Buku Potensi SDKP WPP 714 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016







EDITOR: 1. Ir. Nilanto Perbowo M.Sc 2. Dr. Indra Sakti, SE, MM 3. Dr. Drama Panca Putra, S.Pi, M.Si 4. M. Hikmat Jayawiguna, S.St.Pi., M.Si 5. Tri Handanari, S.Si, M.Sc 6. Indriani Musthapia, S.Pi, M.Si 7. Ridona Viju Rafeliandi, A.Md 8. Isrintani Tri Papengstuti, A.Md 9. Andi Astowo, A.Md TIM PENYUSUN: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.



Prof. Dr. Ir. Zahri Nasution, M.Si (Sosiologi Pedesaan) Dr. Khairul Amri, M.Si (Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan) Dr. Taslim Arifin (Ekologi Pesisir) Dr.-Ing. Widodo Setiyo Pranowo (Oseanografi) Dr. Joni Haryadi D, M.Sc (Akuakultur) Dr. Singgih Wibowo, MS (Pengolahan Hasil KP) Dr. Ir. Armen Zulham, M.Sc (Ekonomi Perikanan) Umi Mu’awanah, Ph.D (Teknologi Kelautan) Syamdidi, S.Pi, M.App.Sc (Pengolahan Hasil KP) R. Bambang Adhitya Nugraha, S.Pi, M.App.Sc (Teknologi Kelautan) Drs. Bambang Sumiono, M.Si (Sumberdaya Perikanan dan Lingkungan) Erlania, S.Pi, M.Si (Akuakultur)



KONTRIBUTOR: 1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi KP 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Daya Saing Produk dan Bioteknologi KP 5. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau 6. Balai Penelitian Perikanan Laut 7. Balai Penelitian dan Observasi laut 8. Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir PENERBIT: Amafradpress - Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Jl. Pasir Putih I Ancol Timur, Jakarta 14430 Telepon: (021) 64711583 ext:4214, Fax: (021) 64711438 Email: [email protected] Anggota IKAPI dengan nomor: 501/DKI/2015 ISBN: 978-602-72851-2-5 ii



SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN



D



alam rangka mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, pembangunan kelautan dan perikanan lima tahun kedepan diarahkan untuk memenuhi tiga pilar yang saling terintegrasi, yakni kedaulatan (sovereignty), keberlanjutan (sustainability), dan kemakmuran (prosperity). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menetapkan beberapa strategi kebijakan, diantaranya dengan meningkatkan kemandirian dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan (KP) yang sangat besar. Potensi ekonomi KP ini diyakini dapat menjadi sektor unggulan yang kompetitif, sekaligus mampu menyelesaikan sebagian persoalan bangsa. Berdasarkan Permen KP No. 18 Tahun 2014 Pemerintah telah menetapkan 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), namun selama ini rangkuman informasi tentang potensi ekonomi di 11 WPPNRI tersebut belum terpublikasikan secara luas. Oleh sebab itu, Saya sangat menyambut baik diterbitkannya buku “Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714” yang merupakan rangkuman karya fikir para peneliti dan intisari dari laporan teknis hasil penelitian di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Informasi terkait potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan penting untuk dipahami, karena sangat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dalam membantu perencanaan, pemanfaatan dan pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sumberdaya KP tidak hanya membutuhkan perencanaan yang baik namun juga harus berdasarkan data dan informasi serta hasil dari kajian ilmiah (scientific base). Keberadaan buku ini saya harapkan dapat menjadi salah satu panduan bagi para pengambil kebijakan di pusat dan daerah serta pemangku kepentingan lainnya dalam mengelola sumberdaya KP khususnya yang terkait dengan WPPNRI 714. Saya memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan buku ini, khususnya para Peneliti lingkup Balitbang KP yang terlibat dalam penelitian potensi Sumberdaya KP di WPPNRI 714. Kiranya Saudara dapat lebih produktif lagi dalam menghasilkan karya dan inovasi dalam rangka memajukan sektor kelautan dan perikanan. Kiranya buku ini dapat menjadi lompatan bagi Balitbang KP untuk menjadi center of excellence bagi pembangunan kelautan dan perikanan di tanah air. Jakarta, Maret 2016 Plt. Kepala Balitbang KP



Ir. Nilanto Perbowo, M.Sc.



iii



KATA PENGANTAR SEKRETARIS BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN



P



uji syukur tercurah kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP) dapat mempersembahkan buku ”Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714”. Buku ini untuk pertama kalinya diterbitkan oleh Balitbang KP yang membahas mengenai potensi ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan. Buku ini hadir untuk mendukung capaian sasaran strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan sumber daya yang bertangungjawab dan berkelanjutan. Salah satu upaya tersebut melalui kegiatan inventarisasi nilai ekonomi sumberdayanya. Untuk itu buku ini disusun dengan memuat berbagai aspek terkait ketersedian sumberdaya, status stok sumberdaya, kondisi lingkungan perairan, pemanfaatan teknologi dan eksploitasi sumberdaya, pemanfaatan sumber energi terbarukan, serta aspek lainnya yang disertai dengan bahasan aspek sosial ekonomi perikanan. Materi yang terangkum dalam buku ini dikumpulkan dari hasil penelitian dan kajian terkini para peneliti Balitbang KP di wilayah perairan WPPNRI 714 (Teluk Tolo dan Laut Banda). Wilayah perairan ini terkenal kaya akan sumberdaya kelautan dan perikanan. Secara ekonomi, wilayah perairan Teluk Tolo dan Laut Banda memegang peranan penting bagi kehidupan nelayan skala kecil maupun nelayan skala besar (industri) yang berperan cukup signifikan dalam pergerakan ekonomi nasional. Oleh karena itu, bahasan buku ini mencoba merangkum berbagai aspek ekonomi sumberdaya terkait. Kami mengucapkan terima kasih kepada para Peneliti dan Tim Penyusun yang telah menyelesaikan pembuatan buku ini. Saya berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi para pengambil kebijakan dan berkontribusi dalam akselerasi penyebarluasan hasil-hasil penelitian Balitbang KP khususnya terkait dengan aspek ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan. Jakarta, Maret 2016



Dr. Indra Sakti, SE. MM



iv



Daftar Isi Sambutan Kepala Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan | iv Kata Pengantar Sekretaris Badan Penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan | v Bagian I Pendahuluan | 1 Bagian II Karakteristik WPPNRI 714| 7 - Dasar Hukum Dan Posisi Geografis | 9 - Variabilitas Iklim Dan Karakteristik Habitat | 16 - Habitat Dan Lingkungan Perairan | 34 - Karakteristik Sosial Ekonomi | 39 Bagian III SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN | 65 - Perikanan Tangkap | 67 - Perikanan Budidaya | 88 - Sumber Daya Nonhayati | 102 - Pascapanen | 117 Bagian IV ARAH PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN | 145 - Valuasi Nilai Sumber Daya Pesisir Dan Laut | 147 - Isu Strategis| 169 Bagian V Rekomendasi | 185 Daftar Pustaka | 193







vi



Bagian I



PENDAHULUAN



Pendahuluan











Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



1. PENDAHULUAN



W



ilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) merupakan dasar spasial yang dapat digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi laut, hingga pengelolaan kegiatan penelitian dan pengembangan. WPPNRI ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2014, yang juga merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, yakni Nomor PER.01/MEN/2009 yang meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal tersebut semakin lengkap dan dikuatkan oleh UU RI Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dimana pembangunan kelautan, seperti pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir serta pengendalian pencemaran, harusnya dilaksanakan berdasarkan pengelolaan ruang laut di wilayah yuridis perairan nasional. Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714 merupakan sebuah outcome dari Badan penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP). Keberadaan data dan informasi terkait dengan potensi sumber daya kelautan dan perikanan bertujuan mendukung capaian sasaran strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam pengelolaan sumberdaya yang bertangungjawab dan berkelanjutan. Inventarisasi nilai ekonomi sumberdaya, ketersedian sumberdaya, status stok sumberdaya, kondisi lingkungan perairan, teknologi inventarisasi dan eksploitasi sumberdaya, pemanfaatan sumber energi terbarukan, serta aspek lainnya yang disertai dengan bahasan aspek sosial ekonomi perikanan merupakan topik bahasan yang akan disajikan dalam tulisan ini. Secara keseluruhan dalam buku ini dikemukakan dasar hukum penetapan Wilayah Pengelolaan Perikanan dan batas-batas geografis, Selanjutnya dikemukakan variabilitas iklim, yang menjelaskan tentang dominasi laut dan daratan. Kawasan WPPNRI 714 lebih didominasi oleh laut dibandingkan daratan, sehingga sangat dipengaruhi oleh interaksi antara laut dan atmosfer. Kemudian, karakteristik oseanografi kawasan WPPNRI 714 berada di jalur lintasan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik Barat yang menuju Samudera Hindia bagian Timur. Volume massa air yang demikian besar tersebut dikenal oleh kalangan internasional sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesia Through-Flow (ITF). Arlindo ini adalah bagian dari sirkulasi massa air laut dunia (World Ocean Conveyor Belt Circulation) yang mengontrol iklim bumi. Pada kurun waktu 2003-2007 Arlindo diukur dengan menggunakan peralatan oseanografi yang dibenamkan di kolom laut, hasil kerja sama secara multinasional dengan lembaga penelitian dari Amerika (LDEO dan SIO), Australia (CSIRO), Belanda (NIOZ), dan Perancis (LODYC).



Pendahuluan







Perairan di kawasan WPPNRI 714 yang terdiri atas Teluk Tolo dan Laut Banda, merupakan perairan dalam (deep sea) dengan kedalaman berkisar 900-7400 meter, dengan karaketeristik pantai yang curam dan terjal. Wilayah perairan ini mencakup kawasan perairan dari 6 provinsi, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara. Kawasan pesisir dari pulau-pulau yang berada pada WPPNRI 714 termasuk dalam kawasan konservasi ekosistem terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun yang telah ditetapkan oleh KKP. Kondisi tutupan ekosistem mangrove di kawasan WPPNRI 714 tergolong rendah, sedangkan tutupan ekosistem terumbu karang dan lamun tergolong pada kondisi sedang. Luas ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Maluku yakni sekitar 1.323,34 km2; dengan luasan ekosistem mangrove dan lamun berturut-turut yakni 1.322,907 km2 dan 393,07 km2. Besarnya potensi kawasan perairan tersebut menjadi peluang potensi yang sangat besar bagi pengembangan aktivitas budidaya laut. Kondisi terumbu karang di bagian barat WPPNRI 714 berkisar antara 28% - 60% yang termasuk dalam kategori sedang hingga baik. Didapatkan 10 lifeform karang keras, terdiri dari 5 jenis Acropora dan 6 jenis non-Acropora yaitu Acropora Branching (ACB), Acropora Encrusting (ACE), Acropora Submassive (ACS), Acropora Tabulate (ACT), Acropora Digitate (ACD), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS), Coral Mushroom (CMR) dan Coral Heliopora (CHL). Karakteristik sosial ekonomi perikanan yang terdapat pada WPPNRI 714 digambarkan dengan struktur armada perikanan tanpa motor, motor tempel, dan armada perikanan ukuran ≥ 5 GT sampai 30 GT. Armada perikanan rakyat merupakan usaha yang potensial, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat pada WPPNRI 714. Tentu peran tersebut harus didukung oleh kesiapan infrastruktur yang memadai dan komitmen jaringan pasar yang konsisten. Infrastruktur yang perlu dipersiapkan pada sentra pendaratan ikan adalah Pabrik Es/Cold Storage/pasokan listrik serta sarana transportasi distribusi ikan, pasokan BBM yang cukup. Selain itu, armada perikanan rakyat tersebut harus didukung oleh bantuan modal (investasi dan operasional) melalui skema pinjaman yang sederhana. Keberhasilan membangun infrastruktur tersebut akan dapat menjamin transformasi struktur armada perikanan rakyat menuju perikanan komersial. Penguasaan aset pada masyarakat perikanan merupakan gambaran yang menunjukkan kemampuan dari seorang atau sekelompok orang menguasai aset yang terkait dengan usaha yang dijalankannya. Aset yang dikuasai itu dapat merupakan milik sendiri atau milik orang lain yang diperoleh melalui sewa atau hibah. Sebagai contoh bahwa etnis Kei umumnya menguasai aset armada penangkapan ikan yang terdapat di seluruh desa yang ada di Kota Tual. Etnis Kei ini merupakan kelompok yang paling berpengaruh di Kota Tual. Etnis ini juga berperan dalam perdagangan, terutama mengumpulkan hasil bumi yang terdapat pada masyarakat pada berbagai desa. Etnis lain yang berperan dalam







Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



menguasai aset armada penangkapan ikan adalah etnis Bugis dan etnis Buton. Selanjutnya dikemukakan pula sumber modal untuk investasi dan biaya operasional penangkapan ikan yang secara umum berasal dari modal sendiri. Kemudian, aspek kelembagaan berkisar kelembagaan pengelolaan pemasaran hasil tangkapan, pengelolaan keuangan. Suatu hal yang terjadi pada usaha perikanan rakyat, peran istri telah diikutsertakan dalam pengelolaan usaha penangkapan ikan. Sebagai contoh pada usaha perikanan yang menggunakan jaring, peran istri dalam pengelola keuangan usaha perikanan terdapat di Desa Tamedan (40,41%), Dullah Laut (40%) dan Lebetawi (50%). Di Desa Ngadi keuangan usaha perikanan rakyat dikelola sendiri terdapat pada 28,6% responden, 14,4 % dilakukan pemilik bersama dengan beberapa pegawai. Pada bagian ketiga dijelaskan hal-hal yang terkait dengan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan sumber daya non hayati. Pada perikanan tangkap dikemukakan sumber daya ikan dan aspek penangkapan untuk kelompok ikan pelagis kecil, pelagis besar ikan demersal, dan udang, yang kemudian dilanjutkan dengan estimasi potensi sumber daya. Sebagai contoh misalnya hasil penghitungan stok menggunakan model surplus produksi, nilai potensi lestari (MSY) ikan pelagis besar (selain jenis ikan tuna, tongkol dan cucut) di WPPNRI 714 yakni 30.466 ton/tahun dengan nilai JTB (Jumlah Tangkapan yang diperbolehkan) 24.373 ton. Nilai upaya optimum (f-opt) sebesar 3.854 unit standar purse seine dan upaya aktual 2.468 unit alat tangkap standar. Tingkat pemanfaatannya sekitar 0,64. Berarti tingkat pemanfaatan masih menjamin kelestarian sumber daya. Untuk sumber daya ikan tongkol, nilai potensi lestarinya 21.178 ton per tahun dan JTB sebesar 16.943 ton per tahun. Upaya optimal (f opt.) sekitar 4.069 unit setara purse seine dan upaya aktual adalah sekitar 2.468 unit purse seine. Tingkat pemanfaatannya sekitar 0.61, yang mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatannya masih berada pada tahapan yang lestari. Pada perikanan budidaya dikemukakan mari kultur yaitu budidaya rumput laut, budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung dan budidaya tiram mutiara. Pengembangan kawasan marikultur di WPPNRI 714 dilakukan pada dua Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku, yaitu Kota Tual dan Saumlaki (Kabupaten Kepulauan Tanimbar); sedangkan budidaya tambak dilakukan di Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara. Disamping itu dikemukakan pula pemasaran hasil budidaya di wilayah pengembangan tersebut. Sumber daya non hayati dimulai dengan dikemukakannya potensi wisata bahari di Wakatobi dengan keindahan karangnya. Dalam hal ini dikemukakan penutupan karang dan kesesuaian lokasi karang untuk wisata bahari. Sebagai gambaran misalnya berdasarkan analisis spasial, diperoleh bahwa untuk kawasan wisata bahari pada Pulau Kaledupa, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: (1) kelas kesesuaian lahan dengan kategori S1 (Sangat sesuai) dengan areal seluas 72,02 km2 (44,9%), (2) kelas kesesuaian lahan dengan kategori S2 (Sesuai) dengan areal seluas 86,24 km2 (53,79%), dan (3) kelas kesesuaian kategori S3



Pendahuluan







(Sesuai Marjinal) dengan areal seluas 2,08 km2 atau 1,3%. Selain itu dikemukakan cara pembuatan garam. Untuk pasca penen dimulai dengan identifikasi pelaku dan distribusi hasil panen yang dilanjutkan dengan penanganan pasca panen. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Aktivitas pengolahan hasil perikanan di Provinsi Maluku disokong 499 unit pengolahan ikan (UPI) yang terdiri dari 236 unit pengolahan produk asin, 131 unit pengolahan ikan asap/asar, 67 unit pengolahan ikan pindang dan sisanya 65 unit olahan lain seperti abon, produk olahan daging lumat dan loin tuna. Kegiatan pasca panen ini melibatkan hampir 1.446 tenaga kerja dengan total produksi mencapai 5.052 ton produk senilai 123 milyar rupiah per tahun. Serapan bahan baku per tahun mencapai 7.863 ton untuk memenuhi kebutuhan 499 UPI. Disamping itu dikemukakan pula sanitasi dan hygine produk pengolahan ikan, sarana dan prasarana yang mendukung pasca panen, serta keterlibatan wanita dalam proses pasca panen. Dikemukakan pula pasca panen rumput laut dan karakteristik susut hasil pascapanen perikanan, termasuk susut hasil pascapanen hasil perikanan. Susut hasil pascapanen hasil perikanan dapat diekspresikan dalam persen (%) susut hasil sesuai jenis susut hasil atau diekspresikan dalam persen (%)-nilai. Angka susut hasil tersebut dapat memberikan gambaran besaran potensi ekonomi pascapanen perikanan yang hilang atau tidak dapat dimanfaatkan dengan baik. Susut hasil pascapanen hasil perikanan di tingkat nelayan dapat terjadi sejak ikan ditangkap hingga ikan sampai di pembeli (pedagang). Terdapat dua jenis susut hasil yang menonjol yang ditemukan di tingkat nelayan yaitu susut mutu (quality loss) dan susut hasil karena tekanan pasar (market force loss). Pada bagian keempat dikemukakan valuasi ekonomi terhadap sumber daya yang terdapat di WPPNRI 714 dan diidenfikasi pula isu kritis yang terdapat dalam wilayah pengelolaan perikanan ini. Pada bagian akhir buku ini dikemukakan rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti terkait dengan pembangunan kelautan dan perikanan di WPPNRI 714 ini.







Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Bagian II



KARAKTERISTIK WPPNRI 714



Tutupan fleshy seaweed.



Karakteristik WPPNRI 714







Schooling Melichthys niger.







Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



1. DASAR HUKUM DAN POSISI GEOGRAFIS 1.1 Dasar Hukum Penetapan Kawasan perairan Negara Republik Indonesia sangat luas dengan karakteristik habitat yang sangat berbeda sehingga keanekaragaman sumber daya hayatinya pun belum tentu sama. Untuk itu wilayah perairan Indonesia perlu dibagi ke dalam beberapa kawasan pengelolaan perikanan secara nasional. Melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 18 Tahun 2014, telah ditetapkan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Wilayah tersebut merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, yakni Nomor PER.01/MEN/2009 yang meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). WPPNRI dibagi dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan yaitu: 1. WPPNRI 571 meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. 2. WPPNRI 572 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda. 3. WPPNRI 573 meliputi perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat. 4. WPPNRI 711 meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan. 5. WPPNRI 712 meliputi perairan Laut Jawa. 6. WPPNRI 713 meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali. 7. WPPNRI 714 meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda. 8. WPPNRI 715 meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau. 9. WPPNRI 716 meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera. 10. WPPNRI 717 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik. 11. WPPNRI 718 meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang WPPNRI tersebut merupakan perwujudan dari Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. UU tersebut mengamanatkan adanya kebijakan pengelolaan sumber daya ikan secara lestari dan didukung dengan pendugaan potensi, pengendalian, dan pengawasan yang sistematis. Hal tersebut semakin lengkap dan dikuatkan oleh UURI Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dimana pembangunan kelautan, seperti pengelolaan sumber daya laut dan pesisir serta pengendalian pencemaran, harus dilaksanakan berdasarkan pengelolaan ruang laut di wilayah yuridis perairan nasional.



Karakteristik WPPNRI 714







Penamaan dan penomoran WPPNRI mengacu pada penomoran peta dari International Hydrographic Organization (IHO), International Maritime Organization (IMO), dan Food and Agriculture Organization (FAO). WPPNRI dengan nomor prefik 7 mengacu kepada peta hidrografi Samudera Pasifik, sedangkan WPPNRI dengan nomor prefik 5 mengacu kepada kawasan Samudra Hindia (Triyono et al., 2011).



Gambar 1.1. IHO Seas Map Sheet 3.



Gambar 1.2. FAO Major Fishing Area Map 71 Western IndoPacific Ocean Region (FAO, 2003).



10



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.3. FAO Major Fishing Area Map 57 Eastern Indian Ocean Region FAO, 2003).



Gambar 1.4. Pembagian 11 WPP NRI berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2014.



Karakteristik WPPNRI 714



11



Posisi Geografis Batas-batas koordinat geografis WPPNRI secara umum mengacu kepada Peta Laut IHO (IHO Seas Map) Sheet 3, dengan dokumen revisi terkini adalah Draft IHO Publication S-23 4th Edition (2002) pada Chapter 5 dan 6. Khusus untuk koordinat geografis WPPNRI 714 adalah memodifikasi dari batas geografis Laut Banda yang ada di Draft IHO Publication S-23 4th Edition (2002) pada Chapter 6, dengan tidak melibatkan Teluk Bone dan mengambil Pulau Kalaotoa sebagai titik ikat batas barat dari WPPNRI 714. Batas geografis WPPNRI 714 meliputi Laut Banda, Teluk Tolo, dan sekitarnya yang tercantum di dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan (KP) 18/PERMEN-KP/2014 adalah sama dengan yang tercantum di Nomor PER.01/ MEN/2009. Namun dengan terbitnya Permen KP No. 18/PERMEN-KP/2014 maka PERMENKP PER.01/MEN/2009 sudah tidak berlaku lagi.



Gambar 1.5. Peta Laut Banda menurut Draft S-23 IHO (2002).



12



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.6. WPPNRI 714 meliputi Laut Banda, Teluk Tolo, dan sekitarnya berdasarkan Permen KP No. 01/MEN/2009 (atas) dan Permen KP No.18/2014 (bawah).



Karakteristik WPPNRI 714



13



WPPNRI 714 meliputi Laut Banda dan Teluk Tolo. Secara geografis, WPPNRI 714 berada tiga lokasi. Pertama, sebelah selatan Sulawesi Tengah, Pulau Buru, Pulau Seram, dan Pulau Ambon. Kedua, di utara dan barat Kepulauan Maluku. Ketiga, berada di timur Sulawesi Tenggara. Batas-batas koordinat geografis WPPNRI 714 tertera pada tabel berikut ini. Tabel 1.1. Titik batas koordinat geografis WPPNRI 714 sebelah utara.



Tabel 1.2. Titik batas koordinat geografis WPPNRI 714 sebelah selatan.



14



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Tabel 1.3. Titik batas koordinat geografis WPPNRI 714 sebelah barat.



Tabel 1.4. Titik batas koordinat geografis WPPNRI 714 sebelah timur.



Karakteristik WPPNRI 714



15



2. VARIABILITAS IKLIM



DAN KARAKTERISTIK HABITAT



2.1. Variabilitas Iklim Kawasan WPPNRI 714 yang lebih didominasi laut ketimbang daratan, sangat kental dipengaruhi oleh interaksi antara laut dan atmosfer. Penerimaan cahaya matahari di kawasan perairan WPPNRI 714 pada kurun waktu 2007 hingga 2011 mengalami fluktuasi. Berdasarkan data pemantauan satelit oleh Pranowo dkk. (2014), pada tahun 2007 penerimaan cahaya matahari di WPPNRI 714 tergolong cukup tinggi yakni 402 - 423 w/m2, kemudian menurun tahun 2008 menjadi 395415 w/m2, dan mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2009 sebesar 402 - 420 w/m2. Namun pada 2010 kembali mengalami sedikit penurunan menjadi 393 - 417 w/m2. Penurunan tersebut masih berlanjut hingga tahun 2011 menjadi 396 - 414 w/m2. Penerimaan energi cahaya matahari menyebabkan terjadinya variabilitas suhu udara dan kelembaban udara di atas permukaan laut di kawasan WPPNRI 714. Berdasarkan data pemantauan satelit terhadap parameter suhu udara 10 meter di atas permukaan laut di kawasan WPPNRI 714, selama kurun waktu 2006 hingga 2010, rata-rata setiap tahunnya memiliki kisaran 26,3 oC – 27,3 oC (Pranowo dkk., 2014). Secara umum, setiap tahun suhu udara di atas permukaan laut tersebut meningkat hanya sedikit namun secara rata-rata peningkatan tersebut belum mencapai 1 oC, bahkan pada pada tahun 2010 terjadi penurunan suhu udara (Pranowo dkk., 2014). Sebaran suhu udara tersebut secara umum menyebabkan kelembaban udara cukup tinggi dengan bervariasi antara 78 - 90%. Kondisi curah hujan penting diketahui oleh masyarakat pesisir, nelayan, petani garam, dan pembudidaya perikanan karena sangat mempengaruhi segala aktivitas, termasuk pembenihan dan proses pertumbuhan organisme laut yang dibudidayakan. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG, 2015) memprakirakan, awal musim hujan memasuki tahun 2016 di kawasan WPPNRI 714. Awal musim hujan ditetapkan jika jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Berdasarkan data dari tahun 1981 – 2010, permulaan musim hujan bisa terjadi lebih awal (maju), sama, atau lebih lambat (mundur) dari normalnya (lihat Tabel 2.1). Di kawasan WPPNRI 714 terdapat 12 zona musim (ZOM) yakni: ZOM-312 (Kendari), ZOM-313 (Rumbia, Bombana, Konawe Selatan), ZOM-314 (Muna), ZOM-315 (Buton), ZOM-329 (Kepulauan Sula), ZOM-330 (Buru bagian utara), ZOM-331 (Buru bagian selatan), ZOM-332 (Seram bagian utara), ZOM-333 (Seram



16



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



bagian selatan); ZOM-334 (Seram bagian timur), ZOM-335 (Maluku Tenggara), ZOM-336 (Maluku Tenggara bagian barat). Lebih jelasnya dapat dilihat Gambar 2.1 dan 2.4. ZOM adalah daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan hujan. Wilayah ZOM tidak selalu sama dengan luas daerah administrasi pemerintahan. Dengan demikian satu kabupaten/kota dapat saja terdiri dari beberapa ZOM dan sebaliknya satu ZOM dapat terdiri dari beberapa kabupaten (BMKG, 2015). Tabel 2.1. Prakiraan awal musim penghujan 2015/2016 di Kawasan Pesisir WPPNRI 714. Awal Musim Hujan (Antara) [Bulan Minggu ke-] [Bulan Minggu ke-]



Perbandingan Terhadap Rata-rata 1981-2010 (Dasarian)



Sifat Hujan



No.



No. Zona Musim (ZOM)



1.



312



Kendari



Jan I - Jan III



0



Normal



2.



313



Rumbia, Bombana, Konawe Selatan



Des I - Des III



2



Normal



3.



314



Muna



Des I - Des III



0



Normal



4.



315



Buton



Des I - Des III



1



Normal



5.



329



Kepulauan Sula



Nov III - Des III



0



Normal



6.



330



Buru bagian Utara



Nov III - Des III



-1



Atas Normal



7.



331



Buru Bagian Selatan



Apr III - Mei II



0



Normal



8.



332



Seram Bagian Utara



Des I - Des III



+1



Atas Normal



9.



333



Seram Bagian Selatan



Mar I - mar III



+1



Atas Normal



10.



334



Seram Bagian Timur



Nov III - Des II



0



Atas Normal



11.



335



Maluku Tenggara



Des I - Des III



+3



Atas Normal



12.



336



Maluku Tenggara Bagian Barat



Des I - Des III



+1



Atas Normal



Daerah/Kabupaten



Sumber : (Sumber: BMKG, 2015)



BMKG (2015) memprakirakan, awal musim hujan terjadi antara Dasarian I – III Desember 2015 (lihat Gambar 2.1 dan 2.4) meliput: Rumbia, Bombana, Konawe Selatan, Pulau Muna, Pulau Buton, Kepulauan Sula, Buru bagian utara, Seram bagian utara, Maluku Tenggara, dan Maluku Tenggara bagian barat. Sedangkan Kendari bagian selatan mengalami awal musim hujan antara Dasarian I – III Januari 2016. Seram bagian selatan mengalami awal musim hujan antara Dasarian I – III Maret 2016. Buru bagian selatan mengalami awal musim hujan antara Dasarian I – III Mei 2016.



Karakteristik WPPNRI 714



17



Gambar 2.1. Prakiraan awal musim hujan 2015/2016 di Zona Musim Sulawesi Selatan, Sulawesi barat, dan Sulawesi Tenggara.



Gambar 2.2. Prakiraan awal musim hujan 2015/2016 terhadap rata-rata (19812010) di Zona Musim Sulawesi Selatan, Sulawesi barat, dan Sulawesi Tenggara.



18



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 2.3. Sifat Hujan Musim Hujan 2015/2016 terhadap di Zona Musim Sulawesi Selatan, Sulawesi barat, dan Sulawesi Tenggara. Berdasarkan sifat hujannya, diprakirakan terdapat daerah di 6 ZOM di kawasan WPPNRI 714 yang mengalami hujan normal. Daerah ini meliputi Kendari bagian selatan, Bombana, Konawe Selatan, Pulau Buton, Pulau Muna, Bau-Bau, Kepulauan Sula, dan Buru bagian selatan (lihat Gambar 2.3). Sementara itu, beberapa daerah di 6 ZOM mengalami hujan di atas normal seperti Buru bagian utara, Pulau Seram, Maluku Tenggara, dan Maluku Tenggara bagain barat (lihat Gambar 2.6). Dasarian adalah rentang waktu selama 10 hari. Dalam satu bulan dibagi menjadi tiga dasarian, yakni Dasarian I  (tanggal 1 – 10), Dasarian II  (tanggal 11 – 20), dan Dasarian III  (tanggal 21 - akhir bulan). Sedangkan yang dimaksud dengan sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan selama rentang waktu yang ditetapkan (satu periode musim hujan atau kemarau) dengan jumlah curah hujan normalnya (rata-rata selama 30 tahun periode 1981 - 2010), lihat Tabel 2.1. Sifat hujan di atas normal (AN) jika nilai curah hujan lebih dari 115% terhadap rata-ratanya. Normal (N), jika nilai curah hujan antara 85 115% terhadap rata-ratanya (BMKG, 2015).



Karakteristik WPPNRI 714



19



Gambar 2.4. Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Maluku dan Papua.



Gambar 2.5. Perbandingan prakiraan awal musim hujan 2015/2016 terhadap rata-rata (1981-2010) Zona Musim di Maluku dan Papua.



20



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 2.6. Prakiraan sifat hujan musim hujan 2015/2016 Zona Musim di Maluku dan Papua. Badan Litbang KP sejak tahun 2015, melalui Sistem Informasi Informasi Nelayan Pintar (SINP), menyediakan informasi tentang prakiraan cuaca untuk 7 hari ke depan di pelabuhan perikanan dengan resolusi temporal per 3 jam. SINP adalah salah satu program Quickwins perdana, pada era kepemimpinan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, yang dimonitoring secara langsung oleh Bappenas dan UKP-PPP Tahun 2015 (Pranowo, dkk., 2015). Ada tiga 3 pelabuhan perikanan di WPPNRI 714 yang dijadikan basis dalam prakiraan cuaca tersebut, yakni Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Kendari, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, dan PPN Tual. Parameter cuaca yang diprakirakan meliputi suhu udara 2 meter di atas permukaan, arah dan kecepatan angin 10 meter di atas permukaan, serta curah Gambar 2.7. Pelabuhan Perikanan SINP 2015-2016 hujan. di WPPNRI 714.



Karakteristik WPPNRI 714



21



Data-data yang digunakan dalam memproduksi prakiraan cuaca tersebut bersumber dari BMKG (2015), Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan), National Ocean and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat (Kistler et al., 2001; Environmental Modeling Center, 2003; Saha et al., 2014). Selain itu juga dikompilasi dataset hasil survei dan observasi pesisir dan laut yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (BRKP & BMG, 2005; Pranowo dkk., 2015).



Gambar 2.8. Prediksi suhu udara 2 m di atas permukaan PPN Ambon (4 - 10 Februari 2016).



Gambar 2.9. Prediksi angin 10 m di atas permukaan di PPN Ambon (4 - 10 Februari 2016).



22



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 2.10. Prediksi curah hujan 10 m di atas permukaan di PPN Ambon (4 - 10 Februari 2016).



Gambar 2.11. Prediksi suhu udara 2 m di atas permukaan di PPS Kendari (4 - 10 Februari 2016).



Karakteristik WPPNRI 714



23



Gambar 2.12. Prediksi angin 10 m di atas permukaan di PPS Kendari (4 - 10 Februari 2016).



Gambar 2.13. Prediksi curah hujan di PPS Kendari (4 - 10 Februari 2016).



24



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 2.14. Prediksi suhu udara 2 m di atas permukaan di PPN Tual (4 - 10 Februari 2016).



Gambar 2.15. Prediksi angin 10 m di atas permukaan di PPN Tual (4 - 10 Februari 2016).



Karakteristik WPPNRI 714



25



Gambar 2.16. Prediksi curah hujan di PPN Tual (4 - 10 Februari 2016). 2.2. Karakteristik Oseanografi Kawasan WPPNRI 714 berada di jalur lintasan massa air yang berasal dari Samudra Pasifik barat menuju Samudra Hindia bagian timur. Volume massa air yang demikian besar itu dikenal oleh kalangan internasional sebagai Arus Lintas Indonesia (Arlindo) atau Indonesia Through-Flow (ITF), lihat Gambar 2.17. Arlindo adalah bagian dari sirkulasi massa air laut dunia (World Ocean Conveyor Belt Circulation) yang mengontrol iklim bumi. Balitbang KP melakukan pemantauan Arlindo pada kurun waktu 2003 - 2007 dengan menggunakan peralatan oseanografi yang dibenamkan di kolom laut, bekerja sama secara multinasional dengan lembaga penelitian dari Amerika (LDEO Gambar 2.17. dan SIO), Australia (CSIRO), Pergerakan massa air laut Arlindo dari Belanda (NIOZ), dan Perancis Samudra Pasifik barat ke Samudra Hindia (LODYC) (Pranowo, dkk., 2005). timur melalui kawasan Laut Banda di WPPNRI 714 (Gordon et al., 2010).



26



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Massa air Arlindo ini memasuki perairan Indonesia melalui tiga jalur utama yakni Selat Makassar, Laut Maluku dan Laut Halmahera. Massa air Arlindo yang melewati Selat Makassar sebagian besar langsung diteruskan ke Samudra Hindia melewati Selat Lombok, namun ada juga diteruskan ke kawasan WPPNRI 714 Laut Banda. Massa air di Laut Banda ini mendapatkan inputan massa air Arlindo yang masuk dari arah Selat Lifamatola dan Laut Halmahera. Selanjutnya massa air - massa air tersebut bercampur dan tinggal untuk beberapa waktu di Laut Banda sebelum berlanjut meneruskan alirannya menuju Samudra Hindia melalui Selat Ombai dan Selat Timor. Menurut Gordon et al (2010) dalam penelitiannya bersama Program INSTANT yang berlangsung dari 2004-2006, massa air yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia (Arlindo) mengalami penaikan massa air atau umbalan (upwelling) dari lapisan yang lebih bawah menuju ke lapisan permukaan (Gambar 2.18). Dalam hal ini, Selat Lifamatola diasumsikan menjadi pintu masuk arus yang berasal dari Samudra Pasifik dan Paparan Sunda menjadi pintu keluar. Naiknya massa air ke permukaan ini diperkirakan juga karena adanya perbedaan topografi dasar laut antara pintu masuk dan keluar dalam jalur Arlindo ini.



Gambar 2.18. Ilustrasi upwelling di WPPNRI 714 (Gordon et al., 2010). Pada Gambar 2.18 dapat dilihat bahwa pada aliran masuk (inflow) di kedalaman 0 - 100 m sebesar 4,1 Sv mengalami penambahan volume transpor massa air di pintu keluar (outflow) menjadi sebesar 5,5 Sv (Gordon et al., 2010). Hal ini berarti terdapat penambahan massa air dari lapisan di bawahnya sebesar 1,4 Sv (Gordon et al., 2010). Unit Sv (Sverdrup) adalah satuan laju volume massa air, dimana 1 Sv setara dengan 1x106 m3/detik.



