Case Trauma Kapitis [PDF]

  • Author / Uploaded
  • niaa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Case Report Session TRAUMA KAPITIS PADA ANAK



Kelompok 4 Sri Mardlaniah



1210312082



Vistaria Furkano



1210312090



Fajar Satria Pratama



1210312092



Mitra Novembri Yenti



1210312096



Vanny Asrytuti



1210312100



Pembimbing: dr. Citra Manela, Sp.F



BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR M DJAMIL PADANG 2016



DAFTAR ISI



DAFTAR ISI..................................................................................................................2 BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................3 A. Latar Belakang....................................................................................................3 B. Batasan Masalah.................................................................................................4 C. Tujuan Penulisan................................................................................................4 D. Manfaat Penulisan..............................................................................................4 E. Metode Penulisan...............................................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................5 A. Definisi Trauma Kapitis......................................................................................5 B. Gejala Klinis Trauma Kapitis.............................................................................5 C. Patofisiologi Trauma Kapitis.............................................................................6 D. DIAGNOSIS CEDERA KEPALA.....................................................................9 E. TATALAKSANA..............................................................................................12 F.



Aspek Medikolegal Trauma Kepala.................................................................17



BAB III ILUSTRASI KASUS....................................................................................23 BAB IV DISKUSI.......................................................................................................29 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................32



2



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.1 Cedera kepala juga menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan pada anak-anak dan orang dewasa umur 1-45 tahun. 2 Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus cedera kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Cedera kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma.3 Di Inggris jumlah anak yang masuk ke rumah sakit karena cedera kepala meningkat 6 kali dalam 20 tahun yang terakhir.22 Menurut Blaskey setiap tahun terdapat 200.000 anak yang dirawat karena cedera kepala dan diperkirakan 15.000 anak memerlukan perawatan jangka panjang. Pada anak dengan cedera kepala yang berat ± 50% mempunyai gejala sesa neurologik dan ± 2%-5% meninggalkan cacat yang berat.23 Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan cedera dan luka berada di urutan 6 dari total kasus yang masuk rumah sakit di seluruh Indonesia dengan jumlah mencapai 340.000 kasus, namun belum ada data pasti mengenai porsi cedera otak.4



3



Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian maupun akibat kekerasan. Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar dan rujukan yang terlambat. Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengajukan judul case “trauma kapitis pada anak”. B. Batasan Masalah Case ini membahas tentang trauma kapitis pada anak. C. Tujuan Penulisan Tujuan umum penulisan case ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang trauma kapitis pada anak. D. Manfaat Penulisan Melalui penulisan case ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang trauma kapitis pada anak. E. Metode Penulisan Penulisan case ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.



4



BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Trauma Kapitis Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak.5 Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik Gejala Klinis.6 B. Gejala Klinis Trauma Kapitis Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma yang dapat membantu mendiagnosa kepala adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.



Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid) Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga) Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung) Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung) Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)7 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;



a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian b. c. d. e. f.



sembuh. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan. Mual atau dan muntah. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun. Perubahan keperibadian diri. Letargik.7 Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;



5



a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan



di otak



menurun atau meningkat. b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria). c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan). d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi abnormal ekstremitas.7 C. Patofisiologi Trauma Kapitis Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.8 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.9 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).10 Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema



otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan



tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.10 Patologi cedera kepala 1. Fraktura Tengkorak



6



Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata,



depressed atau



nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat



hubungan langsung antara laserasi



scalp dan



permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.11 Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi



risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali



pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli



bagaimana



baiknya tampak pasien



tersebut.12 2. Lesi Intrakranial Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan.



Lesi fokal termasuk hematoma



epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan



perubahan sensorium atau bahkan koma dalam.



Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.12 3. Lesi Fokal 



Hematoma Epidural 7



Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial



antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio



temporal atau temporal parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung



bergantung



pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari



hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.10,11 



Hematoma Subdural Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara



duramater dan



arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,



ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.11 



Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir



selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk



8



serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara



lambat



laun menjadi hematoma intraserebral dalam



beberapa hari.11 4. Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.13



D. DIAGNOSIS CEDERA KEPALA 1. Anamnesis Anamnesis yang terperinci mengenai cedera meliputi penyebab trauma, gejala yang dialami korban, mekanisme trauma perlu dilakukan sehingga dapatdiketahui lokalisasi dan cara terjadinya cedera kepala. Sementara pada bayi serta balita yang belum bisa berkomunikasi dengan lancar, gejala-gejala cedera kepala dapat dikenali melalui perubahan kebiasaan tidur, sering menangis atau terlihat depresi, serta kehilangan minat pada mainan favorit.14,15,16,17 2. Pemeriksaan umum Beberapa hal yang perlu diobservasi, adalah: 



