Askep Inkontenensia 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE POST PARTUM Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Maternitas II Dosen Pengampu: Nety Rustikayanti, S.Kep.,M.Kep



SGD N Disusun Oleh: Fitri Indriani Hana Nabiilah Ica Nur Agustina Lia Yuliana Marcella M.Jaenudin Yayah Badriah Yuliana Nurannisa



AK.1.18.064 AK.1.18.071 AK.1.18.076 AK.1.18.092 AK.1.18.098 AK.1.18.096 AK.1.18.204 AK.1.18.208



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA 2020 KATA PENGANTAR



Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Makalah Konsep Asuhan Keperawatan inkontinensia urine Post Partum ” Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah



“ Makalah Konsep Asuhan



Keperawatan inkontinensia urine Post Partum” ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.



Bandung, 14 Mei 2020



Penyusun



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR..............................................................................................



DAFTAR ISI............................................................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang................................................................................................... 1.2 Rumusan masalah.............................................................................................. 1.3 Tujuan penyusunan........................................................................................... BAB II TINJAUAN TEORI.................................................................................... 2.1Definisi inkontinensia urine ................................................................................. 2.2 Etiologi inkontinensia urine ................................................................................ 2.3 Klasifikasi inkontinensia urine............................................................................. 2.4 Patofisiologi inkontinensia urine ......................................................................... 2.5 Manifestasi inkontinensia urine .......................................................................... 2.6 Pemeriksaan penunjang inkontinensia urine ....................................................... 2.7 Komplikasi inkontinensia urine .......................................................................... 2.8 Penatalaksanaan inkontinensia urine ................................................................... BAB III ASUHAN KEPERAWATAN................................................................... A.Pengkajian.............................................................................................................. B.Diagnosa keperawatan............................................................................................ C.Intervensi keperawatan........................................................................................... BAB IV PENUTUP.................................................................................................. 4.1 Simpulan.............................................................................................................. 4.2 Saran..................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar belakang Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ibu yang melahirkan dengan cara normal yang dibantu, terutama menggunakan forcep, sering mengalami masalah buang air kecil setelah melahirkan. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa ibu yang memiliki tahap dorongan yang berkepanjangan saat melahirkan normal atau memiliki bayi dengan ukuran besar juga lebih cenderung mengalami inkontinensia urin setelah melahirkan. Inkontinensia urin dapat terjadi karena otot di sekitar kandung kemih dan panggul melemah saat kehamilan dan melahirkan. Akibatnya, buang air kecil sulit dikendalikan saat dikeluarkan atau dihentikan. Setelah melahirkan, ukuran rahim yang menyusut di minggu-minggu awal setelah melahirkan membuat otot dasar panggul kesulitan dalam membendung air di kandung kemih dan menjaga uretra agar tetap tertutup. Akibatnya, urin bisa bocor dan Anda tidak dapat mengendalikannya. Inkontinensia urin mungkin akan berlangsung dalam waktu yang bervariasi antar ibu setelah melahirkan. Ada ibu yang mengalami inkontinensia urin dalam waktu singkat dan ada juga yang lebih lama.



1.2 Rumusan masalah 1. Apa itu definisi inkontinensia urine? 2. Apa saja etiologi inkontinensia urine ? 3. Apa saja klasifikasi inkontinensia urine? 4. Bagaimana patofisiologi inkontinensia urine ? 5. Apa saja manifestasi inkontinensia urine? 6. Bagaimana pemeriksaan penunjang inkontinensia urine? 7. Bagaimana komplikasi inkontinensia urine? 8. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia urine? 9. Asuhan keperawatan inkontinensia urine post partum 1.3 Tujuan penyusunan 1. Untuk mengetahui Definisi inkontinensia urine 2. Untuk mengetahui Etiologi inkontinensia urine 3. Untuk mengetahui Klasifikasi inkontinensia urine 4. Untuk mengetahui Patofisiologi inkontinensia urine 5. Untuk mengetahui Manifestasi inkontinensia urine 6. Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang inkontinensia urine



7. Untuk mengetahui Komplikasi inkontinensia urine 8. Untuk mengetahui Penatalaksanaan inkontinensia urine 9. Untuk mengetahui Asuhan keperawatan inkontinensia urine post partum



