Askep Cedera Kepala Post Trepanasai [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN POST OP TREPANASI



1. Sri setia ningsi pasaribu 2. Yessi yosiana sianipar 3. Evlin trifosa girsang 4. Mahra elita 5. Melda indriani purba 6. Nisa wulandari 7. Novita sari 8. Vina angraini



PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM 2021



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan keperawatan pada Tn. A dengan diagnosa Post op trepanasi” dengan tepat waktu dan digunakan untuk melengkapi tugas praktek klinik profesi ners stase keperawatan medikal bedah. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.



Surabaya, 10 Desember 2018



Penulis ii



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii DAFTAR ISI..........................................................................................................iv BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................... 1 1.1



Latar Belakang............................................................................................. 1



1.2



Rumusan masalah.........................................................................................3



1.3



Tujuan...........................................................................................................3



1.4



Manfaat Penulisan........................................................................................3



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................4 2.1



Pengertian Cidera Kepala.............................................................................4



2.2



Pengertian Subdural Hematoma...................................................................4



2.3



Anatomi dan Fisiologi Otak......................................................................... 5



2.4



Etiologi.......................................................................................................13



2.5



Manifestasi Klinis...................................................................................... 14



2.6



Patofisiologi............................................................................................... 14



2. 7



WOC...........................................................................................................21



2.7



Pemeriksaan penunjang..............................................................................18



2.8



Penatalaksanaan......................................................................................... 18



2.9



Asuhan Keperawatan..................................................................................22



2.9.1 Pengkajian.................................................................................................. 22 2.9.2 Riwayat kesehatan......................................................................................22 2.9.3 Pemeriksaan Fisik...................................................................................... 23 2.10



Diagnosa Keperawatan yang muncul.........................................................27



BAB 3 TINJAUAN KASUS................................................................................ 28 BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................52 4.1



Pengkajian.................................................................................................. 52



4.2



Diagnosis Keperawatan..............................................................................53



4.3



Perencanaan................................................................................................54



4.4



Pelaksanaan................................................................................................ 55



4.5



Evaluasi...................................................................................................... 56



BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................57 5.1



Simpulan.....................................................................................................57 iv



5.2



Saran...........................................................................................................57



DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................58



v



BAB 1 PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Trauma kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang



disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008). Trauma kepala dapat disebabkan karena adanya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya trauma kepala yang paling fatal adalah kematian. Selain itu trauma kepala dapat menyebabkan komplikasi infeksi atau pendarahan. Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Subdural hematom (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih terjadi dibandingkan EDH ditemukan sekitar 30% dengan trauma kepala berat. Tindakan yang sering dilakukan saat terjadi perdarahan di ruang kepala adalah trepanasi atau kraniotomi yaitu suatu tindakan membuka tulang kepala dengan tujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Trauma kepala juga menyebabkan perubahan fisik dan psikologis. Trauma kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Trauma kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi.



Berdasarkan tingkat keparahannya, trauma kepala dibagi menjadi tiga, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Trauma kepala ringan dapat menyebabkan gangguan sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau kesulitan mengingat untuk beberapa saat. Penderita trauma kepala sedang juga dapat mengalami kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih lama. Bagi penderita trauma kepala berat, potensi komplikasi jangka panjang hingga kematian dapat terjadi jika tidak ditangani dengan tepat. Perubahan perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang dapat dialami penderita dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya maupun struktur anatomisnya. Selain itu, trauma kepala juga dapat dibedakan menjadi trauma kepala terbuka dan tertutup. Trauma kepala terbuka adalah apabila trauma menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan otak. Sedangkan trauma kepala tertutup adalah bila trauma yang terjadi tidak menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara langsung. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang tidak pernah mengalami trauma kepala 942.984 orang dan yang pernah mengalami trauma kepala 84.774 orang. Sebanyak 34.409 kasus trauma kepala disebabkan karena transportasi sepeda motor, yang menjadi penyebab trauma kepala kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%). Prevalensi trauma secara nasional adalah 8,2%. Prevalensi trauma kepala tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sedangkan jumlah pasien dengan tindakan trepanasi di RS PHC Surabaya periode tahun 2016 sebanyak 20 kasus, pada tahun 2017 sebanyak 39 kasus dan periode tahun 2018 sampai bulan Oktober sebanyak 25 kasus. Jadi tindakan trepanasi yang dilakukan di RS PHC sampai dengan bulan Oktober tahun 2018 adalah sebanyak 84 kasus. Pasien trauma kepala mengalami ketidakmampuan untuk beraktivitas sehingga mengalami gangguan mobilisasi dan memungkinkan terjadinya



perubahan bahkan kerusakan neurologi berat. Ketidakmampuan pasien trauma kepala dengan gangguan mobilisasi membuat pasien hanya berbaring saja tanpa mampu untuk mengubah posisi. Efek dari gangguan mobilisasi akan mempengaruhi pada kondisi psikologis dan fisiologis pasien. 1.2 Rumusan masalah Bagaimana asuhan keperawatan pada Tn. A dengan diagnosa medis dengan post op trepanasi di Ruang Mutiara, RS PHC Surabaya ? 1.3 Tujuan 1.



Tujuan umum Tujuan umum penulisan karya ilmiah ini adalah penulis mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan post op trepanasi.



2. Tujuan Khusus Mahasiswa mengetahui dan mampu: a. Melakukan pengkajian pada Tn. A dengan post op trepanasi. b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi. c. Menyusun intervensi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi. d. Melakukan implementasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi e. Melakukan evaluasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi.



f. Melakukan dokumentasi keperawatan pada Tn. A dengan post op trepanasi. 1.4 Manfaat Penulisan 1.



Bagi penulis. Memberikan pengalaman yang nyata dan menambah pengetahuan tentang



asuhan keperawatan pasien dengan post op trepanasi. 2.



Bagi institusi Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam



pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang datang, terutama masalah keperawatan. 3.



Bagi rumah sakit Bermanfaat bagi perawat untuk melakukan asuhan keperawatan yang lebih



profesional dalam melakukan tugasnya dan mendapatkan pembaharuan pengetahuan.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1



Pengertian Cidera Kepala



Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (Mansjoer, 2007) Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) Menurut Brain Injury Assosiation of America cidera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Longlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006) Dari beberapa penegertian di atas dapat disimpulkan bahwa trauma kepala atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan gangguan fugsional jaringan otak. 2.2



Pengertian Subdural Hematoma Menurut Depkes RI (1995: 63) Subdural Hematoma adalah perdarahan



yang terjadi antara durameter dan arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Sedangkan menurut Carolyn M. Hudak, alih bahasa Monica E.D Adiyanti (1996).



hematoma subdural adalah akumulasi darah di bawah lapisan meningeal durameter dan diatas lapisan arakhnoid yang menutupi otak. Definisi lain dikemukakan oleh Arif Mansjoer, dkk (2000: 8) bahwa hematoma subdural ialah pengumpulan darah dalam rongga antara durameter dan membran subarakhnoid yang bersumber dari robeknya vena. Dari ketiga pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa hematoma subdural adalah akumulasi darah yang terjadi di dalam rongga antara durameter dan arakhnoid yang biasanya disebabkan karena perdarahan vena. 2.3



Anatomi dan Fisiologi Otak Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-



agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang mngandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak, meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998: 12). Otak dibagi dalam beberapa bagian: 1.



Serebrum (otak besar) Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,



mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase kranialis anterior atas dan fase kranialis media. Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu: a.



Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan



siklus sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi emosi, moral dan tingkah laku etika. Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44), sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998: 15)



b.



Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakangi oleh



karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara, 1998: 17) c.



Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di



depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosimemori. d.



Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang daris erebrum lobus



oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari: 1)



mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu



2)



pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal, inteligensi, keinginan dan memori.



3)



pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil. Penampang lateral lobus-lobus otak



Sumber: Satyanegara, L. Djoko Listiano, Ilmu Bedah Saraf Edisi III, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 2.



Batang otak (trunkus serebri) Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara medula



spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari: a.



Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara



serebrum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf yang terdapat di



bagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi dari diensefalon: 1) vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah 2) respiratori, membantu proses persyarafan 3) mengontrol kegiatan reflek 4) membantu pekerjaan jantung Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang berfungsi sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual. Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman.thalamus memainkan peranan penting dalam transmisi impuls nyeri.(satyanegara, 1998:20). Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian yang menonjol ke atas, 2 di sebelah atas disebut korpus quadrigeminus superior dan 2 di sebelah bawah disebut korpus quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke veritral di bagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya terdiri dari:membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata. memutar mata dan pusat pergerakan mata. Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum, terletak didepan serebelum di antara otak tengah dan medula oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi dari pons varoli terdiri dari: 1)



Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata dengan serebelum



2)



Pusat syaraf nervus trigeminus. Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan medula



spinalis.



Bagian



bawah



medula



oblongata



merupakan



persambungan medula spinalis ke atas dan bagian atas medula oblongata disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral medula oblongata.



Fungsi medula oblongata merupakan organ yang menghantarkan impuls dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari: mengontrol pekerjaan jantung, mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor), pusat pernafasan (respiratory centre), mengontrol kegiatan reflek. Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari 3 lapisan: a. Duramater (lapisan sebelah luar) Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, di bagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan duramater propia di bagian dalam. Di dalam kanal vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak di antara kedua hemisfer otak. b. Arakhnoid (lapisan tengah) Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula spinalis terhenti setinggi di bawah lumbal I-II terdapat sebuah kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan otak yang disebut pungsi lumbal. c. Piamater (lapisan sebelah dalam) Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin, 1997: 124). 3.



