Bab II Martabat Manusia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Bab II



MARTABAT MANUSIA Pengantar Apakah Anda menyadari bahwa martabat manusia adalah dasar hak-hak asasi manusia yang tidak diberikan oleh orang lain ataupun oleh pemerintah, dan negara? Martabat manusia lahir secara kodrati bersamanya dan terlepas dari lingkungan kebudayaannya. Martabat ini, tidak dapat dirampas oleh orang lain, dan hanya dapat dicemarkan oleh manusia itu sendiri. Orang yang tidak mau menghormati martabat orang lain sebagai manusia, ia mencemari martabatnya sendiri sebagai manusia. Bila Anda memberikan perhatian mengenai penghargaan kepada martabat manusia dewasa ini, seringkali Anda terancam oleh berbagai hal persoalan yang dihadapi manusia, antara lain: kemiskinan struktural, pengangguran, bisnis narkotika, aborsi, kekerasan dan pencemaran lingkungan. Manusia kerapkali dihargai bukan karena dia pribadi yang unik sebagai ciptaan Allah, tetapi tidak jarang manusia diukur dan dihargai kemanusiaannya berdasarkan apa yang melekat dalam dirinya seperti; harta, kekayaan, pangkat dan jabatan. Gereja Katolik menegaskan keluhuran martabat manusia adalah citra Allah. “baiklah Kita menjadikan manusia itu menurut gambag ran rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi (Kej. 1:26). Sumber yang lengkap untuk memahami hakikat manusia ada dalam Kitab Suci (PL, PB) dijelaskan bahwa martabat manusia sebagai Ciptaan Allah, Martabat Manusia sebagai Anak Allah dan martabat manusia sebagai Pribadi Sosial.



A. MARTABAT MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH Berdasarkan Kej 1:26-28; dan Kej 2:7-8, 15-18, 21-25 dapat dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah Sang Pencipta pada hari ke-6 dengan bersabda dan bertindak. Dalam kisah penciptaan itu manusia diciptakan dalam proses yang terakhir setelah semua yang ada di alam semesta di ciptakan. Hal itu dapat pula berarti bahwa manusia diciptakan sebagai puncak ciptaan Allah. Sebagai puncak ciptaan. manusia diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, dengan karunia istimewa yaitu: akal-budi, hati/perasaan, dan kehendak bebas (bdk. Kejadian 1:26). Adanya karunia akal-budi 15



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



menjadikan manusia



bisa



atau memiliki kemampuan untuk memilih, karunia



hati/perasaan menjadikan manusia bisa merasakan dan mencintai, dan karunia kehendak bebas menjadikan manusia mampu membangun niat-niat. Karunia-karunia itulah yang menjadikan manusia sebagai mahluk hidup yang memiliki kesadaran dan kebebasan.



Gambar 2.1 Kodrat/jatidiri manusia sebagai citra Allah. Sumber: Waruwu, Membaun Budaya Berbasis Nilai, hal. 165.



Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa Allah menciptakan manusia menurut citra-Nya. Sebagai citra Allah, ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua mahluk di dunia ini (Kej 1:26; Keb 2:23), untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah (Sir 17:3-10). “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7) Selanjutnya Kitab Suci menuliskan bahwa: “menurut citra-Nya diciptakan-Nya dia: lakilaki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (Kej 1:27). Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula Allah mencipatakan pria dan wanita. Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari 16



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab Suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31) Allah menempatkan martabat manusia di atas ciptaan yang lain. Hanya manusia yang secitra dengan Allah. “Manusia memiliki martabat sebagai pribadi; ia bukan sesuatu melainkan seseorang. Dari segala ciptaan yang kelihatan, hanya manusia "mampu mengenal dan mencintai Penciptanya dan oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini, untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah" (GS 12,3). Lebih tegas lagi para Bapa Konsili menyatakan bahwa “Allah sebagai Bapa memelihara semua orang, menghendaki agar mereka merupakan satu keluarga, dan saling menghargai dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut gambar Allah, yang menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami muka bumi (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan, yakni Allah sendiri” (GS 24,1). Manusia merupakan satu-satunya makhluk, yang Allah kehendaki demi dirinya sendiri (bdk. GS 24,3).



Martabat manusia itu mulia karena hidupnya tergantung pada Allah. Asal mula dan sumber kehidupan manusia adalah Allah, yang menjadi pemberi dan penopang kehidupan. Karena martabat manusia sangat mulia dan luhur, kehidupan manusia harus dilindungi sejak pembuahan dalam kandungan. “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur 13 kepada-Mu oleh karena kejadianku dasyat dan ajaib; ajaib apa yang kamu buat dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mzm. 139; 13 – 14).



Gambar 2.2.Janin bayi dalam kandungan ibunya berumur 39 minggu. Sumber: http://images.agoramedia.com/



17



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Martabat manusia sebagai citra Allah merupakan landasan penghargaan terhadap hak azasi manusia. Semua hak azasi berakar dalam kodrat kemanusiaan yang lahir bersamaan dengan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan itu berasal dari Tuhan, pencipta alam



semesta.



