Analisis Wacana [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya ada beberapa sudut pandang yang berbeda terhadap wacana, yaitu berdasarkan pandangan formal, fungsional, dan dialektis/kritis.Wacana berdasarkan pandangan struktural dipandang sebagai satuan bahasa di atas kalimat.Bahasa pada tataran ini sebagai organisasi bahasa yang terbentuk dari unsur-unsur yang lebih kecil pada tataran klausa dan kalimat. Pandangan fungsional memandang wacana sebagai bahasa dalam penggunaannya, dalam hal ini wacana dipandang sebagai alat komunikasi. Pandangan yang terakhir yaitu pandangan dialektis/ kritis memandang wacana sebagai ujaran, yakni wacana dipahami sebagai sebagai suatu kumpulan unit struktur bahasa yang tidak lepas dari konteks. Maka keberadaan kalimat dalam suatu wacana tidak dipandang sebagai suatu sistem (langue/ produk sosial yang masih tersimpan dalam pikiran manusia) tetapi juga dipandang sebagai (parole/ ujaran yang diproduksi oleh penutur). Berdasarkan sudut pandang terhadap wacana tersebut kemudian lahir analisis wacana struktural, fungsional, dan dialektis/kritis. Cara pandang yang berbeda membuat fokus analisis ketiga analisis wacana tersebut juga berbeda. Analisis wacana struktural memfokuskan kajiannya pada unit kata, frase, atau kalimat yang membentuk sebuah wacana. Analisis wacana fungsional memfokuskan analisisnya pada penggunaan bahasa senyatanya sebagai alat komunikasi. Terakhir, analisis wacana dialektis/kritisyang fokus kajiannya pada struktur bahasa dan konteks. Dari ketiga analisis wacana tersebut saat ini analisis wacana dialektis/ kritis saat ini lebih banyak menarik perhatian para linguis. Tidak mengherankan bila kemudian muncul banyak model untuk menganalisis wacana secara dialektis/ kritis ini. Salah satu model yang paling sering digunakan adalah model Teun A. Van Djik. Model ini paling sering digunakan karena sifatnya yang sistematis dan komperhensif. Teun A. Van Djik membagi atas tiga tingkatan struktur dalam menganalisis wacana, yaitu: struktur makro, super struktur, dan struktur mikro (macrostructure superstructure, and micro structure) (Eryanto, 2001:226). Struktur makro menekankan pada makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topic/tema yang diangkat oleh suatu teks. Superstruktur merupakan kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan. Struktur mikro merupakan 1



makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat dan gaya bahasa yang digunakan. Untuk lebih memperdalam pemahaman terkait dengan analisis wacana kritis



menggunakan model Teun Van Djik tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan mengulas penelitian analisis wacana yang mempergunakan model tersebut. Salah satu hasil penelitian yang mempergunakan model tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Tia Agnes Astuti yang berjudul “ Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau” pada tahun 2011. Dalam ulasan ini akan diuraikan sejauh mana peneliti mampu menerapkan model analisis wacana kritis Teun Van Djik serta kelemahan dan keunggulan hasil dan pembahasan penelitian yang dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah penulisan dapat dirumuskan sebagai berikut.



1. Bagaimana ringkasan isi skripsi dari Tia Agnes Astuti yang berjudul Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau” pada tahun 2011. 2. Bagaimana ulasan skripsi serta keunggulan dan kelemahan skripsi karya Tia Agnes Astuti yang berjudul Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau” pada tahun 2011.



1.3 Tujuan Sejalan dengan rumusan masalah di atas tujuan dari ulasan ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan ringkasan isi skripsi dari Tia Agnes Astuti yang berjudul Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau” pada tahun 2011.



2



2. Mendeskripsikan keunggulan dan kelemahan skripsi karya Tia Agnes Astuti yang berjudul



“ Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau” pada tahun 2011. 1.4 Manfaat Hasil penyusunan makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak berikut. 1. Bagi siswa dan mahasiswa Ulasan ini dapat memberikan gambaran serta informasi kepada siswa dan mahasiswa mengenai model analisis wacana kritis menggunakan model Teun Van Djik 2. Bagi guru dan dosen bahasa Indonesia



Pembahasan mengenai keunggulan dan kelemhan hasil penelitian wacana kritis ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi guru dan dosen.



BAB II PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan gambaran singkat tentang penelitian yang dilakukan oleh yang diikuti dengan ulasan terkait hasil dan pembahasan (BAB IV) skripsi ini. Tia Agnes Astuti adalah mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini dibuat sebagai persyaratan



3



mencapai gelar sarjana pendidikan. Penelitian ini berwujud skripsi yang berjudul “ Analisis Wacana Van Djik terhadap berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau. Sebelum pengulas menguraikan ulasan terkait dengan hasil dan pembahasan skripsi ini ada baiknya pengulas menguraikan terlebih dahulu uraian ringkas dari skripsi ini. Dengan demikian pembaca akan terbantu dalam memahami uraian ulasan yang pengulas berikan. Berikut pengulas sajikan uraian ringkas dari bab I-bab V tersebut. 2.1 Ringkasan Skripsi Analisis Wacana Van Djik Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Pada Majalah Pantau Tia Agnes Astuti/ 106051101943 Laporan hasil penelitian dari Tia Agnes Astuti berjudul “Analisis Wacana Van Djik Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Pada Majalah Pantau”. Penelitian yang dilakukan Tia Agnes Astuti ini bertujuan untuk (1) Untuk mengetahui wacana teks yang dikontruksikan oleh penulis yang terdapat dalam pemberitaan ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di Majalah Pantau; (2) Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di Majalah Pantau. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu (1) Manfaat Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengemban wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti simpang kraft ini; dan (2) Manfaat Praktis, hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi akademis, praktisi, mahasiswa jurnalistik, dan kepada pembaca pada umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Khususnya bagi mahasiswa/I jurnalistik yang ingin mempelajari jurnalisme sastrawi. Dengan membaca ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris, paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan konstruktivisme karena 4



dengan pola berpikir konstruktivis ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis wacana model Teun Van Djik membagi wacananya ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Djik tidak hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental para pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat. Naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah salah satu peristiwa berdarah yang terjadi di Aceh. Banyak konflik dan peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia, Perda Syariah yang diterapkan disana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun, peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyaralkat Aceh, khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapat keadilan dari segi hukum. Chik Rini (penulis berita) mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999. Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun konstruktivis. Analisis wacana model Teun Van Djik. Model Van Djik ini menganalisis dari tiga elemen yaitu teks, kognisi social, serta konteks social. Hasil penelitiannya diuraikan sebagai berikut: 1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Kerangka analisis data teks adegan 1 Struktur wacana Elemen Temuan Struktur Makro Topik/ Tema Kronologis awal mula kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe Super struktur Skema/ Alur  Pembuka: Situasi Lhokseumawe pada dini (semantik) hari, 3 Mei 1999  Isi: Kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe dengan tujuan meliput sisi kedamaian dari Aceh  Penutup adegan ini adalah ketiga wartawan RCTI beristirahat untuk memulihkan fisik ketika akan reportase esok pagi Struktur mikro Latar Latar situasi akan kota Lhokseumawe serta sejarah (semantik) kota tersebut yang membawa kepada alas an 5



Detil Maksud



Praanggapan



Nominalisasi Struktur Mikro Bentuk kalimat (sintaksis) Koherensi



Kata ganti



Struktur mikro Leksikon (stilistik) Struktur (retoris)



mikro Grafis



Metafora



perlawanan senjata oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada militer Indonesia yang ada di Aceh Pada paragraf kedua adegan 1, Chik Rini mampu mendeskripsikan keadaan kota Lhokseumawe pada dini hari senin, 3 Mei 1999 Elemen maksud pada adegan 1 yaitu paragraf 5 menenai keinginan GAM untuk memerdekakan orang Aceh dari ketidakadilan yang mereka rasakan “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh” (paragraf 3) selanjutnya Chik Rini memaparkan kekayaan gas alam di Aceh yang tersebar di Indonesia serta perusahaan-perusahaan yang ada di sana untuk memperkuat premis yang ia sebutkan di awal paragraf Banyak nominalisasi pada adegan 1 salah satunya, “setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.” (Paragraf 5) Salah satu bentuk kalimat aktif pada adegan 1 adalah, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13)  Koherensi (konjungsi kata ‘tapi’) “...untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.”  Koherensi pembeda: “Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakat.” Kata ganti yang digunakan pada adegan 1 adalah kata “mereka,” seakan-akan kata “mereka” itu memisahkan antara penulis dengan narasumber serta pembaca Orang Aceh (paragraf 4), militer indonesia, penganiayaan (paragraf 5), kelompok separatis, kekerasan (paragraf 14), kekejaman, mati, perlawanan bersenjata, kekejaman (paragraf 15) “Imam membaca beberapa graffiti bertuliskan kata “referendum” di badan jalan.” (paragraf 18) Dari keseluruhan kata referendum yang ada di adegan 1 hanya ada satu kalimat yang kata referendumnya menggunakan tanda petik di atasnya “semburan api raksasa”, “langit tampak merah membara oleh cahaya api,” (paragraf 2)



2. Kognisi Sosial



6



Chik Rini mencoba melepakkan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam teks berita. 3. Konteks Sosial Wacana yang berkembang di masyarakat pada saat itu adalah orang aceh masih membenci militer di Indonesia dan orang Jawa yang mereka rasa telah menjajah orang aceh selama sepuluh tahun daerah operasi militer Aceh Teks tidak lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa berdarah di Aceh. Adapun kesimpulan dari penelitian Tia Agnes Astuti, yaitu dilihat dari segi dimensi teks Teun Van Djik (1) Teks ini mampu memaparkan dari segi semantik atau makna yang ditekankan dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara keseluruhan teks; (2) Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis menggunakan kata-kata yang berkonotasi negative terhadap pihak militer Indonesia maupun orang Jawa. Seperti penggunaan kata: militer Indonesia, rejim Soeharto, pemerintahan di Jakarta, dan sebagainya; (3) Secara keseluruhan, teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini menerapkan empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe dengan baik dan wacana midel Van Djik ini membantu dalam konstruksi wacana teks. Dari dimensi kognisi sosial, Chik Rini mencoba melupakan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam teksnya. Ia memiliki kekuatan dalam wilayah dan akses kepada beberapa narasumber. Sedangkan wacana yang berkembang di masyarakat ketika itu (konteks sosial) ialah orang Aceh selama sepuluh tahun masa daerah operasi militer Aceh. Dari penelitian menegnai naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini, peneliti mempunyai saran sebagai berikut: (1) Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/I jurnalistik yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi maka dianjurkan untuk membaca naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Empat elemen 7



Tom Wolfe diaplikasikan dengan baik dalam wacana teks ini; (2) Bagi Majalah Pantau, meski kini tidak diterbitkan lagi dalam bentuk majalah namun seyogyanya Pantau tetap menyuarakan kekritisan seputar media dan wartawan dalam medium website. 2.2 Uraian Skripsi dan Kelebihan serta Kekurangannya A. Abstrak Tia Agnes Astuti/ 106051101943 Analisis Wacana Van Djik Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Pada Majalah Pantau Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi. Tom Wolf pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di Indonesia, majalah pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab majalah pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh pantau. Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di majalah pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di majalah pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di majalah pantau? Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaaan kata atau bahasa dalam teks, penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris, paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruktivis ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis wacana model Teun Van Djik membagi wacananya ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Djik tidak hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental para pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat. Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999. Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun konstruktivis. Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa berdarah di Aceh.