Jenis Cedera Kepala Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, kaparahan,



dan morfologi cedera. a.



Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramater



-Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)



-



Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)



-



Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)



b.



Keparahan cedera Menurut (Mansjoer, Arief 2000:5), (Hudak and Gallo, alih bahasa Monica E.D Adiyanti, 1996:226) 



Ringan



: Skala koma Glasgow (Glasglow Coma Scale,



GCS) 14-15 Suatu keadaan dimana kepala mendapat trauma ringan dengan hasil penilaian tingkat kesadaran (GCS) yaitu 13-15, klien sadar penuh, atentif dan orientatif. Klien tidak mengalami kehilangan kesadaran, bila hilang kesadaran misalnya konkusio, tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang. Klien biasanya mengeluh nyeri kepala dan pusing. Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala. 



Sedang



: GCS 9-13. Suatu keadaan cedera kepala dengan



nilai tingkat kesadaran (GCS) yaitu 9-12, tingkat kesadaran lethargi, obturded atau stupon. Gejala lain berupa muntah, amnesia pasca trauma, konkusio, rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan cerebrospinal dan biasanya terdapat kejang. 



Berat



: GCS 3-8. Cedera kepala dengan nilai tingkat



kesadaran (GCS) yaitu 3-8, tingkat kesadaran koma. Terjadi penurunan



derajat kesadaran secara progresif. Tanda



neurologis



fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur



depresi kranium. Mengalami amnesia > 24 jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intra kranial. c.



Morfologi 1.



Fraktur tengkorak : kranium : linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup: basis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhan nervus VII



2.



Lesi intrakranial : fokal: menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49)



3.



Epedural adalah pengumpulan darah di dalam ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus. Perdarahan Intrakranial berdasarkan lokasi akibat cedera kepala menurut:Suzanne C Smeltzer, et. al, alih bahasa Agung Waluyo (2001:2212), Tuti Pahria,dkk (1996:49) adalah sebagai berikut:



a)



Hematoma Epidural Hematoma Epidural Adalah pengumpulan darah di dalam



ruang epidural (ekstradural) di antara tengkorak dan duramater. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada di antara duramater putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara duramater dan



tengkorak daerah inferior menuju bagian tipis tulang temporal hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak. Gejala ditimbulkan oleh hematoma luas, disebabkan oleh perluasan hematoma. Biasanya terlihat adanya kehilangan kesadaran sebentar pada saat cedera, diikuti dengan pemulihan yang nyata secara perlahan-lahan. Gejala klasik atau temporal berupa kesadaran yang makin menurun disertai anisokor pada mata ke sisi dan mungkin terjadi hemiparese kontra lateral. Sedangkan hematoma epidural di daerah frontal dan parietal atas tidak memberikan gejala khas selain penurunan kesadaran (biasanya somnolen) yang tidak membaik setelah beberapa hari. Banyaknya perdarahan terjadi karena proses desak ruang akut, bila cukup besar akan menimbulkan herniasi misalnya pada perdarahan epidural, temporal yang dapat menyebabkan herniasi unkus. b)



Hematoma Subdural Adalah pengumpulan darah diantara durameter dan



arakhnoid yang biasanya meliputi perdarahan vena. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dari aneurisma, hemoragi subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, subakut atau kronik, tergantung pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. c)



Hematoma Subdural Akut, sering dihubungkan dengan



cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan/ atau tanda gejala klinis: sakit kepala, perasaan kantuk dan kebingungan, respon yang lambat dan gelisah. Tekanan darah meningkat dengan frekuensi nadi lambat dan pernafasan cepat sesuai dengan



peningkatan hematoma yang cepat. Keadaan kritis terlihat dengan adanya perlambatan reaksi ipsilateral pupil. d)



Hematoma subdural sub akut, biasanya berkembang 7-10



hari setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat dan dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran setelah trauma kepala. Tanda dan gejala sama seperti pada hematoma subdural akut. Tekanan serebral yang terus menerus menyebabkan penurunan tingkat kesadaran yang dalam. Angka kematian pasien hematoma subdural akut dan subakut tinggi, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak. e)



Hematoma subdural kronik, terjadi karena cedera kepala



minor. Mulanya perdarahan kecil memasuki di sekitar membran vaskuler dan pelan-pelan meluas. Gejala klinis mungkin tidak terjadi/ terasa dalam beberapa minggu atau bulan. Keadaan ini pada proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi pupil dan motorik, lansia cenderung yang paling sering mengalami cedera kepala tipe ini sekunder akibat atropi otak, yang diperkirakan akibat



proses



penuaan.



Cedera



kepala



minor



dapat



mengakibatkan dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negatif. f)



Hematoma Intraserebral Adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini



biasanya terjadi pada cedera kepala dimana mendesak ke kepala sampai daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak, cedera tumpul). Hemoragi ini di dalam otak mungkin juga diakibatkan oleh hipertensi sistemik yang menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisma, anomali vaskuler, tumor intrakranial. Akibat adanya substansi darah dalam jaringan otak akan menimbulkan edema otak, gejala neurologik tergantung dari ukuran dan lokasi perdarahan.



2.4



Etiologi



Menurut Satyanegara, (1998:148) Kebanyakan cedera kepala merupakan akibat salah satu dari kedua mekanisme dasar yaitu: a. Kontak bentur, terjadi bila kepala membentur atau menabrak sesuatu obyek atau sebaliknya. b. Guncangan lanjut, merupakan akibat peristiwa guncangan kepala yang hebat, baik yang disebabkan oleh pukulan maupun yang bukan karena pukulan. Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut :Kecelakaan Lalu Lintas. Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995). 1.



Jatuh Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun



atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gaya gravitasi bumi, baik ketika masih digerakkan turun maupun sesudah sampai ketanah. 2.



kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan



seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik padabarang atau orang lain (secara paksaan). Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut.



Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tibatiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial (Sastrodiningrat, 2009). 2.5



Manifestasi Klinis



a. Perdarahan Subarachnoid 1) Nyeri kepala hebat 2) Kaku kuduk. 1. Cidera Kepala Ringan (CKR): Kehilangan kesadaran /amnesia 48-2mgg post cedera



Gangguan neurologis



Gangguan mobilitas fisik



HS kronis beberapa mgg/bulan post cedera



Robek ruang subdural



Perdarahan lambat 7-10 hari



Keluar darah dari hidung dan telinga



Sesak nafas, terdengar bunyi grogling, ada gelembung udara di hidung



MK: bersihan jalan nafas tidak efektif



Fraktur tulang tengkorak. Aliran meningen media rusak



Jejas dan luka terbuka



Perdarahan



Hematom epidural



Menekan lobus temporalis Hematom



Peningkatan TIK



hipovolemia



TD turun, brakikardi, CRT > 2 detik, sianosis Kekurangan volume cairan



Darah hematom dan kerusakan sel dalam arah hematom



Hematom meningkat



Hemiparase , diatas pupil



Sakit kepala, penurunan kesadaran atau hilangnya kesadaran, muntah proyektil



Perubahan perfusi jaringan



2.7



Pemeriksaan penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memontoring keadaan kadar O2 dan Co2 dalam tubuh dilakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu pemeriksaan diagnostic untuk menentukan status respirasi. b. CT-Scan: Mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentugan pergeseran jaringan otak. c. Foto Rontgen: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (pendarahan/edema), fragmen tulang. d. MRI: sama dengan CT-Scan/tanpa kontras e. Angiografi Serebral: menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan f. Pemeriksaan fungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarachnoid. g. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan intrakranial. h. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.



2.8



Penatalaksanaan



(1)



Cedera Kepala Ringan : pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat



dipulangkan ke rumah tanpa perlu dilakukan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut : a.



Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas normal



b.



Foto servikal jelas normal



c.



Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan. 1) Kriteria perawatan di rumah sakit : 2) Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT scan



3) Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun 4) Adanya tanda dan gejala neurologis fokal 5) Intoksikasi obat atau alkohol 6) Adanya penyakit medis komorbid yang nyata 7) Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah. 2.



Cedera kepala sedang : pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientasi baik dan mengikuti perintah) dan CT scan normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko timbulnya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang adalah minimal.



3.



Cedera kepala berat : setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat. a. Anti kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahanlahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/ kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/ menit.pada cedera kepala berat, Antikejang fenitoin diberikan 15-20 mg/kgBB bolus intavena, kemudian 300 mg/hari intravena mengurangi frekuensi kejang pascatrauma dini (minggu pertama) dari 14% menjadi 4% pada pasien dengan perdarahan intrakranial traumatik. Pemberian fenitoin tidak mencegah timbulnya epilepsi pascatrauma di kemudian hari. Jika



pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7-10 hari. Kadar fenitoin harus dipantau ketat karena kadar subterapi sering disebabkan hipermetabolisme fenitoin. b. Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal. Pemberian



makanan



enteral



melalui



pipa



nasogastrik



atau



nasoduodenal harus diberikan sesegera mungkin (biasanya hari ke-2 perawatan) o



c. Temperatur badan: demam (temperatur > 101 F) mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif dengan asetaminofen atau kompres dingin. Pengobatan penyebab (antibiotik) diberikan bila perlu. d. Steroid: steroid tidak terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan resiko infeksi, hiperglikemia dan komplikasi lain. Untuk itu, steroid hanya dipakai sebagai pengobatan terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena setiap 4-6 jam selama 48-72 jam) e. Profilaksis ulkus peptik: pasien dengan ventilasi mekanis atau koagulopati memiliki resiko ulserasi stres gastrik yang meningkat dan harus mendapat ranitidin 50 mg intravena setiap 8 jam atau sukralfat 1 g per oral setiap 6 jam atau H2 antagonis lain atau inhibitor proton. f. Antibiotik: penggunaan antibiotik rutin untuk profilaksis pada pasien dengan cedera kepala terbuka masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi resiko meningitis penumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi dapat meningkatkan resiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen. g. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi h. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40% atau gliserol 10% i. Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus 5%, aminofusin, aminofel



(18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak. j.



