Asuhan Keperawatan Pada Pasien Osteoporosis Dan Osteomielitis [PDF]

  • Author / Uploaded
  • mega
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOPOROSIS DAN OSTEOMIELITIS



Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II Yang dibina oleh Ns. Sasmiyanto, S.Kep., M.Kes oleh : Kelompok 1 (Kelas 4B)



Safrina Adabiyah



(1701021041)



Novelin Annisa F



(1701021037)



Mega Selviana D.Y.P (1701021044)



Dwi Nuzulia R



(1701021042)



Erin Nur C



(1701021027)



Rodhiatus Sufi A



(1701021034)



Raih Siagian



(1701021040)



Samsul Arifin



(1701021029)



Anggra Edo



(1601021038)



Elma Dwi M



(1601021055)



PRODI D-III KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER 2019



KATA PENGANTAR



Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan salah satu tugas pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Makalah ini berisikan tentang Asuhan Keperawatan Pada Pasien Osteoporosis Dan Osteomielitis. Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II. Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan, baik dari segi isi materi maupun sistematika penulisannya. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.



Jember, April 2019



Penulis



ii



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................................. ii DAFTAR ISI ................................................................................................ iii BAB I : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOPOROSIS ........................................................................................ 1 A. Definisi ..................................................................................................... 1 B. Etiologi ..................................................................................................... 1 C. Patofisiologi dan WOC .......................................................................... 4 D. Manifestasi Klinis ................................................................................... 6 E. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................ 6 F. Penatalaksanaan Medis .......................................................................... 9 G. Pengkajian .............................................................................................. 9 H. Diagnosis Keperawatan ....................................................................... 10 I. Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................... 10 BAB II : ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOMIELITIS ..................................................................................... 14 A. Definisi ................................................................................................. 14 B. Etiologi ................................................................................................. 14 C. Patofisiologi dan WOC ....................................................................... 15 D. Manifestasi Klinis................................................................................ 17 E. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 17 F. Penatalaksanaan Medis ...................................................................... 17 G. Pengkajian ........................................................................................... 18 H. Diagnosis Keperawatan ...................................................................... 19 I.



Rencana Asuhan Keperawatan ......................................................... 19



BAB III : PENELITIAN TERKAIT INTERVENSI .............................. 22 BAB IV : KESIMPULAN.......................................................................... 25 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26 LAMPIRAN ................................................................................................ 27



iii



BAB I ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOPOROSIS



A. Definisi Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas



tulang



dan



meningkatnya



kerentanan



terhadap



patah



tulang.



Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total (Lukman & Ningsih, 2009). Menurut konsensus di kompenhage 1990, osteoporosis didefinisikan sebagai suatu penyakit dengan karakteristik massa tulang yang berkurang dengan kerusakan mikroarsitektur jaringan yang menyebabkan kerapuhan tulang dan resiko fraktur meningkat (Lukman & Ningsih, 2009).



B. Etiologi 1. Determinan Massa Tulang a. Faktor Genetik Perbedaan



genetik



mempunyai



pengaruh



terhadap



derajat



kepadatan tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika), relatif imun terhadap fraktur karena osteoporosis (Purwanto, 2016). b. Faktor mekanis Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor genetik. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Kedua hal tersebut menunjukkan respons terhadap kerja mekanik. Beban mekanik yang berat akan mengakibatkan massa otot



1



besar dan juga massa tulang yang besar. Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan atau tungkainya, sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di samping faktor genetik (Purwanto, 2016). c. Faktor makanan dan hormon Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup (protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan yang berlebih (misalnya kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan genetiknya (Purwanto, 2016). 2. Determinan Penurunan Massa Tulang a. Faktor genetik Pada seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan sitat genetiknya serta beban mekanis den besar badannya. Apabila individu dengan tulang yang besar, kemudian terjadi proses penurunan massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka individu tersebut relatif masih mempunyai tulang lebih banyak dari pada individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama (Purwanto, 2016).



2



b. Faktor mekanis Faktor mekanis mungkin merupakan yang terpenting dalarn proses penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada umumnya aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut pasti akan menurun dengan bertambahnya usia (Purwanto, 2016). c. Kalsium Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya usia, terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi yang sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause, dengan masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik, menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas, bahwa pada wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara masukan kalsium dengan keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada masa menopause adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif, sejumiah 25 mg kalsium sehari (Purwanto, 2016). d. Protein Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium. Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama makanan lain.



