Asbab An-Nuzul Ad Dihlawi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Konsep Baru Asbâbun Nuzûl Shah Waliyullah Ad Di hlawi Oleh: Misbahul Wani (16530006) Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Abstrack Artikel ini mencoba untuk mengetahui konsep Asbâbun Nuzûl Shah Waliyullah Ad Dahlawi. Dalam usahanya ia menilai para mufassirin selama ini telah mencoba menghubungkan semua ayat ahkam maupun ayat jadal dengan sebuah kisah dan mengira hal itu adalah Asbâbun Nuzûl, hal itu menurutnya mengada-ngada. Padahal Al-Qur’an manurut Ad Dahlawi turun pada aspek umum yaitu, membersihkan jiwa manusia, mencegah akidah yang batil, dan menghilangkan praktek-praktek keji. Dengan latar belakang itulah, ia menyebutkan hal tersebut dengan konsep Asbâbun Nuzûl Haqîqi/prinsipil. Bahkan, riwayat-riwayat ahli hadits pun bukan hal yang perlu diperhatikan lebih, karena menurutnya bukan hal yang hakiki sehingga berputarputar membandingkan riwayat tapi melepaskan tujuan dari pada isi ayat itu sendiri, yang kemudian hal ini disebutnya prisip dasar (Qhasdu al-Asliy). Kata Kunci:, Al-Qur’an, Asbâbun Nuzûl Haqîqi, prisip dasar.



Pendahuluan Secara empiris, Al-Qur’an diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan yang sudah mengakar. Artinya Al-Qur’an tidak turun dalam keadaan ruang kosong tanpa memiliki latar belakang atau konteks. Al-Qur’an turun memiliki objek atau sasaran dan sasaran yang di maksud adalah masyarakat Arab pada abad ke-VII Masehi. Oleh karena itu, melepasakan teks wahyu dengan konteks budaya yang berkembang pada



saat itu adalah pengabaian terhadap historis dan realitas saat itu. Para Ulama ahli AlQur’an juga mengakui keterkaitan wahyu dengan konteks dengan memunculkan konsep makkiyah-madaniyah, Asbâbun Nuzûl dan nasikh-mansukh. Konsep makkiyahmadaniyah tidak hanya mengkategorikan ayat berdasar geografis tempat turunnya, tetapi pesannya juga terkait dengan problem kemasyarakatan diwilayah tersebut. Asbâbun Nuzûl mengindikasikan adanya proses resiprokasi1 antara wahyu dan realitas. Seakanakan wahyu memandu dan memberikan solusi terhadap problem sosial yang muncul saat itu.



Pembahasan Ide-ide Asbâbun Nuzûl sudah sangat banyak di kembangkan oleh ulama-ulama tafsir sebelum dan sesudah Shah Waliyullah Ad Dahlawi. Baik mikro maupun makro. Adapun definisi Asbâbun Nuzûl sendiri juga terdapat banyak definisi yang ditawarkan oleh para pakar tafsir, diantaranya adalah definisi Asbâbun Nuzûl makro yang pertama kali dikembangkan oleh Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul alSyari’ah yang mendefinisikan Asbâbun Nuzûl makro sebagai situasi dan kondisi yang melingkupi orang yang bicara, orang yang diajak bicara dan pembicaraannya. Sebab, suatu peristiwa tertentu lahir dari realitas sosial tertentu. Setiap peristiwa selalu merupakan akibat dari fungsi realitas.2 Kemudian ide besar ini juga menjadi perhatian serius bagi Shah Waliyullah Ad Dahlawi. Ad Dahlawi kemudian mengomentari terkait peta konsep besar Asbâbun Nuzûl dengan kategori dan ciri khasnya disebut Asbâbun Nuzûl al-Haqîqiyyah (Hakiki). Menurut Shah Waliyullah Ad Dahlawi, mayoritas Mufassirin telah berupaya menghubungkan tiap-tiap ayat, baik ayat bantahan, maupun ayat hukum dengan suatu kasusitik tertentu, dan mengira hal itu adalah sebagai sebab turunnya suatu ayat. Hal itu mengada-mengada, sebab seccara hakiki, Al-Qur’an turun memiliki prinsip-prinsip dasar, yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia, mencegah akidah-akidah batil, dan menghilangkan praktek-praktek keji.