8







Komentar Terhadap Bagian Abstrak Kelemahan yang terdapat pada bagian abstrak ini yaitu peneliti tidak memaparkan



tujuan penelitian, metode penelitian, dan kata kunci dari penelitian tersebut. Peneliti lebih banyak mengulas tentang jurnalisme sastrawi saja. Kata yang digunakan dalam abstrak terlalu penuh yaitu melebihi dari 200 kata. Dari segi penulisan nama, nim, judul, seharusnya diletakkan ditengah-tengah atau menggunakan pengaturan paragraph centre. Pengaturan spasi pada abstrak tidak menggunakan spasce teks atau pengaturan spasi pada teks tidak sesuai dengan penulisan abstrak secara umum yaitu menggunakan satu spasi. B. Latar Belakang Latar Belakang Masalah Asep Saeful Muhtadi dalam buku “Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik” mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa. Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini. Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media massa menyajikan pesanpesan atau tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa. Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrik-rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan control sosial secara bebas dan bertanggung jawab. Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut. Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam system kenegaraan, setelah legislative, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela kebenaran dan keadilan,sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap penting oleh publik. Bill Kovach, ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu lembaga kewartawanan yang perduli kepada publik di Amerika Serikat, ia menyatakan bahwa setidaknya ada Sembilan elemen jurnalisme dalam media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga 9



independensi terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah, media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani. Kesembilan elemen dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam perusahaan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang menarik pula. Pada umumnya, gara penulisan berita konvensional terdapat dua yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya majalah tempo, gatra, trust, dan sebagainya yang menerapkannya karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan majalah pantau. Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan genre literary journalism (jurnalisme sastrawi). Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana repotase dikerjakan secara mendalam, penulisan dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama new journalism atau jurnalisme baru. Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan “saya membaca laporanmu enak seperti tulisan fiksi”. Elemen-elemen yang selama ini ada dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar “isi kepala” narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk memberikan deskripsi dan kata lain, membutuhkan sisi lain peliputan, misalnya orang ketiga. Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di Majalah Pantau. Dengan judul, “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalan dan Memikat” yang diterbitkan Yayasan Pantau dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam penelitian ini yaitu tulisan berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak desember 2001 lalu. Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe, dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan ini, namun dia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan, masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka propinsi Banda Aceh yang sangat terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Rini yang mengadopsi naskah “Hiroshima” Karya John Hersey ke dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi terbaik yang dimilki Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau. 10



Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik meneliti dengan judul “Analisis Wacana Van Djik Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Di Majalah Pantau”







Komentar Terhadap Bagian Latar Belakang Pada bagian ini peneliti memaparkan mengenai fungsi umum dari media massa yaitu



menyiarkan informasi, mendidik, menghibur, serta keberadaan jurnalistik atau pers dalam sistem kenegaraan. Peneliti juga mengulas tentang biografi singkat Chik Rini penulis berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”. Peneliti tidak memaparkan dengan jelas mengenai penggunaan teori Teun Van Djik, padahal secara jelas peneliti menuliskan judul skripsinya menggunakan teori Van Djik. Peneliti juga kurang jelas memaparkan alasannya mengapa peneliti memilih berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” sebagai objek penelitiannya, dan alasan mengapa jurnalisme sastrawi yang diangkat oleh peneliti menjadi topik permasalahan juga kurang dijelaskan secara detail. Kelebihan dalam latar belakang, yaitu peneliti telah menyusun latar belakang dari hal yang umum ke hal yang bersifat khusus.



C. Batasan dan Rumusan Masalah Masalah yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang terdapat dalam pemberitaan ’’Sebuah Kegilaan Di Samping Kraft’’ karya Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002. Peneliti ini dengan menggunakan paradigma konstruksivis dengan pisau analisis wacana model Van Djik. Adapun rumusan masalah penelitian itu, yaitu : 1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di majalah pantau dikonstruksikan ? 2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’di Majalah Pantau ?







Komentar terhadap perumusan masalah penelitian. Rumusan masalah menunjukkan secara tegas permasalahan yang akan dicari



pemecahannya. Umumnya rumusan masalah menggunakan kalimat tanya namun dapat juga dalam bentuk kalimat pernyataan. Satu kriteria penulisan perumusan masalah dalam penelitian adalah adanya suatu kejelasan tentang hal apa yang dicari dan masalah apa yang akan dipecahkan. Kejelasan masalah yang dirumuskan sangat bergantung pada redaksi 11



penulis dalam penyampaiannya. Berkaitan dengan masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini, nampak masih belum jelas. Rumusan masalah pertama pada penelitian di atas masih belum jelas apa yang dikonstruksikan. Pada perumusan masalah yang pertama redakdsi dapat diubah menjadi perumusan yang lebih baik. Berikut pembenaran yang dilakukan : 1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di majalah pantau dikonstruksikan ? (salah) 2. Bagaimanakah struktur wacana teks dalam berita ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di majalah pantau dikonstruksikan ? (perbaikan) D. Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikontruksikan oleh penulis yang terdapat dalam pemberitaan ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di Majalah Pantau. 2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ di Majalah Pantau.







Komentar terhadap tujuan penelitian. Tujuan penelitian harus sesuai dengan pertanyaan yang ada dalam rumusan



masalah. Tujuan penelitian yang dirumuskan pada penelitian di atas pada dasarnya telah sesuai dengan fokus masalah dalam penelitian. Namun, yang menjadi masalah dalam perumusan tujuan ini adalah mengguanaan kata untuk pada awal redaksi. Tanpa kata untuk pun pernyataan itu sudah diketahui sebagai tujuan dari penelitian. Selain itu, penggunaan kata mengetahui akan lebih baik jika diganti dengan kata mendeskripsikan karena tujuan dari sebuah penelitian bukan saja hanya sekedar mengetahui tetapi juga harus mampu mendeskripsikan. E. Manfat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengemban wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi sehari-hari di sekitar kita. Seperti, 12



peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti simpang kraft ini. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi akademis, praktisi, mahasiswa jurnalistik, dan kepada pembaca pada umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Khususnya bagi mahasiswa/I jurnalistik yang ingin mempelajari jurnalisme sastrawi. Dengan membaca ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’ karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.







Komentar terhadap manfaat penelitian. Manfaat teoretis dalam penelitian adalah manfaat bagi pengembangan teori



keilmuan. Pada penulisan manfaat teoretis ada penulisan istilah yang tidak baku, yaitu kata “teoritis” yang seharusnya “teoretis”. Manfaat praktis dalam penelitian adalah manfaat yang ditujukan pada beberapa pihak yang sangat jelas keberadaannya. Baik itu pihak sekolah, guru, siswa, dan pihak masyarakat ilmu lainnya. Jika dilihat dari perumusan masalah di atas, masih belum jelas manfaat apa yang diperoleh pihak-pihak yang dicantumkan sebagai penerima manfaat penelitian ini. Sebagai contoh pembenaran : bagi akademisi penelitian ini bermanfaat sebagai sebagai penambah pengetahuan atau wawasan mengenai jurnalisme sastrawi. F. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan dengan pisau analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. Djik. Pendekatan kualitas ini memusatkan perhatian pada prinsip –prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. 2. Tahapan penelitian a. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu diantaranya : a) Observasi Teks Observasi atau pengamatan langsung dilakukan pada teks yang akan diteliti. Maka, kegiatan observasi ini dilakukan dengan cara mencari dan menghimpun berita ‘’Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft’’. b) Wawancara Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaanpertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai pendukung bagi kondisi sosial dalam analisis wacana Van Djik. 13



Dalam penelitian ini, ada tiga narasumber yang diwawancarai, yaitu pertama Chik Rini selaku wartawan sekaligus penulis ‘’Sebuah Kegilaan di Sipang Kraft’’, kedua Andreas Harsono sebagai penanggung jawab dari Majalah Pantau, ketiga Imam Sofwan selaku redaksi dari Yayasan Pantau. c) Dokumentasi Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana. Dokumentasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan, membaca, dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis ( buku, majalah, jurnal ) yang terdapat di perpustakaan, internet, atau instansi lain yang dijadikan analisis dalam penelitian ini. b Teknik Pengolahan Data a) Dalam penelitian ini menggunakan analisis model Teun Van Djik yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi, sosial, dan konteks sosial. Dari bebarapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu meneliti wacana dengan teknik Van Djik. Karena selain hanya menganalisis dari struktur teks, analisa, juga menukik kepada lemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa) serta konteks sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa) serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat). Teknik ini dirasa lebih tepat karena dalam penelitia ini, lebih ingin membongkar konstruksi relitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut. TINJAUAN PUSTAKA Penulis dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis,Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Centre of Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negri (UIN). Adapun beberapa tinjauan pustaka yang digunakan dalam skripsi ini, yaitu: 1. Skripsi karya Sofwan Tamami dengan judul “Analisis Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Greet Wilders di Harian Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008). 2. Skripsi karya Yull Shella K.A dengan judul “Analisis Wacana Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia : Studi Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif”. 3. Skripsi karya Astri Putriyanti denga judul “Analisis Wacana Rubrik ’’Media dan Kita’’ Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009”. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teoritis terdiri dari menguraikan mengenai kajian teoritis mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun Van Djik dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta skema model wacana Van Djik. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi. Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau mempaparkan mengenai berdiri dan perkembangan Majalah Pantau dan Yayasan Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu peneliti juga memberikan gambar umum mengenai profil Chik Rini an synopsis dari naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”. Bab IV Hasil Penelitian berisi mengenai penjelasan hasil penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya. Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.







Komentar terhadap Metode Penelitian. 14



Berkaitan dengan perumusan bab III ada beberapa hal yang harus dilihat. Pertama, berkaitan dengan struktur penulisan, kejelasan penulisan, dan kelengkapan bagian-bagian yang mendukung dalm suatu penelitian. 1. Struktur penulisan Struktur penulisan yang benar dalam penulisan metode penelitian adalah dimulai dari rancangan penelitian atau pendekatan penelitian, subjek penelitian, objek penelitian, metode pengumpulan data, instrument penelitian, analisis data, penyajian data, dan pemeriksaan keabsahan data.(refrensi) Berdasarkan beberapa unsur yang harus ada dalam penulisan metode penelitian seperti di atas, maka dapat disampaikan beberapa kekurangan dalam penulisan bab III dalam penelitian ini. Pertama tidak dicantumkan subjek penelitian. Mengingat bahwa subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variabel melekat, dan yang dipermasalahkan dalam penelitian (Suandi, 2008:31). Berkaitan dengan esensi dari subjek penelitian ini, maka secara jelas keberadaan subjek penelitian adalah suatu yang mutlak adanya dalam penelitian. Objek dalam penelitian ini pun juga tidak dicantumkan. Objek penelitian adalah yang menjadi inti permasalahan yang akan dipecahkan dalam penelitian. Objek penelitian juga tidak kalah penting keberadaannya dengan subjek penelitian. Di dalam suatu penelitian haruslah mencantumkan subjek dan objek penlitian. Berkaitan dengan sturktur penulisan, peneliti dalam penelitian ini belum menyampaikan sebuah instrument penelitian. Instrument penelitian sangatlah penting dalam sebuah penelitian. Instrument penelitian adalah alat yang membantu kelancaran dalam sebuah penelitian, khususnya dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini instrument penelitian yang tepat adalah daftar pertanyaan. Peneliti mengungkapkan metode wawancara yang digunakan adalah terstruktur sehingga seharusnya peneliti juga mencantumkan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan.



Suandi (2008:44)



menyatakan



wawancara



berstruktur,



semua



pertanyaan telah dirumuskan sebelumnya dengan cermat, biasanya secara tertulis.



