Efektifitas Pelaksanaan Putusan Ptun [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

EFEKTIFITAS PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA YANG SUDAH MEMILIKI KEKUATAN HUKUM TETAP Dosen Pengampu Mata Kuliah Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn.



Disusun oleh :



FAKHRUDHIN YUNARDHIANSYAH (21/484847/PHK/11471) RIKO SANJAYA (21/486013/PHK/11592)



FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GAJAH MADA 2022



A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, di mana ada pemisahan kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Berdasarkan ketiga lembaga negara tersebut, eksekutif memiliki kekuasaan dan wewenang dengan porsi paling besar jika dibandingkan dengan lembaga lainnya. Hal ini dikarenakan pemerintah tidak dapat dilepaskan dari tugas pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara. Semakin kompleksnya urusan pemerintah serta kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat, tidak menutup kemungkinan akan timbulnya benturan kepentingan antara keduanya. Maka dari itu diperlukan pengawasan dalam bentuk check and balances terhadap tindakan pemerintah oleh lembaga negara lainnya, yaitu lembaga yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.1 Menurut Friedrich Julius Stahl, ciri-ciri negara hukum (rechtsstaat) adalah adanya perlindungan Hak Asasi Manusia, pemisahan kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan, dan peradilan administrasi yang bebas dalam perselisihan.2 Peradilan administrasi di Indonesia diwujudkan dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pelaksaaan kekuasaan peradilan bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Masyarakat pencari keadilan yang dimaksud adalah perorangan atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara sehingga memiliki inisiatif untuk mengajukan gugatan yang berisi tuntutan agar keputusan yang dikeluarkan dinyatakan tidak sah dan dibatalkan dalam suatu putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Peradilan Tata Usaha Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Tata Usaha Negara.3 Sengketa yang dimaksud adalah sengketa yang terjadi antara orang atau badan hukum 1



Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sayuti, 2011, “Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, Volume 2, Nomor 2, hlm 92. 3 Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 2



perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai akibat adanya Keputusan Tata Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan berlaku.4 Dengan adanya PTUN diharapkan mampu mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, dan tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, dan selaras antara pemerintah dengan masyarakat.5 Ada beberapa jenis-jenis sengeketa TUN yaitu pertanahan, kepegawaian, perizinan, lingkunan dan lain-lain. Salah satu putusan TUN yang menjadi sorotan adalah putusan PTUN Jakarta Nomor 146/G/2019/PTUN.JK yang merupakan sengketa kepegawaian dimana pegawai atas nama Drs. Sapari yang merupakan Mantan Kepala Balai Besar Pengawa Obat dan Makanan (BBPOM) Surabaya diberhentikan dengan alasan yang tidak jelas. Perkara tersebut dimenangkan oleh penggugat yaitu Drs. Sapari namun pihak tergugat tidak segera melaksanakan putusan pengadilan. Maka penulis tertarik untuk melakukan analisis “EFEKTIFITAS PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA YANG SUDAH MEMILIKI KEKUATAN HUKUM TETAP” B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah yaitu bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap Putusan PTUN yang sudah memiliki hukum tetap? C. PELAKSANAAN EKSEKUSI PUTUSAN TUN Pada faktanya masih banyak putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang sudah mempunyai kekuatan hokum tetap tidak dilaksanakan oleh pejabat TUN. Salah satunya contohnya yaitu sengketa kepegawaian yang ada di Indonesia kasus tentang Drs. Sapari, Apt., Mkes yang merupakan Mantan Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Surabaya yang telah dipecat tanpa alasan oleh Kepala BPOM Penny K Lukito yang mana kasus ini telah termuat oleh media. Bahwa Drs. Sapari telah menggugat Kepala BPOM Dr. Penny Kusumastuty Lukito pada tingkat pertama dengan nomor perkara No.294/G/2018/PTUN Jakarta, Majelis Hakim dalam amar putusan menyatakan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya dan mewajibkan tergugat untuk 4 5



Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara https://ptun-jakarta.go.id/?page_id=14 diakses pada tanggal 20 Februari 2022 pukul 21.00 WIB.



mencabut Surat Keputusan Kepala BPOM RI Nomor KP 05.02.242.09.18.4592 tanggal 19 September 2018 serta mewajibkan dilakukan rehabilitasi terhadap penggugat berupa pemulihan hak penggugat dalam kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya. Lalu pada tingkat Banding dalam perkara No. 226/B/2019/PT.TUN Jakarta yang dalam amar putusan hakim tinggi menyatakan menguatkan putusan pada tingkat pertama. Kemudian di Mahkamah Agung dalam perkara No. 90 K/TUN/2020 yang diputus pada tanggal 19 Maret 2020 dengan amar putusan menolak kasasi yang dimohon oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Bahwa Drs. Sapari juga mengaku telah menyurati Presiden RI Joko Widodo sebanyak dua kali dan pesan Instagram sebanyak satu kali.6 Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai Pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa anatara para pihak. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) HIR putusan dibedakan menjadi dua macam yaitu putusan akhir dan putusan sela. Putusan adalah merupakan putusan yang mendahului dikeluarkannya putusan akhir dengan maksud untuk mempermudah pemeriksaan perkara selanjutnya dalam memberikan putusan akhir sedangkan putusan akhir adalah putusan yang bersifat mengakhiri suatu sengketa dalam tingkat tertentu. Terdapat 3 (tiga) jenis putusan dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara yaitu: a.



Putusan yang bersifat pembebanan (condemnatoir) Putusan yang mengandung pembebanan. Misalnya Tergugat dibebani untuk membatalkan surat keputusan yang digugat; Tergugat dibebani membayar ganti kerugian atau Tergugat dibebani melakukan rehabilitasi. (Pasal 97 ayat 9 butir / huruf a,b,c, Pasal 97 ayat 10 dan 11). Contoh : surat pemberhentian pegawai dibatalkan dan melakukan rehabilitasi.



b.



Putusan yang bersifat pernyataan (declaratoir) Putusan yang hanya menegaskan suatu keadaan hukum yang sah. Misalnya penetapan dismisal (Pasal 62). Contoh gugatan tidak diterima atau tidak berdasar. Penetapan perkara diperiksa dengan acara cepat (Pasal 98). Beberapa perkara perlu digabungkan atau dipisah-pisahkan, dan lain-lain.



6



https://www.inanews.co.id/2020/06/resmi-berkekuatan-hukum-tetap-sapari-mohon-presiden-perintahkan-kepalabpom-jalani-hasil-putusan-kasasi/ diakses pada tanggal 19 Februari 2022 pukul 18.00 WIB.



c.



Putusan yang bersifat penciptaan (konstitutif) Putusan yang melenyapkan suatu keadaan hukum atau melahirkan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. (Pasal 97 ayat 9 huruf b) .7 Pelaksanaan putusan merupakan bentuk eksekusi. Eksekusi dapat dilaksanakan



jika sudah ada suatu putusan yang mempunyai kekutan hokum tetap. Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi putusan TUN diatur dalam Pasal 116 hingga 119 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada pasal 116 UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut: a.



Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari.



b.



Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, keputusan yang dipersengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.



c.



Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah tiga bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.



d.



Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.



7



Dezonda Rosiana Pattipawae, 2019, “Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Di Era Otonomi”, Volume 25, Nomor 1, hlm 97.



e.



Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media masa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).



f.



Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.8 Sepengetahuan penulis sudah tidak ditemukan berita perkembangan terkait



