Buku Kaidah-Kaidah Dakwah Kepada Allah (Kaidah 1-17) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Sesungguhnya berdakwah kepada Allah adalah aktifitas yang paling mulia dan ibadah yang paling tinggi, dakwah adalah karakteristik yang paling khas bagi para Rasul dan kepedulian yang paling ditonjolkan oleh para wali dari para hambaNYA yang tulus ikhlas. Seseorang akan senantiasa mendakwahkan satu fikrah bila Ia telah benar-benar menguasainya dan berinteraksi dengan segala permasalahannya, seoarang da’i akan selalu hidup dengan dakwahnya dan dakwahnyapun senantiasa hidup bersamanya, dakwah selalu mengevaluasi dirinya sebagaimana dirinya juga selalu mengevaluasi kegiatan dakwahnya. Sesungguhnya Allah telah menghendaki terbukanya jalan dakwah islamiyah di zaman sekarang ini ke seluruh pelosok negeri, sehingga dakwah menjadi buah bibir dan sumber pelajaran di setiap negeri. Dakwah masuk ke seluruh segmen masyarakat yang beraneka ragam, dakwah tidak hanya terbatas pada orang-orang yang mendapat tugas resmi saja atau kepada orang yang menyandang predikat sebagai pemipin syiar agama, akan tetapi siapa saja dapat terlibat dalam dakwah, laki-laki, wanita, anak-anak, remaja, orang dewasa, dan para spesialis ilmu dan humaniora. Inilah fenomena yang kita dapati di beberapa universitas di dunia Islam maupun di dunia barat. Akan tetapi kemajuan dakwah islam hingga sekarang ini masih menyisakan banyak kendala dan hambatan baik internal maupun eksternal. Di antara hambatan dan kendala adalah : Pertama, sedikitnya jumlah murabbi dan muwajjihin yang mumpuni bila dikaitkan dengan daya tarik dan tingginya respon. Tampaknya fenomena ini menjadi permasalahan yang cukup serius dan harus segera diatasi, karena sebagian besar manusia hidup di lingkungan yang tidak baik yang bertentangan dengan pembentukan dan pembanguanan jiwa mereka, sementara di sisi lain banyak da’i yang tidak menguasai dalam memainkan peran tarbiyah dan takwin, juga dalam memberikan pandangan-pandangan terkait dengan beberapa permasalahan pelik. Kedua, Sebagian da’i juga kurang efisien dan efektif dalam menyiapkan program sesuai dengan level mad’u dan kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lain, bahkan kekurangan semakin tampak pada aspek-aspek ushul dan kaidah. Menjadi persoalan yang sangat penting dan mendesak dakwah harus disampaikan dalam persepsi yang utuh dan menyeluruh dari awal hingga akhir, dibarengi dengan penguasaan menyeluruh dan mengetahui perioritas-perioritasnya. Ketiga, Usia produktif yang telah lewat. Sesungguhnya waktu yang dugunakan sebelum seseorang sampai kepada fase produktif adalah rentang waktu yang panjang, hal itu diawali dengan sebaran pengetahuan, informasi dan luasnya bahan bacaan dan



pengalaman. Kembali kepada asholah adalah salah satu cara yang dapat membantu akselerasi ke fase produktif, dan dengan mengetahui kaidah-kaidah yang tepat kita tidak akan banyak membutuhkan hal-hal yang furu, dan kita bisa mensingkronkan antara luasnya medan dakwah dan terbatasnya waktu untuk pembentukan (takwin) Keempat, Gigihnya penentangan terhadap dakwah. Yaitu segala daya upaya yang beraneka macam dengan peluang-peluangnya yang besar dalam menghambat jalan dakwah. Musuh-musuh dakwah memiliki pengalaman yang luas dalam menghambat orang dari jalan Allah. Meskipun pertikaian tajam terjadi antara komunisme dan kapitalisme, juga anatara eksisitensialisme dan nasionalisme dan faham-faham sesat lainnya, tetapi mereka dapat duduk satu meja ketika berbicara bagaimana memerang Islam dan dakwahnya. Upaya tersebut menghadirkan tantangan besar bagi para du’at di mana mereka harus mengetahui langkah-langkah para musuh dan membentengi manusia dari keburukan mereka dengan pendekatan preventif dan penyembuhan



(‫)اصلوب الوقاية والعالج‬. Sesungguhnya daya tarik dunia gemerlap (dugem) dan kesibukannya serta ikatanikatannya adalah rintangan di jalan dakwah bagi para da’i, karenanya para du’at harus memahami dinamika kehidupan dan orang-orangnya, hendaknya mereka didekati dengan jiwa kemanusiaan, metode yang menyentuh jiwanya dan bebrbagai sarana yang dapat membersihkan hatinya. Semoga fenomena yang menarik perhatian tentang kemajuan dakwah dikalangan ekonomi elit, di mana mereka hidup dalam gemerlap peradaban barat tetapi mereka menentang pengaruh jahiliyah moderen. Fenomen ini cukup membantu dalam membentuk imunitas dan daya tahan dalam menghadapi godaan dunia. Seorang da’i juga akan mendapatkan dirinya di hadapan gelombang pemikiran yang etrus bergerak dengan cepat, dan gelombang itu akan menerjang manusia di mana saja. Sebagai da’i dituntut untuk tegar dan konsisten dalam menghadapinya. Ketegaran dan konsisitensinya selalu terbangun di atas ilmu dan penguasaan topik permaslahannya. Beban tersebut di atas dan beban-beban lainnya mendesak kita untuk segera mengalihkan dakwah dari medan seremonial, emosional, orasi dan verbalisasi ke medan planning, program, spesialisasi dan fundamentalisasi. Tidaklah aneh bila kebutuhankebutuhan tersebut direalisasikan di era sekarang ini, karena dakwah terus meluas, bercabang dan banyak fokus, juga pengalaman dan gaya pendekatannya. Perluasan dan bercabangnya dakwah ini tidak akan efektif kecuali bila hal-hal yang prinsip dan mendasar telah dipahami dengan baik. Permasalahan dakwah bukanlah hal yang baru di anatara permasalahan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Umat Islam telah menikmati hadits-hadits Rasulullah SAW baik melalui jalru riwayah maupun dirayah, sehingga mereka dapati diri mereka membutuhkan ilmu ushul hadits dan istilah-istilah yang baku di dalamnya. Begitupula



halnya dalam ilmu nahwu, sharaf, aqidah, tafsir, tarikh, fiqih. Sesungguhnya pokokpokok ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidahnya datang pada periode mutakhir. Pada masa di mana seluruh ilmu pengetahuan diarahkan kepada asholah dan kaidah, maka ilmu dakwah adalah sekumpulan kata-kata yang membekas dan . Ilmu dakwah bukanlah ilmu dalam pengertian yang sebenarnya, karena sesungguhnya awal munculnya ilmu pengetahuan bila ada kebutuhan terhadapnya, tidak pernah terjadi masyarakat Islam menjadi terasing dan aneh, melainkan tetap eksis, mengamalakan nilai-nilai Islam dan antusias menjalankannya, sebagian besar individunya terus berdakwah sebagaimana mereka hidup, makan dan minum, ketika daulah Islam mulai surut dan ikatan iman mulai terlepas, individu muslim mendapatkan dirinya asing di tengah masyarakat, masyarakat kembali dilanda buta akidah, fikroh dan keteraturan, sebagaimana yang terjadi pada masa jahiliyah pertama. Oleh karena itu sebagian dari para da’i mulai merintis (menta’sis) kembali dan memprogram tempat dan wadah untuk memunculkan kembali kehidupan yang islami dan merajut cita setelah didera putus asa. Para da’i mulai bergerak di timur dan barat, oleh bangsa arab maupun non arab. Para Ulama mulai belajar dari pengalaman dakwahnya dan menyingkap aspekaspek positif-negatifnya. Meskipun nilai-nilai positif telah ditegaskan oleh gerakan dakwah di berbagai negeri, tetapi tetap membutuhkan penambahan distribusi potensi dan peluang dan mengerahkan segala upaya dalam proseskonstruksinya. Pendistribusian ini tidak akan efektif bila tidak disiapkan pribadi-pribadi yang produktif yang akan mengayomi level (mustawa) di bawahnya. Kemudian hendaknya masingmasing tugas dakwah harus disiapkan secara khusus dan waktu yang relevan, semua ini tidak akan terealisasi bila tidak menjalankan metode pengaturan tarbawy (nidzhom tarbawy) dengan perencanaan yang terarah dan jelas batasannya, disandarkan pada kaidah dan topik universal tanpa terjebak dalam arus pembahasan mengenai detil dan rincian. Dalam konteks inilah seorang da’i mengajukan ikhtisar yang difokuskan dalam pentarbiyahan, pembentukan, kepemimpinan, pengorganisasian, perencanaan dan evaluasi. Kitab ini saya persembahkan kepada seluruh ikhwan sebagai upaya untuk memantapkan dakwah dan meneguhkan orisinalitasnya, dengan beberapa model kaidah, sebagian tertuang dalam jabaran persepsi (tashawwurat) dan sebagian lainnya dalam beberapa pendekatan gaya dan cara (asalib) dan beberapa pendekatan sarana (wasail), dalam buku ini terdapat beberapa arahan teoritis yang saya kemukakan untuk dipelajari dan dikoreksi, Insya Allah tulisan ini hanyalah permulaan, bukan akhir segalanya. Allah di balik semua maksud da tujuan.



Humam Abdurrahim Said



KATA PENGANTAR CET II Ba,da tahmid dan sholawat. Cetakan terbaru ini dari kitab “qawaid dakwah ilallah” mengalami penambahan setelah 15 tahun dari cetakan sebelumnya. Cetakan pertama memuat 15 kaidah. Cetakan kedua ini merupakan penyempurnaan dengan penambahan enam kaidah lainnya. Dalam keenam kaidah ini ditekankan tentang perlunya kembali ke landasan orisinalitas syar’i dalam beberapa akspek aktifitas keislaman, seperti landasan orisinalitas untuk sebuah jamaah yang telah banyak menjadi pembicaraan tentang program, substansi dan karakteristiknya. Dan kaedah in telah menguji sikap kita trhadap berbagai fitnah terhadap dakwah. Seperti halnya tambahan dalam cetakan kedua ini telah mencakup dua kaedah pokok dalam hal pemahaman. Pertama, orisinalisasi pemahaman (‫)تأصيل الفهم‬, urgensinya, patokan-patokannya, rukun-rukunnya, pengaruhnya dalam misi keislaman scara umum. Kedua, diskursus pemahaman yang mendalam dalam menghadapi pemahaman yang wajib. Juga mencakup dua kaidah utama lainnya tenatang amar ma’ruf Nahi munkar. Pertama, mengorisinalkan rukun yang mendasar ini bahagian dari rukun-rukun da’wah Islam. Kedua, diskursus tentang sebagian orientasi yang menyimpang dalam memahami al-Qur’an, hal ini harus dimunculkan untuk mendorong orientasipergerakan yang positif dalam menghadapi pergerakan negatif yang diikuti oleh sbagaian umat Islam. Sesungguhnya tamabahan pada cetakan yang kedua ini telah mendatangkan nilai kesungguhan, nilai yang mencerminkan keunggulan hati sebelum keunggulan pena, jika saya benar maka hal itu dari Allah, jika saya salah maka hal itu berasal dari diri saya sendiri dan dari syaitan. Aku senantiasa berdo,a kepada Allah agar tidak menghalangiku dari pemberi wejangan dan nasehat. Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam.



Dr Humam Abdurrahim Said Amman, 4 jumadil ula 1419 H 26 Agustus 1998



DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................................2 KATA PENGANTAR CET II......................................................................................................6 DAFTAR ISI ............................................................................................................................7 KAIDAH PERTAMA Da’wah Kepada Allah Adalah Jalan Keselamatan Di Dunia Dan Akhirat ..................................................................................................................................9 KAIDAH KEDUA Seseorang Mendapat Hidayah Allah Melalui Engkau, Maka Hal Itu Lebih Baik Bagimu Dari Seekor Unta Merah ......................................................................19 KAIDAH KETIGA Pahala Diberikan Karena Dakwahnya Tidak Tergantung Dengan Penerimaannya ..................................................................................................................23 KAIDAH KEEMPAT Seorang Da’i Harus Sampai Pada Tingkatan Penyampaian Yang Optimal Dan Selalu Berusaha Memberikan Penyampaian Yang Menyentuh (Balagh) .....29 KAIDAH KELIMA Da’i Harus Mempersembahkan Semangat .............................................41 KAIDAH KEENAM Da’i Adalah Cermin Bagi Da’wahnya Dan Contoh Teladan ...................48 KAIDAH KETUJUH Bicaralah Kepada Manusia Sesuai Kemapuan Akal Mereka.................51 KAIDAH KEDELAPAN : Ujian Merupakan Sunnatullah Sebagai Jalan Mengaplikasikan Dakwah Dan Membentuk Jiwa Konsisten Dengan Akidah ................................................53 KAIDAH KESEMBILAN : Lahan Dakwah Luas HendaknyaDa’i Memilih Untuk Dakwahnya.........................................................................................................................57 KAIDAH KESEPULUH : Waktu Adalah Salah Satu Unsur Dakwah Yang Efektif...................61 KAIDAH KESEBELAS : Da’wah Adalah Seni Dan Kepemimpinan Di Atas Perencanaan Dan Evaluasi .......................................................................................................................63 KAIDAH KEDUABELAS : DAKWAH ADALAH POTRET JIHAD MELIBATKAN PERTARUNGAN UNTUK MENCAPAI SASARAN DAN HASILNYA .........................................68 KAIDAH KETIGABELAS : DAKWAH ADALAH BARANG BERHARGA YANG TIDAK DIJUAL DENGAN HARGA DUNIAWI, UPAH DUNIAWI MERUSAK KEPRIBADIAN DAN TIDAK MEMBAWA MASLAHAT BAGI DAKWAH. ...........................................................................78 KAIDAH KEEMPAT BELAS :MENGENAL MAD’U FAKTOR YANG SANGAT MENDASAR DAN MENENTUKAN DALAM KEBERHASILAN REKRUTMEN ...............................................82 KAIDAH KELIMABELAS :KEKINIAN DAN MENGENAL SITUASI UMUM MENJADI SALAH SATU FAKTOR KESUKSESAN DAKWAH ...............................................................................85 KAIDAH KEENAMBELAS :FIRQAH, FITNAH, UZLAH DAN JAMA’AH ....................................87 KAIDAH KETUJUH BELAS :PEMAHAMAN YANG BENAR JALAN MENUJU AMAL YANG BENAR ..............................................................................................................................106



KAIDAH PERTAMA Da’wah Kepada Allah Adalah Jalan Keselamatan Di Dunia Dan Akhirat



Dakwah ke jalan Allah adalah jalan selamat di dunia dan akhirat 1. Maksud penciptaan manusia  beribadah, dalam arti: a. Mengagungkan perintah Allah SWT. b. Menyayang sesama makhluq-Nya 2. Manusia berfungsi untuk merealisasikan kehendak Allah SWT  Khilafah, dalam arti: a. Menetapkan hukum berdasarkan ketetapan Allah SWT. b. Melaksanakan perintah-perintah Allah SWT. Jika kita menjadi aktifis dakwah dan menjalankan maksud dan fungsi kita sebagai manusia (ibadah & khilafah), maka kita telah mengeluarkan manusia dari:



a. Ketercerai beraian penghambaan kepada selain Allah SWT kepada ke-Esa-an penyembahan Allah SWT semata. b. Wawasan dan kehidupan yang sempit (dunia) kepada wawasan dan kehidupan yang luas (dunia akhirat). c. Kezhaliman dan ketidakadilan sistem dan aturan manusia kepada keadilan aturan dan hukum Allah SWT (Islam) d. Dari neraka kepada surga. 3. Menteladani para rasul (utusan Allah SWT)  sebab mereka dahulu adalah para da'i. 4. Bukti-bukti keselamatan dakwah dan para aktifisnya serta kehancuran orang-orang yang memusuhi dakwah: a. Kisah Nabi Nuh –'alaihi al-salâmb. Kisah Nabi Hud –'alaihi al-salâmc. Kisah Nabi Shalih –'alaihi al-salâmd. Kisah Nabi Luth –'alaihi al-salâme. Kisah Nabi Syu'aib –'alaihi al-salâmf. Kisah Nabi Musa –'alaihi al-salâmg. Kisah Ash-hâb al-Sabti (kisah hari Sabtu) Semua kisah ini menjelaskan sunnah dan janji Allâh yang berlaku, yaitu: Kehancuran orang-orang kafir dan kemenangan orang-orang beriman. 5. Tidak ada kerugian dalam berdakwah, walaupun sang da'i mengorbankan semahal apa pun, sebab, pada akhirnya, ia akan meraih keberuntungan besar. 6. Dakwah Nabi Muhammad SAW membawa keamanan bagi umat manusia, sebab, dengan dakwah beliau, tidak ada lagi adzab yang bersifat menghabisi (isti'shâl). 7. Jika para aktifis dakwah tetap ada dan eksis, maka dunia tidak akan kiamat, jika mereka tiada, maka, masyarakat akan menjadi seburuk-buruk generasi, dan saat itulah, kiamat akan terjadi.



Seorang da’i hendaknya mengetahui bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia untuk tunduk kepada-NYA, sebagaimana firman-NYA :



)56(‫ون‬ َ ‫اْل ْن‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬ ِ ُ‫س ِإ ََّّل ِليَ ْعبُد‬ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS.Al-dzariyat (51) : 56 ).



Ibadah hanya benar dilakukan bila didasari pengetahuan yang jelas, pengetahuan yang jelas tidak akan terwujud kecuali mengacu kepad manhaj yang telah digariskan oleh Allah SWT yang telah mengutus para rasul dan para nabinya. Mereka para Rasul dan para nabi adalah penyeru (du’at) yang menunjukan kepada kebnaran. Demikianlah kesibukan mereka dalam rangka merealisasikan kehendak Allah yang telah manjadikan Adam alaihissalam sebagai Khalifah di muka bumi, memutuskan perkara dengan ketetapan Allah dan melaksanakan segala perintah-NYA. Allah berfirman :



)30( ً‫ض َخ ِليفَة‬ ِ ‫َو ِإ ْذ قَا َل َرب َُّك ِل ْل َم ََلئِ َك ِة ِإنِي َجا ِعل فِي ْاْل َ ْر‬ Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". (QS. Al-baqarah : 30), maka dari itu tujuan Allah menciptakan manusia agar dirinya sibuk dengan perintah-NYA. Imam Ar-Razy berkata : “Ibadah yang bagaiamanakah yang menjadi sebab diciptakannya jin dan manusia?”. Kami tegaskan : “Ibadah yang dimaksud adalah mengagungkan perintah Allah dan menyayangi ciptaannya”. (Tafsir Ar-Razy : 28/453) Kemudian Ar-Razy berkata : “Mengagungkan Allah menuntut konsekwensi keharusan mengikuti syariatNYA dan mentaati sabda rasul-NYA, Allah telah memberikan kenikmatan kepada hambahamba-NYA dengan mengutus para Rasul dan menjelaskan berbagai jalan dalam merealisasikan kedua bentuk ibadah tersebut di atas. Pembagian ini terkait dengan tugas ibadah adalah pembagian yang mutlak dan menyeluruh. Dakwah kepada Allah SWT adalah fenomena keagungan Allah SWT yang paling tinggi, dan seorang da’i yang menyerukan kepada fikrah atau sasaran tertentu dengan mengarahkan segala kesungguhan di jalannya, sesungguhnya hal itu dilakukan agar Ia dapat memenuhi pencapaian sasaran dan fikrahnya. Barangsiapa yang menyerukan kepada fikrah maka ia akan dievaluasi atas fikrahnya, sebagaimana fikrahnya juga akan dievaluasi berkenaan dengan dirinya. Dalam berdakwah kepada Allah terdapat bukti kasih sayang kepada Hamba-hamba-NYA, karena seorang da’i ingin mengeluarkan manusia dari jurang kehancuran dan perpecahan di bawah kungkungan penguasa lokal menuju keluasan Islam dan cakrawalanya yang menyejukan, serta aturannya yang mengarahkan kepada kebahagiaan manusia. Juga mengeluarkan mereka dari lobang api neraka menuju taman surga. Inilah dua sasaran ibadah, juga sekaligus menjadi sasaran dakwah, keselamatan ada pada capaian kedua sasaran tersebut. Para nabi Allah dan rasul-NYA telah berkomitmen dengan perintah Allah dalam berdakwah kepada-NYA dan memelihara tujuan penciptaan-NYA. Setiap rasul yang mulia selalu berobsesi dalam menyerukan manusia kepada keselamatan. Al-Qur’an telah menceritakan tentang pertarungan para nabi



dengan kaumnya, selalu dipastikan bahwa pertarungan itu berakhir dengan kemenangan para du’at dan binasanya kaum penzalim penentang dakwah. Pada kisah nabi Nuh AS bersama kaumnya berakhir dengan :



‫ف َوأ َ ْغ َر ْقنَا‬ َ ِ‫فَ َكذَّبُوهُ فَنَ َّج ْينَاهُ َو َم ْن َمعَهُ فِي ْالفُ ْل ِك َو َجعَ ْلنَا ُه ْم خ َََلئ‬ ُ ‫الَّذِينَ َكذَّبُوا ِبآيَاتِنَا فَا ْن‬ )73( َ‫ْف َكانَ َعاقِبَةُ ْال ُم ْنذَ ِرين‬ َ ‫ظ ْر َكي‬ Lalu mereka mendustakan Nuh, maka Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan itu.(QS. Yunus (10) : 73) Dalam kisah Hud AS bersama kaumnya juga berakhir dengan :



‫َولَ َّما َجا َء أ َ ْم ُرنَا نَ َّج ْينَا ُهودًا َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َمعَهُ ِب َر ْح َم ٍة ِمنَّا‬ )58( ٍ‫ب َغ ِليظ‬ ٍ ‫َونَ َّج ْينَا ُه ْم ِم ْن َعذَا‬ Dan tatkala datang `azab Kami, Kami selamatkan Huud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari `azab yang berat.(QS. Hud (11) : 58)Sedangkan dalam kisah Nabi Saleh AS bersama kaumnya, hasilnya adalah :



‫صا ِل ًحا َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َمعَهُ ِب َر ْح َم ٍة ِمنَّا‬ َ ‫فَلَ َّما َجا َء أ َ ْم ُرنَا نَ َّج ْينَا‬ ُ ‫ي ْالعَ ِز‬ )66(‫يز‬ ُّ ‫َو ِم ْن ِخ ْزي ِ يَ ْو ِمئِ ٍذ ِإ َّن َرب ََّك ُه َو ْالقَ ِو‬ Maka tatkala datang azab Kami, Kami selamatkan Shaleh beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat dari Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa(QS. Hud : 66) Dalam kisah nabi Luth AS dakwahnya berhasil dengan : “Para utusan (malaikat) berkata :



ْ ‫صلُوا ِإلَي َْك فَأ َ ْس ِر ِبأ َ ْه ِل َك ِب ِق‬ ُ ‫قَالُوا يَالُو‬ َ‫ط ٍع ِمن‬ ُ ‫ط ِإنَّا ُر‬ ِ َ‫س ُل َر ِب َك لَ ْن ي‬ ْ ‫اللَّ ْي ِل َو ََّل يَ ْلت َ ِف‬ ‫صابَ ُه ْم ِإ َّن‬ ِ ‫ت ِم ْن ُك ْم أ َ َحد ِإ ََّّل ْام َرأَت َ َك ِإنَّهُ ُم‬ َ َ ‫صيبُ َها َما أ‬



‫)فَلَ َّما َجا َء أ َ ْم ُرنَا َجعَ ْلنَا‬81(‫ب‬ ٍ ‫ص ْب ُح بِقَ ِري‬ ُّ ‫ْس ال‬ ُّ ‫َم ْو ِعدَ ُه ُم ال‬ َ ‫ص ْب ُح أَلَي‬ َ ‫سافِلَ َها َوأ َ ْم‬ )82(ٍ‫ضود‬ ُ ‫ارة ً ِم ْن ِس ِجي ٍل َم ْن‬ َ ‫َعا ِليَ َها‬ َ ‫ط ْرنَا َعلَ ْي َها ِح َج‬ “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu perhilah dengan membawa keluarga dan pengikutpengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorang di anataramu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya mereka akan ditimpa adzab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu subuh, bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala telah datang adzab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi (QS. Hud : 81-82). Kisah dakwah nabi Syuaib berakhir dengan :



ُ ‫َولَ َّما َجا َء أ َ ْم ُرنَا نَ َّج ْينَا‬ ‫شعَ ْيبًا َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َمعَهُ ِب َر ْح َم ٍة ِمنَّا‬ َ َ‫ت الَّذِين‬ 94ْ( َ‫ار ِه ْم َجاثِ ِمين‬ ِ َ‫َوأ َ َخذ‬ ْ َ ‫ص ْي َحةُ فَأ‬ َّ ‫ظلَ ُموا ال‬ ِ َ‫صبَ ُحوا فِي ِدي‬ “Dan tatkala datang adzab kami, kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat dari kami, dan orang-orang yang dzhalim dibinasakan oleh suatu suara yang mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangandi rumahnya”. (QS. Hud : 94) Dalam kisah Nabi Musa AS bersama Fir’aun dan kaumnya berakhir dengan hasil sebagai beikut :



‫فَا ْنتَقَ ْمنَا ِم ْن ُه ْم فَأ َ ْغ َر ْقنَا ُه ْم ِفي ْاليَ ِم ِبأَنَّ ُه ْم َكذَّبُوا ِبآيَا ِتنَا َو َكانُوا َع ْن َها‬ َ ‫ضعَفُونَ َم‬ َ‫ارق‬ ْ َ ‫)وأ َ ْو َرثْنَا ْالقَ ْو َم الَّذِينَ َكانُوا يُ ْست‬ ِ ‫ش‬ َ 136( َ‫غَافِ ِلين‬ ْ ‫ار ْكنَا فِي َها َوت َ َّم‬ ‫ت َك ِل َمةُ َر ِب َك ْال ُح ْسنَى‬ ِ ‫ْاْل َ ْر‬ َ َ‫َاربَ َها الَّتِي ب‬ ِ ‫ض َو َمغ‬ ‫صنَ ُع ِف ْر َع ْو ُن‬ ْ َ‫صبَ ُروا َودَ َّم ْرنَا َما َكانَ ي‬ َ ‫َعلَى بَ ِني ِإ ْس َرا ِئي َل ِب َما‬ ُ ‫َوقَ ْو ُمهُ َو َما َكانُوا يَ ْع ِر‬ )137( َ‫شون‬ Kemudian Kami menghukum mereka, maka Kami tenggelamkan mereka di laut disebabkan mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka adalah orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami itu. Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah



dibuat Fir`aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka (QS. Al-A’raf : 136137) Demikian pula halnya dengan sebuah desa tepi pantai :



‫وء َوأ َ َخ ْذنَا‬ ُّ ‫سوا َما ذُ ِك ُروا ِب ِه أ َ ْن َج ْينَا الَّذِينَ يَ ْن َه ْونَ َع ِن ال‬ ِ ‫س‬ ُ َ‫فَلَ َّما ن‬ َ َ‫الَّذِين‬ )165( َ‫سقُون‬ ُ ‫يس بِ َما َكانُوا يَ ْف‬ ٍ ِ‫ب بَئ‬ ٍ ‫ظلَ ُموا بِعَذَا‬



Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (QS. Al-A’raf : 165). Ayat-ayat tersebut di atas menguatkan bahwa keselamatan bagi dakwah kepada Allah, dan inilah janji Allah kepada orang-orang beriman :



‫ج‬ ُ ‫ث ُ َّم نُن َِجي ُر‬ ِ ‫سلَنَا َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َكذَ ِل َك َحقًّا َعلَ ْينَا نُ ْن‬ )103( َ‫ْال ُمؤْ ِم ِنين‬ Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman, demikianlah menjadi kewajiban atas Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 103) Kemenangan orang orang mu’min adalah kemenangan para du’at ilallah “terbukti karena janji dan keputusan (Allah)”. Berkata Sayyid Qutub Rahimahullah : “Inilah garis yang telah ditetapkan Allah (sunnatullah) di muka bumi ini, inilah janji untuk para penolong-NYA. Apabila terkadang perjalanan terasa panjang bagi bagi para du’at maka harus difahami seperti inilah jalannya. Hendaknya para du’at tetap yakin kemenenagan dan pergantian kekuasaan akan menjadi milik orang-orang beriman. Juga hendaknya para du’at jangan tergesa-gesa terhadap janji Allah, hal itu pasti akan terjadi di tengah perjalanan, Allah tidak akan menipudaya para penolong-NYA, dan tidak akan lemah untuk menolong mereka dengan kekuatan-NYA dan tidak akan menyerahkan mereka kepada musuh-musuh-NYA, bahkan allah akan selelau mengajarkan mereka, menambah pengetahuan mereka dan membekali mereka – dalam cobaan dan penderitaan – dengan bekalan perjalanan.



TIDAK ADA RUGINYA BERDAKWAH Kegiatan dakwah tidak seperti yang dianggap oleh kebanyakan orang, penuh dengan rasa letih, penderitaan, kepenatan dan kesengsaraan. Sesungguhnya kegiatan



dakwah meskipun tidak terlepas dari kelelahan dan kepenatan, tetapi ia seperti makanan yang lezat, dan memuliakan hati. Oleh karena itu para aktifis dakwah selalu tetap berada di jalannya dengan nilai-nilai yang mahal dan berharga, melipur lara dan mendapatkan kematian adalah kehidupan yang sesungguhnya demi kepantingan dakwah. Mereka adalah orang yang paling bahagia bila di banding dengan yang lainnya (yang tidak berdakwah). Adapun akhir dari perjaunagn dakwah adalah kemenangan dan kekekalan, selain dari itu adalah kehancuran dan kebinasaan. DAKWAH MUHAMMAD : PERLINDUNGAN BAGI KEMANUSIAAN Bila diamati beberapa ayat yang menjelaskan tentang pertarungan para nabi dengan kaumnya, maka dapat disimpulkan bahwasanya mereka seluruhnya dimusnahkan oleh adzab Allah SWT, sehingga tidak ada lagi tersisa manusia berkeliaran, dan tidak luput seorangpun dari mereka. Dengan datangnya Nabi Muhammad tidak ada lagi pemusnahan massal, baik dengan topan, halilintar dan badai. Hal ini merupakan penghormatan bagi umat ini yang tidak pernah sunyi dari oranng yang berjuang untuk Allah dengan hujjah yang nyata dan kelompok yang terus eksis di atas perintah Allah (Dakwah), sampai tiba keputusan-NYA, kelompok tersebut adalah para da’i (du’at). Lantaran mereka Allah menetapkan keselamatan bagi umat ini dari kebinasaan secara masal. Akan tetapi ketika di bumi ini tidak ada lagi golongan mulia disisi Allah (Du’at), maka kiamat akan segera tiba, sebagaimana tertuang dalam beberapa Hadits, Rasulullah SAW bersabda :“Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan”. “Tidak akan terjadi kiamat bila measih ada orang yang menyebut “Allah Allah”, dalam riwayat yang lain, “sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini : “Allah Allah”. “Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka” Rasulullah SAW bersabda :



‫ " َّل تقوم الساعة إَّل على أشرار الناسقال‬: “Tidak terjadi kiamat kecuali bila seluruh manusia berbuat keburukan”. (HR. Muslim)



1(



" ‫ هللا هللا‬: ‫ " َّل تقوم الساعة على أحد يقول‬: ‫وقال‬ . ‫ هللا هللا‬: ‫ وفي رواية حتى َّل يقال في اْلرض‬.)



“Tidak akan terjadi kiamat bila measih ada orang yang menyebut “Allah Allah”, dalam riwayat yang lain, “sampai tidak ada yang berkata lagi di muka bumi ini : “Allah Allah”. HR. Muslim)



.‫ شرح النووي‬171/1 ‫أخرجه مسلم‬



)(



‫ " يُقبض الصالحون اَّلول فاْلول ويبقى حثالة كحثالة‬: ‫وقال‬ ً ‫التمر أو الشعير َّل يعبأ هللا بهم شيئا‬ “Diwafatkan orang-orang yang saleh dari generasi pertama hingga generasi berikutnya, seperti buah kurma dan biji gandum, yang tersisa kemudian hanya yang jelek-jeleknya saja, Allah tidak terbebani sedikitpun oleh keadaan mereka” (HR. Bukhari)



Hadits-hadits tersebut di atas menunjukan bahwa terjadinya kiamat berkaitandengan hilangnya dawah dan para da’inya, saya tidak bermaksud bahwa kaitan ini kaitan sebab akibat, tetapi yang saya maksud adalah Allah senantiasa menghargai kemanusiaan dengan dakwah dan para da’inya. Sesungguhnya selama dakwah dan para da’inya terus berlan jut, maka tujuan penciptaan di muka bumi ini masih terus berlangsung. Akan tetapi bila dakwah dan para da’inya lenyap maka manusia telah rugi karena alasan kebaikan keberadaannya di muka bumi inipun menjadi hilang dan tidak berlaku lagi. Demikianlah, sesungguhnya manusia berada dia antara dua titik, titik permulaan atau titik penghabisan.Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah : “dan ketika berkata Tuhan mu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah”. Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits rasulullah SAW : “ Sesungguhnya Allah akan mengirim aromawewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya) Imama Muslim telah mengeluarkan hadits dari abdurrahman bin Syamasah RA. : “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah : “Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan merka lebih durjana dari kaum jahiliyah, do’a mereka ditolak oleh Allah. Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata maslamah : “Hai Uqbah dengarlah apa yang diucapkan Abdullah”. Uqbah menjawab : “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar rasulullah SAW bersabda : Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuh-musuh mereka, tidak membahayakan mereka orangorang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu”. Abdullah berkata : “kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudia yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat”.



‫ وإذ قال ربك للمَلئكة إني جاعل في اْلرض خليفة‬: ‫اْلولى‬



Titik permulaan diisyaratkan dalam firman Allah : “dan ketika berkata Tuhan mu kepada malaikat sesungguhnya aku menjadikan di muka bumi ini seorang khalifah”. Sedangkan titik penghabisan diisyaratkan dalm hadits rasulullah SAW : “



، ‫ قوله "إن هللا يبعث ريحا ً من اليمن ألين من الحرير‬: ‫والثانية‬ .)2( " ‫فَل تدع أحدا ً فيه مثقال حبة من إيمان إَّل قبضته‬ Sesungguhnya Allah akan mengirim aroma wewangian dari Yaman yang lebih lembut dari sutra, tidaklah engkau meninggalkan seseorang padanya keimanan seberat biji sawi, melainkan engkau telah menangkapnya (menyelamatkannya) (HR. Muslim) Imama Muslim telah mengeluarkan hadits dari abdurrahman bin Syamasah RA. : “Ketika aku bersama Maslamah bin Makhlad dan bersamanya Abdullah bin Amr bin Ash, berkata Abdullah :



‫ هم شر من‬،‫ َّل تقوم الساعة إَّل على شرار الخلق‬: ‫ فقال عبدهللا‬، ‫ َّل ي ْدعون هللا بشيء إَّل رده هللا عليهم‬،‫أهل الجاهلية‬ “Tidak akan terjadi kiamat kecuali kepada manusia durjana, bahkan merka lebih durjana dari kaum jahiliyah, do’a mereka ditolak oleh Allah. (HR. Muslim) Tiba-tiba datanglah Uqbah bin Amir, maka berkata maslamah : “Hai Uqbah dengarlah apa yang diucapkan Abdullah”. Uqbah menjawab : “Dia lebih tahu, sedangkan saya pernah mendengar rasulullah SAW bersabda :



‫ َّل تزال عصابة من أمتي يقاتلون على‬:‫فسمعت رسول هللا يقول‬ ‫ َّل يضرهم من خالفهم حتى تأتيهم‬،‫ قاهرين عدوهم‬،‫أمر هللا‬ ‫ ثم يبعث هللا ريحا ً كريح‬:‫ قال عبد هللا‬،‫الساعة وهم على ذلك‬ ‫ فَل تترك نفسا ً في قلبه مثقال حبة من‬، ‫مس الحرير‬ ُّ ‫المسك م‬ ُّ ‫سها‬ .)3("‫ ثم يبقى شرار الناس عليهم تقوم الساعة‬،‫إيمان إَّل قبضته‬ Tidaklah sekelompok dari umatku berperang atas perintah Allah, mendesak musuhmusuh mereka, tidak membahayakan mereka orang-orang yang menentang mereka, sampai datangnya kiamat, sementara mereka tetap seperti itu”. Abdullah berkata : “kemudian Allah mengirim aroma seperti aroma kasturi, sentuhannya seperti sentuhan sutra, maka tidaklah engkau tinggalkan seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan



.‫ شرح النووي‬13/1 ‫أخرجه مسلم‬ .‫ شرح النووي‬، 154/3 ‫أخرجه مسلم‬



) ( ) 3(



seberat biji sawi melainkan engkau menangkapnya, kemudia yang tersisa hanyalah manusia durjana, karena merekalah terjadi kiamat”. (HR. Muslim)



Dapat disimpulkan dari riwayat tersebut di atas satu petunjuk bahwa ada korelasi antara kelompok orang beriman dengan datangnya kiamat dan datangnya kiamat karena kedurjanaan manusia, pengertian dari korelasi yang dimaksud adaah semakin dekatnya kiamat, sebagaimana pendapat Imam Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Sedangkan hadits lain yang menyatakan : “Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantias di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi. Sedangkan hadits lain yang menyatakan :



‫اآلخر َّل تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق إلى يوم‬ ‫القيامة فليس مخالفا ً ْلن معنى هذا أنهم َّل يزالون على الحق حق‬ ‫تقبضهم هذه الريح‬ “Tidaklah sekelompok umatku terus eksis di atas kebenaran hingga hari kiamat”, tidak bertentangan, karena makna hadits mereka senantias di atas kebenaran, yaitu kebenaran mereka memperoleh aroma kasturi. (HR. Muslim)



Manakala seorang da’i telah mencanangkan dirinya untuk berjihad dan mendorong dirinya untuk berkorban di jalan Allah, dan memasuki satu celah untuk menghadapi musuh-musuh Islam, maka keahlian seperti itu akan menjadikan dirinya lebih mampu bermanuver, dan ia dengan idzin Allah akan menang dan selamat, sementara musuhnya akan hina binasa. Keselamatan yang dimaksud bukanlah keselamatan individu dari penyakit dan penderitaan, tetapi yang dimaksud adalah keselamatan jama’ah dan fikrah pada akhir perjuangan. Adapun di akhirat nanti gambaran keselamatan adalah kenikmatan permanen dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, di dalamnya terdapat sesuatu di mana mata (ketika di dunia) tidak pernah melihatnya, telinga tidak pernah mendengarkannya dan tidak pernah terlintas dalam hati siapapun.