Pembedahan, meliputi kraniotomi atau kraniektomi atau trepanasi Pada trauma berat, karena hari-hari pertama didapatkan penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit, maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan, dextrosa 5% 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5% 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui nasogastrik tube (2500-3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai urea N. (kapita selekta kedokteran edisi ketiga jilid dua



4.



Komplikasi a. Sindrompasca konkusi Nyeri kepala, vertigo, depresi dan gangguan konsentrasi dapat menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi setelah cedera vestibular b. Kebocoran cairan serebro spinal Hal ini dapat terjadi mulai dari saat cedera, tetapi jika hubungan Antara rongga subaraknoid dan telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis hanya kecil dan tertutup jaringan otak, maka hal ini tidak akan terjadi dan pasien mungkin mengalami meningitis dikemudian hari. Selain terapi infeksi, komplikasi ini membutuhkan reparasi bedah untuk robekan dura. Eksplorasi bedah juga dibutuhkan terjadi kebocoran cairan serebrospinal presisten. c. Epilepsy pascatrauma Terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal ( dalam minggu pertama setelah cedera), amnesia pasca trauma yang lama (lebih dari 24 jam), fraktur depresi cranium, hematoma intracranial. d. Komplikasi lanjut cedera kepala ini (dapat terjadi pada cedera kepala ringan) dapat mengakibatkan demensia.



2.9



Asuhan Keperawatan



2.9.1 Pengkajian Pengkajian merupakan pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data baik subyektif atau obyektif dan kemudian menganalisanya. Data-data dalam pengkajian ini meliputi: (Pahria, Tuti ,dkk, 1996: 55) 1.



Identitas klien Identitas klien meliputi nama klien, umur klien biasanya pada usia produktif atau pada lansia, jenis kelamin mayoritas pria, agama, pendidikan, pekerjaan klien biasanya berhubungan dengan sarana transportasi, status marital, suku bangsa, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, golongan darah, no.medrek, diagnosa medis dan alamat.



2.



Identitas penanggung jawab Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.



2.9.2 Riwayat kesehatan 1.



Alasan masuk Rumah Sakit Biasanya penyebab trauma kepala karena kecelakaan lalu lintas,



namun tidak menutup kemungkinan faktor lain. Oleh karena itu pada Alasan klien masuk Rumah Sakit perlu dikaji mengenai kapan, dimana, penyebab, bagaimana proses terjadinya, apakah klien pingsan, muntah atau perdarahan dari hidung atau telinga. 2.



Keluhan utama saat dikaji Pada umumnya pasien dengan trauma kepala sedang datang ke



rumah sakit dengan penurunan tingkat kesadaran (GCS = 9-12), sedangkan apabila klien sudah sadar penuh biasanya akan merasa bingung,mengeluh muntah, dispnea, tachipnea, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralise, hemiparese, luka di kepala, akumulasi sputum pada saluran nafas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan adanya kejang yang disebabkan karena proses benturan akselerasi-deselerasi pada setiap daerah lobus otak yang dapat menyebabkan



konkusio atau kontusio serebri yang



mengakibatkan penurunan kesadaran kurang atau bisa lebih dari 24 jam.



3.



Riwayat kesehatan dahulu Perlu dikaji apakah klien pernah mengalami trauma kepala atau



penyakit sistem syaraf serta penyakit sistemik. Perlu dikaji juga apakah klien memiliki kebiasaan kebut-kebutan di jalan raya, memakai Helm dalam mengendarai kendaraan, meminum minuman beralkohol atau obatobatan terlarang. 4.



Riwayat kesehatan keluarga Kaji mengenai adanya penyakit keturunan, penyakit menular,



kebiasaan buruk dalam keluarga seperti merokok atau keadaan kesehatan anggota keluarga. 2.9.3 Pemeriksaan Fisik 1.



Sistem pernafasan Didapatkan adanya perubahan pola nafas baik irama, kedalaman



maupun frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (cheyne stokes, ataxia breathing), bunyi nafas ronchi atau stridor, adanya sekret pada trakheo bronkhiolus, adanya retraksi dinding dada. 2.



Sistem kardiovaskuler Dalam pemeriksaan didapatkan perubahan tekanan darah menurun



kecuali apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi tachikardi, kemudian bradikardi atau iramanya tidak teratur sebagai kompresi kerja jantung untuk membantu mengurangi tekanan intra kranial. 3.



Sistem pencernaan Pada klien post craniotomy biasanya didapatkan bising usus yang



normal atau bisa juga menurun apabila masih ada pengaruh anestesi, perut kembung, bibir dan mukosa mulut tampak kering, klien dapat mual dan muntah. kadang-kadang konstipasi karena klien tidak boleh mengedan atau inkontinensia karena klien tidak sadar. Pada perkusi abdomen terdengar timpani, nyeri tekan pada daerah epigastrium, penurunan berat badan.



4.



Sistem perkemihan Pada pengkajian akan didapatkan retensi urine pada klien sadar,



sedangkan pada klien tidak sadar akan didapatkan inkontinensia urine dan fekal,



jumlah



urine



output



biasanya



berkurang.



Terdapat



ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia atau hipokalemia. 5.



Sistem muskuloskeletal Pada klien post craniotomy biasanya ditemukan gerakan-gerakan



involunter, kejang, gelisah, ataksia, paralisis dan kontraktur, kekuatan otot mungkin menurun atau normal. 6.



Sistem integumen Pada klien post craniotomy tampak luka pada daerah kepala, suhu



tubuh mungkin di atas normal, banyak keringat. Pada hari ketiga dari operasi biasanya luka belum sembuh karena masih agak basah/ belum kering. biasanya masih terdapat hematoma pada klien dengan perdarahan di meningen. Data fisik yang lain adalah mungkin didapatkan luka lecet dan perdarahan pada bagian tubuh lainnya. Bentuk muka mungkin asimetris. 7.



Sistem persyarafan a. Test fungsi serebral: Klien mengalami penurunan kesadaran maka dalam orientasi, daya ingat, perhatian dan perhitungan serta fungsi bicara klien sehingga hasil pemeriksaan status mentalnya kurang dari normal atau kurang dari 20 ditandai dengan amnesia, gangguan kognitif, dll. b. Tingkat kesadaran: Biasanya tingkat kesadaran berkisar antara obtunded sampai lethargi. Kuantitas: nilai GCS: 9-12 c. Pengkajian bicara 1) Proses reseptif: Biasanya didapatkan kesulitan mengucapkan kata-kata yang leih dari satu kata misalnya “sakit kepala” atau “rumah sakit” 2) Proses ekspresif: Biasanya didapatkan bicara kurang lancar, tidak spontan dan tidak jelas



3) Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria, dkk, 1996: 55) d.



Nervus I (olfaktorius): Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral yang disebabkan karena terputusnya serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga bisa disebabkan oleh infeksi.



e.



Nervus II (optikus): Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa penurunan daya penglihatan, penurunan lapang pandang



f.



Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen): Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan intrakranial akan menyebabkan gangguan reaksi pupil yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian pinggir nervus III yang mengandung serabut parasimpatis. Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi. Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia, gejala lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.



g.



Nervus V (trigeminus): Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.



h.



Nervus VII (fasialis): Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior



i.



Nervus VIII (akustikus): Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya pendengaran dan keseimbangan tubuh.



j.



Nervus IX, X, XI (glosofaringetus, vagus, assesoris): Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal apabila trauma mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping (cegukan) karena kompresi pada nervus vagus yang menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cegukan yang terjadi biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.



k.



Nervus XII (hipoglosus): Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.



8.



Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57) Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data



psikologis tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium. 9.



Data sosial Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien berhubungan



dengan



orang-orang



terdekat



dan



yang



lainnya.



Kemampuan



berkomunikasi dan peranannya dalam keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area trauma pada lobus temporal. 10.



Data spiritual Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran tidak dapat



dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan yang diyakini klien tidak dapat terkaji. 11.



Pemeriksaa penunjang



a.



CT Scan (tanpa/ dengan kontras): mengidentifikasi hemoragik,



menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan: Pemeriksaan berulang mungkin diperlukan karena pada iskemia/ infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24-72 jam pasca trauma. b.



MRI: Sama dengan CT Scan dengan/ tanpa menggunakan kontras



c.



Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral,



seperti pergeseran jaringan otak akibat oedema, perdarahan, trauma d.



EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya



gelombang patologis



e.



Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur),



pergeseran struktur garis tengah (karena perdarahan, oedema), adanya fragmen tulang. f.



BAER (Brain Auditory Evoked Respons): Menentukan fungsi



kortexs dan batang otak. g.



PET (Position Emission Tomography): Menunjukkan perubahan



aktifitas metabolisme pada otak h.



Fungsi Lumbal, CSS: Dapat mendeteksi kemungkinan adanya



perdarahan subarakhnoid dan memastikan bocornya CSS sehingga terjadi iritasi meningen mengakibatkan meningitis i.