BAB II TINJAUAN TEORI



2.1 Definisi inkontinensia urine Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam merupakan salah satu keluhan uama paa pendderita lanju usua. Inkontinensia urine adalah pengeluaran tanpa disadari dalam jumalah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urine meliputi keluarnya hanya beberapa tetes urine saja, samapai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga diserta inkontinensia alvi ( disertai pengeluaran feses) . (brunner 2011). Inkontinensia Urine (UI) merupakan keluhan subjektif individu terhadap masalah kebocoran (leakage) urine. Pendapat lain mengatakan UI sebagai ketidak mampuan menahan berkemih yang memberikan dampak gangguan kebersihan dan hubungan social individu” (NIH, 1988). Kondisi ini menyebabkan masalah ketidaknyamanan dan distress pada individu. Pada umunya UI diketahui sebagai masalah berkemih pada lansia, namun sebenarnya masalah ini tidak hanya terbatas pada lansia saja. Masalah UI juga terdapat pada anak, remaja, dan orang dewasa tergantung pada etiologi yang menjadi penyebab. Bradway dan Hernly (1988) mengatakan prevalensi enuresis nocturnal pada anak usia 7 tahun sebesar 10% dan 28% atlet wanita mengalami UI saat melakukan aktivitas olahraganya. Data lain menunjukkan bahawa UI paling sering dialami oleh usia pertengahan (middle aged) dan lansia, peningkatan jumlah UI pada dewasa muda sebesar 10-20% sedang pada dewasa lanjut sebesar 20-30%. Peningkatan prevalensi terbesar adalah pada lansia yaitu antara 30-50% (Chan dan Wong, 1999). UI merupakan masalah yang memberikan efek secara langsung pada pasien keluarga. Implikasi lain yang dapat dialami individu adalah masalah kesehatan, hubungan sosial, dan masalah pembiayaan. Menurut Barry dan Weiss (1998), diperkirakan biaya untuk mengatasi masalah inkontinensia lebih dari 1,5 juta dolar pertahun. Implikasi lain adalah peningkatan risiko luka dekubitus yang umumnya terjadi pada pasien lansia atau pasien tirah baring. Masalah yang lebih kompleks adalah adanya gangguan hubungan sosial seperti harga diri rendah, aktivitas seksual, isolasi sosial dan depresi (Barry and Weiss, 1998).



2.2 Etiologi inkontinensia urine Penyebab inkontinensi urine ada beberapa macam berdasarkan jenisnya. Dalam Mark et al (2006). Etiologi inkontinensi urine yakni : a. Inkontinensia dorongan. Pengeluaran urin involunter yang disebabakan oleh dorongan dan keinginan mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara involunter. Penyebab gangguan neurologic serta infeksi saluran kemih. b. Inkontinensia tekanan Pengeluran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa atau peningkatan tekanan intra abdomen lainya. Penyebabnya sering karena kelemahan dasar panggul dan kurangnya dukungan unit sfingter vesikouretra. Penyebab lainya adalah kelemahan sfingter uretra intrinsic seperti akibat mielomeningokel, epispadia, prostatektomi, trauma, radiasi, atau lesi medulla spinalis bafian sacral. c. Inkontinensia aliran berlebihan Pengeluaran urin involunter akibat distensi kandung kemih yang berlebihan. Bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa inkontinensia dorongan atau tekanan. Dapat disertai dengan kandung kemih, obat-obatan, impaksi feses, nefropati diabetic, atau defisiensi vitamin B12. d. Inkotinensia fungsional Imobilitas, deficit kognitif, paraplegia, atau daya kembang kandung kemih yang buruk.      



Kelainan



klinik



yang



erat



hubungannya



inkontinensia urine antara lain : a.   Kelainan traktus urinearius bagian bawah



dengan



gejala



Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang berlebihan, defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi prostat. b.   Usia Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. c.   Kelainan neurologis Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson, multipel sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal, trauma, multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes neuropati, trauma saraf). d.  Kelainan sistemik Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. e.   Kondisi fungsional Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan



penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran



kemih



(uretra),



sehingga



menyebabkan



terjadinya



inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. 2.3 Klasifikasi inkontinensia urine 1. Stress Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar yang disebabkam oleh peningkatan tekanan intra abdominal oleh suatu aktivitas seperti batuk, bersin, tertawa atau aktivitas lain yang dapat meningkatkan tekanan intra abdominal (Thomas, 2001) 2. Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar, disertai oleh keinginan berkemih yang kuat. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang prematur, utamanya pada kondisi instabilitas detrusor. Instabilitas detrusor pada umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, meskipun demikian Urge Incontinence dapat terjadi pada invidu yang tidak mengalami gangguan neurologi. urge incontinence merupakan akibat dari adanya kontraksi prematur pada kandung kemih karena adanya inflamasi atau iritasi dalam bladder. Inflammasi atau iritasi ini dapat disebabkan oleh adanya batu, malignansi dan infeksi. Urge incontinence umumnya terjadi pada lansia (Thomas, 2001). 3. Mixed Incontinence merupakan inkontinensia campuran antara stress dan urge inkontinensia, biasanya terjadi pada wanita tua (Thomas, 2001). 4. Overflow Incontinence adalah pengeluaran urin yang tidak disadari sebagai akibat dari overdistensi bladder dan pengosongan bladder yang