1



Di KBII memilki arti saling berbalasan; mungkin adanya sebuah keterkaitan, ketersinggungan antara wahyu dan realitas. 2 Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009) hal. 141



Adapun prinsip dasar Asbâbun Nuzûl seacara umum, Ad Dahlawi melakukan klasifiksai sebagai berikut: a. Adanya keyakinan yang batil di tengah masyarakat menjadi sebab turunnya ayat bantahan (ayât jadal/proteksi) terhadap kejadian yang menyimpang tersebut. b. Sedangkan adanya praktek keji dan perbuatan dzolim di antara sesama, menjadi sebab atau latar belakang turunnya ayat-ayat hukum (ayât ahkâm). c. Sedangkan tidak adanya kesadaran dan ingatan terhadap karunia Allah, janji Allah, akan adanya kematian dan sesudahnya, menjadi sebab turunnya ayat-ayat peringatan (tadzkîr).



Ad Dahlawi juga memberikan komentar terhadap upaya yang di lakukan ulama menjelaskan ayat-ayat a Asbâbun Nuzûl. Beliau mengatakan: Sebab-sebab khusus dan kisah- kisah parsial yang selama ini di jelaskan oleh para mufassir, itu sebenarnya bukan sebab yang sesungguhnya, inilah yang dianggap, kecuali pernyataan yang mereka jelaskan sebagian dari ayat-ayat karimah, yang telah menjadi indikator didalam kisah tertentu dari beberapa hal yang memang sudah terjadi pada zaman nabi atau sebelumnya. 3



Cara mengetahui Asbâbun Nuzûl Dalam kitab Fauz al-Kabîr fî Usûl at-Tafsîr-nya, menurut Shah Waliyullah Ad Dahlawi mengetahui Asbâbun Nuzûl merupakan salah satu diskursus yang sukar, sukarnya lagi mengetahui perbedaan istilah ulama-ulama terdahulu ‘mutaqaddimîn’ dan yang belakangan ‘muta’akhkhirîn’. Bukan tanpa alasan, melainkan disebabkan sudut pandang yang mungkin berkembang sehingga mengalami perbedaan istilah.4 Pertama, makna ‘nuzzilat fî kadzâ’



menurut mutaqaddimîn,menurut mereka,



sebab-sebab yang sudah dijelaskan dari hasil penelitian kalam Sahabat dan Tâbi’în, bahwasannya mereka tidak menggunakan term ‘nuzzilat fî kadzâ’



semata-mata



menjelaskan kasuistik yang terjadi pada zaman Nabi dan mengaktegorikan hal tersebut menjadi sebab turunnya suatu ayat, namun, ketika mereka menyebutkan sebagian sebab Syaikh Waliyullah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir (Damaskus: Dirasat Qur’aniyyah, 2008), h. 19. 4 Syaikh Waliyullah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir (Damaskus: Dirasat Qur’aniyyah, 2008), h. 69. 3