15



Penulisan yang kurang pada bagian terakhir adalah tidak dicantumkan adanya penyajian data. Penyajian data berkaitan dengan tata cara penyajian data yang sudah dianalisis sebagai bagian dari bab IV, yaitu analisis data dan pembahasan. 2. Kejelasan penyajian sub-sub pokok metode penelitian. Dalam penelitian ini penjelasan terkait beberapa sub-sub pokok metode penelitian sudah sesuai. Metode pengumpulan data yang lazim digunakan dalam penelitian bahasa dan sastra, yaitu : (1) metode observasi, (2) metode wawancara, (3) metode dokumentasi, dan (4) metode kuesioner (Suandi, 2008:39). Metode pengumpulan data ada sub-sub tambahan lagi sudah mejelaskan metode yang digunakan, masalah yang dipecahkan dengan metode apa, akan tetapi belum disertai instrument penelitian yang mendukung. Berkaitan dengan instrument, sangat tepat jika instrument yang digunakan untuk mendukung metode pengumpulan data adalah instrument kartu data dan daftar pertanyaan. Kartu data ini akan berisikan no data, jenis data, beserta nalisis. Maka dengan menggunakan kartu data ini, akan diperoleh pengumpulan data yang tepat dan sistematis. Serta daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada orangorang yang akan diwawancarai oleh peneliti. 3. Teknik analisis data yang digunakan sudah sesuai dengan jenis wacana yang dianalisis. 4. Penelitian ini sudah mencantumkan tinjauan pustaka. Akan tetapi,



dari ketiga



tinjauan pustaka tersebut tidak ada yang menggunakan teori Van Dijk. Peneliti seharusnya mencantumkan setidaknya satu tinjauan pustaka yang meneliti tentang analisis wacana dengan teori Van Dijk dikarenakan tinjauan berfungsi memberikan informasi tentang metode-metode penelitian, populasi dan sample, instrumen pengumpulan data, dan perhitungan statistik yang digunakan dalam penelitian tersebut dan juga menyediakan temuan-temuan penelitian terdahulu yang dapat dihubungkan dengan temuan-temuan kita (Suandi, 2008:28). 5. Sistematika penulisan dalam penelitian ini tidak sesuai dengan sistematika penulisan pada umumnya. Metode penelitian ditempatkan pada Bab I, seharusnya ditempatkan pada Bab III. Bab III berisi tentang gambaran umum majalah pantau 16



beserta biografi penulis yang seharusnya ditempatkan pada Bab II, dijadikan satu ke dalam kajian teori. Akan tetapi, semua kembali lagi terhadap peraturan di setiap universitas masing-masing. G. Kajian Teori BAB II KAJIAN TEORI A. Analisis Wacana 1. Pengertian Analisis Wacana Pengertian analisis wacana terdiri atas dua kata, yaitu analisis dan wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk mamahami pertalian antar unsur tersebut. Van Djik menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangunan teoritis yang abstrak (the theoritical construct) . analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap wacana. 2. Analisis Wacana Model Teun Van Djik Van Djik memfokuskan kajiannya pada strategis wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dalam wacana adalah pola-pila akses terhadap wacana publik yang bertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif dari bentukbentuk masyarakat, ilmu pengetahuan, idiologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan masyarakat, serta struktur sosial mikro dan makro. Van Djik menggambarkan wacana mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial, dan kenteks sosial. Gambar 1.



Teks Kognisi Sosial Konteks Sosial Sedangkan skema penelitian dan metode yang bisa dilakukan dalam kerangka Van Djik adalah sebagai berikut. Tabel 1 Skema Penelitian dan Metode Van Djik 17



STRUKTUR METODE Teks 3. Menganalisis Kerangka bagaimana Analisis Van Djik strategi wacana yang a. D digunakan untuk i menggambarkan seseorang Critical linguistic m atau peristiwa tertentu. e Bagaimana strategi tekstual n yang dipakai untuk s memarjinalkan suatu i kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam Wawancara mendalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis Konteks Sosial Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang Studi pustaka, penelusuran dalam masyarakat, proses sejarah, dan wawancara produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan Teks Van Djik membagi struktur dari teks ke dalam tiga tingkatan, yaitu Tabel 2. Struktur Teks Van Djik Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh Van Djik dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 3. Elemen Wacana Teks Van Djik Struktur



Hal yang Diamati



Elemen 18



Wacana Struktur Makro Superstruktur



Struktur Mikro



Struktur Mikro Struktur Mikro Struktur Mikro



TEMATIK Tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu berita SKEMATIK Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh SEMANTIK Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal, dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi lain SINTAKSIS\ Bagaimana kalimat (bentuk susunan) yang dipilih STILISTIK Bagimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita RETORIS Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan



Topik Skema atau Alur



Latar, Detil, Praanggapan, Nominalisasi



Maksud,



Bentuk kalimat, Koherensi, Kata ganti Leksikon Grafis, Ekspresi



Metafora,



Elemen di atas merupakan satu kesatuan, saling vberhubungan, dan mendukung satu sama lainnya. b. Dimensi Kognisi Sosial Dalam kerangka analisis Van Djik, pentingnya kognisi sosial yaitu kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Wartawan tidak lagi dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang memiliki berbagai nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupan. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental yang tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial, dan peristiwa. Berikut adalah beberapa skema/ model. Tabel 4. Skema/Model Kognisi Sosial Van Djik Skema Person (Person Schemas) Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain Skema Diri (Self Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang Skema Peran (Role Schemas) Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat 19



Skema Peristiwa Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu c. Dimensi Konteks Sosial Dimensi ketiga dari analisis Van Djik ini adalah konteks sosial, yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Djik ada dua poin penting, yaitu praktik kekuasaan (power) dan akases (access). Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut dengan dominasi karena praktik seperti ini dapat memngaruhi letakl atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut. Akses juga berpengaruh dalam sebuah wacana. Akses ini maksudnya adalah bagiamana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Sehingga kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memengaruhi wacana. B. Konseptualisasi Berita 1. Pengertian Berita Paul De Massener dalam buku Here’s The News: Unesco Associate menyatakan News atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Ini bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita. Dapat disimpukan berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik, dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media online internet. 2. Nilai-Nilai Berita Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita yang pantas untuk diliput dan yang tidak. Adapun 11 nilai berita menurut AS Haris Sumadiria, yakni keluarbiasaan (unsualness), kebaruan (newness), akibat (impact), aktual (timeliness), kedekatan (proximity), informasi (informastion), konflik (conflict), orang penting (prominence), ketertarikan manusiawi (human interest), kejutan (suprising), dan seks (sex). 3. Jurnalisme Naratif Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature. Berita langsung dan feature adalah dua jenis berita yang sering dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan deskripsi, karakteristik, dan plot. Istilah jurnalisme naratif dikembangkan oleh Mark Kramer sejak tahun 1998. Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simple dibandingan dengan jurnalisme sastrawi. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya sekadar menyampaikan peristiwa yang terjadi, namun juga harus pandai mengisahkan dalam rangkaian fakta yang dikisahkan. Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam jurnalisme naratif berkembang istilah 20







teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction. C. JURNALISME SASTRAWI Teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi (depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of view), dan mencermati bentuk monolog interior yang bisa dipakai. Menuurut Robert Vare dalam kumpulan antologi “Jurnalisme Sastrawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak menulis narasi atau jurnalisme sastra, yaitu fakta, konflik, karakter, akses, emosi, dan kebaruan. Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional. Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru. Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, mencatat secara utuh, pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil.



Komentar terhadap landasan teori dalam penelitian. Teori yang digunakan sebagai patokan secara umum sudah relevan dengan



permasalahan yang dirumuskan. Namun penjabaran teori kurang sistematis, sehingga penjabaran teori terkesan tumpang tindih. Sistematis teori seharusnya dimulai dari teori jurnalisme sastrawi, kemudian konseptualisasi berita dan terakhir teori analisis wacana kritis. H. Bab 3 (Gambaran Umum) BAB III GAMBARAN UMUM A. Majalah Pantau 1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya Pasca lengsernya presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di Indonesia, beragam media masa mulai bermunculan. Dari media berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional. Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa “merdeka” pasca reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers dari departemen penerangan. Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamur tersebut, mambuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah satunya, Yayasan Pantau yang dulunya bernama Majalah Pantau. Pada awal berdirinya majalah pantau adalah sebuah majalah yang diterbitkan di bawah naungan institusi Studi arus Informasi (ISAI) pada juli 1999. Pada pemilu 1999, ISAI mengadakan program pemantauan televise yang bekerja sama dengan Article XIX London. Hasil pemantauan tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang bernama memantau televise-televisi Indonesia



21



dalam meliput Pemili pasca Orde Baru (orba). Menjadi majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan analisis isi. Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk menbuat newsletter lebih popular, tak ahanya mengandalkan analisis isi. Panatau yang pada awalanya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak hanya memantau permasalahan kampanye pemilu semata. Andreas Harsono, seorang yang aktif berkecimpung dari awal Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh yayasan Pantau, mengatakan bahwa di Indonesia majalah pantau adalah majalah pertama yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi. Seberapapun banyak pembaca dari majalah Pantau tersebut serta kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya, hal ini tidak membuat pantau mempunyai nafas panjang dalam industrui media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melaui siaran pers ISAI kepada beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup. Sekitar 100 kontributor pantau merasa misi meningkatkan mutu jurnalisme indonesi dan melayani public lewat informasi-informasi yang indefenden dan bermutu, jadi terputus. Oleh karena itu dengan diprakarsai oleh awak redaksi yang tersisa, mereka mendirikan Yayasan Pantau untu meneruskan cita-cita majalah pada agustus 2003. Tadinya, yang hanya seputtar analisis media, kini merambah kepada ranah seputar politik-cum-kebudayaan. Tapi lagi-lagi majalah Pantau mengalami krisis yang sama, yaitu permasalahan keuangan. Majalah Pantau untuk kedua kalinya menelan pil pahit. Ketika majalah tutup untuk kedua kalinya, Yayasan Pantau tidak kehabisan cara guna menyosialisasikan genre jurnalisme sastrawi serta memperbaiki mutu jurnalisme, yaitu dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan bagi wartawan, mahasiswa, serta pers kampus pada umumnya. Jika dapat dirangkum, maka terdapat beberapa keunggulan dari Majalah Pantau, baik iyu versi ISAI maupun versi Yayasan Pantau, dibandingkan dengan media masa nasional lainnya di Indonesia, yaitu 1. Majalah Pantau difungsikan sebagai sebagai media-watch atau pemantauan bagi media masa lainnya di Indonesia. 2. Majalah Pantau menggunakan genre jurnalisme sastrawi yang pertama kali diadobsi oleh “The News Yorker” di Amerika dan mengaplikasikan elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam setiap tulisannya dari liputan panjang hingga tullisan kolom. 3. Majalah Pantau adalah majalah pertama yang secara sadar menggunakan jurnalisme sastrawi. 4. Manajemen Majalah Pantau menghargai kinerja seorang jurnalis dengan memberikan honor relative tinggi, yaitu rp 400/kata kepada reporter. 5. Menyediakan kolom ombudsman sebagai seorang yang dianggap kredibel oleh manajemen Majalah Pantau untuk memantau serta mengkritisi Majalah Pantau atau media masa 6. Majalah Pantau berani menggunakan majalah berkarakter tulisan panjang. 7. Menggunakan refortase panjang, tanpa sidebar maupun Tanya jawab. 8. Berani mengambil risiko dengan mengandalkan freelance untuk mengerjakan hampir 70% isi majalah dari laporan berita hingga kartun dan foto. 9. Memiliki 140 kontributor dari Banda Aceh hingga Jayapura 10. Majalah Pantau konsisten menggunakan byline (menulis nma penulis) di bawah judul naskah berita dalam setiap laporan tulisannya sampai bentuk tanggung jawab atau transfaransi dari penulis yang menulis berita tersebut. Majalah pantau juga memiliki kekurangan akut dari awal penerbitan hingga tutupnya majalah tersebut. Kurangnya dana dan kedua strategi pemasaran serta kurangnya tenaga handal dalam bidang marketing. 2. Struktur organisasi pada Yayasan Pantau hingga kini, 2. Visi Misi Majalah Pantau 22



