Asuhan Keperawatan Ppok 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN “PPOK”



DISUSUN OLEH: KELOMPOK 2 1. 2. 3. 4. 5. 6.



Ayu Gustiana Cipta Agustiani Desi Yulianti Richa Margaret P.S Septi Amelia Putri Siswidia



(30.01.14.0008) (30.01.14.0010) (30.01.14.0012) (30.01.14.0040) (30.01.14.0042) (30.01.14.0044)



Dosen Pembimbing : Ns. Morlina Sitanggang, M.Kep



FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIKA MUSI CHARITAS PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN PALEMBANG 2017



KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas



segala limpahan



Rahmat, Inayah, Taufik dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isis yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam pendidikan. Harapan kami semoga makalah asuhan keperawatan ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca dalam pendidikan. Dalam penyusunan makalah ini, kami mendapat banyak bimbingan, arahan, bantuan dan penjelasan materi dari pembimbing pendidikan dan beberapa pihak lainnya, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada 1. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan UNIKA Musi Charitas Palembang 2. Ketua Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UNIKA Musi Charitas 3. Pembimbing Pendidikan Program Studi S1 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan UNIKA Musi Charitas 4. Staff Perpustakaan Fakultas Ilmu Kesehatan UNIKA Musi Charitas 5. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan penulisan baik dari segi materi, tata bahasa ataupun penulisan, oleh karena itu kami mengharapkan segala masukan, baik kritik maupun saran – saran demi penyempurnaan makalah ini dan dengan suatu harapan yang tinggi agar makalah yang sederhana ini dapat lebih baik dan berguna untuk kalangan masyarakat yang membutuhkan. Palembang, Maret 2017 Tim Penyusun DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iii



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ............................................................................... B. Tujuan Penulisan ............................................................................ 1. Tujuan Umum .......................................................................... 2. Tujuan Khusus .......................................................................... C. Manfaat ......................................................................................... D. Statistika ........................................................................................



1 2 2 2 2 3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Medik ............................................................................... 4 1. Pengertian ................................................................................ 4 2. Klasifikasi ................................................................................ 4 3. Faktor resiko dan Etiologi......................................................... 5 4. Patoflow ................................................................................... 5 5. Manifestasi Klinis ................................................................... 6 6. Komplikasi ............................................................................... 7 7. Penanganan Awal ..................................................................... 8 B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan............................................... 10 1. Pengkajian Keperawatan .......................................................... 10 2. Diagnosa Keperawatan ............................................................ 13 3. Intervensi Keperawatan ........................................................... 13 BAB III TINJAUAN KASUS A. B. C. D. E. F. G. H.



Kasus .............................................................................................. Pengkajian....................................................................................... Diagnosa Keperawatan .................................................................. Perencanaan Keperawatan ............................................................. Implementasi Keperawatan ........................................................... Evaluasi Keperawatan ................................................................... Pembahasan Kasus .........................................................................



19 20 21 22 25 25 25



BAB IV PEMBAHASAN JURNAL A. Analisa Jurnal................................................................................. 31 1. Pico .......................................................................................... 31 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................................... 32 B. Saran ................................................................................................... 32



3



DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



4



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terwujudnya keadan sehat adalah kehendak semua pihak tidak hanya oleh perorangan, tetapi juga oleh kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Sehat adalah suatu keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.status kesehatan dipengaruhi oleh faktor biologi, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Faktor biologi merupakan faktor yang berasal dari individu atau faktor keturunan misalnya pada penyakit alergi. (mansjoer, 2000) Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena bronchitis kronis atau enfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa disertai hiperaktifitas bronkus dan sebagian bersifat reversibel. Bronchitis kronis ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara (mansjoer, 2000). Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-penyakit paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011). Data yang diperoleh direkam medis rumah sakit Margono Purwokerto pada bulan januari sampai maret 2014 didapatkan data sebanyak 30% pasien menderita penyakit paru obstruksi kronis (Rsmargono Soekarjo, 2014). Alasan penulis tertarik untuk mengambil kasus ini adalah karena penyakit ini memerlukan pengobatan dan perawatan yang optimal sehingga perawat memerlukan ketelatenan untuk dapat memihara, mengembalikan fungsi paru dan kondisi pasien sebaik mungkin. Penyakit ini akan terus



mengalamai



perkembangan yang progresif dan blom ada penyembuhan secara total. Maka dari itu, perawat terfokus untuk melakukan perawatan yang meliputi terapi obat,



1



perubahan gaya hidup, terapi pernafasan dan juga dukungan emosinal bagi penderita penyakit paru obstruksi kronis (Reeves, 2001). B. Tujuan 1. Tujuan Khusus a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis b. Mampu merumuskan diagnose keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis c. Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis d. Mampu melakukan rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis e. Mampu melakuakn evaluasi keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. f. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis 2. Tujuan Umum Untuk memperoleh gambaran nyata tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis. C. Manfaat 1. Rumah Sakit Laporan kasus ini dapat menjadi masukan dalam melakukan pelayanan peningkatan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK. 2. Institusi Pendidikan Laporan kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan pustaka yang dapat memeberikan gambaran pengetahuan mengenai PPOK 3. Profesi Perawat Laporan kasus ini diharapkan dapat dijadikan bahan acuan bagi tenaga kesehatan untuk mengadakan penyuluhan tentang kesehatan mengenai PPOK dan bahayanya. D. Statistika Sitematika penulisan makalah Asuhan Keperawatan Teoritis: Pengkajian Keperawatan Secara Umum Pada Gangguan Kognitif Delirium ini terdiri dari 3 bab, diantaranya :



