Antibiotik, Antijamur Dan Kortikosteroid Jhuvan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ANTIBIOTIK SISTEMIK Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik merupakan zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.1,2 I.



Klasifikasi Antibiotik Sistemik1 Antibiotik yang terkini bersifat sintetik atau semi-sintetik. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik dibagi menjadi dua jenis yaitu yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh mikroba,



dikenal



sebagai



aktivitas



bakterisidal.



Walaupun



perbedaannya tidak begitu jelas, misalnya eritromisin dapat bersifat bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari organisme yang menginfeksi dan konsentrasi obat. Tabel 1. Klasifikasi antibiotik berdasarkan sifat toksisitas selektif. Bakteriostatik Kloramfenikol Klindamisin Eritromisin Sulfonamida Tetrasiklin Trimetoprim    



Bakterisidal Aminoglikosida Basitrasin Karbapenem Monobaktam Penisilin Polymyxin B Kuinolon Vankomisin



Pada penggunaan klinik, antibiotik dibagi ke dalam kelompok spektrum sempit dan spektrum luas yang berespon terhadap mikroorganisme



Gram-negatif



dan



Gram-positif.



Berdasarkan



mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu: 1.



mengganggu metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid (PABA) antagonis,



2.



menghambat sintesis dinding sel mikroba,



3.



mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba,



4.



menghambat sintesis protein sel mikroba, dan 1



5.



menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.



Tabel 2. Klasifikasi antibiotik sistemik berdasarkan mekanisme kerja. Nama antibiotik Penisilin Sefalosporin Karbapenem Monobaktam Vankomisin β-lactamase inhibitor Sulfonamida Trimetoprim



Tempat Mekanisme Kerja



Dinding sel



Menghambat sintesis asam nukleat



Kuinolon Metronidazol Aminoglikosida–30S Tetrasiklin–30S Kloramfenikol–50S Klindamisin–50S Makrolid–50S



II.



DNA gyrase Memecah rantai DNA



Subunit Ribosom



Karakteristik Antibiotik Sistemik 1.



Penisilin1 a.



Mekanisme Kerja Merupakan



golongan



β-laktam,



bekerja



dengan



berikatan secara ireversibel pada target protein pengikat penisilin



(Penicillin-Binding



Protein,



PCP),



seperti



karboksipeptidase, endopeptidase, dan transpeptidase. PCP merupakan suatu enzim yang dibutuhkan untuk biosintesis dan remodelling peptidoglikan pada dinding sel bakteri. Penisilin berikatan dengan PCP oleh kemiripan molekulnya dengan dipeptida D-Ala-D-Ala pada peptidotglikan, dan membentuk



asil-enzim



yang



memblokir



transfer



asil



selanjutnya. b.



Farmakokinetik1 Absorpsi penisilin bervariasi tergantung stabilitas tiap senyawa asam dan jumlah yang terikat pada makanan. Kebanyakan penisilin harus di konsumsi minimal 1 jam sebelum atau 1 jam setelah makan. Absorpsi amoksisilin 2



tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat ini berdifusi dengan baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapeutik. c.



Indikasi1,2 1)



Sifilis.



2)



Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus sp. (erysipelas, demam scarlet, impetigo, dll).



d.



3)



Antraks (bila sensitif).



4)



Aktinomikosis.



5)



Gigitan serangga yang terinfeksi.



Sediaan dan Dosis Tabel 3. Sediaan dan dosis antibiotik penisilin1,2



Nama Generik Penisilin G



Rute IM, IV



Dosis Dewasa: 2-24 juta unit per hari terbagi 4 dosis (18-24 juta unit per har untuk neurosifilis) Neonatus: 50mg/kg dosis terbagi 2 Bayi: 75mg/kg dosis terbagi 3



Benzatin penisilin G



IM



Anak 1-12 tahun: 100mg/kg dosis terbagi 4 Dewasa: 2,4 juta unit x1 (sifilis awal)



Dicloxacillin



Oral



2,4 juta unit tiap minggu x3 (sifilis > 1 tahun) Dewasa: 500 mg tiap 6 jam Anak:



Nafsilin



IM, IV



12,5-50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis Dewasa: IM: 500 mg tiap 4-6 jam



Oksasilin



Oral



IV: 0,5-2 gr tiap 4-6 jam Dewasa:



Amoksisilin



Oral



1-2 gr tiap 4-6 jam Dewasa: 500 mg tiap 8 jam Anak:



Amoksisilin/klavulanat



Oral



20-40 mg/kg/hari terbagi 3 dosis Dewasa: 250 mg tiap 12 jam



3



Anak: 20-40 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis



e.



Peringatan 1)



Hipersensitivitas terhadap penisilin



2)



Peningkatan kadar penisilin dengan probenesid dan disulfiram



3) f.



Peningkatan efek oleh metotreksat dan warfarin



Efek Samping 1)



Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif,



Sindroma



Steven



Johnson



(SSJ),



vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi anafilaktoid. 2)



Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis pseudomembranosa.



3)



Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada dosis tinggi), infiltrat eosinofil pulmonal, serta reaksi hematologis dimediasi imun jarang terjadi.



2.



Sefalosporin1 a.



Mekanisme Kerja1 Merupakan golongan β-laktam dengan mekanisme kerja



yang sama dengan penisilin. Baik sefalosporin maupun penislin memiliki struktur dasar yang unik yang disebut cincin β-laktam, yang menjadi dasar mekanisme kerja kedua antibiotik. Cincin βlaktam pada keduanya berikatan pada tiazolidin dan membentuk asam



nukleat



6-amino-penisilanat



(rantai



samping



R1).



Sefalosporin berbeda dari penisilin secara struktur dimana cincin β-laktam juga terikat pada cincin dihidrotiazin (rantai samping R2). 4



Gambar 1. Struktur dasar β-laktam. Sefalosporin terbagi atas 4 generasi, berdasarkan aktivitas spektrum dan perkembangan evolusinya. Generasi pertama antara lain sefaleksin, sefadroksil, sefazoiln dan sefalotin parenteral, dimana semuanya memiliki aktivitas yang baik melawan S. Aureus dan Streptococcus sp yang sensitif-metisilin, serta aktivitas yang sangat terbatas melawan bakteri gram negatif.



Generasi



kedua



antara



lain



sefprozil,



sefaklor,



sefuroksim asetil, dan agen parenteral sefotetan, sefoksitin, sefuroksim, dapat digunakan lebih luas pada bakteri gram negatif dibanding



generasi



pertama,



secara



spesifik



melawan



Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Generasi ketiga termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral sefotksim, seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif melawan bakteri gram negatif dengan spektrum yang luas. Sefalosporin generasi ketiga sangat efektif untuk infeksi nosokomial bakteri gram negatif. Satu-satunya generasi keempat yang tersedia di Amerika adalah sefepim, obat parenteral dengan aktivitas yang baik terhadap baik gram positif maupun gram negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa. b. Farmakokinetik



5



Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 berdasarkan rute pemberian. Sefaleksin, sefadroksil, sefaklor, sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya diberikan parenteral. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim dan



seftriakson



mencapai



kadar



tinggi



dalam



cairan



serebrospinal. Sefalosporin juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu. Sefalosporin generasi pertama, kedua, dan ketiga dapat diberikan pada ibu menyusui, dan ekskresi pada ASI berbeda-beda tiap obat. c. Indikasi 1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus dan



Streptococcus



pyogenes



tanpa



komplikasi



dapat



diberikan sefalosporin generasi pertama dan kedua, juga sefdinir dan sefditoren. 2) Gonore 3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut, dan sefuroksim pada onset awalnya. d. Sediaan dan Dosis Tabel 4. Sediaan dan dosis antibiotik sefalosporin.



