mengendalikan sindrom PCO (Desapri and Lucidi, 2019). 2) Amenore hipotalamus Amenore hipotalamus paling sering terjadi pada pasien yang berolahraga berlebihan dan / atau memiliki kelainan makan, pembatasan kalori, dan stres psikogenik. Amenore hipotalamus paling baik diobati menggunakan modifikasi perilaku dan pendekatan tim multidisiplin, tergantung pada akar penyebabnya. Pendekatan tim



interdisipliner yang melibatkan ahli gizi, dokter, konselor, dan anggota keluarga adalah yang paling efektif. Setelah memperbaiki perilaku yang mengarah pada amenore hipotalamus, sebagian besar wanita melanjutkan pelepasan GnRH pulsatil normal dan siklus menstruasi normal berikutnya (Desapri and Lucidi, 2019). Wanita dengan anoreksia nervosa berat mungkin tidak kembali pada siklus menstruasi normal setelah penambahan berat badan. IMT kurang dari 15 kg / m2 membutuhkan intervensi segera oleh spesialis gangguan makan. Rawat inap dapat diindikasikan. Kelompok wanita ini mungkin membutuhkan penggantian hormon dan pemantauan kepadatan tulang. Peningkatan berat badan mungkin merupakan faktor terpenting dalam pemulihan tulang. Terapi Gonadotropin mungkin diperlukan untuk konsepsi (Desapri and Lucidi, 2019). Pasien dengan amenore hipotalamus yang disebabkan oleh olahraga berlebihan dapat menolak untuk memperbaiki atau mengubah perilaku mereka. Ini terutama berlaku untuk atlet profesional perguruan tinggi yang kompetitif, atau atlet elit yang berpartisipasi dalam olahraga "lean". Meskipun kontroversial, pertimbangan harus diberikan untuk memperbaiki level estradiol (E2) yang rendah dengan meresepkan kontrasepsi oral. Banyak atlet dapat meminta untuk menggunakan kontrasepsi oral secara terus-menerus untuk membatasi atau menghindari menstruasi. Amenore hipotalamus fungsional karena stres adalah diagnosis eksklusi. Gangguan makan dan pembatasan kalori harus disingkirkan sebagai faktor. Modifikasi perilaku adalah pengobatan lini pertama. Meskipun kontroversial, pertimbangan harus diberikan



untuk



mengoreksi



E2



rendah



dengan



meresepkan



kontrasepsi oral. Jika terapi kontrasepsi oral dimulai, dapat dihentikan sementara waktu untuk menentukan apakah pompa GnRH telah



mendapatkan kembali fungsi pulsatil. Peningkatan BMI dikaitkan dengan pemulihan jangka panjang terbaik (Desapri and Lucidi, 2019). 3) Hiperprolaktinemia Hiperprolaktinemia dengan kadar TSH normal membutuhkan MRI untuk



menentukan



adanya



tumor,



mikroadenoma,



atau



makroadenoma, dan lesi SSP organik lainnya. Mikroadenoma dan prolaktinoma dengan diameter kurang dari 1 cm tumbuh lambat dan sebagian besar ditemukan pada populasi premenopause. Pengobatan harus dipertimbangkan untuk membalikkan gejala hipoestrogenemia, meningkatkan kesuburan, dan / atau menghilangkan galaktorea yang mengganggu. Hiperprolaktinemia simptomatik dari kelainan hipofisis pertama-tama



harus



diobati



dengan



agonis



dopamin



seperti



bromokriptin (Parlodel) dan cabergolin (Dostinex). Pergolide telah dikaitkan dengan kelainan nilai jantung; itu tidak boleh digunakan (Klein et al., 2019). Macroadenoma juga dapat diobati dengan agonis dopamin pada awalnya. Kadang-kadang, lesi yang lebih besar gagal merespons terapi medis atau hadir dengan perubahan penglihatan akut. Rujukan dengan pembedahan



atau



radiasi



selanjutnya



diindikasikan.