2



BAB I Pendahuluan Terdiri dari latar belakang belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Terdiri dari Konsep Dasar Teori yang terbagi atas pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan. Serta Konsep Dasar Asuhan Keperawatan yang terbagi atas pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evalusai keperawatan BAB III Penutup Terdiri dari kesimpulan dan saran. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KONSEP MEDIK 1. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel parsial. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisima atau gabungan keduanya. Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. 2. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari : a. Bronkitis Kronik Gangguan klinis yang ditandai dengan pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkhus dan dimanifestasikan dalam bentuk batuk kronis serta membentuk sputum selama 3 bulan dalam setahun, minimal 2 tahun berturut-turut (Muttaqin,2012:156). b. Emfisema Penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronkitis kronik, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronkitis,antara lain pada perokok. 3. Faktor Resiko dan Etiologi Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesi,2003 faktor resiko pada PPOK yaitu:



4



a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting,jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : 1) Riwayat merokok  Perokok aktif  Perokok pasif  Bekas perokok 2) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :  Ringan : 0-200  Sedang : 200-600  Berat : >600 b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja c. Hipereaktiviti bronkus d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang 4. Patofisiologi dan Patoflow Obstruksi jalan nafas menyebabkan reduksi aliran udara yang beragam bergantung pada penyakit. Pada bronkhitis kronis dan brokhiolitis, terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding alveoli yang di sebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada asma, jalan napas bronkhial menyempit dan membatasi jumlah udara yang mengalir kedalam paru. Protokol pengobatan tertentu di gunakan dalam semua kelainan ini, meski patofisiologi dari masing-masing kelainan ini membutuhkan pendekatan spesifik. PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok, polusi udara, dan paparan di tempat kerja (terhadap batu bara, kapas dan padi-padian) merupakan faktor resiko penting yang menunjang terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun. PPOK juga di temukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim tertentu. 5



PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menunjukan awitan (onset) gejala kelinisnya seperti kerusakan fungsi paru. PPOK sering menjadi simtomatik selama tahun-tahun usia baya, tetapi insidennya meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Meskipun aspek-aspek fungsi paru tertentu seperti kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan peningkatan usia, PPOK dapat memperbuuk perubahan fisiologi yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan obstruksi jalan napas misalnya pada bronkhitis serta kehilangan daya pengembangan (elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Oleh karena itu, terdapat perubahan tambahan dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan PPOK. 5. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : a. Batuk. Sputum putih atau mukoi, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen. b. Sesak. Sesak sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.



Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : a. Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak. b. Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya



6



pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari. c. Selain itu, pada pasien PPOK banyak mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin banyak, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan. 6. Komplikasi Komplikasi penyakit PPOK menurut Grece & Borley (2011), jackson (2014) dan padila (2012): a. Gagal napas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF) b. Corpulmonal c. Pneumothoraks



7



7. Penanganan Awal a. Tentukan masalah yang menonjol, misalnya: 1) Infeksi saluran napas 2) Gangguan keseimbangan asam basa 3) Gawat napas b. Triase untuk keruang rawat atau ICU Penanganan diruang rawat untuk eksa serbasi sedang dan berat (belum memerlukan ventilasi mekanik) 1) Obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebulizer 2) Terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask 3) Evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas 4) Segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik Indikasi perawatan ICU 1) Pengawasan dan terapi intensif 2) Hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat c. Mencegah kematian Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi: 1) Diagnose beratnya eksaserbasi a) Derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal b) Kesadaran c) Tanda-tanda vital d) Analisa gas darah e) Pneumonia 2) Terapi oksigen adekuat Pada eksaserbasi akut terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama bertujuan untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. Dapat dilakukan diruang gawat darurat, ruang rawat atau ruang ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 >60 mmHg atau sat O2 > 90%, evaluasi ketat hiperkapnia, guanakan sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28%, atau 32%. Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau nonrebreathing, tergantung kadar Paco2 dan Pao2. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi



8



oksigen adekuat, harus digunakan ventilasi dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positif Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi. 3) Pemberian obat-obatan yang maksimal Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut a) Antibiotic b) Bronkodilator c) Kortikosteroid Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas. Ventilasi mekanik Penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortality dan morbidity, dan memperbaiki symptom. Dahulukan penggunaan NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi. Kondisi lain yang berkaitan 1) Monitor balans cairan elektrolit 2) Pengeluaran sputum 3) Gagal jantunga tau aritmia Indikasi penggunaan ventilasi mekanik dengan intubasi: 1) Sesak napas berat, pernapasan > 35 x/menit 2) Penggunaan obat respiratori dan pernapasan abdominal 3) Kesadaran menurun 4) Hipoksemia berat Poa2 < 50 mmHg 5) Asidosis Ph < 6,25 dan hiperkapnia Paco2 > 60 mmHg 6) Komplikasi kardiovaskular hipotensi 7) Komplikasi lain, gangguan metabolic, sepsis, pneumonia, barotraumas, efusi pleura dan emboli massif 8) Pengguanaan NIPPV yang gagal B. KONSEP KEPERAWATAN 1. Pengkajian Keperawatan a. Anamnesis Dispenea adalah keluhan utama PPOM. Klien biasanya mempunyai riwayat merokok dan riwayat batuk kronis, bertempat



9



tinggal atau bekerja di area dengan polusi berat, adanya riwayat alergi pada keluarga, adanya riwayat asma pada anak-anak. Perawat perlu mengkaji riwayat atau adanya paktor pencetus eksaserbasi yang meliputi alergen, stres emosional, peningkatan aktivitas fisisk yang berlebihan, terpapar dengan polusi udara, serta infeksi saluran pernapasan. Perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa di minum klien, memeriksa kembali setiap obat apakah masih relavan untuk di gunakan kembali. Pengkajian pada tahap lanjut penyakit, di dapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea). Klien rentan terhadap reaksi implamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anorexia, penurunan berat badan, dan kelemahan adalah hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin juga mengalami distensi selama ekspirasi. Pada pengkajian yang di lakukan di tangan, sering di dapatkan adanya jari tabuh (clubbing finger) sebagai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan. Sebagai pengkajian untuk menentukan predisposisi penyakit yang mendasarinya, perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang mendasari, yaitu asma bronkhial, brokhitis kronis, dan empisema pada pembahasan selanjutnya. b. Pemeriksaan Fisik 1) Inspeksi  Pursed- lips breathing ( mulut setengah terkatup mencucu)  Barrel chest (diameter antero – posterior dan transfersal    



sebanding) Penggunaan otot bantu napas Hipertropi otot bantu napas Pelebaran sela iga Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena







jugularis leher dan edema tungkai Penampilan pink puffer atau blue bloater



10



2) Palpasi Pada emfisema premitus melemah, sela iga melebar. 3) Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letek diafragma rendah, hepar terdorong kebawah. 4) Auskultasi  Suara napas vesikuler normal, atau melemah  Terdapat ronki atau mengi pada waktu berenapas biasa atau  



pada ekspirasi paksa Ekspirasi memanjang Bunyi jantung terdengar jauh



Menurut Gleadle (2007:173) anamnesis yang dilakukan pada pasien PPOK yaitu : Berapa lama pasien merasa sesak napas ? kapan pasien merasa sesak : saat istirahat atau aktivitas ? Apa yang dilakukan pasien sebelum merasa sulit bernapas ? berapa jauh pasien dapat berjalan ? Apakah pasien batuk ? jika ya, adakah sputum, berapa banyak, dan apa warna nya ? Apakah terdapat mengi? Jika ya kapan ? Berapa lama pasien mengalami keadaan seburuk ini ? Kira-kira apa pemicunya ? Apakah pasien mengalami nyeri dada atau sesak napas saat berbaring ? Pernakah pasien mendapat ventilasi ? pernakah pasien di rawat di rumah sakit? (jika ya, berapa hasil spirometri dan gas darah awal ?) 



Riwayat penyakit dahulu Tanyakan kondisi pernapasan terdahulu (misalnya asma, TB, karsinoma bronkus, bronkiektasis, atau empisema). Selidiki adanya kelainan kondisi jantung atau pernapasan lain. Pernakah ada pneumonea ? Tanyakan gejala apnea saat tidur (mengantuk di siang hari,







mendengkur). Obat-obatan



11



Tanyakan respon pasien terhadap terapi kortikosteroid, nebuliser, oksigen di rumah? Apakah pasien menggunakan oksigen di rumah? Jika ya, selama berapa jam sehari di gunakan? Dapatkan riwayat merokok pasien (dahulu [bungkus per hari, tahun], 



sekarang dan pasif). Riwayat keluarga dan sosial Bagaimana riwayat pekerjaan pasien ? (pneumokoniosis ?) Adakah riwayat masalah pernapasan kronis di keluarga? Bagaimana tingkat disabilitas pasien ? bagaimana toleransi olahraga pasien ? apakah pasien mampu keluar rumah ? bisakah pasien naik tangga ? dimana kamar tidur/kamar mandi pasien, dan sebagainya ? Siapa yang berbelanja, mencuci, memasak dan sebagainya?