Karakteristik WPPNRI 714



27



Pada lapisan bawahnya, 100 - 500 m, terjadi pengurangan volume antara inflow dan outflow. Volume yang berkurang ini terangkat ke atas seperti yang sudah dijelaskan tadi. Kejadian ini mengakibatkan adanya perubahan kedalaman lapisan isotherm. Upwelling dan pendangkalan lapisan isotherm ini membuat lapisan permukaan menjadi kaya nutrisi dan zat hara sehingga cenderung menjadi tempat habitat ikan-ikan berkumpul. Dengan demikian secara umum, kawasan WPPNRI 714 merupakan lingkungan yang baik sebagai habitat ikan dan organisme lainnya untuk tumbuh dan berkembang. Keanekaragaman hayati lautnya sangat tinggi dikarenakan mendapatkan stok benih organisme laut dari Kawasan Segitiga Karang di Indo-Pasifik yang terdistribusi oleh Arlindo (Rosalina dkk., 2013). Perekaman data Southern Oscillation Index (SOI) menunjukkan adanya fluktuasi nilai index osilasi selatan dari tahun ke tahun. Terekam perubahan kejadian antara El-Nino dan La-Nina sepanjang 7 tahun terakhir (Gambar 2.19). Dilihat berdasarkan SOI, El-Nino terjadi apabila menunjukkan nilai negatif (-) sedangkan La-Nina sebaliknya, menunjukan nilai SOI positif (+). Nilai index ini menunjukkan kejadian yang kuat pada skala 8, baik +8 ataupun -8. Nilai SOI ini didapat dari perbedaan nilai tekanan permukaan laut di Tahiti dan Darwin.



Gambar 2.19. Fluktuasi Nilai SOI dari 2008 – 2015 (Bureau of Meteorology Australia, 2016).



28



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



El-Nino adalah kejadian dimana Samudra Pasifik bagian tengah dan barat mengalami pemanasan yang meluas. Akibatnya terjadi pergerakan pola cuaca di sepanjang perairan Samudra Pasifik. Kejadian El-Nino biasanya ditandai dengan bertambah dinginnya perairan Samudra Pasifik bagian barat dan perairan Australia utara dibanding dalam keadaan normal. El-Nino juga ditandai dengan menurunnya kadar kelembaban udara (kering) terutama di Australia. Sedangkan La-Nina adalah kejadian sebaliknya dari peristiwa El-Nino. Kejadian El-Nino ini memiliki pengaruh cukup besar pada wilayah Indonesia, dalam hal ini WPPNRI 714. Peristiwa El-Nino akan lebih besar pengaruhnya jika terjadi pada musim panas. Hal ini dikarenakan ketika El-Nino terjadi, keadaan udara di Indonesia cenderung lebih kering dan intensitas curah hujan di Indonesia akan cenderung berkurang. Sebaliknya, ketika La-Nina terjadi pada musim hujan, intensitas curah hujan yang terjadi akan meningkat.



Gambar 2.20. Rerata suhu permukaan laut di WPP 714 (kiri) dan anomali suhu permukaan laut (kanan). Rentang suhu permukaan laut di WPPNRI 714 rerata bulanan tahun 2004 - 2013 adalah 26 - 30 °C (Gambar 2.20 Kiri). Keadaan suhu permukaan laut ini memiliki pola yang mirip yaitu pada pertengahan tahun setiap tahunnya, suhu permukaan laut selalu mengalami penurunan nilai hingga ke titik terkecil dalam rentang tahun tersebut. Sedangkan pada akhir tahun dan awal tahun, suhu permukaan laut mengalami kenaikan hingga nilai maksimal dalam rentang tahun tersebut. Anomali suhu permukaan laut yang terjadi mengidentifikasi adanya kejadian El-Nino kuat pada tahun 2006 (anomali -1,20 °C) dan La-Nina kuat pada tahun 2010 (anomali +1,40 °C), lihat Gambar 2.20 (kanan). . Kadar oksigen pada lapisan permukaan disajikan dalam Gambar 11 merupakan data klimatologis yang didapat dari perhitungan data selama 33 tahun. Secara umum, pada perairan WPPNRI 714 kadar oksigennya berada pada kondisi normal untuk habitat ikan. WPPNRI 714 yang di dominasi oleh Laut Banda ini memiliki kadar oksigen rerata berkisar antara 4,4 mL/L dengan kadar minimal 4,3 mL/L, dan kadar tertinggi 4,5 mL/L. Kondisi oksigen minimal berada di selatan Sulawesi Tenggara dan perairan barat Pulau Papua. Hal ini diperkirakan sebagai akibat adanya aliran dari sungai di wilayah estuari yang menyebabkan terakumulasinya zat hara. Dengan begitu tingkat



Karakteristik WPPNRI 714



29



produktivitas di perairan meningkat sehingga bakteri membutuhkan banyak oksigen untuk mengurainya. Sementara itu, nilai tertinggi berada di perairan Teluk Tolo yang diperkirakan karena bentuk garis pantainya adalah teluk dimana penjalaran gelombang melebar dan meluas sehingga proses pengadukan antara atmosfer dan perairan oleh gelombang bertambah. Kondisi perairan di WPPNRI 714 secara normal dapat digambarkan berdasarkan rerata klimatologis, atau rerata dari data runtut waktu (time series) yang cukup panjang, yakni selama lebih 30 tahun. Laboratorium Data Laut dan Pesisir (Marine and Coastal Data Laboratory) Balitbang KP menggambarkan kondisi oseanografis perairan WPPNRI 714 di lapisan permukaan untuk parameter temperatur, salinitas, oksigen, fosfat, nitrat, dan silikat. Apabila suatu saat terdapat nilai-nilai hasil pengukuran dari parameter tersebut berada jauh di atas atau di bawah nilai-nilai rerata klimatologis ini, maka kondisi terukur tersebut dapat dikatakan sebagai kondisi anomali. Kondisi anomali ini dapat berpotensi mempengaruhi organisme dan keanekaragaman hayati di WPPNRI 714.



Gambar 2.21. Penampang horizontal rerata suhu permukaan laut. Data temperatur rerata klimatologis pada WPPNRI 714 dapat dilihat pada Gambar 2.21. Temperatur di WPPNRI 714 berkisar diantara nilai 28,2 – 28,6 oC. Sebaran temperaturnya cenderung semakin berkurang dari Teluk Tolo hingga menuju ke Perairan Pulau Jamdena. Di Perairan Pulau Jamdena terdapat temperatur terendah dalam wilayah WPPNRI 714. Suhu tertinggi berada di 2 lokasi yaitu di antara Pulau Buru dan Pulau Mangoli dan di sebelah utara Kepulauan Flores. Perairan Teluk Tolo cenderung hangat sedangkan perairan Banda berada di suhu rata-rata.



30



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 2.22. Penampang horizontal rerata salinitas permukaan laut.



Sebaran salinitas rerata klimatologis dapat dilihat pada Gambar 2.22. Kisaran nilai salinitas pada WPPNRI 714 berada pada 33,65 – 34,10 psu. Sebaran ini meningkat ke arah timur. Salinitas terendah berada pada Perairan Flores dan selatan Sulawesi Tenggara. Salinitas tertinggi berada di barat Perairan Pulau Buru. Teluk Tolo dan Laut Banda memiliki salinitas 34 psu.



Gambar 2.23. Penampang horizontal rerata oksigen permukaan laut.



Karakteristik WPPNRI 714



31



Kandungan oksigen rerata klimatologis yang tersebar di WPPNRI 714 memiliki 2 lokasi dengan kandungan rendah. Pada Gambar 2.23, terlihat sebaran kandungan oksigen permukaan berada di kisaran 4,25 – 4,5 ppm. Di Perairan Pulau Jamdena dan selatan Sulawesi Tenggara merupakan daerah dengan kandungan terendah. Sedangkan pada perairan Teluk Tolo, kandungan memuncak. Laut Banda memiliki kandungan rata-rata berkisar 4,4 ppm.



Gambar 2.24. Penampang horizontal rerata fosfat permukaan laut. Nilai kandungan fosfat di WPPNRI 714 tersebar secara acak. Nilainya berkisar antara 0,1 – 0,3 µmol/L. Teluk Tolo memiliki kandungan yang tinggi dibanding perairan lain yakni sekitar 0,25 µmol/L. Laut Banda memiliki kandungan 0,175 µmol/L sedangkan nilai terendah berada di perairan selatan Sulawesi Tenggara dengan kisaran nilai 0,1 µmol/L.



Gambar 2.25. Penampang horizontal rerata nitrat permukaan laut.



32



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Konsentrasi nitrat di permukaan WPPNRI 714 berkisar antara 0,1 – 0,8 µmol/L. Konsentrasi nitrat ini tersebar acak pada wilayah ini. Teluk Tolo memiliki konsentrasi yang paling kecil di antara perairan lainnya. Laut Banda memiliki konsentrasi 0,4 µmol/L yang termasuk nilai rata-rata dari perairan tersebut. Konsentrasi yang cukup tinggi berada di angka 0,7 µmol/L yang terdapat di 2 lokasi perairan, yakni di barat Pulau Buru dan utara perairan Kepulauan Flores. Konsentrasi tertinggi berada di perairan bagian tenggara Pulau Maluku dengan konsentrasi 0,8 µmol/L.



Gambar 2.26. Penampang horizontal rerata silikat permukaan laut. Kandungan silikat pada permukaan perairan WPPNRI 714 berkisar antara 1,5 – 4 µmol/L. Pada umumnya kawasan ini memiliki kandungan silikat antara 1,75 – 2,25 µmol/L yang banyak tersebar di perairan Laut Banda. Teluk Tolo memiliki kandungan silikat terbesar di perairan ini dengan konsentrasi 3,75 µmol/L dan semakin berkurang ke arah Laut Banda. Silikat biasanya berasal dari run off sungai yang membawa material-material kimia dari darat sehingga terjadi penumpukan di perairan dekat pesisir. Lokasi Teluk Tolo merupakan muara dari beberapa sungai di Sulawesi Tengah. Inilah mengapa Teluk Tolo memiliki kandungan silikat yang tinggi.



Karakteristik WPPNRI 714



33



3. HABITAT DAN LINGKUNGAN PERAIRAN 3.1. Ekosistem Pesisir Perairan di kawasan WPPNRI 714 yang terdiri atas Teluk Tolo dan Laut Banda, merupakan perairan dalam (deep sea) dengan kedalaman berkisar 900-7400 meter, dengan karaketeristik pantai yang curam dan terjal. Wilayah perairan ini mencakup kawasan perairan dari 6 provinsi, yaitu Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara. Kawasan pesisir dari pulau-pulau yang berada pada WPP-714 termasuk dalam kawasan konservasi ekosistem terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun yang telah ditetapkan oleh KKP. Kondisi tutupan ekosistem mangrove di kawasan WPPNRI 714 tergolong rendah, sedangkan tutupan ekosistem terumbu karang dan lamun tergolong pada kondisi sedang. Luas ekosistem terumbu karang di sekitar perairan Maluku yakni sekitar 1.323,34 km2; dengan luasan ekosistem mangrove dan lamun berturut-turut yakni 1.322,907 km2 dan 393,07 km2. Besarnya potensi kawasan perairan tersebut menjadi peluang potensi yang sangat besar bagi pengembangan aktivitas budidaya laut. Perairan pesisir sekitar pulau-pulau di provinsi Maluku yang masuk dalam WPP-714 merupakan kawasan perairan dengan karakteristik yang relatif subur dan sudah cukup banyak dimanfaatkan untuk aktivitas budidaya, antara lain budidaya rumput laut, ikan, dan tiram mutiara. Kondisi perairan Laut Banda yang relatif subur disebabkan oleh adanya masukan nutrien dari darat ke laut dan terjadinya proses upwelling di beberapa tempat. Salah satu kawasan perairan yang termasuk dalam kawasan WPP-714 adalah kota Tual, Provinsi Maluku. Kondisi perairan sekitar Kota Tual umumnya hampir sama dengan kondisi perairan Maluku pada umumnya, dengan tipe pasang surut campuran mirip harian ganda (Mixed Predominantly Semi Diurnal Tide). Tipe pasang surut ini dicirikan dengan terjadinya dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari; pasang pertama lebih besar dari pada pasang kedua dan terjadi pada pagi hari. Perairan Kota Tual yang berada di Kepulauan Kei ini memiliki potensi perikanan yang besar, antara lain ikan kerapu, napoleon, kue/bobara, kakap, serta teripang dan tiram mutiara. Namun potensi tersebut umumnya masih dimanfaatkan melalui aktivitas penangkapan, dan belum banyak dimanfaatkan melalui aktivitas budidaya. 3.2. Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang di bagian barat WPP 714 berkisar antara 28% - 60% yang termasuk dalam kategori sedang hingga baik (Gambar 3.1). Didapatkan 10 lifeform karang keras, terdiri dari 5 jenis Acropora dan 6 jenis non-Acropora yaitu



34



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Acropora Branching (ACB), Acropora Encrusting (ACE), Acropora Submassive (ACS), Acropora Tabulate (ACT), Acropora Digitate (ACD), Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS), Coral Mushroom (CMR) dan Coral Heliopora (CHL).



Gambar 3.1. Persentase tutupan substrat dasar Pulau Wangi-Wangi Wakatobi (Novianti et al., 2013). Ikan karang di perairan bagian barat WPPNRI 714 sangat beragam. Hasil pengamatan tim P3SDLP (2014) ditemukan 4989 individu ikan karang yang terdiri dari 89 spesies yang tergolong dalam 17 famili. Dari semua jenis ikan yang ditemui kelompok ikan pemakan tumbuhan atau herbivora hanya 6 famili yang terdiri atas 28 spesies dengan jumlah 1778 individu (Tabel 3.1).



Karakteristik WPPNRI 714



35



Tabel 3.1. Jumlah Ikan Herbivora di bagian barat WPP 714 Famili



Total Individu



Jumlah Spesies



Individu Terbanyak



Acanthuridae



329



8



Naso hexacanthus (44%); Acanthurus grammoptilus (15%); Acanthurus triostegus (15%)



Balistidae



1185



1



Melichthys niger (100%)



Ephippidae



16



1



Platax orbicularis (100%)



Pomacentridae



156



6



Pomacentrus moluccensis (58%); Chromis margaritifer (13%); Pomacentrus amboinensis (13%)



Scaridae



67



8



Chlorurus bleekeri (28%); Scarus ghobban (25%); Scarus prasiognathus (21%)



Siganidae



25



3



Siganus guttatus (18%); Siganus punctatus (16%); Siganus vulpinus (76%)



Jumlah



1778



27



Jumlah individu yang paling banyak yaitu famili Balistidae. Menurut Hutomo dkk (1985), Famili Balistidae umumnya bersifat karnivor dan beberapa spesies pemakan alga bentik seperti Melichthys niger. Ikan jenis ini dijumpai dalam keadaan schooling, namun juga dapat hidup soliter. Individu paling sedikit ditemui di perairan berasal dari famili Ephippidae. Famili ini merupakan kelompok yang konsisten memakan alga atau Browsers (Green & Bellwood 2009). Melichthys niger merupakan ikan dengan jumlah yang sangat banyak dan merupakan satu-satunya dari Famili Balistidae. Jumlah yang paling sedikit adalah Platax orbicularis yang juga merupaka satu-satunya dari Famil Ephippidae. Famili yang paling beragam yaitu famili Acanthuridae dan Scaridae. Famili Acanthuridae merupakan ikan herbivora dengan jenis Grazers atau detritivores. Grazers termasuk spesies Acanthurus sp. yang memakan turf alga, sedimen dan beberapa hewan kecil (Green & Bellwood 2009). Hampir semua jenis ikan kakatua mengambil makanan mengikuti pola makan tanpa pilih (non-selektif ) dengan melakukan “grazing” terhadap alga halus yang tumbuh menutupi permukaan karang mati (Adrim 2008). Spesies terbanyak pada famili Acanthuridae yaitu Naso hexacanthus (44%), Acanthurus grammoptilus (15%), dan Acanthurus triostegus (15%). Famili Acanthuridae ini merupakan ikan yang hidup pada siang hari dan sering ditemukan berkelompok. Pada famili Balistidae yaitu Melichthys niger (100%), karena hanya Melichthys niger merupakan ikan herbivora dari famili Balistidae yang ditemui saat pengamatan. Pada famili Ephippidae yaitu Platax orbicularis (Gambar 3.2) merupakan satu-satunya spesies yang ditemui ketika pengamatan. Spesies terbanyak dari famili Pomacentridae yaitu Pomacentrus moluccensis (58%), Chromis margaritifer (13%), dan Pomacentrus amboinensis (13%). Ketiga spesies



36



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 3.2. Platax orbicularis. ini hidupnya soliter atau berkelompok kecil, mereka senang hidup diantara terumbu karang, karang beralga atau batuan pada terumbu karang (FishBase. org). Spesies terbanyak pada famili Scaridae berturut-turut yaitu Chlorurus bleekeri (28%), Scarus ghobban (25%), dan Scarus prasiognathus (21%). Ikan kakatua (Scaridae) dapat ditemukan di terumbu karang di seluruh dunia dan sangat terkait erat dengan terumbu karang. Menurut Rudi dan Fadli (2012), populasi ikan Scaridae adalah sangat penting sebagai ikan herbivora.



Karakteristik WPPNRI 714



37



Ikan ini adalah kelompok yang bertanggungjawab untuk membuka daerah baru (kolonisasi) pada permukaan substrat terumbu karang untuk memungkinkan terjadinya penempelan atau rekrutmen karang baru, sehingga jumlahnya yang menurun akan menjadi permasalahan dalam aktivitas grazing di suatu terumbu karang (McClanahan 2008). Famili Scaridae merupakan ikan herbivora dengan jenis Scrapers atau small excavator dan Large axcavator atau bioreders, di dominasi oleh famili Scaridae yang terdiri dari dua kelompok yang memiliki perbedaan dari bentuk morfologi rahang dan kebiasaan makan. Small excavator merupakan kelompok pemakan turf alga dan mereka menghilangkan substrat ketika mereka makan turf alga tersebut. Jumlah substrat yang hilang akibat gigitan mereka berbeda untuk masing-masing kelompok. Sebagian besar famili Scaridae (genus Hipposcarus dan Scarus) adalah pengikis (scraperes). Gigitan meraka tidak terlalu dalam terhadap substrat ketika mereka memakan turf alga. Large axcavator merupakan pelaku bierosion pada terumbu, menghilangkan karang mati dan menyediakan substrat yang bersih bagi rekrutmen karang. Kelompok ini memiliki peran yang berbeda terkait resillience terumbu karang yaitu membuka site baru untuk kolonisasi alga dan karang (Green & Bellwood 2009). Pada famili Siganidae, spesies terbanyak yaitu Siganus guttatus (18%), Siganus punctatus (16%), dan Siganus vulpinus (76%). Famili Siganidae merupakan ikan herbivora dengan jenis Grazer dan Browsers. Meskipun memiliki proporsi yang kecil dalam memakan alga tetapi dengan kelimpahannya yang besar maka dapat mengendalikan alga secara signifikan (Green & Bellwood 2009). Famili Siganidae memiliki jumlah jenis yang lebih sedikit, lebih konservatif dalam kebiasaan makannya serta memiliki pola distribusi yang terbatas. Ikan ini juga lebih selektif dalam memilih makroalga dibandingkan dengan suku lainnya (Sale 1991).