tidak sempurna (Hay-Smith et al. 2002). Tanda gejala yang dikeluhakan klien bermacam-macam urin yang menetes kadangkadang atau terus menerus, dapat juga disertai tanda gejala stress atau urge incontinence. Overflow disebabkan oleh detrusor yang tidak aktif atau tidak berkontraksi, atau sumbatan pada uretra. Tidak aktifnya detrusor juga dapat disebabkan oleh efek samping obat, diabetic neurophaty, injuri spinal segment bawah, operasi radikal pelvis yang menyebabkan terputusnya inervasi motorik otot detrusor, idiopati. Pada lakilaki biasanya terjadi pada klien yang mengalami pembesaran prostat (Doughty, 2006). 5. Transient Incontinence transient incontinence biasa disebut sebagai acute incontinence, sebenarnya dua terminologi ini berbeda acute incontinence merupakan suatu kondisi dimana klien baru mengeluhkan adanya inkontinensia, kondisi ini dapat berkembang menjadi kronik bila klien tidak mengalami perbaikan kondisi secara medis seprti pada klien stroke yang tidak menglami kemajuan rehabilitasi. Sedangkan transient atau reversible incontinence merupakan kondisi dimana gangguan masih mungkin dapat diatasi seperti pada klien yang mengalami efek samping dari ACE inhibitor mengalami keluhan adanya kebocoran urin saat batuk atau tertawa (Doughty, 2006). Secara umum Transient incontinence disebabkan oleh suatu kondisi atau gangguan kesehatan. 6. Functional Incontinence adalah inkontinensia yang disebabkan oleh ketidakmampuan individu untuk mencapai atau menggunakan fasilitas toileting secara benar, kondisi ini dapat disebabkan oleh gangguan mobilitas dan atau gangguan fungsi kognitif klien (Doughty, 2006). Klien yang mengalami inkontinensia jenis ini dapat pula mengalami inkontinensia tipe lain secara bersamaan (Fantl et al, 1996).



2.4 Patofisiologi inkontinensia urine



Perubahan struktur kandung kemih (degenerative)



Perubahan Neurologik



Perubahan otot urinari



Gangguan kontrol berkemih Defisiensi tahanan urethra



Tekanan dalam Kandung kemih



Inkontinensia Urin Status kesehatan berubah



ansietas



Inkontinensia Stress Inkontinensia Urgensi Tekanan kandung kemih > tekanan urethra



Otot detrusor tidak stabil



Tekanan pada rongga perut



Reaksi otot berlebihan



Kencing mendadak



Inkontinensia Urinarius Dorongan



Kencing di malamhari



Gangguan Pola Tidur



Kencingberulang kali



batuk



bersin



Kandung kemih bocor



tertawa Rembesan urin Mengenai area genitalia



Resiko kerusakan integritas kulit



mengedan



Inkontinensia total Inkontinensia



Diabetes, cedera sumsum tl. Belakang, saluran kencing tersumbat



Adanya fistula



Vistula vesiko vaginalis atau vistula uretrovaginalis Gangguan saraf Vistula vesiko vaginalis atau vistula uretrovaginalis Otot detrusor lemah



Inkontinensia Urinarius Total



Bedrest



Immobilitas



Isolasi Sosial



Risiko Infeksi



Urin di kandung kemih



Kapasitas urin di kandung kemih berlebih



Defisit Perawatan Diri



Tidak puas setelah BAK



Urinygkeluars edikit



Gangguan Rasa Nyaman



BAK sepanjang waktu dan di seluruh posisi



Pancaran lemah



Inkontinensia Urinarius Aliran Berlebih



2.5 Manifestasi inkontinensia urine Gejala yang terjadi pada inkontinensia urine antara lain :



1. Sering berkemih: merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal bila di bandingkan denga pola yang lazim di miliki seseorang atau lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap 3-6 jam sekali. 2. Frekuensi: berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam waktu 24 jam. 3. Nokturia: malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih. 4. Urgensi yaitu keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum terisi penuh seperti keadaan normal. 5. Urge inkontinensia yaitu dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine telah keluar lebih dulu. Orang dengan inkontinensia urine mengalami kontraksi yang tak teratur pada kandung kemih selama fase pengisian dalam siklus miksi. Urge inkontinensia merupakan gejala akhir pada inkontinensia urine. Jumlah urine yang keluar pada inkontinensia urine biasanya lebih banyak daripada kapasitas kandung kemih yang menyebabkan kandung kemih berkontraksi untuk mengeluarkan urine. Pasien dengan inkontinensia urine pada mulanya kontraksi otot detrusor sejalan dengan kuatnya keinginan untuk berkemih, akan tetapi pada beberapa pasien mereka menyadari kontraksi detrusor ini secara volunter berusaha membantu sfingter untuk menahan urine keluar serta menghambat kontraksi otot detrusor, sehingga keluhan yang menonjol hanya urgensi dan frekuansi yaitu lebih kurang 80 %. Nokturia hampir ditemukan 70 % pada kasus inkontinensia urine dan simptom nokturia sangat erat hubungannya dengan nokturnal enuresis. Keluhan urge inkontinensia ditemukan hanya pada sepertiga kasus inkontinensia urine. 2.6 Pemeriksaan penunjang inkontinensia urine



a. Tes diagnostik pada inkontinensia urine 1) Kultur urin : untuk menyingkirkan infeksi. 2) IVU : untuk menilai saluran bagian atas dan obstruksi atau fistula. 3) Urodinamik: 



Uroflowmetri : mengukur kecepatan aliran.