a. Visi Majalah Pantau Visi Majalah Pantau adalah bertujuan untuk memperbaiki mutu jurnalisme yang ada di Indonesia. b. Misi Majalah Pantau Misi Majalah Pantau adalah memakai system ombudsman untuk memantau majalah Pantau itu sendiri. Selain ombudsman, missi Majalah Pantau adalah dengan memakai byline dan system pagar api (frewall). Byline atau mencantumkan nama asli penulis laporan berita tersebut digunakan sebagai transfaransi si-kontributor dan permasalahan. Sedangkan system pagar api ini juga digunakan sebagai pembeda atau pemisah untuk mengetahui mana yang opini dan mana yang berita. 3. Struktur Organisasi Majalah Pantau Susunan redaksi Majalah Pantau yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau, yaitu: a. Penanggung jawab : Andreas Harsono b.Pemasaran dan Distribusi : Narliswandi Piliang c. Sidang redaksi : Agus Sopian, Budi Setiono, Mohamad Iqbal, Titarubi d.Desain : Yusuf dari LeBoYe e. Creative Director : Hermawan Tanzil f. Ombudsman Pantau : Masmirah Mangiang Sedangkan struktur organisasi pada yayasan Pantau hingga kini, yaitu: Ketua Yayasan : Andreas Harsono Sekretaris Yayasan : Budi Setiyono Bendahara Yayasan : Artine Utomo B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” 1. Biografi Chik Rini Chik Rini adalah perempuan kelahiran Aceh. Usai dari SMA Negeri 3 Banda Aceh pada tahun 1993, ia melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Unsyiah pada fakulatas Mifa jurusan Biologi. Selama di Unsyiah, perempuan yang dipanggil Rini ini mengaku tidak pernah bergiat mengikuti organisasi apapun. Selepas sarjana, ia menjadi wartawan pada Harian Analisa di Medan. Namun, karena merasa kerjanya di Harian Analisa terlalu mudah dan tidak menantang, akhirnya pada tahun 1999, ia pun keluar. Selama jenjang tahun 1999-2003, rini pun bekerja Frelance. Ia menjadi stringer foto untuk kantor berita Associated Press serta untuk Majalah Pantau. Belajar fotografi pun ia otodidak, begitu pun dengan menulis genre jurnalisme sastrawi. Sebelum ia mennulis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ia pernah mengirimkan beberapa tulisan di kolom Pantau. Namun, untuk tulisan panjangnya “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah tulisan pertamanya. Kini selain bekerja untuk Yayasan Aswaja di Bada Aceh, ia membantu pendidikan anakanak yatim piatu korban tsunami pada Desember 2004. Rini menjadi contributor Pantau Jakarta selama tahun 1999-2003. Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dimuat pada Majalah Pantau Tahun II-Mei 2002. Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini juga pernah dimuat di Kyoto Reviw pada 2005 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ingris oleh Lyindal Meehan. Selain bekerja sebagai communication of WWF di Banda Aceh, Rini juga aktif member kursus jurnalisme sastrawi kepada 20 orang peserta pelatihan ETF yang diadakan oleh Eka Tjipta Foudation. Ia telah mengajar sebanyak tiga kali pertemuan pelatihan sejak tahun lalu. Ilmu jurnalisme satrawi yang didapatnya dari Majalah Pantau pada kurun waktu 200-2003 lalu hingga kini, ia akan selalu tularkan kepada mahasiswa yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi ini. 23



2. Sinopsis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah salah satu peristiwa berdarah yang terjadi di Aceh. Banyak konflik dan peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia, Perda Syariah yang diterapkan disana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun, peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyaralkat Aceh, khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapat keadilan dari segi hukum. Bahkan LSM Imparsial dalam terbitan buku “aporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007” menuliskan bahwa peristiwa Simpang Kraft ini menduduki posisi pertama dari peristiwa lainnya. Dalam laporannya, dideskripsikan sebagai. berikut; Simpang KKA (kertas Kraft Aceh) aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang berdemo di kecamatan Dewantara. Tragedi KKA berawal dari sikap arogansi pasukan Rudal terhadap warga setempat. Detasemen rudal sebelum turun ke Cot Murong tidak menghiraukan tuntutan warga. Bahkan meminta bantuan pasukan non organic untuk menyingkirkan warga. 46 orang tewas tertembak aparat militer termasuk Saddam Husen yang berusia 6 tahun, sekitar 200 luka-luka. Upaya hukum presiden B.J. Habibie menhgeluarkan Keppres No.88/1999 tentang Komisi independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA). Simpang Kraft adalah sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri lintas jalan MedanAceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 km. Simpang itu adalah jarak masuk utama ke pabrik Kertas kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 km masuk ke dalam. Di jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang Cuma berjaarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini. Di Simpang Kraft ada traffic light, yang Cuma punya satu lampu kuning, yang terus berkedip-kedip. Itu lampu peringantan , agar para pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Aceh-Medan berhati-hati. Simpang itu merupakan jalan masuk truk-truk tronton besar yang membewa gulungan-gulungan kertas raksasa. Senin 3 Mei 1999, di mana peristiwa berdarah itu terjadi. Pada hari itu, ada dua demonstrasi besar-besaran. Pertama, di depan Koramil Dewantara dekat Krueng Geukeuh dan yang ke dua di Simpang Kraft. Ada sekitar 10 ribu orang berkumpul di Simpang Kraft . mulai dari wanita, anakanak, kaum laki-laki sampai yang tua renta ada di sana. Sebelumnya, ada beberapa isu yang beredar dan mengakibatkan masyarakat Aceh berkumpul di simpang Kraft, di antaranya: a. Malam sebelumnya, para perempuan disuruh jaga malam karena tentara mau mnyerang kampong. b.Ada laki-laki yang mengumumkan di masjid kalau mesjid di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) sudah tewas terbunuh. c. Di Cot Murong (pemukiman, empat km arah barat Krueng Geukueh) menghentikan setiap kendaraan untuk meencari an ggota ABRI karena ada yang mendengar bahwa warga Desa Lanang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. d.Dua hari sebelumnya, kamis malam, 30 April 1999, tentara dari Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo Rungkom, Aceh Utara, masuk ke Cut Murong. Ada satu anggota yang hilang, dan mengakibatkan tentara masuk kampong untuk mencarinya. Masyarakat Aceh yang tidak senang militer masuk kampong, membuat mereka geram. Oleh kerena itu, mereka demontrasi kepada camat Dewantara Cut Murong, Marzuki Muhhamad. 24



Kesepakatan yang tidak membuahkan hasil kepada masyarakat aceh membuat mereka demo. Mereka meneriakkan Referendum, Merdeka, dan sebagainnya. Pukul 12.00 siang pada senin, 3 mei 1999 ketika keadaan mulai memanas. Tiba-tiba sebuah truk datang dari arah Arhanud rudal, mulailah senjata meletus dengan keras dan tentara menyuruh masa bubar. Tentara seperti kesetanan dan menembaki warga yang berkeliaran. Korban mencapai puluhan dan ratusan terluka. Synopsis cerita di atas, hanya menjelaskan segelintir dari Peristiwa Simpang Kraft. Chik Rini mengambil dan memaknai pristiwa ini dari sudut pandang wartawan. Justru dari angle atau newspeg-nya dari perspektif wartawan inilah, rini ingin menunjukkan bagaimana wartawan menjadi saksi dari peristiwa pembunuhan orang Aceh. Sudut pandang inilah yang belum pernah ditulis oleh wartawan media mana pun. Perspekif wartawan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dapat dilihat dari kacamata tiga tiga orang wartawan RCTI yaitu Umar HN (Koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995), Imam Wahyudi (Koordinator Liputan Daerah RCTI Jakarta sejak 1994), Fipin Kurniawan (Kameramen RCTI), Ali Raban (Kameramen yang bekerja untuk Umar HN), dan Azhari (Wartawan ANTARA). Meski peristiwa Simpang Kraft telah berlalu dan sudah diberitakan namun sisanya tetapklah sejarah.







Komentar terhadap gambaran umum dalam penelitian. Pemaparan tentang gambaran umum Majalah Pantau, biodata penulis, serta sinopsis



dari berita “Simpang Kraft” sudah sangat jelas dan terstruktur. Namun, penempatan gambaran umum seharusnya ditempatkan pada Bab 2, yaitu pada kajian teori. Wendra (2011:37) mengemukakan bahwa bab 3 dalam laporan penelitian berisi tentang metode penelitian. Berdasarkan hal tersebut peneliti sebaiknya pada bab 3 peneliti mencantumkan metode penelitian. Namun dalam hal ini, jika ditinjau dari kebijakan setiap masingmasing perguruan tinggi memiliki ketentuan masing-masing. Dan skripsi ini gambaran umum diletakkan pada bab III, hal ini bisa jadi disebabkan karena jenis skripsi ini menyajikan hasilnya berupa data kualitatif bukan kuantitatif.



I. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN A. TEMUAN DATA DAN HASIL PENELITIAN BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” PADA MAJALAH PANTAU Pada bab ini, peneliti memaparkan temuan data dan analisis mengenai pemberitaan bergenre jurnalisme sastrawi yang berjudul “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini dan diterbitkan pada majalah pantau tahun II Mei 2002 atau dalam buku Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Diterbitkan pula oleh yayasan pantau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pisau analisis wacana model Teun Van Djik. 25



Model Van Djik ini menganalisis dari tiga elemen yaitu teks, kognisi social, serta konteks social. Hasil penelitiannya diuraikan sebagai berikut: 1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Kerangka analisis data teks adegan 1 Struktur Elemen Temuan wacana Struktur Makro Topik/ Tema Kronologis awal mula kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe Super struktur Skema/ Alur  Pembuka: Situasi Lhokseumawe pada dini (semantik) hari, 3 Mei 1999  Isi: Kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe dengan tujuan meliput sisi kedamaian dari Aceh  Penutup adegan ini adalah ketiga wartawan RCTI beristirahat untuk memulihkan fisik ketika akan reportase esok pagi Struktur mikro Latar Latar situasi akan kota Lhokseumawe serta sejarah (semantik) kota tersebut yang membawa kepada alas an perlawanan senjata oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada militer Indonesia yang ada di Aceh Pada paragraf kedua adegan 1, Chik Rini mampu Detil mendeskripsikan keadaan kota Lhokseumawe pada dini hari senin, 3 Mei 1999 Maksud



Praanggapan



Nominalisasi Struktur Mikro Bentuk kalimat (sintaksis)



Elemen maksud pada adegan 1 yaitu paragraf 5 menenai keinginan GAM untuk memerdekakan orang Aceh dari ketidakadilan yang mereka rasakan “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh” (paragraf 3) selanjutnya Chik Rini memaparkan kekayaan gas alam di Aceh yang tersebar di Indonesia serta perusahaan-perusahaan yang ada di sana untuk memperkuat premis yang ia sebutkan di awal paragraf Banyak nominalisasi pada adegan 1 salah satunya, “setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.” (Paragraf 5) Salah satu bentuk kalimat aktif pada adegan 1 adalah, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13)



26



Koherensi



Kata ganti Struktur mikro Leksikon (stilistik) Struktur (retoris)



mikro Grafis



Metafora Kerangka analisis data teks adegan 2 Struktur Elemen wacana Struktur Makro Topik/ Tema Super struktur Skema/ Alur (semantik)







Koherensi (konjungsi kata ‘tapi’) “...untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.”  Koherensi pembeda: “Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakat.” Kata ganti yang digunakan pada adegan 1 adalah kata “mereka,” seakan-akan kata “mereka” itu memisahkan antara penulis dengan narasumber serta pembaca Orang Aceh (paragraf 4), militer indonesia, penganiayaan (paragraf 5), kelompok separatis, kekerasan (paragraf 14), kekejaman, mati, perlawanan bersenjata, kekejaman (paragraf 15) “Imam membaca beberapa graffiti bertuliskan kata “referendum” di badan jalan.” (paragraf 18) Dari keseluruhan kata referendum yang ada di adegan 1 hanya ada satu kalimat yang kata referendumnya menggunakan tanda petik di atasnya “semburan api raksasa”, “langit tampak merah membara oleh cahaya api,” (paragraf 2)



Temuan 300-an orang Aceh berkumpul di gardu jaga Kreung Geukeuh pada dini hari  Dimulai dengan adanya 300-an orang Aceh berkumpul di bale-bale  Di tengah adegan dijelaskan bahwa mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran di markas Koramil Kreung Geukeuh  Adegan di tutup dengan salah satu isu hilangnya anggota Arhaud Rudal di Cot Murong



27



Struktur mikro Latar (semantik) Detil Maksud



Praanggapan



Nominalisasi



Struktur Mikro Bentuk kalimat (sintaksis) Koherensi



Kata ganti



Struktur mikro Leksikon (stilistik) Struktur mikro Grafis (retoris)