KAIDAH KEDUA Seseorang Mendapat Hidayah Allah Melalui Engkau, Maka Hal Itu Lebih Baik Bagimu Dari Seekor Unta Merah



‫القأ عدة الثانية‬ ‫الهادي هو هللا وحده والدعي هوالذي يرشد الى الخير والهدى‬ ‫استنقا ذ المهتدى من النار‬ ‫اْلجر المستمر للداعية‬ ‫عون للداعية على أداء الرسالة‬ ‫لبنة جديدة لبناء اَّلسَلم‬ ‫خسارة للشيطان وأعوانه‬



‫نتا ئج الدعوة‬



‫نتائج قبول المدعوة‬



‫فو هللا ْلن يهدي هللا بك رجَل‬ ‫واحدا ضد لك حمر النعام‬



‫كسب للرحمن وأنصاره‬



Itulah yang pernah disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada Ali bin Abi Thalib RA ketika beliau menyerahkan bendera kepadanya pada saat perang Khaibar. Kemudian ali berkata : “Atas dasar apa kita memerangi manusia, kita memeranginya sampai mereka seperti kita ?”. Rasul bersabda : Sabar, sampai engkau memasuki wilayah mereka, lalu dakwahkan mereka kepada Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajibankewajibannya, maka demi Allah seseorang mendapatkan hidayah melalui engkau, hal itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”. Kenapa demikian?, karena hidayah Allah adalah petunjuk, tidakada setelah petunjuk kecuali kesesatan. Ketika Allah memeberikan petunjuk kepada seurang da’i maka Allah akan sediakan orang uang ajan menerima dakwahnya, karena sesungguhnya nilai-nilai penerimaan dakwah itu sangat agung dan mulia, kita sebut saja diantaranya : Kemudian Ali berkata :



‫ نقاتلهم حتى يكونوا مثلنا‬،‫ عَلم أقاتل الناس‬: ‫ي‬ ُّ ‫ فقال عل‬، “Atas dasar apa kita memerangi manusia, kita memeranginya sampai mereka seperti kita ?”.



،‫ " على رسلك حتى تنزل بساحتهم ثم ادعهم إلى اْلسَلم‬:‫؟ فقال‬ ً ‫ فوهللا ْلن يهدي هللا بك رجَلً واحدا‬،‫وأخبرهم بما يجب عليهم‬ .)4( "‫خير لك من ُح ُمر النَّعم‬ Rasul bersabda : Sabar, sampai engkau memasuki wilayah mereka, lalu dakwahkan mereka kepada Islam, dan sampaikan kepada mereka kewajiban-kewajibannya, maka demi Allah seseorang mendapatkan hidayah melalui engkau, hal itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”.



،‫ وأنه ليس بعد الهدى إَّل الضَلل‬،‫وذلك ْلن هدي هللا هو الهدى‬ ‫وعندما يوفق هللا تعالى داعية من دعاة اْلسَلم فيهيء له من‬ :‫ نذكر منها‬، ‫يقبل دعوته فإن نتائج هذا القبول عظيمة جليلة‬ Kenapa demikian?, karena hidayah Allah adalah petunjuk, tidakada setelah petunjuk kecuali kesesatan. Ketika Allah memeberikan petunjuk kepada seurang da’i maka Allah akan sediakan orang uang ajan menerima dakwahnya, karena sesungguhnya nilai-nilai penerimaan dakwah itu sangat agung dan mulia, kita sebut saja diantaranya 1. Berdakwah berarti menyelamatkan orang yang mendapat petunjuk dari api neraka, menlindungi dari panas dan gejolaknya, dijauhkannya seseorang dari api neraka disamping karunia dari Allah juga disebabkan oleh kesungguhan da’i dan pertolongannya, digantikan yang semula tempatnya kekal di dalam neraka menjadi kekal di dalam surga, ini adalah perkara yang tidak bisa dibandingkan dengan ketegori kebaikan apapun, tidak ada yang dapat menyamai tingkatannya, setinggi apapun tingkat kebaikan dan kedermawanan. Maka seorang da’i mempersembahkan surga sebagai hadiah untuk manusia di sekelilingnya, menenunjuki mereka tempat kebahagiaan, maka pahala yang seperti apa yang akan dicatat untuk para da’i di sisi Rabbnya kecuali pahala yang kadarnya sesuai dengan keagungan pemberinya. 2. Sesungguhnya setiap gerak dan diamnya orang yang mendapat hidayah, tasbih dan takbir yang terucap dari keduabelah bibirnya, setiap rakaat dan sujud yang dikerjakannya dan setiap kebaiakan yang digerakan allah melalui tangannya, itu semua disebabkan oleh peran dan usaha seorang da’i yang telah menunjukan jalan ke arah kebaikan, karenanya pahala bagi da’i seperti pahala orang yang mengerjakannya, sebagaimana sabda Nabi : “Yang menunjuki ke arah kebaikan seperti orang yang mengerjakannya”. Juga Nabi bersabda : “Barang siapa yang menerapkan kebiasaan yang .111/6 ) ‫أخرجه البخاري ( فتح الباري‬



) 4(



baik dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya”. Ini dari sisi pahala yang tak ada habisnya, Ia terus bertambah dari hari ke hari. Sesungguhnya kesungguhan Abu Bakar As-siddiq, Bilal, Ammar, Khadijah, Asma dan para sahabat dan sahabiyat lainnya, adalah modal yang paling utama dalam penerimaan manusia terhadap Allah hingga hari kiamat, dan sesungguhnya kesungguhan Nabi Muhammad SAW adalah titik awal dari setiap kesungguhan yang ditunjukan oleh setiap muslim, oleh karena itu bagi Rasulullah SAW – setelah Allah SWT- segala kemuliaan di atas kepala setiap orang Islam. sebagaimana sabda Nabi :



‫" الدال على الخير كفاعله‬ “Yang menunjuki ke arah kebaikan seperti orang yang mengerjakannya”. Juga Nabi bersabda :



َّ ‫ " من‬: ‫سن في اْلسَلم سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها‬ .)5("‫بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء‬



“Barang siapa yang menerapkan kebiasaan yang baik dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun pahalanya”. (HR. Muslim)



3. Bahwasanya yang memperoleh hidayah melalui tangan seorang da’i menjadi mitra baginya dalam menunaikan misinya, berpadulah kesungguhannya dengan kesungguhna da’inya. Demikianlah dkwah tidak akan bertambah melainkan dengan jalan dakwah itu Sendiri, dan tidak semakin menjadi kokoh kecuali dengan masuknya unsur-unsur baru yang mengikutinya. Tidaklah berubah keadaan kaum muslimin dari sembunyi-sembunyi menuju terang-terangan, kecuali setelah masuknya Umar dan hamzah ke dalam agama Allah Azza wa jalla. 4. Sesungguhnya wahai para da’i, siapa saja yang memperoleh hidayah melelui keduabelah tanganmu, maka itu berarti sebuah batu bata yang dicopot dari bangunan jahiliyah lalu diletakkan pada bangunan Islam. Hal ini dari sisi kekufuran dan kesesatan adalah sebuah kekalahan bagi Syaitan dan para pembantunya, dan kemenangan bagi Allah dan para penolongnya. Oleh karena setiap kali ada orang yang mendapat hidayah berkat dakwah, maka runtuhlah satu demi satu pilar-pilar bangunan jahiliyah. Begitulah problematika jahiliyah di kota Mekkah, setiap pagi menjadi bahan pembicaraan di kalangan mereka. Orang-orang kafir berbicara tentang kaum yang mengikuti agama baru, memisahkan diri dan keluar dari masyarakatnya. Sementara kaum muslimin .060/4 ‫ ص‬، 674 ‫ و ح‬704/ ‫ ص‬، 1017 ‫ ح‬، ‫صحيح مسلم‬



) 5(



bergembira dengan semakin banyaknya orang-orang yang mendapat hidayah, seakanakan saya membayangkan ad di bangunan kufur berproses setiap hari dan beruntuhan sedikit demi sedikit sehingga lahan dakwah menjadi lebih terbuka.



KAIDAH KETIGA Pahala Diberikan Karena Dakwahnya Tidak Tergantung Dengan Penerimaannya



1. Kaidah tersebut menjawab kesalah kaprahan anggapan banyak orang, bahwa pahala bergantung dengan hasil duniawi yang kasat mata. Bila seperti itu, maka kebanyakan para Nabi tervonis gagal dalam dakwahnya, sebutan yang tidak pantas bagi para nabi Allah. Meskipun Nabi Nuh sangat sedikit pengikutnya dari kalangan orang-orang beriman, tetapi Ia telah mendakwahkan kaumnya dan menetap bersama mereka 950 tahun lamanya. Sebagaimana firman Allah :



َ ‫س ْلنَا نُو ًحا ِإلَى قَ ْو ِم ِه فَلَ ِب‬ َ‫سنَ ٍة ِإ ََّّل خ َْمسِين‬ َ ‫ف‬ َ ‫َولَقَ ْد أ َ ْر‬ َ ‫ث ِفي ِه ْم أ َ ْل‬ ُّ ‫َعا ًما فَأ َ َخذَ ُه ُم‬ َ ‫ان َو ُه ْم‬ ُ َ‫الطوف‬ َ‫ظا ِل ُمون‬ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Ankabut : 14) Zahir ayat tersebut – menurut Ibnu katsir – menerangkan bahwasanya nabi Nuh tinggal bersama kaumnya dan senantiasa mendakwahkan mereka kepada allah selama 950 tahun. Walaupun Nabi Nuh tinggal bersama kaumnya cukup lama, tetapi yang beriman kepadanya hanya sedikit saja. Firman Allah Ta’ala :



‫اح ِم ْل فِي َها ِم ْن ُك ٍل زَ ْو َجي ِْن‬ ْ ‫ور قُ ْلنَا‬ ُ ُّ‫ار التَّن‬ َ َ‫َحتَّى إِذَا َجا َء أ َ ْم ُرنَا َوف‬ ُ‫سبَقَ َعلَ ْي ِه ْالقَ ْو ُل َو َم ْن َءا َمنَ َو َما َءا َمنَ َمعَه‬ َ ‫اثْنَي ِْن َوأ َ ْهلَ َك ِإ ََّّل َم ْن‬ ‫ِإ ََّّل قَ ِليل‬ Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. (QS. Hud : 40)



‫ومن آمن‬



Bila diperhatikan pengecualian pada ayat ) (sehingga tidak dapat dipahami bahwa jumlah orang berimannya banyak, oleh karenanya Allah memperjelas dengan ayat berikutnya .)



‫( وما آمن معه إَّل قليل‬



Begitulah permasalahan dakwah yang dihadapi kebanyakan para Nabi, mereka nanti akan dkumpulkan pada hari kiamat, sebagian mereka ada yang mempunyai pengikut satu dua tiga orang saja, sebagian mereka bahkan sama sekali tidak ada seorangpun orng beriman yang menjadi pengikutnya, Imam tirmidzi mentakhrij dari jalur Ibnu Abbas Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati beberap Nabi bersamanya pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun. Karena itu Allah telah mengarahakan Rasul-NYA Muhammad SAW kepada pengertian tersebut di atas, ketika beliau diperintahkan berdakwah dan menyampaikan risalah, Allah tidak menuntut hasilnya. Allah berfirman :



ً ‫َاك َعلَ ْي ِه ْم َح ِفي‬ ُ ‫ظا ِإ ْن َعلَي َْك ِإ ََّّل ْالبَ ََل‬ ‫غ‬ َ ‫س ْلن‬ ُ ‫فَإِ ْن أَع َْر‬ َ ‫ضوا فَ َما أ َ ْر‬ ‫س ِيئَة ِب َما‬ ِ ُ ‫سانَ ِمنَّا َر ْح َمةً فَ ِر َح ِب َها َو ِإ ْن ت‬ َ ‫ص ْب ُه ْم‬ َ ‫اْل ْن‬ ِ ْ ‫َو ِإنَّا ِإذَا أَذَ ْقنَا‬ ْ ‫قَدَّ َم‬ ‫سانَ َكفُور‬ َ ‫اْل ْن‬ ِ ْ ‫ت أ َ ْيدِي ِه ْم فَإِ َّن‬ Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan(risalah). Sesungguhnya apabila Kami merasakan kepada manusia sesuatu rahmat dari Kami dia bergembira ria karena rahmat itu. Dan jika mereka ditimpa kesusahan disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri (niscaya mereka ingkar) karena sesungguhnya manusia itu amat ingkar (kepada ni`mat). (QS. Syura : 48)



ُ ‫س ِل إِ ََّّل ْالبَ ََل‬ ‫غ ْال ُمبِين‬ ُ ‫الر‬ ُّ ‫علَى‬ َ ‫فَ َه ْل‬ maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35)



ُ ‫سو ِل إِ ََّّل ْالبَ ََل‬ ‫غ ْال ُمبِين‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫علَى‬ َ ‫َو َما‬ . Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." (QS. An-Nur : 54) Adapun urusan hidayah sepenuhnya ada di tangan Allah. Sebagaimana firman-NYA :



َّ ‫إِنَّكَ ََّل ت َ ْهدِي َم ْن أَحْ بَبْتَ َولَ ِك َّن‬ َ‫ّللاَ يَ ْهدِي َم ْن يَشَا ُء َو ُه َو أ َ ْعلَ ُم بِ ْال ُم ْهتَدِين‬ Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashash : 56) 2. Esensi kaidah ini menjelaskan bahwasanya seorang da’i tidak boleh terjadi pada dirinya putus asa dan stress, akibat penentangan manusia dan ketiadaan respon mereka. Allah telah mengurangi beban kesulitan Nabi-NYA dan tidak membebani di luar kemampuannya, Allah berfirman :



‫علَيْكَ ُهدَا ُه ْم‬ َ ‫ْس‬ َ ‫لَي‬ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah : 272)



َّ ‫سنًا فَإ ِ َّن‬ ‫علَ ْي ِه ْم‬ ُ ُ‫أَفَ َم ْن ُزيِنَ لَه‬ َ َ‫ُض ُّل َم ْن يَشَا ُء َويَ ْهدِي َم ْن يَشَا ُء فَ ََل ت َ ْذهَبْ نَ ْفسُك‬ ِ ‫ّللاَ ي‬ َ ‫سو ُء‬ َ ‫ع َم ِل ِه فَ َرآهُ َح‬ َّ ‫ت إِ َّن‬ ٍ ‫س َرا‬ َ‫صنَعُون‬ ْ َ‫ع ِليم بِ َما ي‬ َ َ‫ّللا‬ َ ‫َح‬ Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)? maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (QS. Fathir : 8)



َّ ‫صب ُْركَ ِإ ََّّل ِب‬ َ‫ق ِم َّما يَ ْم ُك ُرون‬ ْ ‫َوا‬ َ ‫علَ ْي ِه ْم َو ََّل ت َكُ فِي‬ َ ‫اّللِ َو ََّل تَحْ زَ ْن‬ َ ‫ص ِب ْر َو َما‬ ٍ ‫ض ْي‬ Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. (QS. An-Nahl : 127) Ayat-ayat tersebut merupakan hiburan bagi Rasulullah, sebenarnya beliau sudah sangat berambisi untuk mentransfer kebaikan dan hidayah kepada mereka tetapi merekalah yang buta dan tuli. Hati yang remah terasa diiris-iris ketika melihat manusia bertumpukan di dalam api neraka seperti tumpukan kasur, seperti itulah keadaan rasulullah SAW. Lalu datanglah arahan dari Allah :



‫سفًا‬ ِ ‫ار ِه ْم إِ ْن لَ ْم يُؤْ ِمنُوا ِب َهذَا ْال َحدِي‬ ِ َ‫فَلَعَلَّ َك ب‬ َ ‫س َك‬ َ َ‫ث أ‬ َ ‫اخع نَ ْف‬ ِ َ ‫ع َلى َءاث‬ Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Qur'an). (QS. Al-Kahfi : 6) Dengan kata lain ayat tersebut menegaskan bahwa : “Apakah barangkali kamu (Ya Muhammad) akan membinasakan dirimu karena putus asa dan ngenaskrena mereka tidak mau beriman kepada Al-Qur’an. Imam Qatadah berkata : barangkali kamu ingin membunuh dirimu karena marah dan sedih terhadap sikap mreka. Sedangkan Mujahid mengatakan : jangalah engkau putus asa (ya! Muhammad) sampaikan terus risalah Allah, barang siapa yang mendapat petunjuk maka ha itu untuk dirinya, tapi barang siapa yang sesat, sesungguhnya kesesatan itu juga akan menimpa dirinya. Demikianlah tidak menjadi dosa bagi para da’i dari umat Muhammad, bila manusia tetap tidak menginginkan petunjuk dan tidak merespon mereka setelah memaksimalkan kesungguhan dalam mendakwahkan mereka, karena sesungguhnya Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya.



3. Kaidah ini akan mengobati penyakit para da’i yang emosional yang hanya menunggu hasil duniawi yang kasat mata, dan menjadikannya sarat keberlangsungan di jalan dakwah. Pandangan seperti itu ini hanyalah kesalahpahaman di satu sisi dan secara jelas menyalahi kaidah-kaidah dakwah dalam Al-Qur’an dan sunnah. Al-Qur’an telah menegaskan bahwa tidak ada keterkaitan yang harus antara dakwah dan responnya (Istijabah), terkadang seorang Da’i teleh sedemikian antusiasnya, tetapi disikapi objek dakwah (mad’u) dengan sikap dingin bahkan melakukan penentangan. Sesungguhnya Al-Qur’an menjadikan antara dakwah dan istijabah adalah tahap yang sangat penting, sebagaimana firman Allah SWT:



َ ‫س ُل َو‬ ُّ‫ي َم ْن نَشَا ُء َو ََّل ي َُرد‬ ُ ‫الر‬ ْ َ‫ظنُّوا أَنَّ ُه ْم قَ ْد ُك ِذبُوا َجا َء ُه ْم ن‬ ُّ ‫س‬ َ َ‫َحتَّى ِإذَا ا ْست َ ْيئ‬ َ ‫ص ُرنَا َفنُ ِج‬ َ‫ع ِن ْالقَ ْو ِم ْال ُم ْج ِر ِمين‬ ُ ْ ‫بَأ‬ َ ‫سنَا‬ Sehingga apabila para rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami daripada orang-orang yang berdosa.(QS. Yusuf : 110).



‫الرسل‬ ُ ‫ حتى إذا استيأس‬adalah fase ‫ وظنوا أنهم قد ُكذبوا‬dan titik fase ini adalah pertengahan antara dakwah dan fase berikutnya ‫جاءهم نصرنا‬. Berkata Ibnu Katsir : “Allah mengingatkan bahwa pertolongannya akan diberikan kepada para Rasul-NYA dari situasi kritis dan penantian kemenangan dari Allah pada saat-saat yang sangat dibutuhkan. Allah befirman :



‫سا ُء َوالض ََّّرا ُء َو ُز ْل ِزلُوا‬ َّ ‫أ َ ْم َح ِس ْبت ُ ْم أ َ ْن ت َ ْد ُخلُوا ْال َجنَّةَ َولَ َّما يَأْتِ ُك ْم َمث َ ُل الَّذِينَ َخلَ ْوا ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم َم‬ َ ْ ‫ستْ ُه ُم ْالبَأ‬ َّ ‫ص َر‬ َّ ‫ص ُر‬ )214(‫ّللاِ قَ ِريب‬ ْ َ‫ّللاِ أ َ ََّل ِإ َّن ن‬ ْ َ‫سو ُل َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َم َعهُ َمت َى ن‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫َحتَّى يَقُو َل‬ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.(QS. Al-Baqarah : 214) Sesunguhnya Aisyah RA berpendapat bahwa prasangka yang dimaksud pada ayat tersebut di atas adalah prasangka pengikutnya bukan prasangka Nabi kepada orangorang yang didakwahinya. Aisya berpendapat seperti ini ketika Urwah bin Zubair RA berkata kepadanya bahwa sesungguhnya mereka meyakini kaum mereka telah mendustakan mereka, jadi itu bukan prasangka. Lalu Aisyah berkata : “ Ya, sungguh mereka memang meyakininya”, “lalu bagaimana dengan sangkaan bahwa mreka telah didustakan? Tanya Urwah. Aisyah menjawab : Allah tempat berlindung (ma’aadzallah)



para Rasul tidak akan menyangka demikian kepada Rabb mereka. “lalu apa maksud ayat tersebut”? tanya Urwah lagi, Aisyah mengatakan : “Yang menyangka seperti itu adalah para pengikutnya yang telah beriman kepada Allah dan membenarkan-NYA, lalu mereka diuji dengan kesengsaraan dalam waktu yang cukup lama, sehingga kemenangan belum kunjung tiba, sampai para Rasul tidak punya harapan lagi terhadap kaum yang telah mendustakan mereka, dan mereka para Rasul juga mengira bahwa pengikutpengikutnya telah didustakan oleh kaumnya. Pendapat ini didasarkan pada bacaan Aisyah ‫ ُكذبوا‬, sehingga subjeknya pengikut bukan para Rasul. Penyampaian ini sesuai dengan kedudukan Rasul yang mulia. Apabila kita jadikan dhamir itu kembali kepada para Rasul maka sangkaan mereka waktu itu adalah kaum mereka telah mendustakan mereka. Dan tidak menjadi masalah bila digabungkan antara kaum yang mendustakan para Rasul dan orang-orang yang emosional yang berprasngka buruk kepada Allah. 4. Hal tersebut di atas bukan berarti bahwa da’i tidak dituntut harus mengerahkan seluruh kesungguhannya, dan memanfaatkan sarana dan pendekatan yang terbaik, dan mengenai hal ini akan kami jelaskan dalam kaidah berikutnya.



KAIDAH KEEMPAT Seorang Da’i Harus Sampai Pada Tingkatan Penyampaian Yang Optimal Dan Selalu Berusaha Memberikan Penyampaian Yang Menyentuh (Balagh) Berdakwah tidak jauh berbeda dengan mempromosikan sautu barang. Kita yakin si pemilik barang akan menggunaka sarana, gaya dan pendekatan yang paling optimal dan yang paling luas pengaruhnya demi memenuhi kepuasan publik dengan barangnya. Bahkan jalan yang ditempuh untuk mengefektifkan promosinya digunakan komentar, gambar dan hadiah serta sarana-sarana lainnya. Dan Allah telah menjadikan penyampaian yang menyentuh (balagh) sebagai misi para Rasul dan Nabinya



ُ ‫س ِل ِإ ََّّل ْالبَ ََل‬ ُ ‫غ ْال ُم ِب‬ )35(‫ين‬ ُ ‫الر‬ ُّ ‫علَى‬ َ ‫فَ َه ْل‬ maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (QS. An-nahl : 35) Allah mensifati ‫( البَلغ‬penyampaian) dengan ‫(المبين‬terang) Juga Allah berfirman :



َّ ِ‫ّللاَ َو َكفَى ب‬ َّ ‫ّللاِ َويَ ْخش َْونَهُ َو ََّل يَ ْخش َْونَ أ َ َحدًا إِ ََّّل‬ َّ ‫ت‬ 39(َ ‫اّللِ َحسِيبًا‬ ِ ‫س َاَّل‬ َ ‫الَّذِينَ يُبَ ِلغُونَ ِر‬ (yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. Al-Ahzab : 39) Dan ketika manusia berpaling dari keimanan disitulah ditegaskan bahwa para nabi telah sampai kepada tingkat penyampaian yang optimal. Allah berfirman :



)79( َ‫اص ِحين‬ ِ َّ‫صحْ تُ لَ ُك ْم َولَ ِك ْن ََّل ت ُ ِحبُّونَ الن‬ َ ‫فَت ََولَّى‬ َ ‫ع ْن ُه ْم َوقَا َل يَاقَ ْو ِم لَقَ ْد أ َ ْبلَ ْغت ُ ُك ْم ِر‬ َ َ‫سالَةَ َربِي َون‬ Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: "Hai kaumku sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat".(QS. AlA’raf : 79) Kalimat ‫بَلَ َغ‬bermakna ‫وصل أو قارب على الوصول‬, sampai atau hampir mengenai sasaran. Berkata Ibnu Faris : ‫بَلَ َغ‬adalah ‫الوصول إلى الشيء‬, sampai kepada sesuatu, contoh : ‫بلغت‬, ‫المكان إذا وصلتاليه‬, demikianlah penyampaian yang bagus karena kefasihan lisan, sehingga tepat mengenai sasaran yang diinginkan. Berkat Al-Azhary : “Orang Arab



mengatakan untuk satu pemberitaan yang disampaikanoleh seseorang kepada orang lain Lalu orang itu tidak merespon dan menindaklanjutinya, maka hal ini sikap tersebut dianggap jelek dengan istilah ‫ سم ُع َّل ْبل ُغ‬atau ‫سمعا ً َّل بلغا‬, mendengar tapi tak sampai, atau mendengarkannya tapi tidak sampai mengenai sasaran. Itulah bukti penggunaan kalimat yang efektif dan menyentuh yang memiliki karakter ‫الوصول واَّلنتهاء‬, sampai dan optimal. 1. Tidak mengapa bagi seorang da,i bila terus menerus dalam penyampaian efektif dan menyentuh, seseungguhnya Allah telah memperingatkan Nabinya untuk senantiasa melakukan hal itu, sebagaimana firman-NYA :



َّ ‫اس إِ َّن‬ َّ ‫سالَتَهُ َو‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫يَاأَيُّ َها‬ ِ َّ‫ص ُمكَ ِمنَ الن‬ ِ ‫ّللاُ يَ ْع‬ َ‫ّللا‬ َ ‫سو ُل بَ ِل ْغ َما أ ُ ْن ِز َل إِلَيْكَ ِم ْن َربِكَ َوإِ ْن لَ ْم ت َ ْفعَ ْل فَ َما بَلَّ ْغتَ ِر‬ )67( َ‫ََّل يَ ْهدِي ْالقَ ْو َم ْال َكافِ ِرين‬ Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah : 67) Berkata Imam Qurtuby : “Hal itu adalah pengajaran untuk Nabi dalam mengemban ilmu pengetahuan untuk umatnya, agar tidak menyembunyikan sedikitpun dari syariat Allah SWT”. Karena bukanlah yang dimaksud dengan penyampaian/ ‫ البَلغ‬itu dengan pemberitahuan dan pemberitaan, tetapi maksudnya adalah sampai risalah-NYA kepada manusia. 2. Di antara tuntutan penyampaian adalah kesadaran da’i tentang apa yang disampaikannya, karena tidak ada penyampaian tanpa dibarengi kesadaran, sebagaiman sabda Nabi SAW :



‫ ثَلث َّل‬، ‫وفربَّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه‬ َ ،‫" نَض ََّر هللا امرءا ً سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلَّغها‬ ‫ فإن الدعوة‬، ‫ ولزوم جماعتهم‬، ‫ ومناصحة أئمة المسلمين‬، ‫ إخَلص العمل هلل‬: ‫يُغَل عليهن قلب مسلم‬ .)6("‫تحيط من وراءهم‬ “Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu Ia menyadarinya, menghafalnya dan menyampaikannya, dan telah dekat orang yang mendalami ilmu kepada yang lebih mendalaminya. Ada tiga hal yang tidak boleh terhalang dari hati ‫ وأخرجه اْلمام‬،1015/ ، 84/1 ‫ وأخرجه ابن ماجة كذلك‬، 34/5 ‫أخرجه الترمذي من روايات عديدة‬ .4 :‫ وأخرجه الدارمي في المقدمة‬، 183/5 ، 8 ، 80/4 ، 5/3 ، 437/1 ‫أحمد من عدة روايات‬



)(



Seorang muslim : Ikhlas berama karena Allah, menasehati pemimpi-pemimpin kaum Muslimin, dan komitmen dengan jamaah mereka, karena dakwah senantias membentang di belakang mereka. Berkata Al-Khitaby dalam syarah hadits ini : “‫نَضَّر هللا‬, artinya Allah mendoakannya dengan “nadharah”, yaitu kenikmatan dan wajah yang berseri-seri, “nadharah” ini merupakan pengaruh dari penyampaian seorang da’i, maka para penyampai dakwah adalah : ‫أصحاب الوجوه الناضرةفي الدنيا واآلخرة‬, pemilik wajah nan cerah di dunia dan di akhirat. Al-Khitaby mengambil faidah pelajaran dari hadits ini karena khawatir bagi orang yang kurang mendalaminya akan menyedehanakan hadits ini, karena itu ma’na menyadari dalm hadits tersebut adalah menghafal teksnya dan melaksanaknnya seperti apa yang disabdakan. Hendaknya seseorang yang mendalaminy harus menguasai makna-makna hadots yang dapat diambil faidah pelajarannya. Isyarat pada hadits tersebut menyangkut periwayatannya dan matan atau isinya berupa mengetahuan dan penjelasannya. 3. Penyampaian menuntut perkataan yang berbekas / ‫البَلغة‬ Keindahan untaian kata dijelasakan oleh Allah SWT dalm firmann-NYA :



ْ ‫ع ْن ُه ْم َو ِع‬ َّ ‫أُولَئِكَ الَّذِينَ َي ْعلَ ُم‬ ‫س ْلنَا‬ ْ ‫ّللاُ َما فِي قُلُو ِب ِه ْم فَأَع ِْر‬ َ ‫ض‬ َ ‫) َو َما أ َ ْر‬63(‫ظ ُه ْم َوقُ ْل لَ ُه ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم قَ ْو ًَّل َب ِليغًا‬ ْ ‫ع ْن ُه ْم َو ِع‬ َّ ‫ِم ْنأُولَئِكَ الَّذِينَ يَ ْعلَ ُم‬ )63(‫ظ ُه ْم َوقُ ْل لَ ُه ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم قَ ْو ًَّل بَ ِليغًا‬ ْ ‫ّللاُ َما فِي قُلُوبِ ِه ْم فَأَع ِْر‬ َ ‫ض‬ Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (QS. Ann-Nisa : 63) Hendaknya seorang da’i menyampaikan kata-katanya dengn lafadz yang baik dengan makna yang indah, mencakup‫الترغيب والترهيب والتحذير واْلنذار والثواب والعقاب‬, katakata yang menyenangkan, menakutkan, memperingatkan, mengingatkan, motivasi pahala dan ancaman siksa. Karena kata-kata bila disampaikan dengan “balaghah”, akan besar pengaruhnya menghunjam ke dalam hati, tapi bila kata-katanya terlalu ringkas, tekanannya lemah dan maknanya kering, tidak akan berpengaruh pada hati sama sekali. Di dalam kitab Al-Lisan dijelaskan bahwa yang disebut ‫رجل بليغ‬: adalah orang yang memiliki keindahan kata dan kefasihannya, apa yang disampaikannya itulah yang ada dalam hatinya. Karena itu “balaghah” bukan berarti menyampaikan kata-kata yang sulit dimengerti, pendekatan bahasa yang rumit dan jelimet, karena itu seorang da’i dalam menyampaikan dakwahnya harus mengetahui bahasa arab dan gaya bahasanya agar dapat memberikan penyampaian yang berbekas. Semua itu menuntut kemauan untuk



mengkaji dan menelaah bahsa arab, meliputi ilmu, bacaan, penulisan maupun percakapannya, serta melihat sastranya . baik puisi dan syairnya, dalam struktur ayat AlQur’an ada yang maknanya hanya satu pengertian ada juga yang dapat diartikan dengan beberapa makna. Oleh karena itu para da,i sekarang ini sangat perlu menguasai bahasa arab, dan tidak ada alasan untuk mengurangi perhatiannya terhadap hal ini. 4. Al-Qur,an menekankan kefasihan dan kelancaran berbicara Sebagaimana yang telah difirmankan Allah kepada nabi Musa AS. :



)28(‫) َي ْفقَ ُهوا قَ ْو ِلي‬27(‫سانِي‬ ُ ‫َواحْ لُ ْل‬ َ ‫ع ْقدَة ً ِم ْن ِل‬ dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. Thaha : 27-28) Nabi Musa AS telah menyadari bahwa kelancaran berbicara dan kefasihannya menjadi salah satu sebab membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi. Berkata imam Ar-Razy : “Ulama berbeda pendapat dalam hal Nabi Musa meminta agar dilepaskan kekakuan lidahnya dalam beberapa versi”. Versi pertama : Agar tidak mengalami kesalahan fatal dalam menyampaikan risalah, versi kedua : untuk menghindari agar orang tidak lari, karena kekakuan dalam berbicara akan menyebabkan audien meremehkan pembicara dan tidak fokus memperhatikan pembicaraannya. Versi ketiga : meminta kemudahan dalam berbicara, karena menghadapi Firaun yang arogan dan sombong bisa jadi sangat menyulitkan pembicaraan, sebab kalau bicara sudah kesulitan sejak awal biasnya akan terus berlanjut hingga ajhirnya, karena itulah Musa As memohon kepada Allah diberikan kemudahn dan keringanan dalam berbicara. Faedah pelajaran yang dapat dipetik dari kaidah tersebut adalah bahwasanya da’i harus membiasakan dirinya berbicara tepat dan benar, kalau ternyata dirinya kaku dan kelu dalam berbicar bisa meminta bantuan kepada yang lebih fasih dan membantu kelancaran misi dakwahnya. Hal ini agar dakwahnya sampai kepada kualitas yang lebih berbekas dan jelas. Inilah pula yang diminta lagi oleh Nabi Musa kepada allah SWT :



)32(‫) َوأ َ ْش ِر ْكهُ فِي أ َ ْم ِري‬31(‫)ا ْشدُ ْد ِب ِه أ َ ْز ِري‬30(‫َارونَ أ َ ِخي‬ ُ ‫ه‬ (yaitu) Harun, saudaraku,teguhkanlah dengan dia kekuatanku,dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, (QS. Thaha : 30-32)



ُ ‫َار‬ )34(‫ُون‬ ُ ‫َوأ َ ِخي ه‬ ُ ‫ص ِدقُنِي إِنِي أَخ‬ َ ‫ص ُح ِمنِي ِل‬ َ ُ‫ي ِر ْد ًءا ي‬ َ ‫ون ُه َو أ َ ْف‬ ِ ‫َاف أ َ ْن يُ َك ِذب‬ َ ‫سانًا فَأ َ ْر ِس ْلهُ َم ِع‬



Dan saudaraku Harun dia lebih fasih lidahnya daripadaku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan) ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku". (QS. Al-Qashash : 34) Kata-kata ‫ ِر ْد ًءا‬adalah sebutan untuk apa saja yang dpat dimintakan bantuannya. Sedangkan Imam Ar-Razy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengertian ‫يُصدقني‬bukan berarti bila Nabi Harun cukup mengatakan kepada nabi Musa : ‫صدقت‬,engkau benar!, atau orang akan mengatakan : “‫ “صدق موسى‬, benar apa yang dikatakan Musa. Akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi Harun membantu dengan lisannya yang fasih mengemukakan beberapa argumentasi, menjawab hal-hal rumit dan sulit dimengerti, serta untuk mengcounter apa yang dikemukakan oleh orang-orang kafir. Inilah yang dimaksud dengan ‫ُُ صدقني‬yaitu ‫التصديق المفيد‬pembenaran yang membawa faedah, bukan hanya mengatakan engkau benar, kalau hanya itu kefasihan nabi harun tidak terlalu dibutuhkan. 5. Di antara yang dapat membantu seorang da’i dalam menjelaskan dan menyampaikan dakwahnya, maka perlu didampingi oleh ikhwah lainnya, karena karena pendampingan mereka akan menguatkan dirinya dan memberikan rasa tenang di sisi yang lain. Akan tetapi hal ini diperlukan hanya untuk menghadapi objek dakwah yang besar, karena bila objek dakwah melihat bahwa sang da’i tidak sendiri tetapi disertai dengan para pendamping dan penolongnya, maka mereka akan memperhitungkan bahwa dakwah ini begitu besar pengaruhnya di masyarakat, dan menunjukan begitu kuatnya fikroh yang terdapat dalam dakwah ini. Allah SWT berfirman :



