Analisa Putusan Ptun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Analisa Putusan PTUN (Studi kasus putusan PTUN Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI)



Disusun Oleh: Sartika Bani Kharisma E0011282 Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (D)



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA `2013



KATA PENGANTAR



Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kuasa sehingga penyusunan makalah ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. Saya juga berterimakasih kepada setiap pihak yang telah terlibat dan membantu kami dalam penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun untuk menambah nilai Mata Kuliah Hukum Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam kesempatan ini saya mencoba menganalisis putusan PTUN Jambi



Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI . Makalah ini saya susun sedemikian rupa dengan mencari dan menggabungkan sejumlah informasi yang kami dapatkan baik melalaui buku, media cetak, elektronik maupun media lainnya. Saya berharap dengan informasi yang di dapat dan kemudian saya sajikan ini dapat memberikan penjelasan yang cukup jelas. Demikian satu dua kata yang bisa kami sampaikan kepada seluruh pembaca makalah ini. Jika ada kesalahan baik dalam penulisan maupun kutipan, saya terlebih dahulu memohon maaf dan saya juga berharap semua pihak dapat memakluminya. Semoga semua pihak dapat menikmati dan mengambil esensi dari makalah ini. Trimakasih.



Surakarta, Mei 2013 Penulis



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang `` Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya sengketa Tata Usaha Negara terjadi karena adanya seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Gugatan yang diajukan oleh seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan tersebut haruslah dengan alasan-alasan sesuai yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) UU No 5 Tahun 1986. Secara umum jika kita kaji mengenai Isi atau bagian-bagian dari suatu Putusan, maka hal ini diatur dalam Pasal 109 ayat (1) UU Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu memuat: Kepala putusan harus berbunyi: “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “. a. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman para pihak yang bersengketa, b. Ringkasan gugatan dan jawaban Tergugat yang jelas, c. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa, d. Alasan hakim yang menjadi dasar putusan, e. Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara, dan



f. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negera Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI secara keseluruhan sudah memuat semua bagian-bagian isi dari suatu putusan sesuai Pasal 109 ayat (1) di atas. B. Rumusan masalah a. Bagaimanakah putusan tata usaha negara terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI? b. Bagaimanakah pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI?



BAB II PEMBAHASAN A. Putusan tata usaha negara yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI Secara keseluruhan kita sudah pada tahap penganalisaan suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara maka secara tidak langsung sudah menunjukkan bahwa prosedur sebelumnya sudah terpenuhi, yaitu seperti mengenai syarat-syarat dari suatu surat gugatan terutama syarat formil, yang jika dalam kasus sengketa tata usaha negara pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi di atas adalah diajukan oleh Ir.Sudjarwo (Penggugat), didaftarkan 9 Januari 2003 dengan Register Perkara Nomor : 01/ G/TUN/ 2003/ PTUN.JBI . Tidak mungkin suatu sengketa tata usaha negara dapat diperiksa, diadili, dan diputus di PTUN jika tidak lulus dari pemeriksaan awal suatu surat gugatan di Kepaniteraan PTUN, Karena sebelum surat gugatan dapat di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara syarat formilnya harus terpenuhi secara lengkap terlebih dahulu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 UU No.5 Tahun 1986. Beberapa hal lain yang perlu kita cermati adalah: 1. Kompetensi Mengadili



1



Kewenangan mengadili terbagi dalam :



a) Kekuasaan Kehakiman atribusi (attribute van recht smacht-smacht) Kewenangan mutlak atau kompetensi absolute sebagai kewenagan badan pengadilan untuk memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidaka dapat diperiksa pengadilan lain. 1



Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.13



b) Kekuasaan Kehakiman Distribusi ( distributie van recht-smacht) Kewenangan nisbi atau kompetensi relatif sebagai kewenagan badan pengadilan untuk memeriksa sesuai asas Actor Sequuitur Forum Rei (yang berwenang pengadilan tempat kedudukan tergugat).