Fungsi vital Tekanan darah yang meninggi disertai dengan bradikardi danpernapasan yang tidak teratur (trias Cushing) menandakan adanyatekanan tinggi intrakranial. Nadi yang cepat disertai hipotensi danpernapasan yang ireguler mungkin disebabkan gangguan fungsibatang otak misalnya pada fraktur oksipital.







Mata



9



Perlu diperiksa besar dan refleks dari pupil. Perdarahan retina seringterlihat pada perdarahan subarakhnoid atau perdarahan subdural. 



Kepala Diperiksa apakah terdapat luka, hematoma, fraktur. Bila terdapatnyeri atau kekakuan pada leher atau perdarahan subarakhnoid.







Telinga dan hidung Diperiksa apakah terdapat perdarahan atau keluar cairan serebrospinaldari hidung/telinga. Perdarahan telinga disertai ekimosis di daerahmastoid (Battle’s sign) mungkin akibat fraktur basis kranii.







Abdomen Abdomen juga harus diperiksa terhadap kemungkinan adanyaperdarahan intra abdominal. 14,15,16,17



3. Pemeriksaan neurologik Derajat



kesadaran



merupakan



indikator



beratnya



kerusakan



otak.



Derajatkesadaran harus dinyatakan dalam bentuk respons mata, verbal dan motorik.Pada anak dipergunakan dalam Pediatric Glasgow Coma Scale. 14



Buka Mata (Eye Opening) Skor



≥ 1 tahun



≤ 1 tahun



4



Spontan



Spontan



3



Terhadap bicara



Terhadapsuara



2



Terhadap nyeri



Terhadap nyeri



1



Tidak ada respon



Tidak ada respon



Motorik (M) Skor



≥ 1 tahun



≤ 1 tahun



6



Menurut perintah



5



Lokalisasi nyeri



Lokalisasi nyeri



4



Menarik karena nyeri



Menarik karena nyeri



3



Fleksi abnormal (dekortikasi)



Fleksi abnormal (dekortikasi)



2



Ekstensi (deserebrasi)



Ekstensi (deserebrasi)



1



Tidak ada respon



Tidak ada respon



Verbal (V)



10



Skor



Usia >5 tahun



Usia 2-5 tahun



Usia 0-2 tahun



5



Terorientasi



Interaksi tepat



Menangis dengan benar



4



Kacau/bingung



Interaksi tidak tepat



Menangis



3



Kata tidak tepat; menangis



Berteriak



Menangis tidak tepat/ berteriak



2



Suara yang tidak dimengerti



Mengorok



Mengorok



1



Tidak ada respon



Tidak ada respon



Tidak ada respon



GCS sering digunakan untuk menentukan tingkat keparahan cedera kepala. Cedera kepala ringan bila skor GCS 13-15, cedera kepala sedang bila skor GCS 9-12, dan cedera kepala berat bilaskor GCS ≤8. Definisi ini tidak mutlak dan hanya dianggap sebagai panduan umum untuk menentukan tingkat cedera.14 Selanjutnya



diperiksa



saraf



lainnya



(bentuk



pupil,



refleks



cahaya,



reflekskornea), refleks fisiologis serta refleks patologis.14 4. Pemeriksaan penunjang 



Rontgen foto tengkorak 3 posisi: menilai ada tidaknya fraktur







CT Scan kepala: menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan morfologi lain (bila memungkinkan)







Ultrasonografi Pada umumnya ultrasonografi digunakan pada bayi dengan traumaintrakranial serta untuk mengikuti perjalanan dari suatu kroniksubdural hematoma.







