Askep KMB Kelompok 14 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN DIABETES PADA NY. K DENGAN DIAGNOSA CA NASOPHARING T3N3M0 DI RUANG RAWAT INAP BUGENVIL 3 RSUP Dr. SARDJITO YOGYAKARTA



Disusun oleh : Aisyah Ayu Melati S



(P07120521063)



Rizka Cindy Arina Putri



(P07120521056)



Rossi Novianti



(P07120521061)



PRODI PENDIDIKAN PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN YOGYAKARTA 2020/2021



LEMBAR PERSETUJUAN



Laporan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah pada Ny. K dengan Diagnosa Medis Ca Nasopharing T3N3M0 di Ruang Rawat Inap Bugenvil 3 RSUP Dr. Sardjito. Laporan ini disusun untuk memenuhi Tugas Individu Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah. Laporan asuhan keperawatan ini disetujui pada : Hari Tanggal Tempat



: : Oktober 2021 : Ruang Rawat Inap Bugenvil 3 RSUP Dr. Sardjito



Dosen Pembimbing



Ns. Nurun Laasara, S.Kep



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat, dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan asuhan keperawatan ini dengan baik. Laporan asuhan keperawatan ini penulis susun untuk memenuhi tugas Praktik Klinik Pendidikan Profesi Ners Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan ini penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan, dan saran serta dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Direktur Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Bapak Joko Susilo, SKM., M. Kes. 2. Ketua Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Bapak Bondan Palestin, SKM., M. Kep., Sp. Kom. 3. Ketua Program Studi Pendidikan Profesi Ners Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Yogyakarta, Ibu Harmilah, S. Pd., S. Kep., Ns., M. Kep., Sp. MB. 4. Dosen Koordinator Praktik Keperawatan Dasar Profesi, Bapak Abdul Majid, S. Kep., Ns., M. Kep. 5.



Dosen Pembimbing Praktik Keperawatan Medikal Bedah, Ibu Ns. Nurun Laasara, S.Kep



6.



Teman-teman Kelas Pendidikan Profesi Ners Penulis berharap semoga laporan asuhan keperawatan dengan judul “Laporan Asuhan



Keperawatan Diabetes pada Ny. K dengan Diagnosa Medis Ca Nasopharing T3N3M0 di Ruang Rawat Inap Bugenvil 3 RSUP Dr. Sardjito” dapat memberikan informasi dan menjadi acuan, petunjuk, dan pedoman kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan asuhan keperawatan ini sehingga kedepannya menjadi lebih baik.



Yogyakarta, 28 Oktober 2021



Penulis



BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang menyebabkan kematian terbesar kedua di negara maju dan ketiga di negara berkembang, yaitu 12,5% dari seluruh kematian pada tahun 2002. Dan terdapat sebanyak 20 juta orang hidup dengan kanker dan 10 juta kasus kanker baru setiap tahunnya. Karsinoma nasofaring merupakan kanker yang paling sering terjadi sekitar 60% dari kasus kanker kepala leher diikuti oleh kanker thyroid, kanker laring, dan hipofaring, orofaring, mulut, kelenjar ludah, dan insidensi terbanyak keempat setelah kanker cervix, mammae dan paru (Hendrik dan Prabowo, 2017). Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan jenis karsinoma yang muncul pada daerah belakang nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur. Penyebab karsinoma nasofaring yaitu infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dan atau Human Papiloma Virus (HPV), dengan faktor risiko merokok serta mengkonsumsi alkohol, selain itu adalah genetik/keturunan, terpapar sinar radiasi, kelainan/defisiensi nutrisi dan penurunan daya tahan tubuh (Hendrik dan Prabowo, 2017) Karsinoma nasofaring ditemukan pada pria usia produktif, dengan perbandingan pria dan perempuan 2,18:1, dan 60% pasien berusia antara 25- 60 tahun. Dengan 87.000 kasus baru yang muncul setiap tahunnya (61.000 kasus baru pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan), serta 51.000 kematian dikarenakan karsinoma nasofaring (36.000 pada laki-laki, 4 dan 15.000 pada perempuan) (Chang, 2006). Di Indonesia sendiri terdapat kurang lebuh 6.2 per 100.000 atau sekitar 12.000 kasus baru setiap tahunnya. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sebanyak 1121 kasus karsinoma nasofaring. Sedangkan insidensi tertinggi pada tahun 2012 adalah di Cina Selatan mencapai 20-40 per 100.000 penduduk, di Malaysia 9,1 per 100.000 penduduk dan di Singapura 15 per 100.000 penduduk (Adham et al, 2012)



B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mampu memahami mengenai proses asuhan keperawatan NPC yang diberikan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes mellitus 2. Tujuan Khusus a. Mampu memahami konsep NPC meliputi pengertian, klasifikasi, etiologi, manifestasi,



patofisiologi,



pathway,



pemeriksaan



penunjang,



penatalaksanaan, dan komplikasi b. Mampu memahami konsep asuhan keperawatan mengenai NPC dari pengkajian sampai evaluasi keperawatan C. Metode Laporan asuhan keperawatan ini menggunakan studi kasus yang ada di rumah sakit. Data didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan studi dokumen mengenai pasien. Pengumpulan data-data yang dipergunakan dalam penulisan laporan asuhan keperawatan ini juga berasal dari berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. Beberapa jenis referensi yang digunakan bersumber dari beberapa buku dan jurnal dari internet.