3



Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka fosfor tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin. Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui tinja. Hasil akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan akan mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium yang negative (Purwanto, 2016). e. Estrogen Berkurangnya/hilangnya



estrogen



dari



dalam



tubuh



akan



mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga menurunnya konservasi kalsium di ginjal (Purwanto, 2016). f. Rokok dan Kopi Merokok dan minum kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan penurunan massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah. Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan massa tulang tidak diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium melalui urin maupun tinja (Purwanto, 2016). g. Alkohol Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan. Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat. Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti (Purwanto, 2016)



C. Patofisiologi dan WOC Genetik, nutrisi, gaya hidup (misal merokok,konsumsi kafein,dan alkohol), dan aktivitas memengaruhi puncak massa tulang. Kehilangan massa tulang mulai terjadi setelah tercapainya puncak massa tulang. Pada prima massa tulang lebih besar dan tidak mengalami perubahan hormonal mendadak. Sedangkan pada



4



perempuan, hilangnya estrogen pada saat menopause dan pada ooforektomi mengakibatkan percepatan resorpsi tulang dan berlangsung terus selama tahuntahun pascamenopause. Diet kalsium dan vitamin D yang sesuai harus mencukupi untuk mempertahankan remodelling tulang dan fungsi tubuh. Asupan kalsium dan vitamin D yang tidak mencukupi selama bertahun-tahun mengakibatkan pengurangan massa tulang dan pertumbuhan osteoporosis. Asupan harian kalsium yang dianjurkn (RDA : recommended daily allowance) meningkat pada usia 1124 tahun (adolesen dan dewasa muda) hingga 1200 mg per hari, tetapi pada perempuan pascamenopause 1000-1500 mg per hari. Sedangkan pada lansia dianjurkan mengkonsumsi kalsium dalam jumlah tidak terbatas, karena penyerapan kalsium kurang efisien dan cepat diekskresikan melalui ginjal (Smeltzer,2002). Demikian pula, bahan katabolik endogen (diproduksi oleh tubuh) dan eksogen dapat menyebabkan osteoporosis. Penggunaan kortiko steroid menyebabkan kehilangan tulang. Obat-obatan seperti isoniazid, heparin, tetrasiklin, antasida yang mengandung aluminium, furosemid, antikonvulsan, kortikosteroid dan sumplemen tiroid memengaruhi penggunaan tubuh dan metabolisme kalsium. Imobilitas juga memengaruhi terjadinya osteoporosis. Ketika diimobilisasi dengan gips, paralisis atau inaktivitas umum, tulang akan diresorpsi lebih cepat dari pebentukannya sehingga terjadi osteoporosis (Purwanto, 2016).



5



D. Manisfestasi Klinis 1. Nyeri dengan atau tanpa fraktur yang nyata. 2. Nyeri timbul mendadak. 3. Sakit hebat dan terlokalisasi pada vertebra yg terserang. 4. Nyeri berkurang pada saat istirahat di tempat tidur. 5. Nyeri ringan pada saat bangun tidur dan akan bertambah jika melakukan aktivitas. 6. Deformitas vertebra thorakalis



Penurunan tinggi badan



E. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan radiologi Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.



6



2. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri) Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk menilai



densitas



massa



tulang,



seseorang



dikatakan



menderita



osteoporosis apabila nilai BMD ( Bone Mineral Density ) berada dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai menurunnya kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan -1 dan normal apabila nilai BMD berada diatas nilai -1. Beberapa metode yang digunakan untuk menilai densitas massa tulang: a. Single-Photon Absortiometry (SPA) b. Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energi photon rendah guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi. SPA digunakan hanya untuk bagian tulang yang mempunyai jaringan lunak yang tidak tebalseperti distal radius dan kalkaneus. c. Dual-Photon Absorptiometry (DPA) d. Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA. Perbedaannya berupa sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tingkat energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian tubuh dan tulang yang mempunyai struktur geometri komplek seperti pada daerah leher femur dan vetrebrata. e. Quantitative Computer Tomography (QCT) f. Merupakan densitometri yang paling ideal karena mengukur densitas tulang secara volimetrik. 3. Sonodensitometri Sebuah metode yang digunakan untuk menilai densitas perifer dengan menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi. 4. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah yaitu pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula.