Pemeriksaan toksikologi: Mendeteksi obat yang mungkin



bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. j.



Kadar antikonvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui



tingkat therapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. 2.10



Diagnosa Keperawatan yang muncul



Menurut NANDA 2018-2020) diagnosa keperawatan yang dapat muncul setelah pasca trauma kepala adalah: 1.



Ketidakefektifan pola nafas



2.



Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d trauma



3.



Nyeri akut b.d agens cidera fisik



4.



Hambatan mobilitas fisik b.d kekuatan otot



5.



Intoleran aktivitas



6.



Sindrom pasca trauma



7.



Defisiensi volume cairan



8.



Resiko infeksi area pembedahan



BAB 3 TINJAUAN KASUS FORMAT PENGKAJIAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA PENDEKATAN REVIEW OF SISTEM (Adaptasi Henderson & Roy) Tgl Pengkajian



: 1 Desember 2018



Jam



: 08.00 WIB



Tgl MRS



: 29 November 2018



No Rekam Medik



: 232XXXX



Ruang



: Mutiara 2



Diagnosa Medis



: Post Operasi Trepanasi



I. PENGKAJIAN A. IDENTITAS 1. Nama



: Tn.A



6. Pekerjaan



: Sopir Truck



2. Umur



: 48 th



7. Suku Bangsa



: Madura



3. Agama



: Islam



8. Jenis Kelamin



: Laki-laki



4. Pendidikan



: SMA



9. Status Perkawinan



: Kawin



5. Alamat



: Surabaya



10. Penanggung Biaya



: BPJS



B. RIWAYAT SAKIT DAN KESEHATAN 1. Keluhan Utama



Nyeri di daerah kepala post operasi



2. Riwayat Penyakit



Pasien datang ke IGD pada tanggal 29 November 2018, pkl



Sekarang



13:56 WIB dengan keadaan pingsan. Keluarga pasien mengatakan bahwa Tn.A mengalami kecelakaan kerja jatuh dari truck kurang lebih ketinggian 2 meter dan terdapat perdarahan hidung dan telinga. Selama di IGD didapatkan pemeriksaan 0



tanda-tanda vital yaitu : TD: 110/72 mmHg, S: 36,5 C, N : 76x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO2: 95% memakai alat bantu MNR 10 lpm, GCS:111, Akral HKM dan diberikan terapi Obat injeksi santagesik 1000 mg, ranitidine 50 mg, kalnex 500 mg dan infus RL 14tpm. Dokter melakukan tindakan operasi trepanasi kepala



29



cito jam 16.30 dan setalah post op Tn.A diobservasi di ruang ICU selama 1 hari. Pada tanggal 30 November 2018 jam 19.00 Tn.A sadar dengan GCS 456 kemudian dipindahkan di ruang mutiara 2. Tanggal 1 Desember 2018 jam 08.00 saat dikaji pasien mengatakan bahwa nyeri di daerah kepala setelah di lakukan tindakan pembedahan pada luka jahitan operasi, nyeri yang dirasakan tertekan menjalar di kepala bagian kiri dengan skala 4 menggunakan VAS dan nyeri timbul secara terus menerus terlihat Tn.A memegang kepala yang nyeri sambil menyeringai kesakitan. k/u baik, GCS 456, Akral: HKM TD: 0



130/82 mmHg, S: 36,5 C, N : 98x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO 2: 97% dengan O2 nasal 3 lpm. Pada saat di inspeksi Kepala Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis. kondisi luka tertutup dan kasa kering, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum penuh. Dokter memberi advice untuk bedrest. Ketika px mandi, eliminasi dan mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh keluarga dan perawat. 3. Riwayat Penyakit Tidak ada Dahulu 4. Riwayat Penyakit Hipertensi Keluarga 5. Riwayat Allergi



Tidak ada



6. Keadaan Umum:Kesadaran : Composmentis GCS : 456 7. Tanda Vital 0



TD: 130/82 mmHg, S: 36,5 C, N : 98x/mnt, RR : 18x/mnt SPO2: 97% dengan O2 nasal 3 lpm.



C. Genogram



Keterangan : : Perempuan : Laki-laki : Tinggal serumah



: Meninggal : Pasien : Sedarah



D. PEMERIKSAAN FISIK B1-B6 1) B1 : Breath/Pernapasan 1.



Inspeksi a. Bentuk dada



: Normo Chest



e. Pergerakan



: Simetris



b. Sesak napas



: Tidak



f. Batuk



c. Pola napas



: Normal



g. Irama Napas : Reguler



: (-) Sekret : (-)



d. Alat Bantu napas : Tidak ada alat bantu nafas 2. Palpasi Taktil / Vokal fremitus : Teraba 3. Perkusi Bunyi lapang paru : Sonor 4. Auskultasi a. Suara napas



: Vesikuler



b. Suara napas tambahan : Tidak ada MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan



2) B2 / Blood / Sirkulasi 1. Inspeksi a. Ictus Cordis : Normal b. Nyeri Dada



: Tidak ada



c. Pembesaran Kelenjar Getah Bening : Tidak Ada 2. Palpasi a. CRT



: < 2 dtk



b. Oedema



: Tidak ada



c. Akral



: Hangat, Kering, Merah



3. Perkusi Perkusi jantung : Pekak 4. Auskultasi Bunyi Jantung : S1-S2 Tunggal MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan 3) B3/ Brain / Persarafan 1. Inspeksi a. GCS a. Kepala



Eye : 4



Verbal : 5



Motorik : 6 Total : 15



: Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis. Kondisi



luka tertutup dan kasa kering, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum penuh. b. Nyeri kepala : - P : Luka jahitan operasi -



Q : Tertekan



- R : kepala bagian kiri -



S : 4 menggunakan VAS



-



T : Terus menerus



c. Parese



: Tidak ada



2. Wajah dan Pengelihatan a. Mata



: Simetris



e. Kelainan



: Tidak ada



b. Pupil



: Isokor 2 mm / 2 mm



f. Reflex Cahaya



:+/+



c. Konjungtiva/Sklera : Tidak anemis d. Lapang Pandang : Normal



g. Gangguan/kelainan : Tidak ada



3. Pendengaran a.



Telinga



: Terdapat balutan



b.



Gangguan : Tidak ada



c. Kelainan



: Tidak ada



d. Alat bantu : Tidak ada



4. Penciuman a. Bentuk Hidung



: Simetris



b. Septum



: Simetris



d. Polip



: Tidak ada



c. Gangguan/kelainan : Tidak ada 5. Lidah a. Kebersihan



: Bersih



b. Kesulitan telan



: Tidak



c. Berbicara



: Tidak mampu



Palpasi a. Reflek fisiologis



: Tidak ada



b. Reflek patologis



: Tidak ada



c. Nervus I (Saraf Olfaktorius) : Pasien mampu membedakan bau d. Nervus II (Saraf Optikus) : Lapang pandang baik, pasien tidak mengunakan kacamata e. Nervus III (Saraf Okulomotorius) : Pergerakan bola mata baik, respon pupil terhadap cahaya +/+ 2mm/2mm f. Nervus IV (Saraf Troklearis) : Pasien mampu menggerakkan bola mata ke atas dan ke bawah g. Nervus V (Saraf Trigeminus) : Pasien dapat mengunyah dengan baik dan kondisi rahang baik h. Nervus VI (Saraf Abdusens)



:



Pasien mampu melihat tangan perawat i. Nervus VII (Saraf Fasialis)



:



Senyum pasien simetris, gerakan dahi simetris, pasien dapat mengembungkan pipi dengan baik j. Nervus VIII (Saraf Vestibulokoklearis) : Pasien tidak mampu mendengarkan pertanyaan yang diajukan oleh perawat jika jaraknya jauh harus dekat sekitar 15 cm.



k. Nervus IX (Saraf Glosofaringeus)



:



Pasien tidak mengalami kesulitan dalam menelan l. Nervus X (Saraf Vagus)



:



Pasien dapat menelan dengan baik dan mampu membuka mulut m. Nervus XI (Saraf Aksesorius)



:



Pasien mampu mengangkat bahu kiri dan kanan n. Nervus XII (Saraf Hipoglosus)



:



Pasien bisa bicara MASALAH KEPERAWATAN : 1. Nyeri Akut 2. Risiko Infeksi 4) B4/ Bladder/ Perkemihan 1. Inspeksi a. Kebersihan : bersih b. Eliminasi Urine SMRS Frek : 5x/hari Jumlah : 1800 cc/hari Warna : Kuning jernih c. Eliminasi Urine MRS Frek : 4x/hari Jumlah : 1600 cc/hari d. Gangguan



Warna : Kuning jernih terpasang kateter



: Tidak ada



2. Palpasi a. Kandung Kemih : Tidak ada gangguan b. Nyeri tekan



: Tidak ada



MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan 5)



B5/ Bowel/ Pencernaan



1. Inspeksi a. Mulut



: Bersih



b. Membran Mukosa : Lembab c. Gigi/Gigi Palsu : Tidak ada d. Faring : Tidak ada pembesaran kelenjar Tyroid



e. Diit (makan & minum) SMRS : Nasi + Lauk Diit di RS: Diit



:-



Porsi



Frek : 3x/hari



: 1 porsi



Nafsu makan : normal



Mual : tidak



Muntah



NGT : Tidak terpasang (-)



: Tidak



Frekuensi minum : 3x/hari Jumlah : 1800cc



Jenis : Air mineral



Makan habis 1 porsi BB SMRS : 60 Kg



TB: 160 cm



BB MRS



: 60 Kg



IMT



: 23 (Normal)