BAB II TINJAUAN TEORI



A. Konsep Ca Nasofaring 1. Pengertian Karsinoma nasofaring adalah keganasan pada nasofaring yang berasal dari epitel mukosa nasofaring atau kelenjar yang terdapat di nasofaring. Carsinoma Nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak di THT. Sebagian besar klien datang ke THT dalam keadaan terlambat atau stadium lanjut. 2. Klasifikasi Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe: 1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya, merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring. 2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin, merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring. 3. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh karsinoma nasofaring. Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang kuat dengan virus Epstein-Barr. (Cottrill dan Nutting, 2003) 3. Etiologi Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Infeksi virus Epstein-Barr Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan early antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien karsinoma nasofaring di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Lesi premaligna di nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB,



yang



menunjukkan



infeksi



terjadi



pada



fase



awal



karsinogenesis.



Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarakankan bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB (Mc Dermott et al., 2001; Cottrill dan Nutting, 2003). 2. Ikan asin dan nitrosamin Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma nasofaring di Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut terkandung nitrosamin yang merupakan zat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya karsinoma nasofaring (Ahmad, 2002 ; Cottrill dan Nutting, 2003). 3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan karsinoma nasofaring di Hongkong (Mc Dermott et al., 2001; Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan risiko karsinoma nasofaring pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003). 4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia, asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok (Mc Dermott et al., 2001). 5. Ras dan keturunan Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada penduduk Cina yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara dari pada yang lahir di Cina Selatan (Ahmad, 2002). 5. Radang kronis di nasofaring Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan risiko terjadinya keganasan (Mc Dermott et al., 2001).



4. Manifestasi Klinis Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan metastasenya, yaitu (Averdi Roezin, 2001): 1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa: a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau. b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor, sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di telinga sampai otalgia. 2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa: a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain: - Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. - Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang. d. Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N.IX N.X N.XI (N. Accessorius), N.XII (N. Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan



pada:



lidah,



palatum,



faring



atau



laring,



M.



Sternocleidomastoideus, M. Trapezius. Pada sindrom ini akan terjadi keluhan trismus, afoni dikarenakan paralisis pita suara, gangguan menelan, dan kelumpuhan nervus simpatikus servicalis (Horner Sindrom) (Yueniwati, 2016)



2. Patofisiologi Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa (Averdi Roezin, 2001): 1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II - N.VI). 2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dan sebagainya), di mana di dalamnya terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII dan N. XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX dan N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh. 3. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya



sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 4. Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk. 3. Pathway Terlampir 4. Pemeriksaan Penunjang (Hendrik dan Prabowo, 2017 ; KEMENKES-RI ; Yueniwati, 2016): 1. Pemeriksaan Serologi Dapat dilakukan sebagai tumor marker pada tempattempat yang dicurigai berhubugan dengan terjadinya KNF. Pemeriksaan tersebut



antara



lain



pemeriksaan



teknik-teknik



insitu



hibridisasi,



imunohistokimia, atau polymerase chain reaction, yakni pada material yang diperoleh dari aspirasi jarum halus pada metastase KGB leher 2. Pemeriksaan histopatologi (biopsi) Atau sering pula disebut dengan pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan pada daerah nasofaring. 3. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: - Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring - Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut - Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya - Menentukan ukuran tumor Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis karsinoma nasofaring, antara lain: a) Foto polos Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters, lateral, dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan menunjukan massa jaringan lunak di daerah



nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media. Gambar 5. Foto Polos Lateral Nasofaring Normal dan Bagian-bagiannya. Gambaran Foto Polos Menunjukkan Massa di Daerah Nasofaring (Panah) Gambar 6. Foto Polos Dasar Tengkorak, Menunjukkan Erosi Tulang di Bagian dari Sfenoid dan Foramen Laserum (arah tanda panah) Gambar 7. Erosi dari Fosa Serebri Media Sebelah Kiri (arah tanda panah) b) CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan dalam menditeksi karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe. CT Scan digunakan melihat dari fossa rosenmuller yang terletak lateral dari nasofaringeal. Penggunaan kontras dapat digunakan untuk menilai kanker nasofaring dilihat dengan perpendaran yang heretogen. Sedangkan pada MRI untuk menditeksi keterlibatan dasar tengkorak dan bidang lemak, setidaknya dalam bidang aksial yang digunakan untuk menilai tambahan dari penyebaran awal tumor parafaringela, invasi sinus paranasal, efusi telinga tengah dan deteksi kelenjar gerah bening servikal, sedangan yang tanpa supresi lemak digunakan untuk melihat jangkauan tumor, termasuk penyebaran perineural dan perluasan tumor intrakranial, dengan ketebalan slice 3-5mm. Sekuens MRI tambahan saat ini memiliki nilai klinis yang terbukti terbatas (Yueniwati, 2016). Gambar 8. CT Scan aksial nasofaring normal. Gambar 9. CT Scan Aksial Menggambarkan Karsinoma Nasofaring Stadium Awal, Terdapat Penebalan Fosa Rossenmuler Kiri. Gambar 10. CT Scan Aksial os Temporal Menunjukkan Massa di Nasofaring (karsinoma nasofaring) Gambar 11. CT Scan Koronal Menunjukkan Massa di Atap Nasofaring CT Scan Koronal Menunjukkan Massa di Nasofaring dan Sinus Kavernosus Kanan



