Askep Perawatan Luka Wound Dehiscience [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn. H DENGAN DIAGNOSA MEDIS WOUND DEHISCENCE DI KLINIK BILQISS MEDIKA SETU



Oleh: Devi Ayu Anggraeni



130317456



PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS



UNIVERSITAS MEDIKA SUHERMAN (UMS) 2021



A. KONSEP WOUND DEHISCENCE 1. Definisi Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi dari proses penyembuhan luka yang didefinisikan sebagai keadaan dimana terbukanya kembali sebagian atau seluruhnya luka operasi. Keadaan ini sebagai akibat kegagalan proses penyembuhan luka operasi (Spiolitis dalam Dewi, 2011). Wound dehiscence merupakan salah satu komplikasi luka post operasi yang paling serius. Beberapa penelitian memperlihatkan tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi yaitu 3–35% (Khorgami et al. dalam Ningrum, dkk, 2017), dengan insiden wound dehiscence di dunia sekitar 0,4%–3,5% setelah pembedahan mayor abdomen dan dihubungkan dengan kematian sekitar 10% – 45% (Ramshorst et al. dalam Ningrum, dkk, 2017). 2. Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua: a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari paska operasi yang biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik. b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R dalam Dewi, 2011). 3. Manifestasi Klinik Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa ada jaringan dari dalam yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan



serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Sjamsudidajat R dalam Dewi, 2011). Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus (Afzal,2008; Spioloitis et al, 2009). 4. Etiologi Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan atas tiga yaitu: a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik operasi yang kurang. b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka. c. Faktor



infeksi



Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda peradangan disekitar luka. Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi dibedakan menjadi



luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperatur dan terjadinya selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Stafilococcus aureus. (Spioloitis et al, dalam Dewi, 2011). 5. Faktor risiko Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi yang berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi yang berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor pascaoperasi (Webster et al, dalam Dewi, 2011). Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih rentan dibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi, obesitas, diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan kemoterapi, keganasan,



sepsis,



penyakit



paru



obstruktif



serta



pemakaian



preparat



kortikosteroid jangka panjang (Singh dalam Dewi, 2011). Faktor risiko operasi antara lain: a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripada transversal dikarenakan arah insisinya yang nonanatomik. b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi efektifitas dan kekuatannya (Makela J dalam Dewi, 2011).



c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih aman daripada tekhnik penjaitan kontinyu. d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadi suatu perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali tidak dapat diperkirakan (Makela J dalam Dewi, 2011). Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkan terjadinya dehisensi luka antara lain: a. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimal, perawatan luka pasca operasi yang tidak optimal memudahkan terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula terjadinya dehisensi luka operasi. b. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat, asupan nutrisi yang tidak adekuat terutama protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan ini akan mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka. Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang merupakan proses awal penyembuhan luka. c. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker, radiasi pasca operasi dapat menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan mikroangiopati (Makela J dalam Dewi, 2011). 6. Penatalaksanaan Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan umum penderita. a. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring



di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus steril (Ismail dalam Dewi, 2011). Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula antibiotik yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Ismail dalam Dewi, 2011). b. Penanganan Operatif Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar dalam Dewi, 2011). Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar dalam Dewi, 2011). Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi. Dalam perencanaan jahitan ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan foto throraks. Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka (Sjamsudidajat dalam Dewi, 2011). Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72 jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi ditegakkan. Tehnik yang sering digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum



operasi dilakukan, membebaskan omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan kelembaban jaringan terjaga (Spiloitis dalam Dewi, 2011). Prinsip



pemilihan



benang



untuk



penjahitan



ulang



adalah



benang



monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan penguat dengan karet atautabung plastic lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu (Ismail dalam Dewi, 2011). Selain rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric fistulation (Sukumar dalam Dewi, 2011). Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik lain yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi. Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang merupakan kantong irigasi



genitourin dengan daya tampung 3 liter yang digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastik ini dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar dalam Dewi, 2011).



B. ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Tn. H DENGAN DIAGNOSA MEDIS WOUND DEHISCENCE DI KLINIK BILQISS MEDIKA SETU I.



PENGKAJIAN A. Biodata 1. Identitas Klien -



Nama



: Hendra



-



Tempat tanggal lahir : Bekasi, 16 Desember 1997



-



Jenis kelamin



: Laki-laki



-



Agama



: Islam



-



Suku Bangsa



: Indonesia



-



Pendidikan



: SMA



-



Pekerjaan



: wirausaha



-



Status Perkawinan



: belum menikah



-



Alamat



: Kp. Sadang RT/RW 02/01 Desa



Ragemanunggal -



Tanggal MRS



: 28/06/2021



2. Identitas Penanggung Jawab : Pribadi B. Riwayat Kesehatan Klien 1. Keluhan Utama



: klien merupakan pasien post



operasi pada daerah dahi, klien datang ke klinik untuk mengganti balutan dan mendapatkan perawatan luka modern sehingga luka dapat diatasi. 2. Riwayat Kesehatan Sekarang



:



3. Riwayat Penyakit Masa Lalu



: klien tidak memiliki riwayat



penyakit



4. Riwayat Penyakit Keluarga



: klien tidak memiliki riwayat



penyakit keluarga 5. Genogram



: Tidak terkaji



6. Pola Aktifitas Sehari-hari No 1



Jenis Aktifitas Pola Makan dan Minum 



Sebelum Sakit Tidak ada



Selama Sakit Tidak ada



masalah



masalah



Makan Jenis makanan Frekuensi



3x sehari



3x sehari



Cair, padat



Cair, padat



Air mineral



Air mineral



5 gelas



8 gelas



Jumlah Makanan Bentuk Makanan Makanan Pantangan 



Gangguan/Keluhan Minum Jenis Minuman Frekuensi Jumlah Minuman



2



Gangguan/Keluhan Pola Eliminasi  BAB



Tidak ada



Tidak ada



masalah



masalah



Gangguan/Keluhan BAK



Tidak ada



Tidak ada



Frekuensi



masalah



masalah



Frekuensi Jumlah Konsistensi dan Warna Bau 



Jumlah Konsistensi dan



Warna Bau 3



4



Gangguan/Keluhan Pola Istirahat dan Tidur  Siang



Tidak ada



Tidak ada



 Malam Personal Hygiene Mandi



masalah



masalah



Tidak ada



Tidak ada



Cuci rambut



masalah



masalah



Gangguan/Masalah Pola aktifitas/latihan



Tidak ada



Tidak ada



fisik



masalah



masalah



Tidak ada



Tidak ada



Gosok Gigi Ganti Pakaian Gunting Kuku 5



Mobilisasi/jenis aktifitas Waktu/lama/frekuensi 6



Gangguan/masalah Kebiasaan lain Merokok



Alkohol C. Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan Umum a) Tingkat Kesadaran : Compos Mentis b) Tanda-tanda Vital : TD: 110/70 mmHg, S : 36,6 C, R : 18x/menit, N : 80x/menit c) Data Fisik (Head to Toe) -



Kepala dan rambut: Bentuk Kepala Oval, Warnat rambut hitam kemerahan, Tidak ada luka pada kulit kepala, kulit kepala tampak bersih, tidak ada nyeri tekan, tidak ada lesi.



-



Dahi: Terdapat luka post operasi, dengan warna kemerahan, bentuk memanjang



-



Mata: Bentuk mata simetris, Sclera berwarna putih, Konjungtiva tidak anemis.



-



Hidung: tidak ada sekret, bentuk hidung simetris, fungsi penciuman normal, tidak ada cuping hidung.



-



Telinga: bentuk simetris, tidak ada lesi, telinga tidak ada serumen, fungsi pendengaran normal.



-



Mulut: tidak ada sariawan, mulut tampak bersih.



-



Leher: tidak ada peningkatan JVP.



-



Kulit: CRT