Latar peristiwanya adalah adanya 300-an orang Aceh yang berkumpul itu Pada paragraf kedua adegan 2, penulis menjelaskan posisi bale-bale tempat berkumpulnya 300-an orang Aceh tersebut Maksudnya, menjelaskan bahwa mereka akan demonstrasi besar-besaran atas ketidakadilan yang selama ini dirasakan orang Aceh (paragraf 5) “Mereka memang sedang resah” (paragraf 6) selanjutnya, Chik Rini alas an keresahan yang dialami oleh orang Aceh, dengan adanya beragam isu yang berkembang di masyarakat tentang ketidakadilan tersebut Hanya ada satu nominalisasi pada adegan 2 yaitu, “...ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.” (paragraf 1) Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat aktif ini sebagai inti dari keseluruhan teks pada adegan 2, “...ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1)  Koherensi (konjungsi kata ‘sebab akibat’) “selain dekat dengan perairan selat malaka, lokasi kreung Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya.” (paragraf 12)  Koherensi pembeda: “mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari “anggota ABRI” yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institute militer Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata “ABRI”dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru.” (paragraf 10) Kata ganti yang digunakan pada adegan 2 adalah kata “mereka,” dan hanya satu kata “kita” yang digunakan pada kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh.” (paragraf 8) Pemilihan kata: mengangkut (paragraf 5), tewas dibunuh (paragraf 8) “...setiap kendaraan untuk mencari “anggota ABRI” yang berasal...” (paragraf 10) Kata ini lebih menonjol di antara kata lainnya karena penyebutan 28



Metafora Kerangka analisis data teks adegan 3 Struktur wacana Elemen Struktur Makro Topik/ Tema Super struktur Skema/ Alur (semantik)



Struktur mikro Latar (semantik) Detil Maksud



Praanggapan



Nominalisasi



Struktur Mikro Bentuk kalimat (sintaksis)



kata ABRI ini sangat tidak disukai bagi orang aceh, selain itu ABRI juga memiliki reputasi buruk pada zaman rezim Orde Baru “seperti angin “dan” dari mulut ke mulut” (paragraf 9) Temuan Peristiwa hilangnya Sersan Aditia membuat orang Aceh karena tentara masuk ke kampung  Dimulai dengan kronologis awal hilangnya Sersan Dua Aditia pada kamis malam, 30 April 1999  Isi adegan menjelaskan pencarian Sersan Aditia oleh Arhanud Rudal hingga adanya kesepakatan bahwa tentara tidak akan masuk kampong lagi pada sabtu, 1 Mei 1999  Adegan di tutup dengan kabar tentara masuk kampong lagi dan ada kabar penempelengan orang Aceh oleh tentara Latar peristiwanya dengan kronologis hilangnya anggota Arhanud Rudal, Sersan Aditia Paragraf 6 menjelaskan detil apa saja isi dakwah GAM kepada orang Aceh kalimat terakhir adegan 3 menjelaskan maksud sekaligus menjadi inti kalimat adegan 3 bahwa mereka akan melakukan demonstrasi besarbesaran “Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah” (paragraph 6), kalimat ini diperkuat oleh kalimat berikutnya yang menjelaskan isi dari dakwah GAM “Tiga truk militer dan minibus Toyota Kijang dan Izusu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong” (paragraf 8) Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat pasif, “senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampong yang ditangkap”



29



Koherensi



Koherensi (konjungsi kata ‘sebab akibat’) “...menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan tak tahu tentang...” (paragraf 15)



Kata ganti



Kata ganti “mereka”



Struktur mikro Leksikon (stilistik) Struktur mikro Grafis (retoris)



Dakwah (paragraph 4), penempelengan (paragraf 6) “...pemerintah Indonesia Jawa...” (paragraf 6) hanya ada satu kalimat yang menonjol pada adegan 3, karena kalimat inilah yang digunakan saat dakwah GAM



Metafora



“Sangat panas” dan” berbau politik” (paragraf 4), “lari tunggang-langgang (paragraf 13)



Kerangka analisis data teks adegan4 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil Maksud



Praanggapan



Nominalisasi



Temuan Kabar akan adanya demonstrasi menyeruak ke masyaarakat dan wartawan  Pembuka adegan Senin, 31 Mei 1999 pada pukul 09.00, latar situasi di sebuah warkop Lhokseumawe  Kabar serupa di dengar oleh tiga wartawan RCTI dan Ali Raban dari informan mereka melalui penyeranta.  Azhari segera menuju ke sana tapi tidak dengan wartawan RCTI, mereka sibuk mengurusi makanan daripada langsung mengejar berita. Latar diawali dengan profil Azhari wartawan ANTARA dan situasi warkop Lhoseumawe dimana ia berada Paragraf 2 menjelaskan detil fungsi warkop yang ada di Aceh. “Jika tidak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua” (Paragraf 23). Hal ini menunjukkan kinerja wartawan untuk segera mendapatkan berita eksklusif. (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh), ’’ (Paragraf 3). Ucapan narasumber tersebut diperkuat dengan benar adanya bahwa banyak massa yang berkumpul di Krueng Geukeuh. “Umurnya 32 Tahun” (paragraph 1). 30



Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat Koherensi Kata Ganti



Struktur Mikro (Stilistik) Struktur Mikro (Retoris)



Leksikon Grafis



Metafora



Kerangka analisis data teks adegan 5 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar



Bentuk kalimat pasif : “Ada orang kita ditangkap di Pa’I (paragraf 3) Koherensi (konjungsi kata ‘sebab akibat’) “Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera fot”. Kata ganti orang ketiga tunggal “dia” dan ’’mereka’’ tapi ada satu kata ganti orang pertama jamak ’’kita’’ , ’’Ayo cepat kita ke sana” sambut Imam , (paragraph 15). Bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraph 5), mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14), informan (paragraf 17), verifikasi (paragraf 18), merepet (paragraf 24). “Channel” (paragraf 17) Penggunaan kata ‘’channel’’ yang berarti informan atau sumber informasi menandakan bahwa wartawan haruslah memiliki channel dan karena hal inilah yang membawa Azhari dan wartawan RCTI kepada peristiwa tersebut. Kota gas (paragraf 1), bendera GAM berlambang bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang (paragraf 23)



Temuan Kronologis peristiwa dari segala perspektif wartawan dan orang Aceh pada pukul10.00  Adegan ini di mulai dengan perjalanan Azhari yang harus berjalan kaki sejauh 100 meter dari PT. Pupuk Iskandar Muda dari pukul 10.00  Pukul 11.00, Azhari telah sampai di Simpang Kreung Geukeuh, tempat massa pertama demonstrasi berada  Adegan ditutup dengan larangan iringan mobil Distrik Militer Aceh Utara yang ingin ke Simpang Kraft untuk lewat. Massa menghadangnya dengan parang. Situasi pemblokiran jalan yang melewati Kreung Greukeuh termasuk yang ingin ke Simpang Kraft diblokir oleh massa.



31



Detil



Maksud Praanggapan



Nominalisasi Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat Koherensi



Kata Ganti Struktur Mikro (Stilistik) Struktur Mikro (Retoris)



Leksikon Grafis Metafora



Kerangka analisis data teks adegan 6 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Detil pemblokiran terlihat pada kalimat; “Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat Bandar Udara Malikul Saleh” (paragraf 1). “Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft. Alasannya,kedatangan mereka telah ditunggu”. (paragraf 13). “Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhoseumawe… “(paragraf 5) Kalimat selanjutnya dipertegas lagi bahwa disana terdapat 3 pabrik besar sebagai tonggak utama Lhokseumawe. “Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter” (paragraf 1). Bentuk kalimat deduktif; “Azhari menumakan massa sudah menumpuk di simpang empat Kreung Geukeuh”(paragraf 11). Koherensi (konjungsi kata ‘tapi’) “Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan “. (paragraf 9). Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal ‘mereka’. Pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4), brikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6), berderet (paragraf 9), sweeping dan tentara Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11) Berseragam kaos hitam berlambang burung wallet”. (paragraf 4), bercakap lama, kartu identitas (paragraf 10), tentara berpakaian preman (paragraf 12).



Temuan Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 11.00  Adegan ini dibuka oleh perjalanan ketiga wartawan RCTI dan Ali Raban menuju Kreung Geukeuh dan sudah melewati pukul 11.00  Pertengahan adegan, mereka langsung meliput tapi dihadang oleh massa yang marah dengan aksi reportase mereka  Mereka menuju lokasi massa kedua yaitu Simpang Kraft karena mendapatkan informasi dari warga. Di sana massa lebih banyak lagi dibandingkan dengan 32



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil



Maksud Praanggapan



Nominalisasi



Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat Koherensi



Kata Ganti



Struktur Mikro (Stilistik) Struktur Mikro (Retoris)



Leksikon Grafis



Metafora



di simpang Kreung Geukeuh Latar peristiwa perjalanan dari perspektif tiga wartawan RCTI dan Ali Raban Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar ditangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas”.(paragraf 3) “Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan”. (paragraf 2) kalimat di sini menunjukkan identitas profesi mereka. “Itu Pa’ijuga,” ada yang menyeletuk di belakang”. (paragraf 11) Anggapan orang Aceh terhadap wartawan RCTI yang datang dari Jakarta. Sebutan kasar orang Aceh tersebut beralasan, karena mereka memandang stereotip terhadap tentara Inonesia, yang notabene-nya adalah Suku Jawa. “Di simpang empat Kreung Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1000-an, memadati jalan dan emperan tok. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak”. (paragraf 40. Bentuk kalimat pasif; “Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kreft dengan sepeda motor milik warga di situ”. (paragraf 10). Koherensi (konjungsi kata ‘tapi’) “Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan televise tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka”(paragraf 10) Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal “mereka” dan kata ganti orang pertama jamak yaitu “kami” yaitu “Kami mau mengamankan kampong kami. Tentara mau serang kampong ,” katanya. (paragraf 25) Merepet, kedongkolannya (paragraf 1), senang (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’I (paragraf 11), mengamankan (paragraf 25). “Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI oke!” Grafis ini terletak pada dialog narasumber yang dicantumkan oleh Chik Rini pada teks adegan 6. Kehilangan banyak waktu (paragraf 1), bersorak sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga memekakan telinga (paragraf 4), mencium gelagat tak bagus, jantungnya berdegup keras (paragraf 9), sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12), pengatur massa (paragraf 22), berjalan zigzag (paragraf 28).



33



Kerangka analisis data teks adegan 7 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil



Maksud



Praanggapan



Nominalisasi



Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat



Temuan Adegan puncak dari keseluruhan perspektif orang Aceh dan Wartawan.  Diawali dengan deskripsi panjang mengenai letak daerah Simpang Kraft dan urgensi pertigaan ini bagi kelancaran lintasan Banda Aceh-Medan  Dibagian tengah adegan, dirincikan kronologis massa yang datang ke Simpang Kraft dari pukul 08.00 hingga menjelang pukul 12.00  Adegan ditutup dengan kedatangan keempat wartawan RCTI ke Simpang Kraft Latar deskripsi lokasi Simpang Kraft dari paragraf 1 hingga paragraf 5 Detil deskripsi dapat diambil contoh pada paragraf 3, Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitar pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung” “Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini”. (paragraf 1) Dari kalimat ini jelas menandakan betapa pentingnya markas peluru ini bagi Aceh. “Simpang Kraft bagi lautan manusia”. (paragraf 10) Ditambahkan argumentatif atas kalimat di atas, penulis memasukan data bahwa dalam radius 300 meter massa telah berkumpul di Simpang Kraft. “Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi’. (paragraf 11) Bentuk kalimat aktif ; “Di kantornya, Camat Marzuki Mummhamad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum”. (paragraf 7)



34



Koherensi



Kata Ganti Struktur Mikro (Stilistik) Struktur Mikro (Retoris)



Leksikon Grafis Metafora



Kerangka analisis data teks adegan 8 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil Maksud



 Koherensi pembeda: “Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orangorang di Desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di meunasah.’’(paragraf 6)  Koherensi Konjungsi ‘kausal’: “Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor’’.(paragraf 7)  Koherensi kondisional: “Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ.” (paragraf 13) Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal “mereka” Memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol (paragraf 5), menumpuk (paragraf 10), spontanitas, pengerahan massa (paragraf 11) Lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas raksasa (paragraf 2), gelombang massa, mendinginkan suasana yang memanas (paragraf 10), panas hatinya (paragraf 11)



Temuan Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 12 siang hingga datangnya bala bantuan  Adegan dimulai pada pukul 12. 00 siang, wartawan RCTI menshoot setiap adegan dari massa  Dibagian tengah adegan, tentara menembaki massa seprti kesetanan dan tak mengenal kemanusiaan. Wartawan RCTI kehilangan moment pertamanya selama 10 menit pertama. Massa berhamburan menyelamatkan diri.  Adegan ditutup dengan datangnya bantuan dan evakuasi korban pada pukul 13.05. Latar adegan 8 adalah latar peristiwa di mana pada adegan ini adalah initi cerita dari keseluruhan adegan yang ada. “…cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan kepala manusia”(paragraph 3). “Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak jalan” (Paragraf 39). Maksud kalimat ini, Azhari hanyalah menjadi penonton dari keramaian massa dan tidak melakukan profesinya sebagai jurnalis.