Setiap



manusia



memperkembangkan



kepribadiannya



dalam



hubungannya dengan sesama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Setiap diskriminasi, dan paksaan dalam hal agama, misalnya, selalu bertentangan dengan kemanusiaan dan ke-Tuhan-an. Oleh karena itu, para pemeluk agama harus menjadi pelopor dalam menegakkan hak-hak asasi manusia. Hak asasi manusia merupakan syarat mutlak untuk perkembangan demokrasi yang sehat. Setiap penganut agama harus menjunjung tinggi hak-hak asasi karena itu berasal dari Tuhan sendiri (Jacobus Tarigan, 2013).



B. MARTABAT MANUSIA SEBAGAI ANAK ALLAH Dalam iman kristiani, martabat manusia baru dikenal sebenarnya di dalam Yesus, putra sulung di antara banyak saudara. Kebenaran tentang manusia hanya dikenal di dalam Yesus Kristus. Karena martabat luhur manusia hanya diakui dalam iman akan Allah sebagai Sang Pencipta dan dalam diri Yesus Kristus, Putera Allah yang tunggal. Tujuan hidup manusia sangat mempengaruhi martabat manusia.



Tujuan



hidup



manusia itu pada dasarnya di luar segala daya pemikiran manusia, di luar segala perhitungan manusia bahkan di luar pengertian manusia itu sendiri. Tujuan hidup manusia pada dasarnya bersifat transcendental (bersifat ilahi dan mengatasi segalagalanya), yaitu memenuhi kerinduan manusia mencapai kesempurnaan dalam segalagalanya, yaitu suatu kebahagiaan abadi berupa kehidupan kekal. (Lihat Yoh 17:1-3; 1 Yoh 3:2; 1 Kor 2:9) Dalam teks tersebut dilukiskan bahwan tujuan hidup manusia masingmasing adalah persatuan dengan hidup Allah Tritunggal untuk selama-lamanya. Pandangan Katolik berbeda dengan Yahudi dan Islam yaitu bahwa martabat luhur manusia dilihat dari segi tujuan hidup menjadi jelas (mendapatkan makna definitif) dalam diri Yesus Kristus. (lih. GS. 22). Sebagai anak Allah, manusia terpanggil untuk hidup bersatu dengan Bapa-Nya sesuai dengan rencana Allah. Martabat manusia sebagai anak Allah merupakan kunci untuk memahami sebenarnya siapa manusia. Tujuan hidup manusia mengandaikan juga tugas-tugas hidup yang mesti dijalankan oleh manusia, yaitu “memperkembangkan martabatnya”. Tugas hidup itu adalah mencapai kesempurnaan dalam panggilan hidup sebagai anak-anak Allah. Hal ini berarti berkembang dalam Yesus Kristus, mengejar persamaan dengan martabat Yesus Kristus.



18



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Manusia dipanggil untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah Bapa berkat wafat dan kebangkitan Kristus yang memanggil manusia untuk lahir kembali sebagai anak Allah. Maka martabat manusia tidak tergantung pada bangsa, jenis, usia, bakat, kedudukan dan keberhasilan seseorang. Martabat manusia melebihi semua hal tersebut. Allah telah mengangkat manusia sebagai anak-Nya dengan menyerahkan Putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Maka, martabat manusia diangkat dan disempurnakan dalam relasi dengan Yesus Kristus Putra Allah (1Yoh. 4:9-10).



C. MARTABAT MANUSIA SEBAGAI PRIBADI SOSIAL Apakah Anda pernah mendengar ada pepatah mengatakan: “No man is an island”, artinya ‘manusia tidak ada yang hidup sendirian.’ Dalam kehidupannya manusia sadar akan dirinya bersama dengan orang lain. Manusia bersama dengan orang lain, secara bersama-sama memberikan arti dan nilai dan saling memanusiawikan. Anda menjadi pribadi justru dalam pengakuan dari sesama. Manusia diciptakan untuk berelasi dan bersekutu. Relasi dan persekutuan ini memperlihatkan suatu ketergantungan dasariah antarmanusia sebagai makhluk yang selalu ada bersama. Karena itu, manusia hidupnya tergantung satu sama lain. Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej. 1:27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antarpribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam, manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.