Tingkat



kekambuhan setelah operasi bisa setinggi 50%. Pasien dengan hiperprolaktinemia yang terkait dengan obat (misalnya, antipsikotik, metoklopramid)



harus



mempertimbangkan



penghentian



atau



pengalihan obat penyebab jika mungkin secara medis. Beberapa tumor hipofisis dan hipotalamus mungkin memerlukan pembedahan dan, dalam beberapa kasus, terapi radiasi (Klein et al., 2019). 4) Hipogonadisme hipergonadotropik



Pada pasien yang gagal memasuki pubertas, hipogonadisme hypergonadotropic (kegagalan gonad) paling sering dikaitkan dengan sindrom Turner atau gangguan disgenesis gonad lainnya, seperti sindrom Swyer. Karyotipe diperlukan untuk mendeteksi kromatin yang mengandung Y. Pasien yang memiliki kromosom Y memiliki peluang 25% untuk menderita tumor gonad. Gonad harus segera dihapus. Gonad ini tidak berfungsi; oleh karena itu tinggi badan dan massa tulang orang dewasa tidak terpengaruh oleh kehadiran mereka. Hormon



replacing



teraphy



(HRT)



harus



ditawarkan



untuk



memungkinkan penyelesaian pubertas secara terkontrol dan harus memfasilitasi pengembangan kepadatan tulang maksimum. Sindrom turner dikaitkan dengan penyakit telinga dan ginjal; oleh karena itu, evaluasi sistem organ ini diindikasikan (Desapri and Lucidi, 2019; Klein et al., 2019; Speroff and Fritz, 2005). Kegagalan ovarium prematur setelah pubertas terjadi pada 1% wanita dewasa. Perawatan harus diputuskan secara individual. Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi penggantian estrogen (ERT) untuk hot flashes dan masalah menopause simtomatik lainnya. Penggunaan E2 jangka panjang harus disesuaikan dengan kebutuhan individu. Sejumlah kecil wanita dengan kadar FSH yang meningkat berulang mungkin memiliki siklus yang baru untuk periode yang singkat sebelum melanjutkan untuk menyelesaikan menopause. Tidak ada obat atau terapi yang ditemukan menginduksi siklus normal; kejadiannya sporadis, spontan, dan tidak dapat diinduksi (Desapri and Lucidi, 2019; Klein et al., 2019). Kegagalan ovarium yang terjadi pada pasien yang lebih muda dari 30 tahun memerlukan kariotipe untuk mendeteksi kromatin Y dan evaluasi area X yang rapuh dari kromosom X. Riwayat keluarga yang



kuat tentang kegagalan ovarium prematur mungkin memerlukan rujukan untuk evaluasi mutasi GALT dan gen pengatur autoimun (AIRE) dan gangguan autosomal lainnya. Dokumentasi area X yang rapuh mengharuskan anggota keluarga lain untuk menerima konseling genetik. Dengan kariotipe normal, evaluasi penyakit autoimun lainnya harus dipertimbangkan, termasuk titer antibodi antitiroid dan antiadrenal. Kepadatan tulang harus dipantau dan diobati dengan tepat menggunakan terapi hormonal atau non-hormonal (Desapri and Lucidi, 2019; Klein et al., 2019). 5) Disfungsi tiroid Pasien dengan hipotiroidisme dan hipertiroidisme harus menjalani pemeriksaan dan terapi standar. Perawatan dalam kebanyakan kasus sangat mudah (Desapri and Lucidi, 2019; Speroff and Fritz, 2005). d. Diet dan Aktivitas Wanita dengan temuan yang menunjukkan gangguan makan harus dievaluasi oleh tim multidisiplin dengan keahlian khusus dalam gangguan ini. Konseling nutrisi saja bukan terapi yang memadai untuk wanita-wanita ini. Dalam beberapa kasus, kekurangan nutrisi yang disebabkan oleh diet dan olahraga dapat menyebabkan amenore bahkan tanpa adanya gangguan kejiwaan. Pembatasan lemak yang ketat sering berperan dalam kejadian ini. Seringkali, hanya menjelaskan kebutuhan untuk menyeimbangkan pengeluaran energi dengan asupan energi menyelesaikan masalah. Dalam situasi ini, konseling gizi mungkin saja yang diperlukan. Olahraga lebih dari 8 jam dalam seminggu dapat menyebabkan amenore. Seperti disebutkan di atas, dalam beberapa kasus