ُ َ‫سن‬ ‫يك‬ َ ‫ضدَ َك بِأ َ ِخ‬ ُ ‫ع‬ َ ُّ‫شد‬ َ ‫قَا َل‬ Allah berfirman: "Kami akan membantumu dengan saudaramu (QS. Al-Qashash : 35) Allah juga berfirman melalui lisan Nabi Musa :



)32(‫) َوأ َ ْش ِر ْكهُ ِفي أ َ ْم ِري‬31(‫)ا ْشدُ ْد ِب ِه أ َ ْز ِري‬30(‫َارونَ أ َ ِخي‬ ُ ‫)ه‬29(‫يرا ِم ْن أ َ ْه ِلي‬ ً ‫َواجْ َع ْل ِلي َو ِز‬ dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku,(QS. Thaha : 29-32) Mengenai ayat ini Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “Ketahuilah bahwa meminta pendamping dengan alasan apakah karena seseorang khawatir dengan kelemahan dirinya untuk melaksanakan tugas dakwah atau semata-mata memenadang bahwa saling tolong menolong dalam hal agama dan upaya memperjuangkannya, dibarengi



dengan cinta yang ikhlas dan menghilangkan prasangka, adalah keistimewaan yang mulia dalam urusan da’wah kepada Allah. Karena itulah Nabi Isa berkata :



َّ ‫ار‬ َّ ‫اري إِلَى‬ ُ ‫ص‬ ِ‫ّللا‬ َ ‫ّللاِ قَا َل ْال َح َو ِاريُّونَ نَحْ ُن أ َ ْن‬ َ ‫َم ْن أ َ ْن‬ ِ ‫ص‬ "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?" Pengikut-pengikut yang setia itu berkata: "Kamilah penolong-penolong agama Allah", (QS. As-Shaf : 14) Dan Allah juga berfirman kepada Nabi Muhammad :



‫حسبك هللا ومن اتبعك من المؤمنني‬ “Cukuplah Allah bagimu (Muhammad) dan orang-orang yang mengikutimu”. (QS. Agar supaya seorang da’i sampai ke tingkat penyampaian yang berbekas, .5 hendaknya Ia menggunakan berbagai sarana yang tersedia sesuai maksud dan tujuan dakwah, inilah yang disebut dengan sarana presentasi dan sarana-sarana yang membantu lainnya. Seorang da’i hendaknya berbicara dengan audien dengan bantuan gambar, film, peta, skema, power point, out door, kisah, senandung, makhluk-makhluk Allah dan keajaiban penciptaannya. Nabi sendiri membutuhkan bantuan sarana presentasi, sebagaimana sabdanya :



‫ إن في‬: ‫) فقال‬7(‫ فأتى ب ُج َمار‬ ‫ " كنا عند النبي‬: ‫أخرج البخاري عن ابن عمر ـ رضي هللا عنهما ـ قال‬ ، ‫ هي النخلة فإذا أنا أصغر القوم‬:‫ فأردت أن أقول‬،‫الشجر شجرة َمثَلُها كمثل المسلم‬ .)8( ‫ هي النخلة‬:  ‫ فقال النبي‬، ُ‫فسكت‬ Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar RA, Ia berkata : “Kami pernah bersama Nabi, lalu beliau datang dengan membawa Jammar (yang terdapat di atas pucuk batang kurma, rasanya manis dan baik untuk dikonsumsi), Lalu Rasul bersabda : Sesungguhnya di dalam pohon terdapat pohon serupa seperti seorang muslim”, kemudian aku berkata : “Apakah itu pohon kurma?, kalau begitu aku adalah orang yang paling muda usia, Nabi terdiam, kemudian beliau bersabda : “Ya, itu adalah pohon kurma”. Demikianlah Nabi bertanya tentang pohon yang menyerupai seorang muslim dan seorang muslim yang men yerupainya, ketika bertanya, beliau sambil makan jammar. Berkata Ibnu Hajar : “Tatkala Nabi mengemukakan satu pertanyaan sambil memperlihatkan jammar, barulah Ibnu Umar paham bahwa yang ditanyakan itu adalah tentang pohon kurma”. NABI IBRAHIM AS MENGGUNAKAN SARANA PRESENTASI .‫ وطعه حلو طيب‬،‫ال ُج َّماز ما في رأس النخلة من اللب‬ .‫ مع فتح الباري‬165/1 ‫أخرجه البخاري‬



) 7( ) 8(



Al-Qur’an menceritakan kepada kita bagaimana Ibrahim AS menggunakan sarana Bantu presentasi ketika hendak mendakwahkan kaumnya untuk beribadah kepada Allah dan mengalihkan mereka dari menyembah bintang dan bulan. Allah berfirman :



َ‫)فَلَ َّما َرأَى ْالقَ َم َر فَلَ َّما أَفَل‬76( َ‫علَ ْي ِه اللَّ ْي ُل َرأَى َك ْو َكبًا قَا َل َهذَا َر ِبي فَلَ َّما أ َفَ َل قَا َل ََّل أ ُ ِحبُّ ْاآلفِلِين‬ َ ‫فَلَ َّما َج َّن‬ َّ ‫)فَلَ َّما َرأَى ال‬77( َ‫غا قَا َل َهذَا َر ِبي َربِي َْل َ ُكون ََّن ِمنَ ْالقَ ْو ِم الضَّالِين‬ ً ‫از‬ َ ‫از‬ ‫غةً قَا َل‬ ِ ‫س َب‬ ِ ‫قَا َل لَ ِئ ْن لَ ْم َي ْه ِد ِني َب‬ َ ‫ش ْم‬ ْ ‫َهذَا َربِي َهذَا أ َ ْكبَ ُر فَلَ َّما أَفَ َل‬ ‫ي‬ َ ‫)إِنِي َو َّج ْهتُ َوجْ ِه‬78( َ‫ت َقا َل يَاقَ ْو ِم إِنِي بَ ِريء ِم َّما ت ُ ْش ِر ُكون‬ َ َ‫ِللَّذِي ف‬ )79( َ‫ض َحنِيفًا َو َما أَنَا ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِكين‬ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫ط َر ال‬ َ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelamKemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesatKemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukanSesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. Al-An’am : 76 – 79) Itulah gaya berdialag dengan objek dakwah secara bertahap, sehingga dapat meruntuhkan keyakinan dan ideologinya dan mengokohkan argumentasi terhadapnya. Berlindung kepada Allah bahwa semua itu tidak menggambarkan keyakinan Nabi Ibrahim. B erkata Ar-Razy dalam tafsirnya : “Peristiwa tersebut terjadi karena pengamatan Nabi ibrahim terhadap kaumnya”, hal ini dibuktikan dalam firman Allah :



ٍ ‫علَى قَ ْو ِم ِه ن َْرفَ ُع دَ َر َجا‬ )83(‫ع ِليم‬ َ ‫ت َم ْن نَشَا ُء إِ َّن َربَّكَ َح ِكيم‬ َ ‫ِيم‬ َ ‫َو ِت ْلكَ ُح َّجتُنَا َءات َ ْينَاهَا إِب َْراه‬ Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An’am : 83) Oleh karena itu Allah mengatakan ‫على قومه‬bukan ‫على نفسه‬, Allah maha Tahu bahwa diskursus yang berlangsung denga kaumnya tersebut, hanya bertujuan untuk mengarahan dan menunjukan mereka kepada Iman dan Tauhid. Adapun ketika dalam dialog tersebut Nabi Ibrahim mengatakan ‫هذا ربي‬, maksudnya menjelaskan kebiasaan pengakuan dan keyakinan kaumnya, bukan keyakinan dirinya, sama halnya seperti Nabi Musa AS, ketika berkata kepada Samiri :



ُ ‫َوا ْن‬ َ ‫ظ ْر إِلَى إِلَ ِهكَ الَّذِي‬ )97(‫عا ِكفًا لَنُ َح ِرقَنَّهُ ث ُ َّم لَنَ ْن ِسفَنَّهُ فِي ْاليَ ِم نَ ْسفًا‬ َ ‫علَ ْي ِه‬ َ َ‫ظ ْلت‬



dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan) (QS. Thaha : 97) Sesungguhnya Nabi Musa tidak sedikitpun menjustifikasi keyakinan mereka, tapi menceritakan pengakuan dan keyakinannya, juga ketika Allah berfirman :



ُ َ‫َويَ ْو َم يُنَادِي ِه ْم فَيَقُو ُل أَيْن‬ )62( َ‫ع ُمون‬ ُ ‫ي الَّذِينَ ُك ْنت ُ ْم ت َْز‬ َ ِ‫ش َر َكائ‬ Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka seraya berkata: "Dimanakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kamu katakan?" (QS. Al-Qashash : 62) Sekutu-sekutu yang dimaksud pada ayat tersebut adalah sebatas pengakuan orangorang musyrik dan keyakinan mereka, bukan berarti Allah menyatakan adanya sekutusekutu baginya. Deikian pula nabi Ibrahim menghancurkan akidah mereka dalam gambaran ibadah yang berubah-rubah, setelah itu ditetapkan dan dikukuhkan pada Ibadah kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kekal, yang tidak terdapat pada-NYA kekurangan dan perubahan. Contoh lain terdapat dalam firman Allah :



ً‫)أَئِ ْف ًكا َءا ِل َهة‬85( َ‫)إِ ْذ قَا َل ِْلَبِي ِه َوقَ ْو ِم ِه َماذَا ت َ ْعبُدُون‬84(‫س ِل ٍيم‬ ٍ ‫)إِ ْذ َجا َء َربَّهُ بِقَ ْل‬83(‫ِيم‬ َ ‫ب‬ َ ‫َو ِم ْن ِشنِيعَتِ ِه َ ِْلب َْراه‬ ْ َ‫ظ َر ن‬ َ َ‫)فَن‬87( َ‫ب ْالعَالَ ِمين‬ َ ‫)فَ َما‬86( َ‫ّللاِ ت ُ ِريدُون‬ َّ َ‫دُون‬ ‫)فَقَا َل إِنِي‬88(‫وم‬ ِ ‫ظنُّ ُك ْم بِ َر‬ ِ ‫ظ َرة ً فِي النُّ ُج‬ ْ َ َّ َ ‫)فَ َرا‬92( َ‫ َما لَ ُك ْم ََّل ت َ ْن ِطقُون‬91( َ‫غ ِإلَى َءا ِل َهتِ ِه ْم فَقَا َل أ ََّل ت َأ ُكلُون‬ َ ‫)فَ َرا‬90( َ‫ع ْنهُ ُم ْد ِب ِرين‬ ‫غ‬ َ ‫)فَت ََول ْوا‬89(‫س ِقيم‬ َ َ 93‫ض ْربًا بِ ْال َي ِمين‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ْ َ ِْ َ Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamumenghendaki sembahan-sembahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Tuhan semesta alam?" Lalu ia memandangsekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: "Sesungguhnya aku sakit".Lalu mereka berpaling daripadanya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan”? Kenapa kamu tidak menjawab?"Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). (QS. Asshaffat : 83 – 91) Kita juga dapat menyimpilkam bahwasanya Nabi Ibrahim AS telah menggunakan cara, sehubungan dengan cara mereka yang selalu merawat inap orang yang sakit di samping berhala dengan harapan mendapat kesembuhan. Lihatlah bagaimana Ibrahim kemudian menghancurkan patung-patung yang kecil sementara membiarkan sebuah patung besar. Hali bertujuan agar mereka kembali kepada patung besarnya. Nabi Ibrahim ingin



membuat kesan bahwa yang melakukan penghancuran berhala-berhala lainnya adalah patung yang paling besar, untuk menguatkan hal itu sengaja Ibrahim AS mengalungkan kapak di kepalanya, kisah ini tergambar jelas dalam firman Allah :



َ َ‫ض الَّذِي ف‬ َّ ‫علَى ذَ ِل ُك ْم ِمنَ ال‬ َّ َ ‫) َوت‬56( َ‫شا ِهدِين‬ ِ ‫س َم َوا‬ َّ ‫قَا َل بَل َربُّ ُك ْم َربُّ ال‬ ِ‫اّلل‬ ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬ َ ‫ط َر ُه َّن َوأَنَا‬ ‫يرا لَ ُه ْم لَعَلَّ ُه ْم إِلَ ْي ِه‬ ْ َ ‫َْل َ ِكيدَ َّن أ‬ ً ‫)فَ َجعَلَ ُه ْم ُجذَاذًا إِ ََّّل َك ِب‬57( َ‫صنَا َم ُك ْم َب ْعدَ أَ ْن ت ُ َولُّوا ُم ْدبِ ِرين‬ َّ َ‫)قَالُوا َم ْن فَ َع َل َهذَا بِآ ِل َه ِتنَا إِنَّهُ لَ ِمن‬58( َ‫يَ ْر ِجعُون‬ ‫س ِم ْعنَا فَتًى يَ ْذ ُك ُر ُه ْم يُقَا ُل‬ َ ‫)قَالُوا‬59( َ‫الظا ِل ِمين‬ ‫ت َهذَا‬ َ ‫ت فَعَ ْل‬ َ ‫)قَالُوا َءأ َ ْن‬61( َ‫اس لَعَلَّ ُه ْم يَ ْش َهدُون‬ ِ َّ‫علَى أ َ ْعي ُِن الن‬ َ ‫)قَالُوا فَأْتُوا بِ ِه‬60(‫لَهُ إِب َْرا ِهي ُم‬ ‫)فَ َر َجعُوا ِإلَى‬63( َ‫ير ُه ْم َهذَا فَاسْأَلُو ُه ْم ِإ ْن َكانُوا َي ْن ِطقُون‬ ُ ‫)قَا َل َب ْل فَ َعلَهُ َك ِب‬62(‫ِبآ ِل َه ِتنَا َيا ِإب َْرا ِهي ُم‬ َّ ‫أ َ ْنفُ ِس ِه ْم فَقَالُوا ِإنَّ ُك ْم أ َ ْنت ُ ُم‬ ‫ت َما َهؤ ََُّل ِء‬ َ ‫ع ِل ْم‬ ُ ‫)ث ُ َّم نُ ِك‬64( َ‫الظا ِل ُمون‬ َ ‫علَى ُر ُءو ِس ِه ْم لَقَ ْد‬ َ ‫سوا‬ َّ ‫ُون‬ ‫ف لَ ُك ْم َو ِل َما‬ َ ‫ّللاِ َما ََّل َي ْن َفعُ ُك ْم‬ ٍ ُ ‫)أ‬66(‫ض ُّر ُك ْم‬ ُ ‫ش ْيئًا َو ََّل َي‬ ِ ‫)قَا َل أَفَت َ ْعبُدُونَ ِم ْن د‬65( َ‫َي ْن ِطقُون‬ َّ ‫ُون‬ )67( َ‫ّللاِ أَفَ ََل تَ ْع ِقلُون‬ ِ ‫ت َ ْعبُد ُونَ ِم ْن د‬ Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yangdemikian itu”. (56) Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya (57) Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (58) Mereka berkata: "Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”. (59) Mereka berkata: "Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim (60) Mereka berkata: "(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.” (61) Mereka bertanya: "Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim”? (62) Ibrahim menjawab: "Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (63) Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka dan lalu berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).” (64) kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata): "Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” (66) Ibrahim berkata: "Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa`at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu”?. (67) Cara yabg dugunakan Nabi Ibrahim menyebabkan orang-orang musyrik memvonis diri mereka sendiri dengan kebodohan, mereka manyatakan kelemahan tuhan-tuhan mereka dalam melindungi dirinya sendiri, atau mendatangkan kebaikan dan menolak kemudaratan, apalagi melakukannya untuk yang lain. 6. Untuk sampai pada tingkat pembicaraan yang membekas, harus membalik cara dan mendiversifikasinya. Pembicaraan yang tidak efektif bila disampaikan secara terbuka,



terkadang menjadi efektif dengan cara rahasia, tidak efektif pada malam hari efektif di siang hari, tidak tertanam pada hati yabg sibuk mudah membekas pada hati yang rehat, tidak berpengaruh pada orang yang sehat, terkadang berpengaruh pada orang yang sakit. Dalam surat Nuh terdapat implementasi yang utuh tentang prinsip-prinsip di atas, sebagaimana Allah berfirman melalui lisan Nabi Nuh AS :



‫ع ْوت ُ ُه ْم ِلت َ ْغ ِف َر لَ ُه ْم‬ ً ‫عائِي إِ ََّّل فِ َر‬ ً ‫ع ْوتُ قَ ْو ِمي َلي ًَْل َونَ َه‬ ِ ‫قَا َل َر‬ َ َ‫) َوإِنِي ُكلَّ َما د‬6(‫ارا‬ َ ُ‫)فَلَ ْم يَ ِز ْد ُه ْم د‬5(‫ارا‬ َ َ‫ب إِنِي د‬ َ َ ُ ‫ع ْوت ُ ُه ْم‬ ً َ‫ص ُّروا َوا ْست َ ْكبَ ُروا ا ْستِ ْكب‬ َ َ‫)ث َّم ِإنِي د‬7(‫ارا‬ َ ‫صا ِب َع ُه ْم فِي َءاذَانِ ِه ْم َوا ْست َ ْغش َْوا ثِيَابَ ُه ْم َوأ‬ َ ‫َج َعلُوا أ‬ َ َ‫)فَقُ ْلتُ ا ْست َ ْغ ِف ُروا َربَّ ُك ْم ِإنَّهُ َكان‬9(‫ارا‬ )10(‫ارا‬ ً َّ‫غف‬ ً ‫)ث ُ َّم ِإنِي أ َ ْعلَ ْنتُ لَ ُه ْم َوأَس َْر ْرتُ لَ ُه ْم ِإس َْر‬8(‫ارا‬ ً ‫ِج َه‬ Nuh berkata: "Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang”. (5) maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran) (6) Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat. (7) Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, (8) kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam, (9) maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, --sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun”. (10) (QS. Nuh 5 – 10) Berkata Imam Qurtuby : perkataan Nabi Nuh pada ayat tersebut adalah ‫مبالغة في الدعاء‬ ‫وتلطف باَّلستدعاء‬optimalisasi da’wah dan kelembutan dalam berdakwah. Ibnu Katsir berkata : “Nabi Nuh memvariasikan dakwahnya agar lebih efektif, beliau mendakwahkan kaumnya pada malam hari, sehingga terciptanya suasana yang tenang dan penyimakan yang baik. Juga mendkawahkan mereka di siang hari pada saat sibuk, pertemuan, percakapan dan ............?. Mereka bersikap menentang ketika didakwahi, tapi Nabi Nuh tidak meninggalkannya, tetapi terus mendakwahinya, sementara mereka semakin kuat menenatang sampai mereka meletakkan jari-jari mereka ke telinga mereka dan menitup wajah dengan baju mereka. Namun Nuh tetap bersuara keras mendakwahi mereka agar terdengar oleh mereka. Setelah terdengar oleh mereka, lalu Nuh mulai mendakwahkan mereka secara sembunyi-sembunyi”. Berkata Imam Qurtuby : “‫ ”وأسررت لهم‬, artinya ‫أتيتهم في منازلهم‬, aku datangi mereka ke rumah-rumah mereka. Ini merupakan wawasan yang baik pada Imam Qurtuby, bahwa mengkondisikan mad’u dari banyak orang lebih optimal pengaruhnya di banding mendakwahkan seseorang di samping orang banyak, sesungguhnya itulah yang menyulitkan mad’u, karena biasanya musuh-musuh Islam akan menakut-nakuti hubungan dakwah yang khusus. Ketika mad’u tersebut belum mantap fikrahnya, ia akan cenderung untuk tidak merespon atau menangguhkan penerimaan (berfikir ulang untuk menerimanya).



6. Juga untuk sampai kepada tingkat penyampaian yang berbekas, maka hendaknya seorang da’i harus berdialog dengan mad’unya dengan lemah lembut bukan dengan sikap dan kata-kata yang kasar dan menakutkan. Kelembutan yang dimaksud adalah kehalusan sikap terhadap mad’u dan keakraban dengannya, memilih panggilan yang terbaik untuknya dan pendekatan media yang paling mengena kepada hatinya. Akan tetapi bukanlah yang dimaksud kelembutan itu berarti boleh mengabaikan hukum-hukum syariat, juga bukan untuk membiarkan para pelaku kebatilan dalam kebatilan mereka, juga bukan untuk mendiamkan kemunkaran. Karena orang Mu’min dalam setiap situasi dan kondisi tidak ada yang ditakutkan kecuali kepada Allah dan hanya mengharapkan pahala-NYA. Jika Allah saja menyuruh Nabi Musa As mendakwahkan Fir’aun dengan lemah lembut, maka terlebih lagi dakwah kepada yang lainnya harus selalu menjunjung tinggi syiar kelembutan, ‫ان يكون الين شعار كل دعوة‬, hendaknya kelemahlembutan senantiasa menjadi syiar setiap langkah dakwah. Firman allah ta’ala :



َ ُ‫ع ْونَ إِنَّه‬ َ ُ‫)فَق‬43(‫طغَى‬ )44(‫وَّل لَهُ قَ ْو ًَّل لَيِنًا لَعَلَّهُ يَتَذَ َّك ُر أ َ ْو يَ ْخشَى‬ َ ‫ا ْذ َهبَا إِلَى فِ ْر‬ Pergilah kamu berdua kepada Fir`aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas (43) maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut". (44) Kelemah lembutan jauh dari sikap menakutkan dan lebih kuat mentransfer kata-kata ke dalam hati, sebab banyak para da’i menadapatkan kesulitan di jalan dakwah disebabkan kata-katanya yang menyinggung perasaan mad’unya. Berdakwah dengan bijak dan nasehat yang baik akan membuat mad’u langsung merasa nyaman dengan dakwah, sebaliknya sikap kasar membuat mad’u berpaling dari dakwah. Sebagaimana musuh-musuh Islam menebar kendala di jalan dakwah , tanpa disadari umat islam juga membuat kendala yang sama di jalan dakwah, masaahnya adalah keburukan prilaku, kegundahannya, keputusasaannya, kepicikan pandangannya dan kesmpitan dadanya. Adapaun da’i yang sukses adalah yang tidak pernah kehilangan ketepatan dan keseimbangannya apapun kondisinya. Berkata Imam Ar-Razy : “Ketahuilah bahwasanya da’wah kepada aliran dan pemikiran harus dibangun di atas argumentasi dan pengetahuan, yang dimaksud dengan menyebutkan argumentasi adalah baik menegaskan aliran atau keyakinan tersebut ke dalam hati audien, atau maksudnya mengikat lawan bicara dan menundukannya. Para da’i ilallah senantiasa menupayakan penyampaian kebenaran dan petunjuk kepada hati setiap makhluk, mereka bukan orang yang ada dalam kantong pertarungan yang hanya mencari kemenangan dalam mendebat lawan bicara, dan juga bukan hanya ingin mengukuhkan keunggulan mereka dan berargumentasi.



Imam Ar-Razy cenderung berpendapat bahwa Da,wah dengan bijak dan nasehat yang baik akan mudah memperoleh pengikut, sedangkan perdebatan yang konstruktif adalah pilihan terakhir yang ditujukan hanya untuk menegakan argumentasi terhadap lawan bicara, sebagaimana firman Allah : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.



َ ‫س ِبي ِل َر ِبكَ ِب ْال ِح ْك َم ِة َو ْال َم ْو ِع‬ ‫ض َّل‬ َ ‫س ُن إِ َّن َربَّكَ ُه َو أ َ ْع َل ُم ِب َم ْن‬ َ ْ‫ِي أَح‬ َ ‫ظ ِة ْال َح‬ َ ‫ِإلَى‬ َ ‫سنَ ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّتِي ه‬ ْ َ )125( َ‫سبِي ِل ِه َو ُه َو أ ْعلَ ُم ِبال ُم ْهتَدِين‬ َ َ ‫ع ْن‬ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. An-Nahl : 125) Pada prinsipnya ayat tersebut menjelaskan bahwa da’wah dibatasi hanya dengan duapendekatan (.‫)بالحكمة والموعة الحسنة‬. Adapun perdebatan tidak masuk dalam kategori dakwah, tetapi maksudnya bertujuan untuk membela dakwah dengan menekan dan menundukan lawan bicara. Karena itu Allah tidak berfirman : ‫ادع إلى سبيل‬ ‫ربك بالحكمة والموعظة الحسنة والجدل اْلحسن‬, Allah memisahkan perintah berdakwah dengan perintah berdebat, hal ini menegaskan bahwa da’wah dan debat adalah dua hal berbeda, perdebatan memiliki tujuannya sendiri.



KAIDAH Da’i Harus Mempersembahkan Semangat



KELIMA



KEMANUSIANNYA DA’I SENANTIASA MENCARI PERTOLONGAN RABBANI Allah yang Maha Agung menhendaki agar dakwah dilakukan dengan seluruh sarana kemanusiaan (SDM), seorang da’i harus mampu mencari berbagai celah demi kepentingan dakwahnya. Rasulullah SAW menyambung malamnya dengan siangnya untuk mencari berbagai celah dengan mengunakan pendekatan yang sesuai dengan jamannya. Oleh karenanya Rasulullah SAW tidak selalu berkata : “Hal ini telah diwahyukan kepadaku”, tetapi terkadang beliau berkata : “aku punya cara dan ide lain”. Kita akan banyak dapati dalam sirahnya implementasi yang luas terhadap prinsip tersebut. Pada saat perang uhud sebagian sahabat berbeda pendapat dengan Nabi (dalam hal taktis dan strategi perang), walaupun Nabi berada di tengah-tengah mereka dan wahyu turun kepada beliau. Firman Allah ‫ َّل يكلف هللا نفسا ً إَّل وسعها‬, bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar kemampuannya (QS.Al-Baqarah : 286), adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut, pembebanan adalah perkara yang menyulitkan dan pembebanan di sini tergantung dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata : “Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membenai hambanya - sejak ayat ini diturunkan - dengan amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya, artinya Allah tidak membebani apa-apa yang ter lintas dalam perasaan dan tercetus dalam hati . PEMAHAMAN KELIRU Banyak orang sekarang ini memahami ayat ini, dengan mengatakan bahwa kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang, oleh karena itu kemampuan dapr berubah-rubah tergantung dengan motivasi, ada orang yang tidak mampu ............................??????????????????????????????????? PARA SAHABAT KOMITMEN DENGAN KAPASITAS KEMAMPUAN Manakala kita membaca sirah sahabat – semoga Allah merdhoi mereka, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari wafat di benteng konstantinopel, Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupny di pulau Qobros (Yunani), Uqbah bin Amir meninggal di Mesir, Bilal dimakamkan di Syria. Demikianlah mereka mengembara ke pelosok negeri untuk meninggikan panji Islam, dan mengerahkan sesuatu yang mahal dan berharga di jalan dakwahnya. Beginilah semestinya memahami ayat :.



‫َّل يكلف هللا نفسا ً إَّل وسعها‬. Pada perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orangorang musyrik. Usaid bin Hudhair RA berkata : “‫”سمعا ً وطاعة هلل ولرسوله‬, Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal Ia baru saja akan mengobati tujuh buah laka yang bersarang pada tubuhnya. Bahkan dalam peperangan “Hamra Al asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam keadaan terluka, diantaranya adalah Thufail bin Nu’man dengan 13 luka di tubuhnya dan kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa :



‫ وأن اْلرادة الضعيفة عاجزة حتى مع‬.‫"اْلرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب واآلَّلم‬ ".‫وجود الوسائل واْلمكانيات‬ “Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan, sebaliknya kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia” Karena itulah Allah menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an :



)172(‫ع ِظيم‬ ُ ‫الر‬ َّ ‫الَّذِينَ ا ْست َ َجابُوا ِ َّّللِ َو‬ َ ‫سنُوا ِم ْن ُه ْم َواتَّقَ ْوا أَجْ ر‬ َ ْ‫صا َب ُه ُم ْالقَ ْر ُح ِللَّذِينَ أَح‬ َ َ ‫سو ِل ِم ْن َب ْع ِد َما أ‬ Yaitu orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali-Imron : 172) KEMAMPUAN DAN KEINGINAN Patut disebutkan bahwa kemampuan dalam berdakwah dan berjihad adalah dorongan kehendak jiwa, dan mlaksanakan realisasinya atas izin Allah, bila dorongan itu tidak ada pada diri seseorang, maka Ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi mengajarkan kita untuk berdo’a :



،‫ وأعوذ بك من الجبن والبخل‬،‫" اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل‬ "‫وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال‬ Juga Rasulullah bersabda :



‫ احرص على ما ينفعك‬،‫" للمؤمن القوي خير وأحب إلى هللا من المؤمن الضعيف وفي كل خير‬ "‫واستعن باهلل وَّل تعجز‬ “Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mu’min yang lemah, segala sesuatunya lebih baik, tamakalah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya” (HR.



Muslim) Sesungguhnya perasaan tak berdaya dan tidak adanya kemampuan yang selalu diucapkan berulang kali oleh para da’I – atau barangkalai mereka berkata seperti itu hanya dari sisi tawadhu saja – hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju kendaraan dakwah ini. Dan bila seoarang da’I tidak berani membangun dakwahnya tanpa ada perasaan takut bahwa hal itu akan menghancurkan dakwahnya, serta tidak tahan menghadap kritikan, maka Ia tidak akan pernah maju dan tidak akan sampai pada kemampuan memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir) BATAS-BATAS KEMAMPUAN KAPASITASNYA Terkadang ada orang yang bertanya : “Apakah batasan kemampuan itu?” Jawabannya terkandung dalam beberapa fitman Allah berikut :



َّ ‫س ِبي ِل‬ ‫ص ُروا أُولَئِكَ ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َحقًّا لَ ُه ْم‬ َ ‫َوالَّذِينَ َءا َمنُوا َوهَا َج ُروا َو َجا َهدُوا فِي‬ َ َ‫ّللاِ َوالَّذِينَ َء َاو ْوا َون‬ )74(‫َم ْغ ِف َرة َو ِر ْزق َك ِريم‬ Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orangorang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (ni`mat) yang mulia. (QS. Al-Anfal : 74)



َ ‫ّللاِ بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم أ َ ْع‬ َّ َ‫ظ ُم دَ َر َجةً ِع ْند‬ َّ ‫سبِي ِل‬ ‫ّللاِ َوأُولَئِكَ ُه ُم‬ َ ‫الَّذِينَ َءا َمنُوا َوهَا َج ُروا َو َجا َهدُوا فِي‬ )20( َ‫ْالفَائِ ُزون‬ Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orangorang yang mendapat kemenangan. (QS. At-Taubah : 20)



َّ ‫سبِي ِل‬ َّ ِ‫إِنَّ َما ْال ُمؤْ ِمنُونَ الَّذِينَ َءا َمنُوا ب‬ ‫ّللاِ أُولَئِكَ ُه ُم‬ ُ ‫اّللِ َو َر‬ َ ‫سو ِل ِه ث ُ َّم لَ ْم يَ ْرت َابُوا َو َجا َهدُوا بِأ َ ْم َوا ِل ِه ْم َوأ َ ْنفُ ِس ِه ْم فِي‬ )15( َ‫صا ِدقُون‬ َّ ‫ال‬ Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (QS. AlHujurat : 15)



َّ ِ‫)تُؤْ ِمنُونَ ب‬10(‫ب أ َ ِل ٍيم‬ ‫سو ِل ِه َوت ُ َجا ِهدُونَ فِي‬ ُ ‫اّللِ َو َر‬ ٍ ‫عذَا‬ َ ‫ارةٍ ت ُ ْن ِجي ُك ْم ِم ْن‬ َ ‫يَاأَيُّ َها الَّذِينَ َءا َمنُوا ه َْل أَدُلُّ ُك ْم‬ َ ‫علَى تِ َج‬ َّ ‫س ِبي ِل‬ )11( َ‫ّللاِ ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنفُ ِس ُك ْم ذَ ِل ُك ْم َخيْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ



Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?(10) (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya (11),



َّ ‫سبِي ِل‬ 41(َ َ‫ّللاِ ذَ ِل ُك ْم َخيْر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬ َ ‫ا ْن ِف ُروا ِخفَافًا َوثِقَ ًاَّل َو َجا ِهد ُوا ِبأ َ ْم َوا ِل ُك ْم َوأ َ ْنفُ ِس ُك ْم فِي‬ Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. At-Taubah : 41) Maksud dari firman Allah :ً‫انفروا خفافا ً وثقاَّل‬, sama saja apakah kalian dalam keadaaan ringan untuk pergi berjihad atau dalam keadaan berat. Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama : ringan, karena bersemangat untuk keluar berjihad, berat, karena mrasa sulit untuk berangkat. Kedua : ringan, karena sedikit sedikit keluarga yang ditinggalkan, berat, karena banyaknya keluarga yang ditinggalkan. Ketiga : ringan, persenjataan yang dibawa, sebaliknya berat, karena beratnya persenjataan yang dibawa. Keempat : ringan, karena berkendaraan. Berat, karena berjalan kaki. Kelima : ringan, karena masih muda. Berat, karena telah uzur usia. Keenam : ringan, karena bobot badan yang kurus. Berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh : ringan, karena sehat dan fit. Berat, karena sakit atau kurang enak badan. Dari paparan yang telah disebutkan di atas, seuruhnya tercakup, karena sifat tersebut (ringan atau berat) meliputi berbagai aspek. Sesungguhnya kebanyakan para sahabat dan tabi’in memahami ayat ini dengan penegertian yang mutlak (apa saja yang menjadikan seseorang ringan atau berat). Mujahid berkata : Sesungguhnya abu Ayub turut menyaksikan peperangan Badar bersama Rasulullah SAW, dan beliau belum pernah absen dari pepperangan. Ia berkata : Allah telah berfirman : ً‫انفروا خفافا ً وثقاَّل‬, maka itu artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat. Dari Shofwan bin Amr, Ia berkata : Ketika aku menjadi gubernur Homs (Syria), aku menjumpai seorang Bapak tua warga Syria yang telah turun kedua alisnya, Ia berada di atas kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu aku berkata kepadnya :‫يا عم؛ أنت معذور عند هللا‬ “Wahai pamanda, engkau didimaklumi oleh Allah” (untuk tidak ikut berperang). Seraya mengangkat kedua alisnya, Bapak tua tersebut berkata : ً ‫ استنفرنا هللا خفافا‬،‫يا ابن أخي‬ .‫ أَّل إن من أحبه هللا ابتَله‬،ً‫“وثقاَّل‬Hai nak, Allah telah menyuruh kita keluar baik dalm keadaan ringan maupun berat, ketahuilah sesungguhnya Allah selalu menguji orang yang dicintainya. Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry : Suatu ketika Said bin Al-Musayyib RA keluar untuk berperang, sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. LaluIa berkata : “Allah menminta kita untuk keluar berperang, baik terasa ringan atau berat, ‫فإن عجزت عن‬ .‫ وحفظت المتاع‬،‫الجهاد كثرتُ السواد‬jika aku tak berdaya untuk berjihad, maka berarti aku



telah memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku.. Juga ketika Al-Miqdad bin Al-Aswad ketika dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak berperang : ‫أنت معذور‬engkau dimaklumi. LaluIa berkata : :‫أنزل هللا علينا في سورة براءة‬



ً‫انفروا خفافا ً وثقاَّل‬.)9(



DAKWAH ADALAH MANUVER DI JALAN ALLAH



‫الدعوة نُفرة في سبيل هللا‬



Adapun maneuver di jalan Allah, tidak hanya berperang, tetapi lenih luas dan umum dari itu. Dakwah dengan segala bentuknya adalah bentuk maneuver di jalan Allah. Oleh karena itu dalam surat At-taubah disebutkan :



َ ‫َو َما َكانَ ْال ُمؤْ ِمنُونَ ِليَ ْن ِف ُروا َكافَّةً فَلَ ْو ََّل نَفَ َر ِم ْن ُك ِل ِف ْرقَ ٍة ِم ْن ُه ْم‬ ‫ِين َو ِليُ ْنذ ُِروا قَ ْو َم ُه ْم ِإذَا‬ ِ ‫طائِفَة ِليَتَفَقَّ ُهوا ِفي الد‬ )122( َ‫َر َجعُوا إِلَ ْي ِه ْم لَعَلَّ ُه ْم يَحْ ذَ ُرون‬ Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu'min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah : 122) Imam Ar-Razy berkata : “Kewajiban berdakwah bagi para sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu golongan keluar untuk berperang, golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah SAW. Golongan yang berperang mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut serta mewakili yang berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan (tafaqquh). Dengan cara inilah urusan agama dapat terselesaikan secara sempurna. Bila kita analisa ada dua keterkaitan yang erat pada ayat tersebut, keterkaitan anata maneuver tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar (dakwah). Karena itu seorang Muslim dituntut untuk memaksimalkan ksungguhannya dan ditanya tentang beban kemampuan dirinya untuk membela agama Islam dengan bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan da’wah penuh hikmah dan nasihat yang baikApabila Islam tidak menuntut sesuatu yang berbahaya dengan mengedepankan apa yang bias Seorang mu’min menyadari bahwa setiap kesungguhan yang dikerahkan di bidang ketaqwaan, adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan manusiawinya yang lemah dan tidak akan sampai pada derajat dan tingkatan yang sesuai dengan keagungan Allah SWT. Karena itu para mufassirin berpendapat bahwa .70/16 ‫تفسير الرازي‬



) (



firman Allah :‫“اتقوا هللا حق تقاته‬bertaqwalah engkau kepada Allah dengan sebenarbenarnya taqwa”(QS. Ali-Imron : 102), dihapus (mansukh) dengan ayat : ‫فاتقوا هللا ما‬ ‫استطعتم‬, “bertaqwalah kepada Allah semampu kalian”. Hal ini didasari oleh keterangan dalam asbabunnuzul, bahwasanya tatkala ayat pertama tadi turun kaum muslimin merasa keberatan, karena sebenar-benarnya taqwa berate tidak boleh bermaksiat sekejap matapun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu diingat, tidak boleh lupa. Tiada seorang hambapun mampu melakukannya. Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka harus dikatakan –wallahu a’lam- ada dua kapasitas ketaqwaan, kapasitas yang hanya pantas ubtuk Allah SWT dan kapasitas ketaqwaan yang sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda pada satu kondisi dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mu’min harus senantiasa berada diantara dua kapasitas tersebut, berusaha mengarah kepada keagungan Allah SWT, karena itu hari esok seorang mu’min harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya seorang Mu’min harus meningkatkan level ketaqwaannya bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan, atau dengan kenikmatan yang diperolehnya atau dengan bertambahnya usia. Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas, pasti dirinya akan merasa takut jika belum mengerahkan kemampuan sesuai yang dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam melaksanakannya. Seorang Mu’min yang paham akan hal ini selalu tidak puas dan rido dengn amalnya, juga dengan kesungguhna yang telah dikerahkannya, khawatir telah mengabaikan tuntutan yang diminta dari seorang Mu,min. Itulah keadaan orang-orang yang beriman, sebagimana yng telah disbutkan sifatnya oleh Allah SWT dalam firman-NYA :



‫) َوالَّذِينَ ُه ْم بِ َربِ ِه ْم ََّل‬58( َ‫ت َربِ ِه ْم يُؤْ ِمنُون‬ ِ ‫) َوالَّذِينَ ُه ْم بِآيَا‬57( َ‫إِ َّن الَّذِينَ ُه ْم ِم ْن َخ ْشيَ ِة َربِ ِه ْم ُم ْش ِفقُون‬ ‫ارعُونَ فِي‬ َ ُ‫)أُولَئِكَ ي‬60( َ‫اجعُون‬ ِ ‫) َوالَّذِينَ يُؤْ تُونَ َما َءات َْوا َوقُلُوبُ ُه ْم َو ِجلَة أَنَّ ُه ْم ِإلَى َر ِب ِه ْم َر‬59( َ‫يُ ْش ِر ُكون‬ ِ ‫س‬ ْ ‫ق َو ُه ْم ََّل ي‬ )62( َ‫ُظلَ ُمون‬ ِ ‫ْال َخي َْرا‬ ً ‫ف نَ ْف‬ ُ ‫) َو ََّل نُ َك ِل‬61( َ‫سابِقُون‬ َ ‫ت َو ُه ْم لَ َها‬ ِ ‫سا ِإ ََّّل ُو ْس َع َها َولَدَ ْينَا ِكت َاب َي ْن ِط ُق ِب ْال َح‬ Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (57)Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orangorang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62) (QS. Al-Mu’minun : 57 – 62).