eksekusi pemecatan tanpa alasan Drs. Sapari, Apt., Mkes. Bahwa hanya ada dua kemungkinan terkait perkara tersebut yaitu dilaksanakannya putusan TUN atau tidak dilaksanakannya putusan TUN. Perkara tersebut akan selesai ketika tergugat melaksanakan putusan TUN secara suka rela. Jika putusan tidak dilaksanakan oleh tergugat sebagaimana telah diatur, maka penggugat dapat mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi yang nantinya dapat berupa pembayaran uang paksa, sanksi administrasi, pengumuman di media massa dan mengajukan permasalahan tersebut kepada Presiden: a. Pembayaran Uang Paksa dan Sanski Administrasi Uang paksa atau dwangsom adalah pembayaran sejumlah uang yang dibayar sekaligus atau dengan cara diangsur kepada orang tua atau ahli warisnya, atau hokum badan perdata yang dibebankan tergugat (Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara) karena tidak tidak melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan hal tersebut menimbulkan kerugian materiil terhadap orang atau badan hukum perdata. Namun dalam prakteknya pelaksanaan upaya paksa dengan dwangsom atau uang paksa ini belum dapat dilaksanakan dengan optimal karena aturan pelaksanaan mengenai dwangsom atau uang paksa tersebut belum ada dan tidak lembaga pengawasa eksekutorial. Hal tersebut menjadi celah para tergugat untuk tidak melakukan pembayara uang paksa. Pada sanksi administrasi belum ada kejelasan siapakah yang berhak untuk 8



Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara



memberikan sanksi administratives terhadap pejabat yang tidak mentaati putusan pengadilan TUN karena di dalam UUPTUN tidak dijelaskan mekanisme penerapan sanski administrative. b. Pengumuman di media massa tentang pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan dan ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan. Pengumuman di media massa mempunyai tujuan untuk memberikan tekanan psikis kepada pejabat TUN yang tidak mematuhi putusan peradilan TUN. Sehingga dapat menumbuhkan rasa malu bagi pejabat TUN ketika tidak melaksanakan putusan peradilan TUN. Pemberitahun kepada Presiden pastilah memiliki prosuder yang berbelit-belit dan waktu yang cukup lama untuk dikeluarkannya perintah Presiden. Dapat dimungkinkan juga presiden tidak mengambil sikap atau hanya diam saja. D. KESIMPULAN Bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap putusan PTUN tidak selalu berjalan secara efektif meskipun sudah ada pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur tentang pelaksanaan eksekusi. Masalah yang ditemui dalam pelaksanaan eksekusi adalah pertama mengenai uang paksa yang harus dibayarkan tidak disebutkan secara jelas siapakah yang harus membayar, apakah dari pihak perorangan ataukah dari pihak instansi. Kedua dalam memberikan sanksi administrasi tidak disebutkan secara jelas atasasn yang mana yang diberikan hak untuk melakukan pemberian sanksi administrasi kepada pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan. Ketiga pengumuman pada media massa hanya memberikan tekanan psikis saja kepada tergugat hal tersebut tidak akan berlaku ketika pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan tidak memiliki sifat malu. Ketiga pemberitahun kepada Presiden pastilah memerlukan prosuder yang panjang sehingga memerlukan waktu cukup lama sampai dikeluarkan perintah Presiden selain itu dapat dimungkinkan Presiden tidak mengambil sikap apapun sehingga pelaksanaan eksekusi akan mengambang. Keempat kurangnya kesadaran hukum yang dimiliki oleh pejabat TUN untuk melaksanakan putusan peradilan TUN yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.



DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pada pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jurnal Sayuti, 2011, “Konsep Rechtsstaat Dalam Negara Hukum Indonesia”, 2, 81-105, diakses dari https://www.neliti.com/publications/220458/konsep-rechtsstaat-dalam-negara-hukumindonesia-kajian-terhadap-pendapat-azhari Dezonda Rosiana Pattipawae, 2019, “Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara



Di



Era



Otonomi”,



25,



92-106



diakses



dari



https://fhukum.unpatti.ac.id/jurnal/sasi/article/view/151 Internet https://ptun-jakarta.go.id/?page_id=14 diakses pada tanggal 20 Februari 2022 pukul 21.00 WIB. https://www.inanews.co.id/2020/06/resmi-berkekuatan-hukum-tetap-sapari-mohon-presidenperintahkan-kepala-bpom-jalani-hasil-putusan-kasasi/ diakses pada tanggal 21 Februari 2022 pukul 18.00 WIB.