I. Kompetensi Absolut Kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa sengketa tata usaha Negara yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 danPasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, kecuali (secara limitatif) keputusan tata usaha negara yang dimaksud dalam ketentuan pasal 49 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 oleh Badanatau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor Tahun 2009) antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara. Dasar hukum pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyatakan: “Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara”. Pasal 18 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Jadi, dibawah lingkungan peradilan Mahkamah Agung terdapat 4 (empat) lingkungan peradilan (Piramida Peradilan):



1. Lingkungan peradilan umum, 2. Lingkungan peradilan agama, 3. Lingkungan peradilan militer, dan



4. Lingkungan Peradilalan Tata Usaha Negara. Selanjutnya kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh: a. Pengadilan Tata Usaha Negara; b. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan Tata Usaha Negara berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara Tinggi. Ketentuan pasal 4 UU Nomor 9 Tahun 2004 dan Pasal 5 UU Nomor Tahun 1986, menegaskan, bahwa Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi “ rakyat pencari keadilan” (setiap orang baik warga negara Indonesia maupun orang asing, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada peradilan Tata Usaha Negara) terhadap sengketa tata usaha negara. II. Kompetensi Relatif



2



Kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara adalah kewenagan



pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat (pasal 54 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986). Ketentuan pasal 54 ayat (1) UU No.5 Tahun 1986, menentukan: “Gugatan sengketa tata usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.” Dalam penjelasannya, ketentuan Pasal 54 ayat (1) menegaskan , bahwa yang dimaksudkan dengan “tempat kedudukan tergugat” adalah tempat kedudukan secara nyata atau tempat kedudukan menurut hukum, namun demikian jika tempat kedudukan tergugat berada diluar daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, gugatan dapat disampaikan



2



Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.20-21



kepada pengadilan tata usaha negara tempat kediaman penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Demikian pula, apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada diluar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta. Penggugat yang ber ada diluar negeri dapat mengajukan gugatannya dengan surat atau menunjuk seseorang yang diberi kuasa yang berada di Indonesia. Selanjutnya ketentuan pasal 6 UU no. 9 Tahun 2004 menetukan, tempat kedudukan pengadilan tata usaha negara:



1) Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota kabupaten/Kota



dan



daerah



hukumnya



meliputi



wilayah



kabupaten/Kota. 2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudkan di ibukoya provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Berkaitan dengan pembentukannya, ketentuan pasal 9 UU no. 5 Tahun 1986 menetukan pengadilan tatat usaha negara dibentuk dengan keputusan presiden dan pasal 10 UU no. 5 Tahun 1986 menetukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dibentuk dengan undang-undang. Sengketa Tata Usaha Negara pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi di atas, Penulis sependapat dengan eksepsi Tergugat dan putusan Hakim, karena jenis sengketa tersebut adalah sengketa kepegawaian, sehingga berdasarkan pada Pasal 48 Jo Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 seharusnya gugatan tersebut di ajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Maka Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. 2. Subjek Sengketa



3



Ketentuan mengenai pencantuman pihak-pihak dalam sengketa tata usaha ini di



atur dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b Jo Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986, bahwa yang harus dicantumkan terkait subjek atau pihak-pihak yang berperkara dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah Pertama; nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya. Kedua nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat.



1) Penggugat



Nama



: Sudjarwo



Kewarganegaraan



: Indonesia



Alamat



: Jalan Imam Bonjol No.28 RT.18 RW.05, Kelurahan Pematang Kandis, Bangko



Pekerjaan



: Pegawai Negeri Sipil Pemda Kabupaten Merangin



Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 05/ TUN/ LBHDB/ II/ 2003 tanggal 4 Februari 2003 memberikan kuasa kepada Faidillah Darma SH, Budi Asmara SH, dan Alimin SH, Advokat/Pengacara yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum “Darma Bakti”.



2) Tergugat



Nama Jabatan



: Bupati Merangin



Tempat Kedudukan : Jalan Jenderal Sudirman No.1 Bangko



3



Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. , Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Surabaya: Brilian Internasional, 2012), hal.44 (syarat formal)



Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 067/SKH/HK&ORG/2003 tanggal 20 Januari 2003 dan Surat Kuasa Khusus Nomor: 137/ SKH/HK&ORG/ 2003 tanggal 30 Januari 2003 Jo Nomor : B-78/ N.5.14/ G.31/ 2003 tanggal 30 Januari 2003 memberi kuasa kepada Irdam SH, Isnadil SH, Dedie Tri Hariyadi SH, Asep Dahwan S. SH. 3. Objek Sengketa



Objek yang disengketakan di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UndangUndang No.5 Tahun 1986, yaitu suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dalam perkara ini objek gugatan yang diajukan oleh Penggugat merupakan suatu Keputusan Tata Usaha Negara yaitu berupa Surat Keputusan Bupati Merangin No. 335 tahun 2002 tanggal 03 Desember 2002 tentang Pemberhentian Penggugat ( Sudjarwo ) dari Jabatan Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin (eselon II/b) menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin (eselon III/a). Berdasarkan hal tersebut, Maka benarlah bahwa kasus tersebut termasuk kedalam objek sengketa tata usaha negara, tepatnya sengketa kepegawaian yang dapat diperiksa di Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi, karena selain merupakan suatu penetapan tertulis yang bersifat individual, konkret, dan final, juga pihak Penggugat merasa dirugikan oleh keputusan tersebut.