2. Diagnose keperawatan a. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas, posisi tubuh, deformitas tulang, deformitas dinding dada, keletihan, hiperventilasi, sindrom hipoventilasi, gangguan musculoskeletal, kerusakan neurologis, imaturitas neurologi, disfungsi neuromuscular, obesitas, nyeri, keletihan otot pernapasan cedera medula spinalis. b. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan lingkungan (perokok pasif, mengisap asap, merokok), obtruksi jalan napas (spasme jalan napas, mucus dalam jumlah berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli, materi asing dalam jalan napas, adanya jalan napas buatan, sekresi bertahan/sisa sekresi, sekresi dalam bronki), fisiologis(jalan napas alergik, asma, penyakit paru obstruksi kronik, hyperplasia dinding bronchial, infeksi, disfungsi neuromuscular). c. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera (mis; biologis, zat kimia, fisik, psikologis) d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane alveolar-kapiler, ventilasi – perfusi. e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi, kelemahan umum, ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen, imobilisasi, gaya hidup monoton. 3. Intervensi Keperawatan No



Diagnose Keperawatan



Tujuan dan Kriteria 12



Intervensi



Hasil  Respiratory status Airway management - Buka jalan napas, :ventilation gunakan teknik chin  Respiratory status : lift atau jaw thrust airway patency bila perlu  Vital sign status Posisikan pasien Kriteria Hasil : untuk 1. Mendemontrasikan memaksimalkan batuk efektif dan ventilasi suara napas yang Identifikasi pasien bersih, tidak ada perlunya sianosis dan pemasangan alat dyspneu (mampu jalan napas buatan mengeluarkan - Lakukan fisioterapi sputum, mampu dada jika perlu bernapas dengan - Auskultasi suara mudah, tidak ada napas, catat adanya pursed lips) suara tambahn 2. Menunjukkan jalan Oxygen terapi napas yang paten - Pertahankan jalan (klien tidak merasa napas yang paten tercekik, irama - Monitor aliran napas, frekuensi oksigen pernapasan dalam - Observasi adanya rentang normal, tanda-tanda tidak ada suara hipoventilasi napas, abnormal) Vital sign 3. Tanda-tanda vital monitoring dalam rentang - Monitor TD, nadi, normal (tekanan suhu, dan RR, darah, nadi, sebelum, selama, pernapasan,) dan setelah aktivitas - Monitor frekuensi dan pernapasan Ketidakefektifan NOC NIC  respiratory status: bersihan jalan napas AIRWAY ventilation berhubungan dengan SUCTIONN lingkungan (perokok  respiratory status:  Pastikan kebutuhan airway patency pasif, mengisap asap, oral/tracheal merokok), obtruksi jalan suctioning kriteria hasil:



1 Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan ansietas, posisi tubuh, deformitas tulang, deformitas dinding dada, keletihan, hiperventilasi, sindrom hipoventilasi, gangguan musculoskeletal, kerusakan neurologis, imaturitas neurologi, disfungsi neuromuscular, obesitas, nyeri, keletihan otot pernapasan cedera medula spinalis.



2



13



napas (spasme jalan  napas, mucus dalam jumlah berlebihan, eksudat dalam jalan alveoli, materi asing dalam jalan napas, adanya jalan napas buatan, sekresi bertahan/sisa sekresi, sekresi dalam bronki), fisiologis(jalan napas alergik, asma, penyakit  paru obstruksi kronik, hyperplasia dinding bronchial, infeksi, disfungsi neuromuscular).







mendemontrasikan batuk efektif dan suuara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengelurakan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) menunjukan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak ada suara nafas abnormal) mampu factor yang dapat menghambat jalan nafas















 



















3 Nyeri akut berhubungan NOC dengan agen cidera (mis;  Pain level biologis, zat kimia, fisik,  Pain control  Comfort level psikologis) 



NIC 



Kriteria Hasil: Mampu mengontrol nyeri (tahu peyebab nyeri, mampu  menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi 14



Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam setelah kateter dikelurakan dari nasotrakeal Monitor status oksigen pasien Ajarkan keluraga bagaimana cara melakukan suksion Posisikan pasien untuk memkasimalkan ventilasi Keluarkan sekret dengan batuk atau suction Auskultasi suara nafas, cacat adanya suara tambahan Monitor respirasi dan status o2.



Pain Management Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyaman















nyeri, mencari bantuan) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri Mampu mengenali nyeri (skala,intensia, frekuensi dan tanda nyeri) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang























Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau Ajarkan tentang teknik non farmakologi Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri



Analgesic administration  Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian obat  Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi  Cek riwayat alergi  Tentukankan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri  Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali  Berikan analgesik tepat waktu terutama



15







4.