ini diselesaikan dengan penyesuaian diet yang tepat (Desapri and Lucidi, 2019). e. Terapi Farmakologi Untuk amenore primer, terapi hormon yang terdiri dari estrogen dan progestin, direkomendasikan untuk wanita dengan defisiensi estrogen. Anak perempuan dengan amenore primer biasanya tidak memiliki gejala defisiensi estrogen. Namun, dengan paparan estrogen yang tidak memadai dari waktu ke waktu, pasien-pasien ini berada pada risiko yang lebih tinggi untuk munculnya osteoporosis dan kemungkinan masalah kesehatan lainnya. Wanita muda yang karakteristik seks sekundernya gagal berkembang sepenuhnya harus terpapar dosis estrogen yang sangat rendah pada awalnya dalam upaya untuk meniru proses pematangan pubertas bertahap. Regimen tipikal terdiri dari estrogen dengan dosis yang setara dengan 25 mcg / hari estradiol transdermal (sekitar 0,3 mg estrogen kuda terkonjugasi) diberikan tanpa dilawan (yaitu, tidak ada progesteron) setiap hari selama 6 bulan dengan peningkatan dosis bertahap pada interval 6 bulan sampai dosis pemeliharaan yang dibutuhkan tercapai (Desapri and Lucidi, 2019). Peningkatan



dosis



bertahap



memungkinkan



waktu



untuk



menyeimbangkan suplementasi estrogen dengan kebutuhan untuk bertambah tinggi, mengembangkan karakter seksual sekunder, dan seringkali menghasilkan perkembangan payudara yang optimal. Itu juga memberi waktu bagi wanita muda itu untuk menyesuaikan secara psikologis dengan pematangan fisiknya. Terapi progesteron siklik, diberikan 12-14 hari per bulan, harus dilakukan begitu perdarahan vagina dimulai. Estrogen parenteral (transdermal atau vagina) adalah rute pemberian yang lebih disukai karena ia menghindari metabolisme hati



first-pass. Selain itu, itu cenderung meningkatkan sex hormone–binding globulin (SHBG) dan memiliki sedikit atau tidak ada efek pada sirkulasi lipid, parameter koagulasi, atau protein C-reaktif. Namun, tidak ada studi jangka panjang terkontrol yang tersedia untuk membandingkan kemanjuran dan keamanan satu metode di atas yang lain. Oleh karena itu, pilihan terapi harus mengikuti pertimbangan preferensi pasien dan pengalaman dokter (Desapri and Lucidi, 2019). Peran penggantian androgen tidak jelas saat ini dan merupakan subjek investigasi yang sedang berlangsung. Untuk amenore sekunder, agonis dopamin adalah satu-satunya terapi medis yang secara khusus disetujui untuk membalikkan patologi yang mendasarinya yang mengarah ke amenore. Dalam kebanyakan kasus, agonis dopamin secara efektif mengurangi hiperprolaktinemia. Terapi gonadotropin atau terapi hormon pelepas gonadotropin (GnRH) pulsatile diindikasikan pada wanita yang menginginkan kesuburan namun tetap anovulasi karena gangguan hipotalamus / hipofisis yang belum terselesaikan. Terapi pompa GnRH tersedia di Eropa tetapi tidak di Amerika Serikat (Desapri and Lucidi, 2019). Setelah diagnosis ditegakkan, bagi beberapa wanita dengan oligomenore atau amenore yang tidak ingin hamil, kontrasepsi oral mungkin merupakan pilihan yang baik untuk mengembalikan siklus menstruasi dan menyediakan pengganti estrogen. Tidak adanya kehamilan harus didokumentasikan sebelum terapi kontrasepsi oral dimulai. Pada pasien dengan amenore atau oligomenore withdrawal bleeding harus diinduksi dengan suntikan progesteron atau pemberian 510 mg medroksiprogesteron selama 10 hari. Terapi hormon, yang terdiri dari estrogen dan progestin, diperlukan untuk wanita di mana defisiensi estrogen tetap karena fungsi ovarium tidak dapat dipulihkan. Peran