Gambar 12. MRI Potongan Sagital (A) dan Koronal (B) Menunjukkan Massa di Nasofaring (panah biru) dan Adenopati Servikal (panah Putih) Gambar 13. MRI Potongan Sagital pada Pasien yang Baru Didiagnosis Karsinoma Nasofaring, Menunjukkan Tumor Primer dari Karsinoma Nasofaring dan Metastasisnya ke Dinding Lateral Retrofiring c) USG abdomen Untuk menilai metastasis organ-organ intra abdomen. Apabila dapat keraguan pada kelainan yang ditemukan dapat dilanjutkan dengan CT Scan abdomen dengan kontras d) Foto thorax Untuk melihat adanya nodul di paru atau apabila dicurigai adanya kelainan maka dianjurkan dengan CT Scan thorax dengan kontras e) Bone Scan Untuk melihat metastasis tulang 2.6 Stadium karsinoma nasofaring berdasarkan AJCC 7th tahun 2010, yaitu : T : tumor primer (ukuran) Tx: tumor primer tidak dapat dinilai T0 : tidak terdapat tumor primer Tis : tumor (karsinoma) in situ T1 : tumor terbatas pada nasofaring atau tumor meluas ke orofaring atau cavum nasal dan/sinus sinus-sinus paranasal T2 : tumor dengan perluasan ke parafaring T3 : tumor sudah menginvasi struktur tulang-tulang, termasuk basis cranii dan/atau sinus paranasal. T4 : tumor sudah meluas ke intrakranial, fossa temporalis, orbita, ruang musticator, hipofaring, dan/atau terdapat keterlibatan saraf-saraf otak. N : KGB regional Nx : KGB regional tidak dapat dinilai N0 : tidak terdapat metastasis ke KGB regional N1 : metastasis unilateral ke KGB regional dengan ukuran ≤ 6 cm, KGB retrofaring, dan/atau di atas fossa supraclavicula N2 : metastasis bilateral ke KGB regional dengan ukuran ≤ 6 cm, KGB retrofaring, dan/atau di atas fossa supraclavicula 23 N3 : metastasis ke KGB regional dengan ukuran > 6 cm (unilateral/bilateral) dan/atau fossa supraclavicula N3A : metastasis ke KGB > 6 cm N3B : metastasis ke fossa supraclavicula M : metastasis (jauh) Mx : metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 : tidak terdapat metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh (paru-paru, hati, tulang )



Penentuan staging secara keseluruhan : Stadium 0 : TisN0M0 Stadium I : T1N0M0 Stadium II : T1N1M0 ; T2N0M0 ; T2N1M0 Stadium III : T3N0M0 ; T3N1M0 ; T1N2M0 ; T2N2M0 ; T3N2M0 Stadium IVA : T4N0M0 ; T4N1M0 ; T4N2M0 Stadium IVB : AnyT – N3M0 Stasiun IVC : AnyT – any N – M 5. Penatalaksanaan 1. Sinar Radiasi (radioterapi) Merupakan gold standart dalam penatalaksanaan KNF. Pada prinsipnya adalah pemberian sinar radiasi pegnion berenergi tinggi untuk menghancurkan massa tumor primer berserta seluruh KGB yang ikut terlibat, baitu bertujuan kuratif (stadium dini) pada aspek T1-2 dan N1, maupun paliatif. Pada kasus N2 radioterapi tidak memberikan respon maksimal, dan pada N3 pula, selain radioterapi



direkomendasikan



diberikan



kemoterapi



ajuvant,



maupun



kombinasi keduanya. Pemberian radioterapi pada KNF dapat diberikan dengan teknik konvensional atau mutakhir, yaitu dengan teknik konformal 3 dimensi atau teknik intensity modulated radiotherapy (IMRT). Pemberian radioterapi dengan teknik konvensional adalah pemberian sinar radiasi pada daerah target (nasofaring). Sedangkan radioterapi dengan menggunakan teknik mutakhir adalah pemberian sinar radiasi yang meliputi gross tumor volume (GTV) dan clinical target volume (CTV) pada daerah target. Dimana perbedaan keduanya adalah toksisitas pada jaringan sehat lebih rendah pada teknik mutakhir (Hendrik dan Prabowo, 2017). 2. Kemoterapi Kementrian