35



Praanggapan



Nominalisasi



Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat



Koherensi



Kata Ganti



Struktur Mikro (Stilistik)



Leksikon



Struktur Mikro (Retoris)



Grafis



“Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara, ’’ (Paragraf 13). Anggapan kalimat seperti ini adalah demi keamanan dirinya sebagai wartawan. “…500 meter dari simpang, ada 20 orang tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa berjarak 20-an mater” (paragraph 1). Bentuk kalimat pasif : Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barangkali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini (paragraf 113)  Koherensi pembeda: “Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter” (paragraf 113)  Koherensi konjungsi ‘tapi’: “Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televise merekam aksi mereka.” (paragraf 3) Kata ganti orang ketiga tunggal “mereka” dan kata ganti orang pertama jamak ’’kami’ yaitu “Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka), “Kami dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu, “ teriaknya dengan emosi dari magafone , (paragraph 34). Referendum (paragraf 6), berkerudung (paragraph 10), menyorot (paragraf 11), serombongan orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung, menyemut (paragraf 14), dicopot, menanggalkan (paragraf 16), senyap(paragraf 25), rakyat bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya (paragraf 26), provokator, dituding (paragraf 27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40), rebah (paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67), berjilbab (paragraf 68), tak bernyawa (paragraf 75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas (paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-labi (paragraf 105), meninggal (paragraf 108), sok jagoan (paragraf 112). Sebutan kasar pa’I, seruan kata-kata Islam seperti Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Innalillahi. Grafis ketiga, bunyi visualisasi dari suara tembakan pada paragraf 46.



36



Metafora



Kerangka analisis data teks adegan 9 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil



Maksud



Ketegangan, sertius (1), melompat kegirangan (3), gambar lautan massa, bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah (7), matahari tepat di atas kepala, panasnya bagai membakar, memansakan suasana, peluh mengucur deras (8), seakan tenggelam (12), berpikiran kalut, di luar kendali (21),memancing emosi (30), matahari memancarkan sinar yang cukup panas (33), massa makin tak terkendali (40), suasana memanas (42), suara itu bagaikan geledek yang menyambar, melapaskan peluru-peluru tajam (46), seperti kesetanan (48), jatuh terjengkang,secepat kilat (39), tembakan bertubi-tubi (64), Imam terkejut bagai disambar petir (73), malaikat pencabut nyawa(77), tentara itu bagai mengejar dirinya(88), melindungi kameranya seperti melindungi bayinya(94), mengaung-ngaung serasa menyayat hati (110), melumuri dadanya dengan darah korban (112.)



Temuan Para korban pembantaian dilarikan ke rumah sakit.  Dibagian awal adegan, para korban penembakan Simpang Kraft dibawa ke rumah sakit (paragraf 1)  Pada bagian ini adegan diceritakan tentang reportase dari Azhari dan empat wartawan RCTI di rumah sakit serta persaingan akan berita ekslusif Simpang Kraft yang masuk ke dalam media nasional..  Adegan ditutup dengan adanya pengiriman kaset rekaman kepada pihak RCTI, Associated Press, dan Reuters. Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa ketika korban-korban dilarikan ke rumah sakit. “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan kondisi mengenaskan,”(paragraph 3). Dari latar tersebut, dijelaskan pula selanjutnya kondisi dari korban Simpang Kraft. “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong,” (Paragraf 39). RCTI telah merelai beritanya dari siaran TVRI tapi orang Aceh menganggapnya itu adalah berita RCTI. Padahal wartawan RCTI menjadi saksi dari pembunuhan tersebut.



37



Praanggapan



Leksikon



“…ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up…, ’’ (Paragraf 6). Peristiwa Simpang kraft ini dianggap oleh Imam Wahyudi sama seperti yang terjadi di Timor Timur pada 12 November 1991, dimana tentara Indonesia membubarkan massa dengan cara menembaki mereka. Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang,” (paragraph 13). Bentuk kalimat pasif : ‘Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit… ‘(paragraf 1)  Koherensi pembeda: “…ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi” (paragraf 11)  Koherensi konjungsi ‘kausalitas’: “Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televise merekam aksi mereka.” (paragraf 3) Kata ganti orang ketiga tunggal “mereka” dan kata ganti orang pertama jamak ‘kau’ “…kau harus segera pergi dari Lhokseumawe,” (paragraph 9). Kata ganti orang kedua jamak ‘kalian’. “…kalian harus segera follow up…”(paragraph 11) Tak bernyawa, digeletakkan (paragraph 3), terpaku (paragraph 5).



Grafis



-



Metafora



Tercium sangat kuat (paragraf 3), rintihan kesakitan terdengar dimana-mana, ditambah jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit, suasana agak kacau (paragraf 4), seperti orang linglung setelah kerja marathon (paragraph 14), malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam (paragraf 15)



Nominalisasi Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat Koherensi



Kata Ganti



Struktur Mikro (Stilistik) Struktur Mikro (Retoris)



Kerangka analisis data teks adegan 10 Struktur Elemen Wacana Struktur Makro Topik/Tema



Temuan Laporan berita pertama mengenai peristiwa Simpanga Kraft dilaporkan oleh wartawan RCTI 38



Super Struktur (Skematik)



Skema/Alur



Struktur Mikro (Semantik)



Latar Detil



Maksud



Praanggapan



Nominalisasi Struktur Mikro (Sintaksis)



Bentuk Kalimat Koherensi



 Penyiaran berita Simpang Kraft Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00, selasa 4 Mei 1999 (paragraft 1)  Pada bagian isi adegan menceritakan bagaimana orang aceh memperlakukan wartawan pasca peristiwa Simpang kraft. Orang aceh menjadi stereotip terhadap pemberitaan yang disiarkan oleh media nasional.  Adegan ditutup dengan penayangan kaset rekaman yang telah dikirim oleh Umar H N pada hari sebelumnya serta ditayangkan pada Rabu, 5 Mei 1999. Meski RCTI telah satu setengah jam menayangkan gambar Fipin dibandingkan dengan gambar Ali Raban.. Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penayangan berita Simpang Kraft di media nasional maupun internasional. “Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi Taliban, dan seorang bapak, Umar, Raban, dan Fipin berdiri…”(paragraph 6) Pada kalimat di atas menceritakan bagaimana munculnya rasa ketidakpercayaan orang aceh terhadap wartawan “bahwa wartawan itu harus berpijak pada kebenaran pada apa yang terjadi… “ (paragraf 20) Seperti yang diungkapkan oleh Boll Kovach bahwa seorang wartawan haruslah berpijak kepada wartawan. (Sembilan elemen dasar jurnalisme, Bill Kovach) Pada paaragraf 22 diterangkan mengenai data korban Simpang kraft yang masih simpang siur. Chick Rini menambahkan pula konstruksi korban penembakan Simpang Kraft dan tim pencari fakta. “Tapi data lengkap dari tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 luka, dan sepuluh orang hilang, “ (paragraf 22) Bentuk kalimat pasif : “tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft » (paragraf 39)  Kohesi Kausalitas Mereka protes karena mengganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan media,” (paragraf 21)  Kohesi konjungsi ‘tapi’: Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh,” (paragraf 40)



39



Kata Ganti Struktur Mikro (Stilistik) Leksikon



Struktur Mikro (Retoris)



Grafis Metafora



Kata ganti orang ketiga tunggal “mereka”, kata ganti orang pertama jamak ‘kami’, dan kata ganti orang pertama tunggal ‘saya’ Tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerna (paragraph 4), mengerubungi, dikeroyok, dikecam (paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf 21), mengintrogasi (paragraf 25), menyodorkan (paragraf 27), terpelongo (paragraph 30), argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraph 38), tragedi (paragraph 39). Kalimat “RCTI adalah pembohong” disebut sebanyak lima kali dalam adegan 10 ini Seorang pemuda bertiopi Taliban (paragraph 3), bereaksi keras (paragraph 21), rasa takut yang tinggi (paragraph 37), membangkitkan emosi (paragraph 39), sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (pagraf 40)



Kerangka analisis data teks adegan 11 Struktur wacana Elemen Temuan Struktur Makro Topik/ Tema Topiknya adalah dua tahun pasca peristiwa tersebut yang menceritakan kondisi para tokoh Super struktur Skema/ Alur  Imam Wahyudi mengalami trauma pasca (semantik) peristiwa Simpang Kraft. Jika ia kembali ke sana, ia selalu menyempatkan diri ke Simpang Kraft dan selalu mengenang peristiwa tersebut (paragraf 1)  Pada bagian isi adegan dilanjutkan dengan pernyataan resmi militer yang menyatakan bahwa pihak GAM lah di balik aksi provokasi massa. Chik Rini membuktikannya dengan dimasukannya dialog antara Camat Marzuki dan Faisal (korlap demonstrasi Simpang Kraft) saat itu. Faisal menunjukan dirinya bahwa ia dari GAM  Pasca peristiwa, NGO HAM Aceh dan para pihak yang peduli dengan peristiwa Simpang Kraft masih menuntut keadilan para korban, dengan tuntutan hukum perdata Rp 83 miliar tapi belum juga mendapatkan keadilan  Stereotip, sikap anti Jawa (pa’i), dan tidak lagi percaya dengan LSM serta wartawan ini masih ada pada orang Aceh meski peristiwa itu telah berlalu selama tiga tahun (penutup adegan 11) 40



Struktur (semantik)



mikro Latar Detil Maksud



Praanggapan



Nominalisasi



Latar adegan 11 adalah latar pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tiga tahun setelah peristiwa terjadi Detil kondisi dan deskripsi letak Simpang Kraft sama seperti tiga tahun setelahnya. Detil ini dijelaskan oleh Chik Rini pada paragraf 6 “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hatihati,”(paragraf 5) Maksudnya, dalam menuliskan peristiwa ini sekaligus ditulis oleh wartawan Aceh harus secara hati-hati. Peristiwa ini masih membekas dalam hati orang Aceh “kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa’i-pa’i itu tidak kena hokum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh,” (paragraf 18) anggapan inilah yang masih berkembang dalam orang Aceh, khususnya korban maupun keluarga korban dari peristiwa Simpang Kraft tersebut “...ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat...” (paragraf 14)



41



Struktur (sintaksis)



Mikro Bentuk kalimat



Bentuk kalimat aktif: “pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi massa,” (paragraf 9) 



Koherensi







Koherensipembeda: “Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hamper semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Batalyon 113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8) Koherensi konjungsi ‘kausalitas’: “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf 10)



Kata ganti orang ketiga jamak ‘mereka’, kata ganti orang pertama tunggal ‘saya’, kata ganti orang pertama jamak ‘kami’, dan kata ganti orang ketiga tunggal’dia’ Kata ganti Struktur (stilistik)



mikro Leksikon



Struktur (retoris)



mikro Grafis



Intimidasi, kekerasan, terror (paragraf 5), tewas, menerjang (paragraf 6), aksi (paragraf 9), pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi (paragraf 15), pesimis (paragraf 16) Senjata AK 47 yaitu senjata yang sering digunakan oleh GAM disebutkan di dalam naskah sebagai pembukti bahwa GAMlah yang berada di balik peristiwa Simpang Kraft dan penggunaan kata pa’i masih disebutkan meski peristiwa tekah berlalu tiga tahun setelahnya



42



Metafora



Dikejar-kejar bayangan (paragraf 1), menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang (paragraf 6), pada suatu siang berudara mendung, Mel berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tersentuh hokum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana kacau dan memanas, kerumunan massa (paragraf 9), memakan korban (paragraf 10), pohon itu berlubang Sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11), kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam (paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15), peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum (paragraf 18)