penggantian androgen tidak jelas saat ini dan merupakan subjek investigasi yang sedang berlangsung (Desapri and Lucidi, 2019). f. Monitoring Jangka Panjang Kebutuhan untuk perawatan berkelanjutan disebabkan karena mekanisme yang mengganggu siklus menstruasi dan keinginan pasien. Monitor pasien dengan insufisiensi ovarium primer setiap tahun untuk memantau penggantian hormon ovarium mereka dan untuk mendeteksi perkembangan kondisi yang mungkin terkait dengan mekanisme patogenik asli yang menyebabkan terganggunya siklus menstruasi. Monitor pasien setiap 3-6 bulan selama 2 tahun pertama untuk memantau penggantian hormon ovarium dan untuk mendeteksi perkembangan kondisi yang mungkin terkait dengan mekanisme patogen asli yang menyebabkan gangguan siklus menstruasi (Desapri and Lucidi, 2019). 8. Prognosis Munculnya siklus menstruasi yang tidak teratur dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang pada regio wrist dan hip terkait dengan penurunan kepadatan tulang. Interval menarche dan siklus menstruasi yang lebih lama dari 32 hari dikaitkan dengan peningkatan angka fraktur pada tahun-tahun berikutnya. Wanita muda dengan insufisiensi ovarium yang tidak responsif terhadap terapi membutuhkan penggantian hormon untuk mempertahankan kepadatan tulang. Masa remaja adalah periode penting untuk pertumbuhan tulang karena lebih dari setengah massa tulang puncak dicapai selama masa remaja. Menstruasi teratur adalah tanda bahwa ovarium menghasilkan estrogen, androgen, dan progesteron dalam jumlah normal, yang semuanya mempunyai peran penting dalam membangun dan mempertahankan massa tulang. Menarche yang terlambat telah dikaitkan



dengan peningkatan risiko patah tulang pergelangan tangan 3 kali lipat (Desapri and Lucidi, 2019). Dalam beberapa kasus, kehilangan keteraturan menstruasi merupakan tanda awal penurunan kesuburan dan kegagalan ovarium prematur. Selain itu, dalam beberapa kasus, deplesi folikel menyebabkan infertilitas ireversibel. Sekitar 10% wanita yang dievaluasi untuk amenore di pusat tersier ditemukan menderita kegagalan ovarium prematur. Wanita dengan PCOS memiliki banyak masalah kesehatan jangka panjang, termasuk risiko diabetes dan penyakit kardiovaskular yang lebih tinggi, yang harus dipantau dan diobati (Desapri and Lucidi, 2019).



DAFTAR PUSTAKA



American Society for Reproductive Medicine, 2008. Current evaluation of amenorrhea.



Fertil.



Steril.



90,



219–225.



https://doi.org/10.1016/j.fertnstert.2008.08.038 Desapri, T., Lucidi, R.S., 2019. Amenorrhea: Background, Pathophysiology, Etiology. Medscape. Klein, D.A., Paradise, S.L., Reeder, R.M., 2019. Amenorrhea: A Systematic Approach to Diagnosis and Management. Am. Fam. Physician 100, 39–48. Speroff, L., Fritz, M.A., 2005. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, 7th Editio. ed. Lippincott Williams & Wilkins, New York.