Nama generik Sefaleksin



Dosis anak 25-100 mg/kg/hari terbagi



Dosis dewasa 250-500 mg 4x1



Sefadroksil



2 atau 4 dosis 30 mg/kg/hari terbagi 2



1-2 gr per hari



Sefaklor



dosis 40 mg/kg/hari terbagi 2



250-500 mg 3x1



6



atau 3 dosis 15-30 mg/kg/hari terbagi 2



200-400 mg 2x1



dosis 30 mg/kg/hri terbagi 2



250-500 mg per hari



dosis 20-30 mg/kg/hari terbagi 2



250-500 mg 2x1



dosis 10 mg/kg/hari terbagi 2



100-400 mg 2x1



proksetil Seftibuten Sefiksim



dosis 9 mg/kg/hari 8 mg/kg/hari terbagi 1 atau



400 mg per hari 200 mg 2x1 atau 400



Seftriakson



2 dosis 50 mg/kg IM (maks. 1 gr)



mg 1x1 1-4 gr per hari IM;



Lorakarbef Sefprozil Seforuksim aksetil Sefpodoksim



250 mg IM (maks. 1 gr) untuk gonore non Sefdinir



14 mg/kg/hari terbagi 1



komplikata 300 mg 2x1 atau 600



atau 2 dosis



mg 1x1



e. Peringatan 1) Hipersensitivitas terhadap sefalosporin maupun penisilin. 2) Absorpsi sefdinir berkurang dengan antasida dan preparat besi. 3) Kadar siklosporin meningkat dengan seftriakson dan seftazidim. 4) Perubahan efek warfarin dengan sefotetan, sefamandole, sefoperazon, sefiksim, dan sefaklor. 5) Ekskresi renal terganggu oleh hampir semua sefalosporin bersama probenesid. f. Efek Samping 1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis eksfoliatif,



SSJ,



vaskulitis,



angioedema,



reaksi



anafilaksis, reaksi anafilaktoid. 2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi pseudokolelitiasis. Nekrosis tubular ginjal, reaski disulfiram-like (spesifik),



7



tromboplebitis (lokasi IV), serum sickness like reaction (sefaklor, sefprozil). 3. Tetrasiklin Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofacien. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.



Gambar 2. Struktur kimia golongan tetrasiklin. a. Mekanisme Kerja Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram-negatif pertama secara difusi pasif. Tetrasiklin diyakini dapat menjadi bakteriostatik, tetapi kemudian ditemukan bahwa dapat menjadi bakteriostatik dan bakterisidal. Antibiotik ini memiliki dua mode mekanisme antibiotik. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negatif, aerobik dan anaerobik, selain itu juga aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.



8



Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin sistemik generasi kedua yang paling umum digunakan dalam dermatologi. b. Farmakokinetik1 Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus kecil, yang terutama dikonsumsi saat perut kosong. Doxycycline dan minocycline tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya makanan dan mempunyai waktu paruh lebih lama dari tetrasiklin, dan membutuhkan dosis yang sedikit. Tetrasiklin tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan, terutama yang mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat mengurangi 50% penyerapan. Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien dengan gagal ginjal memerlukan dosis penyesuaian. Doxycycline diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk gagal ginjal atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar dimetabolisme sebelum diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada pasien dengan gagal hati. Tetrasiklin melewati plasenta dan terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat menumpuk dan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan gigi sehingga penggunaan selama kehamilan dan saat menyusui harus dihindari. c. Indikasi a) Aktinomikosis b) Gigitan serangga (Pasteurella multocida) c) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis) d) Infeksi Chlamydia sp. e) Ehrlichiosis f) Penyakit Lyme g) Infeksi MRSA h) Penyakit riketsia i) Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)



9



d. Sediaan dan Dosis Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bentuk bubuk yang harus dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin, doksisiklin, minosiklin). Tabel 5. Sediaan dan dosis antibiotik tetrasiklin. 1



Derivat Tetrasiklin



Sediaan Kapsul/tablet 250mg dan 500mg Bubuk obat suntik IM 100mg dan



Dosis Oral,4 kali 250-500mg Parenteral, 300IM mg sehari



200mg/vial



yang dibagi dalam 2-3 dosis,



Bubuk obat suntik IV 250 dan



dosis atau 250-500mg IV



500mg/vial



diulang 2-4kali sehari. Parenteral,untuk pemberian IM 15-25 mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal atau dibagi dalam 2-3 dosis dan IV 2030mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-



Doksisiklin



Minosiklin



Kapsul atau tablet 100mg, tablet



3 dosis. Oral, dosis awal 200mg,



50mg



selanjutnya 100-200 mg/hari



Sirup 10mg/ml Kapsul 100mg



Oral, dosis awal 200mg, dilanjutkan 2 kali sehari 100mg/hari



e. Peringatan 1 a) Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti anabolik) b) Fotosensitifitas (doxycycline) c) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun) d) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium (kation lainnya), besi, natrium bikarbonat, dan simetidin e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan fenitoin, karbamazepin, barbiturat, dan alkohol



10



f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal) f. Efek Samping Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema angioneutrotik dan reaksi anafilaksis. Pada pemberian minosiklin dapat terjadi hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada lambung serta pada anak- anak dapat terjadi hiperpigmentasi dari gigi. Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipi, granulasi toksik pada granulosit dan trombositopenia. 4. Florokuinolon a. Mekanisme kerja Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama (nalidixic acid). Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada mikroba yang fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel mikroba yang kecil. Antibiotik ini menghambat kerja enzim topoimerase II (DNA girase) dan IV dimana enzim ini berfungsi pada replikasi DNA, transkripsi, dan perbaikan DNA. Kuinolon aktif pada bakteri yang dihambat adalah bakteri aerob gramnegatif, staphylococci, dan streptococci tetapi tidak cukup aktif pada bakteri anaerob.



11



Gambar 3. Struktur kimia antibiotik florokuinolon. Antibiotik ini aktif melawan jenis organisme gram-negatif seperti, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Campylobacter, dan Neisseria.



Ciprofloxacin



cukup



aktif



melawan



untuk



Pseudomonas aeruginosa. Gemifloksasin dan mofifloksasin terbukti bisa aktif pada mikroorganisme gram-positif, walaupun secara umum florokuinolon memiliki aktivitas terbatas untuk organisme gram-positif. Florokuinolon termasuk antibiotik yang poten berspektrum luas dan sering digunakan pada penyakit infeksi. Florokuinolon menghambat supercoiling dalam sel bakteri yang akan merusak replikasi DNA (dosis rendah) dan mematikanj sel (dosis letal). Sel target utama pada bakteri gram-negatif adalah DNA gyrase, sedangkan sel target utama pada mikroorganisme gram-positif adalah topoimerase IV. b. Farmakokinetik Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral dengan distribusi volume yang besar. Kuinolon terdistribusi dengan luas di seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar



12



dari konsentrasi yang dicapai di plasma, feses, cairan empedu, jaringan prostat, dan jaringan paru-paru. Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan dua kali sehari.



Florokuinolon diekskresi oleh ginjal.



Mofifloksasin dieliminasi di hati dengan cara dikonjugasikan dengan glukoronid dan sulfat. Florokuinolon tidak dapat dihilangkan dengan dialisis. Kebanyakan diekskresi bersama ASI tetapi



jarang



menimbulkan



Ciprofloksasin



bisa



efek



menimbulkan



samping



pada



fototoksik,



bayi. kolitis



psudomembran, dan erupsi gigi. Ketika digunakan dalam kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti betalaktam dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis. Ciprofloxacin dan rifampisin bersifat antagonis terhadap Staphylococcus aureus. Waktu paruh kuinolon bervariasi mulai dari 1,5 jam sampai 16 jam, kebanyakan diberikan setiap 12 jam sampai 24 jam. c. Indikasi 1) Terapi lini pertama Antrhax, Skin and sof-tissue infection (SSTIs) akibat mikroorganisme patogen gram-negatif, infeksi Pseudomonas aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI). 2) Terapi lini kedua Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea, granuloma inguinale, infeksi Rickettsia sp. d. Sediaan dan Dosis Tabel 6. Sediaan dan dosis antibiotic florokuinolon



Nama generik



Ciprofloksasin



Levofloksasin



Rute



Dosis pada orang dewasa Gonore: 500 mg x 1



PO,



Gonococcemia: 500 mg tiap 12 jam x 7 hari



IV



Canchroid: 500 mg tiap 12 jam x 3 hari



PO,



Anthrax kutaneus: 10-15 mg/kgBBq 12 jam x 60 hari Tanpa komplikasi: 500 mg tiap 24 jam



IV



Dengan komplikasi: 750 mg tiap 24 jam



13



e. Peringatan Florokuinolon dapat menurunkan bioavaibilitas dengan antasid (aluminium, magnesium, alum), besi, zinc, dan sucralfat. Siprofloksasin



dapat



theophylline/aminophylline.



menghambat Secara



umum



metabolisme kuinolon



bisa



menyebabkan arthropati pada studi hewan imatur. Ruptur tendon dapat



ditemukan



pada



pasien



dengan



penyakit



ginjal,



hemodialisis, atau penggunaan steroid. Florokuinolon bisa menurunkan ambang kejang dan menurunkan metabolisme silosporin dan warfarin. f. Efek Samping Efek samping yang biasa didapatkan pada pasien adalah adanya mual, muntah, sakit kepala, dan menggigil. Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah exanthem, fotosensitivitas delirium, kejang, rupture pada tendon, artropati, pemanjangan interval QT, dan hepatitis. Komplikasi yang bermanifestasi pada kulit seperti rash, pruritus, dan reaksi fotosensitivitas. 5. Trimetoprim/Sulfametoksazol a. Mekanisme Kerja Trimetoprim/sulfametoksazol



(kotrimoksazol)



adalah



kombinasi dari trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX) dengan perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat sintesis asam nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur sintesis asam tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini bersifat sinergis yang relatif spesifik untuk sel-sel bakteri.