38



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



4. KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI 4.1. Struktur Armada Perikanan Struktur armada perikanan rakyat pada WPPNRI 714 dapat dipelajari pada Gambar 4.1. Jumlah armada perikanan WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual dan Kota Kendari pada Tahun 2013 masing-masing: 619.390 unit dan 1.147 unit.



Sumber: Dinas KP, Kota Tual (2014) dan Bidang PT DKP Kendari (2013).



Gambar. 4.1. Sebaran Struktur Armada Penangkapan Ikan WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual dan Kota Kendari tahun 2013. Jika perikanan rakyat pada WPPNRI 714 dikelompokkan sebagai armada perikanan tanpa motor, armada perikanan motor tempel dan armada perikanan ukuran ≥ 5 GT sampai 30 GT, maka ada beberapa ciri perikanan rakyat pada WPPNRI 714. Di antaranya sebagai usaha perikanan yang dikelola personal atau berkelompok tanpa badan hukum. Selain itu, biaya operasional melaut umumnya berasal dari dana pribadi atau berasal dari pihak lain (umumnya pedagang). Ciri lain, alat tangkap yang digunakan sangat beragam, pembongkaran hasil tangkapan dilakukan secara manual dan melibatkan banyak pihak, hasil tangkapan dijual kepada sumber biaya operasional, serta sistem pengupahan berdasarkan bagi hasil. Sementara itu, perikanan komersial merupakan armada perikanan ≥ 30 GT yang dikelola secara komersial, operasi penangkapan ikan menggunakan teknologi maju yang sedang berkembang. Di samping itu, pada basis pendaratan ikan terdapat pengurus dan umunya tidak ikut melaut dan berfungsi untuk



Karakteristik WPPNRI 714



39



mendukung logistik penangkapan ikan, pengupahan dengan sistem gaji bulanan dan bonus, proses bongkar hasil tangkapan ikan menggunakan peralatan mekanik, hasil tangkapan di kelola oleh perusahaan pemilik kapal. Dari total armada perikanan yang berbasis di Tual dan Kendari, maka komposisi perikanan rakyat pada WPPNRI 714 adalah 98,1% di Tual dan 95% di Kendari. Dengan demikian, armada perikanan rakyat memiliki peran strategis pada WPPNRI 714. Peran ini diperlukan untuk melengkapi peran perikanan komersial yang menggunakan armada ≥ 30 GT yang mencapai 1,9 - 5% dari total armada perikanan pada WPPNRI 714. Sebagai contoh, armada komersial yang berbasis di Kota Tual terdiri dari 27 unit armada tangkap ukuran 100 GT sampai 200 GT dan 46 unit armada 200 GT sampai 500 GT. Sementara armada komersial yang berbasis di Kendari mencapai 52 Unit. Dengan demikian, armada perikanan rakyat merupakan usaha yang potensial, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat pada WPPNRI 714. Tentu peran tersebut harus didukung oleh kesiapan infrastruktur yang memadai dan komitmen jaringan pasar yang konsisten. Infrastruktur yang perlu dipersiapkan pada sentra pendaratan ikan adalah pabrik es, cold storage, pasokan listrik, sarana transportasi distribusi ikan, dan pasokan BBM yang cukup. Selain itu, armada perikanan rakyat tersebut harus didukung oleh bantuan modal (investasi dan operasional) melalui skema pinjaman yang sederhana. Keberhasilan membangun infrastruktur tersebut akan dapat menjamin transformasi struktur armada perikanan rakyat menuju perikanan komersial. Transformasi dan pengembangan armada perikanan rakyat ini harus dilakukan dan tidak akan menumbuhkan dualisme ekonomi pada kawasan tersebut (Jhinghan, 1999). Sebab, keuntungan yang diperoleh dari usaha perikanan rakyat dibelanjakan lagi oleh pemilik armada perikanan pada wilayah tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan armada perikanan komersial yang manajemennya terletak di Jakarta, Surabaya, dan Kendari. Di situ keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan di WPPNRI 714 hanya sedikit yang dinikmati oleh masyarakat setempat dan sisanya dibukukan pada perusahaan tersebut baik yang berbasis di Jakarta, Surabaya, dan Kendari. Keuntungan usaha perikanan komersial umumnya dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha pada lokasi lain. Saat ini usaha perikanan rakyat pada kawasan tersebut, menghadapi berbagai kendala. Usaha perikanan rakyat cenderung tidak efisien karena tempat pendaratan ikannya tersebar di berbagai desa di WPPNRI 714. Pada desa tertentu, hasil tangkapan ikan per armada jumlahnya terbatas, sehingga memerlukan biaya pemasaran yang tinggi. Pada sisi lain, usaha perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Tual dan Kendari berkembang pola patron – client. Pola hubungan ini terjadi karena terdapat kelompok yang memerlukan peran pihak lain dalam menjalankan usahanya, karena berbagai kendala yang dihadapi nelayan perikanan rakyat. Jika dipelajari hubungan nelayan dengan pedagang pemilik modal merupakan contoh hubungan patron-client, dimana pedagang yang memiliki modal sebagai patron dan nelayan sebagai client.



40



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Sebagai client maka nelayan wajib menjual hasil tangkapannya kepada patron, karena mereka telah memberi bantuan, bahkan perlindungan kepada nelayan dan keluarganya. Pola hubungan patron – client tersebut terjadi bukan hanya antara pedagang sebagai pemilik modal dan nelayan tetapi terjadi juga antara pedagang dan pengolah hasil perikanan. Hubungan patron-client terjadi karena infrastruktur yang mendukung usaha perikanan pada kawasan WPPNRI 714 tersebut belum sempurna. Usaha tersebut dapat operasional maka patron memasok bahan bakar minyak, menyediakan sarana distribusi penjualan ikan, sistem perdagangan dan pemasaran ikan. Selain itu, kelembagaan yang mendukung usaha perikanan rakyat pada kawasan WPPNRI 714, seperti koperasi, tempat pelelangan ikan maupun kelembagaan permodalan dalam masyarakat perikanan, serta kelembagaan yang mendukung inovasi penangkapan ikan pada masyarakat perikanan belum tersedia. Kelembagaan yang terakhir ini berpengaruh pada keragamaan jenis alat tangkap pada setiap basis masyarakat nelayan di WPPNRI 714. Sebagai cotoh pada masyarakat nelayan di Teluk Tolo atau Teluk Kendari, alat tangkap jaring yang berkembang adalah pukat kantong. Sementara itu, alat tangkap pancing yang berkembang adalah pancing rawai dan pancing tonda, dan alat tangkap perangkap yang berkembang adalah bubu. Sedangkan pada masyarakat nelayan di Tual, alat tangkap jaring yang berkembang dikenal sebagai jaring tasi, bagan apung, dan jaring insang. Kelompok pancing yang berkembang adalah pancing dasar, hand line dan rawai. Kelompok perangkap adalah sero tanam, dan “rangka”. 4.2 Umur Nelayan Gambar 4.2 menunjukkan, umur nelayan perikanan rakyat pada Kota Tual dan Kota Kendari yang berkisar 35 - 60 tahun. Nelayan perikanan rakyat yang berusia lebih tua umumnya terdapat di Tual, sedangkan nelayan perikanan rakyat yang lebih muda terdapat di Kendari. Komposisi umur nelayan yang berusia tua terjadi, karena akses masyarakat nelayan di Tual terhadap lapangan usaha di luar perikanan sangat terbatas, serta lapangan kerja yang tersedia di Kota Tual tidak mampu menampung jumlah angkatan kerja yang ingin bekerja. Faktor lain disebabkan transportasi dari dan ke Tual banyak kendala. Akibatnya mobilitas lapangan usaha dalam masyarakat perikanan di Kota Tual sangat terbatas. Di Tual usia nelayan perikanan rakyat yang menggunakan alat tangkap perangkap berkisar antara 43 - 59 tahun, Nelayan yang menggunakan perangkap ini tersebar di Desa Tamedan dan Dullah Laut. Sementara itu, usia nelayan yang menggunakan jaring berkisar antara 37 - 53 tahun, terkonsentrasi pada Desa Ngadi, Dusun Fair, Desa Tamedan, Desa Dullah Laut dan Lebetawi. Nelayan yang menggunakan pancing berkisar antara 41 - 48 tahun juga terdapat pada desa yang sama. Dengan demikian lapangan usaha perikanan merupakan alternatif utama bagi masyarakat perikanan Tual.



Karakteristik WPPNRI 714



41



Hal yang berbeda terlihat di Kendari. Umur nelayan perikanan rakyat ratarata berkisar antara 38 - 45 tahun. Nelayan perikanan rakyat tersebut tersebar di Desa Sodoha, Desa Tondonggeu, Desa Bungkutoko, Desa Lapulu, Desa Talia, Desa Tipulu, Kampung Solo, Puday dan Nambo. Nelayan jaring usianya berkisar antara 36 - 49 tahun. Nelayan ini umumnya menggunakan purse seine. Nelayan pancing usianya berkisar antara 23 - 52 tahun dan menggunakan pancing tonda dan rawai. Nelayan perikanan rakyat yang menggunakan pancing ini terkonsentrasi pada Desa Tondonggeu, Bungkutoko, Sodoha, Talia, dan Pudahoa. Sementara itu, nelayan perikanan rakyat yang menggunakan perangkap terkonsentrasi di Desa Bungkutoko, usia mereka sekitar 40 tahun.



Gambar 4.2. Rata-rata umur nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Tual dan Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Dengan struktur umur tersebut maka akses nelayan yang berbasis di Kendari terhadap berbagai lapangan usaha di luar kegiatan penangkapan ikan relatif lebih baik. Sebab, pada wilayah ini terdapat beberapa usaha off farm yang dapat menampung angkatan kerja. Gairah usaha nelayan perikanan rakyat di Kendari jauh lebih baik daripada di Tual. Oleh sebab itu, di Tual yang mengusahakan kegiatan penangkapan ikan lebih banyak kelompok umur lebih tua dibandingkan berusia muda. Masyarakat yang berumur muda bermigrasi ke Ambon, Makasar, Jakarta, dan Surabaya. Di Kendari penjualan hasil tangkapan usaha perikanan rakyat lebih terjamin, karena terdapat beberapa pembeli. Selain itu, terdapat anggota masyarakat yang berusia 30 tahun yang ikut dalam usaha penangkapan ikan. Akses penjualan dan distribusi ikan di Kendari jauh lebih baik daripada nelayan



42



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



perikanan rakyat di Tual. Di Kendari kelebihan suplai ikan hasil tangkapan nelayan diserap oleh pasar lokal, industri pengolahan, dan pedagang antarpropinsi/daerah. Lain halnya dengan di Tual, kelebihan suplai ikan hasil tangkapan nelayan hanya diserap konsumen lokal dan perusahaan cold storage yang berbasis di wilayah tersebut. Perdagangan ikan antarpulau atau antarprovinsi di Tual sangat tergantung pada aktivitas perusahaan cold storage tersebut. Aktivitas ini sangat mempengaruhi dinamika usaha perikanan di Tual. Oleh sebab itu sebagian kelompok umur muda pada masyarakat nelayan yang terdapat di Tual cenderung bermigrasi ke Ambon atau ke berbagai kota di Sulawesi dan Jawa. 4.3 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan masyarakat nelayan perikanan rakyat di Kota Tual pada umumnya lebih rendah daripada di Kota Kendari. Di Kota Tual tingkat pendidikan masyarakat perikanan berkisar antara 6 - 9 tahun, yang menunjukkan masyarakat perikanan Kota Tual telah menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di Kota Tual, nelayan yang menggunakan alat tangkap perangkap umumnya hanya lulusan SD. Sementara itu, tingkat pendidikan masyarakat nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring berkisar antara 6 - 9 tahun, pada desa-desa tertentu di Kota Tual, seperti di Desa Ngadi, Desa Tamedan, Dusun Fair, dan Dullah Laut umumnya nelayan jaring dan pancing tingkat pendidikannya tidak menyelesaikan SMP. Mereka hanya bersekolah di SMP pada tahun pertama dan tahun kedua saja. Hal ini disebabkan oleh pemahaman orangtua terhadap pendidikan formal anak tidak penting dan nelayan mengajak anaknya ikut melaut membantu menangkap ikan. Nelayan perikanan rakyat pada WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari, umumnya tingkat pendidikannya berkisar antara 6 - 10 tahun. Sebagian besar nelayan perikanan rakyat di Kendari telah menyelesaikan jenjang pendidikan SD dan sebagian kecil hanya menyelesaikan pendidikan sampai tahun pertama SMA. Nelayan perikanan rakyat di Kota Kendari yang umumnya menyelesaikan pendidikan pada tahun pertama SMA menggunakan perangkap dan terkonsentarsi di Desa Bangkutoko. Sedangkan tingkat pendidikan nelayan perikanan rakyat yang menggunakan jaring di Kota Kendari berkisar antara 5 tahun (tidak menyelesaikan pendidikan SD) sampai 12 tahun (menyelesaikan SMA). Nelayan yang menyelesaikan SMA banyak terdapat di Kampung Solo. Sedangkan yang hanya bersekolah sampai tahun pertama di SMA umumnya terdapat di Desa Sodohoa dan Desa Tipulu. Sementara itu, tingkat pendidikan nelayan yang menggunakan pancing di WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari berkisar antara 3 tahun (tidak menyelesaikan SD) sampai 9 tahun (menyelesaikan pendidikan pada SMA). Nelayan yang tidak menyelesaikan pendidikan SD banyak terdapat di Podahua. Hal ini terjadi karena pada satu dasa warsa yang lalu akses ke dan dari Desa



Karakteristik WPPNRI 714



43



Podohoa sangat sulit sehingga masyarakat saat itu sulit bersekolah. Sedangkan nelayan pancing dengan tingkat pendidikan SMP banyak terdapat di Desa Talia. Sementara itu, nelayan pancing dengan tingkat pendidikan sekolah dasar umumnya terdapat di Desa Tondogeu dan Desa Sodohoa.



Gambar 4.3. Rata-rata tingkat pendidikan nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Tual dan Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). 4.4 Pengalaman Nelayan Gambar 4.4 menunjukkan sebaran pengalaman nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari dan Tual. Pengalaman nelayan perikanan rakyat sebagai penangkap ikan berkisar antara 15 - 46 tahun, rata-rata sekitar 20 tahun.



Gambar 4.4. Sebaran pengalaman nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Tual dan Kendari (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



44



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Kecuali nelayan yang menggunakan perangkap, maka nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Kendari memiliki pengalaman menangkap ikan yang lebih lama daripada nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Tual. Nelayan perikanan rakyat yang menggunakan jaring dan berbasis di Kendari dan Tual menunjukkan rata-rata pengalaman berusaha yang sama, sekitar 17 tahun. Lain halnya dengan nelayan pancing yang berbasis di Kendari, pengalaman menangkap ikannya sekitar 21 tahun. Sedangkan nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Tual pengalaman berusahanya sekitar 15 tahun. Pengalaman berusaha pada terhadap alat tangkap tertentu, ditentukan oleh akses masyarakat pada lokasi itu dengan lokasi lain yang menjadi referensi dari masyarakat nelayan. Jika akses itu mengahadapi berbagai kendala, maka pengalaman berusaha tentang suatu alat tangkap dipengaruhi oleh kebiasaan yang ada dalam masyarakat itu sebelumnya. Hal ini yang menjadi dasar bahwa, nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Tual yang menggunakan perangkap (sero tanam dan bubu) memiliki pengalaman lebih lama dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan perangkap di Kota Kendari. Pada kasus ini, nelayan yang menggunakan perangkap di Tual karena pengalamannya lebih resisten menerima perubahan dibandingkan dengan nelayan perikanan rakyat di Kendari. Dengan kata lain, masyarakat nelayan perikanan rakyat di Kota Kendari cenderung lebih mudah menerima perubahan dibandingkan dengan masyarakat perikanan di Kota Tual. Kondisi ini terjadi karena transportasi (yang menyebabkan nelayan yang berbasis di Tual, tidak pernah keluar daerah) dan sulitnya komunikasi antara Tual dengan lokasi yang memiliki banyak teknologi penangkapan ikan. Pada kasus ini pengalaman suatu kelompok masyarakat nelayan menggunakan suatu alat tangkap berhubungan juga dengan kemudahan persediaan modal dalam operasi penangkapan ikan. Persediaan modal ini berperan dalam keluar atau bertahannya nelayan perikanan rakyat tersebut berusaha pada kegiatan penangkapan ikan. Di Kendari nelayan purse seine akan tetap beroperasi jika mendapat dukungan dana operasi dari pedagang yang memodali kegiatan usaha tersebut. Jika dukungan tersebut tidak tersedia maka armada purse seine tersebut tidak beroperasi lagi. Akibatnya nelayan tersebut menjadi buruh atau ABK pada usaha perikanan lain. Di Tual jika dukungan dana operasional tersebut tidak tersedia maka masyarakat dapat mengakomodasi sendiri terutama pada alat tangkap yang low cost. Oleh sebab itulah pada masyarakat perikanan di Kota Tual banyak terdapat variasi alat tangkap jaring, pancing, dan perangkap.



Karakteristik WPPNRI 714



45



4.5 Tanggungan Nelayan Gambar 4.5 menunjukkan rasio beban tanggungan nelayan yang bekerja terhadap yang tidak bekerja pada rumah tangga nelayan di WPPNRI 714 menurut kelompok alat tangkap. Rasio tersebut diperoleh dari hasil pembagian jumlah anggota keluarga dengan jumlah anggota keluarga yang bekerja.