Abdomen a. Bentuk abdomen



: Simetris



b. Kelainan abdomen : Tidak ada c. Hepar



: Tidak ada pembesaran hepar



d. Lien



: Tidak ada pembesaran lien



e. Rectum dan Anus : Tidak ada hemoroid f. Eliminasi alvi SMRS Frekuensi : 1x/hari Warna : Kuning kecoklatan g. Eliminasi alvi MRS



Konsistensi : Padat dan Lunak



Frekuensi : 1x/2hari



Warna : Kuning kecoklatan



Konsistensi : Lunak



2. Palpasi Tidak ada nyeri tekan abdomen MASALAH KEPERAWATAN : Tidak ada masalah keperawatan 6) B6 / Bone/ Muskuloskletal 1. Inspeksi a. ROM



: Aktif



b. Kekuatan Otot :



5555



5555



5555



5555



Keterangan : 5 = mampu melawan tahanan normal, 4 = mampu melawan tahanan ringan, 3 = mampu melawan grafitasi, 2 = mampu menggerakkan sendi, 1 = terdapat kontraksi



otot, 0 = tidak ada kontraksi otot. MASALAH KEPERAWATAN : Tidak ada masalah keperawatan E. PEMERIKSAAN FISIK PERSISTEM 1) Endokrin 1. Keadaan Tiroid a. Pembesaran : Tidak ada b. Nyeri Tekan : Tidak ada 2. Terkait Diabetes Melitus a. Kadar Gula Darah : 3. Terkait Pertumbuhan (Tidak ada gangguan) 4. Terkait Hormon Reproduksi (Tidak ada gangguan) 5. Terkait Hormon Adrenal (Tidak ada gangguan) MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan



2) Sistem Repoduksi / Genitalia 1. Hernia inguinalis : Tidak ada 2. Masalah seksual yang berhubungan dengan penyakit : Tidak ada 3. Masalah atau perhatian seksual : Tidak ada gangguan MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan F. PEMERIKSAAN FISIK PERPOLA 1) Pola Istirahat Tidur 1. Istirahat tidur SMRS



:



Siang : 13.00-15.00 WIB Malam : 21.00-06.00 WIB 2. Jam tidur malam MRS : Tn.A selalu memejamkan mata, membuka mata pada saat ada yang datang dan mengajaknya berbicara. 3. Kualitas tidur : Baik 4. Masalah tidur : Tidak ada gangguan



MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan 2) Kemampuan Perawatan Diri / Personal Hygiene SMRS



MRS



1. Mandi



1



3



2. Berpakaian /dandan



1



3



3. Toileting/eliminasi



1



3



4. Mobilitas di tempat tidur



1



3



5. Berpindah



1



3



6. Berjalan



1



3



7. Naik Tangga



1



-



8. Berbelanja



1



-



9. Memasak



1



-



10. Pemeliharaan rumah



1



-



Skor : 1 : Mandiri 2 : Alat bantu 3



:



Dibantu orang



lain dan alat



MASALAH KEPERAWATAN : Intoleran aktivitas 3) Psikososiocultural Pola Konsep Diri Ideal diri : pasien berharap cepat sembuh Harga diri : pasien pasrah dengan penyakit yang dideritanya Citra diri : pasien menyukai seluruh bagian tubuhnya Peran diri : pasien bekerja sebagai supir truck. Identitas diri : pasien seorang ayah dari 2 anak Pola Peran – Hubungan Pekerjaan : Swasta Masalah keluarga mengenai perawatan di RS : tidak ada Pola nilai – Kepercayaan Agama : islam Pelaksanaan ibadah : selama di RS Tn.A tidak bisa melakukan ibadah yaitu sholat.



Pola Koping Masalah utama selama MRS (penyakit, biaya, perawatan diri) : Tidak ada Kehilangan perubahan yang terjadi sebelumnya : Ya, pasien lebih banyak istirahat Kemampuan adaptasi : baik MASALAH KEPERAWATAN : Tidak Ada Masalah Keperawatan Pemeriksaan Penunjang Tanggal 1 Desember 2018 A. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Hemoglobin Eritrosit Trombosit Hematokrit Leukosit



Hasil



Nilai Normal



14,3 g/dL



11,7 – 15,5 g/dL



^



4,84 10 6/µL 347.000 /mm³ 42,5 %



^



3,8 – 5,2 10 6/µL 150.000–450.000 /mm³ 35–47%



10.500 /mm³



4.000-11.000/mm³



Hasil



Nilai Normal



Natrium



142,2 mmol/L



136,0-144,0 mmol/L



Kalium



3,95 mmol/L



3,6-5 mmol/L



Kimia Klinik



B. Radiologi 1. CT Scan Kepala EDH di temporal kiri disertai pneumatocele dengan fraktur di temporal kiri Kesan fraktur di basis carnii dan dinding sphenoid kanan serta fraktut septum nasi Tampak pula hematosinus sphenoidalis, ethmoidalis, frontalis dan maxillaris kanan kiri Edema cerebri Mastoiditis kronis sisi kanan Tidak tampak fraktur didaerah cervical, klasifikasi ligamentum nuchae (+)



III. TERAPI MEDIS (FARMAKOLOGIS) No



Terapi Obat di Ruang Mutiara



Dosis



Indikasi 1. Nyeri akut atau kronik berat



1. Injeksi Santagesik



2 Injeksi Ceftriaxone



3x1 1000 mg



seperti sakit kepala, sakit gigi,



Kontraindikasi 1. Hipersensitif terhadap santagesik



tumor, nyeri pasca op dan



2. Hamil



nyeri pasca cedera.



3. Hipotensi



1. Reaksi anafilaksis 2. Dyspnea 3. Urtikaria 4. Hipotensi 5. Syok sirkulasi



2x1



1. Meningitis



1000 mg



2. Pneumonia



ceftriaxone dan obat antibiotic



2. Sakit perut



3. Keracunan darah’



cephalosporin lainnya



3. Sakit kepala atau pusing



2. Neonatus yang mengalami



4. Lidah sakit atau bengkak



4. Gonore 5. Infeksi kulit 6. Sepsis



1. Hipersensitif terhadap



Efek Samping



hiperbilirubinemia



1. Mual atau muntah



5. Berkeringat



3. Tidak digunakan dengan larutan



7. ISK



atau produk yang mengandung



8. ISPA



kalsium pada bayi.



9. Infeksi telinga 10. Profilaksis bedah 3. Injeksi Ondancetrone



3x1



- Gastroenteritis-mual



4 mg



- Mual dan muntah



- Hipersensitivitas terhadap ondancetrone



-



Tanda reaksi alergi seperti ruam, gatal, kemerahan,



- Penggunaan bersamaan dengan opomorphine



bengkak dengan atau tanpa demam, sulit bernapas atau berbicara, pembengkakakn pada mulut, wajah, lidah atau Tenggorokan - Nyeri dada - Pusing atau pingsan - Denyut nadi cepat/lambat - Demam - Kejang - Kesemutan dan kram - Nyeri pinggang - Sulit berkemih - Perubahan tajam Penglihatan



4. Hemobion



1x1



- Anemia karena perdarahan



- Intoleransi terhadap obat



- Mual



- Anemia pada kehamilan



- Penyakit ginjal



- Muntah



- Gastritis atrofi



- Kembung



- Peningkatan aktivitas kelenjar



- Gangguan saluran cerna



paratiroid 5. Flunarizine



bagian atas -



Diare



1x1



- Migrain



- Penyakit hati



-



Mengantuk dan depresi



6 mg



- Mencegah gangguan pembuluh



- Penyakit parkinson



-



Kecemasan



- Riwayat Depresi



-



Mulut kering



Kontraindikasi RL



Efek Samping RL



darah otak dan tepi - Vertigo Infuse RL



6.



14 tpm



Indikasi RL -



Tetani hipokalasemik



- alergi terhadap sodium laktat



- nyeri dada



-



Ketidakseimbangan elektrolit



- pada bayi baru lahir RL tidak



- detak jantung tidak normal



tubuh



boleh diberikan bersamaan



- turunnya tekanan darah



-



Diare



dengan ceftriaxone



- kesulitan bernapas



-



Luka bakar



- Batuk



-



Gagal ginjal akut



- bersin-bersin



-



Kadar natrium rendah



- ruam kulit



-



Kekurangan kalium



- gatal pada kulit



-



Kekurangan kalsium



- sakit kepala



- Kehilangan banyak darah dan cairan -



Hipertensi



IV. ANALISA DATA No



Data



Etiologi



Masalah



1.



DS : Tn.A mengatakan bahwa nyeri di daerah kepala setelah di lakukan tindakan pembedahan - P : Luka jahitan operasi - Q : Tertekan - R : kepala bagian kiri - S : 4 menggunakan VAS - T : Terus menerus



Agens cedera fisik (Post Op trepanasi)



Nyeri akut (SDKI, 2017)



Prosedur invasif



Risiko infeksi (SDKI, 2017)



Imobilitas



Intoleran aktivitas (Nanda-I 20182020)



DO : - Pasien k/u baik, GCS 456 perfusi HKM - Pasien tampak Tn.A memegang kepala sambil menyeringai kesakitan -



0



TD: 130/82 mmhg, S: 36,5 C, N : 98x/mnt, RR : 18x/mnt SPO2: 97% dengan O2 nasal 3 lpm.



2.