KEHATI-HATIAN DAN RASA TAKUT Sifat orang-orang Mu’min telah disebutkan pada ayat tersebut di atas, diantaranya adalah ‫اْلشفاق والوجل‬kehati-hatian dan rasa takut, kehati-hatian mencakup kekahawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak berdaya. Imam Ar-Razy berkata : “Di anatara mereka ada yang cenderung mengartikan Isyfaq dari persfektif pengaruhnya, yaitu : ‫الدوام في الطاعة‬, ketaatan yang qontinyu, dan ma’na ayat tersebut menjadi : ‫الذين هم من‬ ‫ خشية ربهم دائمون في طاعته‬, orang-orang yang taat secara qontinyu karena takut kepada Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya bahwa bila seseorang sampai pada perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian. Kesempurnaan rasa takut adalah puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab akhirat, sehingga Ia selalu menghindari maksiat. Maka barangsiapa yang memiliki kesempurnaan rasa takut kepada Allah. Ia akan memenuhi perintah Allah unuk berdakwah, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya Sedangkan keadaan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, maksudnya adalah komitmen menyampaikan setiap kebenaran. Oleh karena itu barangsiapa yang beribadah dan Ia marasa takut dari sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi rasa takut tersebut, Ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya. Rasa takut terhadap kekuarangan yang menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya dalam bertaqwa, adalah level para Shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bahwa sebab rsa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah SWT. Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa mereka bersih dari riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang) serta mengarahkan keinginan-keinginan kepada optimalisasi amal. Setelah arahan tersebut diatas mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas seseorang, maka Ia dapat berhujjah : ‫ وَّل نكلف نفسا ً إَّل وسعها‬, dan tampaklah keterpaduan antara seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai denagn kemampuan dan Allah yang senantiasa mengtahui hakekat kemampuan yang diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang da’i ke tingkat rasa takut dan hati-hati akan samapi pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas kemampuan.



KAIDAH KEENAM Da’i Adalah Cermin Bagi Da’wahnya Dan Contoh Teladan Seorang Da’i tidak akan terpisah dari da’wahnya, korelasi antara da’i dan da’wahnya selalu melekat dalam pikiran ummat. Da’i sendiri adalah bukti bagi da’wahnya, bukti itulah yang dapat mempengaruhi orang untuk menerima dakwah, bahkan menyebabkan mereka menolak dan menentangnya. Sedangkan orang-orang yang berinteraksi dengan nilai-nilai prinsip keislaman secara langsung (praktis) sangatlah sedikit di setiap zaman dan tempat, tetapi kebanyakan orang hanya berinteraksi dengan prinsip yang hanya menjadi slogan semata. Semakin besar nilai sebuah prinsip maka semakin kuat komitmen seorang da’i kepadanya. Untuk sampai kepada komitmen yang kuat lebih sulit, dan penderitaan dalam menunaikan kewajiban dan memikul beban, hal ini meyebabkan kesungguhan mencapai tingkat komitmen tersebut menjadi satu kontinyuitas yang tak boleh berhenti (futur) dan keberlangsungan yang tak boleh terputus. Ketika sang Da’i jauh dari komitmen kewajiban keislamannya, maka hal itu menjadi bencana yang akan memalingkan banyak orang karena akhlaknya dari agama Allah, dan membegal orang di tengah jalan, maka pantaslah kalau da’i seperti itu disebut pembegal (‫)قاطع الطريق‬, bahkan lebih buruk dari itu. Oleh karena itu setiap da’i hendaknya selalu berdoa :



َّ ‫َربَّنَا ََّل تَ ْج َع ْلنَا فِتْنَةً ِل ْلقَ ْو ِم‬ )85( َ‫الظا ِل ِمين‬



َُ



Ya Tuhan kami; janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim (QS. Yunus : 85) Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini : Ya Tuhan kami, janganlah engkau berikan peluang kepada mereka untuk menggiring kami dengan zalim dan paksaan, agar kami berpaling dari agama yang haq yang telah kami terima (dengan baik)”. Demikianlah ornag-orang kafir ketika berkuasa atas umat Islam, maka kekuasaan mereka seolah-olah berad di atas kebenaran dan umat Islam di atas kebatilan. Maka kekuasaan mereka terhadap umat Islam dan penindasan mereka terhadap orang-orang beriman adalah bencana yang akan memalingkan mereka dari keimanannya. Begitupula seorang da’i yang akhlaknya menyalahi nilai-nilai Islam, maka akhlaknya yang buruk itu dapat memalingkan umatnya dari keimanan. CONTOH KONSISTEN Para sahabat Nabi adalah contoh konsisten dalam dakwah dan keislaman mereka. Hasan Al-Bashry mengomentari sifat mereka bahwa : “tampak pada diri mereka tanda-tanda kebaikan dalam aura, ciri, petunjuk, kebenaran, bersahaja dalam tampilan pakaian,



tawadu ketika berjalan, kata-kata dibarengi dengan perbuatan, makan minum dari rizki yang baik, ketundukan mereka dalam taat kepada Allah, senantiasa mengusung kebenaran baik terkait dngan hal-hal yang mereka sukai atuapun tidak, memancarkan kebenaran dari diri mereka sendiri, haus kerongkongan mereka, lelah jasad mereka, berlapang dada terhadap amarah makhluk demi mengharapkan ridho Allah, sibuk lisan mereka deng dzikir, mereka korbankan darah mereka jika diperlukan, mereka korbankan harta mereka jika dibutuhkan, akhlak mereka baik dan .............. Para sahabat telah mempersembahkan agama ini dalam gamabaran yang membimbing dan membina manusia, mereka tegar menghadapi ujian dan cobaan, .................................. Abdullah bin Hudzafah as-Sahmy pernah menjadi tawanan Romawi, lalu Raja Romawi berkata kepadanya : “Engkau akan bebas bila engkau bersedia bergabung denganku”, tetapi Abdullah menolaknya. Lalu Ia disalib dan dieksekusi dengan lemparan anak panah tetapi Ia tidak takut sedikitpun, kemudian diturunkan dari tiang salib, Raja menyuruh disediakan air tungku dan dimasak hingga mendidih, lalu Ia dimasukan kedalamnya, hingga terkelupas kulitnya, setelah itu diangkatnya lagi, dan masih ditawarkan kepadanya untuk bebas, tetapi Abdullah malah menangis. Sang Raja kaget dan bertanya kepadanya ; “Kenapa engkau menangis”?, Iapun menjawab : “Aku berharap memiliki seratus nyawa, yang ditimpakan seperti ini di jalan Allah”. Raja sangat terkejut mendengarkan jawabannya. Ketika penduduk negeri mnyaksikan konsistensi para sahabat Nabi, ketegaran mereka di atas akidahnya dan pelaksanaan mereka terhadap aturan agama mereka, maka merekapun akhirnya memeluk Islam. Ibnu Qayyim Al-Jauzy berkata : “Tatkala kaum Nasrani melihat prilaku sahabat, kebanyakan mereka kemudian beriman karena pilihan dan kerelaan sendiri, lalu mereka berkomentar : “Mereka lebih utama dari para sahabat Nabi Isa AS”. Kemudian Ibnu Qoyyim melanjutkan komentarnya : “Sungguh, kami kami telah berdakwah kepada kebanyakan ahlul kitab, lalu mereka mengatakan bahwa apa yang menghalkangi mereka masuk islam adalah perilaku orang-orang yang menisbahkan dirinya kepada Islam”. Komentar Ibnu Qayyim ini terjadi pada abad delapan hijriyah, bagaiman jadinya bila beliau hidup di abad kita sekarang ini, di mana banyak orang Isalm yang menghadirkan gambaran yang paradoks dengan ajaran agamanya sendiri. Da,i bisa baik di mata umatnya bisa juga buruk. Apabila sang Da’i dikenal dengan keistiqomahannya dan kewaro’annya, maka kata-katanya akan sampai ke lubuk hati umatnya, dan mempengaruhi orang menjadi mudah menerima dakwah. Tetapi bila Da’i kering komitmen dan integritasnya, maka perkataannya akan lewat begitu saja seperti anak panah yang melenceng tidak mengenai sasaran. KEBAIKAN PERKATAAN ADA PADA REALISASINYA Imam Mawardy berkata dalam kitab Adabuddunya waddin mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib : “Sesungguhnya sia-sianya manusia menuntut Ilmu, ketika mereka sedikit menagmbil manfaat dari ilmu yang diamalkannya, karena kebaikan perkataan ada pada



realisasinya, kebenaran ada pada kata-katanya dan kebaikan ilmu ada pada yang membawanya. Orang bijak berkata : “Ilmu menyerukan amal, bila di....................... Berkata sebagian ulama : Sempurnanya Ilmu dengn amal, sempurnanya amal keihlasannya, jika kredibilitas da’i buruk di hadapan audiennya, maka perkataannya akan menggantung dan ngambang, diterima tidak ditolak juga tidak, sehingga mereka patut mempertanyakannya, tetapi bila audien mengetahui kredibilitas da’inya, maka apa yang disampaikannya akan diterima dan berpengaruh, bila tidak, maka audien yang kurang dapt menangkap dan mengambil pelajaran (ibroh). Dan kehidupan seorang Da’i baik khassah (halaqah) maupun ammah (sya’biyah) adalah pusat perhatian, mata manusia terhadapnya seperti kaca pembesar, sebelum dia menuntut manusia meninggalkan gibah maka dia harus menahan diri dari berbuat gibah dan menuduh tanpa alasan dan menjaga kehidupannya baik yang bersifat khusus maupun umum dari hal-hal yang dapat menodainya.



KAIDAH KETUJUH Bicaralah Kepada Manusia Sesuai Kemapuan Akal Mereka ‫خاطبوا الناس على قدر عقولهم‬ Da’wah harus dibangun di atas dasar kebijaksanaan dan nasehat yang baik, kebijkasanaan yang dimaksud sesuai dengan forum dakwahnya dan tingkatan dan level audiennya. Da’i yang bijaksana tidak akan mengatakan setiap yang telah diketahuinya kepada setiap orang yang telah mengetahuinya. Ia selalu berinteraksi dengan akalanya sesuai kemampuan audiennya bukan kemapuan dirinya sendiri, tidak akan membebani mereka di luar kemampuannya. Oleh karena itu Ibnu Abbas RA. Memahami ayat : ‫ولكن‬ ‫كونوا ربانيين‬artinya jadilah kalian orang-orang lembut dan pandai. Imam Bukhari berkata : Orang-orang Rabbani adalah mereka yang mentarbiyah manusia dari pengetahuan yang kecil sebelum yang besar. Mulai dari pengetahuan yang kecil adalah mengembalikannya kepada hal yang dapat menjaga akal pikiran agar tidak lari dari da’wah. Ibnu Hajar berkata : “Yang dimaksud dengan pengetahuan yang kecil adalah permasalahan mendasar, sedangkan pengetahuan besar adalah permasalahan detil”. Hal ini dikuatkan dengan beberapa hadits berikut : Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ibnu Zubair berkata kepada Al-Aswad : “Aisyah banyak memberi isyarat kepadamu, apa yang telah disampaikan kepadamu tentang ka’bah?. Ia berkata : Aisyah berkata kepadaku : “bersabda nabi SAW : Hai Aisyah, kalau bukan karena kaummu baru saja beriman, sungguh aku akan membongkar ka,bah, aku jadikan dua buah pintu, pintu masuk dan pintu keluar. Ibnu Hajar Rahimahullah berkata : “ pelajaran dari hadits tersebut adalah meninggalkan maslahat demi mengamankan situasi dalam kerusakan”. Ali bin abi Thalib berkata : “Bicaralah kepada manusia apa tentang apa yang mereka ketahui, apakah engkau ingin Allah dan Rasulnya didustakan?” Dikeluarkan oleh imam Bukhari bahwasanya Nabi bersdabda : “Hai Muadz bin Jabal”, labbaika wa sa’daikan Rasulallah. Hai Muadz bin Jabal”, labbaika wa sa’daikan Rasulallah.( 3X) beliau bersabda : Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah dari lubuk hatinya melainkan Allah haramkan dirinya dari api neraka. Lalu Muadz bertanya : : Ya Rasulallah, apa boleh saya sampaikan hal ini kepada manusia agar mereka gembira dengan berita ini? Rasul bersabda : “Tidak boleh kalau khawatir mereka menganggap remeh”. Tetapi Muadz tetap menyampaikannya menjelang wafatnya, karena takut berdosa” (kalau tidak disampaikan hadits itu akan terputus). Karenanya hadits tersebut bila didengar begitu saja oleh manusia akan mengakibatkan pemahaman yang salah, yaitu mengabaikan amal dan cukup hanya mengikrarkan saja



Terkait dengan pokok permasalahan ini, manusia terbagi menjadi beberapa golongan : Golongan pertama : golongan awam, bukan pelajar, berinteraksi dengan mereka dan mendakwahkan mereka adalah sasaran yang sulit. Kondisi mereka seperti kondisi orang yang baru mulai belajar membaca dan menulis. Sesuatu yang sulit dan mengikat dapat memalingkan mereka dari dakwah, mereka tidak perlu diberikan permasalahan yang sulit dan pembahsan yang detil, argumentasi yang kaku, dan aturan yang rumit. Golongan seperti ini memmerlukan kekhususan dalam seni berdakwah dan menyampaikan materi kepada mereka. Pada umumnya mereka bersandar pada hal-hal yang empiris lebih dominan ketimbang pada hal-hal yang abstrak. Kebutuhan mereka yang khas dan kondisi kehidupan mereka yang yang menjadi sarana paling dekat ke hati mereka. Perumpamaan yang diambil dari lingkungannya yang khas adalah perumpamaan yang mudah dipahami. Dan mereka mudah disntuh perasaannya ketimbang akalnya. Hal-hal yang menyenangkan dan yang menakutkan ( ‫الترغيب‬ ‫ )والترهيب‬lebih membekas bagi diri mereka, dan metode naratif lebih menarik perhatian mereka dalam menerima materi kisah slafussaleh, peristiwa-peristiwa dalam sirah ketimbang metode analisis. Golongan kedua : Kalangan pelajar alumni perguruan tinggi, atau siapa saja yang setara level progres pengetahuannya, mereka mengkaji analisa, kongklusi, substansi dan argumentasi yang melemahkan. Ketika menyemoaikan materi di hadapan mereka perlu mempertimbangkan tingkat pengetahuan mereka. Siapa yang biasa berbicara di kalangan awa, terkadang tidak mampu berbicara di kalangan khusus (terpelajar). Apabila yang memberi materi kepada mereka seseorang yang tingkat pengetahuannya lebih rendah, maka hal itu akan menimbulkan fitnah terhadap mereka. Golongan ketiga : Kalangan spesialis keilmuan. Setiap spesialisasi memiliki mushtalahat (konsep dasar) dan sarana-sarananya, maka barang siapa yang mengenali nuansa keilmuan yang khas tersebut, maka ia akan mampu memberikan arahan kepadanya , dan membuat mereka melihat bukti-buktinya dari apa yang ada pada diri mereka sendiri. Maka seorang Da’i yang berada di antara para pengacara, membutuhkan pengetahuan tentang perangkat hukum dan perundang-undangan, baik yang positif maupun yang negatifnya, yang berhubungan dengan para dokter, perlu mengetahui aspek-aspek yang dapat membungkam mereka tentang keagungan Allah dan kuasanya dalam menciptakan manusia dan fungsi-fungsi anggota tubuhnya. Akan tetapi jika Da’i berhadapan dengan spesialis yang sarat dengan penguasaan ilmu syariah, maka kemungkinan mereka menolak sangat besar, karena itu Ia harus membekali dirinya dengan wawasan (tsaqafah) dan meningkatkan kualitas pengetahuannya. Oleh karena itu seorang da’i yang ditigaskan berdakwah kepada kalangan spesialis tertentu, maka Ia patut mempelajari dahulu hala-hala yang terkait dengan spesialisasinya, dan menambah aspek pengetahuan yang behubungan dangan hal tersebut.



KAIDAH KEDELAPAN : Ujian Merupakan SunnatullahSebagai Jalan Mengaplikasikan Dakwah Dan Membentuk Jiwa Konsisten Dengan Akidah



Manakala aktifitas itu sulit, detil dan menuntut komitmen tinggi, maka seseorang membutuhkan kesungguhna yang lebih besar dalam mempersiapkan dan melatih driri, agar selalu siap menghadapi aktifitas tersebut, karena aktifitas mengakan agama allah bersifat kontinyu, diversifikstif dan luas. Stressingnya tidak terbatas pada pola tertentu, tetapi juga membutuhkan substansi dan cakupannya, olehkarenanya tanggungjawab seorang aktifis dakwah akan bertambah hari demi hari, dan tanggungjawabnya setelah kemenangan fikrahnya menjadi lebih besar dari sebelumnya. Karena itulah Allah menghendak untuk menundukan para da’i pada berbagai pengalaman yang menyulitkan. Sebuah jamaah tidak akan mencapai sasaran kecuali bila telah melewati ujian dan cobaan. Dari beberapa ayat Qur’an dan Hadits kita dpata menjelaskan tentang peran dan nilai ujian dan cobaan. Dari Abu Hurairah RA. Berkata : “Rasulullah SAW bersabda :



‫ ومثل المنافق كمثل‬.‫ وَّل يزال المؤمن يصيبه البَلء‬،‫" مثل المؤمن كمثل الزرع َّل تزال الريح تميله‬ "‫شجرة اْلرز َّل تهتز حتى تُستحصد‬ Perumpamaan mu’min seperti pohon yang selalu dicondongkan oleh angin, mu’min senantiasa ditimpakan ujian, sedangkan perumpamaan orang munafik seperti pohon gandum, tidak pernah tinggi sampai akhirnya dipanen. (HR. Muslim) Hadits tersebut mengungkapkan tentang peran ujian yang konstruktif bagi jamaah muslim. Jika pohon selalu bergoyang, maka akan memperoleh kekokohan di hadapan badai dan angin kencang, sementara tanaman gandum lebih lemah karena tidak digerakan oleh angin. Begitu pula hendaknya para Da’i harus tahan memikul beban menghadapi kesulitan karena banyaknya ujian yang menimpa. Ujian berjalan dia tas seleksi unsur-unsur yang kuat dan baik, tidaka ada yang sanggup beramal kecuali seseorang yang dapat memikul beban, Ia terus berdakwah dan merasakan kemantapan di jalannya karena kemantapan iman dalam hatinya. Barang siapa yang mengharapkan keridoan Allah dan hari akherat, karena sesungguhnya seseorang apabila mengetahui bahwa hutangnya lebih banyak dari pendapatannya, maka ia akan memilih hutangnya, kecuali bila ia rela dengan kehidupan akherat seagai ganti dari kehidupan dunia.



Ujian menyingkap kebenaran orang-orang yang konsisten dan afiliasi keimanan mereka, sebagaimana terkandung dalam surat Ali Imronyang menggambarkan musibah kaum muslimin pada perang uhud. Allah berfirman :



َ‫ّللاُ الَّذِينَ َءا َمنُوا َو َيت َّ ِخذ‬ َّ ‫اس َو ِل َي ْعلَ َم‬ َّ ‫س ْس ُك ْم قَ ْرح فَقَ ْد َم‬ ِ َّ‫س ْالقَ ْو َم قَ ْرح ِمثْلُهُ َوتِ ْلكَ ْاْلَيَّا ُم نُدَا ِولُ َها بَيْنَ الن‬ َ ‫ِإ ْن َي ْم‬ َّ ُّ‫ّللاُ ََّل ي ُِحب‬ ُ ‫ِم ْن ُك ْم‬ َّ ‫ص‬ َّ ‫ش َهدَا َء َو‬ )141( َ‫ّللاُ الَّذِينَ َءا َمنُوا َو َي ْم َحقَ ْال َكا ِف ِرين‬ َ ‫) َو ِليُ َم ِح‬140( َ‫الظا ِل ِمين‬ Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamudijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orangorang yang zalim,( 140)dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang yang kafir. (141). (QS. Ali Imron) Imam Ar-Razy menjelaskan dalam tafsirnya : “Ketahuilah bahwa bukanlah yang dimaksud “mudawalah” bahwa Allah membela dan menenangkan orang-orsang kafir, k karena pertolongan Allah adalah pemberian yang mulia dan penghormatan yang agung, maka tidak pantas hal itu diberikan kepada orang-orang kafir. Tetapi yang dimaksud mudawalah di sini adalah bahwa terkadang Allah menguatkan penderitaan terhadap orang kafir dan melimpahkan kesenangan kepada orang mu,min. Hal ini dapt ditinjau daru beberapa hal : Pertama : Bahwasanya seandainya Allah menegaskan kekalahan untuk orang-orangh kafir di setiap saat, dan menghilangkannya dari orang-orang beriman di setiap saat, maka hal itu akan menghasilkan pentingnya pengetahuan dan keasadarna bahwa keimanan adalah haq dan selainnya batil. Seandainya demikian, maka tidak berlaku beban, pahala dan dosa, oleh karena itu terkadang Allah meliputi kekalahan kepada orang-orang beriman dan sebaliknya kepada orang-orang kafir., Kedua : Bahwasanya Seorang Mu’min terkadang mendatangi sebagian temapat maksiat, sehingga Allah menegaskan kekalahan dan penderitaan kepadanya di dunia, utnuk mendidiknya. Ketiga : Ujian akan semakin memperdalam kecenderungan antara mu’min dan kafir, maka kemungkinan pertemuan diantara keduanya tidak akan terwujud, karena orangorang kafir secara terus menerus membuat orang-orang beriman menderita, dan mereka melakukan mobilisasi penghancuran akidah dan para pembelanya. Pertarungan ini akan berjalan terus, tidak akan berhenti kecuali mereka tunduk kepada hukum Islam. Meskipun mereka beresikap lembut kepada orang-orang beriman, dan bersikap toleran terhadap kaum mu,min dengan memberikan kebebasan kepada mereka berdakwah, maka orang-orang yang lemah imannya berkata : “Orang kafir tidaklah seburuk yang



dibayangkan!”. Berkenaan dengan hal ini Al-Qur’an menjelaskan sikap dan prinsip mendasar :



َّ ‫علَ ْي ُك ْم ِم ْن َخي ٍْر ِم ْن َربِ ُك ْم َو‬ ‫َص‬ ُّ ‫ّللاُ يَ ْخت‬ ِ ‫َما يَ َودُّ الَّذِينَ َكفَ ُروا ِم ْن أ َ ْه ِل ْال ِكت َا‬ َ ‫ب َو ََّل ْال ُم ْش ِركِينَ أ َ ْن يُن ََّز َل‬ َّ ‫بِ َرحْ َمتِ ِه َم ْن يَشَا ُء َو‬ )105(‫ض ِل ْالعَ ِظ ِيم‬ ْ َ‫ّللاُ ذُو ْالف‬ Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.(QS. Al-Baqarah : 105) Juga Allah berfirman : َ َ‫َو ََّل َيزَ الُونَ يُقَاتِلُونَ ُك ْم َحتَّى َي ُردُّو ُك ْم َع ْن دِينِ ُك ْم ِإ ِن ا ْست‬ ‫طاعُوا‬ . Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Keempat : Ujian dapat mengikat di antara orang-orang beriman dengan ikatan pikiran dan perasaan, jadi ujian dapat mengantarkan mu’min pada hakekat konstruksi keislaman yang solid, ujian membuat bangunan islam menjadi kuat dan kokoh. Sesungguhnya mereka yang ditimpa ujian karena keimanan mereka, mereka sedang menaruh shama dengan sesuatu yang paling mulia yang mereka miliki, jiwa, harta, keluarga, dan negara. Adapun ujian dapat mewujudkan ikatan perasaan (solidaritas), karena penderitaan selama ujian akan selalu mengarahkan pada realisasi kebersamaan dan tolong menolong, terkadang seseorang lupa orang lain bersamanya dalam keadaan senang, tetapi tidak akan lupa kebersamaan orang lain dalam derita dan kesengsaraan. Kelima : Ujian menunjukan bukti yang kuat terhadap konsekwensi dakwah. Berangkat dari hal inilah banyak manusia menerima dakwah ketika mereka melihat ketegaran para aktifisnya dan keteguhan mereka dalam memikul beban ujian. Tahan dalam menghadapi ujian adalah bukti yang ditunjukan di depan manusia. Habib bin ‘Adi RA. Berkata :



ً ‫ولست أبالي حين أقتل مسلما‬ ‫على أي جنب كان في هللا مصرعي‬ “Aku tidak peduli ketika aku terbunuh dalam keadaan muslim Pada sisi yang mana di jalan Allah tempatku terbujur” Imam Ar-Razy berkata : “Sebagaimana diketahui bahwa para pengikut belia mereka tahu pemimpinnya dalam mendapat ujian yang pelik karena membela perjuangan, dan mereka melihat pemimpinnya konsisten dengan perjuangannya, mak hal itu akan lebih



mengokohkan para pengikutnya ketimbang ketika mereka melihat pemimpinnya dalam keadaan bersenang-senang, tidak ada beban ujian yang di hadapinya dalamperjuangannya. Keenam : Apabila seorang mu’min tahu bahwasanya ia akan diuji, maka ia akan selalu waspada dan takut kepada Allah SWT, hal ini akan mengantarkannya pada optimalisasi amal dan berkeinginan kuat untuk memenuhi syarat-syarat kemenangan, serta menjauhkan dirinya dari sebab-sebab kehancuran, berupa maksiat, kelemahan dan sikap pasrah dan menyerah. Ketujuh : Ujian dapat mewujudkan keikhlasan pada hati seorang mu’min. Imam Ar- Razy berkata : “sesungguhnya keikhlasan manusia dalam keadaan menderita dan kembalinya seseorang kepada Allah akan lebih besar keikhlasannya dibanding dalam keadaan kesenangan dunia”. Allah telah menegaskan sunnah ini terhadap orang-orang beriman, sebagaimana firman-NYA :



َ ْ َ‫ص مِن‬ ‫ت َوبَش ِِر‬ ِ ‫اْل ْم َوا ِل َو ْاْلَ ْن ُف ِس َوال َّث َم َرا‬ ِ ‫يءٍ مِنَ ْالخ َْو‬ ٍ ‫ف َو ْال ُجوع ِ َونَ ْق‬ ْ ‫َو َلنَ ْب ُل َو َّن ُك ْم ب ِ َش‬ )156( َ‫اجعُون‬ َّ ‫ال‬ ِ ‫صاب َ ْت ُه ْم ُم‬ ِ ‫صيبَة َقا ُلوا إ ِ َّنا ِ َّّلل ِ َوإ ِ َّنا إ ِ َل ْي ِه َر‬ َ ‫)ا َّلذِينَ إ ِ َذا َأ‬155( َ‫صاب ِ ِرين‬ Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun" (QS. Al-Baqarah : 155 – 156)



KAIDAH KESEMBILAN : Lahan Dakwah Luas HendaknyaDa’i Memilih Untuk Dakwahnya



Ketika dakwah baru memasuki masa perintisan dan pembentukan, maka kesungguhan yang dikerahkan sesuai dengan proporsinya, jadi seorang da’i harus memperhatikan prinsip memilih untuk dakwahnya. Mulai dari yang dekat sebelum yang jauh. Ssungguhnya seorang da’i tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk mendakwahkan siapapun, apalagi tidak jelas sasarannya, sementara pada saat yang sama, orang dekat, tetangga di sekitar tempat tinggal dan lingkungan pekerjaan juga membutuhkan dakwahnya, dan Ia telah mengenali mereka dengan baik, tidak perlu lagi informasi tentang mereka, dan mereka juga telah mengenalnya dengan baik, sehingga tidak perlu lagi pendekatan awal. Justru mereka akan mencelanya karena mereka merasa diremehkan, sementara ia pergi mendakwahi orang-orang yang jauh, sedangkan seharihari Ia hidup bersama mereka. Mata mereka selalu mengawasi baik buruknya dan menjadi saksi atas kesenangan dan kesusahannya, Ia kelak akan mempertanggung jwabkan mereka di hadapan Allah. Sesungguhnya Nabi telah mengambil tindakan terhadap kaumnya bahwasanya mereka tidak memahami tetangganya dan tidak mengejarkannya, sehingga mereka terancam oleh sangsi (uqubat) dan mereka di biarkan selama satu tahun untuk melaksanakan tugas tersebut. Ketika rasulullah SAW mulai berdakwah, Allah memerintahkan kepadanya untuk mendakwahi keluarganya yang terdekat :



‫) ْو‬214( َ‫ِيرت َ َك ْاْل َ ْق َر ِبين‬ َ ‫َوأ َ ْنذ ِْر‬ َ ‫عش‬ Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS. As-syu’ara : 214) Imam Ar-Razy berkata : “Kemudian Allah memerintahkannya untuk mendakwahi yang lebih dekat, karena bila da’wah intensif kepada diri sendiri, setelah itu kepada kalangan terdekat, maka seorang da’i tidak mudah dianiaya, dan perkataannya lebih bermanfaat dan ucapannya lebih mantap. Imam Bukhari mengeluarkan dalam sahihnya, dari ibnu Abbas RA, berkata : “Tatkala turun ‫وأنذر عشيرتك اْلقربين‬Nabi naik ke atas bukit Sofa seraya berseru : “Wahai Bani Fahr!, wahai Bani ‘Ady!,”, sehingga merekapun berkumpul, bahkan yang tidak bisa datang mengutus seseorang untuk melihat ada apa sebenarnya. Turut hadir pula Abu Lahab dan pemuka-pemuka Quraisy. Lalu Nabi berkata : Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu kalian bahwa pasukan berkuada di sebuah lembah akan menyerang kalian, apakah kalian membenarkanku. Mereka berkata : “Ya, setahu kami engkau tidak pernah berdusta”. Nabi berkata : “maka sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan terhadap kalian, di hadapanku ada adzab yang pedih”.



Dalam riwayat imam Bukhari yang lain dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda : “Wahai orang-orang Quraisy!, jagalah diri kalian, aku tidak dapat membelamu sedikitpun di sisi Allah, wahai Abbas bin Abdul Muttalib aku tidak dapat membelamu sedikitpun di sisi Allah, Wahai Safiyah bibi Rasulullah aku tidak dapat membelamu sedikitpun di sisi Allah, Wahai Fatimah putri Muhammad, mintalah apa yang kau mau dari hartaku, aku tidak dapat membelamu sedikitpun di sisi Allah”. Ibnu Hajar berkata : “Rahasia perintah mendakwahi kerabat adalah bahwasanya bila dakwah sampai kepada mereka, maka mereka akan menyampaikannya kepada yang lain, tapi jika tidak, maka kalangan jauh akan menjadikannya alasan untuk menolak”. Hendaklah mulai dari kalangan orang-orang kecil sebelum yang besar, karena mereka tidak sulit diarahkan kepada fikrah dan perilaku tertentu, interaksi dengan mereka lebih Mudah ketimbanga dengan orang-orang besar, yang cenderung memilih jalannya sendiri, banyak keterikatannya dengan tanggung jawabnya, mengukuhkan dirinya menjadi pusat masyarakat (publik figur) atau pendapatan duniawu yang dikhawatirkannya. Sedangkan kalanagn orang-orang kecil langsung dapat menerima dakwah, mudah diwarnai dan dibentuk, seorang da’I tidak memerlukan waktu banyak untuk membersihkan jiwanya dari kotoran dan kebiasaan jahiliyah, lalu menhiasinya dan mengisinya dengan keutamaan dan kebiasaan islami. Kalangan kecil adalah mereka yang dahulu menjadi pengikut Rasulullah SAW. Dalam kisah Nabi Musa AS, Allah berfirman :



‫ع ْونَ لَ َعا ٍل ِفي‬ َ ‫ع ْونَ َو َملَئِ ِه ْم أ َ ْن يَ ْفتِنَ ُه ْم َوإِ َّن فِ ْر‬ َ ‫علَى خ َْوفٍ ِم ْن فِ ْر‬ َ ‫سى ِإ ََّّل ذُ ِريَّة ِم ْن قَ ْو ِم ِه‬ َ ‫فَ َما َءا َمنَ ِل ُمو‬ ‫)و‬83( َ‫ض َو ِإنَّهُ لَ ِمنَ ْال ُمس ِْرفِين‬ ِ ‫ْاْل َ ْر‬ Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir`aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir`aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas. (QS. Yunus : 83) Namun bukan berarti kalangan orang-orang besar diabaikan, tetapi yang dimaksud adalah bahwa kalangan orang-orang kecil lebih cepat menerima, karena walaupun mereka kalangan orang-orang kecil (muda), tetapi calon pemimpin di kemudian hari, dan kalangan orang-orang muda adalah masa depan bagi umat. Juga hendaknya mulai dari orang-orang yang tawaddu sebelum mendakwahi orang yang sombong. Karena ketawadduan menunjukan kemungkinan kebenaran dapat diterima, sementara orang yang sombong menyepelekan kebenaran dan memandang manusia sebelah mata. Oleh karena itu kita dapati pengikut-pengikut para rasul berasal dari golongan orang-orang yang bersyukur dan tawaddu, atau fakir yang sabar dan lemah. Kesungguhan bersama golongan ini kebanyakan dapat menuai buahnya. Sekali lagi hal ini bukan berarti menafikan golongan objek dakwah yang lain.