Gambar 4.5 Beban tanggungan yang bekerja terhadap yang tidak bekerja pada rumah tangga nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Tual dan Kendari (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Informasi di atas menunjukkan pada rumah tangga nelayan di WPPNRI 714, seorang nelayan bekerja menanggung beban hidup lebih dari 2 orang. Pada keluarga nelayan yang berbasis di Tual yang menggunakan alat tangkap pancing, beban yang ditanggung satu orang anggota keluarga yang bekerja mencapai 4 orang. Sedangkan pada keluarga nelayan yang menggunakan jaring beban, yang ditanggung satu orang anggota keluarga yang bekerja, mencapai 4 orang. Pada keluarga nelayan perikanan rakyat di Kendari dengan alat tangkap jaring, beban yang ditanggung satu anggota keluarga yang bekerja mencapai 3 - 4 orang. Sedangkan pada keluarga nelayan yang menggunakan pancing satu orang anggota keluarga yang bekerja menanggung kehidupan 4 - 5 orang. Untuk keluarga nelayan yang menggunakan alat tangkap perangkap kondisinya tidak jauh berbeda dengan alat tangkap lain pada dua lokasi tersebut. Fenomena yang terjadi pada keluarga nelayan yang beroperasi pada WPPNRI 714 menunjukkan dua hal. Pertama, jumlah anggota keluarga nelayan perikanan rakyat yang beroperasi pada kawasan WPPNRI 714 umumnya lebih dari 3 orang. Kedua, terdapat indikasi bahwa beberapa anggota keluarga tidak bekerja. Hal ini di sebabkan pada kawasan tersebut tidak tersedia lapangan kerja.



46



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



4.6 Struktur Sosial 4.6.1 Penguasaan Aset Armada Perikanan Penguasaan aset pada masyarakat perikanan merupakan gambaran yang menunjukkan kemampuan dari seorang atau sekelompok orang menguasai aset yang terkait dengan usaha yang dijalankannya. Aset yang dikuasai itu dapat merupakan milik sendiri atau milik orang lain yang diperoleh melalui sewa atau hibah. Gambar 4.6 memberi informasi tentang etnis yang menguasai aset armada penangkapan ikan pada beberapa lokasi pendaratan ikan di Kota Tual. Etnis Kei umumnya menguasai aset armada penangkapan ikan yang terdapat di seluruh desa yang ada di Kota Tual. Etnis Kei ini merupakan kelompok yang paling berpengaruh di Kota Tual. Etnis ini juga berperan dalam perdagangan, terutama mengumpulkan hasil bumi yang terdapat pada masyarakat pada berbagai desa. Etnis lain yang berperan dalam menguasai aset armada penangkapan ikan adalah Bugis dan Buton. Peran etnis Bugis hanya terkonsentrasi pada Desa Ngadi. Sedangkan Etnis Buton dominan di Dusun Fair. Dua etnis ini merupakan pendatang yang telah lama berdomisili di Tual. Mereka merupakan pedagang antarpulau yang mampu mendistribusikan barang ke luar Kota Tual. Di Desa Dullah Laut dan Lebetawi, yang menguasai aset armada penangkapan ikan tersebar pada berbagai etnis seperti Selayar, Bugis, Madura, Buton, dan Ambon. Namun etnis Kei lebih mendominasi penguasaan aset tersebut. Penguasaan aset ini terkait dengan pengaruh mereka dalam kehidupan ekonomi dan politik masyarakat. Gambar tersebut menunjukkan pada berbagai basis pendaratan ikan di kawasan Kendari terdapat berbagai etnis yang menguasai armada penangkapan ikan. Namun tidak semua etnis punya peran yang dominan dalam penguasaan armada penangkapan ikan.



Gambar 4.6. Struktur sosial penguasaan aset armada penangkapan ikan nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



Karakteristik WPPNRI 714



47



Dengan demikian dapat juga diartikan bahwa struktur sosial komunitas penguasaan armada penangkapan ikan WPPNRI 714 di Kota Kendari lebih heterogen dibandingkan di Kota Tual. Pada Gambar 4.7 terlihat struktur sosial penguasaan aset armada penangkapan ikan nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari. Berbeda dengan di Tual, di Kendari etnis yang berperan dalam penguasaan armada penangkapan ikan adalah Bugis. Namun peran dari etnis lain juga cukup dominan adalah Bajo, Tolaki, dan Buton. Gambar tersebut menunjukkan pada berbagai basis pendaratan ikan di kawasan Kendari terdapat berbagai etnis yang menguasai armada penangkapan ikan. Namun tidak semua etnis punya peran yang dominan dalam penguasaan armada penangkapan ikan. Dengan demikian dapat juga diartikan bahwa struktur sosial komunitas penguasaan armada penangkapan ikan WPPNRI 714 di Kota Kendari lebih heterogen dibandingkan di kota Tual.



Gambar 4.7. Struktur sosial penguasaan aset armada penangkapan ikan nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Kendari (sumber data: BBPSEKP, 2015a). 4.6.2 Pemilikan Armada Perikanan Pemilikan aset armada penangkapan ikan bukan berarti harus dikuasai oleh pemiliknya, aset tersebut dapat disewakan ke pihak lain, atau dioperasikan oleh pihak lain dengan perjanjian bagi hasil yang disepakati. Hak pemilikan armada penangkapan ikan tersebut tetap pada pemiliknya. Sumber dana untuk memiliki aset tersebut dapat bersumber dari dana sendiri, pinjaman dari lembaga keuangan, atau hibah dari pihak lain.



48



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 4.8. Struktur sosial pemilikan armada penangkapan ikan nelayan perikanan rakyat di WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Nelayan perikanan rakyat yang beroperasi di WPPNRI 714 berbasis di Tual, kepemilikan armada penangkapan ikan tersebut didominasi oleh etnis Kei, Buton, dan Bugis. Kepemilikan armada penangkapan ikan yang dimiliki oleh etnis Kei itu tersebar di berbagai lokasi penangkapan ikan, terutama di Desa Tamedan, Dullah Laut, Dusun Fair, dan Desa Ngadi. Sedangkan etnis Buton dan Bugis kepemilikan armada penangkapan ikan masing-masing terkonsentrasi pada Dusun Fair dan Desa Ngadi. Pada masyarakat perikanan rakyat di Kota Tual status kepemilikan armada penangkapan ikan terpolarisasi pada tiga etnis utama yakni Kei, Bugis, dan Buton.



Gambar 4.9. Struktur sosial pemilikan armada penangkapan ikan nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Kendari (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



Karakteristik WPPNRI 714



49



Status kepemilikan armada perikanan rakyat yang berbasis di Kota Kendari mengindikasikan etnis yang dominan memiliki armada penangkapan ikan adalah Bugis, Bajo, dan Muna. Aset armada penangkapan ikan yang dimiliki oleh ketiga etnis tersebut tersebar pada berbagai lokasi. Aset armada penangkapan ikan yang dimiliki oleh etnis Bugis terdapat di Desa Tondonggeu, Sodoha, Lapulu, Talia, Pudohoa, dan Tipulu. Sedangkan kepemilikan armada penangkapan ikan yang dimiliki oleh etnis Muna terdapat di Kampung Solo, Desa Pudohoa. Sedangkan armada yang dimiliki oleh etnis Bajo terkonsentrasi di Tondonggeu, Pudahoa, dan Desa Lapulu. 4.7 Sumber Modal 4.7.1 Modal Untuk Investasi Usaha penangkapan ikan perikanan rakyat merupakan usaha yang memerlukan investasi. Satu unit usaha penangkapan ikan sekurang-kurangnya memerlukan biaya investasi untuk kasko kapal/perahu, mesin, dan alat tangkap. Gambar 4.10 menunjukkan keragaan sumber investasi usaha perikanan rakyat yang berbasis di Tual. Sebagian besar investasi tersebut berasal dari modal sendiri. Hal ini berarti peran modal nelayan sangat penting pada usaha perikanan rakyat di kawasan ini.



Gambar 4.10. Sumber modal untuk investasi usaha nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Perlu dicatat, pengembangan usaha perikanan rakyat dengan investasi yang berasal dari modal sendiri akan menghadapi berbagai keterbatasan sehingga menghambat pengembangan usaha perikanan rakyat. Keterbatasan ini ditunjukkan usaha perikanan rakyat tersebut tidak berkembang dalam skala



50



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



ekonomi. Dan usaha perikanan rakyat tersebut akhirnya tergantung pada pemilik modal yang ada di kawasan tersebut. Variasi sumber investasi untuk usaha perikanan rakyat yang berbasis di Tual hanya terjadi di Desa Lebetawi. Di desa tersebut, untuk usaha perikanan yang menggunakan pancing, 54% nelayan tersebut sumber investasinya berasal dari modal sendiri. Sisanya, 46% nelayan mengandalkan sumber dana dari perbankan. Sedangkan untuk alat tangkap pancing di Desa Lebetawi 75% nelayan mengandalkan sumber investasi dari modal sendiri dan 25% dari kredit perbankan. Pada nelayan perikanan rakyat di Desa Dullah Laut, sumber investasi usaha perikanan menunjukkan 80% nelayan menggunakan modal sendiri dan 20% nelayan menggunakan modal dari pedagang. Penggunaan modal investasi dari pedagang ini ditemui juga pada usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing di Desa Tamedan dan Desa Dullah Laut. Pada Desa Tamedan terdapat 8% usaha perikanan rakyat yang mengandalkan sumber investasi dari pedagang, dan pada Desa Dullah Laut terdapat sekitar 6% nelayan. Gambar 4.11. menunjukkan kondisi sumber investasi usaha perikanan rakyat yang berbasis di Kota Kendari yang menggunakan pancing, jaring, dan perangkap.



Gambar 4.11. Sumber modal untuk invesatsi usaha nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Gambar 4.11 menunjukkan, modal sendiri merupakan andalan investasi nelayan perikanan rakyat yang berbasis pada berbagai desa di Kendari. Namun di lokasi tertentu seperti Desa Sodohoa, usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing 67% nelayan menggunakan dana sendiri untuk kebutuhan investasi dan 33% nelayan mengandalkan kredit perbankan.



Karakteristik WPPNRI 714



51



Sementara itu, di desa yang sama, usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing: 56% nelayan mengunakan sumber investasi dari modal sendiri, 7,4% menggunakan modal patungan, 26% menggunakan fasilitas perbankan, dan sisanya 11% usaha perikanan memanfaatkan investasi dari pedagang. Pada usaha perikanan rakyat di Talia, peran sumber investasi dari pedagang sangat dominan, terutama pada usaha penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap pancing. 87% usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing di Desa Talia memanfaatkan dana investasi dari pedagang, dan masing-masing sekitar 4,3% dari nelayan memanfaatkan dana pribadi, sumber dana patungan dan perbankan. Hal ini menunjukkan nelayan pancing yang berbasis di Talia dominan menangkap ikan pelagis kecil dan ikan pelagis besar, terutama tongkol, tuna, dan cakalang. Armada perikanan pancing dari Desa Talia ini merupakan pemasok ikan untuk industri pengolahan ikan yang terdapat di Kawasan Teluk Kendari. 4.7.2 Biaya Operasional Biaya operasional penangkapan ikan merupakan faktor yang paling penting. Sebab, operasi penangkapan ikan memerlukan biaya operasional untuk pembelian BBM, es, dan perbekalan. Bagi sebagian usaha perikanan rakyat, sumber pembiayaan ini menjadi sangat penting agar usahanya dapat berjalan dengan baik.



Gambar 4.12. Sumber biaya operasional usaha nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



52



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Bagi nelayan perikanan rakyat di Kota Tual, biaya operasional penangkapan ikan umumnya dibiayai dari dana sendiri, pada nelayan perikanan rakyat di lokasi tertentu sumber pembiayaan dapat juga dari patungan dan dari kredit perbankan. Nelayan perikanan rakyat yang memanfaatkan biaya operasional dari perbankan adalah mereka yang menggunakan pancing dan berbasis di Dusun Fair dan Desa Lebetawi. Persentase armada pancing perikanan rakyat di Dusun Fair yang memanfaatkan bantuan kredit perbankan mencapai 7%, sedangakan di Desa Lebetawi mencapai 25%. Di Tual terdapat kasus armada perikanan rakyat pengguna jaring, biaya operasionalnya berasal dari patungan. Mitra yang menjadi patungan adalah pedagang, dan pedagang tersebut belum pernah beraktivitas pada usaha perikanan. Gambar 4.13, menunjukkan sumber pembiayaan nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari. Sumber biaya operasional usaha penangkapan ikan paling dominan adalah dari modal sendiri, sumberlain adalah dari pedagang.



Gambar 4.13. Sumber biaya operasional usaha nelayan perikanan rakyat WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Kendari (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Sumber biaya operasional penangkapan ikan dari pedagang terdapat pada 87% responden nelayan perikanan rakyat yang menggunakan pancing. Hal ini memberi indikasi bahwa nelayan armada penangkapan ikan yang menggunakan pancing (di Desa Talia), menjadi usaha yang sangat rentan dan tergantung pada keputusan pedagang yang memberikan modal. Diperkirakan pedagang membiayai usaha ini didasarkan pada kepercayaan dan ketangguhan dari nelayan di Talia dalam menangkap ikan.



Karakteristik WPPNRI 714



53



Pada usaha perikanan yang menggunakan jaring di Desa Sodohoa, proporsi usaha yang memanfaatkan dana pribadi untuk modal usaha mencapai 61%, yang memanfaatkan dana pedagang sekitar 13%, dan kredit perbankan sekitar 17%. 4.8 Kelembagaan 4.8.1 Pengelolaan Pemasaran Hasil Tangkapan Gambar 4.14. menunjukkan kondisi pengelolaan pemasaran hasil tangkapan nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Kota Tual. Fakta tersebut memberi informasi bahwa untuk memasarkan hasil tangkapan ikan nelayan perikanan rakyat umumnya dilakukan sendiri oleh nelayan tersebut. Pengelolaan hasil tangkapan yang demikian terdapat di Lebetawi dan Dullah Laut. Pada tiga basis pendaratan ikan yang lain di kota Tual pengelolaan hasil tangkapan selain dikelola sendiri, juga dikelola bersama pegawai. Pada nelayan yang menggunakan jaring, di Desa Ngadi 75% nelayan mengelola sendiri hasil tangkapannya. Sisanya, 25% dikelola bersama beberapa peawai. Di Dusun Fair 50% nelayan mengelola sendiri hasil tangkapannya dan 50% lainnya hasil tangapan tersebut dikelola bersama beberapa pegawai. Pada alat tangkap pancing di Desa Tamedan, 91,96% nelayan mengelola penjualan hasil tangkapannya bersama beberapa pegawai. Hanya beberapa persen nelayan pancing di Desa Ngadi (12%) dan Dusun Fair (8%) mengelola hasil tangkapan untuk penjualan bersama beberapa pegawai. Pada nelayan alat tangkap perangkap di Desa Dullah Laut, seluruh nelayan mengelola penjualan hasil tangkapannya sendiri.



Gambar 4.14. Pengelolaan pemasaran hasil tangkapan nelayan perikanan rakyat Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



54



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 4.15 menunjukkan fenomena pengelolaan pemasaran hasil tangkapan nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Kota Kendari. Informasi tersebut menunjukkan sebagian nelayan perikanan rakyat di Kota Kendari mengelola penjualan hasil tangkapannya sendiri dan sebagian lainnya dikelola bersama beberapa pegawai. Nelayan perikanan rakyat yang menggunakan jaring dan pancing yang mengelola sendiri hasil tangkapannya terdapat di Desa Lapulu dan Desa Puday. Sementara itu, nelayan jaring di Desa Sodohoa 86% pemasaran hasil tangkapannya dilakukan bersama pegawai dan 14% dilakukan oleh tenaga profesional. Di Desa Sodohoa juga terdapat 87,5% nelayan pancing yang memasarkan hasil tangkapannya bersama dengan beberapa pegawai. Sementara itu, nelayan pancing di Desa Talia, 65% dari mereka mengelola penjualan hasil tangkapannya sendiri dan 35% bersama dengan pekerja yang diupah.



Gambar 4.15. Pengelolaan pemasaran hasil tangkapan nelayan perikanan rakyat Kota Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). 4.8.2 Pengelolaan Keuangan Kelembagaan pengelola keuangan pada usaha perikanan rakyat menunjukkan fenomena yang menarik. Pada usaha perikanan rakyat, istri telah diikutsertakan dalam pengelolaan pengelolaan usaha penangkapan ikan. Gambar 4.16, memberi informasi tentang pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh armada perikanan yang berbasis di Tual. Pada usaha perikanan yang menggunakan jaring, peran istri dalam pengelola keuangan usaha perikanan terdapat di Desa Tamedan (40,41%), Dullah Laut (40%), dan Lebetawi (50%). Di Desa Ngadi keuangan usaha perikanan rakyat dikelola sendiri terdapat 28,6% responden dan 14,4% dilakukan pemilik bersama dengan beberapa pegawai. Di Desa Ngadi tidak terdapat responden yang melaporkan istri ikut mengelola keuangan usaha penagkapan ikan. Di Dusun Fair, 50% responden pengelolaan keuangan dilakukan sendiri dan 50% dikelola oleh pemilik bersama beberapa pegawainya.



Karakteristik WPPNRI 714



55



Di Desa Tamedan pada usaha perikanan rakyat yang menggunakan jaring pengelolaan keuangan 14,3% dilakukan sendiri oleh nelayan, 45,3% dilakukan oleh pemilik bersama tenaga yang diupah, dan 40,41% responden dilakukan oleh istri. Dengan demikian pada desa-desa yang disebutkan di atas, peran perempuan dalam usaha perikanan rakyat semakin penting.



Gambar 4.16. Pengelolaan keuangan nelayan perikanan rakyat Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



Pada alat tangkap pancing, peran perempuan cukup dominan. Hal ini terlihat di semua basis nelayan yang terdapat di Kota Tual. Peran perempuan yang paling dominan dalam pengelolaan keuangan usaha perikanan rakyat terlihat di Desa Tamedan (91,67% responden), Desa Ngadi (63,16%), Desa Lebetawi (75%), Desa Dullah Laut (50%), dan Dusun Fair (12,5%). Pada alat tangkap perangkap, sebagain besar responden menyebutkan pengelola keuangan dilakukan oleh perempuan (istri responden). Pengelolaan keuangan usaha perikanan rakyat yang dilakukan oleh professional terdapat di Dusun Fair (6,25%), Di Kendari pengelolaan keuangan usaha perikanan rakyat yang menggunakan alat tangkap jaring lebih cenderung dikelola sendiri. Hanya di Desa Bungkutoko dan Desa Sodohoa terdapat responden yang keuangan usaha perikanannya dikelola oleh perempuan, yakni di Desa Bungkutoko (12,5%) dan Desa Sodohoa (13%). Di Desa Sodohoa, pengelolaan keuangan usaha yang dilakukan oleh nelayan sendiri sekitar 26,96%, dikeloka bersama pegawai mencapai 53,33%, dikelola oleh profesional (6,67%), dan oleh perempuan 13,04%. Sedangkan di Desa Lapulu dan Puday pada umumnya dikelola sendiri oleh responden.