yang di benarkan oleh ayat, dari sebuah konteks historis di zaman Nabi atau cerita sesudahnya, mereka berkata: ‘nuzzilat fî kadzâ’; konteks historis tidak harus sesuai dan persis dengan komponen-komponen (dalam kitab ini disebut quyud) yang disebutkan dalam ayat, bahkan dinilai cukup jika sudah aspek-aspek prisip dari alasan (illat) sudah mengena. Jika di kontekstualisasikan dalam kisah keseharian, penulis akan mencoba memberikan contoh untuk mempermudah pemahaman yang dikehendaki oleh Ad Dahlawi dalam hal ini; menjelaskan kronologis terhadap kasuistik tertentu, tidak harus mendetail hingga pada komponen-komponen dalam kasus tersebut diungkapkan. Namun hal ini juga sulit dibuktikan, tapi cukup memberikan gambaran umum dan makna tersampaikan juga sudah cukup. Selanjutnya, terkadang mereka menjelaskan sebuah kasuistik yang di tanyakan pada Rasul atau menjelaskan sebuah cerita yang diceritakan di masa Rasul, kemudia Rasul ber-Istinbât tentang hukumnya dari sebuah ayat, kemudia Nabi menegaskannya kepada para Sahabat dan Tâbi’în, dan mereka mengatakan ‘nuzzilat fî kadzâ’ kadang mereka juga menggambarkan kejadian tersebut dengan perkataan mereka ‘fa anzalallâhu qaulahu kadzâ’ atau term ‘nazalat’ juga mereka pakai.5 Artinya, hal yang disampaikan mereka dan dianggap sebagai Asbâbun Nuzûl, bisa jadi hanya sebuah istinbât Nabi mengenai hal yang di persoalkan oleh masyarakat yang bertanya.



Korelasi Antara riwayat-riwayat Ahli Hadits Dengan Asbâbun Nuzûl. Hadits Nabi menjadi rujukan alternatif yang cukup valid dijadikan sebagai legitimasi konteks historis. Apalagi hadits tersebut memiliki kesalehan makna, lafadz maupun riwayat, artinya berstatus shaheh, hal sedemikian menurut ulama fiqih sudah tanpa ragu dan mencukupi untuk dijadikan hujjah. Shah Waliyullah Ad Dahlawi juga menjadikan riwayat-riwayat ahli hadits sebagai latar belakang cara mengetahui tentang ilmu Asbâbun Nuzûl. Ad Dahlawi memiliki sudut pandang yang berbeda dalam hal ini. Terdapat banyak pendekatan (approach) yang sudah disebutkan oleh riwayat-riwayat ahli hadits mencoba untuk memahami ayat, baik



Syaikh Waliyullah al-Dihlawi, al-Fawz al-Kabir fi Ushul al-Tafsir (Damaskus: Dirasat Qur’aniyyah, 2008), h. 69. 5



tentang pandangan para sahabat terhadap suatu ayat, tamstsîl sahabat pada suatu ayat, pembacaan Nabi terhadap kalam ilahi, maupun riwayat hadits secara prinsip memilki kesesuaian dengan ayat, dan lain sebagainya; hal itu menurut Ad Dahlawi bukan termasuk Asbâbun Nuzûl hakiki. Bahkan hal itu tidak usah dijadikan hal yang begitu diperrhatikan oleh para Mufassir untuk memahamai ayat. Kedua,makna ‘nuzzilat fî kadzâ’ dan serupanya atau yang mendekati menurut kaum muta’akhkhirîn, apa yang telah disampaikan oleh para sahabat dan tabi’in, bertujuan untuk menjelaskan sebuah cerita, seperti mengenai sebuah kisah/kasuistik itu secara parsial untuk menjelaskan kepercayaan orang-orang musyrikîn dan Yahudi, serta kebiasaan orang-orang jahiliyyah, supaya jelas aqidah dan tradisi mereka. Cerita-cerita tersebut menurut pandangan muta’akhkhirîn hanya sebatas dan bertujuan untuk menjelaskan adanya sebuah kejadian secara umum, tidak usah menjelaskan secara spesifik, karena sifatnya hanya membenarkan adanya kejadian saja, bukan menjelaskan secara spesifik. Oleh karena itu, wajar jika terjadi sebuah perbedaan redaksi yang sangat banyak dalam beberapa diskursus tentang cerita-cerita dan cara menyampaikan Asbâbun Nuzûl. Meskipun hal itu terjadi, adalah hal yang wajar dan maksud mereka secara prinsip/hakiki yaitu satu. Oleh karena itu, Abu Ad Darda’ mengatakan: “seseorang tidak dikatakan cerdas sehinga dapat membawa ‘mempengaruhi’ ayat satu terhadap pengaruh ayat lainnya.” Artinya orang dapat dikatakan cerdas dalam memberikan sebuah penjelasan ketika mampu memberikan penejelasan secara objektif dan komprehensif. Berbeda dengan Shah Waliyullah Ad Dahlawi yang memiliki pandangan AlQur’an turun memiliki prinsip dasar yaitu bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia, mencegah akidah-akidah batil, dan menghilangkan praktek-praktek keji. Nashr Hamid Abu Zayd memiliki konsep bahwa al-Qur’an adalah muntaj tsaqafi (“produk budaya”). Pernyataan yang sering diasalahpahami oleh orang-orang yang mengkritik Abu Zayd ini sebenarnya ungkapan metaforis6/konotatif, bukan ungkapan denotatif. Menurut Phil. Sahiron yang dimaksud oleh Abu Zayd dengan ungkapan tersebut adalah bahwa Al-