7



5. Biopsi tulang dan Histomorfometri Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa kelainan metabolisme tulang. 6. Radiologis Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa korteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus ke dalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf. 7. CT-Scan CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3 baisanya tidak menimbulkan fraktur vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur. 8. Pemeriksaan Laboratorium a. Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata. b. Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct (terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct) c. Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun. d. Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat kadarnya.



8



F. Penatalaksanaan Medis 1. Pengobatan a. Meningkatkan



pembentukan



tulang,



obat-obatan



yg



dapat



meningkatkan pembentukan tulan adalah Na-fluorida dan steroid anabolik. b. Menghambat resobsi tulang, obat-obatan yang dapat mengahambat resorbsi tulang adalah kalsium, kalsitonin, estrogen dan difosfonat 2. Pencegahan a. Diet mengandung tinggi kalsium (1000 mg/hari) b. Latihan teratur setiap hari c. Hindari : 1) Makanan tinggi protein 2) Minum alkohol 3) Merokok 4) Minum kopi 5) Minum antasida yang mengandung aluminium



G. Pengkajian Dasar pengkajian keperawatan meliputi promosi kesehatan, identifikasi individu dengan resiko mengalami osteoporosis, dan penemuan masalah yang berhubungan dengan osteoporosis. Wawancara meliputi pertanyaan mengenai terjadinya osteoporsis dalam keluarga, terjadi fraktur sebelumnya, diet konsumsi kalsium harian, pola aktifitas latihan harian, awitan menopouse, pengguanaan obat kortikosteroid, asupan alkohol, rokok dan kafein. Perawat perlu mengkaji gejala yang dialami klien, seperti sakit pinggang, konstipasi, dan gangguan citra diri (Lukman & Ningsih, 2009). Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan adanya fraktur, kifosis vertebra torakalis atau pengurangan tinggi badan. Masalah mobilitas dan pernapasan dapat terjadi akibat perubahan postur dan kelemahan otot. Inaktivitas dapat menyebabkan terjadinya konstipasi (Lukman & Ningsih, 2009)



9



H. Diagnosis Keperawatan Diagnosis keperawatan untuk osteoporosis secara umum menurut (Carpenito 1995)adalah resiko tinggi regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan infusiensi pengetahuan, faktor-faktor risiko, terapi nutrisi, dan prevensi. Berdasarkan dua pendapat diatas, maka dapat disimpulkan diagnosis keperawatab pada klien osteoporosis adalah sebagai berikut : 1.



Kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program terapi.



2.



Nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot.



3.



Konstipasi berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus (obstriksi usus).



4.



Resiko terjadi cedera : fraktur berhubungan dengan tulang osteoporosis.



5.



Resiko tinggi regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan insufisiensi pengetahuan, faktor-faktor resiko, terapi nutrisi, dan prevensi.



I.



Rencana Asuhan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan pada klien osteopororsis di bawah ini



disusun meliputi diagnosis keperawatan, tindakan keperawatan, dan kriteria keberhasilan tindakan (kriteria evaluasi). Diagnosis keperawatan : kurang pengetahuan tentang proses osteoporosis dan program terapi. Tindakan 1. Jelaskan faktor



Kriteria evaluasi kepada



klien



tentang Klien



yang



mempengaruhi terhadap program terapi :



terjadinya osteoporosis, intervesi dan upaya mengurangi gejala.



pemahaman



1. Menyebutkan hubungan asupan kalsium dan latihan terhadap



2. Konsultasikan dengan ahli gizi untuk pemberian kalsium yang cukup. 3. Menjelaskan



menunjukkan



massa bertulang. 2. Mengonsumsi



diet



kalsium



dengan jumlah mencukupi. manfaat



asupan



kalsium.



3. Meningkatkan tingkat latihan. 4. Menggunakan terapi



4. Konsultasikan latihan pembebanan



10



yang diresepkan.



hormon



teratur.