Sistrometri : menggambarkan kontraksi detrusor.







Sistometri video: menunjukkan kebocoran urin saat mengejan pada pasien dengan inkontinensia stres.







Flowmetri tekanan udara : mengukur tekanan uretra dan kandung kemih saat istirahat dan selama berkemih.



4) Urinalisis Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine. 5) Uroflowmeter Digunakan untuk mengevaluasi



pola berkemih



dan



menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. 6) Cysometry Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas. 7) Urografi Ekskretorik Urografi ekskretorik bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih. 8) Kateterisasi Residu Pascakemih Digunakan



untuk



menentukan



luasnya



pengosongan



kandung kemih dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih. 9) Laboratorium



Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. Menurut National Women’s Health Report, diagnosis dan terapi inkontinensia urine dapat ditegakkan oleh sejumlah pemberi pelayanan kesehatan, termasuk dokter pada pelayanan primer, perawat, geriatris, gerontologis, urologis, ginekologis,



pedriatris,



neurologis,



fisioterapis,



perawat



kontinensia, dan psikolog. Pemberi pelayanan primer dapat mendiagnosis inkontinensia urine dengan pemeriksaan riwayat medis yang lengkap dan menggunakan tabel penilaian gejala. Tes yang biasanya dilakukan adalah urinealisa (tes urine untuk menetukan apakah gejalanya disebabkan oleh inkontinensia urine, atau masalah lain, seperti infeksi saluran kemih atau batu kandung kemih). Bila urinealisa normal, seorang pemberi pelayanan primer dapat menentukan untuk mengobati pasien atau merujuknya untuk pemeriksaan gejala lebih lanjut. Pada beberapa pasien, pemeriksaan fisik yang terfokus pada saluran kemih bagian bawah, termasuk penilaian neurologis pada tungkai dan perineum, juga diperlukan. Sebagai tambahan, pasien dapat diminta untuk mengisi buku harian kandung kemih (catan tertulis intake cairan, jumlah dan seringnya buang air kecil, dan sensasi urgensi) selama beberapa hari untuk mendapatkan data mengenai gejala. Bila setelah langkah tadi diagnosis definitif masih belum dapat ditegakkan, pasien dapat dirujuk ke spesialis untuk penilaian urodinamis.



Tes



ini



akan



memberikan



data



mengenai



tekanan/volume dan hubungan tekanan/aliran di dalam kandung kemih. Pengukuran tekanan detrusor selama sistometri digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis overaktifitas detrusor. 2.7 Komplikasi inkontinensia urine a.



Ruam kulit atau iritasi Diantara komplikasi yang paling jelas dan manifestasi kita menemukan masalah dengan kulit, karena mereka yang menderita



masalah



ini



terkait



kandung



kemih,



memiliki



kemungkinan



mengembangkan luka, ruam atau semacam infeksi kulit, karena fakta bahwa kulit mereka overexposed cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit atau iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus berhubungan dengan urin akan iritasi, sakit dan dapat memecah. b. Infeksi saluran kemih Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang. c. Prolapse Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat terjadi pada wanita. Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung kemih, dan dalam beberapa kasus uretra, drop-down ke pintu masuk vagina. Lemahnya otot dasar panggul sering menyebabkan masalah. Prolaps biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan operasi. d. Perubahan dalam kegiatan sehari-hari Inkontinensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas normal. Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti menghadiri pertemuan social. Salah satu jenis tersebut adalah inkontinensia stres. Hal ini terjadi ketika otot-otot dasar panggul mengalami kelemahan dari beberapa macam, dan tidak lagi mampu menjaga uretra tertutup. Karena itu, membuat gerakan tiba-tiba seperti batuk atau tertawa dapat menyebabkan kebocoran urin. Penyebab melemahnya otot dasar panggul bisa berbeda dan disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya untuk kehamilan dan persalinan (strain dan otot terlalu melar), menopause (kurangnya estrogen melemahkan otot), penghapusan rahim (yang kadang-kadang dapat merusak otot), usia, obesitas. e. Perubahan dalam kehidupan pribadi pasien. Inkontinensia dapat memiliki dampak pada kehidupan pribadi pasien. Keluarga pasien mungkin tidak memahami perilaku pasien. Pasien dapat menghindari keintiman seksual karena malu yang disebabkan oleh kebocoran urin. Ini tidak jarang mengalami kecemasan dan depresi bersama dengan inkontinensia (Mayo,2012)