14



Gambar 5. Struktur kimia antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol. SMX menghambat produksi dihidrofolat dari komponen prekursor p-aminobenzoat, pteridin, dan glutamat. TMP bekerja pada metabolisme folat secara kompetitif dengan menghambat dihidrofolat



reduktase,



yaitu



enzim



yang



memproduksi



tetrahidrofolat aktif. TMP/SMX adalah antibiotik spektrum luas dengan aktivitas yang baik terhadap banyak aerobik gram-positif seperti Staphylococcus aureus, S. pyogenes, S. viridans. Obat ini tidak memiliki aktivitas terhadap mikroorganisme anaerob. TMP dan SMX bila digunakan tunggal akan bersifat bakteriostatik, sedangkan jika dikombinasikan atau bentuk kotrimoksazol akan bersifat bakterisidal.



15



Gambar 6. Mekanisme kerja trimetoprim dan sulfametoksazol. Bakteri memerlukan PABA (p-aminobenzeic acid)) untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam nukleat. Sulfametoksazol merupakan penghambat bersaing PABA. 1 b. Farmakokinetik1 Trimetoprim dan sulfametoksazol baik diabsorpsi secara oral dengan distribusi ke seluruh jaringan pada tubuh. Distribusinya juga melalui cairan serebrospinal dan sputum. Absorpsi melalui saluran cerna terjadi dengan mudah dan cepat. Sekitar 70-100% dosis oral diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi melalui vagina, saluran napas, kulit yang terluka pada umumnya kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau hipersensitivitas. Semua terikat pada protein plasma terutama albumin. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar dalam darah. Dalam tubuh, terjadi proses asetilasi dan oksidasi. Hasil oksidasi ini yang akan menyebabkan reaksi toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat. Hampir semua



16



diekskresi melaui ginjal dan sebagian kecil diekskresi melalui feses, empedu dan ASI. Farmakokinetik TMP-SMX tidak berubah secara signifikan dan waktu paruhnya tidak memanjang jika terjadi gangguan hati. Saat ini belum ada studi yang melaporkan dosis maksimum TMP-SMX untuk gangguan ginjal. c. Indikasi Trimetoprim



dan



sulfametoksazol



digunakan



untuk



community acquired MRSA, infeksi Nocardia asteroids, Skin and Soft Tissue Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan pada chancroid. d. Sediaan dan Dosis Tabel 7. Sediaan dan dosis antibiotik trimetoprim dan sulfametoksazol.



Antibiotik Trimetoprimsulfametoksazol (Kotrimoksazol)



Rute PO IV



Dosis pada orang dewasa 180 mg/800mg (DS) pemberian setiap 12 jam 5 mg/kgBB pemberian setiap 6-8 jam



e. Peringatan Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS dapat terjadi reaksi berat, pasien dengan terapi warfarin akan terjadi



pemanjangan



protrombin,



dan



dikontraindikasikan



terhadap pasien yang mendapat metroteksat. f. Efek Samping Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan antibiotik TMP-SMX adalah adanya eksantem, fotosensitivitas, mual, muntah, anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien HIV/AIDS). Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan adalah delirium, sindroma steven johnson, nekrolisis epidermal toksik, vaskulitis, urtikaria, erupsi pustular, Sweet Syndrome, hepatitis kolestatik, nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas



17



berat, sefalgia, halusinasi, tremor, nefrolitiasis, dan nefritis intertisiel. Sekitar 8% antibiotik ini juga dapat menyebabkan reaksi kulit tipikal pada pasien. 6. Klindamisin Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui modifikasi kimia dari linkomisin. Yang dimana penyerapan dan aktifitas spektrumnya yang lebih baik dari pendahulunya, yang sekarang sudah ditinggalkan. a. Mekanisme Kerja Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s dan menghambat sintesis protein melalui blokade inisiasi rantai peptida. Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis dan mengurangi adhesi bakteri (sel inang) dan produksi eksotoksin stafilokokus. Klindamisin efektif terhadap sebagian besar kokus Gram-positif, anaerob, dan beberapa protozoa. Dalam bidang dermatologi,



klindamisin efektif terhadap



sebagian besar jenis streptococcus (termasuk S. viridans), methicillin-sensitif S. aureus, serta S.epidermidis. Aktifitas spektrum anaerob termasuk Peptococci, Peptostreptococci, Propionibacteria, Clostridium perfringens, serta fusobacteria. Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan kombinasi termasuk klindamisin. b. Farmakokinetik Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral. Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. Klindamisin merupakan obat pilihan dalam kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada SSP. Klindamisin memiliki daya serap peroral yang baik dan tidak ada persyaratan dosis yang diperlukan jika terdapat penyakit ginjal, klindamisin juga merupakan alternatif pada pasien yang alergi pada penisilin. Klindamisin terutama dimetabolisme oleh hati serta diekskresikan di empedu, 18



meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis harus disesuaikan untuk pasien dengan gagal hati atau kombinasi gagal hati dengan gagal ginjal. c. Indikasi a) Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis b) Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin c) Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang d) Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif) e) Bakterial vaginosis d. Sediaan dan Dosis Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin pada orang dewasa.



Klindamisin



Rute pemberian



Dosis



Oral



150-450 mg per 6 jam



Intravena



600-800 mg per 8 jam



Untuk anak atau bayi berumur lebih dari 1 bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari. Untuk infeksi berat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian. e. Peringatan Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian jika pasien dengan gagal hati, terdapat peningkatan blokade neuromuskular dengan tubocurare dan pancuronium. Antibiotik ini bersifat antagonis terhadap eritromisin. f. Efek Samping Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat klindamisin. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam, nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. 1 Bila selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin 19



yang diberikan 4 kali 125 mg sehari peroral atau IV selama 7-10 hari atau metronidazole oral 3 x 500 mg/hari. 1 7. Makrolid Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif termasuk dirithromycin, klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid bervariasi dalam aktivitasnya terhadap patogen Gram-positif: klaritromisin>eritromisin>



azitromisin.



Makrolid



secara



luas



digunakan untuk mengobati infeksi ringan pada jaringan saluran pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan Gram-positif, termasuk kuman intraseluler seperti Chlamydia dan Legionella. a. Mekanisme Kerja Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka. b. Farmakokinetik Makrolid terakumulasi secara intraseluler pada leukosit polimorfonuklear dan makrofag, antara lain beraktivitas untuk melawan bakteri patogen pada intraseluler. Eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun karena dirusak oleh asam lambung, eritromisin diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau etilsuksinat, adanya makanan juga menghambat penyerapan eritromisin. Dibandingkan dengan eritromisin, klaritromisin dan azitromisin lebih asam stabil dan memiliki bioavailabilitas oral yang lebih besar. Konsentrasi makrolid umumnya melewati kadar plasma. Konsentrasi eritromisin dalam ASI sekitar 50% dari kadar serum. Eritromisin dapat melewati plasenta,



kecuali klaritromisin



(kategori kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori B. 20



Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) menjadi bentuk enzim 14-hidroksi aktif dan enam produk tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral klaritromisin diekskresikan dalam urin sebagai 14-hidroksi metabolit yang aktif atau tidak berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama dalam feses sebagai obat yang tidak mengalami perubahan, dan ekskresi urin minimal. Tidak seperti klaritromisin, azitromisin tidak berinteraksi dengan sistem sitokrom P450. c. Indikasi a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis) b) Lyme disease c) Chlamydia d. Sediaan dan Dosis Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid. Eritromisin Klaritromisin