5. Menjalani



5. Anjurkan moditifikasi gaya hidup



prosedur



skrining



sesuai anjuran.



seperti mengurangi kafein, berhenti merokok, dan alkohol. 6. Jelaskan efek samping konsumsi kalsium, yaitu nyeri lambung dan distensi abdomen. 7. Minum obat : kalsium sesuai order (misal bersama makanan lain). 8. Anjurkan banyak minum untuk mencegah pembentukan ginjal. 9. Jelaskan pentingnya pemerikasaan berkala terhadap indikasi kanker payudara dan endometrium, bila mengonsumsi HRT.



Diagnosis keperawatan : nyeri berhubungan dengan fraktur dan spasme otot. Tindakan



Kriteria Hasil



1. Anjurkan klien istirahat di tempat tidur dengan posisi terlentang atau miring kesamping.



kompres



hangat



2. rasa



dan



pijatan punggung. 4. Anjurkan



untuk



ekstermitasnya,



namun tidak boleh melakukan geraka memutar. 5. Pasang korset lumbosakral untuk menyokong



ketidaknyamanan



minimal



selama



aktifitas



berhari hari.



klien



menggerakkan



1. mengatakan nyeri reda saat istirahat.



2. Fleksikan lutut selama istirahat. 3. Berikan



Klien menunjukkan peredaan nyeri



dan



imobilisasi



11



3. menunjukkan nyeri fraktur.



tekan



berkurangnya pada



tempat



sementara ketika klien turun dari tempat tidur. 6. Berikan opioid oral pada hari hari pertama setelah nyeri punggung.



Diagnosis keperawatan : konstipasi berhubungan dengan imobilitas atau terjadinya ileus ( obstruksi usus) Tindakan



Kriteria Hasil



1. Berikan diet tinggi serat.



Klien



menunjukkan



pengosongan



2. Anjurkan banyak minum sesuai usus yang normal. kebutuhan.



1. bising usus aktif



3. Berikan obat pelunak feses sesuai



2. gerakan usus teratur



order. 4. Pantau asupan klien, bising usus dan aktivitas usus.



Diagnosis keperawatan resiko terjadi cidera : fraktur berhubungan dengan tulang osteoporosis Tindakan 



Dorong



Kriteria Hasil klien



memperkuat atrofi



untuk otot,



dan



latihan



mencegah



Latihan



isometrik,







Jelaskan pentingnya



kepada



tubuh yang bagus 



untuk



klien



Berikan



mekanika



menjalankan berat



latihan badan



(berjalan-jalan setiap hari) 



beban lama. 



rajin



pembebanan



menghindari



membungkuk dan mengangkat



mempergunakan tubuh yang baik







memperkuat otot batang tubuh.



Klien tidak mengalami fraktur baru : mempertahankan postur



menghambat



demineralisasi tulang progresif. 







istirahat



dengan



berbaring



beberapa kali sehari informasi



bahwa



12







berpartisipasi dalam aktivitas



aktivitas diluar rumah penting untuk memperbaiki kemampuan



diluar rumah 



tubuh menghasilkan vitamin D.



menciptakan



lingkungan



rumah yang nyaman. 



menerima



bantuan



supervisi kebutuhan



13



dan



BAB II ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN OSTEOMIELITIS



A. Definisi Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan bila dibandingkan dengan infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Lukman & Ningsih, 2009). Osteomielitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks tulang, dapat berupa eksogenus (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenus (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya menyerang metafisia tulang panjang dan banyak terdapat pada anak anak (Lukman & Ningsih, 2009). Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa osteomielitis adalah infeksi tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks tulang, yang terjadi secara eksogen dan hematogen, akut atau kronis dan biasanya menyerang metafisis tulang panjang (Lukman & Ningsih, 2009). B. Etiologi Infeksi ini dapat disebabkan oleh penyebaran hematogen, dari fokus infeksi ditempat lain ( misal tonsil yang terinfeksi, gigi terinfeksi, infeksi saluran nafas atas) osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat trauma yang terdapat resistensi rendah. Infeksi dapat juga berhubungan Dengan infeksi jaringan lunak, misal ulkus dekubitus atau ulkus vascular, atau kntaminasi langsung pada tulang (misal fraktur terbuka, luka ttembak, dan pembedahan tulang (Lukman & Ningsih, 2009). Staphylococcus merupakan penyebab 70-80% infeksi tulang. Organism laon lain merupakan protues, pseudomonas, dan Escherichia coli. Pada anak-anak infeksi tulang sering kali timbul sebagai komplikasi dari infeksi. Faring, (faringitis),



telinga



(otitis



media)



dan



kulit



(impetigo).