Gambar 2.3. Seseorang yang peduli dengan memberi sedekah kepada kakek yang sedang duduk mengemis. (Sumber: http://mybroadband.co.za/vb/attachment.ph



19



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Hidup di tengah-tengah manusia lain merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, sebagai citra Allah manusia adalah pribadi sosial, yang di satu sisi sebagai anugerah yang layak “disyukuri” dan di lain pihak mengandung tugas panggilan/perutusan yaitu “membangun”. Karenanya, kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas kebersamaan. Kesadaran itu, hendaknya dihayati dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerja sama dan saling pengertian dan peduli di antara sesama manusia. dari penjelasan dan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa relasi sosial manusia dipahami dalam penilaian martabat manusia yang tidak bisa terpisah dari kenyataan bahwa ia diciptakan oleh Allah. Hal itu berarti luhurnya martabat manusia diakui, dihormati dan dijunjung tinggi karena iman akan Allah, maka kepercayaan bahwa Allah itu Sang Pencipta sekaligus mengandung kepercayaan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai makhluk sosial yang mulia dan bermartabat luhur. Dari kodratnya manusia adalah makhluk sosial yang harus hidup dengan sesamanya. Tanpa orang lain manusia tidak dapat hidup dan mengembangkan dirinya dengan segala bakat dan kemampuannya. Manusia yang diciptakan Allah ditempatkan lebih tinggi dari ciptaan lain. Ia dianugerahi keistimewaan berupa akal budi, hati nurani dan kehendak bebas.



1. Manusia sebagai Makhluk Berakal budi Satu hal yang menjadikan manusia sebagai makhluk bermartabat dan otonom adalah akal budinya. Akal budi adalah ciri khas manusia yang unik dan sekaligus membedakannya dengan makhluk ciptaan lain, khususnya binatang. Akal budi menjadi bentuk keunggulan manusia. Maka hidup dan tindakannya harus didasarkan pada akal budinya. Dengan akal budi yang dimilikinya, manusia mampu mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan empiris, dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Bahkan pada zaman sekarang manusia telah mencapai taraf pengetahuan yang paling tinggi dengan menyelidiki alam bendawi dan menaklukkannyakepada dirinya. Namun demikian ia masih terus mencari dan menemukan kebenaran yang semakin mendalam (GS art 15). Akal budi memperkaya manusia dengan pelbagai kemampuan, seperti: 1) Mengerti dan menyadari dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Ini berarti bahwa manusia sadar akan keberadaannya, tindakannya, sikapnya, dsbnya. Seorang filsuf Perancis (Rene Descartes), pernah berkata: “Cogito ergo sum” 20



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



(saya berpikir maka saya ada).Maka dengan kesadarannya, manusia merefleksikan diri dan tindakannya. Namun ia tidak hanya mengerti dirinya sendiri saja, tetapi juga mengerti akan dunia luar. Artinya, manusia menyadari keberadaan segala sesuatu dalam dunia ini dan hubungan-hubungannya. Dengan akal budinya ia dapat mencari hubungan antara segala sesuatu yang terjadi disekitarnya. 2) Berkembang, membangun kebudayaan dan menciptakan sejarah. Dengan akal budinya manusia bertanya, lalu mencari jawabannya. Berkat akal budi itu pula manusia mampu menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang hasilnya dapat dinikmati saat ini. Manusia juga membangun kebudayaan terutama yang berhubungan dengan kesenian, seperti: seni musik, lukis, bangunan, sastra, suara, tari, dsbnya. Semua itu berasal dari budi dan hati manusia. Selain itu manusia masih dapat menciptakan sejarah. Bukan saja sejarah dunia atau sejarah nasional, tetapi juga “sejarah” pribadi kita masing-masing. Setiap orang pasti pernah menorehkan sejarah dalam perjalanan hidupnya sendiri. 3) Bekerja Manusia adalah makhluk pekerja. Kerja yang dilakukan manusia memerlukan pemikiran. Maka kegiatan harus diarahkan kepada satu tujuan tertentu. Pekerjaan merupakan kekhasan makhluk berakal budi. Dan hanya manusialah yang dapat merencanakan, mengatur dan menguasai ciptaan lain. Kerja juga merupakan kegiatan



insani.



Kerja



menjadi



sarana



seorang



manusia



untuk



dapat



mengaktualisasikan dirinya. Melalui kerja manusia dapat menuangkan segala ideide kreatifnya, gagasannya yang cemerlang, dan segala daya upayanya. Kerja bukan hanya sekedar sarana untuk mencari nafkah, tetapi lebih dari itu merupakan wadah bagi aktualisasi diri. 4) Mengembangkan hubungan yang khas dengan manusia lain Dengan akal budinya manusia dapat “bertemu” dan “bersama” dengan sesamanya. Karena itu manusia mampu menciptakan bahasa, membangun cinta, perhatian, harapan, relasi, dsbnya. Manusia dapat hidup bersama dan berkomunikasi; ia mampu menjalin persahabatan dan cinta dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan itulah yang membuat manusia semakin bermutu dan sungguh-sungguh menjadi manusia. Namun tidak dapat disangkal bahwa akal budi telah kabur dan lemah akibat dosa. Maka pada akhirnya, kodrat nalariah manusia disempurnakan oleh kebijaksanaan yang dapat menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai yang benar dan baik. 21



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Manusia membutuhkan kebijaksanaan untuk memahami hidupnya di dunia, sehingga diharapkan akan semakin dekat dengan Sang Penciptanya.