56



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 4.17. Pengelolaan keuangan nelayan perikanan rakyat Kota Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Perikanan rakyat yang menggunakan pancing berbasis di Kendari, peran perempuan dalam pengelola keuangan terlihat di Desa Talia (100% responden) dan di Desa Tondonggeu (90%). Hanya di Desa Lapulu dan Desa Nambo pengelola keuangan usaha perikanan rakyat yang ditangani penuh oleh nelayan sendiri. Sedangkan di Desa Sodohoa 75% responden keuangannya dikelola oleh nelayan dan sisanya oleh nelayan bersama dengan pegawai. 4.8.3 Bagi Hasil Bagi hasil merupakan ciri dari model ekonomi pada masyarakat yang memiliki keterbatasan pembiayaan. Namun bagi hasil ini tergantung pada jenis alat tangkap dan armada penangkapan ikan yang digunakan. Dengan demikian bagi hasil merupakan bentuk kelembagaan yang berkembang dalam mendukung aktivitas ekonomi usaha perikanan. Struktur bagi hasil pada perikanan rakyat tersebut dapat berbeda antar nelayan dengan alat tangkap yang sama. Gambar 4.18, merupakan agregasi proporsi bagi hasil berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan. Pada Gambar 4.18 dan Gambar 4.19 menunjukkan proporsi bagi hasil pada alat tangkap yang sama berbeda antara satu desa dengan desa yang lain pada usaha perikanan rakyat di Kota Tual dan Kota Kendari. Perbedaan juga dapat terjadi antar satu nelayan dengan nelayan yang lain. Namun, dasar sistem bagi hasil dilakukan dari pendapatan bersih usaha perikanan rakyat tersebut.



Karakteristik WPPNRI 714



57



Gambar 4.18. Alokasi responden terhadap bagi hasil nelayan perikanan rakyat Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Pada nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Desa Ngadi, bagi hasil penangkapan ikan yang dilakukan nelayan adalah untuk perahu, alat tangkap, pemilik, dan nahkoda. Pada alat tangkap jaring di Desa Ngadi pemilik alat tangkap umumnya merangkap sebagai nahkoda. Dengan demikian pemilik armada penangkapan mendapat bagian yang diperolehnya sendiri ditambah dengan bagian nahkoda. Di Dusun Fair, bagi hasil diberikan untuk perahu, alat tangkap, pemilik, dan ABK. Pada kasus Dusun Fair ini pemilik armada penangkapan ikan merangkap sebagai nahkoda. Pembagian bagi hasil di Dusun Fair ini sama dengan di Desa Dullah Laut. Pada nelayan armada penangkapan ikan di Desa Tamedan bagi hasil tersebar untuk perahu (20,8% responden), alat tangkap (25%), pemilik (20,8%), nahkoda (12,5%), dan ABK (16,7%). Di Desa Le Betawi, bagi hasil diberikan kepada ABK (35,9%). Pada alat tangkap pancing, pembagian hasil diberikan kepada perahu, alat tangkap, pemilik, ABK, dan nahkoda. Pada usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing di Dusun Fair, Dullah Laut, dan Lebetawi, jasa nahkoda diambil alih oleh pemilik usaha penangkapan ikan. Alat tangkap perangkap di Desa Dullah Laut, operasionalnya dilakukan oleh 3 pihak. Oleh sebab itu, pembagian bagi hasil tangkapan dialokasikan untuk pemilik, nahkoda, dan ABK. Gambar 4.19, menunjukkan fenomena bagi hasil pada armada perikanan rakyat di Kendari. Tampak bahwa terdapat nelayan perikanan rakyat yang melakukan bagi hasil antara perahu, alat tangkap, dan pemilik. Bagian dari perahu dan alat tangkap tujuannya adalah untuk investasi dan perawatan.



58



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Pada alat tangkap jaring termasuk pukat cincin, bagi hasil tangkapan dialokasikan untuk perahu/kapal penangkap ikan, alat tangkap, pemilik, dan nahkoda. Proporsi responden yang mengatakan bagi hasil dialokasikan untuk perahu/kapal penangkap ikan (11,5%), alat tangkap (4,2%), pemilik (41,7%), nahkoda (29,2%), dan ABK (13,5%). Informasi ini menunjukkan terdapat nelayan perikanan rakyat yang tidak mengalokasikan bagian dari hasil tangkapan untuk kapal penagkapan ikan dan alat tangkap.



Gambar 4.19. Alokasi responden tentang bagi hasil nelayan perikanan rakyat Kota Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Alokasi bagi hasil nelayan pancing di beberapa desa di Kendari yang paling dominan adalah untuk alat tangkap dan pemilik. Sementara itu, alokasi untuk perahu, nahkoda, dan ABK relatif kecil. Hal ini dapat juga diartikan bahwa pada armada perikanan rakyat yang berbasis di Kendari tidak semua armada penangkapan ikan yang menggunakan pancing menggunakan nahkoda dan ABK. Pada nelayan perikanan rakyat yang menggunakan perangkap operasi penangkapan ikan dikendalikan total oleh pemilik. Dengan demikian, semua hasil tangkapan ikan menjadi bagian dari pemilik usaha setelah dikurangi berbagai ongkos yang dikeluarkan selama kegiatan penangkapan ikan. 4.9 Produksi Nelayan Perikanan Rakyat Gambar 4.20 memberi informasi sebaran hasil tangkapan nelayan perikanan rakyat yang berbasis di Kota Tual pada 2015. Ikan hasil tangkapan armada perikanan rakyat terdiri dari 3 kelompok, yakni ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, dan ikan karang.



Karakteristik WPPNRI 714



59



Gambar 4.20. Rata-rata produksi per armada nelayan perikanan rakyat Kota Tual pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Di Kota Tual, nelayan perikanan rakyat yang dominan mendaratkan ikan pelagis besar terdapat di Desa Tamedan dan Desa Lebetawi. Sedangkan di 3 desa lainnya (Ngadi, Dusun Fair, dan Dullah Laut), hasil tangkapan per trip sekitar 5 kuintal. Sementara itu, armada perikanan rakyat yang menghasilkan ikan pelagis kecil terkonsentrasi di Desa Ngadi dan Desa Lebetawi. Di Desa Ngadi armada perikanan rakyat dapat menghasilkan ikan pelagis kecil sekitar 23 ton per armada tangkap selama semester I 2015. Sedangkan di Desa Lebetawi mencapai 10 ton per armada selama periode yang sama. Sementara itu, pada semester I di 3 desa lainnya (Fair, Tamedan, Dullah Laut) produksinya sekitar 4 - 6 kuintal per armada penangkapan ikan. Pada semester II tahun 2015, nelayan perikanan rakyat di Kota Tual lebih dominan mendaratkan ikan pelagis kecil. Di Desa Ngadi mencapai 11 ton, Dusun Fair (15 ton), dan Desa Lebetawi (14 ton) per armada. Sedangkan ikan pelagis besar yang didaratkan armada perikanan rakyat rata-rata sekitar 1 ton per armada tangkap, kecuali di Dusun Fair yang mencapai 3,5 ton per armada perikanan rakyat. Gambar 4.21, menunjukkan hasil penangkapan ikan armada perikanan rakyat yang berbasis di Kendari. Desa Talia dan Sodohoa merupakan basis nelayan perikanan rakyat yang menangkap ikan pelagis besar. Pada Semester I tahun 2015 armada perikanan rakyat di Desa Talia rata-rata mendaratkan ikan pelagis besar mencapai 30 ton dan Desa Sodohoa sekitar 4 ton per armada tangkap. Sedangkan ikan pelagis kecil di Desa Talia sekitar 14 ton per armada perikanan rakyat.



60



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 4.21. Rata-rata produksi per armada nelayan perikanan rakyat Kota Kendari pada 2015 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Sementara itu, pada Semester II 2015, di Talia, Lapulu, Sodohoa, dan Bungkutoko merupakan desa konsentrasi armada perikanan rakyat yang mendaratkan ikan pelagis kecil. Rata-rata ikan pelagis kecil yang didaratkan per armada perikanan rakyat di Desa Talia mencapai 40 ton, Desa Lapulu (21 ton), Desa Sodohoa (42 ton), dan Desa Bungkutoko (11 ton). Di Kawasan Kendari ikan tersebut sebagian besar diserap oleh industri pengolahan yang terdapat di sekitar Pelabuhan Perikanan Samudera Kendari. 4.10. Penerimaan dan Pengeluaran Komposisi struktur ukuran armada perikanan rakyat di Kendari dan Tual sangat besar pengaruhnya terhadap struktur penerimaan (output) dan pengeluaran (input), usaha penangkapan ikan yang menggunakan jaring, pancing, dan perangkap armada perikanan rakyat pada WPPNRI 714 yang berbasis di Kota Tual dan Kota Kendari. Gambar 4.22 menunjukkan hubungan yang erat antara jumlah input yang digunakan dan output yang diperoleh armada perikanan rakyat. Jika input yang digunakan oleh armada perikanan rakyat tersebut sama dengan atau lebih lebih besar dari jumlah output yang diperoleh maka usaha perikanan tersebut tidak efisien. Hal tersebut dapat juga memberi informasi bahwa armada perikanan rakyat yang berbasis di Kendari telah menggunakan teknologi yang lebih maju dibandingkan dengan armada perikanan rakyat di Kota Tual. Armada perikanan rakyat di Kendari berukuran 10 - 30 GT, rata-rata per bulan memerlukan biaya sekitar Rp 20 juta per armada perikanan jaring dan pancing. Sementara itu, armada yang menggunakan perangkap mendekati Rp 1 juta. Hasil yang diperoleh dari penggunaan input tersebut selama satu bulan



Karakteristik WPPNRI 714



61



rata-rata sekitar sekitar Rp 48 juta (armada perikanan jaring) dan Rp 36 juta untuk armada perikanan pancing. Sedangkan penerimaan yang diperoleh dari usaha perikanan perangkap sekitar Rp 1 juta per bulan.



Gambar 4.22. Rata-rata penerimaan dan pengeluaran per bulan armada perikanan rakyat di WPPNRI 714 (sumber data: BBPSEKP, 2015a). Gambar di atas menunjukkan usaha perikanan yang menggunakan perangkap di Kendari tidak efisien. Usaha perikanan ini dilakukan oleh kelompok usia di atas 50 tahun dan termasuk usaha perikanan semi subsisten.



Gambar 4.23. Rasio Input dan output per bulan armada perikanan rakyat di WPPNRI 714 (sumber data: BBPSEKP, 2015a).



62



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 4.23 memberi gambaran rasio penerimaan dan pengeluaran dari usaha perikanan rakyat yang beroperasi pada WPPNRI 714, yang menggunakan alat tangkap jaring, pancing, dan perangkap. Pada Gambar 4.23, alat tangkap jaring di Kendari menunjukkan rasio antara input dan output sebesar 0,4. Angka ini menunjukkan untuk mendapat 1% output pada alat tangkap jaring di Kendari diperlukan input sebesar 0,4%. Informasi ini menunjukkan alat tangkap jaring yang berbasis di Kendari cukup efisien. Sementara itu rasio alat tangkap jaring di Tual rasio input-output sekitar sekitar 0,1. Artinya, untuk memperoleh 1% output di perlukan 0,1% input.







Pada usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing di Kendari rasio input– output sekitar 0,5. Artinya, untuk mendapatkan 1% output diperlukan 0,5% input. Sedangkan di Tual adalah 0,9, yang berarti untuk mendapat 1% output harus menggunakan 0,9% input. Hal ini mengindikasikan teknologi alat tangkap pancing dari armada dan alat tangkap pancing perikanan rakyat di Tual memerlukan renovasi agar usaha ini dapat lebih efisien.







Pada usaha perikanan rakyat yang menggunakan pancing di Kendari rasio input–output sekitar 0,5. Artinya, untuk mendapatkan 1% output diperlukan 0,5% input. Sedangkan di Tual adalah 0,9, yang berarti untuk mendapat 1% output harus menggunakan 0,9% input. Hal ini mengindikasikan teknologi alat tangkap pancing dari armada dan alat tangkap pancing perikanan rakyat di Tual memerlukan renovasi agar usaha ini dapat lebih efisien. Gambar tersebut juga menunjukkan, usaha perikanan rakyat yang menggunakan perangkap memerlukan input yang hampir sama dengan nilai output yang diperoleh. Usaha perikanan rakyat ini cenderung tidak efisien. Rasio input-output alat tangkap perangkap yang berbasis di Kendari sekitar 0,8 dan di Tual sekitar 0,9. Hal ini menunjukkan untuk mendapat output 1% memerlukan input sebesar 0,8%. Sedangkan di Tual memerlukan input sekitar 0,9%.



Karakteristik WPPNRI 714



63



Panen Perdana Garam di MTB.



Identifikasi jenis ikan hasil tangkapan nelayan di atas kapal yang mendaratkan ikan di PPS Kendari (WPP 714).



64



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Bagian III SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



65



Platax orbicularis.



66



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



1. PERIKANAN TANGKAP 1.1. Sumber Daya Ikan dan Aspek Penangkapan 1.1.1. Ikan Pelagis Besar Jenis Ikan Sebagian besar dari jenis ikan pelagis besar yang menghuni perairan WPPNRI 714 merupakan jenis ikan peruaya jauh (highly migratory). Oleh karena adanya aliran massa air Arlindo (Arus Lintas Indonesia) dan sifatnya yang sangat dinamis mengikuti dinamika ekologi, stok sumberdayanya dapat berasal dari Samudera Pasifik atau Samudera Hindia. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang tertangkap di Laut Banda adalah tuna dan tuna neritik. Tuna yang dominan: madidihang atau yellowfin tuna (Thunnus albacares), mata besar atau bigeye tuna (Thunnus obeusus) dan cakalang atau skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) yang populasinya cukup melimpah. Adapun kelompok tuna neritik: tongkol komo/ kawakawa (Euthynnus affinis), tongkol lisong (Auxis rocheii), dan tongkol krai (Auxis thazard) serta tenggiri (Scomberomorus commerson dan S. guttatus). Tabel 1.1. Jenis-jenis ikan pelagis besar yang tertangkap di WPP 714. No.



Jenis Ikan



Nama Ilmiah



1.



Tuna madidihang



Thunnus albacares (Bonnaterre, 1788)



2.



Tuna mata besar



Thunnus obesus (Lowe, 1839)



3.



Cakalang



Katsuwonus pelamis



4.



Tongkol abu-abu



Thunnus tonngol (Bleeker, 1851)



5.



Tongkol Lisong



Auxis rochei (Risso, 1810)



6.



Tongkol Krai



Auxis thazard (Lacepede, 1800)



7.



Tongkol Komo/Kawakawa



Euthynnus affinis (Cantor, 1849)



8.



Tenggiri batang



Scomberomorus commerson (Lacepede, 1800)



9.



Tenggiri papan



Scomberomorus guttatus (Bloch & Schneider, 1801)



10.



Lemadang



Coryphaena hippurus Linnaeus, 1758



11.



Ikan layaran



Istiophorus latypterus (Shaw and Nodder, 1792)



12.



Setuhuk hitam



Makaira indica (Cuvier, 1832)



13.



Setuhuk biru



Makaira mazarra (Jordan & Sneyder, 1910)



14.



Setuhuk loreng



Tetrapturus audax (Philippi, 1887)



15.



Ikan pedang



Xiphias gladius (Linnaeus, 1758)



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



67



Lokasi Pendaratan Di bagian barat wilayah perairan ini, ikan pelagis besar banyak didaratkan di Kendari, yaitu di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Sodohoa. Sementara di bagian timur, umumnya banyak didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon, TPI Erie, Pelabuhan Masohi dan Banda Neira. Adapun di bagian selatan, madidihang dan cakalang banyak didaratkan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Amagarapati, Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Lokasi pendaratan lainnya di Buton, Muna, dan Wakatobi, namun dalam jumlah yang lebih sedikit. Alat Tangkap Jenis-jenis alat penangkap ikan pelagis besar yang digunakan oleh nelayan WPPNRI 714 yang berbasis di Kendari (BPPL, 2015) didominasi oleh pukat cincin (mini purse seine dan purse seine) sebanyak 287 unit (49%), alat tangkap lainnya terdiri dari payang, pancing tonda, jaring insang hanyut, huhate dan pancing ulur (Gambar 1.1).



Gambar 1.1. Presentase unit penangkap pelagis besar WPP 714 di lokasi pendaratan Kendari (BPPL, 2015). Daerah Penangkapan Ikan pelagis besar di WPPNRI 714 umumnya ditangkap di perairan dalam (oseanik). Lokasi fishing ground (daerah penangkapan ikan) nelayan Kendari umumnya di perairan Menui (sebelah timur Teluk Kendari); perairan Umbele (sekitar Teluk Tolo); dan perairan Taliabu (Gambar 1.2). Kadang kala nelayan Kendari juga menangkap ikan sampai ke perairan sekitar Pulau Buru. Hasil tangkapan di perairan sekitar P. Buru dan Taliabo didominasi madidihang dan bigeye tuna. Hasil tangkapan di perairan Menui didominasi ikan tongkol dan layang serta kembung. Hasil tangkapan di perairan Umbele didominasi cakalang dan madidihang.



68



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.2. Lokasi penangkapan ikan nelayan Kendari (BPPL, 2015) (A. Menui dan Umbele, B. Taliabu, dan C. perairan P. Buru). Nelayan yang berpangkalan di Ambon dan Masohi (Seram), umumnya menangkap ikan pelagis besar di perairan sekitar Pulau Ambon dan Seram. Nelayan yang berpangkalan di Banda Neira, menangkap madidihang dan cakalang serta bigeye tuna di perairan Banda bagian timur sekitar Kepulauan Banda Neira dan kadangkala mereka bergerak ke bagian tengah dan selatan Laut Banda. Daerah utara Larantuka, Pulau Adonara, dan Pulau Lembata merupakan daerah penangkapan tuna sepanjang tahun bagi nelayan Larantuka di Flores Timur. Musim Penangkapan Musim penangkapan tidak selalu sama antar lokasi. Musim penangkapan nelayan di perairan Laut Banda terjadi pada September, Oktober, November, dan Desember. Musim paceklik terjadi pada Juni, Juli, dan Agustus atau biasa dikenal musim timur. Pada musim paceklik bertepatan dengan cuaca angin monsun timur dengan keadaan ombak besar sehingga nelayan tidak bisa bisa mengoperasikan jaring atau alat tangkap dengan baik. Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Hasil penelitian BPPL (2015), berdasarkan total hasil tangkapan pelagis besar WPPNRI 714 yang didaratkan di Kendari tahun 2014, sekitar 45% merupakan ikan tongkol (kawakawa, tongkol lisong dan tongkol krai). Sekitar 35% merupakan



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



69



ikan cakalang, 17% adalah madidihang (yellowfin), dan sekitar 3% adalah tuna mata besar (bigeye tuna) (Gambar 1.3.).