Bakterinya



(sthaphylococcus aureus, streptoccus haemophylus influenza) berpindah melalui



14



aliran darah menuju metafisistulang di dekat lempeng pertumbuhan bakteri dan nekrosis jaringan, maka tempat peradangan yang terbatas ini akan terasa nyeri dan nyeri tekan (Lukman & Ningsih, 2009). Mikroorganisme yang menginfeksi tulang akan membentuk kolono pada tulang perivaskuler, menimbulkan edema, infiltrasi seluler, dan akumulasi produk-pruduk inflamasi yang akan yang merusak trabekula tulang dan matriks dan mineral tulang (Lukman & Ningsih, 2009).



C. Patofisiologi dan Pohon Masalah Osteomielitis setelah pembedahan ortopedi dapat terjadi tiga bulan pertama (akut fulminan-stadium1) dan sering berhubungan dengan penumpukan hematoma atau infeksi seperfisial. Infeksi awitan lambat terjadi antara 4-24 bulan setelah pembedahan (stadium2), dan osteomielitis yang terjadi dalam waktu lama terjadi 24 bulan atau lebih setelah pembedaan (stadium3) (Lukman & Ningsih, 2009). Respon awal dari infeksi adalah inflamasi, peningkatan vaskularisasi, dan edema. Dua atau tiga ari setela pembedaan, yang mengakibatkan iskemia dengan nekrosis tulang berhubungan dengan peningkatan tekanan jaringan dan medulla. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medulla. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas medularis dan kebawah perostreum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi sekitar. Bila proses infeksi dapat dikontrol lebih awal, pembentukan abses tulang dapat dikontrol lebi awal, pembentukan abses tulang dapat dicegah (Lukman & Ningsih, 2009). Biasanya abses dapat keluar secara spontan, namun lebih sering harus dilakukan irigasi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya. Membentuk daerah jaringan mati, namun seperti pada rongga pada umumnya,jaringan tulang mati (sequestrum) tidak mudah mencair dan mengalir di luar,selain itu rongga tidak dapat mengepis dan sembuh.seperti yang terjadi pada jaringan lunak tetapi yang terjadi adalah pertumbuhan tulang baru (involukrum) yang mengelilingi sequestrum infeksi kronis yang ada tetap rentan mengeluarkan



15



abses kambuhan sepanjang hidup klien,dan ini dinamakan esteomielitis tipe kronik (Lukman & Ningsih, 2009).



16



D. Manifestasi Klinis Berupa progresif atau cepat infeksi hematogen akur, sering terjadi dengan manifestasi klinis septicemia yaitu mengigil, demam tinggi, denyut nadi cepet, dan malasae umum, sedangkan gejala local yang terjadi berupa rasa nyeri, nyeri tekan, bengkak, dan kesulitan mengerakkan anggota tubuh yang sakit (smelrzer 2002 dan sjamsuhidajat 1997) klien mengambarkan nyeri konstan berdenyut, semakin nyeri bila digerakkan dan berhubungan dengan tekanan pus yang terkumpul.



E. Pemeriksaan Penunjang 1.



Periksaan darah. Sel darah darah puti meningkat sampai 30.000 gr\dl disertai peningkatan laju endapan darah.



2.



Periksaan titer antibody-antibosyplhylococcus. Pemeriksaan kultur darah untuk menuntukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji sensitivitas



3.



Pemeriksaan kultur feses dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh salmonella.



4.



Pemeriksaan biopsy tulang.



5.



Pemeriksaan ultrasound. Pemeriksaan ini untuk memperlihatkan adanya efusi pada sendi.



6.



Pemeriksaan radologis. Pemeriksaan fot polos dalam 10 hari pertama biasanya tidak ditemukan kelainan radiologik, setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulag yang bersifat difuse.