2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Dalam memahami sebuah teks, kognisi social menjadi hal terpenting. Pada umumnya teks diasumsikan tidak mempunyai makna namun anggapan tersebut salah karena teks tersebut diberikanmakna oleh si pemakai bahasa (penulis). Makna inilah yang dikonstruksi oleh penulis. Dalam menganalisa struktur kedua wacana Van Dijk ini yaitu kesadaran mental pengarang. Sama halnya seperti naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”, naskah ini tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari penulis yaitu Chik Rini. Tentunya, Chik Rini memiliki nilai, pengaruh, dan ideology dari kehidupannya yang memengaruhi terbentuknya teks tersebut. Wacana tentang Aceh yang diangkat dalam Majalah Pantau Edisi Mei 2002 rubrik Reporter dari Lapangan merupakan peristiwa yang telah terlewati tiga tahun lamanya, sebelum naskah tersebut dipublikasikan. Majalah Pantau adalah majalah bergenre jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi atau ISAI (1999-2003) dan Yayasan Pantau (Desember 2003-Mei 2004) dengan mengandalkan 70% isinya dari kontributor. Kontributor tersebut bekerja secara freelance tergantung kepada berita yang mereka kirimkan kepada Pantau. Dikutip dari wawancara ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana proses pra produksi sebelum berita diangkat, Imam Sofwan sebagai staf redaksi Yayasan Pantau menceritakan prosedur awal perencanaan liputan, “Biasanya mereka (kontributor) ngajuin liputan. Ngajuin rencana liputan, semacam proposal liputan. Apa yang akan dia liput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber, temanya, outline tulisannya, dan biaya liputannya. Mereka bikin rencana singkat. Kemudian ada yang menjadi consultant-nya, yang akan ngedit itu nanti siapa. Nanti mereka langsung ketemu dengan editornya, mungkin ada diberikan masukan bacaan apa yang perlu dibaca, narasumber siapa saja yang perlu ditemui, dikasih masukan. Yah, diskusi langsung ke editornya.” Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga mengakui bahwa pada mulanya ia berdiskusi kepada Andreas Harsono mengenai rencana liputannya. Awalnya, ia ingin meliput tentang komandan intelejen di Aceh yang membunuh empat aktivis GAM tapi karena aksesnya susah maka ia tidak jadi. Lalu temannya menceritakan tentang sosok Imam Wahyudi sebagai wartawan yang trauma. Ketika ia ke Jakarta, ia berkonsultasi dengan Andreas Harsono. Wacana tema liputan ini menarik perhatian Andreas. Ia bilang, “Saya tertarik dengan Aceh karena kekejaman-kekejaman yang terjadi disana.” Untuk mengetahui sejauh mana penulis mencampurkan pengetahuan yang ia miliki ke dalam tulisannya, dalam hal ini Van Dijk mempunyai empat elemen untuk mengetahui strategi wartawan atau penulis dalam memahami peristiwa.



43



a. Strategi dalam Memahami Peristiwa Strategi yang digunakan Van Dijk untuk mengetahui model yang digunakan wartawan atau penulis naskah dalam memahami peristiwa Simpang Kraft di Aceh pada 3 Mei 1999 adalah dengan melakukan empat strategi. Strategi yang pertama itu adalah seleksi. Seleksi adalah strategi yang kompleks untuk menunjukan bagaimana sumber, peristiwa, dan informasi diseleksi oleh wartawan kemudian ditampilkan ke dalam berita. Setiap media maupun wartawan memiliki ideologinya masing-masing. Majalah Pantau merupakan majalah bulanan mengenai media dan jurnalisme. Dalam penentuan dan pemilihan tema liputan di Majalah Pantau didiskusikan oleh manajemen redaksi Pantau dengan kontributor Pantau. Setelah disetujui oleh semua redaksi Pantau, kontributor melanjutkan reportase. Tema iputan Chik Rini disetujui oleh Andreas Harsono mengenai Aceh tentang peristiwa apapun namun tidak terlepas seputar media dan jurnalisme. Akhirnya, disepakati tentang peristiwa Simpang Kraft yaitu pembunuhan terhadap orang Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia. Untuk pemilihan narasumber, Chik Rini yang memilihnya sendiri. Ia mewawancarai sekitar 30 sampai 50 narasumber serta mencari data mengenai peristiwa tersebut dalam kurun waktu lima bulan, termasuk menuliskan naskah. Kedua yaitu reproduksi. Setelah menggunakan strategi pertama yaitu penyeleksian tema yang dipilih, reproduksi kisah yang berkaitan dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini, Chik rini mencari data sebanyak-banyaknya ketika reportase dan mengkonfirmasikan kembali kepada narasumber. Selain itu juga, editor naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” (Andreas Harsono) mengkroscek setiap data, dialog narasumber, detil kejadian, serta hal-hal kecil lainnya untuk ditanyakan kembali kepada Chik Rini. Supaya informasi yang didapatkan Chik Rini benar-benar akurat dan harus dikroscek lagi kepada narasumber ketika editing berlangsung, sebelum sampai kepada public. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini karena ia sampai terkejut dengan proses editing Majalah Pantau. “Apa maksud ini? Benar nggak dia berkata seperti ini? Kalimat panjang jadi satu makanya luar biasa belajar editing di Pantau. Mas Andreas yang bolakbalikin naskahnya. Proses editing ini mulai Maret sampai April tapi bolak balik. Tapi itu hanya menceritakan dua atau tiga hari peristiwa. Ada empat dengan yang terharukan itu.” Strategi ketiga adalah kesimpulan. Setelah penyeleksian tema serta narasumber dan reproduksi informasi dari narasumber, selanjutnya adalah proses penyimpulan. Data seperti kliping Koran dan, informasi narasumber dan lainnya dikemas dalam satu teks naskah utuh, yang didalamnya terbagi dalam adegan demi adegan. Konstruksi per adegan ini termasuk ke dalam elemen jurnalisme sastrawi. Dari banyaknya 50 narasumber tersebut, ia pilah kepada tokoh utama yaitu wartawan. Narasumber utama yaitu Imam Wahyudi sebagai pengikat, ia menuliskan siapa saja yang berada dalam lingkaran Imam (Umar HN, Fifin Kurniawan, Ali Riban), kemudian ada Azhari wartawan ANTARA, Camat Dewantara Marzuki Muhammad, dan tokoh pendukung lainnya. Mereka adalah para tokoh yang terpencar hingga Chik Rini harus mempertemukan mereka ke dalam satu titik. Tokoh-tokoh itu tidak dipertemukan secara langsung dan berinteraksi, hanya disebutkan “Azhari melihat Umar HN.” Mereka dipertemukan oleh satu lokasi yaitu Simpang Kraft. Pada strategi ini, Chik Rini tidak hanya memasukan dialog narasumber ke dalam teks saja, tapi deskripsi situasi serta sense penglihatan dan pendengaran ketika mereportase juga dimasukan olehnya. Seperti yang terdapat pada paragraph kedua adegan pertama, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan empang 44



yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.” Sesuai dengan genre jurnalisme sastrawi yang diusung oleh Majalah Pantau, naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” berhasil membawa Majalah Pantau sebagai majalah jurnalisme sastrawi layaknya The New Yorker,seperti yang dikatakan Andreas Harsono, “saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.” Strategi keempat, transformasi lokal. Strategi ini berhubungan dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Dalam naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” informasi atau datayang berkaitan dengan peristiwa tokoh dikemas dengan menarik. Meski peristiwa Simpang Kraft ini telah berlalu sejak tiga tahun yang lalu sebelum naskah ini dipublikasikan, dan detilperistiwa ini terasa begitu kejam namun Chik Rini mampu mengolahnya menjadi naskah yang menarik layaknya sebuah novel. b. Kognisi Penulis Dalam Memahami Peristiwa Perihal pengetahuan penulis dalam memahami peristiwa Simpang Kraft yang diangkat ini bahwa peristiwa Simpang Kraft ini hanyalah awal dari konflik yang kian menumpuk di Aceh. Chik Rini lahir dan tinggal di Aceh tapi kedua orang tuanya bukan orang asli Aceh. Neneknya Padang, kakek berasal dari suku Sunda. Ayahnya orang Palembang. Keterikatan Chik Rini dalam memahami peristiwa Simpang Kraft ini sangat erat. Kelebihan dirinya dalam reportase peristiwa Simpang Kraft yaitu ia tahu wilayah dan tahu beberapa akses narasumber. Saat peritiwa itu berlangsung, ia pun masih duduk di SMA dan hanya mengetahui saja peristiwa tersebut dari orang Aceh lainnya. Namun, ia merasa sangat dekat dengan peristiwa Simpang Kraft, ibunya pun merasakan ketakutan ketika menjelang peristiwa tersebut. Seperti yang dikatakannya kepada peneliti melalui wawancara. Konstruksi secara deskripsi tempat kejadian kultur orang Aceh serta alas an mengapa orang Aceh ingin referendum maupun alas an mengapa GAM memberontak dari pemerintah Indonesia, ia memahami itu semua. Secara geografis dan emosional, ia mengenal orang-orang Kreung Geukeuh karena disana banyak saudaranya. Namun, yang menjadi titik utama dari angle yang diambil dalam naskahnya adalah bagaimana wartawan-wartawan Indonesia menjadi saksi dari pembunuhan orang Aceh oleh militer Indonesia, bagaimana tidak adanya sisi kemanusiaan ketika konflik pada Orde Baru dan Reformasi itu berlangsung di Indonesia, khususnya kepada orang Aceh. Chik Rini mencoba melepaskan keberpihakannya meskipun ia adalah orang Aceh. Rini mencoba menulis sesuai dengan angle naskah serta memasukan dari beragam fakta yang ia temukan di lapanga, tidak hanya dari laporan pers Kodam I Bukit Barisan, Medansaja tapi Rini juga memasukan data dari narasumber warga sipil (wartawan dan warga Kreung Geukeuh). Jika strategi media dalam memahami peristiwa dan kognisi penulis dalam memahami peristiwa tersebut, seperti yang diterangkan di atas maka dapat diambil kesimpulan dalam tabel empat skema atau model kognisi sosial Van Dijk, sebagai berikut:



45



Tabel 17. Skema/Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas) Chik Rini adalah mantan wartawan Harian Analisa, Medan dan wartawan freelance bagi Majalah Pantau. Ia mulai reportase dan menuliskan naskah laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” pada Desember 2001 sampai April 2002. Naskah tersebut dipublikasikan pada Majalah Pantau pada edisi Mei 2002. Rini lahir dan berdomisili di Aceh hingga sekarang. Skema Diri (Self Shcemas) Chik Rini menulis naskah ini pada rubrik Reporter dari lapangan. Ia adalah kontributor Pantau. Ia mengambil angle atau sudut pandang peristiwa Simpang Kraft ini bukan dari peristiwa, keadilan, maupun dari dua versi (militer Indonesia atau orang Aceh) melainkan ia melihat sisi kemanusiaan yang diawali oleh empat wartawan RCTI dan ANTARA, bahwa mereka adalah manusia dan juga bisa mengalami trauma. Atas dasar keprihatinan inilah, ia menuliskannya dan dengan genre jurnalisme sastrawi. Skema Peran (Role Shcemas) Skema berkaitan dengan peran dari media naungan naskah tersebut berada. Majalah pantau sejak tahun 1999-2003 sebagai majalah media dan jurnalisme yang selalu mengkritisi dua hal tersebut, sangat cocok dengan tema liputan yang diangkat Chik Rini. Maka dari itu, Rini mengambil angle wartawan. Majalah Pantau menjembatani peran mediadan wartawan yang ada di Indonesia. Skema Peristiwa (Event Shcemas) Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini bahwa peristiwa ini hanyalah awal dari peristiwa yang kian menumpuk sejak Orde Baru (Orba). Reformasi di pemerintahan Indonesia, berdampak juga ke Aceh. Setelah peristiwa Simpang Kraft ini ragam peristiwa berdarah lainnya makin gencar terkuak oleh media nasional apalagi sejak Aceh mendapatkan perhatian khusus di mata media nasional maupun internasional. Peritiwa Simpang Kraft ini terjadi kejam sekali, bagaimana militer Indonesia secara membabi buta menembaki massa dari perempuan hingga anak kecil. Kesannya peristiwa ini lewat begitu saja. Peristiwa terblow up karena RCTI dan Assiciated Press (AP) yang disiarkan di televisi nasional. 3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di simpang Kraft” Analisis social berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti, latar, situasi peristiwa, dan kondisi social yang terjadi saat itu. Pada konteks social tertentu sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti. Dalam konteks peristiwa Simpang Kraft (naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”) yang menjadi komunikator dan komunikannya adalah antara militer Indonesia dan Orang Aceh, di dalam orang Aceh terdapat GAM. Indonesia waktu itu dalam keadaan reformasi dan segala macam kejahatan Soeharto membuat GAM memberontak. Chik Rini dan Majalah Pantau menjadi medium diantara peristiwa tersebut untuk mempublikasikan naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”. Peneliti menganalisis konteks social ini ke dalam dua bagian, yaitu a. Praktik Kekuasaan



46



Konstruksi praktek kekuasaan dalam peristiwa Simpang Kraft ini adalah antara militer Indonesia yang memiliki dominasi lebih besar terhadap kaum minoritas, yaitu orang Aceh. Hal inil;ah yang membuat orang Aceh membentuk GAM dan memberontak terhadap pemerintah Indonesia. b. Akses Memengaruhi Wacana Dalam akses memengaruhi wacana, tentu saja militer Indonesia memiliki kekuasaan yang dominan. Militer Indonesia memiliki akses yang disebut dengan perencanaan, akses wacana dalam hal setting, akses wacana dalam hal mengontrol peristiwa komunikasi, dan control wacana atas khalayak. 