kesehatan



menganjurkan



kemoterapi



adjuvan



yaitu



cisplatin+radioterapi diikuti dengan cisplatin/5-FU atau carboplatin/5-FU, dengan dosis preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali setiap seminggu sekali (KEMENKES-RI) 3. Penatalaksanaan Nutrisi dan Rehabilitasi Medik Nutrisi yang adekuat dibutuhkan oleh pasien yang mendapat terapi kanker, dan suatu pengobatan suportif guna memaksimalkan penggunaan obatobat



utamanya. Sedangkan rehabilitasi medik bertujuan adalah antara lain pengontrolan nyeri, pengembalian dan pemeliharaan gerak leher dan sekitarnya, pemeliharaan kebersihan mulut, pengembalian fungsi menelan, mengembalikan kemampuan mobilisasi dan lain sebagainya (KEMENKESRI). 1) Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber dan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan pasien (Setiadi, 2012). Pengkajian yang dilakukan meliputi: 1) Identitas klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, bahan yang dipakai sehari-hari, status perkawinan, kebangsaan, pekerjaan, alamat, pendidikan, tanggal atau jam MRS, dan diagnosa medis. 2) Keluhan Utama Pada umumnya pasien mengeluh tindak nyamanan kerena adanya benjolan. 3) Riwayat Penyakit Sekarang Pada umumnya pasien dengan limfoma didapat keluhan benjolan terasa nyeri bila ditelan kadang-kadang disertai dengan kesulitan bernafas, gangguan penelanan, berkeringat di malam hari.Pasien biasanya megnalami dendam dan disertai dengan penurunan BB. 4) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pasien dengan limfoma biasanya diperoleh riwayat penyakit seperti pembesaran pada area seperti : leher, ketiak, dll. Pasien dengan transplantasi ginjal atau jantung. 5) Riwayat kesehatan keluarga Meliputi susunan anggota keluarga yang mempunyaio penyakit yang sama dengan pasien, ada atau tidaknya riwayat penyakit menular, penyakit turunan seperti DM, Hipertensi, dan lain-lain.



6) Data dasar pengkajian pasien Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Pasien lemah, cemas, nyeri pada benjolan, demam, berkeringat pada malam hari, dan menurunnya BB. b. Kulit, rambut, kuku ( tidak ada perubahan ) c. Kepala dan leher Terdapat benjolan pada leher, yang terasa nyeri bila ditekan. d. Mata dan mulut Tidak ada masalah/perubahan. e. Thorak dan abdomen Pada pemeriksa yang dilakukan tidak didapatkan perubahan pada thorak maupun abdomen. f. Sistem respirasi Biasanya pasien mengeluh dirinya mengeluh sulit untuk bernafas karena ada benjolan. g. Sistem gastrointestinal Biasanya pasien mengalami anorexia karena rasa sakit yang dirasakan saat menelan makanan, sehinggapasien sering mengalami penurunan BB. h. Sistem muskuluskeletal Pada pasien ini tidak ada masalah. i. Sistem endokrin Terjadi pembesaran kelenjar limfe. j. Sistem persyarafan Pasien ini sering merasa cemas akan kondisinya, penyakit yang sedang dideritanya. 7) Pemeriksaan Penunjang a. USG Banyak digunakan untuk melihat pembesaran kelenjar getah bening. b. Foto thorak Digunakan untuk menentukan keterlibatan kelenjar getah bening mediastina. c. CT- Scan Digunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan limpoma



d. Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan Hb, DL, pemeriksaan uji fungsi hati / ginjal secara rutin). e. Laparatomi Laparatomi rongga abdomen sering dilakukan untuk melihat kondisi kelenjar getah bening pada illiaka, para aortal dan mesentrium dengan tujuan menentukan stadiumnya B. Diagnosa keperawatan a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat ( mual, muntah) b. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan proses inflamasi. c. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. d. Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi e. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan tidak seimbangnya persediaan dan kebutuhan oksigen kelemahan umum serta kelelahan karena gangguan pola tidur f. Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf



C. Intervensi keperawatan Diagnosa Tujuan / Kriteria Hasil Nutrisi Setelah diberikan asuhan kurang dari keperawatan selama kebutuhan 3x24 jam nausea tubuh menurun dengan kriteria berhubunga hasil : n dengan 1. Nafsu makan dari intake menurun (1) menjadi yang tidak cukup menurun (2) adekuat ( 2. Keluhan mual meningkat mual, (1) menjadi cukup muntah) sedang (3) 3. Perasaan ingin muntah dari meningkat (1) menjadi sedang (3)



-



Intervensi Observasi Identifikasi karakteristik muntah misalnya warna dan konsistensi Identifikasi penyebab muntah misal pengobatan atau prosedur tindakan Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Terapeutik Kurangi atau hilangkan penyebab muntah misal kecemasan atau ketakutan Atur posisi untuk mencegah aspirasi Edukasi Anjurkan membawa kantung plastik untuk menampunng muntah Anjurkan memperbanyak istirahat Anjurkan teknik non farmakologis misalnya relaksasi



Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf



Setelah di berikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam nyeri akut menurun dengan kriteria hasil: 1. Keluhan nyeri menurun (5) menjadi sedang (3) 2. Meringis dari cukup meningkat (2) menjadi cukup menurun (4)



Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan proses inflamasi.



Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 kali shift resiko infeksi menurun dengan kriteria hasil: - Demam menurun (5) - Kebersihan tangan meningkat (5) - Kebersihan badan meningkat(5) - Penurunan berat badan menurun (5) - Infeksi berulang menurun (5) - Suhu tubuh membaik (5)



Kolaborasi - Kolaborasi pemberian antiemetik, jika perlu Manajemen nyeri (I.08238) hal 201 Observasi - Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri - Identifikasi skala nyeri Terapeutik - Berikan terapi nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (teknik relaksasi nafas dalam) - Fasilitasi istirahat dan tidur Edukasi - Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri Kolaborasi - Kolaborasi pemberian analgetik, jika di perlukan Pencegahan Infeksi I.14539 Hal.278 Observasi - Monitor tanda dan gejala infeksi Terapeutik - Batasi pengunjung - Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien - Pertahankan teknik aspetik pada pasien beresiko tinggi Edukasi - Jelaskan tanda dan gejala infeksi - Ajarkan cara cuci tangan yang benar Pemberian Obat Observasi - Identifikasi kemungkinan alergi, interaksi dan kontaindikasi obat - Verifikasi order obat sesuai dengan indikasi - Monitor efek terapeutik obat Terapeutik - Lakukan prinsip 6 benar - Berikan obat sebelum atau sesudah makan Dukungan Perawatan Diri I.11348 Hal.36 Observasi



-



Risiko cedera dengan faktor risiko terpapar zat kimia toksik



Setelah diasuh selama 3x24 jam risiko cedera menurun dengan kriteria hasil: Tingkat Cedera (L.14136) - Tidak mengalami cedera - Tidak ada lecet atau luka phlebitis pada area tusukan infus - Nafsu makan baik - Vital sign dalam batas normal



Setelah diasuh selama 3x24 jam ansietas menurun dengan kriteria hasil: Tingkat Ansietas (L. 09093) - Tidak ada verbalisasi kebingungan - Tidak tampak cemas atau gelisah



Identifikasi kebutuhan alat bantu kebersihan diri, berhias dan makan Terapeutik - Sediakan lingkungan yang terapeutik - Siapkan keperluan perawatan diri - Bantu dalam melakukan perawatan diri - Jadwalkan rutinitas perawatan diri Pencegahan Cedera (I.14537) Observasi : - Identifikasi obat yang berpotensi menyebabkan cedera Terapeutik : - Observasi tusukan dan kelancaran infus Edukasi : - Anjurkan keluarga untuk selalu mendampingi pasien Pemberian Obat (I.02062) Observasi : - Monitor efek samping, toksisitas, dan interaksi obat Terapeutik : - Lakukan prinsip enam benar (pasien, obat, dosis, rute, waktu, dokumentasi) Edukasi : - Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang diharapkan, dan efek samping sebelum pemberian obat Reduksi Ansietas (I.09314) Observasi : - Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal) Terapeutik : - Ciptakan suasana terapeutik - Dengarkan pasien dengan penuh perhatian Edukasi : - Jelaskan prosedur dan sensasi yang mungkin dialami - Informasikan mengenai diagnosis dan pengobatan - Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien



D. Implementasi keperawatan Implementasi merupakan tahap proses keperawatan di mana perawat memberikan intervensi keperawatan langsung dan tidak langsung terhadap klien. Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikutnya (Wilkinson.M.J, 2012). E. Evaluasi keperawatan Menurut setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi keperawatan terbagi menjadi dua yaitu 1. Evaluasi formatif (proses) Evaluasi formatif adalah aktivitas dari proses keperawatan dan hasil kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Evaluasi formatif harus dilaksanakan segra setelah perencanaan keperawatan telah diimplementasikan untuk membantu menilai efektivitas intervensi tersebut. Evaluasi formatif harus dilaksanakan terus menerus hingga tujuan yang telah ditentukan tercapai. Metode pengumpulan data dalam evaluasi formatif terdiri atas analisis rencana asuhan keperawatan, pertemuan kelompok, wawancara, observasi klien, dan menggunakan from evaluasi. Ditulis dalam catatan perawatan. 2. Evaluasi Sumatif (hasil) Evaluasi sumatif adalah rekapitulasi dan kesimpulan dari observasi dan analisa status kesehatan sesuai waktu pada tujuan. Ditulis pada catatan perkembangan. Fokus evaluasi sumatif adalah perubahan prilaku atau setatus kesehatan klien pada akhir asuhan keperawatan. Evaluasi ini dilaksanakan pada akhir asuhan keperawatan secara paripurna.