Oral IV Oral



500mg per 6 jam atau 12 jam 1gr per 6jam 250-500 mg per 12 jam 500 mg hari pertama, lalu 250 mg setiap



Oral



hari 2-5 kali untuk klamidian, 1gr dosis



IV



tunggal 500 mg per 24jam



Makrolid Azitromisin



e. Peringatan 1) CYP 3A4 inhibition Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): warfarin, karbamazepin, buspiron, benzodiazepin, kortikosteroid (methylprednisolon), HMG CoA reductase inhibitor,



kontrasepsi



oral,



cyclosporine,



tacrolimus,



disopyramide, felodipin, ergot alkaloid. 2) CYP 1A2 inhibition Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi serum): theophylline, omeprazol. 21



3) Lainnya Digoxin



(konsentrasinya



meningkat



akibat



perubahan



metabolisme obat oleh gut flora), Fluconazol (meningkatkan konsentrasi klaritromisin) f. Efek samping Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek samping klaritromosin adalah iritasi saluran cerna dan peningkatan sementara enzim hati. V. Korelasi Klinis Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Pengobatan Penyakit Kulit A. Pioderma (impetigo, folikulitis, selulitis, dan erisypelas) 2 1. Terapi lini pertama a. Kloksasilin: Dewasa 4 x 250-500 mg per hari per oral. Anak: 50 mg/kg per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5 sampai 7 hari. b. Pada S.aureus yang resisten terhadap eritromisin dapat diberikan: 1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500 mg per hari. Anak: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3 dosis selama 5 - 7 hari. 2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. 3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis. 2. Terapi lini kedua a. Azitromisin: 1x500 mg per hari (hari pertama), dilanjutkan 1x250 mg (hari ke-2 sampai hari ke-5). 22



b. Klindamisin: 15 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis selama 10 hari. c. Eritromisin: Dewasa 4x250-500 mg per hari. Anak: 20-50 mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari. B. Antraks 2 Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G parenteral 2 juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari (sampai edema lokal menghilang atau lesi kulit mengering). Antibiotik



yang



direkomendasikan



saat



ini



adalah



terapi



siprofloksasin dengan dosis 20-30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis (dosis maksimum untuk dewasa 500mg 2 kali sehari) atau doksisiklin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari. Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan dosis 40mg/kgBB (BB kurang dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau 500mg 3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa. C. Acne Vulgaris2 Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang sampai berat, diberikan selama minimal 6–8 minggu, maksimal 12– 18 minggu. Antibiotik oral pilihan: 1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang digunakan karena terdapat resistensi terhadap tetrasiklin) 2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari 3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari 4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari D. Eritrasma 2 Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas, dimana eritromisin terbukti efektif diberikan 1 gram sehari (4 x 250mg) selama 2-3 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1 gram dosis tunggal. 23



E. Aktinomikosis Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta unit secara intravena selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan dengan penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12 bulan.



F. Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA) Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA Antibiotik Vankomisin



Dosis dewasa 30 mg/kg/hari dalam 2



Dosis anak 40 mg/kg/hari dalam 4



dosis terbagi/ IV



dosis terbagi/ IV 25-40 mg/kg/hari dalam 3



Klindamisin



600 mg/8 jam/IV



Daptomisin Seftarolin



4 mg/kg/hari/IV 600 mg/12 jam/IV



Doksisiklin



100 mg 2x1 PO



Trimetroprimsulfametoksasol



1-2 tablet 2x1 PO



dosis terbagi Tidak digunakan Tidak digunakan Tidak direkomendasikan dibawah 8 tahun 8-12 mg/kg/hari (berdasarkan trimetoprim) dalam 4 dosis terbagi IV atau 2 dosis terbagi PO



24



G. Penyakit Lyme 1. Terapi lini pertama (per oral) a. Doksisiklin 100mg peroral 2 x sehari b. Amoksisilin 500mg peroral 3 x sehari c. Cefuroxime 500mg peroral 2 x sehari 2. Terapi alternatif (peroral) a. Azitromisin 500mg peroral 4 x sehari b. Eritromisin 500mg peroral 4 x sehari c. Klaritromisin 500mg peroral 2 x sehari 3. Terapi lini pertama (parenteral) Ceftriaxone 2gr/intravena 4x/sehari 4. Terapi alternatif (parenteral) a. Penisilin G (18-24 unit dibagi dalam 6 dosis tiap 4 jam) b. Cefotaksim 2gr per intravena setiap 8 jam c. Doksisiklin 200-400mg perhari per intavena dibagi dalam 2 dosis



H. Sifilis2 1. Terapi pilihan a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun): Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit. b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III): Benzatinpenisilin G 7,2 juta unit (injeksi intramuskular Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit/kali dengan interval 1 minggu). 2. Terapi alternatif a. Tetrasiklin 4x500mg/hari b. Eritromisin 4x500mg/hari c. Doksisiklin 2x100mg/hari



25



Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari (stadium lanjut). I. Gonore2 1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral. 2. Terapi alternatif a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di bawah 12 tahun) J. Infeksi Chlamydia sp 1. Limfogranuloma venereum2 a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau tetrasiklin 2 gr/hari atau tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin 300mg diikuti 200mg 2x/hari. b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari. c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21 hari terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan cycline, pada wanita hamil dan menyusui. d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari. 2. Uretritis Non Gonore2 a. Golongan tetrasiklin 1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari 2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari 3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari b. Golongan makrolid 1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk resistensi tetrasiklin dan untuk wanita hamil 2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal 26



c. Golongan kuinolon Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari



VI. Antibiotik Sistemik untuk Alergi Obat pada Pengobatan Penyakit Kulit Antibiotik golongan beta laktam penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan. Antibiotik ini terbukti sebagai antibiotik yang efektif untuk infeksi bakteri. Golongan beta laktam merupakan salah satu terapi pilihan pada pengobatan penyakit kulit. Berdasarkan studi epidemiologi, dilaporkan bahwa antibiotik sering menyebabkan alergi obat. Dari berbagai kelas antibiotik, golongan antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosporin) sering didapatkan kasus alergi obat. Golongan antibiotik yang termasuk aman adalah vankomisin. Vankomisin merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan alergi obat penisilin maupun sefalosporin. Vankomisin juga aktif melawan bakteri penyebab MRSA. Vankomisin adalah antibiotik glukopeptida trisiklik yang diproduksi oleh Stretococcus orientalis yang dapat dibuktikan keamanannya melalui hasil studi porspektif.



Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin Nama Generik Vankomisin



Rute IV



Dosis Dewasa: 30mg/kgBB dibagi dalam 2-3 dosis per hari Neonatus ( 40 kg, dosis yang diberikan 400 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 200 mg dua kali sehari; (2) bila berat badan < 40 kg, dosis yang diberikan 200 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 100 mg dua kali sehari. Jika respon klinis tidak adekuat, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 300 mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan > 40 kg dan 150 mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan < 40 kg. Dosis anak umur 2 - < 12 tahun adalah 6 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 4 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam.1 Flusitosin Flusitosin merupakan obat antifungal tipe antimetabolik. Kapsul flusitosin telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1972. Flusitosin memiliki spektrum anti jamur yang agak sempit. Obat ini efektif untuk pengobatan kriptokokosis, kandidosis, kromomikosis, torulopsis, dan aspergilosis.