Komentar terhadap Hasil Penelitian



Dalam teori Van Djik ada tiga elemen yang dianalisis, yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dimensi teks yang terdiri dari struktur makro dan mikro. Pada struktur makro, yaitu makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topiknya. Dalam hal ini pada setiap adegan topiknya sudah tepat,dan struktur mikronya juga sudah tepat dalam menganalisis, hal ini dapat dilihat dari analisis data yang disajikan dalam tabel analisis pada skripsi Tia Agnes Astuti. Setiap adegan dianalisis oleh penulis. Berita Sebuah Kegilaan disimpang Kraft di Majalah Pantau ini terdiri dari beberapa adegan, yaitu terdapat 11 adegan. Adegan-adegan inilah yang dianalisis. Pada bab IV ini. Penulis mempaparkan analisis dimensi teks dengan menggunakan tabel. Namun dalam menginterpretasikan nominalisasi, penulis salah mengartikan nominalisasi tersebut. Nominalisasi dalam analisis tia agnes astuti cenderung ke angka atau numerik. Sedangkan arti dari nominalisasi yaitu mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina) dan dilakukan dengan memberi imbuhan ’’pe-an’’. Kognisi sosial yang dianalisis Tia Agnes Astuti sudah sesuai dengan analisis kognisi sosial yang dikemukakan oleh Van Dijk yaitu bagaimana kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut dan bagaimana seorang wartawan memandang kasus yang sedang ditelitinya agar menjadi sebuah teks berita yang berkualitas. Chik Rini mencoba melepakkan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam teks berita. Dimensi ketiga dari analisis Van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat



47



praktik diskursus dan legitimasi. Menurut Van Dijk ada dua poin penting, yaitu praktik kekuasaan (power) dan akases (access). Konteks sosial dalam analisis skripsi Tia Agnes Astuti sudah sesuai. Konteks sosial itu adalah menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat. Dapat dilihat pada bab V disampaikan ‘’wacana yang berkembang di masyarakat pada saat itu adalah orang aceh masih membenci militer di Indonesia dan orang Jawa yang mereka rasa telah menjajah orang aceh selama sepuluh tahun daerah operasi militer Aceh. J. Kesimpulan dan Saran A. KESIMPULAN Setelah menjelaskan dan menganalisa data bab-bab sebelumnya serta diperkuat dengan wawancara langsung kepada Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dan narasumber lainnya, maka pada bab penutup ini peneliti mengambil kesimpulan dari rumusan masalah sebelumnya, yaitu: 1. Wacana teks berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksi dilihat dari segi dimensi teks Teun Van Djik, antara lain: a. Teks ini mampu memaparkan dari segi semantik atau makna yang ditekankan dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara keseluruhan teks. Semantic ini sama halnya seperti elemen jurnalisme sastrawi (mencatat dengan detil) dengan komprehensif. b. Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis menggunakan kata-kata yang berkonotasi negative terhadap pihak militer Indonesia maupun orang Jawa. Seperti penggunaan kata: militer Indonesia, rejim Soeharto, pemerintahan di Jakarta, dan sebagainya. c. Secara keseluruhan, teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini menerapkan empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe dengan baik dan wacana midel Van Djik ini membantu dalam konstruksi wacana teks. 2. Dimensi kognisi sosial konteks sosial yang terdapat dalam teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Dari dimensi kognisi sosial, Chik Rini mencoba melupakan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam teksnya. Ia memiliki kekuatan dalam wilayah dan akses kepada beberapa narasumber. Sedangkan wacana yang berkembang di masyarakat ketika itu (konteks sosial) ialah orang Aceh selama sepuluh tahun masa daerah operasi militer Aceh. B. SARAN Dari penelitian menegnai naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini, peneliti mempunyai saran sebagai berikut: 1. Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/I jurnalistik yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi maka dianjurkan untuk membaca naskah berita “Sebuah Kegilaan di 48



Simpang Kraft” ini. Empat elemen Tom Wolfe diaplikasikan dengan baik dalam wacana teks ini. 2. Bagi Majalah Pantau, meski kini tidak diterbitkan lagi dalam bentuk majalah namun seyogyanya Pantau tetap menyuarakan kekritisan seputar media dan wartawan dalam medium website.



Komentar Simpulan yang diuraikan oleh Tia Agnes Astuti (2011) sudah mencerminkan sebuah simpulan yang benar. Mengacu pada Wendra (2010) isi simpulan penelitian yang pertama dan utama ialah terkait langsung dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Simpulan juga dapat ditarik dari pembahasan, namun benar-benar relevan dan mampu memperkaya temuan penelitian yang diperoleh. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam perumusan sebuah simpulan adalah bahasa yang singkat (tidak bertele-tele atau panjang lebar) dan jelas (mudah dimengerti). Simpulan dari penelitian Tia Agnes Astuti (2011) sudah mengindahkan semua aturan-aturan tersebut karena pada simpulan penelitian Tia Agnes Astuti (2011) sudah terkait langsung dengan rumusan masalah. Selain bahasa yang digunakan jelas dan tidak bertele. Sehingga, tidaklah berlebihan jika simpulan ini dikatakan sebuah simpulan yang relevan. K. DAFTAR PUSTAKA Ajidama, Seno Gumira. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bcara. Yogyakarta: Bentang. Edisi Kedua. September 2005. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: pt. Rineka Cipta, 2002. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. Ke-1 1988. Depdiknas, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: M2S. Cetakan Kedua. Februari 2004. Djuroto, Totok Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosda, 2004. Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS, Cet VII Februari 2009. 49



Harsono, Andreas dan Budi Setiyono, ed. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: KPG, 2008. Hernawan, J Budi dan Pongky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 19982007. Jakarta: Imparsial, 2009. Hersey, John. Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008. HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Kompas. Desember 2005. Ishwara, Luwi. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. Desember 2005. Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. Sembilan Elemen Jurnalisme Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan Pantau. Cetakan Ketiga. 2006. Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Majalah Pantau Kajian Media dan Jurnalisme Tahun III No.025-Mei 2002. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 2002. Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos, 1999. Mulayana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunitas dan Ilmu Sosial Lainnya.Bandung: Rosdakarya, 2006. Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, Cetakan Kedelapan 1997. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Cetakan II. 2007. Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Rani, Abdul. Analisis Wacan Sebuah Kajian. Malang: Bayu Media, 2004. Rivers, William L dan Clevw Mathews. Etika Media Massa dan Kecendrungan untuk Melanggarnya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1994. Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002. Schiffrin, Deborah. Ancangan Kajian Wacana.Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007 Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: ANDI, 2005. Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006.



50



Sumadiria, AS Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature.Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005. Van Djik, Teun. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discoures, Vol.1, 1995. Van Djik, Teun. Critical Discourse Studies: A Sociocongnitive Approach. London: Sage, 2002. Van Djik, Teun. Discourse and Society: Vol 4 (2). London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993. Prakoso, Junarto Imam. “Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi.” Artikel diakses pada 23 Mei 2010 dari http://www.semesta.net. Djik, Teun Van. “Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa Metodologi Reflektif.’’ Artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com. ’’Yayasan Pantau.’’Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pukul 22.00 WIB dari http://lidahibu.com. Septiadi, Anggar. ’’Laporan Jurnalistik Yang Bercerita.’’ Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 pukul 22.10 WIB dari http://kompas.com/kompasiana/media. ANT, Tma. ’’Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit.’’ Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 pukul 22.00 WIB dari http://www.gatra.com. Hidayat, Bagja. (Tempo-New Room). “Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel diakses pada Rabu, 13 November 2010 pukul 22.30 WIB dari http://tempointeraktif.com. ’’Profil Yayasan Pantau.’’ Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10.30 WIB dari http://www.pantau.com. Chik, Rini. ’’Medness at Simpang Kraft How Indonesian Journalist Witnessed The Murder od Acehness Civilians.” Artikel diakses pada, Rabu 26 Januari 2011 pkl 15.30 WIB pada Kyoto Review of Southeast Asia.







Komentar mengenai daftar pustaka Jika dilihat dari daftar pustaka, Tia Agnes Astuti yang menganalisis penelitiannya



dengan menggunakan teori Van Dijk sudah mencantumkan beberapa pustaka Van Dijk di daftar pustaka. Kemudian, relevansi pustaka dengan masalah penelitian sudah sangat sesuai. Namun, penulisan daftar pustaka pada penelitian ini masih mengalami kerancuan. Hal tersebut dapat dilihat dari keseluruhan daftar pustaka yang telah disusun oleh penulis. Tahun yang seharusnya ditulis setelah nama pengarang ditempatkan pada bagian terakhir, 51



yaitu setelah penerbit. Tanda baca yang digunakan juga masih banyak yang salah seperti penulisan tanda baca sebelum tahun, penulis menggunakan tanda baca koma. Tanda baca yang tepat digunakan sebelum menulis tahun adalah titik. Perbaikan daftar pustaka Ajidama, Seno Gumira. 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bcara. Yogyakarta: Bentang Selain itu, mengenai kemutakhiran daftar pustaka, Tia Agnes Astuti sepertinya kurang mencermati adanya daftar pustaka yang terbaru atau yang sudah lawas. Hal tersebut terlihat dengan adanya pustaka yang memiliki tahun terbit di bawah tahun 2000. Contohnya: Van Dijk, Teun. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discoures, Vol.1, 1995, Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos, 1999.



Sebenarnya memang tidak ada yang melarang penggunaan pustaka yang demikian. Namun, hal tersebut sedikit mengurangi kemutakhiran penelitian, padahal penelitian Tia Agnes Astuti ini dilakukan pada tahun 2011. Sebaiknya, Tia Agnes Astuti menggunakan pustaka di atas tahun 2000, agar penelitian yang telah dilakukan menjadi lebih kuat dan lebih mutakhir.



52



BAB III PENUTUP



3.1 Simpulan Berkaitan dengan analisis atau review yang dilakukan penulis ada beberapa hal yang menjadi kekurangan dalam penelitian ini. Kebanyakan terjadi kesalahan pada struktur penulisan dan pendeskripsian suatu sub pokok bahasan. Struktur penulisan yang kurang baik muncul pada penulisan abstrak, latar belakang, landasan teori yang kurang sistematis, beserta ada kesalahan sistematika penulisan bab 1, 2, dan 3. Terkait dengan pendeksripsian penulisan ada kekuranglengakapan yang dilakukan peneliti untuk menjabarkan beberapa poin. Seperti dalam metode penelitian diperlukan adanya penjabaran yang jelas, terutama dalam metode penyajian data dan instrument penelitian. Selain itu pada analisis data peneliti salah menginterpretasikan istilah nominalisasi dalam teori Van Djik. 3.2 Saran Penelitian ilmiah adalah suatu kegiatan yang memiliki takaran ilmiah yang tinggi. Alangkah bijaksana jika dalam penulisan skripsi harus mengikuti aturan penulisan yang kuat, berdasarkan kadar ilmiah yang baku, dan analisis yang berdasarkan aturan-aturan yang telah disesuaikan dengan sikap ilmiah dalam keilmuan.



53