2. Manusia sebagai Makhluk Berhati Nurani. Manusia adalah makhluk yang dikaruniai suara hati. Suara hati/hati nurani inilah yang menjadi hukum yang harus ditaati. Manusia yang anugerahi martabat luhur harus mematuhi hukum tersebut, karena dengan hukum itu pulalah ia akan diadili. “Hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; disitulah ia seorang diri bersama Allah yang sapaannya menggema dalam batinnya” (GS art 16). Kepekaan untuk mendengarkan suara hati membawa manusia untuk mencari kebenaran. Dalam kebenaran itulah manusia memecahkan berbagai persoalan yang ada dalam hidupnya. Untuk dapat memahami hati nurani secara baik, maka kita perlu melihat beberapa hal berikut: 1) Kesadaran etis. Ketika kita berbicara tentang manusia sebagai makhluk berakal budi, kita sudah menyinggung bahwa dengan akal budinya manusia dapat menyadari dirinya dan tindakannya. Ia dapat menyadari dan menilai kalau tindakannya baik dan benar atau salah dan buruk. Dengan akal budinya manusia dapat memiliki kesadaran etis dan moral. Kesadaran etis adalah kesadaran untuk menilai suatu tindakan itu baik atau buruk. Kesadaran etis ini terdiri atas tiga taraf yang berbeda-beda, yakni: Pertama,taraf naluri. Pada taraf ini segala tindak tanduk manusia didasarkan pada tekanan dan peraturan dari luar, misalnya adat istiadat atau hukum dan bukan oleh kesadaran diri dan hati nurani. Kedua, taraf kesadaran moral. Pada taraf ini tingkah laku etis lebih didasarkan atas kesadaran dan kebebasan. Artinya, sebagai realisasi pribadi manusia yang berakal budi dan berkehendak bebas. Manusia yang otonom. Sifat moralnya adalah khas manusiawi. Ketiga, tingkat kesadaran kristiani. Pada taraf ini kesadaran moral dilakukan dalam rangka mewujudkn diri sebagai manusia yang berakal budi dan otonom. Dalam bertingkah laku, manusia tidak hanya sekedar melakukannya karena tindakan itu baik, tetapi terutama karena didorong oleh cinta kasih kepada kepada Tuhan dan sesama. Maka yang menjadi hukum pokok dalam taraf ini adalah cinta kasih. 2) Tindakan moral Jawaban atas undangan Allah dilaksanakan manusia dalam tindakan-tindakan moralnya. Tindakan-tindakan moral baru dapat disebut tindakan moral apabila dilaksanakan secara sadar dan bebas, sesuatu yang khas manusia. Penilaian obyektif 22



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



dan benar tentang suatu tindakan hendaknya mempertimbangkan seluruh tingkah laku manusia. Tingkah laku ini seringkali dipengaruhi oleh motivasi dasarnya dan juga oleh sikap dasarnya. Tindakan lahiriah manusia harus diukur pula dari disposisi batinnya.



Jadi, selain kesadaran dan kebebasan, tujuan dan motivasi sangat



menetukan tindakan moral seseorang. 3) Hati nurani Dalam arti luas, hati nurani dapat diartikan sebagai keinsafan akan adanya kewajiban. Hati nurani merupakan kesadaran moral yang timbul dan bertumbuh dari hati manusia. Kesadaran moral tidak berarti bahwa manusia sudah dibekali dengan aturan yang serba jelas, sehingga ia tahu pasti yang harus ia lakukan. Manusialah yang harus berusaha untuk membuatnya menjadi jelas. Kebiasaan, adat, tradisi serta aturan moral merupakan sarana yang perlu diperhatikan dalam menumbuhkan kesadaran moral. Hati nurani yang terdidik tidak buta terhadap kekayaan tradisi serta norma-norma yang berlaku umum. Sedangkan dalam arti sempit, hati nurani dimaksudkan sebagai kesadaran moral dalam situasi konkret, antara lain menilai suatu tindakan baik atau buruk lalu mendorong kita untuk mengambil keputusan untuk bertindak. Suara hati/hati nurani ini berfungsi untuk mengingatkan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak yang jahat, atau mengingatkan kita jika menyimpang dari yang baik. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan yang tak teratasi tanpa kehilangan martabatnya. Karena ketidakpedulian dan kebiasaaan berdosa itulah hati nurani seseorang lambat laun akan menjadi tumpul dan buta. Agar tidak terjadi demikian maka hati nurani dan kesadaran moral harus selalu diasah atau dibina. Pembinaan hati nurani dapat dilakukan dengan selalu mengikuti hati nurani dalam segala hal; mencari keterangan pada sumber yang baik (Kitab Suci, dokumendokumen Gereja, buku-buku yang bermutu atau ikut dalam berbagai kegiatan kerohanian yang ada); koreksi atau introspeksi. 3. Manusia sebagai Makhluk Berkehendak Bebas. Sebagai citra Allah, manusia dianugerahi pula rahmat kekebasan. Manusia hanya akan berpaling kepada kebaikan apabila ia bebas. Karena itu oleh orang-orang zaman sekarang kebebasan sangat dihargai dan dicari dengan penuh semangat. Namun seringkali terjadi bahwa kebebasan selalu disalah-artikan dengan cara yang salah, juga diartikan sebagai kesewenang-wenangan untuk melakukan apa yang dikehendaki manusia. Sesungguhnya yang harus diusahakan manusia adalah kebebasan yang sejati. “Kebebasan sejati merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab 23