Criptococcus dan Candida dapat menjadi resisten selama



pengobatan dengan flusitosin.1 Farmakologi Flusitosin



merupakan



satu-satunya



obat



antimetabolik



yang



mempunyai efektivitas antifungal. Dalam sel jamur, flusitosin mengalami deaminasi menjadi 5-flurouracil. Flusitosin menghambat sintesis protein jamur dengan cara mengganti uracil dengan 5-flurouracil pada rantai RNA jamur. Keadaan ini tidak terjadi pada mamalia karena dalam tubuh mamalia, flusitosin tidak diubah menjadi 5-flurouracil.1



47



Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna. Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tanpa mengurangi jumlah zat yang diserap. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian dengan suspensi magnesium hidroksida atau alumunium hidroksida dan dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah adalah 1-2 jam setelah pemberian oral. Pada penderita insufisiensi ginjal, kadar dalam darah akan meningkat. Setelah diserap, flusitosin didistribusikan dengan baik ke seluruh jaringan. Flusitosin dapat memasuki cairan akuosa. Dalam saliva kadar flusitosin kira-kira separuh kadarnya dalam darah. Sembilan puluh persen flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulus dalam bentuk utuh. Waktu paruh obat ini pada orang normal adalah sekitar 2,4-4,8 jam, sedikit memanjang pada bayi prematur, dan dapat sangat memanjang pada penderita insufisiensi ginjal. Pada orang normal bersihan kreatinin dari flusitosin adalah sekitar 75% dari bersihan kreatinin. Karena itu, bersihan kreatinin dapat digunakan sebagai patokan dalam penyesuaian dosis obat. Flusitosin dapat dikeluarkan dengan hemodialis dan peritoneal dialisis. 1



Gambar 5*. Struktur kimia flusitosin



Indikasi



48



Flusitosin merupakan obat jamur yang penting pada infeksi sistemik, selain karena kurang toksik, obat ini dapat diberikan peroral. Karena cepat terjadi resistensi jamur terhadap flusitosin, obat ini sering dikombinasikan dengan obat lain misalnya amfoterisin B. Penggunaan flusitosin sebagai obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis.1 Efek Samping Flusitosin dapat menimbulkan anemia, leukopeni, dan trombositopeni, terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan penderita dengan riwayat memakai obat tersebut. Efek samping lainnya adalah mual, muntah, diare, dan enterokolitis yang hebat, kira-kira 5% penderita mengalami peningkatan enzim SGOT dan SGPT, serta dapat juga terjadi hepatomegali. Efek samping ini hanya terjadi sementara, dan menghilang sendiri ketika pengobatan dihentikan. Kadang-kadang dapat pula terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi. Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada kehamilan belum terbukti, sebaiknya flusitosin tidak diberikan kepada ibu hamil. 1 Sediaan dan Dosis Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang biasa digunakan adalah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis. Dosis ini harus disesuaikan padai penderita dengan insufisensi ginjal. 1 Khusus pada meningitis yang disebabkan Cryptococcus, kombinasi 100-150 mg/kgBB/hari flusitosin dengan 0,3 mg/kgBB/hari amfoterisin B merupakan obat



terpilih. 1



Griseofulvin Griseofulvin pertama kali diisolasi dari Penicilium griseofulvum dierckx pada tahun 1939 namun kurang mendapat perhatian karena tidak



49



mempunyai efek terhadap bakteri. Griseofulvin digunakan untuk mengobati penyakit dermatofit sejak tahun 1958. 1 Secara in vitro, griseofulvin efektif terhadap berbagai jenis jamur dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Terhadap sel muda yang sedang aktif bertumbuh, griseofulvin bersifat fungisidal, tapi pada sel yang lebih tua, griseofulvin hanya dapat menghambat unsur yang dorman (fungistatik). Griseofulvin bekerja dengan menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam sel. 1 Farmakologi Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian atas karena obat ini tidak larut dalam air. Penyerapannya akan lebih mudah bila diberikan bersama makanan berlemak. 1,9,11,15



Gambar 6*. Struktur kimia griseofulvin Obat ini mengalami metabolisme di hati. Waktu paruh obat ini kirakira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan melalui urine dalam bentuk metabolit (6-metilgriseofulvin) selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin, sehingga sel baru ini resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan diganti oleh sel yang normal. Obat ini dapat ditemukan dalam lapisan



50



tanduk pada kulit 4-8 jam setelah pemberian oral. Keringat dan hilangnya cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat ini pada srtatum korneum. Sedikit sekali obat yang ditemukan dalam cairan dan jaringan tubuh lainnya. 1



Indikasi Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, jamur, dan kuku yang disebabkan oleh jamur Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Gejala pada kulit akan berkurang setelah 48-96 jam setelah pengobatan dengan griseofulvin, sedangkan penyembuhan total akan terjadi setelah beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif setelah 1-2 minggu, sehingga pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. Infeksi pada telapak tangan dan kaki lebih lambat bereaksi, biakan baru menjadi negatif setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8 minggu. Infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulan. Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes membutuhkan dosis yang lebih tinggi dari dosis biasanya. Pada keadaan yang disertai hiperkeratosis perlu penambahan zat keratolitik. Kandidiasis dan tinea versikolor tidak dapat diobati dengan griseofulvin, tetapi cukup dengan pemberian sediaan topikal. 1



Efek Samping Efek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian griseofulvin. Leukopeni dan granulositopeni dapat terjadi namun sering hilang bila terapi dilanjutkan. Sakit kepala merupakan efek yang paling sering dikeluhkan penderita, kira-kira pada 15% penderita, yang biasanya menghilang sendiri meskipun pemakaian obat dilanjutkan. Efek samping lainnya seperti artralgia,



neuritis



perifer,



demam,



pandangan



kabur,



insomnia,



berkurangnya kecakapan, pusing dan sinkop. Pada saluran cerna dapat terjadi mulut kering, mual, muntah, diare, dan flatulensi. Mungkin pula ditemukan albuminuria dan silinderuria tanpa kelainan ginjal. Pada kulit



51



dapat terjadi urtikaria, reaksi fotosensitifitas, eritema multiform, vesikel, dan erupsi menyerupai morbili.1 Sediaan dan Dosis Terdapat 2 tipe preparat yang tersedia, yaitu griseofulvin microsize dan griseofulvin ultramicrosize. Bentuk ultramicrosize lebih baik diserap dan hanya membutuhkan 50-70% dosis bentuk microsize. Griseofulvin microsize dipasarkan di Indonesia dalam bentuk tablet 125 mg dan 500 mg.serta suspensi mengandung 125 mg/ml. Dosis pada anak 10 mg/kgBB/hari, sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam dosis tunggal. Bila dosis tunggal tidak dapat ditoleransi maka dibagi menjadi beberapa dosis. Dosis yang lebih besar (1,5-2 gr/hari) dapat diberikan dalam waktu singkat, kemudian harus diturunkan kembali menjadi 0,5-1 gr/hari setelah lesi mengalami perbaikan. Hasil memuaskan akan dicapai bila dosis yang dibutuhkan dibagi menjadi 4 dan diberikan tiap 6 jam. Lama pengobatan sangat tergantung dari tempat infeksi. Tablet yang mengandung ultramikrosize tersedia dalam takaran 330 mg. 1 Terbinafin Terbinafin adalah antijamur sintetik yang merupakan golongan alllylamine. Semua derivat alllylamine mempunyai gugus alllylamine tersier, suatu struktur yang penting dalam aktivitas antijamur. 1 Terbinafin pertama kali ditemukan pada tahun 1974. Obat ini pertama kali digunakan di Inggris pada februari 1991, di Kanada pada mei 1993, dan di Amerika Serikat pada Mei 1996.6 Secara in vitro, terbinafin efektif terhadap beberapa strain Aspergillus spp., beberapa jamur endemik yang patogen, dan Sporothrix schenckii. Candida spp., termasuk strain yang resisten terhadap triazole, dan P. boydii, dapat memberi respon yang baik ketika dikombinasi dengan golongan azole atau amfoterisin B. 1



52



Farmakologi Terbinafin diserap dengan baik pada saluran pencernaan. Waktu paruhnya adalah 1,5 jam. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, dan didistribusikan di seluruh jaringan lemak, dermis, epidermis, dan kuku. Obat ini bertahan di plasma, dermis, epidermis, rambut, dan kuku selama beberapa minggu. Keberadaan obat ini dalam plasma harus diperhatikan ketika telah ditemukan efek samping. Terbinafin masuk ke stratum korneum melalui kelenjar sebasea, masuk ke keratin, dan berdifusi di sepanjang dermis-epidermis. Terbinafin tidak ditemukan dalam kelenjar ekrin. Terbinafin ditemukan di kulit dengan konsentrasi di atas mean inhibitory concentration (MIC) kebanyakan dermatofit selama 2-3 minggu setelah penghentian terapi oral. Setelah 6-12 minggu setelah terapi, terbinafin ditemukan di lempeng kuku selama 30-36 minggu, yang konsentrasinya di atas MIC kebanyakan dermatofit. 1 Terbinafin dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Pada penderita gangguan ginjal, eliminasi obat dari dalam tubuh dapat terjadi lebih lambat karena sekitar 80% obat ini diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses. Dosis terbinafin harus dibagi dua jika serum kratinin lebih dari 3000 umol/L, atau bersihan kreatinin kurang atau sama dengan 50 ml/menit. 1