F. Penatalaksanaan Prinsip penatalaksanaan ostemilitis, yaitu: a) istirahat dan pemberian analgetik untuk menghilangkan nyeri, b) pemberian cairan intravena dan kalau perlu transfuse darah, c) istirahat local dengan pemasangan bidai atau traksi, d) pemberian antibiotika secepatnya sesuai penyebab, dan e) drainase bedah.



17



Tujuan terapi adalah untuk mengontrol dan menghentikan proses infeksi, manajemen nyeri, dan pencegegahan komplikasi imobilitas. Tulang yang sakit harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan mencegah terjadinya fraktur. Lakukan rendaman salin hangat selama 20 menit beberapa kal pehari untuk meningkatkan aliran darah. Perawat harus terus mendorong klien untuk melakukan ROM, latihan isotnik dan isometric untuk menjaga kekuatan otot dan fleksibilitas sendi. Juga perlu diajakarkan teknik relaksasi, untuk mengurang nyeri dan dan meningkatkan kenyamanan klien (Lukman & Ningsih, 2009). Pemberian antibiotic sesuai dosis, waktu dan order sangat penting untuk mencapai kadar antibiotik dalam darah yang adekuat. Antibiotik parenteral harus diberikan sesuai dosis yaitu selama enam minggu (revers, 2001). Sebelum pemberian antibiotik, sebaiknya dilakukan kultur darah dan kultur abses untuk mengetahui organisme penyebab. Bila infeksi tampak terkontrol, antibiotic dapat diberikan peroral dan diberikan selama tiga bulan. Untuk meningkatkan absorpsi antibiotic oral, jangan diminum bersama makanan. Squestrektomi,



dengan



pengangkatan



involukrum



secukupnya



dapat



dilakukan. Semua tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi proses penyembuhan yang permanen. Luka ditutup rapat atau dipasangagar tampon agar dapat diisi oleh jaringan granulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat juga dipasang drainase untuk mengontrol hematoma dan mengangkat debris. Irigasi larutan salin normal dapat diberikan selama 7-8 hari (Lukman & Ningsih, 2009).



G. Pengkajian Pengkajian dilakukan terhadap adanya gejala akut, misal nyeri lokal, pembengkakan, eritema, demam, adanya pus. Perlu juga dikaji faktor risiko, ( misal lansia, diabetes, terapi kortikosteroid jangka panjang ), cedera, infeksi atau riwayat bedah ortopedi sebelumnya. Observasi klien jika terlihat selalu menghindari dari tekanan di daerah yang sakit, dan tampak lemah akibat reaksi sistemik infeksi. Klien akan mengalami peningkatan suhu tubuh. Pada



18



osteomielitis kronik, peningkatan suhu mungkin minimal dan biasanya terjadi pada sore dan malam hari (Lukman & Ningsih, 2009).



H. Diagnosis Keperawatan 1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembengkakan 2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi dan keterbatasan beban berat badan 3. Risiko tinggi penyebaran infeksi: pembentukan abses tulang 4. Risiko cedera berhubungan dengan rapuhnya tulang, kekuatan tulang yang berkurang 5. Kurang pengetahuan mengenai program pengobatan



I.



Rencana Asuhan Keperawatan 1. Diagnosis keperawatan: nyeri berhubungan dengan inflamasi dan pembekakan Tindakan a. imobilisasi daerah cedera dengan bidai, untuk mengurangi spasme otot dan nyeri b. letakan sendi di bagian atas dan bawah yang sakit sedemikian rupa ,dan anjurkan klien untuk menggerakkan sesuai rentang gerak yang dapat ditoleransi c. menangani luka dengan perlahan dan hati-hati d. tinggikan area yang sakit e. pantau status neurovaskuker f. ajarkan teknik relaksasi seperti napas dalam g. berikan analgesik sesuai order Kriteria evaluasi Nyeri reda/berkurang ditandai: 1) klien melaporkan nyeri berkurang 2) tidak mengalami nyeri tekan di area infeksi 3) merasa nyaman bila bergerak