Gangguan pertukaran NOC NIC  respiratory status : gas berhubungan dengan gas exchange perubahan membrane  respiratory status: alveolar-kapiler, ventilasi  ventilation – perfusi.  vital sign status kriteria hasil:  mendemonstrasikan  peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang  adekuat  memelihara kebersihan paruparu dan bebas dari tanda-tanda distress  pernafasan  mendemostrasikan  batuk efektif dan suara nafas yang  bersih, tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu  mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan  mudah, tidak ada pursed lips)  tanda-tanda vital dalam rentang  normal



saat nyeri hebat Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala



Airway management buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi identivikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan lakukan fisioterapi dada jika perlu keluarkan sekret dengan batuk atau suction auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan berikan bronkodilator bila perlu atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan monitor respirasi dan status 02



Respirasi monitoring  monitor rata-rata,



16







  















4. Intoleransi aktivitas NOC berhubungan dengan tirah baring atau  energy conservation imobilisasi, kelemahan  activity tolerance  self care : ADLs umum, Kriteria hasil ketidakseimbangan antara suplai dan  berpartisipasi dalam kebutuhan oksigen, aktivitas fisik tanpa imobilisasi, gaya hidup disertai peningkatan monoton. tekanan darah, nadi,



17











kedalaman, irama dan usaha respirasi catat pergerakan dada, amati kesimetrisan , penggunaan otot tambahan, retrasi otot supraclavicular dan intercostal monitor suara nafas, seperti dengkur catat lokasi trakea monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradogsis) auskultasi suara nafas, catat area penurunan/tidak danya ventilasi dan suara tambahan tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan nafas utama auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya NIC Activity Therapy kolaborasi dengan tenaga rehabilitas medik dalam merencanakan program terapi yang tepat bantu klien untuk







   







 



dan RR mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri tanda-tanda vital normal energy psikomotor level kelemahan mampu berpindah : dengan atau tanpa bantuan alat status kardiopulmunari adekuat sirkulasi status baik status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat



































18



mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan bantu untuk mendapatkan alat bantuan aktivitas seperti kursi roda, krek bantu untuk mengidentivikasi aktivitas yang disukai bantu klien untuk membuat jadwal latihan diwaktu luang bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam beraktivitas sediakan penguatan positif bagi yang aktif beraktivitas bantu pasien untuk mengembangkan motivasi diri dan penguatan monitor respon fisik, emosional, sosial, dan spiritual



BAB III TINJAUAN KASUS A. KASUS Seorang laki-laki berusia 33 th dengan onset tiba-tiba mengalami nyeri dada kiri dan nafas pendek yang terjadi ketika sedang bekerja dikebun. Pasien menyangkal pernah mengalami trauma dada dan adanya batuk atau gejala pernafasan lain sebelum mengalami nyeri dan tidak mengonsumsi obat. Riwayat kesehatan masalalu pasien tidak ditemukan hal-hal yang signifikan. Pasien mengkonsumsi rokok 1 pak dan bir 2-3 botol sehari. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan pasien mengalami ansietas, suhu tubuh normal, TD 124/80 mmHg, Nadi 110 x/mnt, dan RR 28 x/mnt. Pemeriksaan pernafasan : hilangnya suara nafas kiri dan suara nafas normal pada sisi kanan jantung, tidak ada murmur dan gallop;abdomen dan ekstremitas normal. Laboratorium: hitung jumlah darah dan elektrolit dan serum normal. Radiografi thoraks: 50% pneumothoraks kiri tanpa efusi atau lesi pulmonal. Pertanyaan Komprehensif: 1. Apakah faktor resiko dari pneumothoraks spontan? a. Jenis kelamin perempuan b. Usia 55-70 tahun c. Postur tubuh tinggi dan kurus d. Riwayat tuberkolosis paru e. Infeksi saluran nafas atas 2. Apakah kondisi yang menjadi presipitasi dari kondisi pasien? a. Pekerjaan pasien b. Lokasi bleb c. Adanya penyakit paru obstruksi kronik d. Efektivitas tatalaksana awal e. Jumlah episode pneumothoraks sebelumnya B. PENGKAJIAN 1. Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan



: Tn. S : 33 Tahun : Laki-laki : Pekebun



19



2. Keluhan Umum Nyeri Dada kiri dan Napas pendek 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RS dengan onset tiba-tiba mengalami nyeri dada kiri dan napas pendek yang terjadi ketika sedang bekerja dikebun. Pasien mengatakan tidak pernah mengalami trauma dada dan adanya batuk dan gejala pernapasan lain sebelum mengalami nyeri dan tidak mengonsumsi obat. Tetapi pasien mengatakan sering mengonsumsi rokok 1 pak dan bir 2-3 botol dalam sehari. Saat dilakukan pengkajian di IGD RS RK.CHARITAS PALEMBANG didapatkan data TD 124/80 mmHg, N 110 x/menit, RR 28 x/menit, ansietas,



hilangnya



suara



napas



kiri,



radiografi



thoraks



50%



pneumothoraks kiri tanpa efusi atau lesi pulmonal. 4. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien tidak ditemukan hal-hal yang signifikan. 5. Pemeriksaan Fisik a. Inspeksi Napas pasien tampak sesak, pasien tampak meringis kesakitan, pasien tampak cemas b. Palpasi Pasien mengalami kesakitan pada dada kiri saat dipegang perawat c. Perkusi Suara napas normal pada sisi kanan, hilang suara napas pada sisi kiri d. Auskultasi Tidak ada suara napas tambahan Analisa Data NO 1



DATA DS: Pasien mengatakan nyeri dada kiri dan napas pendek DO: 1. Pasien tampak sesak napas 2. Nafas pendek 3. Hilangnya suara napas