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri” (GS art 17). Dengan pilihan bebasnya, manusia diharapkan mengabdi kepada Allah dalam kebebasan yang sempurna. Allah menghendaki bahwa dengan pilihan bebasnya manusia dengan sadar dan bebas digerakkan oleh hatinya yang paling dalam untuk mencari penciptanya dan mengabdi kepada-Nya secara bebas.



D. IMPLIKASI MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH BAGI KEHIDUPAN SESAMA 1. Manusia sebagai Makhluk Pribadi Berdasarkan penjelasan dari Kitab Suci dan Gaudiem et Spes, Gereja mengajarkan bahwa manusia adalah citra Allah. Sebagai citra Allah manusia adalah mahluk pribadi yang memiliki kodrat sosial. Manusia sebagai pribadi adalah bersifat unik dan menyejarah sekaligus bersifat kekal. Ia memiliki kesadaran akan keberadaan dirinya dihadapan sesama dan lingkungannya. Ia adalah makluk monodualisme: 1 bersifat jasmani dan rohani. Manusia itu bernilai dalam dirinya sendiri. Karena itu dalam segala tingkah-laku perbuatannya pada akhirnya berupaya untuk mendapatkan manfaat bagi dirinya sendiri. Ini bukan berarti manusia hendaknya bersikap pragmatis22 ataupun egois. Dalam hal ini yang menjadi tujuan akhir manusia adalah memuliakan Allah dan melaksanakan hukum cintakasih. Tuhanlah tujuan akhir hidup manusia, karena di dalam Tuhan terdapat yang didambakan manusia yaitu keselamatan hidup dan kebahagiaan abadi. Dengan demikian tercapailah kemuliaan manusia karena kemuliaan manusia hanya ada pada Tuhan. Oleh karena itu hakekat tujuan hidup manusia terdapat dalam Tuhan, tidak di dunia sekelilingnya. 1) Manusia memiliki kemerdekaan atau kebebasan Hakekat dan syarat-syarat bagi manusia yang mulia itu adalah bahwa ia merdeka atau memiliki kebebasan dan bertanggungjawab dalam hal mencari atau 1



Monodualisme adalah Satu kenyataan yang berdimensi dua; manusia adalah mahluk yang berbadan dan berjiwa. Pada abad pertengahan banyak filsuf yang cenderung menilai negatif badan manusia sehingga mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah jiwa yang bersifat kekal tetapi terpenjara dalam badan yang bersifat jasmani (sumber segala dosa).



2



Pragmatis adalah sifat dari sikap manusia yang hanya mementingkan manfaat yang langsung dapat dirasakan dan dilihat, yang menguntungkan diri sendiri (bersifat egois). Sikap ini begitu kuat dijaman sekarang sebagai perwujudan dari arus sekluarisme (Hal ini dapat dilihat pada Nota Pastoral Keuskupan Agung Semarang Tahun 2002). Oleh karena itu sikap pragmatis cenderung mengabaikan hal -hal yang berbau rohani dan religius, karena manfaatnya tidak bisa dirasakan langsung, tidak bisa diukur dan sebagainya.



24



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



mengupayakan tujuan hidupnya. Kemerdekaan manusia pada dasarnya bersifat jasmani dan rohani. Adanya kemerdekaan pada dirinya dikarenakan manusia memiliki akal-budi atau pikiran sehingga ia memiliki kemampuan untuk memilih. Kebebasan bersifat jasmani yaitu bila tubuh manusia tidak terbelenggu untuk melakukan aktifitas yang dimaui, sejauh sesuai dengan kodratnya. Adapun kebebasan yang bersifat rohani mencakup dua hal yaitu kebebasan dalam arti pikiran dan dalam arti moral. 2) Manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya Hakekatnya Tuhan menjadikan manusia itu sebagai subyek dan bukan obyek. Sebagai subyek berarti manusia adalah pelaku dan penanggung-jawab segala perbuatannya. Ada ungkapan latin yang mengatakan “cogito ergo sum dan cogito ergo passum”. Itu berarti manusia itu aktif dan kreatif karena harus memikirkan, merencanakan, yang melakukan dan yang mempertanggung-jawabkan segala apa yang diperbuatnya. Manusia bukan obyek atau yang dikenai tindakan (bersifat pasif). Maka sangatlah keliru besar apabila kita mengobyektivasi sesama kita, karena di sana pasti muncul penindasan martabat manusia dan ketidakadilan. 3) Manusia dituntut untuk bertanggung-jawab dalam hidupnya Oleh karena kesadaran akan keberadaan dirinya termasuk apa yang dipikirkan dan diperbuatnya, dalam kebebasannya, maka dari manusia selalu dituntut untuk mempertanggung-jawabkan segala perbuatannya. Pertanggungan jawab itu pada dirinya-sendiri (suara hatinya), pada sesamanya (dalam sebuah sistem dan komunitas) dan kepada Tuhan Allah yang menjadi tujuan akhir dari hidupnya (seperti yang diajarkan oleh semua agama). Dalam hal ini manusia diajarkan ajaran moral yaitu