Gambar 7*. Struktur kimia terbinafine Indikasi 53



Terbinafin dermatomikosis



sangat yang



efektif lain.



untuk



Pada



onikomikosis



penelitian



yang



dan



penyakit



membandingkan



penggunaan terbinafin dan itrakonazole pada terapi onikomikosis kuku jari kaki ditemukan bahwa penggunaan terbinafin lebih efektif dari pada itrakonazole.1 Efek Samping Karena selektivitasnya yang tinggi, insiden efek samping jarang ditemukan. Efek samping yang sering ditemukan adalah efek pada gastrointestinal (sekitar 3,5-5%). Efek samping lain seperti sakit kepala, exanthematous eruption, acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), psoriasis pustular, subacute cutaneus lupus erythematosus, nyeri dada, hipestesi, kelelahan, dan malaise. Pada beberapa kasus ditemukan hepatoselllular injury, agranulositosis yang reversibel, dan reaksi kulit berat, termasuk toxic epidermal necrolysis dan erythema multiforme.Terbinafin tidak boleh diberikan pada ibu yang sedang mengandung atau sedang menyusui.1 Sediaan dan Dosis Sediaan terbinafin adalah tablet 250 mg dan harus diminum 1 kali sehari dalam 6 minggu untuk pengobatan onikomikosis pada kuku jari tangan dan 1 kali sehari selama 12 minggu untuk onikomikosis pada kuku jari kaki. Sebelum di terapi dengan terbinafin, sebaiknya diperiksa serum transaminasenya dan jika pasien memiliki gangguan fungsi hati, obat sebaiknya tidak diberikan. Jika gejala atau tanda infeksi sekunder ditemukan pada pasien yang sementara mendapat terapi terbinafin, pemeriksaan darah lengkap harus untuk melihat ada tidaknya neutropenia.1



54



OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL Pengobatan topikal untuk infeksi dermatofit antara lain: 1. Golongan allylamine Allylamuie serupa dengan derivat benzylamine yang titik tangkapnya menekan biosintesis ergosterol pada metabolik tingkat awal, berdiri sendiri pada enzim sitokrom P-450 kerjanya menghambat



aktifitas



squnlene



epoxidase



menghasilkan



defisiensi ergosterol dengan akumulasi squalene dalam sel jamur yang berperan dalam kematian sel. Allylamine adalah obat dermatofit yang bersifat fungisida dan fungistatik. Allylamine dapat ditoleransi dengan baik, efek sampingnya berupa gatal, rasa terbakar, dan iritasi. 1 Produk allylamine berespon lebih cepat dibandingkan dengan azoles meskipun penggunaannya sama. Hasil penelitian menyebutkan bahwa allylamine lebih efektif dibandingkan dengan azoles, tetapi harganya lebih mahal. 1 Obat-obat yang termasuk golongan allylamine adalah: a. Naftifin Naftifin kerjanya melalui sguatene epoxidase dan menghambat sintesis ergosterol, lanosterol, dan kolesterol pada membran sel. Titik tangkap obat ini yaitu menghambat biosintesis kolesterol pada tahap perubahan squalene menjadi lanosterol. Disamping mempunyai kerja antimikatik, senyawa ini juga mempunyai antiflogisti. Obat ini dikatakan sangat baik terhadap dermatofita. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara naftifin dengan terbinafin. 4 55



Naftifin tersedia dalam bentuk krim 1%. Pada penggunaan obat ini, jika secara klinik tidak ada kemajuan selelah 4 minggu maka pasien dievaluasi kembali. Pada pasien dewasa, krim atau gel dioleskan pada daerah yang terinfeksi selama 2 minggu. Pada anak, penggunaan obat ini sana dengan dewasa. Pada kulit yang sensitif merupakan kontraindikasi dihentikan



diberikannya



jika



terjadi



obat



iritasi.Obat



ini. ini



Penggunaannya hanya



untuk



penggunaan luar dan tidak boleh mengenai mata. 1 b. Terbinafin Terbinafin merupakan famili allylamine dan fungisida yang titik tangkapnya menghambat sintesis ergosterol melalui squalen



epoxidase,



menghasilkan



penurunan



tingkat



ergosterol dan meningkatkan konsentrasi squalen, berperan penting dalam kematian sel. Secara medik obat ini digunakan sampai gejalanya berkurang. Penggunaan obat ini dioleskan pada daerah yang terinfeksi selama 1- 4 minggu. 1,2 2. Golongan benzylamine Obat golongan benzylamine adalah butenafin yang tersedia dalam krim 1%. Titik tangkapnya merusak membran sel jamur sehingga menyebabkan menghambat pertumbuhan sel jamur . Dosis untuk dewasa diberikan pada kulit yang terinfeksi selama 2-4 minggu.1 3. Golongan imidazol Penemuan obat antijamur golongan imidazol merupakan penemuan yang penting dalam bidang pengobatan penyakit jamur, karena hampir semua persyaratan obat anti jamur yang ideal dapat terpenuhi. Obat ini memiliki efektifitas yang tinggi, spektrum yang luas, dan hampir tanpa efek samping. Mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur yang penting untuk intregitas membran sel. Dalam konsentrasi rendah obat ini bersifat fungistatik dan dalam konsentrasi tinggi bersifat 56



fungisid. Obat yang termasuk dalam golongan imidazol antara lain: 



Mikonazol Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif stabil, mempunyai spektrum antijamur yang luas baik terhadap jamur sistemik maupun jamur dermatofit. Obat ini berbentuk kristal putih tidak berwarna dan berbau, sebagian kecil larut dalam air tetapi lebih larut dalam pelarut organik. Mikonazol



menghambat



Epidermophyton,



aktifitas



Microsporum,



jamur



Trichophyton,



Candida,



dan



Malassezia.furfur. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui sepenuhnya.



Mikonazol



titik



tangkapnya



menghambat



suitesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran sel jamur meningkat. Dapat terjadi gangguan sintesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang akan menimbulkan kerusakan. Obat yang sudah menembus ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana selama 4 hari. Mikonazol topikal diindikasikan untuk dermatofitasis, tinea versikolor, dan kandidiasis mukokutan. Efek samping penggunaan mikonazol topikal berupa iritasi, rasa terbakar, dan maserasi sehingga penggunaan mikonazol harus dihentikan. Mikonazol dalam jumlah kecil diserap melalui mukosa vagina, tetapi belum ada laporan tentang efek samping pada bayi yang ibunya mendapat mikonazol intravaginal pada waktu hamil. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 2% dan bedak tabur, penggunaannya 2 kali sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk penggunaan intravaginal diberikan 1 kali sehari pada malam hari untuk mendapatkan retensi selama 7 hari. Penggunaan mikonazol tidak boleh mengenai mata. 1 



Klotrimazol



57



Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang tidak larut dalam air, larut dalam alkohol dan klorofonn, serta sedikit iarut dalam eter. Obat ini mempunyai efek antijamur dan antibakteri dengan mekanisme kerja seperti mikonazol. Obat ini merupakan antijamur spektrum luas yang menghambat pertumbuhan



jamur



dengan



mengubah



permeabilitas



membran sel sehingga menyebabkan kematian sel jamur Obat ini digunakan secara topikal untuk pengobatan tinea pedis, tinea kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T. rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum, dan M. canis. Senyawa ini merupakan senyawa trifenihnetilimidazol yang tersulih klor, bekerja terhadap semua mikroba patogen untuk manusia. Senyawa ini hanya dipakai lokal (dalam bentuk sediaan dengan kadar 1%) karena efek sampingnya yang kuat serta perbedaan absorbsi yang besar pada penggunaan sistemik. Titik tangkapnya adalah sama seperti kelompok mikonazol,



bekerja



pada



biosintesis



ergosterol



yang



merupakan komponen esensial membran sel jamur Tipe kerjanya secara in vitro adalah fungisida, secara in vivo umumnya fungistatik. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusioispray, dan lotion. Obat ini dapat diperoleh tanpa resep. Obat ini dioleskan pada daerah yang terinfeksi selama seminggu. Krim vagina 1 % digunakan 1 kali sehari pada malam hari selama 7 hari. Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema, gatal, dan urtikaria. Obat ini tidak digunakan untuk pengobatan infeksi jamur sistemik, tidak boleh mengenai mata, dan jika terjadi iritasi maka penggunaannya hams dihentikan. 1,2 