Gambar 1.3. Komposisi Jenis Ikan Pelagis Besar WPP 714 yang didaratkan di Kendari (BPPL, 2015).



Dari total ikan cakalang yang didaratkan tersebut, sekitar 62% berasal dari hasil tangkapan purse seine, 25% hasil tangkapan pole and line dan 11% hasil tangkapan pancing tonda. Sementara itu, hasil tangkapan hand line tertangkap cakalang sekitar 2%. Total ikan madidihang (yellowfin tuna) yang didaratkan sekitar 73% tertangkap purse seine, 18% tertangkap pole and line dan 7% tertangkap tonda, serta 2% tertangkap hand line. Banyaknya madidihang yang tertangkap purse seine karena ukuran yang tertangkap adalah baby tuna dan juwana tuna serta lokasi penangkapannya di rumpon. Adapun tongkol mayoritas tertangkap oleh purse seine. Produksi dan Laju Tangkap Hasil penelitian BPPL (2015) produksi alat tangkap purse seine di Kendari selama periode 2008-2013 berkisar antara 9.000-21.000 ton. Rata-rata laju tangkap (CPUE/Catch per Unit Effort) alat tangkap purse seine adalah 1,68 ton/ trip. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2010 dan tahun 2011 yaitu 0,62 ton/ trip. Pada tahun 2012 dan 2013 terjadi peningkatan nilai CPUE yang cukup tinggi yaitu masing-masing sebesar 3,12 ton/trip dan 3.71 ton/trip (Gambar 1.4).



70



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.4. Perkembangan produksi (c), upaya (f ), dan CPUE purse seine di Kendari (BPPL, 2015). Rata-rata CPUE alat tangkap pole and line 0,36 ton/trip. Nilai CPUE terendah terjadi pada tahun 2009 yaitu 0,06 ton/trip dan tertinggi pada tahun 2012 sebesar 0,67 ton/trip (Gambar 1.5.).



Gambar 1.5. Perkembangan produksi (c), upaya (f ), dan CPUE pole and line di Kendari (BPPL, 2015). Lokasi Pemijahan Selain fishing ground ikan pelagis besar, Laut Banda juga merupakan daerah asuhan (nursery ground) dan ruaya ikan tuna juvenil dan sebagai daerah pemijahan berbagai ikan pelagis besar. Penemuan larva scombridae beserta kelimpahan dan sebarannya yang cukup besar di lokasi tertentu, memperkuat dugaan Laut Banda sebagai daerah pemijahan ikan pelagis besar jenis tuna (BPPL, 2011).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



71



1.1.2. Ikan Pelagis Kecil Jenis-jenis Sumber daya ikan pelagis kecil termasuk kelompok jenis ikan yang dominan setelah pelagis besar yang tertangkap nelayan di perairan WPPNRI 714 Teluk Tolo dan Laut Banda. Ikan pelagis kecil merupakan sumber daya yang bersifat strategis bagi nelayan dan masyarakat luas di perairan ini, terutama nelayan skala kecil. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang umumnya tertangkap nelayan di WPPNRI 714 seperti tertera pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Jenis-jenis ikan pelagis kecil yang dominan di WPPNRI 714. No. Jenis Ikan



Nama Ilmiah



1.



Layang



Decapterus ruselli



2.



Layang biru/malalugis



Decapterus macarellus



3.



Kembung banyar



Rastreliger kanagurta



4.



Kembung



Rastreliger bracysoma



5.



Tembang



Sardinella fibriata



6.



Teri



Stolephorus spp



Produksi Di lokasi pendaratan utama sisi barat WPPNRI 714 yaitu di Kendari, layang biru (Decapterus macarellus) merupakan ikan pelagis kecil paling dominan (95%) dengan rata-rata produksi sekitar 5.346 ton/tahun;. Jenis ikan lainnya yang banyak didaratkan di sini adalah kembung (produksi rata-rata ikan 111 ton/ tahun), banyar 63 ton/tahun, dan jenis lainnya kurang dari 1%. Hasil kajian BPPL (2015), dari total pendaratan ikan di Kendari yang sebesar 22.317 ton (2014), pukat cincin memberi kontribusi sebesar 48%, lainnya berasal dari kapal pengangkut (48%), pancing tonda (2%), pancing ulur (1%), dan huhate (1%). Namun dengan adanya moratorium kapal trawl dan transshipment di laut terjadi perubahan komposisi pendaratan ikan tersebut pada tahun 2015. Dari total pendaratan sebesar 10.014 ton tahun 2015 (Januari-September) pendaratan pukat cincin lebih besar menjadi 78%. Sedangkan kapal pengangkut menurun menjadi 15%, pancing tonda 1%, pancing ulur 1%, lainnya 5%. Lokasi pendaratan di Ambon (PPN Ambon dan PPI Erie) mewakili pendaratan ikan pelagis kecil di sisi timur WPPNRI 714. Total produksi perikanan tangkap (2013) sebanyak 70.000 ton. Alat tangkap pukat tarik ikan memberi kontribusi terbesar (90%) dari total pendaratan. Lainnya berasal dari jaring insang (6%), purse seine (4% atau 2.600 ton), pukat udang dan pancing ulur (handline). Ikan kembung dan cumi-cumi dominan tertangkap pukat ikan. Periode 2009-2013 produksi ikan di PPN Ambon berkisar 23.825- 82.554 ton; angka produksi (2013) sebesar 82.554 ton. Trend kenaikan produksi terlihat pada periode tersebut. Ikan pelagis kecil yang didaratkan menempati porsi 29% dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan yang dominan jenis ikan demersal (56%), sisanya ikan pelagis besar 12% dan krustasea 3%.



72



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Indeks Kelimpahan Hasil kajian beberapa tahun terakhir menunjukkan hasil tangkapan per upaya (CPUE/Catch Per Effort Unit) ikan pelagis kecil lebih rendah dibanding periode 2006-2007, peningkatan CPUE layang terjadi antara 2008-2011. Pada 2011 CPUE ikan layang sekitar 1.500 kg/trip. Komposisi jenis Jenis ikan pelagis kecil yang tertangkap di WPPNRI 714 didominasi ikan banyar, layang/malalugis, tembang dan selar dengan persentase komposisi 68% yang tertangkap dengan alat tangkap pukat cincin. Jenis teri persentasenya mencapai 19%, biasanya tertangkap bagan. Persentase komposisi jenis ikan lainnya termasuk cumi-cumi sebesar 13% .



Gambar 1.6. Komposisi jenis ikan pelagis kecil di WPPNRI 714 (BBPL, 2013). Daerah Penangkapan Dari survei (BPPL, 2015) teridentifikasi 7 lokasi penangkapan ikan pelagis kecil menggunakan alat tangkap purse seine di WPPNRI 714 Laut Banda bagian barat (Kendari), yaitu perairan sekitar P. Menui dan P. Wowoni, pantai Sulawesi Tenggara, perairan selatan Taliabu, Seram, laut Banda lepas pantai Kendari, dan Morowali. Ada indikasi fishing ground pukat cincin Kendari bergeser ke arah pantai (lebih dekat) sejak tidak beroperasinya kapal-kapal pengangkut (ukuran di atas 50 GT) sehingga eksploitasi menurun. 1.1.3. Ikan Demersal Jenis-jenis Jenis-jenis ikan demersal (ikan dasar) yang tertangkap di perairan WPPNRI 714 antara lain petek (Leiognathus sp), kurisi (Nemipterus sp), biji nangka/kuniran (Upeneus sulphureus), dan swanggi (Priacanthus tayenus). Selain itu kerapu, terdapat ikan ekonomis penting seperti kakap, bambangan, dan ekor kuning.



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



73



Karakteristik Pengusahaan Perikanan demersal dan ikan karang konsumsi di WPPNRI 714 lebih bersifat tradisional dimana kapal-kapal yang beroperasi mayoritas berukuran kecil, ≥ 5 GT. Kapal-kapal tersebut menggunakan alat tangkap selektif seperti pancing ulur dan bubu yang menargetkan ikan-ikan karang konsumsi seperti kerapu dan kakap. Sebaran Sumber Daya Sumber daya ikan demersal di WPPNRI 714 umumnya terkonsentrasi di perairan dangkal sekitar karang dan beberapa kepulauan di bagian barat wilayah perairan ini seperti Kepulauan Wakatobi (Sulawesi Tenggara). Selain itu, sumber daya ikan demersal juga terdapat di Kabupaten Maluku Tengah seperti di Wainuru. Banggai dan Banggai Kepulauan dekat perbatasan Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah juga merupakan sentra produksi perikanan demersal karena banyak dijumpai karang tepi, gosong karang, karang dalam, dan padang lamun yang luas sebagai habitat ikan demersal. Alat Tangkap Nelayan Wakatobi juga ada yang menggunakan tombak sebagai alat penangkap ikan tetapi ikan yang ditangkap hanya untuk konsumsi rumah tangga saja. Keberadaan sumber daya demersal dan ikan karang konsumsi hanya ada di perairan dangkal seperti di Bombana dan terumbu karang seperti di Wakatobi dan Banggai. Di Banggai dan Wakatobi alat tangkap pancing ulur merupakan alat yang dominan dengan menggunakan kapal berukuran 5 GT. Biasanya kapal beroperasi harian (one day fishing). Selain alat tangkap selektif juga alat tangkap nonselektif berupa pukat (trawl), dioperasikan oleh nelayan di WPPNRI 714, terutama di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Alat tangkap mini trawl ini dioperasikan oleh kapal yang berukuran kurang dari 6 GT, beroperasi secara one day fishing dengan lokasi penangkapan yang tidak jauh dari tempat pendaratan yaitu perjalanan hanya sekitar 30 menit. Musim Penangkapan Berbeda dengan kelompok jenis ikan pelagis besar dan pelagis kecil, musim penangkapan ikan demersal di WPPNRI 714 berlangsung sepanjang tahun. Puncak musim tangkap terjadi 3 kali dalam setahun, yaitu Januari, April, dan November. Daerah Penangkapan Wilayah tangkap pada umumnya di perairan pesisir sekitar terumbu karang dan tidak jauh dari tempat pendaratannya (inshore fishing). Daerah penangkapan ikan demersal yang cukup populer di WPPNRI 714 adalah berada di sekitar daerah Muna, Selat Tiworo, sekitar Pulau Rangku dan Pulau Lampe yang mempunyai kontur dasar perairan yang datar dan berlumpur. Ikan-ikan yang ditangkap di



74



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



lokasi ini antara lain petek (Leiognathus sp), kurisi (Nemipterus sp), biji nangka/ kuniran (Upeneus sulphureus), dan swanggi (Priacanthus tayenus). 1.1.4. Udang dan Krustase Lainnya Sebaran Udang dan Krustase Pemanfaatan sumber daya udang penaeid dan krustase lainnya tidak banyak dilakukan di WPPNRI 714 mengingat perairan ini merupakan laut kontinen yang sempit dan memiliki perairan laut yang dalam (oseanik). Wilayah perairan pesisir Sulawesi Tenggara dan beberapa perairan kepulauan seperti Pulau Buton, Muna, Wakatobi di bagian selatan, serta Kep. Banggai di bagian utara merupakan sentra udang dan krusetasea lainnya di sisi barat WPPNRI 714. Di sisi sebelah timur, udang dan krustasea juga ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil beberapa perairan tertentu Provinsi Ambon. Jenis-jenis Udang dan Krustase Jenis-jenis udang yang ditangkap nelayan di perairan WPPNRI 714 adalah kelompok udang penaeid. Jenis udang penaeid yang dominan adalah udang flower (Penaeus semisulcatus), udang jerbung (Penaeus merguiensis), rajungan (Portunus pelagicus), kepiting bakau (Scylla serrata). Sementara jenis lobster terdiri dari Panulirus versicolor (lobster bambu) dan Panulirus femoristriga atau lobster batik (BPPL, 2015).



Gambar 1.7. Rajungan dan kepiting bakau (BPPL, 2015). Pola Pengusahaan Hasil penelitian BPPL (2015), keragaan perikanan udang dan krustasea lain di perairan WPPNRI 714 Teluk Tolo dan Laut Banda didominasi usaha perikanan skala kecil dengan armada kurang dari 10 GT. Operasional penangkapan dilakukan secara harian. Alat tangkap yang digunakan berupa pukat tarik (mini trawl) dengan ukuran mata jaring kantong sebesar 1 inci. Alat tangkap rajungan menggunakan jaring insang dasar dengan ukuran mata jaring 3 inci. Ada juga yang menggunakan bubu lipat dengan ukuran mata jaring 1,5 inci. Alat tangkap kepiting berupa jaring insang dasar dan begasi



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



75



(berupa jerat yang terbuat dari besi). Sedangkan alat tangkap lobster berupa jerat. Operasional penangkapan lobster dilakukan dengan cara menyelam. Produksi Berdasarkan statistik perikanan laut di WPPNRI 714, produksi udang penaeid dan krustase lainnya relatif sedikit. Volume produksi masing-masing komoditi udang penaeid dan krustasea tahun 2011 adalah jerbung 43 ton, windu 2 ton, lobster 36 ton, kepiting 360 ton, dan rajungan 93 ton ( DJPT 2012). Jika dibandingkan dengan produksi udang penaeid di WPPNRI 718, produksi udang penaeid di WPPNRI 714 hanya sekitar 4% dari produksi udang penaeid di WPPNRI 718. Laju Tangkap Hasil kajian BPPL (2015), laju tangkap rata-rata udang dengan pukat tarik di perairan Selat Tiworo sebesar 1,29 kg/jam dengan kepadatan sebesar 141,98 kg/km2. Kelimpahan stok udang di perairan ini lebih tinggi dibandingkan kelimpahan udang di perairan barat Kepulauan Aru yang hanya sebesar 17,73 kg/jam (Kembaren et al., 2015). Hasil tangkapan rajungan cenderung tinggi pada Oktober – November, dengan rata-rata CPUE tahun 2014 dan 2015 adalah relatif sama, yaitu masing-masing 8,3±1,4 kg/hari dan 8,6±2,2 kg/hari. Komposisi Jenis Komposisi hasil tangkapan di Kendari dan sekitarnya terdiri dari ikan sebesar 21,75 kg atau 50,6%, udang 36,2%, krustase lainnya 9,2%, dan Mollusca 4%. Jenis udang yang dominan adalah dogol (Metapenaeus sp) dan pama atau flower (Penaeus semisulcatus). Komposisi jenis hasil tangkapan jaring insang dasar terdiri dari rajungan (Portunus pelagicus) 68% dan kepiting bakau (Scylla serrata) 24 %, dan jenis lain 8%. Komposis jensi hasil tangkapan lobster perairan Wakatobi didominasi oleh jenis lobster batik (Panulirus femoristriga) yang mencapai 42% Sedangkan di perairan Kepulauan Tanimbar didominasi oleh jenis lobster bambu (Panulirus versicolor) yang mencapai 33%. Musim Penangkapan Hasil tangkapan kepiting bakau cenderung tinggi pada Agustus dengan CPUE rata-rata 3,4±1,0 kg/hari. Sementara itu, hasil tangkapan lobster di perairan Wakatobi cenderung tinggi pada April dengan CPUE rata-rata sebesar 2,01±0,61 kg/hari. Sementara itu, di perairan Tanimbar cenderung tinggi pada Oktober dengan CPUE sebesar 4-8 kg/trip. Puncak musim penangkapan terjadi pada saat hasil tangkapan per unit upaya tinggi (BPPL, 2015). Daerah Penangkapan Daerah penangkapan udang berada di perairan Selat Tiworo, khususnya di sekitar perairan Kampung Baru. Daerah penangkapan rajungan di perairan Lakara



76



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



dan perairan timur Kendari dan daerah penangkapan kepiting bakau berada di pesisir pantai Lapulu-Kendari. Daerah penangkapan utama lobster di Waktobi berada di sekitar perairan karang Kapota dan karang Kaledupa. Sedangkan di perairan Kepulauan Tanimbar di perairan bagian timur laut, timur dan tenggara. Musim pemijahan Musim pemijahan udang di suatu perairan dapat diketahui melalui pengamatan terhadap penyebaran densitas telur atau dapat pula melalui pengamatan tingkat kematangan gonad udang betina di perairan tersebut (Martosubroto, 1978). Puncak musim pemijahan udang pada perairan WPPNRI 714 terjadi pada Agustus-September dan Desember (BPPL, 2015). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Puncak musim pemijahan kepiting bakau terjadi pada Juni-Juli. Puncak musim pemijahan rajungan terjadi pada April-Mei dan November-Desember. Puncak musim pemijahan lobster di perairan ini terjadi pada Maret-April dan Desember. 1.1.5. Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan Pelagis Besar Hasil penghitungan stok menggunakan model surplus produksi BPPL (2013), nilai potensi lestari (MSY) ikan pelagis besar (selain jenis ikan tuna, tongkol dan cucut) di WPPNRI 714 yakni 30.466 ton/tahun dengan nilai JTB (Jumlah tangkapan yang diperbolehkan) 24.373 ton. Nilai upaya optimum (f-opt) sebesar 3.854 unit standar purse seine dan upaya aktual (2011) 2.468 unit alat tangkap standar. Tingkat pemanfaatannya sekitar 0,64. Berarti tingkat pemanfaatan masih menjamin kelestarian sumber daya. Untuk sumber daya ikan tongkol, nilai potensi lestarinya 21.178 ton per tahun dan JTB sebesar 16.943 ton per tahun. Upaya optimal (f opt.) sekitar 4.069 unit setara purse seine dan upaya aktual adalah sekitar 2.468 unit purse seine. Tingkat pemanfaatannya sekitar 0.61, yang mengindikasikan masih berada pada tahapan yang lestari. Ikan Pelagis Kecil dan Cumi-cumi Potensi sumber daya pelagis kecil menggunakan model surplus produksi (BPPL, 2013) diduga sekitar 131.100 ton dengan rata-rata produksi 117.000 ton/tahun (data 2001-2011). Hasil analisa dengan menggunakan model surplus produksi (BPPL, 2013), didapatkan nilai MSY sebesar 131,1 ton/tahun dan f opt. adalah 5725 unit standar pukat cincin. Sementara itu, jumlah upaya aktual adalah 5.533 unit pukat cincin. Jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebesar 104.882 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sudah berada pada tingkatan penuh (fully exploited). Untuk cumicumi, nilai MSY sebesar 1.788 ton/tahun dan f opt 2.042 unit standar bagan apung (BPPL, 2013). Sementara itu, jumlah upaya aktual sekitar 2500 unit bagan apung. Jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) sebesar 1.430 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan berada pada tingkatan 1,22 (overfishing) sehingga perlu ada penataan.