19



2. Diagnosis keperawatan kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, alat imobilisasi ,dan keterbatasan dan berat badan Tindakan a. bantu aktivitas sehari-hari klien sesuai kebutuhan b. anjurkan partisipasi klien dalam kehidupan sehari-hari sesuai toleransi c. ajarkan dan anjurkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman. Kriteria evaluasi Klien memperlihatkan peningkatan mobilitas fisik: 1) berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri 2) mempertahankan fungsi penuh ektremitas yang sehat 3) memperlihatkan penggunaan alat imobilisasi dan alat bantu dengan aman 3. Diagnosis Keperawatan: Resiko tinggi penyebaran infeksi (pembentukan abses tulang Tindakan a. Observasi tempat pemasangan Infus dari kemungkinan flebitis. b. Pantau respon klien terhadap terapi antibiotic c. Pantau hasil pemeriksaan Laboraturium d. Tinggikan area infeksi e. Kolaborasi dalam pemberian terapi antibiotic f. Siapkan pembedahan, bila diperlukan Kriteria Hasil Infeksi tidak terjadi yang ditandai dengan : 1) Klien menggunakan antibiotik sesuai resep 2) Suhu badan normal 3) Pembengkakan tidak ada 4) Pus tidak ada 5) Angka leukosit dan lau endap darah kembali normal 6) Biakan darah negatif



20



4. Diagnosis



Keperawatan:



Kurang



penyakit;



pengertian,



pengetahuan



mengenai



program



pengobatan Tindakan a. Jelaskan



Penyebab,



akibat



dan



cara



pengobatannya. b. Diskusikan bersama keluarga pentingnya pemberian dukungan kepada klien c. Anjurkan klien untuk mematuhi program yang sudah dibuat secara bersama sama Kriteria hasil Klien mematuhi program pengobatan : 1) Menggunakan antibiotik sesuai resep 2) Mematuhi program yang dibuat bersama perawat



21



BAB III PENELITIAN TERKAIT



A. Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoporosis Pada Wanita Menopause Dengan Konsumsi Kalsium Dalam Tubuh Di Lowokwaru Malang 1.



Validity Desain penelitian yang peneliti gunakan adalah korelasi yang betujuan



mengungkapkan hubungan korelatif antara variabel pengukuran bariabel independen dan variabel dependen dilakukan pada saat pemeriksaan atau pengkajian data. Dimana populasi dalam penelitian ini adalah wanita menopause yang tinggal di Kelurahan Sumbersari RW 01 Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah “ purposive sampling ” yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya Varibel pencegahannya. Dari hasil wawancara tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa warga Kelurahan Sumbersari Kecamatan Lowokwaru RW01 kurang mengetahui dan memahami tentang penyakit osteoporosis. Oleh karena beberapa alasan dan fenomena diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “hubungan pengetahuan tentang Osteoporosis pada wanita menopause dengan konsumsi kalsium dalam tubuh”. independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan tentang osteoporosis pada wanita menopause. Pada pengumpulan data metode yang digunakan adalah metode kuesioner atau angket tertutup yang didapat dengan cara memperoleh langsung dari sumbernya. Kemudian dengan menggunakan metode ini adalah mempermudah peneliti dan subyek yang diteliti, dimana kuesioner tersebut berjumlah 20 pertanyaan dan sudah tersedia jawaban-jawaban sehingga subyek hanya perlu memberi tanda silang (X). Penelitian ini akan dilakukan



22



di kawasan Kelurahan Sumbersari RW 01 Kecamatan Lowokwaru Kota Malang pada bulan november 2012. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian korelasi spearmen. Penelitian korelasi spearmen adalah penelitian yang mencari hubungan antar variabel, menganalisis data yang dikumpulkan dan seberapa besar hubungan antar variabel (Nursalam, 2003 : 83). Setelah data terkumpul, kemudian dikelompokkan data, tabulasi data dan analisa data dengan menggunakan Uji Statistic “Corelation Spearmans rs” untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan tergantung dengan derajat kemaknaan p



0,05. maka ada hubungan yang signifikan antara variabel



independen dan variabel dependen. Setelah data terkumpul melalui kuesioner yang telah diberikan kepada responden, peneliti menggunakan pengolahan data secara kuantitatif, dimana data yang dikumpulkan pada penelitian kuantitatif harus disusun berdasarkan penghitungan sehingga dapat dianalisa secara statistik. 2.