f. Komplikasi terapi bedah Inkontinensia stres terutama terdiri dari pembentukan sisa urine segera dalam fase pascabedah. Biasanya masalah ini bersifat sementara dan dapat diatasi dengan kateterisasi intermiten, dengan karakter yang ditinggalkan atau lebih baik dengan drainase kandung kemih suprapubik. Hal ini memungkinkan pencarian pembentukan sisa urine tanpa kateterisasi. Komplikasi lain biasanya berasal dari indikasi yang salah. Perforasi kandung kemih dengan kebocoran urine, infeksi saluran kemih yang berkepanjangan dan osteitis pubis pada operasi Marshall-Marchetti-Krantz merupakan komplikasi yang jarang terjadi. (Andrianto,1991) 2.8 Penatalaksanaan inkontinensia urine a. Membuat jadwal buang air kecil Yang sering perempuan alami setelah melahirkan, yaitu sulitnya menahan buang air kecil dan terjadi hingga sulit dikontrol. Faktornya ialah mengalami luka pada vagina dalam proses persalinan normal sehingga membuat perempuan tidak bisa menahan keluarnya air kemih saat beraktivitas. Sulit menahan buang air kecil ini disebut sebagai Stress Urinary Incontinence (SUI). Kondisi tersebut terjadi karena melemahnya pada otot dasar panggul. Cara mengatasinya adalah perlu membuat jadwal yang efektif untuk mengurangi risiko urine keluar jika mengetahui jarak waktu keinginan untuk buang air kecil dalam sehari.Contoh setiap 1-2 jam perlu ke tolit untuk buang air kecil.



b.



Mengurangi berat badan Biasanya perempuan yang mengalami inkontinensia urine terjadi setelah melahirkan selama tiga bulan  dan akan hilang dengan sendirinya. Tapi ada juga yang mengalaminya sampai sembilan bulan. Untuk mengatasinya maka mulailah untuk menjaga berat badan agar dapat mengatasi beser setelah melahirkan. Pasalnya seseorang yang kelebihan berat badan atau obesitas setelah persalinan jadi lebih berisiko mengalami inkontinensia urine.



c.



Stres inkontinensia biasanya terjadi akibat lemahnya otot yang digunakan untuk mencegah buang air kecil, seperti otot dasar panggul dan urethral sphincter. Sementara inkontinensia urine ini bisa disebabkan aktivitas berlebih pada otot detrusor yang mengontrol kandung kemih. Solusi lainnya adalah menggunakan popok atau pantyliner untuk menyerap cairan urine yang keluar, sehingga mampu melindungi celana Mama dari kebasahan yang terus menerus. Tapi untuk mencegah tumbuhnya jamur di area kemaluan, maka harus sering menggantinya secara berkala



d.



Melakukan senam kegel Mengalami inkontinensia urine bukan berarti kondisi ini tidak bisa disembuhkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah latihan senam kegel. Tujuan dari senam kegel ialah untuk menguatkan otot panggul dasar dan meningkatkan kekuatan elastisitas otot sekitar kandung kemih. Dengan begitu dapat mencegah dari pipis yang keluar secara tiba-tiba. Caranya yakni berbaring dengan keadaan lutut ditekuk dengan kaki terbuka hingga hitungan ke-10, lalu lepaskan atau bisa juga dengan gerakan lain. Lakukan latihan ini selama 4-6 minggu untuk mengatasi beser seusai melahirkan.



e.



Terapkan hidup sehat Sesudah persalinan normal biasanya membuat otot dasar panggul menjadi lemah, karena otot-otot telah bekerja keras saat mendorong bayi keluar. Apabila otot dasar panggul itu melemah, maka akan jadi kesulitan menahan diri untuk buang air kecil. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menerapkan gaya hidup sehat dengan tidak mengonsumsi kafein yang dapat mengakibatkan iritasi pada kandung kemih dan membuatnya sering berkontraksi.Menurunkan berat badan pada obesitas. Mengurangi asupan kafein dapat memperbaiki gejala



frekuensi dan urgensi tetapi tidak memperbaiki IU. Berhenti merokok. Kuat 4 Penilaian jenis dan jumlah asupan cairan untuk pasien IU. f.