6



Metaforis adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan , misalnya tulangpunggung dalam kalimat pemuda adalah tulang punggung Negara.



Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk merespons budaya, tradisi, tatanan hukum, sosial dan lain-lain. Upaya yang dilakukan oleh Nashr Hamid Abu Zayd



adalah me-rekontruksi



kajian-kajian Ulama-ulama salaf. Ia menilai konsep ulama kuno itu menyulitkan dan cenderung ke arah teologis-metologis, dan ia mencoba menawarkan ke arah rasionalilmiah, sehingga untuk memahami Al-Qur’an dengan konteks sosial dan dengan menulusuri teks itu sendiri menjadi basis ijtihad yang dapat diteliti.7 Analisis Upaya yang dilakukan oleh Shah Waliyullah Ad Dahlawi dalam menyikapi kasus Asbâbun Nuzûl dengan konsepnya “Asbâbun Nuzûl Haqiqi” atau “prinsipil” menurut penulis adalah bentuk usahanya mengembalikan latar belakang turunnya al-Qur’an tanpa berbelit-belit dan terjebak dengan periwayatan yang menyulitkan karena perbedaan redaksi, pandangan, maupun kurun waktu yang berbeda. Sehingga ia mengatakan usaha para mufassirin mengait-ngaitkan sebuah kasuistik dengan sebuah ayat tertentu dianggap mengada-ngada, kecuali memang, secara khusus sudah tertuang pada ayat itu sendiri dan pernah terjadi paada masa Nabi atau sebelumnya. Bukan berarti mengabaikan konteks historis, namun yang harus disikapi adalah menangkap sebuah prinsip dari ayat dan konteks itu sendiri.



Kesimpulan Al-Qur’an turun sebagai bentuk respon terhadap kejadian yang ada pada masyarakat abad ke VII. Al-Qur’an menawarkan sebuah solusi dan jalan keluar atas problem masyarakat yang terjadi. Sehingga menurut Shah Waliyullah Ad Dahlawi, prinsip dasar turunnya Al-Qur’an adalah untuk membersihkan jiwa manusia, mencegah akidah yang batil, dan menghilangkan praktek-praktek keji. Tiga hal besar inilah yang dimaksud tujuan utama. Namun Ad Dahlawi juga tidak mengenyampingkan adanya Asbâbun Nuzûl mikro, Ad Dahlawi membahasakan dengan sebab-sebab khusus yang memang sudah ada di Al-Qur’an dan pernah terjadi pada zaman Nabi. Dia juga



7



Ahmad Tajudin, “ASBAB AN-NUZUL MENURUT NASR HAMID ABU ZAYD”, (Semarang: UIN WALISONGO, 2015), Hal.20-21



memberikan isyarat bahwa inti dari pada semuanya adalah prinsip atau tujuan dari pada teks maupun konteks historisnya.