Ketokonazol Ketokonazol merupakan golongan imidazol yang mempunyai kelebihan yaitu cukup dioleskan 1 kali sehari dengan 58



efektifitas yang sama dengan yang lain. Obat ini titik tangkapnya



menghambat



enzim



lanosterol,



demetilase,



sitokrom P-450. Enzim ini menyebabkan membran sel jamur tidak stabil sehingga sel tidak dapat berproduksi dan terjadilah kematian sel jamur secara lambat. Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1-2%. Penggunaannya pada daerah infeksi selama 2-4 minggu. Obat ini untuk penggunaan luar, tidak boleh mengenai mata, dan jika terjadi iritasi penggunaannya harus dihentikan. 1 Penggunaanya tidak boleh mengenai mata dan organ yang mempunyai mukosa. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan menggunakan resep.1,2 4. Obat golongan lain: Tolnaftat Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar dermatofitosis yang disebabkan T. rubrum, T. mentagrophytes, E. flaccosum: M. canis. M. auduoini, dan P. orbiculare tetapi tidak efektif terhadap kandida. Angka keberhasilan penggunaan tolnaftat pada tinea pedis 80%. Obat ini tersedia dalam bentuk krim l %, solusio/spray, bubuk, gel, cairan erosol, atau larutan topikal dengan kadar 1%. Tolnaftat diberikan 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat



sembuh



antara



7-21



hari.



Pada



lest



dengan



hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan asam salisilat 10%. Beberapa kasus membutuhkan waktu pengobatan selama 4-6 minggu, tetapi jarang melebihi 10 minggu. Obat ini hanya untuk penggunaan luar.1,2 5. Golongan haloprogin Haloprogin merupakan antijamur sintetik, berbentuk kristal putih kekuningan, sukar larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol. Obat



ini



bersifat



fungisidal



terhadap



Epidermophytora, 59



Trichophyton, Microsporum, Malassezia furfur, dan Candida. Haloprogin sedikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh akan terurai menjadi triklorofenol. Selama pemakaian obat ini dapat timbul iritasi lokal, rasa terbakar,



vesikulasi,



meluasnya



maserasi



dan



sensitisasi.



Sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya



respon



pengobatan, sebab toksin yang dilepaskan kadang kadang memperburuk lesi. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1%. Obat ini hanya untuk penggunaan luar.1,2



60



KORTIKOSTEROID SISTEMIK Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi klinis yang sangat luas. Mamfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya dibatasi. Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi mineralokortikoid dan glukokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme elektrolit Na dan K, yaitu menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, maka mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid mempunyai



efek



terhadap



metabolisme



glukosa,



anti



imunitas,



efek



neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi. BIOSINTESIS DAN KIMIA1 Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan. Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk



61



memenuhi



kebutuhan



normal.



Oleh



karenanya



kecepatan



biosintesisnya



disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. MEKANISME KERJA1 Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid. Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik. FARMAKOKINETIK1 Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami. Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas. Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal, disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG. Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit, waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol) diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau 62



penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam tubuh. Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal. FARMAKODINAMIK1 Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik, sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi perubahan lingkungan. Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis, makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis fisiologis akan mengembalikan respon tersebut. Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium



dan



penyimpanan



glikogen



di



hepar



atau



besarnya



khasiat



antiinflamasinya.



63



Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol. Sebaliknya



golongan



mineralokortikoid



efek



utamanya



adalah



terhadap



keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol. Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, antara lain kerja singkat (36 jam). Tabel 8 perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan kortikosteroid Potensi Kortikosteroid



Retensi



Kortisol (hidrokortison) Kortison Kortikosteron 6-α-metilprednisolon Fludrokortison



natrium 1 0,8 15 0,5 125



inflamasi 1 0,8 0,35 5 10



0,8 0,8 0 0 0 0



4 4 5 10 25 25



(mineralokortikoid) Prednisone Prednisolon Triamsinolon Parametason Betametason Deksametason



Anti-



Lama kerja



Dosis ekuivalen



S S S I I



(mg)* 20 25 4 -



I I I L L L



5 5 4 2 0,75 0,75



Keterangan: * hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV. S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam); I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam); L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam). Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut: Metabolisme. Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat 64



masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan perifer. Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative. Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam produksi glukosa dan glikogen. Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face), sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang. Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan hidrasi sel. System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut: permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil



65



menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru. Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol, akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan bertambah. Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria. Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu lama atau pasien penyakit Addison. Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik. Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul



66



polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami anemia normokromik, normositik yang ringan. Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah pemberian glukokortikoid. Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.



Selain itu juga dapat



menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi. Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator plasminogen.



67



Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan platelet-aktivating factor. Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast. Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast. Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif. Jaringan



limfoid



dan



sistem



imunologi.



Glukokortikoid



tidak



menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat migrasi leukosit ke daerah inflamasi. Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat maturasi dan proses pertumbuhan memanjang. Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan oleh



kombinasi



berbagai



faktor:



hambatan



somatomedin



oleh



hormon



pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang. INDIKASI1 Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu diperhatikan sebelum obat ini digunakan: Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya. Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar. 68



Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan bertambah. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya. Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan. Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik. Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit. Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri (insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder). Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk: 



Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.







Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,10,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.







Hyperplasia adrenal congenital.







Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis. Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau



penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus, 69



dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%. Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik, kortikosteroid diberikan secara sistemik.



DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN1 Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta dosisnya. Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai dermatosis Nama penyakit Dermatitis



Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari Prednison 4x5 mg atau 3x10mg



Erupsi alergi obat ringan



Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg



SJS berat dan NET



Deksametason 6x5 mg



Eritrodermia



Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg



Reaksi lepra



Prednison 3x10 mg



DLE



Prednison 3x10 mg



Pemfigoid bulosa



Prednison 40-80 mg



Pemfigus vulgaris



Prednison 60-150 mg



Pemfigus foliaseus



Prednison 3x20 mg



Pemfigus eritematosa



Prednison 3x20 mg



Psoriasis pustulosa



Prednison 4x10 mg



Reaksi Jarish-Herxheimer



Prednison 20-40 mg



Mengurangi Dosis Steroid Sistemik Jangan berhenti tiba-tiba penggunaan steroids sistemik; terutama penting jika Anda telah menggunakan selama lebih dari enam bulan. Sebagai contoh: 



Tidak diperlukan penurunan jika penggunaan steroids telah kurang dari satu minggu.







Setelah mengambil dosis 30 mg atau lebih per hari untuk 3-4 minggu, mengurangi dosis 10 mg atau kurang per hari, butuh beberapa hari hingga beberapa bulan untuk menghentikan semuanya. 70







Pengurangan dosis lambat mungkin diperlukan jika obat yang telah dilakukan selama beberapa bulan.



EFEK SAMPING1 Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum. Tempat Saluran



1.



cerna



Macam efek samping Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif. Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu. Perubahan



kepribadian



(euforia,



insomnia,



gelisah,



mudah



2.



Otot



tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh



3.



Susunan



diri), nafsu makan bertambah.



saraf pusat



Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang.



4.



Tulang



Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis, purpura, telangiektasis.



5.



Kulit



Glaukoma dan katarak subkapsular posterior Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit



6.



Mata



Kenaikan tekanan darah



7.



Darah



Atrofi, tidak bisa melawan stres



8.



Pembuluh darah



9.



Kelenjar adrenal



bagian



Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffao hump, perlemakan hati.



kortek 10.



Metabolism



Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia



e protein, KH



kor)



dan lemak



Menurun, rentan



11.



Elektrolit



12.



Sistem



terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes



simplek, keganasan dapat timbul.



immunitas



Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang, efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul berikut: 



Gangguan tidur



71







Meningkatkan nafsu makan







Meningkatkan berat badan







Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi



Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul. Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama 



Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA) penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan, kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau trauma dapat mengakibatkan sakit parah.







Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua, orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.







Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).







Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.







Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi pinggul).







Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).







Kenaikan lemak darah (trigliserida).







Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.







Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan berat badan dan gagal jantung.







Kegoyahan dan tremor.







Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan katarak subcapsular posterior.



72







Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi, kegembiraan, delirium atau depresi.







Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.







Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan (misalnya tuberkulosis).







Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan antiinflamasi.







Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.



Pemantauan regular selama perawatan termasuk: 



Tekanan darah







Berat badan







Gula darah



73



KORTIKOSTEROID TOPIKAL Klasifikasi Kortikosteroid Topikal Kortikosteroid



topikal



diklasifikasikan



dalam



7



golongan



berdasarkan potensi klinisnya, yaitu: 1,2 1. Golongan I : Super Potent • Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5% • Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05% • Diflorasone diacetate ointment 0,5% • Halobetasol proprionate ointment 0,05% 2. Golongan II : Potent • Amcinonide ointment 0,1% • Betamethasone diproprionate AF cream 0,05% • Mometasone fuorate ointment 0,1% • Diflorasone diacetate ointment 0,05% • Halcinonide cream 0,1% • Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05% • Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25% 3. Golongan III : Potent, upper mid-strength • Triamcinolone acetonide ointment 0,1% • Fluticasone proprionate ointment 0,05% • Amcinonide cream 0,1% • Betamethasone diproprionate cream 0,05% 74



• Betamethasone valerate ointment 0,1% • Diflorasone diacetate cream 0,05% • Triamcinolone acetonide cream 0,5% 4. Golongan IV : Mid-strength • Fluocinolone acetonide ointment 0,025% • Flurandrenolide ointment 0,05% • Fluticasone proprionate cream 0,05% • Hydrocortisone valerate cream 0,2% • Mometasone fuorate cream 0,1% • Triamcinolone acetonide cream 0,1% 5. Golongan V : Lower mid-strength • Alclometasone diproprionate ointment 0,05% • Betamethasone diproprionate lotion 0,05% • Betamethasone valerate cream 0,1% • Fluocinolone acetonide cream 0,025% • Flurandrenolide cream 0,05% • Hydrocortisone butyrate cream 0,1% • Hydrocortisone valerate cream 0,2% • Triamcinolone acetonide lotion 0,1% 6. Golongan VI : Mild strength • Alclometasone diproprionate cream 0,05% • Betamethasone diproprionate lotion 0,05% • Desonide cream 0,05% • Fluocinolone acetonide cream 0,01% • Fluocinolone acetonide solution 0,05% • Triamcinolone acetonide cream 0,1%



75



7. Golongan VII : Least potent • Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan prednisole. Dalam penggolongan ini, obat yang sama dapat ditemukan dalam klasifikasi potensi obat yang berbeda tergantung dari vehikulum yang digunakan. 1,2



Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal1,2 Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum dan melalui membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan sel-sel lain yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu memasuki jaringan, kortikosteroid berdifusi menembus sel membran dan terikat pada kompleks reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid.2 Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang berhubungan dengan mekanisme kerja yang berbeda, antara lain adalah efek anti-inflamsi, imunosupresif, antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh ikatan kortikosteroid pada reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks obat-reseptor ke daerah nukleus DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive element, dimana lalu bisa menstimulasi atau menghambat transkripsi gen yang berdampingan, dengan demikian meregulasi proses inflamasi.2 



Efek anti-inflamasi Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan



kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya dengan menghibisi pelepasan phospholipase A2, suatu enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin, leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain. Kortikosteroid juga menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen pro76



inflamasi. Gen-gen ini diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran dalam resolusi inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan interleukin 1α (IL-1α), sitokin proinflamasi penting, dari keratinosit. Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dalam memfagositosis sel.1,2 



Efek imunosupresif Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.



Kortikosteroid menekan produksi dan efek faktor-faktor humoral yang terlibat dalam proses inflamasi, menginhibisi migrasi leukosit ke tempat inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast dan fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.1,2 



Efek antiproliferasi Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi



sintesis dan mitosis DNA, yang sebagian menjelaskan terapi obat-obat ini pada dermatosis dengan scale. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.2 



Vasokonstriksi Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi masih



belum jelas, namun dianggap berhubungan dengan inhibisi vasodilator alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Steroid topikal menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis berkonstraksi, sehingga mengurangi edema. 2 Efektifitas



kortikosteroid



topikal



bergantung



pada



jenis



kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi



77



1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik penetrasinya).2 Indikasi Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.1,2 Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas antiinflamasinya pada penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk mengurangi sistesis molekulmolekul connective tissue. Variebel tertentu harus dipertimbangkan saat mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon penyakit terhadap kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bisa dibedakan dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif sedang, dan kurang responsif.2 Tabel 1. Responsivitas Penyakit Kulit terhadap Kortikosteroid Topikal2



 



Highly Responsive Psoriasis







(intertriginous)







Atopic



dermatitis



(children) 



Seborrheic dermatitis







Intertrigo



Moderately Responsive Psoriasis







Least Responsive Palmo-plantar psoriasis



Atopic dermatitis (adult)







Psoriasis of nails







Nummular eczema







Dyshidrotic eczema







Primary







Lupus erythematous



dermatitis







Pemphigus







Popular urticaria







Lichen planus







Parapsoriasis







Granuloma annulare







Lichen







Necrobiosis



irritant



simplex



chronicus



lipoidica



diabeticum 



Sarcoidosis







Allergic



contact



dermatitis, acute phase 



Insect bites



78



Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam penyerapan kortikosteroid untuk beberapa alasan. Karena anak-anak dan bayi memiliki rasio lebih tinggi dalam luas permukaan kulit terhadap berat badan, aplikasi pada daerah yang diberikan mengakibatkan dosis steroid sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang mampu memetabolisme kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi premature terutama memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat topical yang diberikan akan sangat meningkat. Penyerapan kortikosteroid topikal yang berlebihan bisa menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian terapi steroid topikal setelah terapi jangka panjang dapat, walaupun jarang, menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang kronik juga dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol, maka anak harus secara perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk mencegah komplikasi ini.4 Pasien usia tua juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan peningkatan penetrasi kortikosteroid topical. Pasien usia tua juga lebih mungkin memiliki pre-existing atrofi kulit sekunder karena penuaan.2 Dosis Largo dan Maibach mengobservasi dalam beberapa literature terkini bahwa untuk kortikosteroid super poten, pemberian satu kali per hari sama manfaatnya dengan pemberian dua kali per hari. Sama halnya, tidak ada perbedaan atau hanya sedikit perbedaan dengan pemberian sekali atau dua kali per hari untuk kortikosteroid poten atau poten sedang. Karena itu, pemberian kortikosteroid topical satu kali per hari lebih dipilih, dapat mengurangi risiko efek samping, mengurangi biaya pengobatan, dan meningkatkan kepatuhan pasien.2 Sebagai aturan kerja, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 45 g/minggu untuk kortikosteroid topikal poten atau 100 g/minggu untuk potensi sedang dan lemah jika absorpsi sistemik dihindari.4 Penyakit-penyakit yang sangat responsif biasanya akan memberikan respon pada preparat steroid lemah, sedangkan penyakit yang kurang 79



responsif memerlukan steroid topical potensi menengah atau tinggi. Kortikosteroid topikal potensi lemah digunakan pada daerah wajah dan intertriginosa. Kortikosteroid sangat poten seringkali diperlukan pada hiperkeratosis atau dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak tangan dan kaki. Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit dengan ulserasi atau atrofi.1,2 Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2 atau 3 minggu) atau secara intermiten. Saat control terhadap penyakit sudah dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi lemah harus dimulai. Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya pemakaian hanya pada pagi hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan) dilakukan ketika control terhadap penyakit sudah tercapai sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba harus dihindari setelah penggunaan jangka panjang untuk mencegah rebound phenomena.4 Efek Samping Efek samping dapat terjadi apabila:1,2 1.



Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.



2.



Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau penggunaan sangat oklusif. Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk



atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.1,2 Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid menjadi beberapa tigkat, yaitu:1,2 • Efek Epidermal Efek ini antara lain: 1.



Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara konkomitan.



80



2.



Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau



injeksi



steroid



interakutan.



 Efek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur. • Efek Vaskular Efek ini termasuk: 1. Vasodilatasi



yang



terfiksasi.



Kortikosteroid



pada



awalnya



menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial. 2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.



81



DAFTAR PUSTAKA



1. Katzung. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC. 2014. 2. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7.Jakarta: Badan Penerbit FKUI.



82