Terapi fisik  Latihan otot dasar panggul, merupakan terapi konservatif lini pertama IU desakan, tekanan, atau campuran dan pada wanita tiga bulan pascamelahirkan dengan gejala IU yang menetap.  Latihan



otot



perempuan



dasar



pasca



panggul



melahirkan



dapat dan



direkomendasikan usia



lanjut.



untuk



Penggunaan



biofeedback pada pasien dengan UI.  Tekanan (stress urinary incontinence) memberikan hasil yang lebih baik pada pasien yang mendapatkan latihan otot dasar panggul.  Latihan dengan menggunakan vaginal cones dapat dikombinasikan dengan latihan otot dasar panggul untuk IU tekanan.  Stimulasi elektrik dengan elktroda permukaan (kulit, vagina, anus) tidak dianjurkan sebagai pengobatan tunggal pada IU desakan.  Stimulasi elektromagnetik telah diusulkan untuk pengobatan IU, namun bukti ilmiah untuk efek jangka pendek maupun panjang adalah lemah.  Latihan kandung kemih, merupakan terapi lini pertama untuk IU desakan dan campuran.  Pengaturan jadwal berkemih untuk pasien dengan gangguan kognitif.  Bila memungkinkan, tawarkan percutaneous posterior tibial nerve stimulation untuk IU desakan bila obat-obatan antimuskarinik tidak membuahkan hasil.  Untuk IU Campuran, tangani gejala yang paling mengganggu terlebih dahulu.



 Pelatihan otot dasar panggul kurang efektif untuk terapi jenis IU campuran dibandingkan dengan IU tekanan.  Stimulasi elektrik memilki efektifitas yang sama untuk terapi IU campuran dan IU tekanan. g. Terapi medikamentosa meliputi: 1. Antimuskarinik Antimuskarinik adalah pengobatan utama untuk IU desakan. Antimuskarinik bekerja dengan menghambat reseptor muskarinik pada otot detrusor kandung kemih. Efek samping yang umum adalah mulut kering, konstipasi, pengelihatan kabur, dan gangguan kognitif.Antimuskarinik yang saat ini beredar di Indonesia, antara lain: a. Solifenacin



(sediaan



5



mg



dan



10



mg)



Dosis



yang



direkomendasikan adalah 1 x 5 mg, dapat dinaikan menjadi 1 x 10 mg. b. Solifenacin



(sediaan



5



mg



dan



10



mg)



Dosis



yang



4



mg)



Dosis



yang



direkomendasikan adalah 2 x 15 mg. c. Tolterodine



(sediaan



2



mg



dan



direkomendasikan adalah 2 x 2 mg, atau dapat diberikan 1 x 4 mg. d. Fesoterodine



(sediaan



4



mg



dan



8



mg)



Dosis



yang



direkomendasikan adalah 1 x 4 mg, dapat dinaikan menjadi 1 x 8 mg. e. Imidafenacin (sediaan 0,1 mg) Dosis yang direkomendasikan adalah 2 x 0,1 mg. 2.



B3-Agonis a. Mirabegron (sediaan 25 mg dan 50 mg)



b. Mirabegron bekerja dengan menstimulasi reseptor beta3 di otot polos detrusor kandung kemih sehingga menimbulkan relaksasi dari otot tersebut. c. Dosis yang direkomendasikan adalah 1 x 50 mg. 3.



Desmopressin



a. Desmopressin (sediaan 0,1 mg dan 0,2 mg) b. Desmopressin



merupakan



analog



vassopresin



(hormon



antidiuretik), yang bekerja mengurangi jumlah air yang keluar pada urin. c. Dosis yang direkomendasikan adalah 2 x 0,1 mg, dapat ditingkatkan menjadi 2 x 0,2 mg. 4.



Duloxetine a. Duloxetine bekerja dengan menghambat re-uptake serotonin (5HT) dan norepinefrin, yang mengakibatkan peningkatan tonus dan kekuatan kontraksi spinkter uretra eksterna. b. Dosis yang direkomendasikan adalah 2 x 30 mg pada perempuan dengan IU tekanan. c. Efikasi pemberian duloxetine pada IU tekanan adalah rendah serta dapat memberikan efek samping yang signifikan, seperti mual, muntah, mulut kering, konstipasi, sakit kepala, insomnia, somnolen dan kelelahan.



BAB III ASUHAN KEPERAWATAN Kasus: Seorang perempuan P3A0 usia 35 tahun datang ke klinik dengan keluhan inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya. Klien mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat mengangkat benda. Hasil pengkajian klien 1 minggu post partum, TFU tidak teraba, terdapat rupture perineum, dengan BB bayinya 3700 gram. Klien mengatakan proses persalinannya berjalan lama dan klien kelelahan dalam mengedan sehingga dilakukan persalinan bantuan menggunakan forceps. Riwayat persalinan sebelumnya normal pervaginam. Hasil pengkajian tidak terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast, namun masih terdapat nyeri pada luka perineum. Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat leukosit pada urine. Perawat menyarankan klien untuk melakukan kegel exercise. A. Pengkajian I. Identitas umum Nama