4. Posita Dan Petitum



Seperti yang telah diketahui bahwasanya pada penulisan ini Penulis sedang menganalisis sebuah Putusan Tata Usaha Negara. Suatu Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara akan berisikan rangkuman secara keseluruhan dari pemeriksaanpemeriksaan yang telah dilakukan selama persidangan sesuai isi/sistematika putusan yang telah ditentukan undang-undang. Walaupun pada dasarnya Posita dan Petitum gugatan berawal dari suatu surat gugatan, namun hal itu tidak menghalangi kita untuk dapat mengetahui apa yang menjadi Posita maupun Petitum dari gugatan Penggugat, karena hal tersebut tetap dicantumkan pada suatu Putusan Tata Usaha. Posita atau dasar gugatan berisikan dalil-dalil Penggugat untuk mengajukan gugatan yang diuraikan secara ringkas, sederhana, dan harus jelas atau terang, biasanya berisi tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang merupakan uraian dari duduk perkara suatu sengketa dan berisi fakta hukum terkait hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat. Sedangkan Petitum adalah kesimpulan gugatan yang berisikan hal-hal yang dituntut oleh Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim. Pada sengketa Tata Usaha Negara sesuai contoh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/PTUN.JBI di atas, yang menjadi Posita dan Petitumnya adalah: a. Posita Secara keseluruhan uraian mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa terkait duduk perkara yang tertuju pada dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dapat dilihat dan dicermati pada halaman ke-2 dari Putusan TUN tersebut. Bertitik tolak kepada ketentuan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang No.9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 1986, bahwa alasanalasan Penggugat untuk menggugat adalah: a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada contoh salinan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi di atas, alasan Penggugat mengatakan KTUN tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan adalah karena penerbitan SK Bupati Merangin Nomor 335 Tahun 2002 tanggal 3 Desember 2002 tersebut adalah bertentangan dengan



Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 13 Tahun 2002 yang merupakan ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 yang menyebutkan bahwa “ untuk menjamin pembinaan karir yang sehat tidak diperbolehkan perpindahan jabatan struktural dari eselon yang lebih tinggi kedalam eselon yang lebih rendah”. b) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan azasazas umum pemerintahan yang baik Pada contoh salinan Putusan PTUN di atas, hal ini dapat dilihat atau dibuktikan pada penjabaran “duduk perkara” point ke 16-17, yang menyebutkan bahwa mutasi yang dirasa merugikan Penggugat tersebut dinilai melanggar atau tidak sesuai dengan azas kepatutan kepegawaian yang berlaku umum dan azas larangan berbuat sewenang-wenang. b. Petitum



Yang menjadi tuntutan Penggugat untuk diputuskan oleh Hakim terhadap perkara gugatan dalam sengketa tata usaha negara tersebut adalah: a) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya, b) Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Bupati Merangin No. 335 Tahun 2002 tertanggal 3 Desember 2002 tentang Pemberhentian Penggugat dari Jabatan Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin yang ditempatkan sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kabupaten Merangin, c) Memerintahkan Tergugat menerbitkan Surat Keputusan yang isinya mencabut Surat Keputusan Bupati Merangin yang disebutkan di atas, d) Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan yang isinya merehabilitasi Penggugat sesuai harkat, martabat dan kedudukannya, e) Menetapkan bahwa Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi tentang penundaan pelaksanaan lebih lanjut Surat Keputusan yang menjadi objek sengketa, tetap sah dan berlaku, dan



f) Menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara.



5. Diktum / Amar Putusan



Setelah semua tahap-tahap pemeriksaan di persidangan dilakukan (pembacaan gugatan oleh Penggugat, pembacaan jawaban dari Tergugat, replik, duplik, pengjuan alat-alat bukti, kesimpulan), diman inti dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan mengenai sengketa Tata Usaha Negara itu adalah Pertama, Penggugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang dikeluarkan oleh Tergugat agar dinyatakan batal atau tidak sah. Kedua, Tergugat mengajukan kesimpulan bahwa KTUN yang telah dikeluarkan adalah sah (Wiyono, 2007: 123). Kini tibalah saatnya pada tahap pembahasan penjatuhan putusan akhir. Diktum atau Amar Putusan adalah apa yang diputuskan secara final oleh pengadilan dan merupakan titik akhir yang terpenting bagi Penggugat atau Tergugat, dengan kata lain Diktum atau amar putusan juga dapat dikatakan jawaban atau tanggapan dari petitum. Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Berdasarkan Pasal 97 ayat (7) bentuk Putusan pengadilan dapat berupa: 1. Gugatan ditolak 2. Gugatan dikabulkan 3. Gugatan tidak diterima 4. Gugatan gugur. Pada contoh sengketa Tata Usaha Negara dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI di atas yang menjadi Diktum atau Amar putusan yang diputuskan dalam Rapat Permusyawaratn Majelis Hakim pada hari Rabu tanggal 7 Mei 2003 yaitu, mengadili:



1. Menerima Eksepsi Tergugat, 2. Mencabut Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI. tanggal 24 Januari 2003, 3. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, dan 4. Menghukum



Penggugat



untuk



membayar



biaya



perkara



yang



diperhitungkan, sebesar Rp. 427.000,- (empat ratus dua puluh tujuh rupiah). Dengan diterimanya eksepsi tergugat maka otomatis gugatan Penggugat tidak diterima yaitu putusan yang menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh Penggugat dan Diktum putusan tersebut tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan hukum yang ada antara Penggugat dengan Tergugat, artinya keadaan tetap seperti yang berlaku semula, dimana Penggugat (Sudjarwo) tetap pada posisi jabatannya ketika dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi Objek sengketa dan Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Tergugat (Bupati Merangin) tetap berlaku atau sah menurut hukum, yaitu dengan adanya Putusan Hakim mencabut Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI. tanggal 24 Januari 2003 tentang Penundaan Pelaksanaan Lebih Lanjut Surat Keputusan tanggal 3 Desember 2002 Nomor 335 Tahun 2002. Menghukum Penggugat (Sudjarwo) untuk membayar biaya perkara menurut Penulis sudah tepat, karena berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa “Pihak yang dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara”. Lebih lanjut Pasal 111 UU No.5 Tahun 1986 mengatur, yang termasuk dalam biaya perkara itu adalah: a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai, b. Biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan, dan



c. Biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang. Yang perlu ditekankan dalam penjatuhan putusan adalah bahwa Majelis Hakim wajib menjatuh putusan terhadap semua petitum dan dilarang menjatuhkan putusan di luar atau melebihi petitum. Pasal 68 ayat(1) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 menyebutkan “Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan tiga orang Hakim”. Jika kita cermati, pada contoh Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas sudah memenuhi aturan Pasal tersebut, dapat terlihat pada bagian penutup Putusan PTUN, Majelis Hakim yang memutus tersebut adalah M.Arif Nurdu’a,SH Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi selaku Hakim Ketua Majelis, R.Basuki Santoso,SH dan Husban,SH masing-masing sebagai Hakim Anggota. Pasal 108 ayat(1) dan(2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 mengatur bahwa Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan jika hal tersebut tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika berpandangan pada pasal tersebut, contoh Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas adalah sah dan mempunyai kekuatan hukum, karena putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 8 Mei 2003 oleh Majelis Hakim dan dibantu oleh Bowo Winoto, SH sebagai Panitera sidang yang dihadiri oleh Kuasa Penggugat dan Kuasa Tergugat. Kekuatan hukum dari Putusan sengketa Tata Usaha Negara di atas adalah mengikat semua yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya, yaitu semua orang dan/atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik, karena Putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mengikuti azas Erga Omnes, yang artinya putusan berlaku bagi semua orang.



B. Pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI



Pembuktian merupakan pengujian terhadap ada atau tidaknya suatu fakta, dapat berupa



fakta



hukum



yaitu



kejadian-kejadian



atau



keadaan-keadaan



yang



keberadaannya tergantung dari penerapan suatu peraturan perundang-undangan, dan fakta biasa yaitu kejadian-kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya fakta hukum tertentu (Wiyono, 2007: 148). Fakta-fakta yang disebutkan di atas akan menjadi bahan pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir. Jika mencermati contoh putusan di atas, yang menjadi fakta biasa dalam sengketa Tata Usaha Negara tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang ada diantaranya adalah bahwa kinerja Penggugat (Sujdarwo) ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Tata Kota adalah kurang baik, hal ini dapat dilihat pada halaman ke-34 Putusan tersebut terkait pertimbangan Hakim menyebutkan “ Menimbang, bahwa dari semua saksi yang diajukan oleh Tergugat sebanyak 4 (empat) orang kesemuanya menerangkan kinerja Penggugat sebagai Kepala Dinas Tata Kota adalah kurang baik”. Sedangkan yang menjadi Fakta hukum dari sengketa Tata Usaha Negara yang timbul dari adanya fakta biasa di atas diantaranya adalah dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh Tergugat (Bupati Merangin) berupa Surat Keputusan(SK) Bupati Merangin Nomor 335 Tahun 2002 tanggal 3 Desember 2002 tentang Pemberhentian, Pemindahan, dan Pengangkatan Penggugat ( Sudjarwo) dari Kepala Dinas Tata Kota Kabupaten Merangin(eselon II/b) menjadi Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Kabupaten Merangin(eselon III/a). Pada Pasal 107 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan “ Hakim menetukan apa yang harus dibutikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim”. Dengan demikian Hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara memiliki kebebasan atau dapat menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian, serta Hakim tidak tergantung atau terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa.



