4 0 190 KB
Askep Gerontik Inkontenensia Urine
KATA PENGANTAR Puji dan Syukur Atas Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat dan HidayahNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah tentang “ASKEP pada Ny. Y dengan kasus Inkontinensia Urine” ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pada makalah ini Penulis membahas tentang “ASKEP pada Ny.Y dengan kasus Inkontinensia Urine”. dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari bahwa tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan sendirinya, sehingga banyak pihak-pihak yang ikut terlibat dalam pembuatan makalah ini. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah yang dibuat masih sangat jauh dari kesempurnaan. Sehingga penulis masih sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar penulis dapat memperbaikinya dikemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Sekian kata pengantar dari penulis. Terima Kasih. BENGKULU, April 2012
DAFTAR ISI HAL JUDUL...................................................................................................................... i KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................................... 1 BAB II KONSEP TEORI
2.1 Inkontinensia Urine....................................................................................................... 2 2.1.1 Pengertian............................................................................................................. 2 2.1.2 Etiologi................................................................................................................. 3 2.1.3 Patofisiologi.......................................................................................................... 3 2.1.4 Manifestasi klinis.................................................................................................. 6 2.1.5 WOC.................................................................................................................... 7 2.1.6 Klasifikasi............................................................................................................. 8 2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik....................................................................................... 10 2.1.8 Penatalaksanaan.................................................................................................... 11 2.2 ASKEP Teori................................................................................................................. 14 BAB III ASKEP KASUS.................................................................................................. 22 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan.............................................................................................................. 42 4.2 Saran........................................................................................................................ 42 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inkontinensia urin merupakan salah satu masalah besar di bidang gerontik yang perlu mendapat perhatian serius. Masalah itu tampaknya akan menjadi salah satu masalah kesehatan dan psikososial yang sering dijumpai di masa mendatang seiring dengan makin banyaknya jumlah usia lanjut di Indonesia. Data di luar negeri menyebutkan bahwa 15 – 30 % usia lanjut yang tinggal di masyarakat dan 50 % usia lanjut yang di rawat menderita inkontinensia urun. Pada tahun 1999, dari semua pasien yang di rawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo di dapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesar 10%, dan pada tahun 2000, angka kejadian inkontinensia urin meningkat menjadi 12%. Inkontinensia urin seringkali menyebabkan pasien dan atau keluarganya frustasi, bahkan depresi. Bau yang tidak sedap, perasaan kotor, tidak suci untuk beribadah tentu menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Selain itu, adanya inkontinensia urin juga akan mengganggu aktivitas fisik, seksual, dan pekerjaan. Secara tidak langsung masalah itu juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minumnya karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksai saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian pampers, kateter adalah masalah yang juga dapat timbul akibat inkontinensia urin. 1.2 Tujuan Mahasiswa mengetahui bagaimana konsep teori serta asuhan keperawatan yang tepat untuk klien inkontinensia urine pada lansia. Dan dapat menerapkannya dalam praktek pemberian asuhan keperawatan kepada pasien.
BAB II KONSEP TEORI 2.1 Inkontinensia Urine
2.1.1 Pengertian Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner and Suddarth, 2002). Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis pendeitanya (FKUI, 2006). Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yg dpt didemonstrasikan secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social. Inkontinensia urine adalah pelepasan urine secara tidak terkontrol dalam jumlah yang cukup banyak. Sehingga dapat dianggap masalah bagi seseorang. Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan air kencing. Inkontinensia urine merupakan salah satu manifestasi penyakit yang sering ditemukan pada pasien geriatri. Inkontinensia urine adalah ketidakampuan mengendalikan evakuasi urine. (kamus keperawatan). Diperkirakan prevalensi inkontinensia urin berkisar antara 15 – 30% usialanjut di masyarakat dan 20-30% pasien geriatri yang dirawat di rumah sakit mengalami inkontinensia urin, dan kemungkinan bertambah berat inkontinensia urinnya 25-30% saa tberumur 65-74 tahun. Masalah inkontinensia urin ini angka kejadiannya meningkat dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia, tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua. 2.1.2 Etiologi 1) Persalinan pervaginan Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. 2) Proses menua Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
3) Gangguan urologi (peningkatan pada produksi urine (DM)) 4) Infeksi saluran kemih Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih bisa menyebabkan inkontinensia urine 2.1.3 Patofisiologi Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter (refluks). Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan
kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleksrefleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.. Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain: Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obatobatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa
terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul. 2.1.4 Manifestasi Klinis 1) Desakan berkemih, di sertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah berkemih 2) Frekuensi, dan nokturia. 3) Inkontinensia stres, dicirikan dengan keluarnya sejumlah kecil urin ketika tertawa, bersin, melompat, batuk atau membungkuk. 4) Inkontinensia overflow, dicirikan dengan aliran urin buruk atau melambat dan merasa menunda atau mengedan. 5) Inkontinensia fungsional, dicirikan dengan volume dan aliran urin yang adekuat 6) Higiene buruk atau tanda- tanda infeksi
2.1.5 WOC Persalinan pervaginan Proses menua Peningkatan produksi urine (DM)
ISK Peregangan otot jaringan/ robekan jalan lahir Melemahnya otot dasar panggul Tidak dapat menahan air kencing Kadar hormone menurun Otot dasar panggul rusak Posisi kandung kemih prolap Melemahkan tekanan/ tekanan akhiran kemih keuar hiperglikemia Perpindahan cairan intraseluler secara osmotik Ginjal reobsorpsi kelebihan glukosa glukosuria MK: Resti infeksi poliuria MK: Kekurangan volum cairan Refluks urtrovesikal Menyebarnya infeksi dari uretra
Melemahnya otot detrusor Sfingter dan otot dasar panggul terganggu Pengosongan kandung kemih tidak sempurna INKOTINENSIA URINE MK: Gg rasa nyaman nyeri MK: Kelelahan urgensi nokturia mengompol Desakan berkemih MK: Isolasi social Cara Perawatan Inkontinensia Urin Masukan cairan / minum cukup Latihan buang air kecil (BAK) teratur Biasakan buang air besar (BAB) secara teratur Latihan otot dasar panggul Kurangi minum kopi dan teh
2.1.6 Klasifikasi 1. Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesicnarcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini : Delirium Restriksi mobilitas, retensi urin Infeksi, inflamasi, Impaksi Poliuria, pharmasi 2. Inkontinensia Urin Persisten
Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis. Kategori klinis meliputi : Inkontinensia akibat stress Merupakan eliminasi urine diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen. seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia dibawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan trans urethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. Urge Incontinence Terjadi bila pasien merasakan drongan atau keinginan untuk urinasi tetapi tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mecapai toilet. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiper aktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai inkontinensia urine tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat. Overflow Incontinence Ditandai oleh eliminasi urine yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir terus-menerus terjadi. Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan kansdung kemih tidak dapat mengosongkan isinya secara normal dan megalami distensi yang berlebihan. Meskipun eliminasi urine sering terjadi, kandug kemih tidak pernah kosong. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.
Inkontinensia urin fungsional Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang utuh tetapi ada factor lain, seperti angguan kognitif berat yang membuat pasien sulit untk mengidentifkasi perlunya miksi (demensia alzhimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urine akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dangan membran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen. 2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik 1) Tes diagnostik pada inkontinensia urin (Menurut
Ouslander),
tes
diagnostik
pada
inkontinensia
perlu
dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Mengukur sisa urine setelah berkemih, dilakukan dengan cara : Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Urinalisis, dilakukan terhadap spesimen urine yang bersih untuk mendeteksi adanya factor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi. Tes urodinamik adalah untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah Tes tekanan urethra adalah mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis Imaging adalah tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. 2) Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alatalat mahal. Sisa-sisa urine pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urine. Merembesnya urin pada saatdilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk
berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin sering kali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih. 3) Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuri. 4) Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya. 2.1.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : 1) Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu catat waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. 2) Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urine, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia.
Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. 3) Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah: antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu : pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti : Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapidiberikan secara singkat. 4) Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). Penatalaksanaan pembedahan Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat dilakukan : perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artificial yang dimodifikasi dengan megunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme penekanan swaregulasi dpat digunakan untuk menutup uretra. Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stress adalah aplikasi stimulasi elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniature yang dilengakapi electrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.
5) Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet sepertiurinal, komod dan bedpan
6) Kateter Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karenadapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukanbatu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakanalat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih.Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkankandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi padasaluran kemih. 7) Alat bantu toilet Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjutyang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebutakan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikankemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet. 8) Latihan Otot Dasar Panggul Posisi tidur telentang dengan kedua kaki ditekuk sehingga otot panggul sejajar dengan lantai. Tahan otot panggul seperti menahan kencing selama sepuluh hitungan atau sesanggupnya. Lepaskan dan relaks selama sepuluh hitungan. Lakukan lagi dan lepaskan lagi lebih kurang 5x latihan. Lakukan sebanyak 3x sehari (pagi, siang dan malam)
2.2 ASKEP Teori 2.2.1 Pengkajian 1. Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis. 2. Riwayat kesehatan Riwayat kesehatan sekarang Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan. Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit. Riwayat kesehatan keluarga Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan. 3. Pemeriksaan fisik Keadaan umum Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia 4. Pemeriksaan Sistem : B1 (breathing) Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi. B2 (blood) Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah B3 (brain) Kesadaran biasanya sadar penuh B4 (bladder) Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing. B5 (bowel) Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal. B6 (bone) Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian. 5. Pengkajian Psikososial Bersedih
Murung Mudah tersinggung Mudah marah Isolasi social Perubahan peran 2.2.2 Diagnose keperawatan Yang Mungkin Muncul Gangguan rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) Kelelahan b/d kelemahan otot Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau urine
2.2.3 NCP N
Diagnosa
O
keperawatan
1.
Tujuan
kriteria
Intervensi
Rasional
hasil
Gangguan rasa
Setelah
Nyeri Mandiri :
nyaman nyeri
dilakukan
terkntrol Kaji nyeri,
b/d penyebaran
tindakan
atau
perhatikan
informasi
infeksi dari
kepeawatan
hilang
lokasi, intensitas
untuk
uretra
selama 2x24
Memberi kan
Klien atau skala nyeri
membantu
jam
dapat
dan lamanya
dalam
diharapakan
kembali
nyeri
menentukan
nyeri dapat
tenang
pilihan
teratasi atau
dan
keefektifan
berkurang
rileks
Catat lamanya
Klien intensitas (skala mampu
0-10) dan
dan
intervensi Membantu mengevaluasi
beristirah penyebaran
tempat
at seperti
obstruksi dan
biasanya
kemajuan
Berikan tindakan gerakan keyamanan.
kalkulus Meningkat-kan
Contoh : Membantu pasie
relaksasi,
memberikan
memfokus-
posisi yang
kan
nyaman,
perhatian dan
mendorong
dapat
penggunaan
meningkat-
relaksasi atau
kan
latihan nafas
kemampuan
dalam
koping
kembali
kembali
Kolaborasi
Berikan
obat
sesuai indikasi. Contoh: analgesik Menghilangkan nyeri, menentukan obat yang tepat untuk
Berikan mencegah pemanasan local fluktuasi nyeri sesuai indikasi
ber-hubungan dengan tegangan Digunakan untuk meningkatkan relaksasi, dan sirkulasi
Kekurangan
Klien
TTV Mandiri :
Volum cairan
menunjukkan stabil
b/d diuresis
hidrasi yang
osmotic
adekuat/
Dapatkan riwayat Untuk pasien/ orang
memperoleh
Membra
terdekat
data tentang
kekurangan
ne
sehubungan
penyakit
cairan dapat
mukosa
dengan lamanya
pasien, agar
diatasi
bibir
gejala seperti
dapat
lembab
muntah dan
melakukan
Turgor pengeluaran
tindakan
kulit
urine yang
sesuai yang
elastic
berlebihan
dibutuhka
Intake dan Pantau TTV, catat output
adanya
seimbang perubahan TD
Indicator
warna kulit dan
hidrasi/volum
kelembaban-nya
sirkulasi dan
Pantau masukan
kebutuhan
dan pengeluaran
intervensi.
urine Membandingk an keluaran actual dan yang diantisipasi membantu Timbang BB setiap hari
dalam evaluasi adanya/ derajat stasis/ kerusakan ginjal
Pertahankan
Peningkatan
untuk
BB yang cepat
memberikan
mungkin
cairan paling
berhubungan
sedikit 2500
dengan retensi
ml/hari dalam
Memper-
batas yang dapat
tahankan
ditoleransi
keseimbangan
jantung
cairan
Kolaborasi: Berikan terapi cairan sesuai indikasi Berikan cairan IV
Memenuhi kebutuhan cairan tubuh Mempertahan kan volum sirkulasi, meningkatkan fungsi ginjal 3.
Resiko tinggi infeksi b/d
Mandiri: Berikan
Untuk
glukosa darah
perawatan
mencegah
yang tinggi
perineal dengan
kontaminasi
(hiperglikemia)
air sabun setiap
uretra.
shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. Jika di pasang
kateter indwelling, berikan perawatan
Kateter
kateter 2x sehari
memberikan
(merupakan
jalan pada
bagian dari
bakteri untuk
waktu mandi
memasuki
pagi dan pada
kandung
waktu akan
kemih dan
tidur) dan setelah naik ke buang air besar Kecuali
saluran perkemihan
dikontraindikasi kan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan
Untuk
sekurang-
mencegah
kurangnya 2400
stasis urine.
ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. Berikan terapi antibiotoik
Mungkin
diberikan secara profilaktik sehubungan dengan peningkatn resiko infeksi 2.2.4 Imlementasi Dilaksanakan sesuai dengan rencana tindakan, menjelaskan setiap tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan pedoman atau prosedur tekhnis yang telah ditentukan. 2.2.5 Evaluasi Pengukuran efektifitas intervensi askep yang telah disusun dan tujuan yang ingin dicapai ada 3 kemungkinan: 1) Tujuan tercapai 2) Tujuan tercapai sebagian 3) Tujuan tidak tercapai
BAB III ASKEP KASUS 3.1. Pengkajian 1.Identitas klien Nama : Ny. Y Umur : 67 th Jenis Kelamin : perempuan Agama : islam Status Perkawinan : kawin Suku Bangsa : serawai Pendidikan : SD Pekerjaan : tidak bekerja Tgl masuk RS : 4 April 2012 No. Register : 15665 Penanggung Jawab Nama : Tn. F Umur : 60 th Pekerjaan : swasta Alamat : Hibrida 10 2. Riwayat Kesehatan
Alasan kunjungan/keluhan utama : Klien datang dengan keluarganya ke RS dengan keluhan ingin BAK terus-menerus dan tidak bisa ditahan sampai ke toilet. Riwayat kesehatan sekarang Klien mengatakan kencingnya lebih dari 10 kali dalam sehari. Klien juga mengatakan dia tidak bisa menahan kencingnya, karena dia tidak sempat lagi untuk sampai toilet. klien mengaku dia mengurangi minum agar tidak mengompol lagi. Klien mengatakan sering menahan haus. Klien mengatakan lecet-lecet pada kulitnya. Klien mengatakan malu apabila keluar rumah, karena mengompol dan bau air kencingnya yang menyengat. sehingga hanya diam dirumah.
Riwayat kesehatan dulu Klien mengatakan tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumya. Klien mengatakan pernah dirawat di RS dan dipasang kateter. Riwayat penyakit keluarga Klien mengatakan keluarganya tidak pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya dan tidak ada penyakit keturunan. 3. Pemeriksaan fisik a) Keadaan umum : klien tampak lemas, dan gelisah b) Tanda-Tanda Vital : TD : 160/90 mmHg ND : 90x/i RR : 18x/i S : 370C c) Integumen Kulit kering dan keriput Terdapat luka tekan (dekubitus) d) Kepala Simetris dan tidak ada benjolan, warna rambut putih, distribusi rambut merata e) Mata Konjungtiva Pupil : an isokor
f) Telinga Bersih, tidak ada serumen g) Mulut dan gigi Gigi tanggal Mulut kering, air liur mudah mengental Bibir pecah-pecah h) Leher Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid atau pembesaran limpa nodi i) Kardiovaskuler Peningkatan TD j) Abdomen Bising usus (+), Pulsasi, nyeri tekan abdomen k) Perkemihan Inkontinensia urine, BAK .> 10 kali, Lebih dari 1500-1600 ml dalam 24 jam Nyeri saat mengeluarkan urine l) Genetalia Kelemahan otot vagina dan uterus m) Ekstremitas Kelemahan n) System endokrin Penurunan produksi hormon estrogen 4. Pengkajian psikososial Murung Mudah tersinggung Mudah marah Depresi Dimensia Isolasi social Perubahan peran 5. Pengkajian lingkungan Kondisi rumah : Penerangan : penerangan baik, pada siang hari ada cahaya dari ventilasi rumah
Lantai : lantai tidak licin Keadaan rumah datar Tata ruang Tata ruang tidak sering diubah Kamar mandi jauh, didekat dapur Peralatan yang diperlukan tidak jauh dari jangkauan
Pengkajian skala resiko Skala Norton skor Keadaan umum:
skor Aktivitas :
Baik
4
Ambulan
Lumayan
3
Ambulan dengan bantuan
Buruk
2
Hanya bisa duduk
Sangat buruk
1
Tiduran
4 3 2 1
Kesadaran :
Inkontinensia :
Kompos mentis
4
Tidak
4
Apatis
3
Kadang-kadang
3
2
Sering
2
Strupor/koma Mobilitas:
1
Alvi dan urine
1
Bergerak bebas
4
Sedikit tebatas
3
Sangat terbatas
2
Tidak bisa bergerak Nilai < 12 : RESIKO TINGGI
SKOR TOTAL
1
Nilai