bahwa manusia hendaknya bertindak sesala sesuatu dengan kesadaran,



kemauan (tidak dipaksa) dan bermotivasi luhur. Bila tidak demikian maka menurut ajaran moralitas, hal itu disebut dosa.



2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial Manusia hidupnya tergantung satu sama lain. De facto bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian dalam arti yang sebenarnya “No man is island”, manusia adalah mahluk sosial. Dari bayi hingga dewasa bahkan ketika akan menghadapi kematian, manusia selalu membutuhkan sesamanya. Hidup ditengah-tengah manusia lain adalah fakta yang tidak terbantahkan. Dengan hidup ditengah-tengah sesamanya, manusia memiliki sifat personal yang unik dan menyejarah. Tak terbayangkan kita hidup tanpa hubungan dengan manusia lain. 25



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



1) Kenyataan Hidup dalam kebersamaan Ketergantungan hidup pada orang lain sangat jelas pada masa balita. Prosentase ketergantungan pada orang lain itu semakin mengecil dengan bertambahnya usia seturut “hukum proses pendewasaan pribadi”. Oleh karena itu sebagai citra Allah manusia adalah makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial, yang disatu sisi dipandang sebagai anugerah yang layak disyukuri” dan dilain pihak mengandung tugas panggilan/perutusan yaitu “membangun” dan bukan untuk bermalas-malasan. Karenanya kita perlu membangun kesadaran bahwa kita hidup dalam suatu komunitas kebersamaan, yang mau tidak mau, yang suka atau tidak suka, adalah fakta. Kesadaran itu hendaknya dihayati dengan sikap-sikap yang menunjang tercapainya kerjasama dan saling pengertian di antara manusia. 2) Sikap-Sikap sebagai Makhluk Sosial. Sebagai makhluk social, hidup dalam kebersamaan tidaklah mudah. Seringkali terjadi konflik kepentingan antara satu dengan yang lain karena masing-masing saling berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu dibutuhkan sikap saling pengertian, saling menghormati, dan saling kerjasama menuju suatu tatanan hidup bersama yang baik. Ciri utama sikap yang menekankan semangat sebagai makhluk sosial adalah solidaritas dan subsidiaritas. Dalam hal ini kita perlu waspada pada mentalitas egosentrisme yang mengutamakan bertindak dan mengukur segalanya dengan ke-AKU- an yang kelewat batas kewajaran (egois). Manusia bukanlah “homo homini lupus” (manusia menjadi serigala bagi yang lain) yang mementingkan diri sendiri tanpa mengingat nasib dan penderitaan orang lain (individual). Ia adalah “homo homini socius” (manusia menjadi sesama bagi manusia lainnya). Agar tidak menjadi serigala bagi yang lain maka sikap dasar yang ideal dalam kehidupan bersama adalah “cinta” yang hakekatnya merangkum segala-galanya dan mendasari sikap solidaritas dan subsidiaritas antar sesama manusia.



3. Sikap



dalam



Memperjungkan



Keluhuran



Martabat Manusia Sebagai citra Allah yang memiliki martabat luhur, kita dituntut untuk menentukan sikap dalam mewujudkan penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain atas martabat baik kita. Beberapa sikap yang perlu dikembangkan untuk menghormati martabat manusia antara lain: 1) Mencintai kehidupan Gambaran Allah dalam diri manusia bukan hanya bersifat spiritual saja seperti rasionalitas, afeksi atau daya refleksi, melainkan juga dalam wujud jasmani dan 26



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



rohani. Allah mengendaki agar manusia memiliki martabat yang istimewa melebihi ciptaan lain. Karena secitra dengan Allah maka manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Kesatuan pribadi manusia sebagai jiwa dan raga inilah yang menjadi bait kudus bagi Allah (bdk. 1Kor 3:16-17). Sebagaimana Allah mencintai dan menghargai ciptaan-Nya, demikian pulalah manusia harus mencintai dan menghormati ciptaan yang lain.