Sesungguhnya mendapatkan lahan dakwah yang baru, dekat, mudah dan memugkinkan, akan membantu untuk mendapatkan yang jauh dan sulit, karena penyebaran yang luas akan memberikan darah segara, dinamika dan potensi yang digunakan untuk sampai kepada lahan dakwah yang jauh. Mulai dari yang berwawasan sebelum yang awam, mengingat peran penting mereka di tengah masyarakat, di sisi lain mereka lebih mampu untuk menilai pandangan dan memilih fikrah. Barang siapa yang memilih fikrah karena kesadaran, kemungkinan besar akan kuat komitmennya. Mulai dari yang belum berafiliasi sebelum yang sudah berafiliasi, karena mereka yang belum berafiliasi masih netral posisinya di antara berbagai aliran dan organisasi, sedangkan mereka yang sudah berafiliasi telah memliki posisi tertentu, upaya untuk dapat memindahkan afiliasinya membuthkan kesungguhan yang berlipat ganda, hal itu karena bila mereka dapat merubah afiliasinya, maka menjadi sumber daya yang potensial karena pengalamannya yang luas dan kesiapan yang memadai, akan tetapi hal yang seperti ini sedikit. Mulai dari temen sekerja sebelum yang lainnya, karena teman-teman sekerja memiliki solidaritas yang kuat di antara mereka, kesempat berdialog di antara mereka selalu tersedia dan simpul-simpul kebersamaan banyak peluangnya. Seorang Dokter lebih efektif mendakwahkan rekan kerja seprofesinya ketimbang mendakwahikalangan insinyur, pengacara mendakwahi pengacara. Manakala Da’i memliki kelbihan dengan kebersihan akhlaknya – ini relalitas – dan menjauhi jiwa ambisius duniawi, maka Ia akan piawai berkomunikasi dengan teman-temannya dan mempengaruhi mereka. Semestinya pilihan itu harus sesuai dengan fase yang dilalui oleh dakwah, terkadang fasenya fase rekrutmen dan perluasan penyebaran, bisa juga fesenya fase aktifitas terbatas, tarbawy, ekonomi, sosial dan politik. Setiap fase memiliki tuntutannya masingmasing dan pilihan itu sesuai dengn tuntutan. Dari sinilah kita memahami do’a Rasulullah SAW :



‫ بأبي جهل أو بعمر بن الخطاب‬،‫اللهم أعز اْلسَلم بأحب هذين الرجلين إليك‬ “Ya Allah! Muliakanlah Islam dengan salah satu dari dua orang yang paling engkau cintai, Abu Jahal atau Umar bin Khattab” Berkenaan dengan suasana fase dakwah yang tengah berlangsung di Mekkah, da’wah tersebar di antara kaum dhuafa dan fuqara, kemudian fase brikutnya adalah fase terbuka. Pada fase inilah kepribadian seperti Umar bin Khattab dibutuhkan, inilah yang terjadi pada saat umar masuk islam, sehingga dakwah mulai memasuki fase baru, yaitu fase dakwah terbuka setelah fase rahasia.



Ketika Mush’ab bin Umair RA bernagkat ke Madinah, Usaid bin Hudair yang masih musyrik menemuinya, lalu ia berkata kepada Mus’ab dan As’ad bin Zararah : “Apa yang kalian datangkan kepada kami?, kalian membodohi kaum dhuafa kami?. Sebelumnya As’ad berbisik kepada Mus’ab : “Ini adalah pemuka kaum, ia datang kepadamu, yakinkanlah dia akan Allah”. Maka Mus’ab pun mendakwahkannya kepada Allah dan memperdengarkannya beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian Usaid berkata : “Alangkah bagus dan indahnya perkataan ini, apa yang anda lakukan jika anda masuk ke dalam agama ini?. Keduanya menjawab : engkau mandi hingga bersuh dan bersuhkan bajumu, kemudian engkau memberikan kesaksian yang benar, lalu engkau shalat. Maka Iapun mandi dan membersihkan bajunya, lalu bersyahadat dan shalat dua rakaat. Kemudian Ia berkata : “Sesungguhnya di belakangku ada seorang tokoh jika Ia jadi pengikut kalian tak ada seorangpun dari kaumnya yang tidak mengikutinya, saya akan datangkan orang itu sekarang”. Ia adalah Saad bin Muadz. Iapun datang menemui Mus’ab dan As’ad, lalu As’ad berbisik kepada Mus’ab seperti yang telah dilakukan sebelumnya, tatkala Mus’ab menyampaikan kepadanya tentang Islam, Iapun masuk Islam. Kemudian ia pergi menemui kaumnya Bani Abdil Asyhal lalu berkata : “Apa yang kalian ketahui tentang diriku pada kalian?”, Mereka berkata : pemimpin kami, yang paling bagus pandangannya dan yang paling dipercaya kepemimpinannya. Lalu saad berkata :



‫فإن كَلم رجالكم ونسائكم علي حرام حتى تؤمنوا باهلل وبرسوله‬ Sessungguhnya aku haramkan laki-laki dan wanita kalian bicara kepadaku sehingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-NYA. Kemudian Mus’ab dan As’ad pun berkomentar : “Demi Allah tidak ada rumah di perkampungan Bani Abdil Asyhal baik laki-laki maupun wanitanya, melainkan telah berubah statusnya menjadi muslim dan muslimah”. Dari peristiwa ini kita dapat mengambil pelajaran penting, bahwa dakwah yang ditujukan kepada sebagian pusat kekuatan masyarakat (simpul massa) memberikan kontribusi bagi akselerasi proses Perubahan (amaliyyatutthagyir). Terkadang tokoh masyarakat juga dapat banyak memberikan perubaha pada proses bergaining bagi kemaslahatan dakwah. Kita juga dapat mengambil pelajaran seraya mempertimbangkan fase dakwahnya.



KAIDAH KESEPULUH Waktu Adalah Salah Satu Unsur Dakwah Yang Efektif



:



Banyak Da’i merasa putus asa ketika berdakwah, mereka menggunakan sekian banyak argumentasi dan dalil, akan tetapi mereka tidak mendapatkan sambutan yang besar dari objek da’wah. Perasaan putus asa itu muncul akibat hilangnya salah satu unsur penting dalam proses dakwah, yaitu waktu. Hal yang harus kita sadari adalah bahwa kita berinteraksi dengan realitas individu yang tidak Islami, yang dibentuk dengan berbagi faktor yang banyak, faktor dominannya adalah pengaruh materialisme destruktif, yang telah merasuk ke setiap individu. Seorang Da’i selalu berinteraksi dengan pribadi buruk di bawah kebobrokan pemikiran dan moral, hal ini biasanyamenjadi penghalang bagi da’i untuk berkumunikasi dengan mad’unya, atau dengan kata lain Da’i berada di satu alam sedangkan mad’u berada di alam yang lain, di antara keduanya terjadi kesenjangan nilai. Karena itu terjadinya respon yang cepat yang bukan yang tidak proporsional dan wajar, bertentangan tabiat segala sesuatu. Sesungguhnya kata-kata yang diucapkan oleh sang Da’i tidak akan sia-sia, pasti merasuk ke dalam pikiran mad’u dan akalnya kelak akan memilih dan menjadi akumulasi pengalaman yang baik. Sesungguhnya pengaruh kata-kata yang diucapkan beberapa tahun sebelumnya akan membuahkan sikap yang membuatnya kembali mengenang pengalamannya, kemudian apa yang diucapkan sang da’i akan didapati oleh da’i yang lain setelah beberapa tahun berikut. Seringkali terjadi ketika kita berbicar dengan seseorang lalu Ia berkata : “Ini adalah seseuatu yang pernah saya dengar dari fulan” Sesungguhnya memilih waktu dalam berdakwah adalah masalah tujuan kepentingan, ada waktu di mana seseorang sedang menyendiri, sehingga tidak siap menerima pemikiran. Bahwasanya dakwah akan berpengaruh dalam suasan dan kondisi yang kondusif baik pada Da’i maupun Mad’unya, oleh karena itu hendaknya Da’i memilih waktu yang paling cocok dengan kendala dan hambatan yang minim. Ibnu Mas’ud RA berkata : “Rasulullah pernah beberapa saan tidak memberi nasehat, karena khawatir kami merasa bosan”. Da’i tidak boleh terlalu lama mengajarkan mad’unya, sehingga membuatnya gelisah dan bosan. Memberi materi dalam waktu yang tidak terlalu lama, akan membuat mad’u marasa rindu ingin menyempurnakan pelajaran dan bahkan menginginkan tambahan. Sikap emosional terhadap mad’u akan berdampak buruk, apakah Ia menolak atau menerima, keduanya berbahaya bila terjadi sebelum waktunya. Mad’u bersikap menerima atau menolak lebih dominan karena paksaan bukan pilihan. Ketika mad’u menyatakan menolak, sesungguhnya Ia tergesa-gesa mengambil sikap, sebelum menerima gambaran dakwah secara utuh, penolakannya adalah sikapnya terhadap dakwah, dan tidak mudah untuk merubah sikapnya, karena biasanya seseorang kukuh dengan pendiriannya. Hal ini disebabkan oleh Da’i yang terburu-buru memetik buah sebelum tiba masa panennya.



Sebaliknya mad’u yang terlalu cepat menerima, tidak lama setelah itu akan mendapati dirinya tidak mampu memikul beban dan kewajiban yang tidak pernah diperhitungkan sebelumnya, padahal bila saja Ia menunggu sebentar, ia tidak kan buru-buru mengambil sikap tersebut, sehingga menjadi jelas mana sikap yang normal mana yang prematur, munculnya sifat dusta dan munafik karena faktor tergesa-gesa (Isti’jal). Seandainya dibuka terlebih dahulu kesempatan berfikir dan merenung, pasti Ia akan mengambil sikap yang mendasar dan orisinil. Jalan yang terbaik adalah janganlah kita emosional dalm mengeluarkan pernyataan, akan tetapi kita meminta kepada mad’u agar tidak terlalu cepat mengambil sikap, seraya berterus terang kepadanya tentang tantangan dan konsekwensi menerima dakwah secara positif dan realistis. Sesungguhnya waktu merupakan unsur yang dapat meringankan intensitas da’i dan mengantisipasi sikap putus asa yang terkadang menimpa mereka, juga membuka pintu cita-cita, yang demikian itu bila mereka benar-benar memahami peran waktu, sebagaimana seorang dokter tidak berkata kepada pasiennya bahwa anda akan sembuh seketika, tetapi Ia akan berkata anda akan sembuh beberapa hari lagi.



KAIDAH KESEBELAS : Da’wah Adalah Seni Dan Kepemimpinan Di Atas Perencanaan Dan Evaluasi Banyak para Da’i yang mengira bahwa dakwah cukup dibangun dengan ucapan yang baik di setiap tempat dan waktu, dan berjalan secara paralel pada setiap da’i meskipun momen dan peluangnya berbeda. Tidak diragukan lagi bahwa Allah SWT mengkaruniakan kemampuan tablig kepada sebagian da’i, sehingga mereka bisa menarik perhatian dan mudah diterima oleh audien. Sementara sebagian mereka tidak memiliki kemampuan bicara dengan segala tata cara dan gayanya.Keduanya membutuhkan prinsip-prinsip dakwah, gaya pendekatan dan pelatihan. Karena itu dakwah adalah seni yang terus menerus diekspresikan, kaidah dan pendekatan yang terus dikembangkan dan sarana-sarana yang efektif sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman moderen. Perencanaan yang matang akan mengarakan dakwah kepada pendekatan seni yang efektif. Perencanaan merupakan gambaran teoritis untuk menjalankan dakwah, ketika perencanaan telah sempurna dan segala unsurnya telah terkuasai dengan baik, maka hal itu dapat mengantarkan pada hasil yang riil dengan pertolongan Allah. Sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa aneka macam perencanaan, seperti perencanaan ekonomi, politik dan pendidikan, maka para da’i fokusnya diarahkan pada perencanaan dakwah. Perencanaan yang baik kepalanya ada pada pencapaian target dan sasaran, tubuhnya ada pada sarana-sarana. Kedekatan antara sarana dan sasaran ditentukan oleh gaya pendekatan, bahan bakunya adalah SDM, Materi dan moralitas, supervisornya evaluasi dan penilaian, buahnya adalah tercapainya sasaran yang kongkrit dan kasat mata. Sasaran adalah tujuan di balik aktifitas, yang muncul ketika menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan oleh sang Da’i itus endiri. Mengapa saya berdakwah?, Apa yang saya inginkan dari dakwah ini?. Jawaban atas pertanyaan ini adalah titik tolak segala aktifitas, di atas kejelasan jwaban inilah akan menentukan kesungguhan yang dituntut, waktu yang cukup, sarana, pendekatan dan realitas lapangan. Biasanya perbedaan para Da’i dalm menjawab pertanyaan di atas, menyebabkan mereka berbeda dalam pengorganisasiann dan afiliasinya. Ada dua macam sasaran : Pertama : Sasaran Makro (besar), yaitu hasil yang pokok. Kedua : Sasaran-sasaran yang terkait dengan waktu yang terbatas dan peluangpeluang tertentu atau individu tertentu atau diusahakan untuk merealisasikan sarana dan memperbanyaknya. Sasaran-sasaran ini sebagian



Da’i pertama berkata : Aku berdakwah untuk kebersihan jiwa, sebagaiana Allah Berfirman :



)10(‫ساهَا‬ َّ َ‫َاب َم ْن د‬ َ ‫) َوقَ ْد خ‬9(‫قَ ْد أ َ ْفلَ َح َم ْن زَ َّكاهَا‬ dan sesungguhnya ,sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu merugilah orang yang mengotorinya (QS. As-Syams : 9-10) Untuk sampai kepada sasaran ini hendaknya kita merekrut para mad’u dan kita terapkan kepada mereka aturan yang dibangun diatas anjuranianjuran moral, wirid dan dzikir. Seyogyanya seluruh perhatian arahkan kepada sasaran ini. Da’i kedua berkata : Sasaran da’wah adalah membantu fakir miskin dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang baik. Allah berfirman :



ْ ُ‫) َولَ ْم نَكُ ن‬43( َ‫صلِين‬ )44( َ‫ط ِع ُم ْال ِم ْسكِين‬ َ ‫سلَ َك ُك ْم فِي‬ َ ‫َما‬ َ ‫)قَالُوا َل ْم نَكُ ِمنَ ْال ُم‬42(‫سقَ َر‬ "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin (QS. Al-Muddatsir : 42-44) Untuk merealisasikan sasaran ini, harus terlebih dahulu mendakwahkan kelangan yang gemar menebar kebajikan, brsedekan dan menunaikan zakat, serta menumbuhkan organisasi kebajikan ( ‫ ) الجمعيات الخيرية‬sebgai sarana terbaik untuk merealisasikan sasaran ini. Da’i ketiga berkata : Sasaran dakwah adalah untuk menyelesaikan masalah-masalah ilmiyah yang masih diertentangkan, mengumpulkan hadits-hadits sahih. Untuk merealisasikan sasaran ini harus diselenggarakan halagah-halaqah ilmiah dan mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan-yayasan khusus, serta menerbitkan bukubuku. Da’i keempat berkata : Sasaran dakwah adalah agar umat Islam dapat mencapai level tertinggi dalam hal kesadaran politik yang dapat menyingkap program musush-musuh dakwah dengan segala sarana yang mereka pergunakan. Untuk merealisasikan sasaran ini, hendaknya didirikan studi khusus dan intensif, meneliti apa yang mereka katakan dan sebarkan tentang Islam. Berangkat dari sasaran-sasaran tersebut di atas kita dapati sebagian Da’i ridho dan merasa cukup dengan sasaran-sasaran yang lebih kecil dari itu, seakan – akan hal itu menjadi sasaran yang besar dan menyeluruh, padahal hanya sebuah kerikil kecil di tengah perjalanan dakwah, atau sebagian Da’i hanya fokos pada orang tertentu yang



dianggap sebagi penyebab utama munculnya permasalahan dan prblematika umat Islam. Meskipun sasaran-sasaran tersebut penting, tetapi ada pertanyaan yang tersisa : “Apakah ada sasaran lain yang lebih besar dan menyeluruh?”. Sesungguhnya penglihatan sekilas terhadap berbagai tingkatan sasaran membuat kita berkata : ‘Sasaran menyeluruh lebbih didahulukan dari pada sasaran sektoral, sasaran yang mencakup seluruh masyarakat lebih didahulukan dari pada sasaran individu atau kelompok, sasaran yang kontinyu didahulukan ketimbang sasaran yang temporal, sasaran yang memungkinkan lebih dikedepankan ketimbang sasaran yang absurd (tidak mungkin), sasasran maksimal lebih diutamakan dari pada sasaran minimal. Berangkat dari penjelasan tersebut diatas, dimungkinkan untuk merumuskan sebuah sasaran makro sebagai berikut : “Sasaran yang integral, maksimal, memungkinkan, kontinyu yang mencakup seluruh lapisan masyarakat.



IBADAH KEPADA ALLAH TUJUAN PALING UTAMA Tidak diragukan lagi oleh seorang Da’i bahwa tujuan yang paling luhur dan mulia adalah apa yang telah ditetapkan Allah sebagai tujuan setiap manusia dan makhluk lainnya, yaitu tujuan ibadah, sebagaimana firman Allah :



ُُ)56(‫ُون‬ َ ‫اْل ْن‬ ِ ‫س ِإ ََّّل ِليَ ْعبُد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال ِج َّن َو‬ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. Adz-dzariyat : 56) Ummat Islam telah mengusung sasaran ini, untuk itu mereka mengembara di tengah gurun sahara dan mendatangi para penguasa tiran, sebagaiman yang dikatakan oleh Rib’i bin amir di hadapan Kaisar Persia :



‫ ومن ضيق‬،‫ ومن جور اْلديان إلى عدل اْلسَلم‬،‫جئنا لنخرج العباد من عباده العباد إلى عبادة هللا‬ .‫الدنيا إلى سعة الدنيا واآلخرة‬ “Kami datang untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama kepada penghambaan kepada Allah semata, dari penyimpangan agama-agama kepada keadilan Islam, dari sempitnya dunia menuju keluasan dunia-akhirat” IBADAH ADALAH TUJUAN INDIVIDU, JAMA,AH DAN DAULAH



Berkenaan dengan tujuan tersebut di atas maka tujuan Jama’ah muslimah, pribadi muslim dan daulah islamiyah adalah merealisasikan abadah kepada Allah. Tujuan khususnya bersifat, sektoral, lokal dan situasional, atau khusus dan terbatas. Aktifitas harian, pekanan, bulanan, tahunan, masing-masing memiliki tujuan yang khusus. Aktifitas di desa, kota, keluarga, lingkungan pekerja, pelajar dan wanita , masing-masing memiliki sasarannya yang khusus pula. Masing-masing dapat membentuk satu unit masyarakat yang dapat direalisasikan sesuia dengan sasaran khususnya. SARANA Dari sekian banyak saran ada yang bersifat langsung dan ada yang tidak langsung, setiap sasaran yang bersifat sektoral memerlukuan sarana khusus. Bila kita mengatakan bahwasanya ibadah dapat dilaksanakan oleh hamba yang kuat dan kokoh akalnya, jiwanya dan jasadnya. Maka sesungguhnya sarana-sarana yang khusus itu banyak terkait dengan sasaran-sasaran yang ada. Peluang dan informasi sangat mempengaruhi sarana yang digunakan. Berbagai sarana digunakan dengan bentuk dan gaya yang beraneka macam, gaya yang bagus akan memberikan potensi sarana yang lebih besar, memilih gaya pendekatan yang sesuai merupakan faktor besar penyebab keberhasilan aktifitas. Di antara gaya pendekatan adalah kelembutan dan ketegasan, berita gembira dan peringatan, banyak dan sedikit, rahsia dan terbuka, individu dan kolektif, historis dan karakter, logika dan perasaan, penderitaan dan cita-cita, pengambilan dan pemberian. PENGUMPULAN DATA : DASAR PERENCANAAN Ketika perencanaan menjadi sebuah gambaran aktifitas pada waktu dan tempat tertentu, juga dengan orang-orang tertentu, maka harus ada pengumpulan data lingkungan, baik ekonomi, sosial, politik, situasional, karakter dan pemikiran, juga harus mengetahui simpul-simpul kekuatan yang kuat dan yang lemah, disamping mengenali hambatan dan peluang. Dengan begitu dakwah akan terbangun di atas argumentasi yang jelas. Firman Allah :



َّ َ‫س ْب َحان‬ َّ ‫عو إِلَى‬ َ‫ّللاِ َو َما أَنَا ِمن‬ ُ ‫سبِي ِلي أ َ ْد‬ ُ ‫يرةٍ أَنَا َو َم ِن اتَّبَعَنِي َو‬ ِ َ‫علَى ب‬ َ ِ‫ّللا‬ َ ‫قُ ْل َه ِذ ِه‬ َ ‫ص‬ )108( َ‫ْال ُم ْش ِركِين‬ Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (QS. Yusuf : 108) WAKTU ADALAH UNSUR EFEKTIF DALAM PERENCANAAN



Waktu merupakan unsur efektif dalam perencanaan yang akan menetukan sejauh mana keberhasilan dan kegagalannya, perencanaan yang hanya membutuhkan waktu sehari tidak perlu memakan waktu satu bulan, atau bila waktu yang dibutuhkan satu bulan tidak boleh didesak penyelesaiannya dalam satu hari atau satu minggu. Evaluasi dan penilaian setelah masa jadwal perencenaan berakhir, akan membantu apakah satu program menjadi aplkatif atau tidak, sulit atau mudah, evaluasi dapat mempercepat pencapaian sasaran atau menundanya, dan memutuskan efektif dan tidak efektifnya sarana yang digunakan, juga mengungkap cocok dan tidak cocoknya gaya pendekatan. PENGAWASAN MELEKAT Evaluasi adalah pengawasan melekat, pendengaran yang sensitif dan tangan yang mengukuhkan. Perencanaan yang kuat (muluk) terkadang gagal tanpa eevaluasi, tapi perencanaan yang lemah (biasa-biasa saja)bisa berhasi dengan evaluasi yang kontinyu. Bila unsur-unsur tersebut tepenuhi maka akan terwujud perencenaan yang ilmiah dan mumpuni, kemudian diserahkan implementasinya kepada unsur-unsur SDM yang terlatih dan terorganisir. Untuk menyiapkan para pelaksana di lapangan, maka penting bagi Da’i di zaman sekarang ini membekali dirinya dengan wawasan dan ilmu pengetahuan yang banyak, seperti ilmu administrasi, ilmu komunikasi massa, ilmui bahasa dan sastra, Ilmu jiwa dan pendidikan dan lains sebagainya yang dapat membantu Da’i mengimplementasikan rencananya. Da’i yang sukses adalah yang sigap, respon dan mampu bermain dalam segala situsi dan kondisi. Sebelum dihadapkan oleh posisi-posisi yang menyulitkan, maka sesungguhnya Ia selalu menagntisipasinya dan menganalisanya sambil berupaya mencari jalan keluar.



KAIDAH KEDUABELAS : DAKWAH ADALAH POTRET JIHADMELIBATKAN PERTARUNGAN UNTUKMENCAPAI SASARAN DAN HASILNYA Penegertian Jihad hendaknya mengacu kepada pengertian yang dipahami oleh para sahabat dan Tabi’in, dan kepada apa yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah. Sebagian Da’i memaknai jihad dengan perang, tidak ada jihad kecuali dengan perang. Dampak pemahaman seperti itu menjadi fenomena di beberapa dunia Islam, di mana kaum muslimin menghedaki perang, meskipun belum tiba waktunya dan belum optimal persiapannya, mereka merasa sangat berdosa bila tidak melakukan peperangan. Pemahaman jihad seperti itu perlu diluruskan dengan kembali kepada pengerian jihad secara sya’i, karena mengembalikan makna jihad secara syar’i sangat penting untuk menghindari sikap ekstrem dan penyimpangan. Dalam kitab Allisan disebutkan bahwa jihad adalah :



‫ وهو المبالغة واستفراغ ما في الوسع والطاقة من قول أو فعل‬،‫محاربة اْلعداء‬ “Memerangi musuh dengan mengoptimalkan dan mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi dalam berkata dan bertindak”. Berangakat ri penjelasan umum tentang jihad dari sunnah Rasul, kami sertakan perkataan Ibnu Qayyim Al- Jauzy bahwa Rasulullah SAW berada di puncak jihad tertinggi, beliau menguasai seluruh aspek-aspeknya, dan berjuang d jalan Allah dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, dengan hati dan perasaan, dakwah dan penjelasan, pedang dan lisan. Kemudian beliau melanjutkan penjelasannya : “Allah memerintahkan Rasulnya berjihad ketika baru saja diutusnya”, sebagaimana firman Allah :



)52(‫يرا‬ ً ‫)فَ ََل ت ُ ِطعِ ْال َكافِ ِرينَ َو َجا ِه ْد ُه ْم ِب ِه ِج َهادًا َك ِب‬51(‫ِيرا‬ ً ‫َولَ ْو ِشئْنَا لَبَ َعثْنَا فِي ُك ِل قَ ْريَ ٍة نَذ‬ Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul).Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Qur'an dengan jihad yang besar.(QS. Al-Furqan : 51-52) Ayat tersebut di atas adalah ayat Makiyah, perintah berjihad pada ayat tersebut adalah dengan argumentasi (hujjah), penjelasan, dan menyampaikan ayat Al-Qur’an, begitu pula berjihad terhadap orang-orang Munafik terbatas pada penyampaian argumentasi, Allah berfirman :



ْ ُ‫ار َو ْال ُمنَافِقِينَ َوا ْغل‬ )73(‫ير‬ ُ ‫ص‬ ِ ‫س ْال َم‬ َ ‫ظ‬ َ َّ‫ي َجا ِه ِد ْال ُكف‬ َ ْ‫علَ ْي ِه ْم َو َمأ ْ َوا ُه ْم َج َهنَّ ُم َوبِئ‬ ُّ ِ‫يَاأَيُّ َها النَّب‬ Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya (QS. At-Taubah : 73, At-tahrim : 9) Jihad melawan orang-orang Munafik lebih sulit dari jihad terhadap orang-orang kafir, karena jihad kaum munafik adalah jihad khusus yang diwarisi oleh para Rasul, yang berkiprah mendakwahi orang munafik hanya segelintir orang di dunia ini. Dan mereka yang terlibat dan membantu dalam mendakwahkan kaum munafik, meskipun sedikit jumlahnya tetapi paling besar potensinya di sisi Allah, karena jihad yang afdol adalah mengatakan yang benar bersamaan dengan kerasnya penntangan, dan khawatir dengan sikapnya yang menyakitkan. Rasulullah SAW paling banyak mengalami hal ini dan paling sempurna jihadnya dalam hal ini. Berjihad kepada orang lain (kafir) adalah bagian (cabang) dari berjihad kepada diri sendiri.(Munafik). Rasulullah SAW bersabda :



"‫" المجاهد من جاهد نفسه في ذات هللا والمهاجر من هجر ما نهى هللا عنه‬: “Mujahid adalah orang yang berjihad melawan dirinya sendiri di jalan Allah dan Muhajir adalah yang menghindari apa yang dilarang oleh Allah SWT” Dengan demikian jihad melawan diri sendiri (Munafik) lebih diutamakan ketimbang berjihad kepada musuh di luar (kafir). SASARAN JIHAD Kesimpulannya adalah bahwa jihad itu mengerahkan segala potensi dan kemampuan untuk memerangi musuh internal dan eksternal, sasarannya bukanlah menghakimi musuh, tetapi menyelesaikan sebab-sebab permusuhan dan pertentangan. Kekeufuran adalah salah satu sebab permusuhan antara Mu’min dan Kafir, bila penyebabnya dapat diatasi dan si kafir masuk Islam, maka lenyaplah permusuhan, sbagaimana Nifak menjadi penyebab perselisihan antara Mu,min dan Munafik, bila penyakit nifaknya hilang meka dengan sendirinya permusuhan akan berhenti. Sikap berperang dalam Islam terdiri dari : 1. Membiarkan orang kafir memerangi Islam 2. Membayar jizyah dan membiarkannya di negeri Islam, seraya tunduk kepada buidaya dan aturn-aturannya. 3. Mereka diperangi dan dijatuhi hukuman atas kekufurannya DA’WAH ADALAH SARANA UTAMA UNTUK MERAIH PEMBELA



……………… bahwasanya dakwah didahulukan atas yang lainnya, Ia adalah sarana utama untuk merekrut penolong dan untuk mengalihkan orang kafir menjadi mu’min, dan sasarana dakwah tetap satu baik dengan lisam maupun tangan (kekuasaan). Pada dasarnya da’wah adalah membentuk masyarakat muslim dengan mengajak individuindividu untuk masuk ke dalam Islam, sehinga mereka komitmen dengan akidah dan syariah. Berdakwah kepada Allah dengan hikmah dan nasehat yang baik akan menambah jumlah pembela Islam setiap harinya, setiap kali seseorang menerima dakwah, maka gugurlah satu komponen jahiliyah, sebagaimana kejahiliyahan di kota Mekkah, setiap hari terdengar berita berpindahnya laki-laki dan wanita dari kemusyrikan menuju Iman dan dari tentara syaitan menjadi tentara Allah Yang Maha Rahman. YANG TELAH HILANG KARENA GAZWUL FIKRI KITA KEMBALIKAN LAGI MELALUI JALAN DAKWAH Sesungguhnya Gazwul Fikri yang telah menghancurkan negeri-negeru Muslim telah membuat sebagian besar anak negeri terpedaya dan berjatuhan anak negeri bergelimpangan dalam front pemikiran. Kerugian yang kita alami akibat perang pemikiran lebih banyak dari perang fisik, dan apa yang dapat kita kembalikan melalui jalan pemikiran (Nasyrul Fikrah) lebih banyak dari pada jalan peperangan fisik. Pada masa sekarang ini peperangan terjadi antara dua komunitas, kumunitas mu’min dan momunitas kafir, penyebabnya adalah karena orang-orang kafir menghalangi jalan dakwah. Sesungguhnya dakwah melalui dialog dan nasehat akan tetap berlangsung di tengah-tengah masyarakat, karena beberap individu mengasingkan diri dari masyarakat ini dan masyarakat lainnya. Sedangkan masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertikai, sesungguhnya dakwah diawali dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan diakhiri dengan pesan-pesan yang tenang dan menyenangkan. Ketika itu banyak Da’I yang lari dari masyarakatnya, lebih senang berada di balik gunung dan di kedalaman gua. Lari dari masyarkat dan mengisolasi diri adalah cara yang menunjukan sempitnya pemikiran dan tidak memahami skala prioritas dakwah, juga menunjukan keputus asaannya terhadap masyarakat, dan gagalnya Da’I dalm melakukan perbaikan. Musuhmusuh Islam menghendaki para Da,I menempuh jalur ini, pemikiran seperti ini lebih berbahaya dari musuh-musuh dakwah itu sendiri.



SIKAP NABI TERHADAP ISOLASI (UZLAH) Ketika Rasulullah dibolkade di perkampungan Abi Talib hingga maklumat bolkade musnah dimakan rayap, maka beliau dan para sahabatpun kembali ke masyarakatnya di kota Mekkah, mengahdapi mereka kemabali dengan hujjah, nasehat dan kalimat yang baik. Dengan demikian beliau menolak sikap isolasi, beliau tidak memnagnggap bahwa para sahabat yang daisingkan akibat blokade bukanlah kemerdekaan yang berkah bagi harakah Islam, karena Islam menetapkan dakwah melalui dua jalan :



Jalan pertama, dakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik, ketika ummat Islam minoritas di tengah- tengah masyarakat. Jalan kedua, Dakwah dengan segala sarananya termasuk peperangan pada saat umat Islam menjadi sebab-sebab perubahan kehidupan, baik dilihat dari aspek strategi, populasi dan ekonomi. PEMAHAMAN AHLI TAFSIR TERHADAP FIKRAH INI Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan firman Allah SWT :



َّ ‫ص ََلة َ َو َءاتُوا‬ ‫علَ ْي ِه ُم ْال ِقت َا ُل ِإذَا فَ ِريق ِم ْن ُه ْم‬ َّ ‫أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ قِي َل لَ ُه ْم ُكفُّوا أ َ ْي ِد َي ُك ْم َوأَقِي ُموا ال‬ َ ‫ب‬ َ ِ‫الز َكاة َ َفلَ َّما ُكت‬ َّ ‫اس َك َخ ْش َي ِة‬ )77( ً‫شدَّ َخ ْش َية‬ َ َ ‫ّللاِ أ َ ْو أ‬ َ َّ‫َي ْخش َْونَ الن‬ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. (QS. An-Nisa : 77) Orang-orang beriman pada awal keislaman mereka di kota Mekkah diperintahkan untuk menunaikan shalat dan zakat, mereka juga diperintahkan untuk menyantuni kaum fakir mereka, dan berlapang dada serta memaafkan orang-orang musyrik seraya terus bersabar menghadapi mereka. Mereka adalah orang-orang yang mudah terbakar semangatnya, mereka sangat menginginkan seandainya mereka diperintahkan untuk berperang mereka akan terbebas dari musuh-musuh mereka. Tetapi waktu itu tidak mememungkinkan untuk memerangi mereka, karena jumlah umat Islam masih sedikit, sementara jumlah orang kafir masih dominan, dan juga karena keberadaan mereka di tanah haram. ANALISIS Ibnu Katsir menghindari penggunaan kekuatan ketika jumlah personil masih sedikit, yang diasumsikan tidak akan mengalahkan musuh. Hal ini bertentangan dengan pemahaman yang keliru, bahwa jumlah personil dan logistik tidak menjadi patokan yang mutlak, seratus orang yang sabar akan mengalahkan seribu orang, sebagimana dijelaskan dalam Al-Qur’an :



‫صا ِب ُرونَ َي ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن َوإِ ْن َي ُك ْن ِم ْن ُك ْم‬ ِ ‫ي َح ِر‬ َ َ‫ض ْال ُمؤْ ِمنِين‬ َ َ‫علَى ْال ِقت َا ِل ِإ ْن َي ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِع ْش ُرون‬ ُّ ِ‫َياأَيُّ َها النَّب‬ َّ ‫ف‬ ‫ض ْعفًا فَإ ِ ْن‬ َ ‫ع ِل َم أ َ َّن فِي ُك ْم‬ َ ‫ع ْن ُك ْم َو‬ َ ُ‫ّللا‬ َ َّ‫) ْاآلنَ َخف‬65( َ‫ِمائ َة يَ ْغ ِلبُوا أ َ ْلفًا ِمنَ الَّذِينَ َكفَ ُروا بِأَنَّ ُه ْم قَ ْوم ََّل يَ ْفقَ ُهون‬ َّ ‫ّللاِ َو‬ َّ ‫صابِ َرة يَ ْغ ِلبُوا ِمائَتَي ِْن َوإِ ْن يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم أ َ ْلف يَ ْغ ِلبُوا أ َ ْلفَي ِْن بِإ ِ ْذ ِن‬ )66( َ‫صابِ ِرين‬ َّ ‫ّللاُ َم َع ال‬ َ ‫يَ ُك ْن ِم ْن ُك ْم ِمائ َة‬ Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu'min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang



musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Anfal : 65 -66) Ibnu katsir berkata : “Dari Ibnu Abbas RA, tatkala turun ayat ‫إن يكن منكم عشرون صابرون‬ ‫يغلبوا مائتين‬, ini berlaku untuk umat islam terdahulu, di mana Allah mewajibkan mereka untuk tidak meninggalkan barisan, kemudian mereka diringankan dari hal itu dengan ayat ‫اآلن خفف هللا عنكم‬. Ibnu katsir berkata : “Allah meringankan mereka dalam hal personil dan logistik, dan mengurangi standar kesabaran sesuai dengan kadar yang dapat meringankan mereka. Imam Bukhary meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA : “Ketika turun ayat ini umat Islam merasa berat, duapiluh orang harus menghadapi seratus musuh, seratus menghadapi seribu, maka dari itu Allah meringankan mereka dengan menasakh ayat tersebut dengan ayat lain. Karenanya jika umat Islam jumlahnya separuh dari musuhnya mereka tidak akan lari dari mengahdapi para musuh, tetapi bila kurang dari itu tidak wajib bagi umat Islam memerangi musuhnya, sehingga boleh menghindari konatk fisik dengan mereka untuk sementara waktu”. Imam Ar-Razy berkata : “Yang dibebankan berperang sesuai dengan ketetapan hukum padaa ayat tersebut adalah setiap Muslim yang balig dan mukallaf, Ia harus menghadapiorang-orang musyrik, sehingga menyerah menjadi haram selama senjata masih disandang, bila tidak ada senjata maka dia boleh Ada perbedaan besar antara keinginan dalam mencantumkan sikap-sikap kepahlawanan, keinginan dalam merealisasikan sasaran, mengantarkan umat Islam ke sisi keselamatan, dan mengeluarkan mereka dari penderitaan. Adapun mengenai analisa Ibnu Katsir bahwa para sahabat Nabi ketika di Mekkah tidak mengangkat senjata karena mereka berada di tanah haram, adalah bukti kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam menganalisa. Bila mereka menggunakan bahasa kekuatan maka yang akan mengalami dampak kehancuran adalah negerinya sendiri. Seorang muslim dikenal dengan kebaikan dan sikap memperbaiki, menumbuhkan, membersihkan dan menyambung tali kasih sayang, meskipun para musuh memutuskan hubungan dengannya dan menyakitinya. Surat Al-Fath menegaskan hal tersebut bahwa keberadaan sebagian orang Mu’min yang menyembunyikan keimanannya di tengah masyarakat Mekkah adalah salah satu sebab tidak diperintahkannya berperang, sebagaimana firman Allah :



َ َ ‫ساء ُمؤْ ِمنَات لَ ْم ت َ ْعلَ ُمو ُه ْم أ َ ْن ت‬ َّ ‫صيبَ ُك ْم ِم ْن ُه ْم َمعَ َّرة بِغَي ِْر ِع ْل ٍم ِليُد ِْخ َل‬ ُ‫ّللا‬ ِ ُ ‫طئُو ُه ْم فَت‬ َ ِ‫َولَ ْو ََّل ِر َجال ُمؤْ ِمنُونَ َون‬ )25(‫عذَابًا أ َ ِلي ًما‬ َ ‫فِي َرحْ َمتِ ِه َم ْن يَشَا ُء لَ ْو ت َزَ يَّلُوا لَعَذَّ ْبنَا الَّذِينَ َكفَ ُروا ِم ْن ُه ْم‬ . Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mu'min dan perempuan-perempuan yang mu'min yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.(QS. Al-Fath : 25) Imam Qurtuby berkata dalam tafsirnya : “yang dimaksud adalah orang-orang Mu’min yang lemah yang berada di tengah-tengah orang kafir di kota Mekkah, mereka masih menyembunyikan keimanannya, sehingga jika kalian memerangi orang-orang kafir, khawatir orang-orang Mu’min yang lemah tersebut dan masih menyembunyiak keimanannya ikut terkena sasaran. Lalu orang-orang Musyrik akan berkomentar : “Mereka telah memerangi sesama ummatnya sendiri”, kalau saja orang-orang Mu’min tidak berada di tengah-tengah orang-orang kafir pastilah mereka telah dimusnahkan, tetapi Allah menahan orang-orang beriman dari orang-orang kafir. Dalam hal ini Ibnu Katsir juga berkata : “Seandainya di antara orang-orang kafir terdapat orang-orang yang masih menyembunyikan keimanannya dan menyamar di tengah-tengah mereka, pastilah kami (Allah) akan menjadikan kalian (Umat Islam) berkuas atas mereka dan memerangi mereka, tetapi diantara mereka terdapat laki-laki dan wanita beriman yang kalian tidak ketahui pada saat terjadinya peperangan”.