20



ETIOLOGI Hiperventilasi



MASALAH Ketidakefektifan pola napas



Ventilasi - Perfusi



Gangguan Pertukaran Gas



kiri 4. Ttv TD : 124/80 mmHg N : 110 x/menit RR: 28 x/menit 2



DS: Pasien mengatakan cemas DO: 1. Pasien tampak gelisah 2. Ttv TD : 124/80 mmHg N : 110 x/menit RR: 28 x/menit



Perubahan status kesehatan



Ansietas



C. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi 2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan 3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi



D. PERENCANAAN KEPERAWATAN N o 1.



Diagnose keperawatan Ketidakefekt ifan pola napas berhubu ngan dengan hiperven tilasi



Noc



Nic



 Respiratory status :ventilation  Respiratory status : airway patency  Vital sign status



Airway management - Buka jalan napas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu - Posisikan pasien untuk Kriteria Hasil : memaksimalkan 1. Mendemontrasikan batuk ventilasi efektif dan suara napas Identifikasi pasien yang bersih, tidak ada perlunya sianosis dan dyspneu pemasangan alat (mampu mengeluarkan jalan napas buatan sputum, mampu bernapas - Lakukan fisioterapi 21



dengan mudah, tidak ada pursed lips) 2. Menunjukkan jalan napas yang paten (klien tidak merasa tercekik, irama napas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada suara napas, abnormal) 3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi, pernapasan,)



-



-



-



2



Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan



 Anxiety self-control  Anxiety level  Coping Kriteria Hasil:  Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas  Mengindentifikasi, mengungkapkan dan menunjukan teknik untuk mengontrol cemas  Vital sign dalam batas normal  Postur tubuh, ekpresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukan berkurangnya kecemasan



-



-



-



-



22



dada jika perlu Auskultasi suara napas, catat adanya suara tambahn Oxygen terapi Pertahankan jalan napas yang paten Monitor aliran oksigen Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi Vital sign monitoring Monitor TD, nadi, suhu, dan RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas Monitor frekuensi dan pernapasan Anxiety reduction (penurunan kecemasan) Gunakan pendekatan yang menenangkana pahami prespektif pasien terhadap situasi stress temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut dengarkan dengan penuh perhatian dorong pasien untuk mengungkapkan perasaaan, ketakutan, dan persepsi berikan obat untuk



mengurangi kecemasan



3 Gangguan NOC NIC pertukaran Gas  respiratory status : gas exchange berhubungan  respiratory status: dengan  ventilation ventilasi vital sign status perfusi kriteria hasil:  mendemonstrasikan  peningkatan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat  memelihara kebersihan paru-paru dan bebas dari  tanda-tanda distress pernafasan  mendemostrasikan batuk  efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada  sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada  pursed lips) 



tanda-tanda vital dalam rentang normal







 23



Airway management buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi identivikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan lakukan fisioterapi dada jika perlu keluarkan sekret dengan batuk atau suction auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan berikan bronkodilator bila perlu atur intake untuk







cairan mengoptimalkan keseimbangan monitor respirasi dan status 02



Respirasi monitoring  monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi  catat pergerakan dada, amati kesimetrisan , penggunaan otot tambahan, retrasi otot supraclavicular dan intercostal  monitor suara nafas, seperti dengkur  catat lokasi trakea  monitor kelelahan otot diafragma (gerakan paradogsis)  auskultasi suara nafas, catat area penurunan/tidak danya ventilasi dan suara tambahan  tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan nafas utama  auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya



24



E. Implementasi Keperawatan Implementasi keperawatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang lebih baik yang mengambarkan kriteria hasil yang diharapkan. F. Evaluasi Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi a. Pasien mampu bernapas dengan mudah b. Suara napas normal 2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan a. Pasien mampu mengontrol cemas b. Pasien mampu mengungkapkan kecemasannya 3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi a. Suara napas bersih b. Tidak ada sianosis G. PEMBAHASAN KASUS 1. Faktor resiko pneumothoraks spontan a. Jenis kelamin perempuan Pria lebih mungkin mejadi



faktor



resiko



pada



pneumothoraks spontan primer karena pria memiliki kebiasaan merokok dan juga memiliki postur tubuh tinggi dan kurus. Pada perempuan



tidak



menutup



kemungkinan



untuk



terjadi



pneumothoraks spontan. Pneumothoraks berulang dihubungkan dengan siklus menstruasi pertama kali diuraikan oleh maurer dan kawan-kawan pada tahun 1958. Setelah itu istilah pneumotoraks katamenial diperkenalkan oleh Lillington dan kawan-kawan pada tahun 1972. Sindrom berulang pneumothorax katamenial terkait dengan endometriosis panggul dan diafragma. Sebanyak 25% dari pneumotoraks spontan pada wanita disebabkan oleh pneumotoraks katamenial (8 dari 32 kasus). Walaupun pneumotoraks katamenial merupakan manifestasi klinis