Terkait alat bukti, Undang-Undang No 5 Tahun 1986 mengaturnya dalam Pasal 100, yaitu: a. Surat atau tulisan b. Keterangan ahli c. Keterangan saksi d. Pengakuan para pihak e. Pengetahuan Hakim Atas dasar pengaturan terkait alat bukti sebagai pada pasal-pasal di atas, maka pada contoh kasus/sengketa di atas menurut pencermatan Penulis alat bukti yang digunakan sebagai pertimbangan Hakim dalam menentukan putusan akhir adalah: a. Surat atau tulisan ; Bukti ini dapat diperhatikan dari uraian bukti-bukti surat yang diajukan oleh Penggugat maupun Tergugat berupa foto copy yang telah dilegalisir, bermaterai cukup atau dengan kata lain surat-surat yang sudah dianggap sah dan dapat dipergunakan di Pengadilan.



b. Keterangan ahli ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut pihak Penggugat telah mengajukan 1 (satu) orang saksi ahli untuk diperdengarkan kesaksiannya di depan Hakim tentang hal yang diketahuinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.



c. Keterangan saksi ; Pada persidangan sengketa tata usaha negara tersebut juga diperdengarkan keterangan dari saksi-saksi (saksi fakta) yang diajukan oleh Penggugat dan Tergugat.



d. Pengetahuan Hakim ; Dalam hal ini adalah pengetahuan hakim mengenai azas-azas dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan dan penyelesaian suatu sengketa tata usaha negara, misalnya pada sengketa TUN



dalam Putusan di atas adalah sehubungan dengan pertimbangan Hakim untuk mencabut Penetapan Ketua Pengadilan TUN Jambi mengenai Penangguhan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan karena berdasarkan fakta yang ada bahwa jabatan Dinas Tata Kota merupakan institusi pelayanan publik yang harus terus berjalan dan tidak boleh dibiarkan kosong. Maka disinilah letak pertimbangan Hakim yang sesuai dengan pengetahuannya, yaitu berdasarkan pada azas penyelenggaraan kepentingan umum dan Pasal 67 ayat (4) huruf b yang menyebutkan bahwa “permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut”. Dari penjelasan di atas, maka dengan adanya lebih dari dua alat bukti yang digunakan sebagai pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara, maka amar/putusan yang ditetapkan atau diambil oleh Hakim nantinya tidak akan diragukan lagi ketepatan putusannya.



BAB III PENUTUP Kesimpulan 1. Putusan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN.JBI terkait sengketa Tata Usaha Negara antara Sudjarwo(Penggugat) yang menggugat Surat Keputusan Bupati Merangin No.335 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Bupati Merangin (Tergugat) secara keseluruhan sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik dari segi isi putusan maupun maupun sistematika putusan, begitu juga dengan Subjek, Objek, Kompetensi, tenggang waktu mengajukan gugatan sudah tepat. Sehingga hal tersebut mengindikasikan bahwa Putusan Tata Usaha Negara tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. 2. Pembuktian yang dalam hal ini terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jambi Nomor: 01/ G/ TUN/ 2003/ PTUN JBI, hakim dalam memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara memiliki kebebasan atau dapat menentukan sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian, serta Hakim tidak tergantung atau terikat pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Dengan mengacu pada alat bukti, Undang-Undang No 5 Tahun 1986



mengaturnya dalam Pasal 100, yaitu: surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan Hakim.



DAFTAR PUSTAKA Prof. Dr. H. Eko Sugiarto, S.H., C.N., M.Hum. dan Tjondro Tirtamulia, S.H., C.N. 2012. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Surabaya: Brilian Internasional Undang-Undang No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara Undang -Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara http://yogalih.wordpress.com diakses pada tanggal 03 juli 2013