Importance Hasil penelitian yang telah dilaksanakan yaitu hubungan pengetahuan



tentang osteoporosis pada wanita menopause dengan konsumsi kalsium dalam tubuh dengan menggunakan uji statistik korelasi spearman rank dengan tingkat kemaknaan 0,05 dimana akan dianalisa sesuai dengan konsep teori yang ada. Berdasarkan hasil diagram 5.5 dapat dijelaskan bahwa tingkat pengetahuan responden 9 orang (30%) baik dan 14 orang (47%) dengan tingkat pengetahuan cukup, sedangkan 7 orang (32%) kurang, ini karena sebagian besar tingkat pendidikan responden adalah SD. Pada umumnya semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pengetahuan itu sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk mengingat fakta, simbul, prosedur teknik dan teori (Notoatmodjo, 1996 : 127). Karakteristik konsumsi kalsium dalam tubuh dari 30 responden yang konsumsi kalsiumnya baik sebanyak 8 orang (27%) dan 12 orang (17%) cukup, sedangkan 10 orang (10%) kurang, ini dikarenakan responden



23



memiliki tingkat pendidikan yang kurang tinggi dan tidak bekerja, hanya sebagai ibu rumah tangga. Data yang telah dianalisa seperti tergambar pada hasil uji Statistik Korelasi Rank Spearman menunjukkan p = 0,002, kurang dari tingkat probabilitas yang telah ditentukan yaitu p < 0,05 maka H1 diterima artinya ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dan pelaksanaan (Sugiyono, 2001 : 84). Pengetahuan yang adequat dapat menjadi tolak ukur dari suatu pelaksanaan, maka pelaksanaan yang baik dan benar harus didasari dengan pengetahuan dan pengalaman kerja seseorang. 3.



Applicability a. Tingkat pengetahuan wanita menopause di kelurahan sumbersari RW.01 kecamatan lowokwaru kota malang sebagian besar cukup baik yaitu sebanyak 21 orang (70 %). b. Konsumsi kalsium dalam tubuh pada wanita menopause di kelurahan sumbersari RW.01 kecamatan lowokwaru kota malang kurang baik yaitu sebanyak 23 orang (77 %). c. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan konsumsi kalsium dalam tubuh, sesuai hasil uji statistik Spearman menunjukan p = 0,002 dengan tingkat korelasi r = 0,478.



24



BAB IV KESIMPULAN



Osteoporosis yang lebih dikenal dengan keropos tulang menurut WHO adalah penyakit skeletal sistemik dengan karakteristik massa tulang yang rendah dan perubahan mikroarsitektur dari jaringan tulang dengan akibat meningkatnya fragilitas



tulang



dan



meningkatnya



kerentanan



terhadap



patah



tulang.



Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total. Etiologi dari osteoporosis adalah dari faktor genetik, faktor mekanis dan kalsium. Salah satu manifestasi klinis dari osteoporosis adalah timbulnya nyeri secara mendadak, dan salah satu pemeriksaan penunjang dari osteoporosis adalah pemeriksaan radiologi untuk menunjang diagnosis keperawatan serta untuk menyusun asuhan keperawatan (Lukman & Ningsih, 2009). Osteomielitis adalah infeksi tulang. Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan bila dibandingkan dengan infeksi jaringan lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Lukman & Ningsih, 2009). Osteomielitis adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan atau korteks tulang, dapat berupa eksogenus (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenus (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya menyerang metafisia tulang panjang dan banyak terdapat pada anak anak (Lukman & Ningsih, 2009).



25



DAFTAR PUSTAKA Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika. Prasetyo, Y. (2005). Latihan Beban Bagi Penderita Osteoporosis. Jurnal FIK UNY, 1(2), 119-130. Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan. Ramadani, M. (2010). Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4(2), 111-115. Wulandari , Y. S., Mudayati, S., & Susmini. (2017). Hubungan Pengetahuan Tentang Osteoporosis pada Wanita Menopause dengan Konsumsi Kalsium dalam Tubuh di Lowokwaru Malang. Nursing News, 2(1), 347-356.



26