DS:DO : - Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis tertutup kasa kering kondisi luka tertutup, tidak terdapat rembesan, tidak berbau - terdapat drain vakum penuh dan produksi drain kurang lebih 40 cc (tidak dibuang) 3. DS: Keluarga mengatakan bahwa biasanya kalau mandi, BAB/BAK dibantu oleh keluarga dan perawat. DO: Ketika px mandi, eliminasi dan mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh keluarga dan perawat. V.



DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.



Nyeri akut b.d agens cedera fisik (Post Op trepanasi)



2.



Risiko Infeksi b.d Prosedur invasif



3.



Intoleran aktivitas b.d imobilitas



VI. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN NO



MASALAH KEPERAWATAN



1. Nyeri Akut 2. Risiko Infeksi 3. Intoleran aktivitas



TANGGAL Ditemukan Teratasi 1 Desember 3 Desember 2018 2018 1 Desember 3 Desember 2018 2018 1 Desember 3 Desember 2018 2018



PARAF (Nama) ϒ Astrid ϒ Astrid ϒ Astrid



VII. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN No



Diagnosa Keperawatan



1. Nyeri Akut b.d agens cedera fisik (Post op Trepanasi)



Tujuan



Kriteria Hasil



Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan nyeri berkurang



1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal - Systole : 100-130 mmHg - Diastole : 60-90 mmHg 0 - Suhu : 36-37,5 C - RR : 14-20x/menit - SpO2 : 95-100% - Nadi : 60-100x/menit 2. Skala nyeri berkurang dari 4 menjadi 2 3. Pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri 4. Ekspresi wajah pasien rileks



Intervensi



Rasional



1. Bina hubungan saling percaya



1. Membina hubungan saling percaya agar perawat lebih dekat dengan pasien dan bisa melakukan pengkajian sampek evaluasi dengan lancer 2. Observasi intensitas nyeri setiap 2. Untuk mengetahui tingkat nyeri 3 jam sekali yang dialami pasien 3. Jelaskan pada pasien sebabsebab timbulnya nyeri 4. Bantu penanganan terhadap nyeri, yaitu teknik relaksasi nafas dalam setiap 3 jam sekali (Tarik nafas dari hidung tahan selama 2 detik lalu hembuskan perlahan dari mulut lakukan selama 3 kali) 5. Observasi TTV 6. Hasil kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesic atau anti nyeri Injeksi



3. Pemahaman pasien tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan pasien 4. Teknik relaksasi bisa mengurangi rasa nyeri yang dirasakan pasien



5. Mengetahui kedaan umum pasien 6. Obat analgesic dapat membantu mengurangi nyeri pasien



2. Risiko Infeksi b.d Prosedur Invasif



Setelah dilakukan 1. Klien bebas dari tanda dan asuhan keperawatan gejala infeksi selama 3x24 jam 2. Menunjukkan kemampuan diharapkan tidak untuk mencegah timbulnya ditemukan tandainfeksi tanda infeksi 3. Menunjukkan perilaku hidup sehat 4. TTV dalam batas yang normal 0 terutama suhu : 36-37 C 5. Hasil pemeriksaan lab leukosit dalam batas normal 400011000/mm³



Santagesik 1000 mg 1. Observasi Drain vakum penuh setiap 8 jam sekali 2. Observasi luka post pembedahan setiap hari 3. Perhatikan teknik isolasi dengan batasi pengunjung 4. Ganti iv line dengan teknik aseptik setiap 3 hari sekali



5. Jelaskan pada keluarga tentang penularan infeksi



6. Ajarkan pada keluarga dan pasien tentang cara cuci tangan dengan benar 7. Anjurkan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan pasien 8. Hasil kolaborasi dengan



1. Mengobservasi secara rutin agar tidak terjadi komplikasi 2. Jika obsevasi luka tidak pernah dikontrol dapat memicu bakteri Datang 3. Membatasi pengunjung dapat mencegah terjadinya infeksi pada Pasien 4. Menganti iv line sesuai dengan SOP dan teknik aseptic dapat mencegah terjadinya plebitis dan Infeksi 5. Penjelasan yang adekuat dapat membuat pengetahuan pasien dan dapat membuat pasien lebih kooperatif saat dilakukan tindakan keperawatan 6. Mencuci tangan dengan benar dapat mencegah infeksi silang 7. Kebersihan lingkungan dan pasien dapat mencegah terjadinya infeksi nosocomial 8. Antibiotik berguna untuk



3. Intoleran aktivitas b.d imobilitas



Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien dapat melakukan perawatan diri secara mandiri



dokter dalam pemberian obat membunuh bakteri gram positif antibiotik dan bakteri gram negative - Injeksi Ceftriaxone 50 mg 2x1 9. Kolaborasi dengan petugas lab 9. Leukosit yang terlalu tinggi atau untuk mengobservasi hasil rendah merupakan tanda infeksi leukosit Kebutuhan perawatan diri pasien 1. Observasi tingkat fungsional 1. Melalui tindakan ini perawat dapat dilakukan secara mandiri pasien dalam melakukan menentukan tindakan yang sesuai perawatan diri untuk memenuhi kebutuhan pasien 2. Bantu pasien sebagian atau 2. Untuk memenuhi kebutuhan sepenuhnya saat melakukan perawatan diri pasien dan perawatan diri; mandi dan meningkatkan perasaan mandiri berpakaian pasien 3. Ajarkan keluarga dalam 3. Keluarga berperan penting dalam memenuhi kebutuhan perawatan perawatan diri pasien untuk diri pasien; mandi dan mencegah komplikasi yang berpakaian diakibatkan oleh infeksi 4. Kolaborasi dengan keluarga 4. Untuk meningkatkan pengetahuan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga dalam perawatan diri perawatan diri anggota keluarga yang sakit



No. 1.



VIII. IMPLEMENTASI & EVALUASI Tanggal Masalah Waktu Implementasi Keperawatan - Membina hubungan saling percaya 1-12-2018 Nyeri Akut 07.15 b.d agens 07.30 - Mengobservasi tanda-tanda vital : 0 TD: 103/69 mmHg, S:36,2 C, cedera fisik (Post op N:84x/mnt, RR: 18x/mnt, SpO2 : 98% Trepanasi) dengan O2 nasal GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: composmentis - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri 07.45 setiap 3 jam sekali Pasien mengatakan skala nyeri: 4 08.00 Menjelaskan pada pasien sebab-sebab timbulnya nyeri - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam 08.15 setiap 3 jam sekali - Memberi terapi obat hasil kolaborasi 08.30 dengan dokter yaitu Santagesik 1000 mg 3x1 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri 10.45 setiap 3 jam sekali Pasien mengatakan skala nyeri: 3 - Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam 11.15 setiap 3 jam sekali - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali Risiko Infeksi 08.45 - Mengobservasi luka post pembedahan b.d Prosedur 09.00 setiap hari sekali Invasif - Memperhatikan teknik isolasi dengan 09.15 batasi pengunjung - Mengganti iv line dengan teknik aseptik 09.30



Paraf ƪ ƪ



ƪ



Waktu



Evaluasi



14.00 S: Pasien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri 3 dengan menggunakan VAS O : k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: composmentis A : Masalah teratasi Sebagian P : Intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3, 4 dan 6



Paraf ƪ



ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ



14.00



S : Pasien mengatakan sudah faham mengenai langkah-langkah cuci Tangan O: - Pada saat observasi luka tidak ditemukan tanda tanda infeksi



ƪ



Intoleran aktivitas b.d imobilitas



2



2-12-2018 Nyeri Akut b.d agens cedera fisik (Post op Trepanasi)



setiap 3 hari sekali 09.45 - Memberi edukasi pada keluarga tentang penularan infeksi 10.00 - Mengajarkan pada keluarga dan pasien tentang cara cuci tangan dengan benar 10.15 - Menganjurkan untuk menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan pasien 10.30 - Melakukan terapi obat hasil kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotic Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1 Mengkolaborasi dengan petugas lab untuk 11.00 mengobservasi hasil leukosit 11.30 - Mengbservasi tingkat fungsional pasien dalam melakukan perawatan diri 11.45 - Membantu pasien sebagian atau sepenuhnya saat melakukan perawatan diri; mandi dan berpakaian 12.00 - Mengajarkan keluarga dalam memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien; mandi dan berpakaian 12.45 - Mengkolaborasi dengan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri 08.00 - Mengobsevasi tanda-tanda vital : 0 TD: 120/70 mmHg, S:37 C, N:69x/mnt, RR: 20x/mnt, SpO2 : 98% k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: composmentis 08.15 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri setiap 3 jam sekali Pasien mengatakan skala nyeri 3



seperti bengkak, suhu badan panas, nyeri, dan kemerahan - Pasien tampak memperhatikan edukasi cuci tangan yang diberikan perawat 0 - S:36,2 C dalam batas normal - hasil leukosit 10.500 /mm³ dalam batas normal A : masalah teratasi Sebagian P : intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3, 9 dan 10



ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ



14.00



S : Keluarga pasien mengatakan Tn.A masih perlu bantuan makan, berpakaian, BAB dan BAK. O : Ketika px mandi, eliminasi dan mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh keluarga dan perawat. A : masalah teratasi Sebagian P : intervensi dilanjutkan nomor1, 2 dan 4



ƪ



14.00



S: - Pasien mengatakan nyeri berkurang dengan skala nyeri 2 dengan menggunakan VAS - Pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya Nyeri O:



ƪ



ƪ ƪ ƪ ƪ



ƪ



08.30 08.45 11.15 Risiko Infeksi b.d Prosedur Invasif



10.00 10.15 10.30 10.45



Intoleran aktivitas b.d imobilitas



- Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi tingkat nyeri setiap 3 jam sekali - Memberi terapi obat hasil kolaborasi dengan dokter yaitu Santagesik 1000mg 3x1 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri setiap 3 jam sekali Pasien mengatakan skala nyeri: 2 - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali - Memperhatikan teknik isolasi dengan batasi pengunjung - Melakukan terapi hasil kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotic Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1 - Mengkolaborasi dengan petugas lab untuk mengobservasi hasil leukosit



11.45 12.00 -



Mengobservasi tingkat fungsional pasien dalam melakukan perawatan diri Membantu pasien sebagian atau sepenuhnya saat melakukan perawatan



ƪ ƪ



ƪ ƪ ƪ ƪ ƪ



ƪ ƪ



- k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: Composmentis - ekspresi wajah pasien tampak Rileks A : masalah teratasi Sebagian P : intervensi dilanjutkan no 1, 2, 3 dan 6 14.00 S : Pasien mengatakan sudah faham mengenai langkah-langkah cuci Tangan O: - Pada saat observasi luka tidak ditemukan tanda tanda infeksi seperti bengkak, suhu badan panas, nyeri, dan kemerahan - terdapat drain vakum penuh dan produksi drain kurang lebih 40 cc (tidak dibuang) 0 - S:37 C, dalam batas normal - hasil leukosit 10.500 /mm³ dalam batas normal A : masalah teratasi Sebagian P : intervensi dilanjutkan no 1, 2, dan 10 14.00 S : Keluarga pasien mengatakan Tn.A masih perlu bantuan makan, berpakaian, BAB dan BAK. O : Ketika px mandi, eliminasi dan



ƪ



ƪ



diri; mandi dan berpakaian 12.15 - Mengkolaborasi dengan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri 3



3-12-2018 Nyeri Akut b.d agens cedera fisik (Post op Trepanasi)



08.00



08.30 09.00 11.30



Risiko Infeksi b.d Prosedur Invasif



10.00 10.15 11.00



- Mengobservasi tanda-tanda vital : 0 TD: 124/84 mmHg, S:36,4 C, N:70x/mnt, RR: 19x/mnt, SpO2 : 98% , k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran: composmentis - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri setiap 3 jam sekali pasien mengatakan skala nyeri 1 - Memberi terapi obat hasil kolaborasi dengan dokter yaitu Santagesik 1000 mg 3x1 - Mengobservasi dan mencatat tingkat nyeri setiap 3 jam sekali pasien mengatakan nyeri kepala post op pembedahan sudah hilang - Mengobservasi drain setiap 8 jam sekali - Mengobservasi luka post pembedahan setiap hari sekali - Melakukan terapi obat hasil kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antibiotic Injeksi Ceftriaxone 1000 mg 2x1



ƪ



ƪ



ƪ ƪ ƪ



ƪ ƪ ƪ



mobilitas di tempat tidur tampak dibantu oleh keluarga dan perawat. A : masalah teratasi Sebagian P : intervensi dilanjutkan nomor 1 14.00 S : - Pasien mengatakan nyeri kepala Hilang - Pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya Nyeri O: - k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran:composmentis - ekspresi wajah pasien tampak Rileks A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan



ƪ



14.00 S : Pasien mengatakan sudah faham mengenai langkah-langkah cuci Tangan O: - Pada saat observasi luka tidak ditemukan tanda tanda infeksi seperti bengkak, suhu badan panas, nyeri, dan kemerahan 0 - S:36,4 C, dalam batas normal - hasil leukosit 10.500 /mm³



ƪ



Intoleran aktivitas b.d imobilitas



11.45



- Mengbservasi tingkat fungsional pasien dalam melakukan perawatan diri



ƪ



14.00



dalam batas normal - terdapat drain vakum penuh dan produksi drain kurang lebih 40 cc (tidak dibuang) A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan S : Tn.A sekarang sudah bisa melakukan aktivias sendiri tanpa bantuan seperti makan, berpakaian, BAB dan BAK. O:A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan



ƪ



EVALUASI SUMATIF



No.



1



Waktu



Senin 3 Desember



Nyeri Akut b.d agens cedera fisik (Post op Trepanasi)



2018



2



Senin 3 Desember



Risiko Infeksi b.d Prosedur Invasif



2018



3



Senin 3 Desember 2018



Evaluasi sumatif



Diagnosa Keperawatan



Intoleran aktivitas b.d imobilitas



S: - Pasien mengatakan nyeri kepala hilang - Pasien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri O: - k/u: baik, GCS: 456, Akral: HKM, kesadaran:composmentis - ekspresi wajah pasien tampak rileks A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan S : Pasien mengatakan sudah faham mengenai langkah-langkah cuci tangan O: - Pada saat observasi luka tidak ditemukan tanda tanda infeksi seperti bengkak, suhu badan panas, nyeri, dan kemerahan 0 - S:36,4 C, dalam batas normal - hasil leukosit 10.500 /mm³ dalam batas normal - terdapat drain vakum penuh dan produksi drain kurang lebih 40 cc (tidak dibuang) A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan S : Tn.A sekarang sudah bisa melakukan aktivias sendiri tanpa bantuan seperti makan, berpakaian, BAB dan BAK. O:A : masalah teratasi P : intervensi dihentikan



BAB 4 PEMBAHASAN



4.1



Pengkajian



Klien seorang laki – laki berusia 48 tahun, beragama Islam, bertempat tinggal di Surabaya dan bekerja sebagai supir truck. Klien masuk IGD pada tanggal 29 November 2018, pada pkl 13:56 WIB dengan keadaan pingsan. Keluarga pasien mengatakan bahwa Tn.A mengalami kecelakaan kerja jatuh dari truck kurang lebih ketinggian 2 meter dan terdapat perdarahan hidung dan telinga. Selama di IGD didapatkan pemeriksaan tanda-tanda vital yaitu : TD: 110/72 mmHg, S: 36,50C, N : 76x/mnt, RR : 18x/mnt, SPO 2: 93% memakai alat bantu O2 Nasal, GCS:111, Akral HKM dan diberikan terapi Obat injeksi santagesik 1000 mg, ranitidine 50 mg, kalnex 5000 mg dan infus RL 14tpm. Dokter melakukan tindakan operasi trepanasi kepala cito jam 16.30 dan setalah post op Tn.A diobservasi di ruang ICU selama 1 hari. Hal ini sesuai dengan pernyataannya (Mansjoer, 2007) yang mengatakan Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Pada tanggal 30 November 2018 jam 19.00 Tn.A sadar dengan GCS 456 kemudian dipindahkan di ruang mutiara 2. Pada pengkajian sistem pernapasan penulis tidak menemukan masalah keperawatan yang terjadi pada klien. Pola napas klien normal, tidak ada sumbatan jalan napas, bentuk dada normo chest, tidak ada produksi sputum, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan tidak ada pernapasan cuping hidung. Pada pengkajian sistem kardiovaskuler penulis tidak menemukan masalah keperawatan yang terjadi pada klien. Ictus cordis normal, tidak ada nyeri dada, klien mengalami perdarahan pada telinga, tidak ada pembesaran getah bening, CRT < 2 detik, akral hangat kering merah, tidak ada odem, perkusi jantung pekak, bunyi jantung S1 S2 tunggal. Pada pengkajian sistem persarafan, penulis menemukan adanya masalah keperawatan yang terjadi pada klien. Penulis menemukan tidak adanya penurunan status kesadaran pada klien dimana nilai Glasgow Coma Scale klien 4 5 6 adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis. kondisi luka tertutup dan kasa kering, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum penuh sehingga dapat berisiko infeksi. Klien mengeluh nyeri pada luka jahitan rasanya seperti ditusuk benda tajam pada kepala bagian kiri, skala 5 dari 10 dan terjadi secara terus menerus (tiap waktu).



Pada pengkajian sistem perkemihan, penulis tidak menemukan masalah keperawatan karena dari hasil pengkajian klien tidak mengalami distensi kandung kemih, frekuensi urine MRS 1600 cc/hari, warna kuning jernih, klien tidak terpasang pampers. Pada pengkajian sistem pencernaan, penulis tidak menemukan masalah keperawatan karena hasil pengkajian mulut tampak bersih , membrane mukosa lembab, tidak ada gigi palsu, tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, diit nasi + lauk, nafsu makan klien normal, klien tidak terpasang NGT. Pada pengkajian sistem muskuluskeletal, penulis tidak menemukan masalah keperawatan karena hasil pengkajian kekuatan otot klien penuh, tidak ada fraktur, rentang gerak sendi bebas, turgor kulit elastis, dan warna kulit sawo matang. 4.2



Diagnosis Keperawatan Analisa data pada tinjauan pustaka hanya berisi teori, namun pada kenyataannya



dilapangan, analisa data diseseuaikan dengan keluhan-keluhan yang telah dialami klien. Kesenjangan yang didapatkan oleh penulis yaitu tentang diagnosis-diagnosis keperawatan yang tertuang di tinjauan pustaka tidak semunya di dapatkan dalam tinjauan kasus. Diagnosis keperawatan yang tertuang dalam tinjauan pustaka berjumlah delapan diagnosis keperawatan namun diagnosis keperawatan yang penulis temukan di tinjauan kasus berjumlah 2 diagnosis. Adapun diagnosis-diagnosis keperawatan yang tertuang dalam tinjauan pustaka adalah sebagai berikut: 1. Ketidakefektifan pola nafas 2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d trauma 3. Nyeri akut b.d agens cidera fisik 4. Hambatan mobilitas fisik b.d kekuatan otot 5. Intoleransi aktivitas 6. Sindrom pasca trauma 7. Defisiensi volume cairan 8. Resiko infeksi area pembedahan