Hasil dari evaluasi dalam asuhan keperawatan adalah tujuan tercapai/masalah teratasi: jika klien menunjukan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, tujuan tercapai sebagian/masalah teratasi sebagian: jika klien menunjukan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan, dan tujuan tidak tercapai/ masalah tidak teratasi : jika klien tidak menunjukan perubahan dan kemajuan sama sekali dan bahkan timbul masalah baru. Penentuan masalah teratasi, teratasi sebagian, atau tidak teratasi adalah dengan cara membandingkan antara SOAP dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditetapkan.Perumusan evaluasi sumatif ini meliputi 4 komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif, objektif, analisis data dan perencanaan. a. S (subjektif) Data subjektif dari hasil keluhan klien, kecuali pada klien yang afasia b. O (objektif) Data objektif dari hasi observasi yang dilakukan oleh perawat. c. A (analisis) Masalah dan diagnosis keperawatan klien yang dianalisis atau dikaji dari data subjektif dan data objektif. d. P (perencanaan) Perencanaan kembali tentang pengembangan tindakan keperawatan, baik yang sekarang maupun yang akan datang dengan tujuan memperbaiki keadaan kesehatan pasien



BUKU PANDUAN MK KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH NERS POLKESYO TAHUN AKADEMIK 2021-2022



PATHWAY



Lampiran 1. Format Asuhan Keperawatan Medikal Bedah POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA PROGRAM STUDI PROFESI NERS



JURUSAN KEPERAWATAN Hari/Tanggal Jam Tempat Oleh Sumber data lain Metode



: Senin/25 Oktober 2021 : 09.00 WIB : Bangsal Bugenvile 3 RSUP Dr Sardjito : Aisyah Ayu, Rossi Novianti : Pasien, rekam medis, dan tim kesehatan : Alloanamnesa, autoanamnesa, observasi, studi dokumen



A. PENGKAJIAN 1.



Identitas a.



Pasien



1)



Nama Pasien



: Ny. K



2)



Tempat Tgl Lahir



: Kudus 05/10/1978



3)



Umur



4)



Jenis Kelamin



5)



Agama



6)



Pendidikan



: SD



7)



Pekerjaan



: Petani



8)



Suku / Bangsa



: Jawa/Indonesia



9)



Alamat



: Karang Wuni, KP



: 43 Th : Perempuan : Islam



10) Diagnosa Medis



: NPC



11) No. RM



: 0198xxxx



12) Tanggal Masuk RS



: 19/10/2021



b.



Penanggung Jawab / Keluarga 1)



Nama



: Ny. I



2)



Umur



: 39 Th



3)



Pekerjaan



4)



Alamat



5)



Hubungan dengan pasien



: Petani : Pengasih, KP : Kakak ipar



2.



Riwayat Kesehatan a.



Kesehatan Pasien 1)



Keluhan Utama saat Pengkajian Pasien mengatakan badannya lemas sejak kemoterapi yang pertama tidak kuat berjalan jauh atau lama karena bisa ambruk tiba-tiba dan lututnya terasa tidak mampu menopang tubuhnya. Tidak mengeluh pusing, mual, atau yang lainnya. Pasien mengatakan badannya terasa sehat saja, nafsu makan pun juga baik, dan berat badannya sudah naik tidak seperti waktu kemoterapi yang pertama. Pasien tampak cemas dan menanyakan mengapa persiapan kemoterapi yang saat ini dijalani berlangsung lama meskipun badannya sehat. Hari ini pasien rencana akan menjalani program kemoterapi lanjutan hari ke-1 sehingga akan dipasang infus lagi pada tangan kanan.



2)



Riwayat Kesehatan Sekarang a)



Alasan masuk RS : Pasien menjalani kemoterapi lanjutan untuk penyakit NPC



b)



Riwayat Kesehatan Pasien : Sekitar awal bulan Agustus muncul benjolan pada leher kanan pasien yang ukurannya kecil. Anak pertamanya menyuruh pasien untuk segera berobat sebelum menjadi lebih parah lalu pasien pun segera memeriksakan dirinya ke puskesmas. Saat di puskesmas, pasien diberi obat saja lalu pulang tetapi seminggu kemudian kembali lagi karena benjolan di leher semakin membesar dan mulai terganggu karena pasien juga merasa pusing. Setelah itu pasien dirujuk ke klinik yang lebih besar tapi benjolan tak kunjung sembuh akhirnya pasien dibawa ke RSUD Wates. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan akhirnya ditemukan bahwa ada sel ganas pada hidung pasien, lalu pasien mondok di rumah sakit selama seminggu serta menjalani operasi pada hidungnya untuk mengambil sel ganas



tersebut. Pasien mengalami perdarahan pada hidungnya bahkan hingga saat ia dipulangkan dari RSUD Wates. Saat itu benjolan di lehernya juga belum sembuh, kemudian pasien dibawa berobat ke RSUP Dr Sardjito. Saat di RSUP ternyata sel ganas yang ada di hidung pasien belum bersih, kemudian pasien mondok untuk menjalani program kemoterapi yang pertama pada awal bulan September. Kondisi pasien saat kemoterapi



yang



pertama



sangat



tidak



sehat.