Kesimpulannya adalah tidak mengapa berdakwah dengan hikmah dan nasehat yang baik pada saat orang shaleh dan umat Islam masih bercampur baur dengan yang lainnya, karena penggunaan bahsa kekuatan dalam keadaan seprti itu akan menimbulkan dampak negatif bagi da’wah dan para da’inya, hal ini disebabkan oleh : -



-



Penetangan berbagai kelompok masarakat terhadap berbagai bentuk kekerasan dan teror, dan semakin banyak orang yang berlepas diri dari dakwah. Da’wan dengan cara hikmah dan nasehat yang baik akan terhapus, tidak ada lagi sarana untuk saling memahami kecuali bahasa kekuatan. Para Da’i meninggalkan tempat-tempat dakwah potensial beralih ke gua, lorong dan tempat-tempat terpencil. Akan semakin asing pemikiran-pemikiran yang melazimkan pendidikan masyarakat dan pengarahannya. Islam dihadapkan oleh jargon dan slogan perlawanan dan anggapan para tokohnya bahwa mereka tidak paham kecuali bahasa kekuatan dan kekerasan.



-



Merugikan dakwah, karena para da’i yang telah tiada sulit untuk dicari gantinya. Mencegah banyak orang yang akan bergabung dengan dakwah, karena mereka memahami bahwa dakwah tidak memiliki sasaran yang jauh dan mendalam untuk mengarahkan masarakat dapat menerima Islam. Tetapi yang ada seolah-olah bahwa yang diinginkan oleh seorang Muslim hanyalah mati di jalan Allah, Ia tidak memiliki garis program yang jelas dan tegas dalam mengambil sikap terhadap berbagai fitnah yang menimpa anak-anak, kerabat dan tetangganya. Ketika seorang Muslim tidak meletakan dalam perhitungannya perbandingan kekuatan dengan kekuatan musuh-musuhnya, maka Ia akan mengupayakan perjuangannya untuk Islam dengan cara bunuh diri, meskipun hali itu di jalan Allah!!.



CATATAN : Ada pencampuradukan antara tabiat jamaah dan tabiat masyarakat, orang-orang ada yang meminta kepada jamaah sebgaiman yang mereka tuntut dari masyarakat, mereka lakukan itu karena mereka menganggap bahwa jamaah identik dengan masyarakat. Yang benar adalah bahwa jamaah itu kumpulan individu-individu yang salang bertema di atas fikrah dan loyalitas tertentu, serta garis kebijakan (khittah) tertentu, dan mereka memliki struktur dan kepemimpinan. Merekanmnyebar di tengah-tengah kelompok masyarakat, dengan jumlah yang tidak mayoritas, juga tidak memliki kekuatan yang efektif dalam menyiapkan sebuah tatanan masyarkat berikut institusinya. Gambaran umat Islam di kota Mekkah sebelum hijrah adalah contoh dari keberadaan sebuah jamaah. Sedangkan masyarakat adalah komunitas manusia yang terikat kepada aturan dan tunduk kepada penguasa, komunitas ini telah memiliki lembaga dan wadahnya yang eksisitensinya tidak dapat ditentang oleh siapapun, komunitas ini bekerja sesuai denga nilai-nilai yang telah disepakati bersama. Masyarakat di kota Madinah setelah Hijrah adalah contoh kongkrit dari salah satu bentuk masyarakat. KESIMPULAN : Jadi jelasnya seyogyanya kita membedakan antara satu bentuk masyarakat yang dihadapi dengan bentuk masyarakat lainnya, karena masyarakat adalah satu komponen yang sempurna dan wadah yang telah efektif dan dinamis, tidak dapat dihentikan oleh kontribusi dan perkembangan. Di tengah-tengah masyarakat terdapat lembaga-lembaga pendidikan yang sedang berjalan, dan lembaga-lembaga ekonomi yang tengah berproduksi., serta program-program tarbiyah yang sedang berjalan. Sementara Pada saat jamaah berada dalam kancah peperangan, program pendidikan, ekonomi, aktifitasnya dan seluruh sarana-sarananya akan berhenti beroperasi, yang pada akhirnya keberadaannya akan dieliminasi dan disingkirkan, di sisi lain individu masyarakat tidak merasakan kerugian apa-apa.



NABI : ANTAR JAMAAH DAN MASYARAKAT Komitmen dengan prinsip tersebut di atas, Rasulullah tidak setuju ketika sebagian sahabat Anshar pada saat perjanjian Aqabah meminta izin untuk menyerang orangorang Mina. Mereka bersikap seperti itu setelah mereka menyatakan bai’at untuk memerangi baik orang kulit merah atau kulit hitam. Menanggapi permintaan mereka Rasulullah hanya berkata :”‫” لم نؤمر بذلك‬kita belum diperintahkan untuk itu”. Setelah itu merekapun pulang dan kembali ke Madinah. Kalau sasaran dakwah hanya pelampiasan balas dendam kepada tokoh-tokoh Musyrik, Rasulullah pasti langsung memerintahkan para pengikutnya untuk memerangi mereka, atau bila hanya ingin mengantarkan umat Islam ke tingkatan syahid, pasti mereka akan langsung bangkit berperang setelah bai’at. Sikap seperti itu adalah tindakan yang tidak sejalan dengan sasaran dan kemaslahatan yang dilindungi oleh agama. Begitulah keadaan di kota Madinah, karena penduduk Madinah tidak masuk Islam seluruhnya dalam waktu yang bersamaan, tetapi masih tersisa beberapa kelompok orang Munafik yang selalu berbuat onar dan melakukan konspirasi terhadap umat Islam. Rasulullah SAW menggantikan perang fisik dengan perang dakwah (propaganda), diskursus dan debat kondusif. Mengambil pertimbangan dalam menghadapi desakan realitas : Tidak diragukan lagi, bahwasanya realitas kaum muslimin memiliki pengaruh yang besar terhadap pemikiran dan rutinitas mereka, terkadang realitas tersebut menekan sampai ke tingkat di mana seorang Muslim kehilangan kemampuannya dalam mempersepsi manhaj yang digariskan. Lalu ia bertanya-tanya : “Sampai kapan kita berada di bawah himpitan penderitaan?”, “Apakah tidak ada lagi dalam keadaan seperti ini, kecuali hanya sabar dan terus bersabar!” Ketika itulah kaum militan akan menyambut pertanyaan tersebut di ats dengan sikap frontal dan pelampiasan dendam, walupun dengan mengatasnamakan dakwah. Al-Qur’an mengingatkan kita pemikiran yang menipu dan menjelaskan bahwa kebanyakan orang yang terlampau semangat dan emosional adalah mereka yang ditimpa oleh gejolak tekad yang tidak pada tempatnya. Dari sisnilah arti sebuah keberanian pada fase dakwah di kota Mekkah adalah dengan menahan tanga dan meredam gejolak jiwa, hal ini bukan berarti takut atau pengecut. Keberanian pada fase dakwah di Madinah adalah peperangan dan melawan musuh. Siapa saja yang tidak pandai mengelola keberaniannya di kota Mekkah dengan menahan tangannya dan meredanm emosinya, maka Ia akan bimbang dan melemah tekadnya ketika diminta menghadapi orang-orang kafir di medan pertempuran. Bertahan di atas penderitaan dan luka bersmaan dengan ajakan pelampiasan dendam adalah nilai keberanian. Sesungguhnya jiwa yang diarahkan untuk membenci kedzhaliman dan mencintai dendam dan mengarahkannya untuk bersabar demi menjaga kemaslahatan jama,ah yang baru tumbuh, memerlukan kesungguhandan kesabaran. Nilai jihad adalh kemenangan dalam menguasai diri bukan memenangkan diri sendiri :



َّ ‫ص ََلة َ َو َءاتُوا‬ ‫علَ ْي ِه ُم ْال ِقت َا ُل ِإذَا فَ ِريق ِم ْن ُه ْم‬ َّ ‫أَلَ ْم ت ََر ِإلَى الَّذِينَ قِي َل لَ ُه ْم ُكفُّوا أ َ ْي ِد َي ُك ْم َوأَقِي ُموا ال‬ َ ‫ب‬ َ ِ‫الز َكاة َ َفلَ َّما ُكت‬ َّ ‫اس َك َخ ْش َي ِة‬ ‫ب قُ ْل‬ َ َ ‫ّللاِ أ َ ْو أ‬ ٍ ‫علَ ْينَا ْال ِقت َا َل لَ ْو ََّل أ َ َّخ ْرتَنَا ِإلَى أ َ َج ٍل قَ ِري‬ َ َ‫شدَّ َخ ْش َيةً َوقَالُوا َربَّنَا ِل َم َكتَبْت‬ َ َّ‫َي ْخش َْونَ الن‬ ْ ُ ‫ع الدُّ ْنيَا قَ ِليل َو ْاآل ِخ َرة ُ َخيْر ِل َم ِن اتَّقَى َو ََّل ت‬ ً ِ‫ظلَ ُمونَ فَت‬ )77(‫يَل‬ ُ ‫َمت َا‬ Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: "Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!" Setelah diwajibkan kepada mereka berperang, tiba-tiba sebahagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih sangat dari itu takutnya. Mereka berkata: "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS. An-Nisa : 77) Sayyid Qutub Rahimahullah berkata : “ Allah SWT heran dengan sikap orang-orang yang saling mendorong kepada semnagt berperang dan bersikap emosional di kota mekkah, di mana mereka mendapat penderitaan, tekanan dan fitnah dari orang-orang Musyrik. Padahal Allah belum mengizinkan mereka untuk berperang dengan segala hikmah yang dikehendaki oleh Allah SWT. Tetapi ketika sampai pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT, diwajibkan atas mereka berperang dan situasinya kondusif untuk itu, namun sebagian mereka sangat ngeri dan takut” Beliau juga berkata : “Sesungguhnya orang yang paling bersemangat, paling miltan dan emosional, biasanya menjadi orang yang paling lemah dan penakut ketika Ia menghadapi kesulitan dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Bahkan hal ini terkadang telah menjadi kaidah, karena semangat dan militansi yang berlebihan biasanya muncul dari kurangnya perhitungan terhadap realitas beban yang dipikul, bukan dari keberanian dan ketegarannya menerima resiko. Ketegaran yang kurang dalam memnghadapi situasi yang sulit dan penuh penderitaan akan mempengaruhi berkurangnya pembelaan dan etos perjuangan dan pemenangan dengan segala bentuknya. Karena itu ketika mereka menghadapi beban yang sesungguhnya yang lebih berat dari yang mereka perkirakan dan lebih sulit dari yang mereka bayangkan, maka merekapun menjadi barisan pertama yang mundur teratur karena takut dan ngeri. Pada saat yang sama mereka yang teguh pendirian dan siap menanggung penderitaan tetap konsisiten dan istiqomah dan mempersiapkan segala sesuatunya bila diperlukan. KEWAJIBAN PARA MUWAJJIH DAN MUFAKKIR Terkadang gelombang militansi yang belebihan ikut mempengaruhi barisan para murabby, muwajjih dan pemikir, sehingga mereka kehilangan kendali dan kontrol kepemimpinan. Ini adalah keberlangsunagn yang sanagat berbahahaya, sebagaiman berbahayanya keberlangsungan ahli maksiat dalam kemaksiatannya, maka



keberlangsungan orang-orang yang emosional dan keluar dari garis dakwah yang kondusif adalah lebih berbahaya lagi. Para Muwajjih yang telah diberikan bashirah dan makrifah oleh Allah SWT, tetapi mereka terpengaruh oleh emisionalitas pengikutnya adalah muwajjih yang lemah dan tak berdaya, dan mereka yang paling bertanggung jawab terhadap dampak emosionalitas ketimbang para pengikutnya. SOLUSI YANG BENAR Sesungguhnya tekanan realitas semestinya tidak menggiring pada solusi yang salah, meskipun untuk sampai pada solusi yang benar harus menunggu waktu yang cukup lama, Ini yang benar, waktu yang panjang tidak akan menghilangkan makna dan nilai sebuah kebenaran, sedangkan waktu yang singkat tidak akan menjernihkan kesalahan. Sesungguhnya solusi yang benar adalah dakwah dengan penuh ketabahan dan kesabaran dalam menempuh perjalanan yang jauh, berinteraksi di tengah masyarakat dan mencari faktor-faktor kekuatan dari setiap masyarakat dan mengerahkan kemampuan yang realitasnya lebih banyak untuk menerima dakwah, yaitu kesungguhan yang tak kenal jenuh dan lelah, ketika itu fondasi yang kokoh akan berdiri, yang dimulai darinya solusi yang komprehensif. Sebelum itu, hingga umat Islam sampai kepada tahapan itu , sesungguhnya akan membayar harga yang mahal bagi sebuah pengorbanan dan darah, tetapi akan mendapatkan dengan pertolongan Allah buah kesungguhan mereka, selain jalan ini mereka juga akan membayar harga yang berlipat ganda bersamaan dengan jauhnya sasaran. Ketika masyarakat menerima bahwa Islam adalah aturan dan syariat, hal itu dilihat dari fokus kekuatannya bila masyaraktnya adalah masyrakat yang Islami, pada saat itulah terbentuk basisi kekuatan yan mampu memikul beban perang, dan pada saat itu masyarakat mampu mengoptimalkan seluruh potensinya



KAIDAH KETIGABELAS : DAKWAH ADALAH BARANG BERHARGA YANG TIDAK DIJUAL DENGAN HARGA DUNIAWI, UPAH DUNIAWI MERUSAK KEPRIBADIAN DAN TIDAK MEMBAWA MASLAHAT BAGI DAKWAH. Seorang Da’i bekerja sesuai dengan tuntutan yang dibebankan Allah SWT, tugas dakwah bukan jenis tugas duniawi, bahkan lebih berat dan lebih sulit. Tidak ada satu tugas yang membawa resiko kehancuran dan kesengsaraan selain dari tugas dakwah, kehancuran jiwa dan harta, meninggalkan keluargam anak dan kampang halaman. Tugas dakwah yang membutuhkan kesungguhan ini tidak dapat dismakan nilainya dengan dunia dengan segala isinya. Setiap Nabi telah meneguhkan prinsip-prinsip tersebut di atas, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an :



  : "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)."



Rasulullah SAW diperintahkan untuk komitmen dengan prinsip ini, ketika penduduk Mekkah menolak untuk beriman maka turunlah ayat yang mempertanyakan sebabsebab penolakan mereka, sebagaimana firman Allah :



  40. Ataukah kamu meminta upah kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan hutang?



Ayat ini mengisyaratkan bahwa pemburu dunia tidak akan bekerja bila tidak ada bayaran duniawinya, sebagaimana kisah tukang sihir fir’aun ketika hendak bertanding dengan Nabi Musa, mereka berkata kepada Fir’aun :



  "Apakah kami sungguh-sungguh mendapat upah yang besar jika kami adalah orang-orang yang menang?"



, maka Fir’aunpun meyakinkan mereka seraya berkata :



 



42. Fir'aun menjawab: "Ya, kalau demikian, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan menjadi orang yang didekatkan (kepadaku)".



akan tetapi ketika sihir mereka dikalahkan oleh nabi Musa lalu mereka beriman, mereka bukan hanya tidak menghiraukan upah duniawi, tetapi lebih dari itu merka berkata kepada Fir’aun :



   Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu Hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia Ini saja.



Ada beberapa macam bayaran yang harus dihindari oleh seorang Da’I, sedangkan bayaran yang dimaksud tidak hanya bersifat materi, tetapi menyangkut seluruh manfaat yang disebabkan oleh dakwah, karena itu seyogyanya seorang Da’I tidak menunggu ucapan terimakasih dari manusia. Penegasan tidak meminta bayaran mengandung beberapa faedah dan hikmah berikut : Pertama : Umat atau objek dakwah akan berasumsi bahwa aktifnya seorang Da’i dalam dakwahnya tidak lebih dari usaha mengais rejeki dan pendapatan, adakalanya seorang Da’i ingin memalingkan wajah umat kepadanya agar dia dapat mengambil manfaat dari dakwahnya, apalagi kebanyakan para Da’i adalah Fuqara sebagaiman para Nabi shalawaatulaahi alaihim. Imam ar-Razy berkata dalam menafsirkan firman Allah :



  29. Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, Aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. upahku hanyalah dari Allah



dalam ayat ini seakan-akan Nabi berkata kepada kaumnya : “sesungguhnya kalian bila melihat segala perkara secara zahir maka kalian menngaanggapku orang yang fakir, dan menyangkaku bahwasanya aku sibuk dengan dakwah ini hanya ingin mengambil harta kalian, prasangka kalian seperti itu tidak benar, karena aku tidak meminta kepada kalaian bayaran dalam menyampaikan risalah ini. Kedua : Kebiasaan masyarakat melakuakan transaksi uang dengan dukun dan paranormal yang mengaitkan agama dengan kesenangan dunia, hal ini menunjukan bahwa dakwah itu bersih, berbeda dengan praktek perdukunan, karena itu tidak sepatutnya seorang da’I mengharapkan bayaran duniawi dari dakwahnya. Ketiga : Setiap pekerjaan dengan bayaran terkadang tidak lepas dari cacat dan kekurangan, karena dikerjakan sesuai dengan bayaran, sedangkan agama Allah lebih mulia dari hanya sekedar ikatan kesenangan dunia dan segala hal yang terkait dengannya, dari sisnilah amal dakwah itu terkait dengan keihlasan.



Keempat : Pekerjaan dengan bayaran berpengaruh pada pihak yang membayar, dan intervensinya terhadap pekerjaan, pekerjaan dakwah dapat dirubah dan diganti topic dan sasarannya di bawah tekanan bayaran duniawi. Sedangkan para Nabi yang mulia dan para Da’I yang saleh , mereka konsisten di atas rambu-rambu dakwah dan menggagalkan siapapun yang ingin merubah dan mengganti substasi dakwhnya. Kelima : Bila manusia telah mengetahui bahwa para Da’I tidak bersentuhan dengan manfaat duniawi, maka sesungguhnya mereka senantias menegaskan kredibilitas dakwahnya dan selalu kuat daya tariknya terhadap dakwah, karena itulah mengapa dakwah Rasul Allah memiliki pengaruh yang kuat dan kesan yang mendalam di hati para pengikutnya. Imam hasan Al-Bashry berkata :



‫ فإذا فعلت ذلك استخفوا بك وكرهوا حديثك‬، ‫َّل تزال كريما ً على الناس ما لم تعاط ما في أيديهم‬ ‫وأبغضوك‬ “Engkau tetap mulia di hadapan banyak orang sepenjang tidak menerima pemberian dari tangan mereka, jika engkau melakuakn hal itu maka mereka akan meremehkanmu, tidak menyukai pembicaraanmu dan memebencimu” Adalah sebuah keahrusan seorang da’i merasa cukup dari pemberian orang lain dengan memiliki usaha perdagangan, perkebunan, pertanian, pekerjaan dan skill keterampilan lainnya. Imam Ayyub as-sukhtiany berkata kepada rekan-rekannya : “biasakanlah kalian mencari rejeki ke pasar, agar kalian dapat mencukupi kebutuhan kalian”. Para sahabat Nabi dan Salafussalih telah dikenal sebagai orang-orang yang sukup dari pemberian orang lain, karena mereka memliki usaha dan bersifat qanaah. Meskipun begitu seyogyanya seorang Da’I tidak over dalam usaha dan bisnisnya agar umurnya tidak dihabiskan hanya untuk mengumpulkan harta. Terkadang seorang Da’I mendapatkan sambutan dan penerimaan pubilk, lalu mereka m,enganggap kecintaan public terhadapnya yang ditandai dengan pemberian, hubungan, penghidmatan dan undangan-undangan, pengertian penerimaan seperti itu semakin membuat sang Da’I jatuh dan hina di mata public. Da’I yang benar adalah yang memberi bukan mengambil, mereka adalah pemilik tangan di atas dan jiwa yang besar, inilah kepribadian seorang muslim yang dapat membentuk ketsiqahan. Imam Mawardy berkata : “Integritas kepribadian adalah perhiasan jiwa dan keindahan intuisi, yang tampak pada sikap menjaga kehormatan dan memlihara kebersihan hati, menjauhi perbuatan yang haram dan dosa, dan menjauhkan diri dari ambisi pribadi dan sikapsikap yang meragukan serta menggampangkan meminta bantuan kepada orang lain. Imam Mawardy berkata : “orang yang merasa butuh kepada orang lain adalah kehinaan yang mandiri” Akan tetapi tugas-tugas yang mengikat seorang Da’I, seperti mengajar, menjadi imam, ceramah (khutbah), yang menyebabkan dirinya tidak dapat mengembangkan skill, keterampilam dan mata pencaharian lain, maka hal itu dibolehkan oleh syari’at. Juga



termasuk tugas-tugas kepemimpinan umum dan wilayah peradilan serta tugas-tugas sejenis yang membuat seorang da’I menjadi terikat dengannya.



KAIDAH KEEMPAT BELAS : MENGENAL MAD’U FAKTOR YANG SANGAT MENDASAR DAN MENENTUKAN DALAM KEBERHASILAN REKRUTMEN Dakwah bukanlah seperti yang diasumsikan sebagian da’i, hanya sekedar menyampaikan alasan dan argumentasi di setiap tempat dan waktu dan kepada setiap orang, bagaimanapun kondisinya orang tersebut, tidak ada perbedaan perlakuan terhadap objek dakwah, apakah orang tersebut sedang berada dalam keadaan sedih, gembira, sakit, sibuk dan sebagainya. Seakan-akan target dakwah hanya melemparkan benih dan menyemai bibit, masalah orang tersebut mendapat taufik atau tidak sepenuhnya di tangan Allah SWT. Meskipun aktifitas deperti itu juga dapat disebut sebagai dakwah, tetapi dakwah seperti itu dibangun di atas ketidakjelasan konsep dan pengetahuan (‫ )دعوة على غير بصيرة‬, padahal seorang da’I dituntut untuk berdakwah dengan konsep dan pengetahuan yang jelas, sebagaimana firman Allah SWT :



     108. Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".



Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “ayat ini menunjukan bahwa para Da’I sebaiknya dapat memenuhi sarat kejelasan konsep dan pengetahuan dari apa yang diucapkannya, berlandaskan petunjuk dan keyakinan”. Kejelasan konsep dan pengetahuan ini terefleksi dalam beberapa indikasi, di antaranya berupa prilaku, pola interaksi, dan celah-celah rekrutmen akan muncul setelah mengenal mad’u lebih dekat serta mengetahui keadaan mereka, baik dari sisi social, ekonomi, pemikiran dan kejiawaan, karenanya dapat dipastikan betapa sulitnya berinteraksi dengan orang yang masih belum dikenal dengan baik, sebaiknya berinteraksi dengan orang yang telah dikenal dengan baik justru membangkitkan semangat dan kesungguhan dalam mendakwahinya. Pertama kali seyogyanya seorang da’I mengenali nama-nama mad’unya, panggilan dan julukannya, dan memanggilnya dengan nama yang paling disukainya, dan menghindari panggilan yang menyninggung perasaannya. Da’I yang sukses selalu beruaha mengingat nama-nama mad’unya, seorang mad’u merasa diperhatikan dan dihargai bila disebut namanya.



Sesunguhnya mengenal apayang disukai mad’au dan apa yang tidak disukainya, akan membuat seorang da’I dapat memahami dengan baik bahasa yang disukai mad’unya, sebagaimana Rasulullah tahu kalau Abu Sufyan suka bila namanya disanjung, maka pada saat fathu Mekkah beliau berkata : "‫ "من دخل دار أبي سفيان فهو آمن‬, “Siapa yang masuk ke rumah Abu Sufyan, maka Ia aman”, hal itu dilakukan oleh Rasulullah SAW mengingat Abu Sufyan adalah seorang Pemimpin kota Mekkah yang hendak merobohkan bangunan kemusyrikan dan menggantikannya dengan bangunan Islam. Pada saat perjanjian Hudaibiyah Rasulullah SAW`memerintahkan agar hewan-hewan kurban yang akan disembelih diperlihatkan di hadapan Al-Hullais bin al-Qamah Pemimpin tentara bayaran yang diutus oleh orang-orang Quraisy untuk menemui Rasulullah SAW. Sebelumnya Rasulullah SAW berkata kepada kaum Muslimin : “Sesungguhnya orang ini (Al-hullais) berasal dari kaum yang taat beribadah kepada Tuhannya, Karen itu giringlah hewanhewan kurban itu ke hadapannya agar ia melihatnya”. Tatkala ial melihat dari kejauhan hewan-hewan yang digirng dengan kalung-kalung yang melengkar di leher, sebagai tanda bahwa hewan-hewab tersebut adalah hewan kurban, maka meskipun Ia tidak bertemu dengan Rasulullah SAW Ia langsung kembali ke kalangan Quraisy seraya menceritakan kepada mereka kebanggaannya terhadap apa yang telah dilihatnya, tetapi mereka justru menghardikya seraya berkata : “duduk kau, engkau hanya arab badui yang tidak tahu apa-apa”. Al-hullais pun marah dan balik berkata : “Hai orang-orang Quraisy, bukan untuk ini aku mau bekerja sama dengan kalian, apakah akan dihalangi dari rumah Allah orang yang mau datang untuk mengagungkannya?”. Kedua peristiwa tersebut di atas dan yang sejenisnya banyak termuat dalam sirah nabawiyah, hal ini menjadi bukti tentang kejelasan konsep dan pengetahuan dalam berdakwah, sehingga seorang da’I dapat mersaih hati seseorang sekaligus memanfaatkan potensi dan semangatnya. Seorang da’I yang sukses senantias mengenali keadaan mad’u dan umatnya, tidak luput darinya berbagai persoalan yang terkait dengan pemikiran, social dan kejiawaannya, mengenali dengan baik apakah mad’unya sedang dalam keadaan sibuk atau senggang, pengenalan ini akan datang dengan sendirinya dari celah-celah adaptasi dan interaksi social, karena itu seorang da’I tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang memungkinkan untuk dapat mengenal mad’u lebih dekat dengan cara yang membuat mereka tidak meras sedang dipantau atau diawasi. Salah satu sisi penting pengenalan terhadap mad’u adalah sisi ekonomi, bila kondisi ekonominya memprihatinkan, maka skala prioritas sang da’I adalah membantu memecahkan problematika ekonominya, bila kondisinya sedang sakit, maka kewajibannya adalah bagaimana dapat membesarkan hatinya dan menganjurkannya berobat ke dokter Muslim. Apabila terjadi perselisihan dengan kerabatnya, tetangganya, dan isterinya, maka perbaikan dan menyatukan yang berselisih merupakan perhatian seorang Da’I, apabila seseorang minta saran dan nasehat dalam urusan agama dan dunia, maka seorang Da’I



sebisa mungkin selalu siap hadir untuk memberikan saran dan nasehat, dan apabila seorang Da’I tidak mampu melakukan hal itu maka Ia akan sulit mendapatkan pertolongan dari saudaranya dalam mengatasi kelemahan dan kesulitan yang dihadapi. Kehadiran seorang Da’I pada kesempatan pesta, rekreasi, atau hari raya akan membuka banyak lahan dakwah, dan memberikan kesempatan alamiah untuk malakukan komunikasi public seraya meraih simpati mereka. Berapa banyak dari pertanyaan kepada seorang Bapak yang hadir tentang anaknya yang sakit akan membuka pintu hatinya dan meresponnya serta mengulurkan kedua belah tangannya (reaksi simpatik), juga berapa banyak ucapan selamat kepada seseorang yang baru saja dikaruniai anak atau keberuntungan lainnya menjadi sebab beralihnya pandangan dan berubahnya pernyataan dan penialaian kepada sang Da’i . Seorang Da’I yang memiliki konsep dan pengetahuan tentang banyaknya sarana dan media komunikasi, semakin membantunya untuk mengambil hati dan memperbanyak dukungan (kader dan simpatisan).



KAIDAH KELIMABELAS : KEKINIAN DAN MENGENAL SITUASI UMUM MENJADI SALAH SATU FAKTOR KESUKSESAN DAKWAH Setiap zaman berlalu dan kehidupan semakin meluas dan mengikat, maka seorang Da’I sangat membutuhkan wawasan dan pengetahuan tambahan, karena itu menjadi hal yang penting seorang da’I memahami situasi umum : social, ekonomi, demografi dan politik. Seorang da’I yang luas pandangannya adalah yang paling kuat pengaruhnya untuk meraih peran kepemimpinan di masyarakat, karena masyarakat kontemporer membutuhkan seorang Da’I yang berwawasan luas dan berpengetahuan baik skala regional (mahally) maupun mondial (alamy). Memahami situasi umum akan membantu seorang Da’I mengambil manfaat dari peluang situasi yang ada, baik secara regional maupun mondial, itulah sebabnya mengapa Rasulullah melirik negeri-negeri pada zamannya, sehingga beliau mendapatkan jaminan kemanan dan ketenanagan di sisi Raja Najasyi penguasa negeri Habasyah, meskipun hal itu berdasarkan wahyu Allah, tetapi seorang Da’I tetap harus mengoptimalkan kesungguhnannya untuk memahami persembahan zaman, tempat dan demografi, karena tidak dipungkiri setiap situasi (lingkungan) memliki keistimewaan dan tuntutan tersendiri, situasi gurun sahara bebeda dengan situasi pedesaan, situasi pedesaan berbeda dengan situasi berperadaban (kota), dan lingkungan bisnis perniagaan berbeda dengan lingkungan industri dan agrarian. Da’I di jaman sekarang ini hidup di dunia Islam yang tidak seragam kondisinya, ada negeri Islam yang mengalami kesulitan sepanjang jaman, tapi pada saat yang sama juga ada negeri yang mulai memberikan kekutan dan perlindungan bagi Islam dan umatnya. Kemudian amal Islami dalam situsi seperti ini mendesak untuk diarhakan kepada persatuan dan saling tolong menolong, karena itu seorang da;I harus memaahami situasi dunia yang berkembang saat ini. Da’I di jaman sekarang juga hidup di alam yang terpolarisasi antara pusat-pusat kewenangan pemerintahan dan daerah-daerah otonom (Istimewa), hal ini memberikan dampak positif maupun negative bagi dakwah Islamk, karena itu harus ada wawasan tentang berlangsungnya dialog dan bagaimana mendistribusikan kewenangan antar Negara. Da’I di jaman sekarang ini hidup dalam dunia pergulatan pemikiran, ideology dan falsafah, senuah pemikiran sedemikian cepat bergulir dan berubah, dunia Islam menerima apa saja dari Barat dan Timur tanpa perisai, di penghujung perjalanannya seorang da’I akan menghadapi berbagai bentuk pemikiran. Pada zaman dimana mobilitas dan transportasi sulit bisa ditoleransi bila Da’I merasa bodoh dengan hal ini,



tetapi zaman sekarang diamana kemajuan komunikasi dan tehnologi tidak bisa ditoleransi bila Da’I tidak mengetahui situasi dan perkembangan pemikiran yang terjadi. Da’I sekarang ini hidup di zaman penemuan ilmiyah ytang terus berkembang, sebagaian ada yang menjadi pernagkat pendukung dakwah, sebagain lagi justru senaliknya menjadi penghambat dakwah. Da’I yang sukses mengambil manfaat dari temuantemuan ilmiyah pada zamannya dan mennghindari bahaya yang ditimbulakannya. Hendaknya seorang Da’I tidak berpangku tangan menghadap watak zaman ini, tetapi justru mengambil ibroh dari perubahan zaman ini, bahwa Allah menundukan ala mini untuk berkhidmat kepada-NYA dan membela dakwah-NYA. Pertolongan Allah tidak akan datang kecuali setelah mengetahui potensi alam ini, mulai dari laut, sungai, gun ung, tanah, air, cuaca panas dan dinginnya. Da’I juga hidup ditengah komunitas manusia dengan keanekaragaman mazhab, ada mazahab yang “jauh” dan ada mazahab yang “dekat”, ada yang berpotensi memusuhi dakwah, ada yang berpotensi menyelamtkan dakwah. Karena itu Da’I harus mengetahui berbagai macam kelompok dengan pengetahun akademik-tematik, memehami sejauh mana pengaruhnyamm asal-usul sejarahnya, sasaran dan sarana-sarananya. Permasalahan ini pemting bagi seorang Da’I untuk sampai kepada kebaikan, keselamatan dan keberhasilan dalam dakwahnya.