Dari delapan diagnosis tersebut hanya tersebut, diagnosis yang muncul pada tinjauan kasus antara lain: 1. Nyeri akut b.d agens cidera fisik 2. Resiko infeksi area pembedahan 3. Intolerasnsi aktivitas Pada diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cidera fisik penulis menemukan pada pemeriksaan CT Scan terdapat EDH di temporal kiri disertai pneumatocele dengan fraktur di temporal kiri, Kesan fraktur di basis carnii dan dinding sphenoid kanan serta fraktut septum nasi, tampak pula hematosinus sphenoidalis, ethmoidalis, frontalis dan maxillaris kanan kiri, Edema cerebri, Mastoiditis kronis sisi kanan, Tidak tampak fraktur didaerah cervical, klasifikasi ligamentum nuchae (+), saat pengkajian klien mengeluh nyeri di kepala setelah dilakukan operasi trepanasi, pada pengkajian nyeri klien mengeluh pada luka jahitan operasi trepanasi terasa seperti ditusuk benda tajam dengan skala nyeri 5 dari 10, nyeri muncul secara terus menerus. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Brain Injury Assosiation of America cidera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Longlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pada diagnosis risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif penulis menemukan Adanya luka jahitan post op trepanasi di temporalis tertutup kasa kering kondisi luka tertutup, tidak terdapat rembesan, tidak berbau, dan terdapat drain vakum penuh. Pada pemeriksaan laboratorium adanya hasil pemeriksaan leukosit dengan nilai normal yaitu 3



10.500/ mm pada klien, hal ini merupakan salah satu tidak adanya menifestasi reaksi inflamasi didalam otak klien akibat adanya cedera dan adanya peningkatan metabolisme selsel otak. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Mansjoer: 2000) yang mengatakan bahwa salah satu tanda terjadinya reaksi inflamasi yaitu adanya nilai leukosit yang tinggi, yang merupakan manifestasi dari pertahanan tubuh seseorang. Selain itu tanda-tanda lain dari adanya reaksi inflamasi yaitu adanya tumor (bengkak), dolor, rubor (kemerahan), kalor (panas) dan fungsiolesa. 4.3



Perencanaan Setelah penulis menentukan diagnosis keperawatan yang sesuai dengan kondisi klien,



selanjutnya penulis merumuskan rencana tindakan untuk mengatasi masalah-masalah



keperawatan yang muncul pada klien. Dalam merumuskan perencanaan, penulis merumuskan tindakan-tindakan keperawatan berdasarkan diagnosis yang sesuai dengan kondisi klien, selain itu penulis mencantumkan tujuan dan kriteria hasil pada setiap diagnosis yang ada pada klien. Adapun fungsi dari penulisan tujuan dan kriteria hasil adalah untuk menilai berhasil atau tidaknya asuhan keperawatan yang penulis lakukan pada klien. Penulis memberikan asuhan kepada klien kurang lebih selama tiga hari terhitung mulai tanggal 1 desember 2018. Perencanaan keperawatan yang penulis susun untuk diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik antara lain : mengobservasi intensitas nyeri menggunakan skala nyeri setiap 8 jam sekali, membantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi setiap 8 jam sekali, menjelaskan pada pasien sebab-sebab timbulnya nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesic atau anti nyeri. Adapun perencanaan keperawatan untuk diagnosis risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif antara lain: mengobservasi drain vakum penuh setiap 8 jam sekali, melakukan rawat luka rutin satu kali dalam sehari, memperhatikan teknik isolasi dengan batasi pengunjung, mengganti iv line dengan teknik aseptik setiap 3 hari sekali. 4.4



Pelaksanaan



Pelaksanaan tindakan keperawatan adalah realisasi dari perencanaan yang telah penulis susun berdasarkan kondisi klien. Pelaksanaan tindakan keperawatan dilakukan secara terkoordinasi sesuai dengan rencana keperawatan yang telah penulis buat. Dalam pelaksanaan



tindakan



keperawatan



penulis



melakukan



pendelegasian



tindakan



keperawatan kepada sesama teman sejawat sesuai dengan shift, karena penulis tidak mungkin bisa mengikuti klien secara langsung selama 24 jam. Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, penulis mengadakan kerjasama dengan pihak perawat ruangan yang selalu memberikan arahan dan bimbingan. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik yang telah penulis lakukan diantaranya yaitu : mengobservasi intensitas nyeri menggunakan skala nyeri setiap 8 jam sekali, membantu dan ajarkan penanganan terhadap nyeri, mengajarkan teknik relaksasi dan distraksi setiap 8 jam sekali, menjelaskan pada pasien sebab-sebab timbulnya nyeri, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgesic atau anti nyeri, memberikan posisi head up 30



0



pada klien, hal ini dilakukan agar membantu



memperlancar aliran darah balik vena kepala sehingga dapat mengurangi tekanan intracranial. Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan untuk mengatasi diagnosis resiko



infeksi berhubungan dengan prosedur invasif yang penulis lakukan diantaranya yaitu : mengobservasi drain vakum penuh setiap 8 jam sekali, melakukan rawat luka rutin satu kali dalam sehari, memperhatikan teknik isolasi dengan batasi pengunjung, mengganti iv line dengan teknik aseptik setiap 3 hari sekali. Pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah penulis lakukan, semuanya disesuaikan dengan kondisi klien saat dirawat di ruangan. Dalam pelaksanaan tindakan keperawatan, penulis bekerja sama dengan teman sejawat dan perawat ruangan. 4.5



Evaluasi



Hasil evaluasi kasus berdasarkan masalah yang dihadapi klien, dua diagnosis keperawatan yaitu nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik dan resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, masalah dapat teratasi. Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk diagnosis nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik adalah sebagai berikut : pada hari pertama klien mengatakan skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 4 dalam rentang skala 0 – 10, GCS : 4 5 6, akral hangat kering merah, frekuensi tekanan darah 0



103/69 mmHg, Suhu 36 c , Nadi : 84x/menit, RR : 18x/menit. Pada hari kedua klien mengatakan skala nyeri berkurang dari 5 menjadi 3 dalam rentang skala (1-10), klien mengungkapkan perasaan nyaman berkurangnya nyeri, kondisi umum klien tampak baik, ekspresi wajah klien tampak rileks. Pada hari ketiga klien mengatakan nyeri pada bagian kepala hilang, wajah pasien tampak rileks. Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan untuk diagnosis resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif adalah sebagai berikut : pada hari pertama klien mengatakan sudah paham mengenai langkah – langkah cuci tangan, klien tampak memperhatikan edukasi cuci tangan yang diberikan perawat, ketika dilakukan rawat luka jahitan post op terlihat kondisi luka kering tidak terdapat pendarahan. Pada hari kedua luka bekas jahitan post op terlihat kondisi luka kering tidak terdapat perdarahan, jumlah drain 50cc. Pada hari ketiga luka tampak kering dan tidak terjadi infeksi seperti kemerahan dan bengkak.



BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN



5.1



Simpulan



Trauma Kepala atau cidera kepala adalah suatu kerusakan yang menimpa struktur kepala yang disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat menimbulkan gangguan fugsional jaringan otak. Gejala umum dari Trauma Kepala adalah penurunan kesadaran yang progresif, reflek babinski yang positif, kelumpuhan dan bila kesadaran pulih kembali biasanya menunjukkan adanya sindrom otak organik. Diagnosa keperawatan yang timbul pada Tn. A ini adalah nyeri akut b.d agens cedera fisik (Post Op trepanasi), risiko infeksi b.d prosedur invasif. Asuhan keperawatan yang diberikan selama perawatan yaitu mengobservasi tanda-tanda vital setiap 6 jam, memantau suhu setiap 3 jam, mempertahankan posisi kepala tetap netral (head up 300), memantau status neurologi tiap 6 jam sekali, membantu dan mengajarkan penanganan terhadap nyeri (teknik relaksasi dan distraksi), melakukan rawat luka rutin, mengganti iv line dengan teknik aseptic, menjelaskan pada keluarga tentang penularan infeksi.



5.2



Saran Dalam makalah ini tertuang informasi yang dapat digunakan sebagai kerangka



acuan dalam pelayanan kesehatan serta diharapkan pembaca dapat menerapkan secara nyata asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosea medis Trauma Kepala serta sebagai salah satu referensi dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan pemberian asuhan keperawatan.



DAFTAR PUSTAKA Doenges, E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta : EGC Effendy, Nasrul. 1995. Pengantar Proses Keperawatan. Jakarta : EGC Ginsberg, Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Alih Bahasa Indah R. Wardhani. Jakarta: Erlangga Herdman, Kamitsuru. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klarifikasi 2018-2020. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. (2008). Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Masnjoer, Arif, dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius Pahria, Tuti, dkk. 1996. Asuhan Keperawatan pada Paien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: EGC Price, Sylvia Anderson, dkk. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi IV,alih bahasa Peter Anugerah. Jakarta : EGC Riset



Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses tanggal 5 Desember 2018 darihttp://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas %20 2013.pdf.



Satyanegara, L. Djoko Listiano. 1998. Ilmu Bedah Saraf Edisi III. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Smeltzer, S. Suzanne, Bare, G.Brenda.2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Edisi VIII volume 3. Alih Bahasa Agung Waluyo. Jakarta : EGC