yang



paling



sering dari



25



endometriosis



intratorakal,



belakangan ini tidak seluruhnya dapat dikenali dan tidak dapat dijelaskan secara lengkap mengenai siklus dan kekambuhan dari pneumotoraks tersebut. b. Usia 55-70 tahun Fungsi paru mengalami kemunduran dengan bertambahnya usia tua ditambah dengan faktor-faktor lingkungan, serta faktor kekebalan tubuh yang menurun, membuat perubahan homeostasis normal, kemudian dapat menjadi homeostasis abnormal sampai dengan kematian sel. Pada usia lanjut kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang dan sulit bernapas. Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang ,yakni jumlah oksigen yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Berkurangnya fungdi paru akan mengurangis fungsi ventilasi paru yang menyebabkan proses inflamasi bronkus dan dinding bronkus terminalis mengalami kerusakan. c. Postur tubuh tinggi dan kurus Postur tubuh tinggi dan kurus merupakan salah satu faktor resiko dari pneumotoraks spontan primer. Pneumothoraks spontan primer biasanya disebabkan oleh pecahnya bleb pada paru-paru ini biasanya sering terjadi pada pria muda yang kurus dan pada Marfan Syndrome. Kantung berisi udara di paru-paru yang disebut Bleb biasanya pecah dan udara bocor ke rongga pleura sehingga menyebabkan pneumothoraks spontan. Hal ini lah yang biasa terjadi pada orang yang bertubuh tinggi dan kurus karena bentuk paru-paru dan rongga dadanya lebih rentan terhadap cacat ini. Setelah ruptur suatu bula subpleura kecil. Dari anamnesis didapatkan nyeri pleuritik dengan onset mendadak dan sesak. Sesak meningkat dengan cepat menjadi pneumothoraks tension dan pasien menjadi sianosis. Tanda klasik adalah hilangnya gerak dada di sisi yang terkena disertai deviasi trakea ke sisi yang sehat. d. Riwayat tuberkolosis paru



26



Tuberkolosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronis yang



disebabkan



oleh



mycobacteria.



Pada



manusia



yang



kebanyakan menginfeksi adalah mycobacterium tuberculosis. Biasanya tuberkolosis menyerang paru, namun dapat juga menyerang central nervus sistem, sistem limfatikus, sistem urinaria, sistem pencernaan, tulang, sendi dan lainnya. Karena penyakit TB bersifat kronis dan resistensi kuman terhadap obat cukup tinggi, maka tidak jarang menimbulkan komplikasi. Salah satu komplikasi yang bisa ditimbulkan adalah pneumothoraks. Dimana pneumothoraks yang terjadi adalah pneumothoraks spontan sekunder. e. Infeksi saluran nafas atas Pada infeksi saluran napas atas (ISPA) misalnya pneumonia yang merupakan peradangan paru yang ditandai dengan gejala awal sesak napas dan batuk dimana kantong udara (dalam paru terisi cairan/ sel-sel radang yang membuat kesulitan bernapas karena peredaran oksigen dalam paru tidak lancer. Dari penyakit pneumonia ini bisa menyebabkan komplikasi pneumothoraks. Udara dari alveolus yang pecah disebabkan karena sumbatan atau peradangan saluran bronkioli yang membuat udara bisa masuk namun tidak bisa keluar. Lambat laun alveolus menjadi penuh sehingga tak kuat menampung udara dan pecah.



2. Kondisi presipitasi dari kondisi pasien a. Pekerjaan pasien Pekerjaan seseorang merupakan salah satu faktor pencetus dari PPOK bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOK. Paparan intensif dan berkepanjangan untuk debu di



tempat



kerja



ditemukan



dipertambangan



batubara,



pertambangan emas, dan industri tekstil kapas dan bahan kimia seperti kadmium, isosianat ,dan asap dari pengelasan seseorang 27



yang bekerja ditempat seperti itu dapat menyebabkan penurunan fungsi paru-paru dan pengembangan obstruksi aliran udara. Pekerja yang merokok dan terpapar partikel dan gas, bahkan lebih mungkin untuk mengembangkan PPOK. Sebagai contohnya seorang individu yang merokok dan bekerja di pabrik tekstil mempunyai jumlah total partikel terhirup lebih banyak daripada orang yang hanya merokok atau bekerja di daerah aman. b. Lokasi bleb Penggumpalan udara di subpleura di antara lapisan-lapisan pleura viseral, yang disebabkan oleh rupturnya alveolus. Pada saat alveoli dan septum terjadi kolaps,udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut Bleb dan di antara parenkim paru disebut Bullae.



Proses ini akan menyebabkan peningkatan



ventilatory pada "dead space" atau area yang tidak mengalami pertukaran



gas/darah.