2) Hormat pada kehidupan Hidup manusia tidak terjadi dan berakhir begitu saja. Karenanya tidak seorangpun boleh merekayasa dan mengakhiri hidupnya sekehendak hatinya. Manusia tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap kehidupan. Sering kali manusia disebut sebagai makhluk religious (animal religiosum). Ciri ini nampak jelas dalam pola penghayatan religiusnya yang dapat ditemukan disetiap kebudayaan yang ada. Manusia selalu mengusahakan relasi dengan sesuatu yang bersifat adikodrati yang bagi orang Kristen dinamai Allah. Relasi Allah-manusia ini bersifat unik karena sangat personal dan menyangkut dirinya dengan Allah. Berkat anugerah Allah manusia sanggup mengatasi segala sesuatu dan segala peristiwa dalam hidup sehari-hari hingga sampai kepada Allah. 3) Menghargai personalitas manusia Manusia bukanlah ‘sesuatu’ melainkan ‘seseorang’. Ia adalah makhluk personal. Unsur personalitas ini nampak jelas dalam keadaan dirinya sebagai individu yang unik. Tingkat keunikan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Manusia dapat memutuskan dan memilih sendiri apa yang penting bagi hidupnya. Dengan demikian manusia menjadi makhluk yang otonom. Personalitas manusia ini juga terlihat dari ketergantungannya pada Allah menyangkut kebenaran dan kebaikan. Personalitas dan kebebasan manusia terarah pada tujuan, sasaran dan nilai-nilai tertentu. Personalitas manusia dimengerti dalam kesatuan antara tubuh dan roh. Kesatuan inilah yang



memampukan



manusia agar dalam setiap pilihannya mampu



bertanggung jawab. Akan tetapi pengertian ini tetap menimbulkan kesulitan tersendiri, terutama pengertian personalitas dan kebebasan bila dikaitkan dengan orang-orang yang tidak dapat menunjukkan fungsi rohnyaseperti: janin, orang idiot, atau yang menderita penyakit. Maka salah satu sikap yang perlu dipupuk adalah menghargai manusia sebagai person karena hal ini sudah mulai memudar ditengah arus zaman dengan segala kompleksitasnya. 4) Memelihara hidup yang adalah suci dan berkualitas 27



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Manusia adalah ciptaan Allah. Setiap manusia dipanggil untuk



merealisasikan



kepenuhan citra Allah tersebut. Manusia bukanlah tuan atas hidupnya. Karena itu setiap individu mempunyai kewajiban etis untuk menghormati kehidupan tanpa syarat. Hidup manusia adalah baik karena berasal dari Allah dan pada hakikatnya hidup manusia itu suci. Dengan menyadari harkat hidup manusia yang agung karena Penciptanya yang Maha Agung, manusiapun tidak boleh semena-mena terhadap kehidupan. 5) Mempertahankan kemurnian hidup. Cinta Allah kepada manusia melebihi ciptaan lain. Karena cinta-Nya inilah maka ia mengutus Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa. Melalui Kristus, Allah mau tinggal dan hidup dengan manusia. Kehadiran Kristus ini memberi makna baru pada tubuh manusia sebagai tempat yang kudus bagi Roh Kudus, sehingga disebut juga sebagai Bait Roh Kudus (1Kor 3:16). Dalam arti ini, tubuh tidak lagi dipahami sebagai alat yang dapat diobyekkan, tetapi dipahami sebagai tempat tinggal Allah. Melalui kebangkitan Kristus, hidup manusia diselamatkan dan semakin disucikan. Hidup manusia tidak berakhir didunia, melainkan terarah kepada tujuan tertentu yakni hidup kekal. Dengan kebangkitan Kristus pula, hidup manusia selalu terarah kepada Allah dan semakin dekat dengan penciptanya, “sehingga bukan aku lagi yang hidup melainkan Kristuslah yang hidup di dalam diriku.” (Gal 2:20). Demikianlah ungkapan St. Paulus untuk mengatakan bahwa hidup manusia harus selalu terarah kepada Allah.



E. MENGOMUNIKASIKAN PANGGILAN DAN TUGAS PERUTUSAN MANUSIA SEBAGAI CITRA ALLAH Apakah Anda menyadari bahwa dalam kisah penciptaan ditegaskan bahwa segala yang ada di muka bumi adalah hasil karya ciptaan Allah. Manusia merupakan puncak dari seluruh ciptaan Allah. Kepada manusia diberikan martabat yang luhur dan kuasa untuk mengatur dan menata segala ciptaan-Nya. Keluhuran martabat manusia diberikan oleh Allah tentu dengan maksud dan tujuan yang luhur dan mulia. Ada panggilan tugas perutusan manusia yang terkandung didalamnya. Dalam kesadaran ini, kerapkali orang mengatakan bahwa hidup adalah rahmat, panggilan dan perutusan. Pernyataan ini mencoba menguak bagaimana posisi manusia dalam karya penyelenggaraan ilahi. Setiap manusia yang terlahir di dunia pasti mendapatkan rahmat. Rahmat tersebutlah yang membuat manusia hadir dalam identitasnya yang sangat personal, dalam segala 28