: Ny. N



Umur



: 35 tahun



Agama



: Islam



Pendidikan



:-



Pekerjaan



:-



Suku/Bangsa



:-



No. Medrec



:-



Diagnosa Medis



: Inkontinensia urine



Tanggal Pengkajian



:-



Golongan darah



:-



Alamat



:-



II. Asalan masuk rumah sakit III.Keluhan utama keluhan inkontinensia urin, merasa cemas dan malu dengan kondisinya. Klien mengatakan urine keluar pada saat klien batuk atau bersin, dan saat mengangkat benda. IV. Riwayat kesehatan 1) Riwayat kesehatan sekarang 2) Riwayat kesehatan dahulu 3) Riwayat kesehatan keluarga V. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia. 2) Pemeriksaan Sistem a) B1 (breathing) Tidak ada gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, tidak ada kelainan pada perkusi. b) B2 (blood)



Klien merasa bingung dan gelisah c) B3 (brain) Klien tampak sadar penuh d)  B4 (bladder) 



Inspeksi: Pembesaran



daerah supra pubik lesi pada meatus



uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari tanda resiko infeksi. 



Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.



e) B5 (bowel) Klien mengeluh adanya nyeri tekan abdomen f) B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot nyeri bagian otot pinggul setelah proses melahirkan VI. No 1.



Analisa data



Ds:



Data



Penyebab Melahirkan



Masalah Gangguan



Klien mengatakan urine



pervaginam



eliminasi urin



keluar pada saat klien







batuk atau bersin, dan



Persalinan lama dan



saat mengangkat benda.



kelelahan mengedan



Do: Inkontinensia urine



 Kelemahan otot panggul dan sfigter uretra  Urine keluar saat intra abdomen tertekan



2.



Ds: Klien merasa cemas dan







malu dengan kondisinya.



Perubahan fungsi



Do: Respon nonverbal terhadap berubahan actual pada tubuh 3.



Malu



pervaginam Persalinan lama dan



dalam mengedan



kelelahan mengedan



sehingga dilakukan







persalinan bantuan



Menggunakan forceps



terdapat disuria dan nyeri tekan ataupun distensi blast, namun masih terdapat nyeri pada luka perineum. Ds: Klien mengatakan proses persalinan lama dan menggunakan bantuan forceps



 Adanya luka perineum  Kerusakan jaringan sfinger  Nyeri Adanya luka perineum  Kerusakan jaringan sekitar 



Do: Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat



Nyeri







lama dan klien kelelahan



Hasil pengkajian tidak



tubuh







Klien mengatakan proses



Do:



citra



Abnormal



Melahirkan



menggunakan forceps.



Gangguan







Ds: persalinannya berjalan



4.



Inkontensia urine



Resiko infeksi



Resiko infeksi



leukosit pada urine



VII.



Pemeriksaan penunjang a. Labolatorium Hasil pemeriksaan urinalisis tidak terdapat leukosit pada urine



B. Diagnosa keperawatan 1. Gangguan eliminasi urin b/d gangguan sensori motor 2. Gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh 3.



Nyeri b/d proses pasca persalinan



4. Resiko infeksi b/d luka perineum



C. Intervensi keperawatan No



Tujuan



dx 1.



Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan



selama



Intervensi



2x24



jam



penilaian



komprehensif



kemih



berfokus



yang pada



diharapkan gangguan eliminasi urine



inkontinensia(misalnya, output urin,



pada pasien dapat diatasi dengan



pola berkemih, fungsikognitif)



kriteria hasil: penuh. cc. normal.



selama



2x24



jam



diharapkan gangguan body image



4. Memantau tingkat distensi kandung



pada pasien dapat diatasi dengan kriteria hasil: Body image positif



2.



Mampu



mengidentifikasi



kekuatan personal



distensi



dikaji



agar



kandung kemih terpantau



kesulitan mengendalikan berkemih



respon klien terhadap tubuhnya pengobatan



dan



perawatan penyakit pemakaian alat bantu. 4. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok lain



1. Mengetahui respon secara verbal dan



3. identifikasi arti pengurangan melalui



1.



dapat memicu mengendalian otot



6. Untuk mempermudah klien apabila



1. kaji secara verbal dan non verbal tentang



output urin dan pola berkemih



5. Melatih berkemih secara berkala



5. Bantu dengan toilet secara berkala



2. jelaskan



yang



komprehensif untuk menegtahui



4. Tingkat



6.  Kateterisasi



4. Balance cairan seimbang. Setelah dilakukan tindakan asuhan



kemih



3. Memastikan balance cairan tubuh



kemih dengan palpasi atau perkusi



3. Intake cairan dalam rentang



keperawatan



antikolinergik 3. Memantau intake dan output



2. Tidak ada residu urine >100-200



1. Penilaian



2. Penggunaan obat antikolinergik



2. Pantau penggunaan obat dengan sifat



1. Kandung kemih kosong secara



2.



1. Lakukan



Rasinonal



nonverbal



terkait



dengan



kondisi tubuhnya saat ini 2. Agar klien memahami pengobatan dan perawatan penyakitnya 3. Alat bantu dapat membantu klien dalam mengurangi body image 4. Interaksi



harus



tetap



berjalan



3.