Pasien



mengatakan badannya nyeri, mual, muntah, gusi berdarah, tidak nafsu makan, badannya kurus, pucat, lesu, lemas, tidak bisa duduk bahkan sampai tidak bisa bicara, namun selesai kemoterapi pertama dengan kondisi seperti itu pasien diperbolehkan pulang. Saat di rumah kurang lebih selama 10 hari pasien masih mual dan muntah, tidak nafsu makan, tidak sanggup berjalan, dan beberapa kali ambruk. Namun kemudian semakin hari kesehatannya semakin membaik, nafsu makan mulai meningkat, BAB dan BAK lancar. Hingga saat menjalani program kemoterapi lanjutan ini yang masih kurang hanya kemampuan beraktivitasnya karena pasien masih belum kuat seperti sedia kala.



3)



Riwayat Kesehatan Dahulu



Pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang serius sebelum mengalami penyakit yang saat ini sedang diderita. Pasien tidak pernah mengalami penyakit kronis seperti hipertensi, DM, jantung, paru-paru, atau lainnya. b.



Riwayat Kesehatan Keluarga 1)



Genogram



Keterangan : Laki-laki



Tinggal serumah



Perempuan



2)



Meninggal



Pasien Pisah



Riwayat Kesehatan Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit menurun seperti penyakit jantung, hipertensi, diabetes, dan sebagainya. Pasien mengatakan ayah kandungnya meninggal usia 45 tahun karena paru-paru basah dan ibunya meninggal usia 66 tahun karena memang lemah dan tua.



3.



Kesehatan Fungsional (11 Pola Gordon) 1)



Nutrisi- metabolik Nafsu makan baik, makanan selalu dihabiskan.



2)



Eliminasi



Pasien mengatakan tidak ada masalah dalam BAB dan BAK nya saat ini. Pasien BAB dan BAK menggunakan pispot, kecuali pada malam hari pasien menggunakan pampers. 3)



Aktivitas /latihan a)



Keadaan aktivitas sehari – hari Pasien tidak bisa berjalan jauh, berjalan hanya pelan-pelan saat di rumah karena badannya lemas, meskipun begitu pasien masih mampu mandi dan makan sendiri. Saat ini pasien bed rest sehingga untuk mandi dibantu oleh yang menunggu; biasanya anak sulungnya.



b)



Keadaan pernafasan Pasien mengatakan tidak sesak nafas dan bagian hidungnya yang sudah dioperasi juga tidak ada masalah.



c)



Keadaan Kardiovaskuler Dalam batas normal (1)



Skala ketergantungan AKTIFITAS Bathing Toileting Eating Moving Ambulasi Walking Keterangan :



1



KETERANGAN 2 3 4 3 3



1 1 3



1 = Mandiri/ tidak tergantung apapun 2 = dibantu dengan alat 3 = dibantu orang lain 4 = Dibantu alat dan orang lain 5 = Tergantung total 4)



Istirahat – tidur Pasien bisa tidur nyenyak



4



5



5)



Persepsi,



pemeliharaan



dan



pengetahuan



terhadap



kesehatan Pasien mengatakan meskipun dirinya sakit, ia tidak merasa bahwa dirinya lemah, justru orang-orang disekitarnya, tetangganya, semua banyak yang menolong dan memberi bantuan sehingga pasien merasa terharu dan tetap semangat. Pasien mengetahui bahwa dirinya memiliki penyakit kanker namun pasien tetap semangat untuk hidup dan tidak akan menyerah. Maka dari itu pasien selalu mau menaati anjuran yang diberikan oleh tim kesehatan baik dokter, perawat, ahli gizi, maupun yang lainnya. 6)



Pola Toleransi terhadap stress-koping Pasien selalu berdoa dan pasrah kepada Tuhan, pasien percaya bahwa Tuhan tidak tidur dan rezeki bisa dating darimana saja sehingga ketika sedang sakit pun ia tetap semangat untuk sembuh.



7)



Pola hubungan peran Hubungan pasien dengan orang-orang disekitar maupun keluarga baik.



8)



Kognitif dan persepsi Kemampuan pasien untuk menerima informasi baik.



9)



Persepsi diri Pasien mengatakan dulu dirnya gemuk dan berkulit putih namun karena harus bekerja keras sekarang jadi hitam, meskipun begitu ia tetap bersyukur karena yang terpenting adalah kesehatan diri dan keluarganya.



10)



Reproduksi dan kesehatan Pasien masih menstruasi, siklus 28 hari, menggunakan KB implant, lama menstruasi 7-8 hari dan mengganti pembalut 2-3 kali sehari.



11)



Keyakinan dan Nilai



Pasien percaya bahwa jika ia menjadi orang yang baik pasti kebaikan akan kembali kepadanya karena Tuhan tidak tidur. Pemeriksaan Fisik b. Keadaan Umum 1)



Kesadaran : Compos mentis



2)



Status Gizi :TB = 152 cm BB = 55 Kg IMT = 23.81 (Gizi baik/normal)



3)



Tanda Vital :



TD



= 110/73 mmHg Nadi =



92x/mnt Suhu = 36.9°C



RR = 18x/mnt



c. Pemeriksaan Secara Sistematik (Cephalo – Caudal) 1)



Kulit Mulai tampak keriput, tidak ada luka, tidak tampak kering, area sekitar infus tangan kanan tampak sedikit merah namun tidak ada rasa nyeri.