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



keunikannya. Dalam setiap kelahiran manusia, menurut cara apa pun, termasuk yang disebut sebagai kehamilan yang tidak diinginkan, di sana ada kehendak Ilahi. Tanpa kehendak Ilahi, kelahiran takkan terjadi. Jadi, bukan karena kebetulan seseorang terlahir dari pasangan ayah dan ibunya. Setiap manusia yang terlahir, dipanggil untuk turut serta dalam karya penyelenggaraan Ilahi. Tidak terkecuali dan tidak pandang bulu, apa pun agamanya, suku bangsanya, bahasanya, profesinya, di mana pun dan kapan pun ia hidup, dia dipanggil untuk turut serta dalam karya penyelenggaraan- Nya. Panggilan ini berlaku untuk seluruh kehidupan manusia. Selama orang itu mampu, panggilan itu akan tetap datang padanya. Demikian juga dengan tugas perutusan manusia. Karena hidup adalah perutusan, setiap orang yang menjawab panggilan tersebut akan diutus untuk turut dalam karya penyelenggaraan ilahi. Bagaimana cara Anda ikut dalam karya penyelenggaraan Tuhan? Ada banyak cara, mulai dari yang sederhana sampai yang paling kompleks. Bunda Teresa dari Kalkuta mengatakan, mulailah dari senyuman. Tersenyum pada setiap orang yang kita jumpai adalah cara sederhana untuk ikut dalam karya penyelenggaraan Ilahi. Dengan senyuman ramah, orang lain yang melihat akan senang, dan bisa jadi orang yang melihat itu akan mampu berkarya dalam satu hari itu dengan hati yang senang. Karena senyuman satu orang, orang lain bisa berkarya selama satu hari dengan hati gembira. Jadi, apa pun yang Anda miliki, dan apa pun yang menjadi tugas Anda, itu bukanlah kebetulan. Tuhanlah yang menempatkan Anda di posisi-posisi tersebut.



Gambar 2.4. Mother Theresia menggendong seorang anak kecil dengan penuh kehangatan dan cinta. Sumber: https://swordsoftruth.files.wordpress.com 29



Materi Kuliah Pendidikan Agama Katolik - Universitas Kaltara|



Setiap manusia sebenarnya diberi tugas dan tanggung jawab sosial. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan talentanya masing-masing, dengan kelebihan dan kekurangannya. Ada orang yang diciptakan untuk pandai mengatur uang, maka ia pun menjadi kaya akan harta duniawi. Ada orang yang diciptakan untuk memiliki otak yang cerdas, maka ia menjadi ilmuwan. Ada orang yang diciptakan untuk melihat peristiwa kehidupan secara lebih jernih, maka ia menjadi bijaksana. Ada orang yang diciptakan dengan kemampuan tangan yang luar biasa, maka ia menjadi teknisi, menjadi tukang. Ada orang yang diciptakan dengan kemampuan mengatur orang lain, maka ia menjadi pemimpin.



Ada



orang



yang



diciptakan



dengan



kemampuan



untuk



bisa



menyembuhkan, maka ia menjadi dokter. Semuanya itu dimaksudkan agar manusia saling melengkapi, bekerja sama, dan saling membutuhkan satu sama lain. Jika konsep hidup adalah rahmat, panggilan dan perutusan ini kita padukan dengan konsep tanggung jawab sosial, maka kita akan menyadari bahwa setiap manusia yang terlahir ke dunia sebenarnya diciptakan untuk berbagi talenta. Tuhan menghendaki kita untuk ikut membangun peradaban manusia. Ajakan ini hendaknya ditanggapi. Tuhan memang memberikan kebebasan. Jika Anda tidak menanggapinya, akan ada dua implikasi. Pertama, talenta Anda tidak akan optimal digunakan, bahkan bisa jadi tersiasiakan. Kedua, bisa jadi tempat yang seharusnya Anda isi, tetap menjadi kosong. Tindakan seperti ini bisa mengganggu perkembangan peradaban manusia. Oleh karena itu, apa pun tugas Anda, jalanilah tugas itu dengan senang hati, karena Tuhan membutuhkan Anda di tempat tersebut 1. Mengamati



berbagai



bentuk



panggilan hidup dalam gambar di atas



dan



deskripsi



mengenai



panggilan hidup manusia, tugas dan perutusan manusia sebagai citra Allah, pertanyaan apa yang muncul dalam hati Anda.



2. Rumuskanlah



panggilan



dan



perutusan yang Anda cita-citakan sebagai Citra Allah dan diskusikan dalam kelompok, hasil diskusi diprsentasikan di kelas!



Gambar 2.5. Orang-orang dari berbagai profesi; mereka saling membutuhkan



30