Mendeskripsikan secara factual



dengan yang lain



perubahan fungsi tubuh 4. 3.



Mempertahankan



interaksi



sosial Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Ajarkan klien tekhnik relaksasi nafas keperawatan



selama



2x24



jam



dalam.



1. Relaksasi



nafas dalam dapat



mengrangi skala nyeri, cara ini



diharapkan nyeri pada pasien dapat 2.   Beri kompreshangat pada bagian yang



dipakai apabila skala nyeri awal



diatasi dengan kriteria hasil:



dibawah 6.



nyeri.



1. Klien sudah tidak mengalami 3.    Kolaborasi dalam pemberian analgesik gelisah



Ketorolax 2x 0,5mg/kg/BB



2. Klien dapat beraktivitas kembali seperti biasanya.



2. Kompres



hangat



dapat



memvasodilatasi pemuluh darah sehingga



rasa



nyeri



dapat



berkurang



3. nyeri hilang atau berkurang.



3. Analgetik dapat menurunkan rasa nyeri



4.



Setelah dilakukan tindakan asuhan 1. Bantu pasien membersihkan perineum. keperawatan diharapkan



selama resiko



2x24 infeksi



jam 2. Jaga agar area perineum tetap kering.



untuk mencegah perkembangan



pada 3. Bersihkan area perineum secara teratur.



mikroorganisme penyebab agen



pasien dapat diatasi dengan kriteria 4. Berikan posisi nyaman hasil: Tidak terjadi infeksi



1. Membersihkan area luka perineum



infeksi 2. Daerah yang lembab memudahkan mikroorganisme



untuk



berkembang 3. Area perineum yang dibersihkan



secara teratur dapat mencegah terjadinya infeksi 4. Posisi nyaman memberikan rasa aman dan nyaman pada klien



BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan Masalah umum yang sering menjumpai dalam Postpartum adalah inkontinensia urine, jenis pada kasus adalah inkontinensia stress. inkontinensia stres, yaitu kondisi keluarnya urine saat kandung kemih berada dalam tekanan seperti saat batuk, bersin, atau tertawa , ini adalah gangguan involunter. Jadi dalam kasus ibu mengalami inkontinensia urine stress dimana urine keluar saat aktivitas, bersin atau batuk karena ada peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba tiba. Etologi nya karena Melahirkan pervaginam kemudian menjalani persalinan bejalan lama dan kelelahan mengedan sehingga mengalami kelemahan otot dasar panggul dan sfigter uretra menyebabkan tanda tanda urine keluar saat intra abdomen tertekan saat ada aktivitas bersin atau batuk. Selain karena kelemahan otot dasar panggul penyebab inkontinensia urine pada kasus disebabkan oleh penggunaan forceps yang kemudian menimbulkan luka perineum sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Diagnosa keperawatan yang ada dalam kasus diantaranya adalah gangguan eliminasi urin b/d gangguan sensori motor, gangguan citra tubuh b/d kehilangan fungsi tubuh, nyeri b/d proses pasca persalinan, dan resiko infeksi b/d luka perineum. 4.2 Saran 1. Pasien lebih kooperatif, selalu memperhatikan serta tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari petunjuk dokter/perawat. Bila di rumah harus dapat melakukan perawatan diri dan bertambah pengetahuan tentang inkontinensia urine. 2. Perawat sebagai tim kesehatan yang paling sering berhubungan dengan pasien sangat perlu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan pada masyrakat.



DAFTAR PUSTAKA Brunner dan Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah Edisi8 Volume4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Carpenito, L, J. (2000). DR.Dr. Kusworini, M.Kes, Sp.PK. Mei 2013. Jurnal Ilmu Keperawatan. https://jik.ub.ac.id/index.php/jik/article/download/32/78 diakses pada 14 Mei 2020 pukul 20:00 Nanda. 2009. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta: EGC Pribakti, B., 2006, Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin 2002 – 2003, Dexa Media, vol. 19 Januari – Maret 2006: 10-13. Uliyah, Musfiratul. 2008. Ketrampilan Dasar praktik Klinik. Jakarta : Salemba Medika Lesmana, Bela. 2019. Atasi 5 Masalah Inkontinensia Urin Pasca Melahirkan. https://www.popmama.com/pregnancy/birth/bella-lesmana/masalah-inkontinensiaurine-pasca-melahirkan/full. Diakses pada 15 Mei 2020. 10.37 Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA). 2018. Panduan Tata Laksana Urin Pada Dewasa. Jakarta: Ikatan Ahli Urologi Indonesia. http://103.139.98.4/iaui/Guideline %20PERKINA%202018_24.1.19.pdf. diakses pada 15 Mei 2020 11.08 Resta,Lili.2013. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Inkontinensia Urine; https://www.academia.edu/38599312/ASKEP_INKONTINENSIA_URINE.doc diakses pada 14 Mei 2020 pukul 19:00