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



77



Ikan Demersal Potensi lestari ikan demersal menggunakan model surplus produksi (BPPL, 2013) sebesar 107.508 ton per tahun dan JTB sebesar 86.006. Alat tangkap rawai dasar dijadikan sebagai alat tangkap standar karena merupakan alat tangkap ikan demersal yang paling tinggi produktivitasnya. Upaya optimum (f opt) 4.637 unit, sementara jumlah upaya aktual adalah 2.162 unit rawai dasar. Dengan demikian tingkat pemanfaatan sumber daya ikan demersal adalah sekitar 0,47 (indikator warna hijau), yang berarti masih terbuka peluang pengembangannya. Walaupun demikian beberapa ikan yang merupakan target nelayan tingkat pemanfaatannya sudah mendekati nilai optimal (0,5) bahkan ada yang sudah melewati sehingga pemanfaatannya harus mulai dibatasi/dikurangi seperti kerapu sunu (Variola louti) di Banggai (BPPL, 2015). Sumber Daya Udang Nilai MSY udang menggunakan model surplus produksi (BPPL, 2013), sebesar 2.438 ton dan JTB sebesar 1.951 ton (BPPL, 2013). Nilai upaya optimum 769 unit alat tangkap setara pukat udang, sementara upaya aktual 256 unit pukat udang. Tingkat pemanfaatan udang di WPPNRI 714 berada pada tahapan berkembang yaitu 0,3, berarti masih terbuka peluang pengembangannya. Hasil perhitungan MSY lobster sebesar 70 ton dan JTB sebesar 56 ton. Alat tangkap yang dijadikan acuan/standar untuk memperoleh upaya optimum adalah trammel net. Nilai upaya optimum sebesar 8.626 unit alat tangkap dan nilai upaya aktual 4.026 unit trammel net. Tingkat pemanfaatan masih berada dalam tahapan yang menjamin kelestarian lobster sekitar 0,5. Stok Tuna dan Cakalang Pendugaan stok ikan tuna dan cakalang di WPPNRI 714 dilakukan dengan aplikasi Model Seapodym (Spatial Ecosystem and Population Dynamic Model) hasil kerja sama Indonesia dan Perancis. Model spasial dinamika ekosistem dan populasi ikan ini dibangun dengan memanfaatkan berbagai macam input forcing data oseanografi fisik dan biogeokimia untuk menghasilkan tidak hanya potensi ikan tuna (multiple tropic level: larva, juvenil hingga tuna dewasa), sekaligus memodelkan pergerakan mangsanya (micronecton prey species) pada lapisan kedalaman yang berbeda. Hasil analisis Model Seapodym menunjukkan total rata-rata biomassa tuna mata besar sebesar 1.212 ton/tahun, tuna madidihang 8.839 ton/tahun, dan cakalang 59.601 ton/tahun. Tabel 1.3. Rata-rata biomassa jenis-jenis tuna dan cakalang di WPPNRI 714 tahun 2015. No



78



Jenis tuna



Rata-rata biomassa (ton/tahun)



1



Big eye tuna



1.212



2



Yellow fin tuna



8.839



3



Skipjack



69.253



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Variasi sebaran biomasa bigeye tuna (mata besar), yellowfin tuna (madidihang), dan skipjack tuna (cakalang) pada Januari-Desember 2015, dihasilkan dengan menggunakan model Seapodym (Gambar 1.8 -1.13).



Gambar 1.8. Variasi musiman sebaran biomassa bigeye tuna (Januari sampai Juni 2015).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



79



Gambar 1.9. Variasi musiman sebaran biomassa bigeye tuna (Juli-Desember 2015).



80



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.10. Variasi musiman sebaran biomassa yellowfin tuna (Januari-Juni 2015).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



81



Gambar 1.11. Variasi musiman sebaran biomassa yellowfin tuna (Juli-Desember 2015).



82



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Gambar 1.12. Variasi musiman sebaran biomassa skipjack tuna (Januari-Juni 2015).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



83



Gambar 1.13. Variasi musiman sebaran biomassa skipjack tuna (Juli-Desember 2015).



84



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



1.1.6. Infrastruktur dan Armada Penangkapan Ikan Pelabuhan Perikanan Infrastruktur perikanan di perairan Teluk Tolo dan Laut Banda didukung oleh prasarana pelabuhan perikanan: Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kendari yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon serta Tual yang berada di Provinsi Maluku. Selain itu, terdapat pelabuhan yang lebih kecil yaitu 5 unit Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) dan 25 Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) yang mendukung operasi penangkapan ikan di perairan ini. Tabel 1.4. Pelabuhan perikanan di WPPNRI 714 Teluk Tolo dan Laut Banda.



Sumber: Direktorat Pelabuhan Perikanan (2010).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



85



Armada dan Alat Tangkap Hasil penelitian BPPL (2015) armada perikanan tangkap di WPPNRI 714 didominasi kapal berukuran kecil (perikanan tradisional atau small scale fishery). Hal itu terlihat dengan masih dominannya penggunaan PTM (perahu tanpa motor) dan perahu motor tempel (PMT). Armada KM yang berbasis di kota Kendari (sisi barat WPPNRI 714) jumlahnya mencapai 862 unit (28% dari jumlah armada KM di Sulawesi Tenggara), dengan besaran bobot kapal bervariasi 5–200 GT dan didominasi oleh kapal motor ukuran 5-10 GT. Armada KM juga banyak terdapat di Kabupaten Buton, yaitu sebanyak 670 unit ukuran 5–10 GT.



Gambar 1.14. Distribusi armada menurut jenis dan ukuran di Sulawesi Tenggara (BBPL, 2015). Berdasarkan jenis kapalnya, dari 568 unit kapal perikanan yang aktif di PPS Kendari (2014) kapal purse seine tercatat sebanyak 393 unit, kapal pengangkut 117 unit, dan pancing tonda 93 unit. Ukuran kapal pukat cincin berkisar 5-100 GT (dominan berukuran 5–10 GT sebanyak 190 unit) dan ukuran 20-30 GT (103 unit).



Gambar 1.15. Jumlah unit armada kapal motor (KM) di Kendari (BPPL, 2015).



86



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Tabel 1.5. Jumlah dan struktur kapal pukat cincin di PPS Kendari 2014-2015 (BPPL, 2015). KAPAL (UNIT)



UKURAN (GT GROUP)



UPAYA (TRIP)



HASIL TANGKAPAN (TON)



2014



2015*)



2014



2015*)



2014



2015*)



75%



>75%



>75%



>75%



>75%



>75%



>75%



>75%



Kelas Kecerahan



S1



S1



S1



S1



S1



S1



S1



S1



S1



Skor Kecerahan



20



20



20



20



20



20



20



20



20



Parameter Tutupan terumbu karang hidup (%)



33



23



78



74



55



62



33



23



30



Kelas Tutupan terumbu karang hidup



S3



N



S1



S2



S2



S2



S3



N



S3



Skor Tutupan terumbu karang hidup



12



4



16



14



14



14



12



4



12



Parameter Jenis terumbu karang (Sp)



6



6



6



6



6



6



6



6



6



Kelas Jenis terumbu karang



N



N



N



N



N



N



N



N



N



Skor Jenis terumbu karang



4



4



4



4



4



4



4



4



4



Parameter Jenis Ikan (Sp)



18



26



26



39



17



29



16



27



15



Kelas Jenis Ikan



N



S3



S3



S3



N



S3



N



S3



N



Skor Jenis Ikan



4



12



12



12



4



12



4



12



4



< 0,17



< 0,17



< 0,17



< 0,17



< 0,17



Parameter Kecerahan (%)



Kelas Kecepatan arus



S1



S2



S3



S4



S5



S6



S7



S8



S9



Skor Kecepatan arus



14



14



14



14



14



14



14



14



14



Parameter Kedalaman (m)



9



9



10



10



10



10



10



9



9



Kelas Kedalaman



S2



S2



S2



S2



S2



S2



S2



S2



S2



Skor Kedalaman



12



12



12



12



12



12



12



12



12



Total Nilai Skor



52



52



64



62



54



62



52



52



52



S3 (Sesuai Marginal)



S2 (Sesuai)



S2 (Sesuai)



S3 (Sesuai Marginal)



S2 (Sesuai)



S3 (Sesuai Marginal)



S3 (Sesuai Marginal)



S3 (Sesuai Marginal)



Kelas Kesesuaian Wisata Bahari



108



< 0,17 < 0,17 < 0,17 < 0,17



S3 (Sesuai Marginal)



Parameter Kecepatan arus (m/ det)



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Kesesuaian Kawasan Wisata Bahari Berdasarkan analisis spasial, untuk kawasan wisata bahari, dibagi menjadi dua kelas. Pertama, kelas kesesuaian dengan kategori S2 (sesuai) dengan areal seluas 2.786,9 hektar (20,3%). Kedua, kelas kesesuaian dengan kategori S3 (sesuai marginal) dengan areal seluas 2.229,9 hektar (16,3%) serta kawasan kesesuaian wisata bahari yang belum mempunyai data dengan areal seluas 8.697,5 hektar (63,4%). Data selengkapnya disajikan pada Tabel 3.3. Sementara itu, peta sebaran spasial kelas kesesuaian untuk wisata bahari dapat dilihat pada Gambar 3.6. Tabel 3.3. Luas kawasan kesesuaian lahan untuk kawasan wisata bahari No



Kelas Wisata Bahari



Luas (ha)



Persentase (%)



1



Sesuai



2.786,9



20,3



2



Sesuai Marjinal



2.229,9



16,3



3



Tidak Ada Data



8.697,5



63,4



13.714,3



100,00



Luas Keseluruhan



Gambar 3.6. Peta kesesuaian kawasan wisata bahari di Pulau Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi (Yulius, et. al. (2014).



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



109



Ekosistem Terumbu Karang dan Wisata Bahari Pulau Kaledupa Ikan karang Ikan karang di perairan Pulau Kaledupa sangat beragam. Berdasaran hasil pengamatan Tim P3SDLP (2014), ditemukan 8 famili ikan karang yang terdiri dari 31 spesies. Jenis ikan dari famili Lutjanidae dan Scaridae merupakan ikan yang paling banyak dijumpai (dominan) yakni sebanyak 7 spesies (22,5%), disusul Haemulidae (16,13%), Acanthuridae, Serranidae (12,9%), Letrinidae (6,45%), Carangidae, dan Scrombidae (3,23%). Jenis ikan karang paling banyak terdapat di Karang Matongola sekitar 20 jenis. Di Hoga 2 (10 jenis), Tanjung Sombano (9 jenis), Hoga 1 (7 jenis). Total individu ikan karang terbanyak di lokasi Karang Matingola, yakni mencapai 328 individu. Berikutnya, di Hoga 2 (274 individu), Hoga 1 (181 individu), dan Tanjung Sombano (142 individu). Terumbu karang Terumbu karang di Pulau Kaledupa memiliki bentuk wall (reef wall) dan tubir (reef slope). Berjarak hingga 2 km dari pinggir pantai dengan kedalaman sekitar 2 meter lalu berbentuk tubir hingga kedalaman mencapai 100 meter. Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Kaledupa secara rata-rata masuk dalam kondisi sedang. Bedasarkan metode Point Intercept Transect (PIT), persentase karang keras (hard coral) mencapai 33,49% yang terdiri dari Acropora (3,85%) dan nonAcropora (29,64%). Sementara itu, persentase karang mati (dead coral) sebesar 7,19% (dari hasil dead coral 0% dan dead coral with algae 7,19%). Selain itu, persentase makroalgae sebesar 0,68%, soft coral (20,61%), fauna lain (7,52%), dan abiotik (22,88%) yang terdiri dari pecahan karang (rubble) 6,02%, rock 10,95%, dan pasir 5,91% (lihat Gambar 3.7).



Gambar 3.7. Persentase rata-rata tutupan subtrat di Pulau Kaledupa (P3SDLP, 2014)



110



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Berdasarkan lifeform karang yang mengacu pada English et al. (1997), kelompok karang keras dibagi dalam dua kategori, yakni Acropora dan nonAcropora. Lifeform Acropora ditemukan 5 kategori yakni Acropora Branching (ACB), Acropora Encrusting (ACE), Acropora Submassive (ACS), Acropora Tabulate (ACT), dan Acropora Digitate (ACD). Sedangkan lifeform non-Acropora ditemukan 8 kategori yaitu Coral Branching (CB), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Massive (CM), Coral Submassive (CS), Coral Mushroom (CMR), Coral Millepora (CME), dan Coral Heliopora (CHL). Penutupan karang Acropora berkisar antara 0,83 – 10,94% (Gambar 3.8) dan persentase tertinggi adalah Acropora Branching (ACB) di stasiun 2 yakni 5,04%.



Gambar 3.8. Persentase penutupan karang Acropora (P3SDLP, 2014). Persentase penutupan karang non-Acropora berkisar antara 6,07 – 61, 79% (Gambar 3.9). Persentase penutupan karang tertinggi (61,79 %) berada pada Stasiun 6, sedangkan persentase terendah (6,07%) terletak pada Stasiun 1. Bentuk pertumbuhan karang Coral Branching (C B ), Coral Encrusting (C E ), Coral Foliose (C F), Coral Massive (C M ), Coral Submassive (C S), Coral Mushroom (C M R ), dan Coral Heliopora (C HL) ditemukan di seluruh stasiun kecuali bentuk pertumbuhan karang Coral Milepora (C ME ). Persentase penutupan karang nonAcropora tertinggi yaitu dengan bentuk pertumbuhan Coral Encrusting (C E ) dengan persentase 30,89 % ada di Stasiun 6.



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



111



Gambar 3.9. Penutupan karang non–Acropora (P3SDLP, 2014). Persentase tutupan terumbu karang tertinggi terletak di Stasiun 6 dan Stasiun 2 dengan persentase 61,79% dan 57,01% termasuk dalam katagori baik. Disusul dengan Stasiun 5 (26,02%) dengan katagori sedang. Di Stasiun 3 (14, 63%) dan Stasiun 4 (12,32%) juga dengan katagori sedang. Di Stasiun 1 nilainya 6,07%. Analisis Spasial Kesesuaian Kawasan Bahari Berdasarkan analisis spasial, kawasan wisata bahari di Pulau Kaledupa terdiri dari tiga kelas (lihat Tabel 3.4). Pertama, kelas kesesuaian lahan dengan kategori S1 (sangat sesuai) seluas 72,02 km2 (44,9%). Kedua, kelas kesesuaian lahan dengan kategori S2 (sesuai) seluas 86,24 km2 (53,79%). Ketiga, kelas kesesuaian kategori S3 (sesuai marjinal) seluas 2,08 km2 (1,3%). Sementara itu, peta sebaran secara spasial kelas kesesuaian untuk kawasan wisata bahari dapat dilihat pada Gambar 3.10.



112



Potensi Sumber Daya Kelautan dan Perikanan WPPNRI 714



Tabel 3.4. Luas kawasan kesesuaian lahan untuk kawasan wisata bahari No



Kelas Kesesuaian



Luas (km2)



Presentase (%)



1



Sangat Sesuai



72,02



44,92



2



Sesuai



86,24



53,79



3



Sesuai Marjinal



2,08



1,30



160,34



100



Total



Gambar 3.10. Peta kesesuaian wisata bahari di Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi (P3SDLP, 2014). 3.2. Sumber Daya Garam Proses Pembuatan Garam Bahan baku pembuatan garam secara alami umumnya berasal dari air laut. Salah satu cara pembuatan garam dengan menggunakan metode penguapan atau evaporasi memanfaatan energi matahari dan angin, seperti yang dibuat masyarakat di sepanjang pantai pulau Madura. Garam rakyat tradisional dibuat dengan cara menimba air laut, kemudian dimasukkan ke dalam ladang penguapan sehingga didapatkan kristal garam. Keberhasilan pembuatan garam dengan metode ini sangat ditentukan oleh kualitas air laut sebagai bahan baku. Tanah atau lahan sebagai tempat penampungan air laut yang diuapkan, termasuk komposisi dan struktur tanah yang tidak mudah meresapkan air menjadi faktor penentu. Faktor penentu lain



Sumber Daya Kelautan Dan Perikanan



113



adalah iklim yang dikaitkan dengan penyinaran matahari dan angin. Keduanya sangat berpengaruh pada proses penguapan. Proses pembuatan garam dari air laut dengan metode penguapan pada prinsipnya dilakukan dengan menjemur air laut pada petak-petak lahan garam untuk meningkatkan kepekatan air laut melalui penguapan. Ukuran kepekatan dikenal dengan satuan Be (Bohme). Kandungan air laut dengan salinitas 35 per mil setara dengan 3,5 Be. Pemindahan air laut ke lahan petak garam sering dilakukan dengan mengandalkan tenaga pasang surut atau pompa air yang dialirkan melalui saluran air sebelum ditampung pada petak lahan. Proses pemekatan air atau sering juga dikenal sebagai menuakan air dimulai di petak-petak ini. Proses penuaan air dipahami sebagai proses peminihan. Setelah kepekatan air mencapai 29 Be, maka air tua siap untuk memasuki proses kristalisasi. Keseluruhan proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.11. Proses akhir akan menghasilkan kristal yang disebut sebagai garam krosok. Kualitas garam dapat diklasifikasikan berdasarkan kandungan NaCl dan airnya. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dibedakan tiga kualitas garam (lihat Tabel 3.5). Perbedaaan kualitas garam inilah yang berbengaruh pada nilai jual garam. Tabel 3.5. Kualitas garam berdasarkan bandungan NaCL (P3SDLP, 2015) Kualitas I



NaCl>98%



Kandungan Air Maksimum 4%



Kualitas II



94,4%