Akibatnya



kerja



napas



meningkat



dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Kantung berisi udara di paru-paru ini biasanya pecah dan udara bocor ke rongga pleura sehingga menyebabkan pneumothoraks spontan. Pada emfisema paraseptal yang merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli)



sepanjang



merupakan



perifer



merupakan



paru-paru.



sebagai



sebab



Emfisima dari



paraseptal



pneumothoraks



spontan(Soemantri, 2008). Pneumotoraks spontan primer juga disebabkan karena rupture dari bleb emfisematous di subpleura , lesi kecil tepat di bawah permukaan pleura, yang diduga menjadi resiko pneumothorax (laki-laki tinggi) karena faktor mekanis. c. Adanya penyakit paru obstruksi kronik Pneumothoraks spontan sekunder seringkali terjadi akibat adanya riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain adalah



28



Tuberkulosis Paru, asma lanjut, pneumonia,, CA Paru, Infeksi Paru, Penyakit Paru Obstrukti Kronik (PPOK). d. Efektivitas tatalaksana awal Efektivitas tatalaksana awal tergantung pneumotoraks yang dialami pasien. Penatalaksanaan bisa menjadi faktor pemicu jika tidak dilakukan dengan baik dan benar. Pada prinsipnya penanganan awal pneumotoraks berupa observasi dan pemberian oksigen yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang



berat



dapat



dilakukan



tindakan



pembedahan.



Pada



pneumotoraks katamenial beresiko terjadi pneumotaraks kembali walaupun sudah dilakukan tatalaksana awal. e. Jumlah episode pneumothoraks sebelumnya Siapapun yang telah mengalami pneumotoraks akan beresiko kembali mengalami pneumothoraks dalam waktu 1-5 tahun dari episode pertama. Ini dapat terjadi diparu-paru yang sama atau paru-paru yang berlawanan. Setelah pneumotoraks spontan primer, 30% pasien mengalami episode



kedua dalam waktu 5



tahun. Setelah episode kedua, tingkat rekurensi meningkat di atas 50% dan oleh karenanya penderita pleurodesis. Setelah



pleurodesis



disarankan untuk menjalani jarang terjadi



rekurensi



(Sjamsuhidajat, 2005). Tindakan bedah diperlukan, terutama jika drainase tabung tidak berhasil atau seseorang telah mengulangi episode. Berbagai perawatan, biasanya melibatkan pleurodesis (menempel paru-paru ke dinding dada), dapat digunakan jika ada risiko signifikan episode berulang dari pneumotoraks.



29



BAB IV PEMBAHASAN JURNAL A. ANALISA JURNAL 1. Pico a. Jurnal Pertama HUBUNGAN PERILAKU MEROKOK DENGAN KEJADIAN PPOK DI PAVILIUN CEMPAKA RSUD JOMBANG P



Semua pasien PPOK di Paviliun Cempaka RSUD Jombang.Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien PPOK yang berjumlah 15 orang yang



I C



ada di Paviliun Cempaka RSUD Jombang. Tidak ada intervensi Ada perbandingan yang significan antara orang yang merokok dengan yang tidak merokok. Semakin tinggi tingkat merokok seseorang maka semakin



O



tinggi pula seseorang tersebut terkena PPOK dari pada yang tidak merokok Ada hubungan perilaku merokok dengan kejadian PPOK hampir setengahnya yaitu 46.7 % pasien merokok sedang dan 40% merokok berat. Dan hasil uji Ttes dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05 menunjukkan hasil yaitu 0,00 yang berarti ada hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian PPOK.



b. Jurnal kedua Pulmonary Microvascular Blood Flow in Mild Chronic Obstructive Pulmonary Disease and Emphysema



BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 30



Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat pogresif nonreversibel atau reversibel parsial. Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisima atau gabungan keduanya. Data dari organisasi kesehatan dunia (WHO) meyebutkan, pada tahun 2010 diperkirakan penyakit ini akan menempati urutan keempat sebagai penyebab kematian. Prevalensi terjadinya kematian akibat rokok pada penyakit-penyakit paru obtruksi kronis sebanyak 80-90% (kasana,2011). Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) terdiri dari : Bronkitis Kronik, Emfisema. Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah : Batuk. Sputum putih atau mukoi, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen, Sesak. Sesak sampai menggunakan



otot-otot



pernafasan



tambahan



untuk



bernafas.



Diagnosa



Keperawatan 1. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi 2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan 3. Gangguan pertukaran Gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi B. Saran Penulis berharap akademik menyediakan sumber buku dengan tahun dan penerbit terbaru sebagai bahan informasi yang penting dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini dan dapat meningkatkan kualitas pendidikan terutama dengan pembuatan asuhan keperawatan dalam praktek maupun teori.



DAFTAR PUSTAKA Antariksa, Budhi Dkk. 2011. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Glade, Jhonatan. 2007. At a Glance Anemis dan pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.



31



Grace A. Pierce, Borley R. Nier. 2011. Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora Aksara Pratama. Jackson, D. 2014. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 1.Yogyakarta: Rapha pubising. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran. Nurarif Amin Huda, Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction. Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika. Reeves, Charlene J. 2001. Buku Saku Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Salemba Medika. Sudoyono Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. West, Jhon B. 2010. Patofisiologi Paru Esensial Edisi 6. Jakarta: EGC. Hueper, Katja Dkk. 2015. Pulmonary Microvascular Blood Flow in Mild Chronic Obstructive Pulmonary Disease and Emphysema, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4595687/. Diunduh pada tanggal 14 Maret 2017. Pada pukul 17.00 WIB.



32