2)



Kepala Rambut sedikit, pasien mengalami kebotakan.



3)



Leher Tidak ada benjolan maupun pembesaran tiroid



4)



Tengkuk Tidak ada kelainan bentuk, tampak normal.



5)



Dada a)



Inspeksi Pola napas eupnea, 18x/menit, napas tidak menggunakan otot tambahan



b)



Palpasi



Bentuk dada seimbang, tidak ada deformitas, massa, maupun krepitasi



c)



Perkusi Dalam batas normal



d)



Auskultasi Suara napas vesikuler, s1-s2 reguler



6)



Payudara Tampak kendur, tidak ada massa, tidak tampak adanya deformitas



7)



Punggung Tidak ada luka dekubitus



8)



Abdomen a)



Inspeksi Tampak besar/gemuk, pasien tidak mual atau muntah



b)



Auskultasi Bising usus normal, 10x/menit



c)



Perkusi Tidak kembung



d)



Palpasi Tidak ada massa



9)



Anus dan Rectum Normal, tidak ada wasir atau hemoroid, memakai pampers.



10)



Genetalia Tidak memakai kateter, masih bisa BAK normal, memakai pampers.



11)



Ekstremitas



a)



Atas Tangan kiri tampak terpasang infus sudah 6 hari, tetesan infus lancar, tidak ada udema, pasien tidak merasa ada nyeri namun tampak sedikit kemerahan pada area tusukan. jari tangan utuh jumlah 10, kuku pendek.



b)



Bawah Tampak normal, tidak ada deformitas, kuku pendek, jumlah jari lengkap 10 dalam keadaan utuh.



Pengkajian VIP score (Visual Infusion Phlebithis) Skor visual flebitis pada luka tusukan infus : Tanda yang ditemukan



Skor



Rencana Tindakan



Tempat suntikan tampak sehat



0



Tidak ada tanda flebitis



Salah satu dari berikut jelas:



1



- Observasi kanula Mungkin tanda dini flebitis



 Nyeri tempat suntikan  Eritema tempat suntikan Dua dari berikut jelas :  Nyeri sepanjang kanula  Eritema  Pembengkakan Semua dari berikut jelas :  Nyeri sepanjang kanula  Eritema  Indurasi Semua dari berikut jelas :  Nyeri sepanjang kanula  Eritema  Indurasi  Venous cord teraba Semua dari berikut jelas :    



Nyeri sepanjang kanula Eritema Indurasi Venous cord teraba



- Observasi kanula 2



Stadium dini flebitis - Ganti tempat kanula



3



Stadium moderat flebitis  Ganti kanula  Pikirkan terapi



4



Stadium lanjut atau awal tromboflebitis  Ganti kanula  Pikirkan terapi



5



Stadium lanjut tromboflebitis  Ganti kanula  Lakukan terapi



 Demam *)Lingkari pada skor yang sesuai tanda yang muncul



MORSE FALL SCALE (MFS) NO 1. 2. 3.



4. 5.



6.



PENGKAJIAN



SKALA



TANGGAL 25/1026/1027/10 KET NILAI



Riwayat jatuh: apakah lansia pernah jatuh dalam 3 bulan terakhir?



Tidak Ya



0 25



25



25



25



Diagnosa sekunder: apakah lansia memiliki lebih dari satu penyakit?



Tidak Ya



0 15



0



0



0



0



0



0



20



20



20



10



10



10



0



0



0



55



55



55



Alat Bantu jalan: - Bed rest/ dibantu perawat - Kruk/ tongkat/ walker - Berpegangan pada benda-benda di sekitar (kursi, lemari, meja) Terapi Intravena: apakah saat ini lansia terpasang infus? Gaya berjalan/ cara berpindah: - Normal/ bed rest/ immobile (tidak dapat bergerak sendiri) - Lemah (tidak bertenaga) - Gangguan/ tidak normal (pincang/ diseret) Status Mental - Lansia menyadari kondisi dirinya - Lansia mengalami keterbatasan daya ingat



0 15 30 Tidak Ya



0 20 0 10 20 0 15



Total Nilai PARAF Keterangan: Tingkatan Risiko Tidak berisiko



Nilai MFS 0 - 24



sasha sasha Rossi



Tindakan Perawatan dasar



Risiko rendah



25 - 50



Risiko tinggi



≥ 51



Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh standar Pelaksanaan intervensi pencegahan jatuh risiko tinggi



4.



Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Patologi Klinik Tabel 3.4 Pemeriksaan laboratorium Ny K di Ruang Bugenvile 3 di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta Tanggal Pemeriksaan



Jenis Pemeriksaan



24 Oktober Darah lengkap 2021 Al



Hasil (satuan)



Normal



9.03 (metamielosit 8%, stab 33%) 4.50-11.50



Hb



13.2



12.0-15.0



At



252



150-450



GDS



124