KAIDAH KEENAMBELAS FIRQAH, FITNAH, UZLAH DAN JAMA’AH



:



Sesungguhnya rsiko yang paling besar di jalan dakwah bagi para Da’I adalah bercampuraduknya pemahaman dan tenggelamnya kebenaran di depan nash-nash yang saling dipertentangkan, tafsiran yang diperselisihkan, dan pemahaman-pemahaman yang saling kontradiksi, maka seorang Muslim berada dianatara dua firqah yang membinasakan dan menyelamatkan, antara uzlah dan interaksi, antara fitnah untuk men yendiri dan fitnah yang mendesaknya segersa untuk melakukan penyerangan dan pembalasan, anata amal fardi dan amal jama’I, centang perenang pemahaman berefek pada centang perenang amal dan system kerja dakwah itu sendiri. Agar dapat keluar dari kesemerawutan pemahaman maka saya mengajukan kaidah ini untuk direnungkan oleh pembaca budiman. Sesungguhnya seseorang yang menganlisa sejarah umat ini akan mendapatkan dua kondisi yang telah dilewati oleh umat ini, Pertama : kondisi perjuangan dan kondisi kemapanan, ketika umat ini menghadapi musuh-musuhnya secara bersama-sama atau bergelirya, dan selalu keluar dari kancah peperangan sebagai pemenang, sedangkan musuhnya menjadi pecundang yang hancur. Kedua : kondisi terserang dan terceraiberai. Keadaan ini adalah kondisi dimana bentengbenteng umat runtuh dari dalam, kekalahan umat terjadi karena generasinya telah mengahncurkan bangunannya baik secara internal maupun eksternal. Rasulullah SAW telah mengisaratkan ancaman bahaya ini, dan menjadikannya sebagai salah satu factor yang mnceriberaikan kesatuan umat dan bangunannya. Dari Tsauban RA berkata, bersabda Rasulullah SAW :



،‫ وإن أمتي سيبلغ ملكها ما ُزوي لي منها‬،‫" إن هللا زوى لي اْلرض فرأيت مشارقها ومغاربها‬ ‫ وأن َّل يُسلط‬،‫سنَ ٍة عامة‬ َ ‫ وإن سألت ربي ْلمتي أن َّل يهلكها ِب‬،‫وأعطيت الكنزين اْلحمر واْلبيض‬ ‫ إني إذا قضيت قضا ًء فإنه َّل‬، ‫ يا محمد‬:‫ وإن ربي قال‬،‫عليهم عدوا ً من سوى أنفسهم فيستبيح بيضتهم‬ ‫ يستبيح‬،‫ وأن َّل أسلط عليهم عدوا ً من سوى أنفسهم‬،‫سنَ ٍة عامة‬ َ ِ‫ وإني أعطيتك ْلمتك أن َّل أهلكهم ب‬،‫يرد‬ ً،‫ ولو اجتمع عليهم من بأقطارهاـ أو قال من بين أقطارهاـ حتى يكون بعضهم يُهلك بعضا‬، ‫بيضتهم‬ .)11("‫ " وسألته أن َّل يلبسنا شيعا ً فمنعنيها‬:‫ وفي رواية ابن حبان‬.)10( " ً ‫ويسبي بعضهم بعضا‬ ‫ أن َّل يسلط على أمتي جوعا ً فيهلكهم به‬:ً ‫ " وإني سألت هللا عز وجل ثَلثا‬:‫وعند ابن ماجة رواية أتم‬ ،‫ إذا قضيتُ قضا ًء فَل مرد له‬: ‫ وإنه قيل لي‬،‫ وأن َّل يلبسهم شيعا ً ويذيق بعضهم بأس بعض‬،‫عامة‬ ‫ ولن أجمع عليهم من بين أقطارها حتى يُفني بعضهم‬،‫وإني لن أسلط على أمتك جوعا ً فيهلكهم فيه‬ ‫ وإن مما‬.‫ وإذا وضع السيف في أمتي فلن يرفع عنهم إلى يوم القيامة‬.ً ‫بعضا ً ويقتل بعضهم بعضا‬ )15/4( ‫صحيح مسلم‬ .)453 ‫موارد الطمآن إلى زوائد ابن حبان للهيثمي ( ص‬



)10( )11(



،‫ وستلحق قبائل من أمتي بالمشركين‬.‫ وستعبد قبائل من أمتي اْلوائل‬.‫أتخوف على أمتي أئمة مضلين‬ ‫ ولن تزال طائفة من أمتي‬،‫وإن بين يدي الساعة دجالين كذابين قريبا ً من ثَلثين كلهم يزعم أنه نبي‬ .)12("‫على الحق منصورين َّل يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر هللا عز وجل‬ “Sesungguhnya Allah membentangkan untukku bumi ini, sehingga aku dapt melihat dari ujung timur hingga ujung Barat, dan sesungguhnya ummatku akan sampai kekuasaaanya sejauh apa yang aku lihat saat itu, dan aku diberikan dua gudang penyimpanan harta, yang satu berwarna merah yang lainnya berwarna putih, jika aku memohon kepada Tuhanku agar umatku tidak dibinasakan Firqah yang dijelaskan secara rinci dalm hadits tersebut diatas merupakan musiabah yang paling besar menimpa umat ini, karena umat menjadi beberapa kelompok dan agama menjadi beberapa ajaran dan keyakinan. Sunnah telah banyak menyingkap kondisi kedepan umat ini baik dari prespektif pemberitaan, peringatan, penjelasan penyakit umat dan obatnya, Allah memuliakan Nabi-NYA dengan membuka tabir kegaiban yang dapat menambah kehati-hatian dan kewaspadaan bagi umat. Tatkala hadits tersebut di atas menjelaskan secara global tidak terperinci berdasarkan peristiwa dan rentang waktu, maka saya telah melihat dalam kilasan sejarah dan realitas kehidupan manusia, agar ada perubahan pengaturannya di satu sisi, dan memahami kebaikan-kebaikannya di sisi yang lain. Saya juga mendapatkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang firqah, fitnah, uzlah dan Jama’ah. Hadits yang paling lengkap cakupannya terkait dengan masalah ini adalah hadits yang telah ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim dari Khudzaifah ibnul Yaman RA berkata :



‫ يا‬:‫ فقلت‬،‫ وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يُدركني‬، ‫كان الناس يسألون رسول هللا صلى عن الخير‬ : ‫ قلت‬،‫ نعم‬:‫ فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال‬،‫ إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا هللا بهذا الخير‬،‫رسول هللا‬ ‫ تعرف منهم‬،‫ قوم يهدن بغير هديي‬: ‫وما دخنه قال‬:‫ قلت‬.‫ وفيه دخَن‬،‫ نعم‬:‫وهل بعد ذلك من خير؟ قال‬ ‫ دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه‬،‫ نعم‬: ‫ فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال‬: ‫ قلت‬،‫وتنكر‬ ‫ فما تأمرني إن‬:‫ قلت‬،‫ ويتكلمون بألسنتنا‬،‫ هم من جلدتنا‬: ‫ قال‬،‫ صفهم لنا‬، ‫ يا رسول هللا‬: ‫ قلت‬.‫فيها‬ : ‫ فإن لم يكن لهم جماعة وَّل إمام؟ قال‬: ‫ قلت‬.‫ تلزم جماعة المسلمين وإمامهم‬:‫أدركني ذلك؟ قال‬ ‫ ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك‬،‫فاعتزل تلك الفرق كلها‬ “Banyak orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepadanya tentang keburukan, khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku berkata : “Ya Rasulallah. Sesungguhnya kami pernah berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”. Beliau menjawab : “Ya”, aku berkata : “apakah .)1304/( ‫سنن ابن ماجة‬



)1(



setelah itu ada kebaikan lagi?”. Belia menjawab : “ya, tetapi ada kabut penghalang, “apa kabut penghalangnya?”, beliau bersabda : “suatu kaum mencari petunjuk selain petunjukku, engkau kenal sebagiam mereka dan engkau ingkari”. Aku berkata lagi : “Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan lagi?”, beliau menjawab : “ya, terdapat [ada masa itu para Da’I di depan pntu-pntu neraka Jahannam, siapa yang memenuhi ajakan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya”. Aku berkata : “Ya Rasulallah, jelaskanlah cirri-cirimereka kapada kami!”. Beliau bersabda : “mereka berasal dari darah daging kita, berbicara dengan bahasa kita”. Aku berkata : “apa yang engkau perinthakan kepadaku jika aku mendapatkan keadaan seperti itu?”. Beliau bersabda : “engkau haris menjalin komitmen dengan Jamaah kaum Muslimin dan imam mereka”, aku berkata lagi : “jika tidaka ditemukan jamaah dan Imammnya?”. Beliau bersabda : “menghindarlah dari semua firqah itu walaupun anda menggigit akar pohon, samapai ajal menemuimu dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”. Dalam pengertian yang sama secara terperinci juga tertuang dalam hadits lain. Dari Abu Amir Abdullah bin Luhay berkata : “kami pernah menunaikan haji bersama Muawiyah bin Abi Sufyan, tatkla kami sampai di Mekkahmenjelang shlat dzhuhur Ia berkata, seseungguhnya Rasulullah SAW bersabda :



،‫إن أهل الكتاب افترقوا في دينهم على اثنتين وسبعين ملة ـ يعني في اْلهواء ـ كلها في النار إَّل واحدة‬ ‫ َّل‬،‫ب بصاحبه‬ ُ َ‫ وإنه سيخرج في أمتي أقوام تجارى بهم تلك اْلهواء كمايتجارى ال َكل‬. ‫وهي الجماعة‬ ‫ وهللا يا معشر العرب لئن لم تقوموا بما جاء به نبيكم لغيركم من‬، ‫يبقى منه عرق وَّل مفصل إَّل دخله‬ ‫الناس أحرى أن َّل يقوم به‬ “Sesungguhnya Ahli kitab telah berpecahbelah dalam agama mereka menjadi 72 sekte – yang bertumpu pada hawanafsu – seluruhnya masuk neraka kecuali satu, yaitu aljamaah. Sesungguhnya akan muncul di kalangan umatku golongan yang mengiringi hawanafsu tersebut, seperti virus yang merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa melainkan akan dimasukinya. Demi Allah wahai masyarakat Arab jika kalian tidak menegakan apa yang telah didatangkan oleh Nabi kalian, maka akan ada kelompok manusia lainnya yang ingin merubah kalian agar kalian tidak menegakannya”. (HR Abu Daud dan Turmudzi / Hadits Hasan-Shahih) Dalam pengertian yang sama terdapat hadits dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah SAW :



‫ وتفرقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين‬،‫افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬ ‫ وتفترق أمتي على ثَلث وسبعين فرقة‬،‫فرقة‬ Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Umat Nasrani juga terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. (HR Abu Daud dan Turmudzi / Hadits hasan-sahih)



Hadits ini menguatkan hadits-hadits sebelumnya dan memberikan pelajaran berupa peringatan ancaman perpecahan dan perselisihan yang menimpa umat, apalagi bila sebuah kelompok muncul karena perbedaan akidah dan ushul, masing-masing kelompok melahirkan doktrin dan ajaran, keluar dari garis umat yang satu, terputus dari ikatan generasi awal umat ini. Tidak termasuk kelompok itu perbedaan dalm maslah furu dan diversifikasi ijtihad, juga tidak termasuk di dalmnya mazhab-mazhab fiqih, selama para tokohnya menggunakan dalil dan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap ushul (aqidah). Tidak dapat dikatakan dan tidak seyogyanya dikatakan bahwa Mazhab yang empat dan selain mereka berada dalam kebenaran dan yang memusuhi mereka berada dalam kebatilan, mreka selamat dan selain mereka binasa. Yang tepat mengenai hal ini adalah apa yang telah dinyatakan oleh Al-Baghdady dalam kitabnya “Al-Firaq bainal Firaq” : “Sesungguhnya umat Islam sepakat untuk menetapkan bahwa ala mini sesuatu yang baru (hawadits) dan mengesakan Penciptanya, sifatnya, keadilannya, hikmahnya dan menegasikan sesuatu yang menyerupainya, juga menetapkan kenabian dan risalah Muhammad SAW kepada seluruh manusia, meneguhkan syariatnyam bahwasanya apa yang telah didtangkan nolehnya dalah kebenaran, Al-qur’an sebagai sumber hokumhukum syariah, bahwasanya ka’bah adalah kiblat yang wajib menghadapnya ketika shalat, maka siapa saja yang menyatakan hal ini dan tidak mengarah pada bid’ah yang bertendensi kekufuran maka Ia adalah seorang Sunni yang berakidah tauhid”. Imam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa saja yang di daln hatinya menyatakan Iman kepada rasul dan apa yang dibawa olehnya, meskipun keliru pada sebagian penafsirannya sehingga melahirkan berbagai bid’ah pada dasarnya tidak menjadi kafir, sedangkan Khawarij adalah mereka yang paling nyata bid’ahnya, memerangi dan mengkafirkan umat, padahal para sahabat Nabi belum pernah mengkafirkan mereka, baik kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada yang lainnya, para sahabat hanya menetapkan mereka sebagai umat Islam yang zalim”. Kemudian Ibnu taimiyah menambahkan : “Barang siapa yang mengatakan bahwa 72 golongan seluruhnya kufur keluar dari agama, maka orang tersebut telah menyalahi AlQur’an dan Sunnah serta ijma’ sahabat, bahkan ijma’ Imam empat mazhab dan Imam mazhab lainnya”. Dalam akidah Thahawiyah dan syarahnya dikatakan : “Kami menamakan ahli kiblat kita kaum muslim dan mu’min sepanjang mereka mengakui apa-apa yang didatangkan oleh Nabi SAW, dan membenarkan apa-apa yang disabdakannya, kemudian penulis syarah mengatakan : “yang dimaksud dengan ahli kiblat kita adalah siapa saja yang mengaku muslim dan menghadap kiblat, walaupun mereka masih tergolong pengikut waha nafsu dan ahli maksiat. Sedangkan Ibnu Hajar mengartikan ‫والدعاة على أبواب جهنم‬adalah orang yang brambisi meraih kekuasaan seperti Khawarij dan sejenisnya. Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan



kelompok sejenisnya adalah golongan yang melampaui batas dalam menta’wil, maksimal para ulama menggolongkan mereka sebagai ahli bid’ah belum keluar dari agama, mereka tidak mengatakan : ‫إنهم من أهل النار‬, mereka ahli neraka, kecuali golongan Syiah Ghulaat, yang terang-terangan menghalalkan yang diharamkan, atau menyembah Ali atau Qadyani (Ahmadiyah) yang mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad, atau y menjadikan selain Al-Qur’an sebagai kitab suci, atau mengingkari hal-hal yang telah menjadi maklum dalm ajaran agama. Tujuan mazhab-mazhab sesat yang menghancurkan pilar-pilar iman dan merobolhkan struktur bangunan Islam, meluluhlantakkan pondasinya, tanpa tedeng aling-aling melakukan pengingkaran dan mengajak manusia kepadanya, menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkannya, menganulir hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah, memerangi secara keji orang-orang yang beriman, menuduh orang beriman dengan tuduhan jumud dan fatalis, menjadikan kejumudan dan fatalisme sebagai landasan penolakan terhadap Islam baik secara global maupun terperinci, mengagungkan sesuatu yang dihinakan Allah dan menghinkan sesuatau yang diagungkan Allah, seperti Al-Aswad Al-‘Ansy si pendusta yang mengkalim dirinya Nabi disebut sebagai tokoh kebangkitan dan reformasi, dan Qaramitah, Hasysyasyin, Sikh, dan pengikut Bek dianggap sebagai grakan progressif dan liberalis (gerakan kemajuan dan pembebasan) Ini gambaran mazhab di masa lampau, sedangkan yang terbaru seperti Saba’iyah, Qaramitah, Ismailiyah adalah kelompok sesat yang menumbuhkan benih-benih kerusakan di muka bumi, dan mencerabut Islam dari akarnya, mengakui ketuhanan manusia selain Allah. Kemudian juga muncul gerkan babiyah, Qadyaniyah dan Bahaa’iyah, masing-masing kelompok ini memiliki kitab suci selain Al-Qur’an dan mengakui adanya Nabi setelah Muhammad. Lalu muncul kelompok penentang yang tidak meyakini agama seperti Komunis dan Freemasoonry dan berbagai mazhab dan lembaga yang menginduk kepadanya. Yang sangat bewrbahaya dari mereka adalah bahwa sebagaian mereka menjadi pemimpin politik dan pemikiran.maka apa yang didisyaratkan oleh Khudzaifah dalam hadits yang dibawanya menggambarkan dua kondisi : Kondisi Pertama : Baik tapi ada kabut penghalang (‫ )خير وفيه دخن‬, yaitu kondisi dimana banyak orang yang mengambil petunjuk selain petunjukku. Para analis sejarah Ilam melihat bahwa fase ini secara kondisional berbeda dengan fase sbelum dan sesudahnya. Islam pada awalnya dianggap aneh di Mekkah, kemudian kebaikannya meluas dan semakin berkibar panjiny pada puncak fase nubuwwah dan Khilafah Rasyidah, kemudian terjadilah fitnah, tampuk kepemimpinan dikuasai oleh Ban I Umayyah, kedaulatan negara mulai mapan, wilayah-wilayah taklukan terbuka lebar, Islam pun tersebar, prinsip-prinsip politik bernegara terbangun di atas spirit Islam, dan hukum-hukum syariatnya teraplikasi. Semua ini adalah kebaikan, tapi masih diliputi oleh



kabut penghalang, kabut yang gelap dan berwarna kehitam-hitaman. Abu Ubaidah berkata : Tak ubahnya hati yang tidak bersih warnanya karena terkena polusi noda hitam. Kebaikan pada fase itu ditandai dengan umat yang kembali bersatu, semangat jihad yang berkesinambungan, mengacu kepada hukum syariat dalam berbagai persoalan kehidupan, sedangkan kabut yang menyelimuti kebaikan ini adalah kebijakan menghentikan prinsip-prinsip syuro, otoriter dan berlebihan dalam penggunaan harta, umat ditimpa kezaliman dan pertumpahan darah karena mazahab dan keyakinan, seperti inilah kondisi umat Islam pada saat itu, baik tapi berkabut, sampai tegaknya daulah Islam berbarengan dengan tegaknya negara sekuler dan semi sekuler, sebelumnya hukum-hukum Islam mendominasi meskipun kemunkaran tetap ada, tetapi tidak menshibghah masyarakat, dan amar ma’ruf nahy munkar mulai memainkan perannya di masyarakat. Kondisi kedua : Di negeri merek yang berbeda ssatu dengan yang lainnya, umat Islam mulai memasuki fase baru yang didominasi oleh tsaqafah barat dan moralitasnya, dan mulai tersebar gelombang ateisme, lembaga-lemabag negara “diperangi’, wawasan dirubah. Pemahaman kehidupan dirombak. Pelopor dan penyeru perubahan ini berasal dari internal umat yang berbicara dengan bahasanya dan berafiliasi dengannya, mereka terbagi dalam berbagai kelompok, partai dan aliran ideologi yang beraneka macam. Inilah yang diisaratkan oleh Hadits Khudzaifah : ‫ فهل بعد ذلك الخير من شر؟‬, apakah setelah kebaikan in akan ada keburukan?, lalu Rasulullah menjawab : “Ya, para penyeru di atas pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menam but seruannya Ia akan dilemparkan olehnya ke dalamnya”, lalu Khudzaifah berkata : “ya Rasulallah jelaskanlah kepada kami ciri-ciri mereka?”. Beliau bersabda : “Mereka berasla dari kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita”. Ibnu Hajar menafsirkan : “dari kaum kita, yaitu bangsa arab”, inilah yang kemudian memunculkan faham nasionalisme yang tersebar di dunia Islam. Yang mengangkat isu ras dan bahasa sebagai landasan bekumpul dan berafiliasi. Sampailah persoalan faham ini pada banyak negeri yang pada akhirnya merambah ke seluruh lapisan masyarakat, dengan satu klaim bahwa masyarakat berhak menentukan jalannya sendiri, maka muncullah istilah bangsa-bangsa dan aspirasi bangsa, dari sinilah dilancarkan pukulan terhadap nilai-nilai Islam. Ini merupakan fitnah yang paling dahsyat, karena para penyeru kebatilan dapat berlindung dibalik keinginan dan kehendak masyarakat. Barangkali fitnha ini tergolong fitnah DAHMA seperti yang dilansir dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud tentang empat macam fitnah yang diprediksi oleh Rasulullah dalam sabdanya :



‫ يصبح الرجل‬، ‫ فإذا قيل انقضت تمادت‬،‫ثم فتنة الدهيماء َّل تدع أحدا ً من هذه اْلمة إَّل لطمته لطمة‬ ‫ وفسطاط نفاق َّل‬،‫ فسطاط إيمان َّل نفاق فيه‬: ‫ ثم يصير الناس إلى فسطاطين‬، ً ‫فيها مؤمنا ً ويمسي كافرا‬ ‫إيمان فيه‬



“Kemudian terjadi fitnah DAHMA………………………………, di pagi hari seseorang menjadi muslim di sore harinya menjadi kafir, lalu manusia digiring ke dua jalan, jalan keimanan yang bersih dari unsur kemunafikan dan jalan kemunafikan yang kosong dari keimanan”. Sesungguhnya telah berjalin berkelindan hawanafsu dan para pemujanya, sebgaimana yang terpapar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah RA : “Mereka mengikuti hawa nafsu seperti virus yang merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa pasti akan dimasukinya”. Berkata Imam as-Syatiby : “Pengertian hadits ini adalah bahwasanya Rasulullah memberitahukan apa yang akan terjadi pada umatnya yang cenderung kepada hawanafsu yang terbagi menjadi beberapa firqah, ada firqah yang telah dirasuki sepenuhnya hati mereka dengan hawanafsu, sehingga sukar diharapkan dapat berpisah dan taubat darinya, karena virusnya telah menyebar ke seluruh anggota tubuh dan jaringan peredaran darah, bila seperti itu kondisinya maka akan mengalami resistensi penyembuhan dan tidak obat apapun tidak ada manfaatnya. Adapun mengenai jumlah firqah dan aliran sebagaiman telah disebutkan pada hadits di atas. Imam Al-Baghdady (429 H. – 1038 M) di dalam kitabnya “Al-Firaq” Ia berkata : “Mengenai 72 golongan dalam hadits tersebut adalah 20 sekte Rafidah, 20 sekte Khawarij, 20 sekte Qadariyah, 20 sekte Murji’ah, 30 Najariyah, Bakriyah, Dharariyah, Jahmiyah, Karaamiyah, seluruhnya menjadi 72 golongan. Tetapi penghitungan itu tidak akurat, dengan sebab beberapa hal berikut : Pertama : Bercampuraduknya antara firqah yang keluar dari islam dan yang masih masuk di dalamnya. Kedua : Ia hanya menyebutkan firqah yang Ia ketahui pada zamannya, sebab setelah wafatnya al-Baghdady banyak firqah-firqah baru bermunculan.Oleh karena itu seyogyanya para pensyarah dan mufassir tidak perlu menguraikan golongan apa saja yang 72 itu. Ketiga : Ia menyebutkan lebih dari 90 firqah tapi dia mengatakan inilah ke 72 firqah itu.



SIKAP MUSLIM TERHADAP FIRQAH-FIRQAH Sikap Muslim terhadap firqah-firqah yang ada bisa positif bisa pula negative, sikap yang negative bila seorang Muslim menjauhi dirinya (uzlah) dari firqah-firqah yang menyesatkan sehingga dirinya tidaj tertimpa “penyakit” seperti mereka, karena berinteraksi dengan mereka seperti berinteraksi dengan ahli neraka dan para penyerunya. Sedangkan sikap positifnya adalah mencari jamaah kaum muslimin dan berkomitmen dengannya. Yang dimaksud dengan uzlah bukanlah uzlah keluar dari masyarakat pergi ke gurun sahar atau lereng gunung, karena uzlah seperti itu akan memberikan peluang bagi pemuja hawanafsu untuk menyebarkan dan mempublikasikan ajarannya di tengah-



tengah masyarakat, dan menanamkan doktrin dan kepemimpinannya. Hal itu justru semakin membuat kebenaran dan orang-orang yang memperjuangkannya semakin terpuruk. Tetapi juga harus diperhatikan munculnya kesalahan baru mengasumsi kebaikan pada kondisi yang secara jelas kontra produktif, karena setiap kondisi menuntut sikap sesuai dengan kadarnya, dan tidak melontarkan pernyataan kecuali pada konteks yang releven dan proporsional, seperti kita mengambil pemahaman uzlah pada umat terdahulu sebagai sebuah kenikmatan dalan setiap kondisi dan situasi, seperti menyebutkan bahwa Ibnu Umar, Saad bin Abi Waqqash, dan Abu Bakrah telah beruzlah dari fitnah. Perbuatan para sahabat tersebut kemudian menjadi dalil yang digunakan untuk meninggalkan masyarakat. Karena itu kita dapati Imam Bukhori menyusun bab khusus tentang hal ini, Ia berkata : “Berbaur dengan arab badui ketika terjadi fitnah : berimigrasi ke kawasan arab badui ketika terjadi fitnah”. Ibnul Aqwa’ pernah ditanya oleh Al-hajjaj : “Hai Ibnul Aqwa’ apakah engkau telah murtad tinggal di perkampungan badui?”, Ia menjawab : “Tidak, tetapi aku mendapat izin dari Rasulullah untuk tinggal di perkampungan badui ini”. Ibnu Hajar menjelaskan : “Tinggal di perkampungan arab badui, terjadi ketika kaum Muhajirin pindah dari negeri tempat hijrahnya ke perkampungan badui dan menetap di sana, sehingga tidak lagi disebut Muhajir tapi Badui, padahal hal itu diharamkan kecuali mendapat ijin syar’I”. Jadi pada dasarnya melarang orang yang telah berhijrah untuk uzlah ke pedalaman, sahara atau berbaur dengan arab Badui. Sesungguhnya bila kita memperhatikan hikmah di balik pelarangan orang yang berhijrah meninggalkan tempat hijrahnya dengan berlari ke pedalaman (Badui), maka kita telah mendapatkan bahwa hijrah disyariatkan untuk membela Islam dan umatnya dan untuk melindungi masarakat dari kekufuran dan kemunafikan, sebab bila seorang muslim meninggalkan begitu saja para pembuat fitnah maka berarti Ia menaruh saham pada kemunkaran tersebut dan membantu ajarannya. Ibnu Hajar berkata : “dilarangnya mengungsi ke pedalaman arab badui pada saat bergejolaknya fitnah, sama saja dengan menjadikan pejuang kebenaran menjadi pecundang”. Meskipun umat terdahulu gemar beruzlah, tetapi hal itu hanya dimaksudkan untuk mengurangi pergaulan, tidak melampaui batas dalam memanjakan kebiasaan-kebiasaan yang melalaikan, berlebihan dalam bercengkram dan hal-hal yang mubah. Imam sulaiman Al-Khithaby berkata : “Kami tidak menghendaki uzlah dipahami dengan meninggalkan manusia dalam kontek berjamaah, karena hal itu berarti mengabaikan hak-hak mereka dalam beribadah,menyebarkan salam dan membalasnya, dan hak-hak mereka lainnya yang harus dipenuhi, merancang berbagai aturan dan tradisi yang baik. Yang kami maksudkan dengan uzlah adalah meninggalkan persahabatan yang berlebihan dan tidak menambahkannya dan meniadakan hubungan yang tidak terlalu diperlukan”. Keterkaitan uzlah dengan bentuk fitnah : Terdapat permasalahan yang perlu dijelaskan sebelum selesai membahas tema uzlah ini, yaitu mengenai pembatasan bentuk fitnah yang mendorong untuk meninggalkan



masarakat dan menjauhinya serta tidak terlibat dengan berbagai kegiatannya, atau bahkan mendorong bertahan dan melakukan perlawanan dan konfrontasi terhadap fitnah tersebut. FITNAH BERLOMBA KEKUASAAN Rasulullah telah mengisaratkan terjadinya fitnah dan penyebarannya, sehingga tidak ada satu negeripun yang terbebas darinya, sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan dari Usamah bin Zaid berkata :



‫ فني ْلرى الفتن تقع‬:‫ قال‬،‫ َّل‬:‫ هل ترون ما أرى؟ قالوا‬: ‫ على أطم من آطام المدينة فقال‬ ‫أشرف النبي‬ ‫خَلل بيوتكم كموقع القطر‬ “……apakah kalian melihat apa yang aku lihat?, para sahabat menjawab : Tidak!. Beliau bersabda : “sesungguhnya aku melihat fitnah telah menimpa rumah-rumah kalian seperti jatuhnya air hujan”. Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan RA adalah fitnah pertama dalam sejarah Islam, yang memercikan api peperangan antara kubu Ali bin abi Thalib dab Aisyah RA, kemudian meletus pula peperangan Shiffin. Para sahabat berbeda pendapat siapa nyang lebih benar dalam konflik tersebut, meskipun demikian mayoritas sahabat berpendapat bahwa Ali bin Abi Thaliblah yang memeiliki kewenangan (otoritas), sedangkan Muawiyah seorang Mujtahid yang keliru namun berhak mendapatkan satu pahala, kemudian fitnah berikutnya terjadi setelah itu, yang dipicu oleh persaingan pemerintahan dan kekuasaan. Sebagaimana diisaratkan dalam sebuah Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dari Usaid bin Hudair :



، ‫ إنكم سترون بعدي أثرة‬: ‫ قال‬،‫ فقال يا رسول هللا استعملت فَلنا ً ولم تستعملني‬، ‫أن رجَلً أتى النبي‬ ‫فاصبروا حتى تلقوني‬ “Bahwasanya ada seseorang datang kepada Nabi lalu berkata : “Ya! Rasulallah, engkau telah mengangkat si fulan sebagai pejabat, tapi mengapai engkau tidak mengangkatku”, lalu beliau bersabda : “sesungguhnya kalian akan melihat pergolakan setelahku, bersabarlah kalian sampai kalian bertemu denganku”. Sesungguhnya sebagian besar Khalifah Abbasiyah dan penguasa Mamalik dan penguasa lainnya naik ke tampuk kekuasaan melewati sebuah pergolakan, Semua ini adalah isarat kenabian, meskipun begitu berbagai fitnah yang ada tidak mengeluarkan masarakat dari Islam, dan hukum-hukum syariah yang bersumber dari kitab dan sunnah tetap dilaksanakan. Berkaitan dengan hali ini kita juga dapat mengambil pelajaran dari hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda :



،‫ والماشي فيها خير من الساعي‬،‫ والقائم فيها خير من الماشي‬،‫ستكون فتن القاعدة فيها خير من القائم‬ ‫ فمن وجد فيها ملجأ أو معاذا ً فليعذ به‬،‫من تشرف لها تستشرفه‬ “Akan terjadi fitnah dimana yang duduk lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari, barangsiapa yang membimbingnya maka Ia akan terus membutuhkan bimbingannya, dan barangsiapa yang di saat fitnah tersebut mendapatkan jalan keluar atau tempat berlindung maka hendaklah Ia berlindung padanya”. Dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan :



‫ ومن كانت له أرض‬،‫ ومن كان له غنم فليلحق بغنمه‬،‫فإذا نزلت أو وقعت فمن كان له إبل فليلحق بإبله‬ ‫ يعمد إلى سيفه‬: ‫ يا رسول هللا إن لم يكن له إبل وَّل غنم وَّل أرض؟ قال‬:‫ فقال‬:‫ قال‬،‫فليلحق بأرضه‬ ‫ يا‬: ‫ اللهم هل بلغت؟ اللهم هل بلغت؟ فقال رجل‬،‫ ثم لينج إن استطاع النجاه‬،‫فيدق على حده بحجر‬ َ ‫رسول هللا أرأيت إن أكرهت حتى يُن‬ ،‫ فضربني رجل بسيفه‬،‫ أو إحدى الفئتين‬،‫طلَقَ بي إلى أحد الصفين‬ ‫ يبوء بإثمه وإثمك ويكون من أصحاب النار‬: ‫أويجيء سهم فيقتلني؟قال‬ “Maka apabila terjadi fitnah tersebut, hendaknya yang memiliki onta agar Hal ini menjadi titik tolang pandangan Ibnu hajar bahwa perselisihan dalam mencari menuntut kekuasaan tidak diketahui mana pelaku kebenaran dan mana pelaku kebatilan. Kemudian Ibnu Hajar menukil pendapat Imam At-Thabary yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dikatakan fitnah itu adalah bencana, mengingkari kemungkaran adalh wajib bagi yang mampu menghadapinya, barang siapa yang membantu pelaku kebenaran maka ia benar, dan barangsiapa yang melakukan kesalahan maka Ia salah, sesunggahnya persoalan yang paling pelik adalah keadaan dimana terdapat larangan berperang di dalamnya. Adapun dari Hadits yang diriwayatkan oleh Abu bakrah kita mengetahui bahwa lari dari fitnah ketika terjadi dua kubu umat islam yang saling berseteru, dimana antara hak dan batil menjadi samara atau tidak dapat diketahui siapa pelaku kebnaran dan siapa pelaku kebatilan. Pengertian seperti ini juga datang dari Abu Barzah Al-Aslamy, sebagaimana ditakhrij oleh Imam Bukhori dari Abul Minhal berkata : “Tatkala Ibnu Zayyad dan Marwan bergabung dengan pasukan Ibnu zubair di Mekkah, dan bergabung pula para Hafidz Qur’an di Basrah, aku pergi bersama Ayahku menemui Abu Barzah al-Aslamy, kami masuk ke rumahnya pada saat itu beliau sedang duduk-duduk, kamipun langsung duduk di dekatnya.lalu Ayahku mengawali pembicaraan seraya berkata : “Wahai abu Barzah tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada sekumpulan manusia?. Maka kalimat pertama yang aku dengar darinya adalah : “Sesungguhnya aku berserah diri kepada Allah tentang kemarahanku kepada orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian wahai bangsa Arab tengah berada dalam satu situasi yang kalian ketahui sendiri, penuh



dengan kehinaan, ketidakberdayaan dan kesesatan, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan kalian dengan Islam dan dengan datangnya Nabi Muhammad SAW, sehingga sampai kepada apa yang kalian lihat sekarang ini, inilah dunia yang telah kalian rusak diantar kalian sendiri. Demi Allah yang di Syam mereka berperang hanya untuk dunia, yang ada di tengah-tengah kalian juga berperang hanya untuk dunia dan yang di Mekkah juga berperang untuk dunia”. Dari penjelasan tersebur di atas bahwa abu Barzah RA memandang boleh menghindari fitnah, karena tidak didapati pelaku kebenarannya. Sedangkan Ibnu Umar RA telah menempuh jalan ini (uzlah) ketika terjadi perselisihan antara Abdul malik bin Marwan dan Ibnu Zubair. Imam Bukhari meriwayatkan dari Said bin JabirIa berkata : Abdullah bin Umar berkunjung kepada kami, kami berharap Ia membawa cerita yang baik, tiba-tiba seseorang mendahului kami seraya berkata : “Wahai Abu Abdurrahman ceritakanlah kepad kami peperangan fitnah?, sedangkan Allah berfirman : ‫وقاتلوهم حتى َّل تكون فتنة‬, dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah”. Ibnu Umar berkata : “Apakah engkau tahu apa yang dimaksud dengan fitnah?, sesunghnya dahulu nabi Muhammad SAW senantiasa memerangi kaum Musyrik, sedangkan masuk ke dalam agama mereka adalah fitnah, bukan seperti kalian memerangi Abdul Malik. Dalam riwayat lain : “Orang yang terkena fitnah dari agamanya (Murtad) maka Ia dibunuh atau diberikan sanksi yang setimpal, sehingga umat Islam tetap utuh terjaga, dan tidak terjadi lagi fitnah”, atau tidak adalagi fitnah dari seorang kafir terhadap seorang Mu’min. Ditakhrij oleh Imam Bukhori dari Ibnu Umar RA tatkala datang kepadanya dua orang yang hendak memerangi Ibnu Zubair, lalu keduanya berkata : “Sesungguhnya orangorang telah berngkat, dan engkau hai Ibnu Umar sahabat Rasulullah!, apa yang manghalangimu untuk tidak ikut keluar berperang?”. Ibnu Umar menjawab : “Yang menghalangiku adalah Allah yang telah mengharamkan darah saudaraku”, “Bukankah Allah berfirman : ‫“وقاتلوهم حتى َّل تكون فتنة‬, sanggahnya. Kemudian Ibnu Umar menjelaskan : “Kita berperang sampai tidak terjadi fitnah, agama menjadi seluruhnya kepunyaan Allah, sednagkan kalian berperang agar supaya tidak terjadi fitnah, dan agama menjadi kepunyaan selain Allah”. Dari beberapa riwayat tersebut di atas, kita dapat mengenali dua macam fitnah. Harus ada focus perhatian terhadap fitnah besar yang merusak agama dan mengancam keimanan, fitnah seperti ini tidak ada kompromi bersamanya. FITNAH DALAM PENGERTIAN KUFUR Yaitu fitnah yang sasarannya untuk menjatuhkan Islam dan akidahnya, ini merupakan fitnah yang paling berbahaya, tidak boleh seorang Mu’min bersikap kompromi denganny dan membiarkannya, Inilah fitnah yang dimaksudkan Allah dalam firman-NYA :



    193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya sematamata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.



Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “yang dimaksud dengan fitnah apda ayat tersebut adalah kemusyrikan dan kekufuran, fitnah yang dilakukan oleh orang-orang kafir adalah bahwasanya mereka memukul dan menyakiti shabat-sahabat Nabi di Mekkah, sehingg mereka pergi ke Habasyah, kemudian meruka terus menerus teraniaya, sehingga akhirnya mereka hijrah ke Madinah. Adapun tujuan mereka dengan fitnah tersebut adalah agar kamu muslimin meninggalkan agama mereka dan kembali menjadi orang-orang kafir. Maka diturnkanlah oleh Allah ayat tersebut di atas, yang mengandung pengertian : “perangilah mereka sampai kalian menang terhadap merka, dan mereka tidak akan memfitnah kalian terhadap agama kalain, sehingga kalian tidak jatuh kepada Syirik. Fitnah semacam ini lebih keji dari pada peperangan, karena kerusakan di muka bumi akan mengakibatkan kezhaliman dan peperangan. Imam Ar-Razy berkata : “Sesungguhnya kekufuran itu lebih berbahaya dari peperangan, karena kekufuran itu merupakan dosa yang pelakunya berhak mendapatkan siksa selama-lamanya, sedangkan peperangan tidak seperti itu, kekufuran dapat mengelauarkan seseorang dari agamanya, sedangkan peperangan tidak demikian”. Oleh karena itu Al-Qur’an menegaskan satu keadaan dimana fitnah telah berakhir adalah kemapanan urusan agama dan keberlangsungannya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa : ‫ويكون الدين هلل‬, ini merupakan satu tujuan yang sanagt mulia dimana jihad tidak akan berhenti bila fitnah belum berakhir. Imam Ar-Razy berkata : “Tidak ada perantara antara syirik dengan agama seluruhnya milik Allah, maka dengan pengertian lain dapat dikatakan : .‫“ فقاتلوهم حتى يزول الكفر ويثبت اْلسَلم‬perangilah mereka sampai hilangnya kekufuran dan tegaknya Islam”. Fitnah semacam ini telah terjadi, hingga akhirnya umat Islam dalam kebanyakan negeri mereka memilih sistem dan perundang-undangan yang tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam, bahkan bertentangan 180 derajat, didirikannya berbagai lembaga kehidupan di atas prinsip-prinsip yang menyesatkan. Sementara sebagaian kaum Atheis dan sekulermencengkran dengan kekuasaan dan doktrinnya, maka sebagian komunitas umat mulai terjungkirbalikkan akidahnya dan mulai murtad secara perlahan, dan oleh merekalah Isalam mulai dijauhkan dari berbagai institusi kehidupan dan memaklumatkan perang terhadap setiap muslim, karena itu apa yang telah dikhatirkan



oleh Nabi SAW telah menjadi kenyataan di sebagian negeri-negeri kaum Muslimin, sebagaimana sabda beliau :



‫َّل ترجعوا بعدي كفارا ً يضرب بعضكم رقاب بعض‬ “Setelah aku tiada janganlah kalian kembali menjadi kafir dimana sebagian memukul tengkuk sebagian yang lain” (HR. Bukhari – Muslim) Fitnah semacam ini harus dihadapi oleh seorang Muslim, tidak boleh mencari selamat dari kejahatan fitnah tersebut dengan mengungsu ke atas gunung atau ke dalam gua, dan tidak boleh menyebabkannya keluar dari masyarakat dan beri’tikaf di Masjid. Adapun sikap positif dalam menghadapi fitnah ini adalah mencari jama’ah orang-orang yang beriman, komunitas yang eksis di atas kebenaran, yang telah memberikan buah kesungguhan dan konsistensi keberpihakan (afiliasi) (‫)صادق اَّلنتماء‬, hal merupakan satusatunya pilihan bagi seorang Mu’min, sebagaimna sabda Nabi kepada Khudzaifah : )‫(تلزم جماعة المسلمين وإمامهم‬, “engkau harus menjalinkomitmen dengan Jamaah kaum Muslimin dan Imam mereka”. Imam Ibnu Hajar berkata : “perintah komitmen terhadap jamaah diantaranya terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi” :



‫ فإن من فارق الجماعة‬،‫ السمع والطاعة والجهاد والهجرة والجماعة‬:‫وأنا آمركم بخمس أمرني هللا بهن‬ .‫قيد شبر فقد خلع ربقة اْلسَلم من علقه‬ “Aku perintahkan kalian lima perkara sebagiman yang telah Allah perinthakan kepadaku, yaitu : mendengar, taat, jihad, hijrah, dan jamaah, karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari jama’ah walaupun sejengkal maka Ia telah melepaskan ikatan Islam dari kerongkongannya” (HR. Tirmidzi)13 Dalam khutbahnya yang cukup masyhur Umar bin Khattab berkata :



‫ وهو من اَّلثنين أبعد‬،‫ فإن الشيطان مع الواحد‬،‫فإن عليكم بالجماعة وإياكم والفرقة‬ “Sesungguhnya kalian harus berjamaah, hindarilah oleh kalian perpecahan, karena syaitan bersama satu orang dan menjauh dari dua orang”14 Mengkin anda bertanya-tanya tentang keberadaan jamaah tersebut, barangkali sekilas seseorang langsung berfikir bahwa jamaah seperti itu tidak ada di tengah masyarakat sekarang ini, sebagai jawabannya adalah Hadits riwayat Imam Bukhary, bahwa Rasulullah SAW bersabda :



13 14



13316 13316



‫ َّل يضرهم من خذلهم وَّل من خالفهم حتى يأتيهم أمر هللا وهم‬، ‫َّل يزال من أمتي أمة قائمة بأمر هللا‬ .)‫على ذلكوفي رواية أخرى ( حتى يأتي أمر هللا وهم ظاهرون على الناس‬ “Akan senantiasa ada dari kalangan umatku umat yang menegakkan perintah Allah, tidak membahayakan mereka siapapun yang menghinakan dan menentangnya, sehingga datang ketetapan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu”.15 Dalam riwayat yang lain : “sehingga datang ketetapan Allah dan mereka telah berhasil menguasai manusia” Dalam riwayat Al-Mughirah bin Syu’bah RA :



‫لن يزال قوم من أمتي ظاهرين على الناس حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون‬ “Tidak akan berhenti satu kaum dari umatku yang berhasil mengausai manusia sehingga datang ketetapan Allah dan mereka meraih kemenangan”16 Riwayat hadits seperti ini cukup banyak, redaksinya hampir sama, secara umum memberikan argumentasi bahwa umat ini tidak kosong dari satu komunitas yang menegakkan perintah Allah, sesuai dengan apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad SAW, melalui komunitas inilah Allah menjaga wahyu-NYA, dan mewujudkan tegaknya hujjah terhadap makhluk dan menghilangkan segala penghalang, serta menerang jalan hidayah dan petunjuk. Ibnu Hazm berkata : “jelaslah, bahwa komunitas manusia di setiap masa tidak boleh kosong dari para penyeru (proklamator) kebenaran”.17 Pada saat yang sama banyak kelompok yang lepas dari agama Allah, baik bentuknya berupa penyimpangan kepada hawa nafsu yang menyesatkan dan prinsip-prinsip yang menyimpang, begitulah keadaan para penentang yang menipu daya jamaah orangorang yang beriman, maupun berupa kesibukan hidup dalam mencari kesenangan yang semu dan mencari refreshing dengan menceburkan diri ke dalam kubang kemaksiatan. Begitulah keadaan mayoritaskomunitas manusia yang tidak pernah berpikir untuk kebaikan diri mereka sendiri. Begitulah pula bahwasanya jama’ah orang-orang beriman selalu berada di tengah-tengah para penentangnya. Sesungguhnya Jama’ah orang beriman akan keluar sebagai pemenang dalam menghadapi orang-orang yang memusuhinya, menghinanya dan merendahkannya, jama’ah tersebut diperkuat dengan pertolongan Allah di mana para musuhnya tidak dapat memberikan mudharat sedikitpun. Arti dari sabda nabi : ‫( وهم ظاهرون‬ )sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar adalah mereka yang menang, sednagkan kaitannya dengan kata-kata “Dzhahirun” juga bisa diartikan mereka tidak tenggelam 663 3153 17 147 15 16



tetapi menjadi terkenal (masyhur). Ibnu Hajar berkata : “pengertian yang pertama lebih tepat”18 Tetapi tampaknya yang kedua juga lebih tepat, bahwasanya kemenangan yang dimaksud adalah eksisnya popularitas (kemasyhuran) dan kesinambungan dan ajeg di atas kebenaran. Pengertian ini dikuatkan oleh Hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :



‫ أو حتى يأتي أمر هللا‬،‫ولن يزال أمر هذه اْلمة مستقيما ً حتى تقوم الساعة‬ “Urusan umat ini akan tetap terus berlangsung (istiqomah) hingga datang hari kiamat atau sampai datangnya keputusan Allah”19 Keistiqomahan yang dimaksud tidak harus dengan penguasaan kekuatan materi, tetapi istiqomah akan terus berlangsung, walaupun jama’ah dalm kondisi lemah dan tertekan. Semoga kecenderungan Ibnu Hajar pada pengertian kemenangan seperti apa yang dilihatnya pada kemnangan sebagian pejuang kebenaran (Ahlul Haq) pada satu wilayah atau distrik sejak zaman Nabi hingga zamannya. Seandainya beliau hidup di zaman belakangan ini, maka Ia akan melihat bagaimna Ahlul Haq dikalahkan oleh Ahlul Bathil, akan tetapi ahlul haq tetap eksis di atas kebanaran, mereka teguh di jalannya, dikenal dengannya, kekuatan hawa nafsu tidak dapat mencabut fikrah mereka, tidak memudaratkan mereka apapun yang merke hadapi berupa kesulitan dan berbagai penganiyaan dan berbagai stigma dan tuduhan, bahkan perjuangan mereka terus berlangsung dan manusia melihat mereka tetap tegak di atas perintah Allah SWT. Imam Nawawi berkata :



‫َّل يزالون على الحق حتى تقبضهم هذه الريح اللينة قرب القيامة‬ “Mereka akan terus berada di atas kebenaran sampai ruh mereka tercabut menjelang kiamat”20 Sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya eksis di tengah-tengah masyarakat kota Mekkah yang musyrik, meskipun mereke mendapatkan penganiyaan dan pengusiran, begitulah keadaan jama’ah yang beriman tetap tegak di atas ketetapan Allah SWT, tetap eksis walaupun belum memiliki kekuassan sosial-politik. PENETAPAN JAMAAH, APAKAH HANYA SATU SAJA? Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya jamaah kaum muslimin di masa nabi SAW dan di masa Khluafa ar- Rasyidin merupakan golongan mayoritas umat ini yang berhukum dengan syariat Allah. Pada masa itu umat menjadi kuat dan Islam memiliki kedaulatan penuh, akan tetapi kemudian ikatan umat yang satu itu mulai tercerai, munculah berbagai jamaah, bahkan sebagian ulama mengkaitkan dengan kekhususan 134 133 0 13 18 1



nash yang menyinggung tentang ‫(فئة‬golongan), meskipun waktu itu ummat Islam masih tergolong ‫ خير قرونها‬, (terbaik pada masanya). Imam Ahmad, Ali bin Al-Madiny dan Abu Abdullah al-Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nash tersebut adalah mereka ahlul Hadits, sebagaimanayang telah dinukil oleh Al-Hakim dari Imam Ahmad yang mengatakan : “Kalau bukan ahlul Hadits aku tidak tahu siapa mereka itu”. Lalu Al-Hakim berkomentar : “Alangkah bagusnya Ahmad bin Hambal dalam menafsirkan hadits tentang ‫( الطائفة المنصورة‬kelompok yang ditolong) yang senantiasan dijauhkan dari mereka kehinaan hingga hari kiamat, mereka adalah ahlul hadits”.21 Meskipun para ahli Hadits memainkan perna yang sangat besar dalam berkhidmat kepada sunnah nabawiyah, akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa kelompok ini akan terus ada hingga hari kiamat. Sesungguhnya telah terhenti kontribusi dan ijtihad meraka dalam ulumul Hadits, kecuali hanya segelintir orang saja, sejak beberpa ratus tahun. Pada dasarnya nash hadits mengisratkan kesinambungan mereka (istimrar) dan terus tersisa kelompok mereka hingga menjelang kiamat. Adapun Imam Muhammad Abduh telah mengambil sikap dan pandangan yang jauh tentang hadits “al-Firaq” seraya berkata : “Sesungguhnya hadits ini mengajarkan kita bahwa umat di dalam tubuh umat telah terpecah menjadi berbagai kelompok, yang selamat hanya satu, Adapun penentuan “Firqah Najiyah”, kelompok yang selamat, yaitu mereka yang mengikuti apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya, belum jelas bagiku hingga sekarang, karena masing-masing kelompok mengikuti Nabi dengan risalahnya dan menjadikan kelompoknya mangikuti apayang ada pada nabi para sahabatnya”22 Dalam Hal ini Syeikh Rasid Ridha berbeda pendapat dengan gurunya, dan menganggap gurunya telah terpengaruh oleh pandangan-pandangan filsafat dan Ilmu kalam, dan obsesinya untuk menyatukan kaum muslimin, beliau kurang menelaah kitab-kitab Hadits, kemudian Rasyid Ridha menanggapi pendapat gurunya dengan menegaskan bahwa ahli Hadits dan ulama Atsar yang mengacu kepada salafussaleh itulah yang dimaksud dengan kelompok yang selamat, cukup banyak jumlahnya pada generasi awal tetapi sedikita pada generasi belakangan ini, mereka tidak mungkin mengikuti ulama ahli kalam yang bid’ah atau para muqallid dalam masalah furu’iyyah. 23 Pengarang kitab “Zaadul Muslim” berpendapat bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka para Mujahid di Palestina, dan hal ini sesuai dengan zaman di mana pengarng kitab tersebut hidup”.24Imam Nawawy lebih umum pendapatnya, Ia berkata : 1



  3 4



“Sesungguhnya kelompok yang beraneka ragam di kalangan kaum mu’minin adalah mereka yang pemberani, pasukan perang, ahli Hadits, kaum zuhud yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan banyak lagi keompok kebajikan lainnya, mereka tidak harus berkumpul tetapi mereka tersebar berserakan di permukaan bumi”.25 Secara dzahir aku melihat bahwa beberapa pendapat tersebut di atas sangat dibatasi oleh zaman yang mengemukakannya. Pada zaman Imam Ahmad para ahli hadits adalah mereka yang mengusung sunnah dan yang membentenginya dari filsafat Yunani dan India dan dari kelompok-kelompok kebatinan lainnya, mereka menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dalam mengumpulkan hadits dan menyusunnya dan memilah antar hadits shahih dan tidak shahih. Akan tetapi peran para ahli hadits tersebut nyaris terhenti bersamaan dengan munculnya kitab-kitab hadits yang tersusun dalm bab-bab, musnad, index, biografi perawi dan pembawanya dan sejarah ilmu hadits, dan taqlid mulai mendominasi pada zaman-zaman belakangan, sebagaimana hal yang sama terjadi pada aspek-aspek pengetahuan islam yang lainnya. Tidak bisa kita mengatakan bahwa kelompok ahli hadits adalah kelompok yang eksis hingga Allah mendatangkan keputusannya atau hingga menjelang kiamat. Ada juga yang mengatakan bahwasanya kelompok sufi adalah kelompok yang eksis, sesungguhnya pendapat seperti itu sesuai dengan zaman dimana kelompok sufi memang sedang eksis di masyarakat, sebagaiman kelompok ini memiliki peranan penting pada masa perang salib, juga di benua Afrika ketika menghadapi paganisme dan peradaban barat, dan ikatan serta padepokan-padepokan sufi menjadi basis titik tolak. Bertolak darinyalah Islam masuk ke jantung Afrika. Bila dikatakan bahwasanya Mujahid Palestina di mana mereka telah menghadapi tentara Inggris dan Yahudi adalah kelompok yang dimaksud, hal itu bisa saja ketika Syeikh Syanqity telah menulis kitab “Zaadul Muslim”, maka mereka tergolong kelompok yang dimaksud tersebut. Juga dapat dikatakan bahwa kelompok yang dimaksud bukan hanya di Palestina saja saat itu, tetapi siapa saja yang mengusung panji jihad di jalan Allah di negeri yang lainnya. Solusi dari silang pendapat tersbut di atas adalah dengan mencari keanekaragaman kelompok baik dari latar belakang kapasitas, kapabilitas, momentum dan ketokohan. Apa yang dikatakan oleh Imam Nawawy mendekati solusi tersebut, beliau menghindari pendefinisisan kelompok yang dimaksud dari unsur zaman. Bila kita mulai masuk pada kalkulasi kondisi umat ini, sejak beberap kurun waktu umat ini telah mengalami keterbelakangan wawasan, pemikiran, perundang-undangan dan ketentuan hukum Islam, dan dalam hal ini umat terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, kelompok yang memerangi Islam, dan menyokong pihak-pihak yang memeranginya dengan berbagai pemikiran yang menyimpang. Kedua, kelompok yang gigih mengusung 5



Islam dan menuntut penerapan hukum sesuai dengan al-Qur’an as-sunnah dalam kehidupan umat. Ketiga, kelompok yang mengerahkan kesungguhannya hanya untuk mata pencaharian, bisnis dan pemenuhan hajat, kelompok ini tidak perduli dengan pertarungan antara yang haq dan yang bathil, kecuali ada hubungannya dengan kepentingan bisnis mereka. Kita bisa saja mengatakn bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka yang mengusung Islam menyerukan untuk memberlakukan hukum syariat, kelompok ini bisa beragam bentuknya, tetapi tujuan dan sasarannya sama, kelompok ini tidaka kan sampai kepada tujuan yang diinginkan keuali dengan intensitas ilmu tenatng hukumhukum syariat, akidah Islam dan perundang-unadangannya dab bagaiman mendakwahkannya. Sebuah Jama’ah tidak dapat disebut jamaah yang sesungguhnya bila tidak ada loyalitas, sikap mendengar dan taat serta komitmen di antara para pendukungnya. Ilmu syariat adalah salah satu syarat, sedangkan loyalitas dan komitmen adalah sifat yang melekat pada sebuah jama’ah, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :



‫ ولن تزال هذه اْلمة قائمة على أمر‬،‫ وإنما أنا قاسم وهللا يعطي‬،‫من يرد هللا به خيرا ً يفقهه في الدين‬ ‫ َّل يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر هللا‬،‫ربها‬



“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan menjadikannya faqih (mendalam) dalam agamanya, aku hanya mendistribusikannya sedangkan Allah yang memberinya, sepanjang umat ini tegak di atas perintah Allah, maka tidak akan membahayakan mereka orang yang menentangnya sehingga datang keputusan Allah”.26 Dalam riwayat yang lain disebutkan :



‫ولن يزال أمر هذه اْلمة مستقيما ً حتى تقوم الساعة أو حتى يأتي أمر هللا‬ “Tidak akan berhenti urusan umat ini, tetap istiqomah sampai datang hari kiamat atau sampai datang keputusan Allah”.27 Imam al-Karmany memahami kata-kata “istiqomah” dalam riwayat ini dengan pengertian “tafaqquh”, karena hal itu adalah sesuatu yang sangat mendasar, dari sinilah keterkaitan hadits-hadits semakna lainnya.28 Imam Bukhary telah mencantumkan satu bab dalam kitabnya dengan sebutan :



‫ من لزوم الجماعة وهم أهل العل‬ ‫ وما أمر النبي‬، ً ‫باب وكذلك جعلناكم أمة وسطا‬



6164 133 8  6 7



“Bab demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, dan apa yang diperintahkan Nabi untuk komitmen dengan jamaah dan ahli ilmu”.29 Ibnu Hajar berkata : “ yang dimaksud oleh Imam Bukhory adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu ahli ilmu syar’I, selain mereka walupun dinisbahkan kepada ilmu hanyalah nisbah majazy bukan hakiki”.30 Sedangkan kalangan awam tidak akan masuk kelompok ini. Kecuali jika mereka berinteraksi dengan Islam dan hukum-hukumnya, dan ikut terlibat dalam pertarungan un tuk memenangkan Al-Haq dan para pengikutnya. Bila ada yang mengatakan apa yang dimaksud dengan sabda Nabi ‫"فعليكم بالسواد اْلعظم"؟‬, hendaknya kalian bersama kelompok yang terbesar, apakah maksudnya kalangan mayoritas manusia (Jumhurunnaas), atau sekelompok manusia dan kalangan khususnya. Al-Imam As-Syatiby menjawab hal ini dalam kitabnya “Al-I’tisham”, beliau berkata : Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Muhammad Al-Qasim at-Thusy Ia berkata : aku mendengar Ishaq bin Rahawiyah mengutip hadits Rasulullah SAW :



‫ فإذا رأيتم اَّلختَلف فعليكم بالسواد اْلعظم‬،‫إن هللا لم يكن ليجمع أمة محمد على ضَللة‬ “Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummat Muhammad dalam kesesatan, bila kalian berselisih maka hendakalah bergabung dengan kelompok mayoritas”, lalu seorang bertanya kepadanya : “Hai Abu Ya’qub!, siapakah kelompok mayoritas itu?”, “Muhammad bin Aslam dan sahabtnya serta para pengikutnya” jawabnya tegas. Ibnu Mubarak juga pernah ditanya oleh sseorang tentang hal yang sama, beliau menjawab : “Abu Hamzah as-sukry. Kemudian Ishaq berkata : “seandainya orang-orang bodoh ditanya tentang kelompok mayoritas, mereka pasti menjawab : “kebanyakan manusia”, mereka tidak mengetahui bahwa Jama’ah harus tahu dan konsisten dengan sunnah nabi dan metodenya, apa yang ada bersamanya dan yang mengikutinya adalah jama’ah”.31 Pandangan Ishaq bin Rahawiyah mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap peran Jama’ah Musllimah dan Thaifah Dzahirah yang telah menikmati tingkat kesadaran penguasaan syariat Islam dan sunnah Nabi SAW, juga penguasaan wawasan, sosial dan politik. Umat Islam tidak dapat keluar dari kondisi “buih” masyarkat yang menang dan sukses kecuali melalui jama’ah yang beriman dan kelompok yang komitmen dengan apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya.



13316  31 153  30



KAIDAH KETUJUH BELAS : PEMAHAMAN YANG BENAR JALAN MENUJU AMAL YANG BENAR Pemahaman secara bahasa sebagaiman yang dijelaskan oleh penulis “Lisaanul Arab” adalah : ‫معرفتك الشيء بالقلب‬, pengetahuanmu tentang sesuatu dengan hati.32 Adapun Ilmu secara bahasa adalah :



‫عرفته‬:ً ‫ أعلمهعلما‬،‫علمت الشيء‬



“Aku telah mengetahui sesuatu, aku mengetahuinya sebagai ilmu : aku telah mengetahuinya”. Ini berarti bahwa kalimat “Al-Fahmu” lebih dalam dari kalimat “alilmu”. Ilmu adalah pengetahuan dibawah pemahaman yang hanya terbatas pada hati, karena itu kalimat “al-fahmu” terkait dengan “al-ilmu” dalam meletakan definisinya. Biasanya penggunaan kalimat “fahimta?” (sudahkan anada paham), setelah diyakini segala informasi dengan gambaran yang seutuhnya telah tersampaikan, dan segala sisinya telah diimplementasikan dengan baik, tidak hnya sekedar tahu. Seorang pelajar tidak akan paham tentang perbandingan kimiawi bila hanya mengetahui rumusnya, sebelum Ia pergi ke laboratorium untuk mengunji perbandingan tersebut, sehingga Ia dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dan mencium sesuatu yang baru, pada saat itulah analisanya tidak hanya berdasarkan pengetahuan semata tetapi berdasarkan pemahaman, karena Ia telah mendapatkan dengan perasaan dan hatinya sesuatu yang banyak yang tidak sempurna hanya dengan rumus belaka. Pengetahuan yang sektoral akan menjadi penyebab mundurnya pemahaman, karena itu umat Islam dewasa ini banyak ditimpa pengetahuan sektoral yang secara zahir tampak tinggi pengetahuannya tapi hakekatnya masih belum memiliki pemahaman yang baik. Kita melihat ada kalangan Fuqoha dan Ulama yang memiliki banyak pengetahuan dan spesialisasinya, tetapi mereka tidak menguasai arah spesialisasinya di tengah berbagai pengetahuan lainnya, dan tidak memfokuskan spesialisasinya menyatu dan bersinergi dengan spesialisasi lainnya, dan tidak mencari keterkaitan dan keterikatan antara satu dengan yang lainnya, serta mereka tidak hidup dengan spesialisasinya itu dalam sebuah bangunan yang utuh dan menyeluruh dalam mengatasi permasalahan Islam. Spesialisasi semacam itu adalah sebuah kekeliruan, kita dapat menyebutnya sebagai penyakit : ‫تضخم الفهم‬, (pembengkakan pemahaman), penyakit ini harus diantisipasi dengan kedalaman pemahaman. Ada individu Muslim yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menekuni satu macam aktifitas intelektual, lalu ditimpa penyakit arogansi intelektual, Ia berpersepsi bahwa segalanya dibangun dan disandarkan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya, kecenderungan penyakit ini bukan hanya terjado doi zaman sekarang ini , tetapi sejak umat terdahulu. Ketika sebagian ulama memandang bahwa ilmu pengetahun itu ada pada fiqih sementara sebagian lainnya mengatakan ada 3



pada hadits, sebagiannya lagi menyatakan pada tafsir. Lalu muncul arus baru yang berpandangan bahwa solusi menyeluruh atas problematika umat adalah dengan pendidikan akhlak dan pembiasaannya. Sebagian lainnya berpendapat dengan pemikiran politik dan sebagian lagi dengan operasi militer, dan berbagai pandangan lainnya yang merefleksikan pemahaman yang “membengkak” (‫)تضخم الفهم‬. PILAR PEMAHAMAN (‫ )أركان الفهم‬: Untuk menghindari virus pemahaman dan berbagai penyakitnya, harus ada analisa logika pilar pemahaman, agar dapat merubah tatanan pengetahuan sektoral menjadi pengetahuan yang komprehensif, agar dapat menjadika satu benih menjadi beberapa benih yang tersebar, langkah ini akan membantu proses penyembuhan fenomena penyakit sosial dan akhlak setelah penyembuhan penyakit persepsi dan pemikiran, karena penyembuhan sangat tergantung dengan ketepatan diagnosa, sebagimana Muhammad Abduh berkata :



‫ وما أعظم اْلسَلم وأضعف المسلمين‬،‫ما أقوى المسلمين أفرادا ً وأضعفهم جماعة‬ “Alangkah kuatnya individu kaum Muslimin, namun alangkah lemahnya jamaah mereka. Alangkah agungnya Islan, namun alangkah lemah umatnya” Penyakit tersebut di atas muncul akibat ketimpangan pemahaman Islam yang terpisahpisah bukan pemahamn yang saling tersusun, berjalin berkelindan (sinergi), ketimpangan pemahaman inilah yang menguasai akal dan jiwa. Karena itu penting dan mendesak saya Tunjukan bahayanya pemahaman yang “sakit” dibanding dengan pemahaman yang “sehat” dalam kontek sejarah Islam, meskipun yang sangat dibutuhkan untuk zaman ini adalah pemahaman yang “sehat”, akan tetapi memahami pemahaman yang sakit juga menjadi urgen untuk membantu kita memahami sejarah Islam dan mengetahui rahsia kekuatan dan kelemahan yang ada di dalamnya. Jadi tidak hanya cukup mengatakan bahwasanya era nubuwwah dan khilafah rasyidah adalah era yang penuh dengan kekuatan dan dinamika, dan era setelahnya era yang minus dinamika sampai pada sebuah keadaan yang disebut era kemunduran. Harus dianalaisa kekeliruan pemahaman agar kita dapat melewati era kemunduran menuju era amal dan dinamika. Hanya dengan inilah kita dapat menyambungkan kembala mata rantai yang terputus antara zaman kita dengan zaman generasi pertama umat ini. PETA PEMAHAMAN : Untuk memahami pilar-pilar pemahaman, kami akan memberikan gambaran pemahaman melalui peta geografis yang harus terhimpun di dalamnya 3 pilar (rukun).



Pilar pertama : Peta tersebut mencakup seluruhnya unsur kota, desa, jalan-jalan, gunung dan sungai, sehingga peta menjadi miniatur dari sebuah keadaan di lapangan. Peta pemahaman yang Islami juga mencakup seluruh unsur-unsur keislaman, semkain terpadu unsur-unsur tersebut maka semakin sempurna pemahaman, denikian juga sebaliknya. Yang patut diingat bahwasanya pemahaman yang kurang akan mengakibatkan berkurangnya etika dan amal bahkan terjadi distorsi persepsi, dan selanjutnya menjauhkannya dari jalan yang lurus, maka tidak sampai pemahaman yang kurang tersebut kepada sasaran yang dituju. Sebagian umat Islam dalam beramal ditengarai menimbulkan kerancuan akibat distorsi peta pemahaman mereka, maka ketika seorang Muslim dalam fikroh keislamannya kosong dari persepsi hukum, politik, atau kosong dari pendidikan jiwa dan kebersihan ruh, atau kosong dari pendidikan akal dan dinamika pemikiran, atau kosong dari pendidikan fisik dan penguatan jasmani, atau hanya terfokus pada kemaslahatan individu dari pada kemaslahtan sosial. Mereka tidak hanya menyebabkan lambannya perjalanan tetapi melenceng jauh dari jalan yang lurus. Sesungguhnya kemenyeluruhan Islam bukanlah tempat berijtihad, akan tetapi sudah merupakan paket yang karena satu dan lain hal tidak boleh dlampaui,seseorang yang ingin mengeluarkan sebagian dari kemenyeluruhan Islam du bawah tekanan realita, membuatnya membuang sabagian dari unsusr-unsur Islam, lalu Ia berpersepsi telah melakukan yang terbaik, padahal apa yang dilakukannya akan semakin menggiring akal terbelenggu pada pemahaman yang sakit. Sungguh telah tiba saatnya umat Islam melihat kekurangan pemahaman dan keikhlasan, intinya hanya satu yaitu split dan distorsi, nilainya hanya duniawi, sebab nilai ukhrowi hanya dapat dicapai dengan amal yang optimal dalam upaya memenangkan yang haq dan mempecundangkan yang batil. Rukun kedua : Untuk memahami peta pemahaman harus ada gambaran peta geografis yang menyeluruh mencakup segala bagiannya, besar-kecil dan tinggi-rendahnya merupakan skala yang alamiah, akan tetapi ketika skala itu diperbesar atau diperkecil semaunya, maka peta tersebut akan menipu orang lain, demikian pula peta pemahaman ketika bagaian-bagiannya diperbesar dan diperkecil semaunya akan menipu orang yang menggunakannya. Sesungguhnya barangsiapa yang menggunakan kaca pembesar , maka skala dan jarak yang dilihat bukanlah yang sesungguhnya, sebab bila dianggap yang sesungguhnya maka tentunya itu penglihatan yang salah, bisa jadi jaraknya hanya beberapa sentimeter padahal kenyataannya sangat jauh, titik yang kecil (seperti gunung) membutuhkan kekuatan yang besar untuk menempuhnya, bukan hanya dengan sekali sentuh atau gerak saja.



Sebagian umat Islam ada yang terkena semacam pembengkakan pemahaman dalam menyikapi berbagi permasalahan Islam dan problematikanya. Topik mengenai Khilafah dan amal memang penting dalam kontek pemahaman yang sehat, akan tetapi hanya total pada topik itu saja, seolah-olah telah memnuhi seluruh topik keislaman, sementara di sisi lain urusan-urusan keislaman lainnya dianggap sepele dan diabaikan, maka hal itu sama saja dengan meruntuhkan khilafah itu sendiri. Demikian pula melihat tarbuyah ruhiyah dan tazkiyahnya dengan mengenyampinngkan aktifitas keislaman lainnyam juga hanya akan menghancurkan ruh itu sendiri.Karena itu orang yang berakal aklan mengatakan bahwa pembengkakan tidak menunjukan keadaan yang sehat, tetapi keadaan yang sakit, demikian pula pembengkakan pemahaman. Juga sebagian aktifis Islam terkena pembengkakan ini, dimana mereka bersikukuh hanya memperhatikan satu aspek di antara sekian banyak aspek keislaman, tidak pernah terlintas dalam benak mereka kecuali aspek itu saja. Penyimpangan besar yang terjadi dalam perjalanan sejarah manusia kebanyakan disebabkan oleh kesalah dalam membuat peta pemahaman. Kaum Yahudi yang tidak mengnal agamanya sendiri, hanya karena mereka manjadi bangsa pilihan Tuhan, menjadikan pemahamn mereka melampaui batas, sampai pada persepsi bahwa ras mereka lebih unggul dari segala ras yang ada, dan menuntut apapun diluar ras mereka untuk tunduk, sampai Allah SWT juga direndahkan oleh mereka. Begitu pula kaum Nasrani yang tidak memperlakukan Nabi Isa kecuali menuhankan dan mengagungkannya sehingga mereka pun menyimpang dan sesat. Sedangkan orang-orang Musyrik mereka mengkultuskan tokoh-tokoh mereka, kemudian beralih kepada menuhankan patung untuk mengenang tokoh-tokoh mereka, akal dan jiwa mereka telah dikuasai oleh kemusyrikannya, begitulah bila kita menelusuri bangsabangsa di muka bumi ini, kita akan dapatkan bahwa kerancuan pemahaman mereka telah melampaui kemurnian akidahnya. Beberapa firqah Islam mencerminkan pemahaman yang bengkak dan rancu, faham Qadariah yang mengingkari takdir adalah kaum yang disifati dengan kebaikan dan ketaqwaan, akan tetapi mereka telah lancang menafikan takdir, mereka mempersepsi bahwa ilmu Allah tidak bersifat azali, tetapi bersifat baharu (hadits). Sesusungguhnya mereka ingin mensucikan Allah dari sifat dzhalim, akan tetapi keingginan mereka terlalu membengkak sehingga mereka mensifati Allah dengn kebodohan, lalu mereka keluar dari kaidah pensucian, tentang mereka tergambar dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ibnu Umar ketika datang kepadanya Yahya bin ya’mar dan hamid bin Abdurrahman al-himyary, keduanya berkata kepadanya : “Sesungguhnya sebelum kami ada sekelompok orang yang membaca al-Qur’an tetapi mereka ‫ويتقفرون‬, mereka mengatakan : “tidak ada takdir, sesungguhnya segala perkara terjadi dengan sendirinya dan Allah tidak mengetahui permulaannya”. Ibnu Umar berkata : “jika engkau bertemu dengan mereka, katakan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan merek berlepas diri dariku, demi sumpah yang telah dinyatakan oleh Ibnu Umar,



seandainya salah seorang dari mereka menginfakan emas seberat gunung uhud, Allah tidak akan menerimanya sehingga Ia beriman kepada takdir, kemudian Ia mengutip hadits tentang kisah Nabi Muhammad yang didatangi malaikat jibril yang menjelaskan tentang rukun iman. Karena itu tidak sepatutnya bila firqah dan faham seperti itu disifati dengn sifat jenius Dan excellent, seperti yang sering dijuluki oleh para orientalis dan murid-muridnya terhadap mu’tazilah dengan julukan pelopor pemikir bebas dan pencerahan akal, padahal hakekatnya mereka adalah oarang-oarang yang pemahamannya bersayap. Begitupula Syi’ah yang mencintai Ali bin Abi Thalib RA dan menuhankannya, mereka mengidap penyakit pembengkakan dalam hal cinta dan loyalitas, yang telah mengungkung pemahamn mereka dan mengarahkan gerakan mereka dengan arah yang keliru. Adapun Khawarij adalh kelompok yang kelebihan dalam kesungguhannya, kekukuhannya, kekehannya, kekerasanyya dan sikpanya terhadap ibadah dan membaca Al-Qur’an, akan tetapi mereka juga mengalami pembengkakakn pemahaman, ketika tidak dapat menggabungkan antara muslim yang maksiat dengan mu’min pada waktu yang sama, maka ketegasan sikap mereka dalam mengkafirkan ahli maksiat adalah kemaksiatan mereka yang terbesar. Mereka lupa bahwa nas-nas syar’I memiliki landasan pemahaman masing-masing, kontradiksi yang terjadi di antara nash biasanya hanya dzhahirnya saja, hal itu dapat diatasi dengan ilmu dan pandangan serta analisa yang luas. Ketika seorang tidak memiliki landasan dan pengetahuan, maka kontradiksi antar nash menjadi ganjalan yang berat bagi akal, sehingga seorang muslim cenderung memilih satu nash dan membuang yang lainnya, padahal meskipun , pada saat yang sama Ia ingin agar syariat Allah ditegakan di atas syiar : ) ‫( إن الحكم إَّل هلل‬, hukum hanyalah milik Allah, tetapi sesunguhnya Ia telah menolak syriat Allah dengan menolak satu nash atau hukum. Untuk lebih memperjelas hl ini, maka penting untuk dikemukakan dua contoh nash yang tampak bertentangan satu dengan yang lainnya. 33



Nash yang pertama : Hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :



‫ ومن تجرع سما ً فهو في نار‬، ‫من قتل نفسه بحديدة فهو في نار جنهم يتوجأ بحديدته خالدا ً مخلدا ً فيها‬ ‫جهنم يتجرعه خالدا ً مخلدا ً فيها‬ “Barang siapa yang bunuh diri dengan benda tajam maka Ia kekal di dalam neraka dalam keadaan seperti ketika melakukannya, barang siapa yang bunuh diri dengan menenggak racun, maka Ia kekal di dalamnya dalam keadaan seperti ketika melakukannya”.34 Nash ini secara zahir menegaskan bahwa pelaku bunuh diri kekal di dalam neraka, karena termasuk perbuatan dosa besar yang sama dengan dosa kufur. 3333 34



Nash yang kedua : Imam Muslim mentakhrij dalam kumpulan hadits sahihnya, melalui Jabir bahwasanya Thufail bin Amru Ad-Dausy bahwasanya Ia datang kepada Nabi SAW ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………………………… Rukun yang ketiga : Bahwasnya anda menempatkan unsur-unsur pemahaman pada tempatnya yang alami, tidak tertukar penempatannya, bahkan masing-masing unsur tampak pada tempatnya yang alami dalam urutan skala prioritas, yang demikian itu bahwasanya metodologi menejemen skala prioritas akan memberikan saham yang signifikan dalam perubahan manhaj dan sistematika berpikir, karena perbedaan di antara dua jamaah misalnya bukan dalam unsur-unsur pemahaman, akan tetapi dalam urutan skala prioritas dan unsur-unsurnya, seperti halnya bila sebuah tahapan dimulai sebelum waktunya, maka akan merusak tahaoan itu sendiri, sesungguhnya kami telah melihat musuh-musuh Islam berusaha menggiringa ke arah