Darah rutin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. 14,15,16,17



E. TATALAKSANA Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atasdalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa: 1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15) Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis: a. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran. Pasien ini hanya dilakukanperawatan luka dan observasi. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluargadilibatkan untuk mengobservasi kesadaran. 11



b. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala danpada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuatdan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI. 14,15,16,17 2. Pasien dengan kesadaran menurun a. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokalserebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat fotokepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnyaada



riwayat



lucid



interval,



pada



follow



up



kesadaran



semakinmenurun atautimbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebraldisamping tanda-tanda vital. b. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, olehkarena itu urutan tindakannya sebagai berikut: 1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi 2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cederaorgan lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstremitas 3) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain 4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial 5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral c. Cedera kepala berat (CGS=3-8) Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itudisamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik. 14,15,16,17 Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut: 1. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC) Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensidan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itutindakan pertama adalah: a. Jalan nafas (Airway)



12



Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang denganposisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipaendotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untukmenghindarkan aspirasi muntahan b. Pernafasan (Breathing) Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atauperifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medulaoblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenikhyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguanpernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan denganpemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalauperlu memakai ventilator. c. Sirkulasi (Circulation) Hipotensi



menimbulkan



kerusakansekunder.



Jarang



iskemik



yang



hipotensi



dapat



mengakibatkan



disebabkan



oleh



kelainan



intrakranial,kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibatperdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertaitamponade jantung



atau



pneumotoraks



dan



syok



septik.



Tindakannyaadalah



menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantungdanmengganti darah yang hilang dengan plasma, cairanatau darah. 14,15,16,17 2. Pemeriksaan fisik Setelah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil,defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisikpertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiapperburukan dari salah satu komponen diatas bisa diartikan sebagaiadanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangipenyebabnya. 14,15,16,17 3. Pemeriksaan radiologi Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dadadanabdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila adafraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematomintrakranial. 14,15,16,17



13



4. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematomintrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIKsebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagaiberikut: a. Hiperventilasi Setelah resusitas



ABC,



dilakukan



hiperventilasi



dengan



ventilasi



yangterkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimanaterjadi



vasokontriksi



yang



diikuti



berkurangnya



aliran



darah



serebral.Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIKtidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CTscan ulang untuk menyingkirkan hematom b. Drainase Tindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangkapendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangkapanjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadihidrosefalus c. Terapi diuretik  Diuretik osmotik (manitol 20%) Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringanotak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalamruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannyaharus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 



0,25-1



gram/kgBB



dalam



20



menit



0,5gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Loop diuretik (Furosemid) Furosemid dapat menurunkan TIK melalui



dilanjutkan



efek



0,25-



menghambat



pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairaninterstitial pada edema sebri. Pemberiannya persamaan manitolmempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotikserum oleh manitol. Dosis maks6 mg/kg/IV d. Posisi Tidur 14



Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnyaditinggikan bagian kepala sekitar 20-30o, dengan kepala dan dada padasatu bidang, jangan posisi fleksi atau laterofleksi, supaya pembuluhvena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadilancar. 14,15,16,17 5. Keseimbangan cairan elektrolit Pada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegahbertambahnya edema serebri, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9%atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa olehkarena



terjadi



keadaan



hiperglikemia



menambah



edema



serebri.Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, denyut nadi normal dan volume urin normal 1 ml/kg/jam. Setelah3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. 6. Nutrisi Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kalinormal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadiantara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrindalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setelah 3-4 haridengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipanasograstrik bisa dimulai. 7. Epilepsi/kejang Epilepsi yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut earlyepilepsi dan yang terjadi setelah minggu pertama disebut late epilepsy.Early epilelpsi lebih sering timbul pada anak-anak dari pada orangdewasa, kecuali jika ada fraktur impresi, hematom atau pasien denganamnesia post traumatik yang panjang. Pengobatan: o Kejang pertama: Fenitoin 15-20 mg/kgBB, dilanjutkan 4-8 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis. o Status epilepsi: diazepam 10 mg/IV diberikan 1 mg/ 2-5 min. Dapat diulang 2-4 jam berikutnya bila diperlukan.



15



Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resikokejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial danpenderita dengan amnesia post traumatik panjang. Tujuan utama dari pengobatan pada cedera kepala adalah menghilangkanatau meninimalkan kelainan sekunder, karena itu pengendalian klinis danpenanggulannya sangat penting. Adanya jarak walaupun singkat antara prosesprimer dansekunder harus digunakan sebaik mungkin, waktu tersebut dinamakanjendela terapi. 14,15,16,17



F. Aspek Medikolegal Trauma Kepala Secara medikolegal, orientasi



yang digunakan dalam merinci kecederaan



adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya trauma atau luka dan memperkirakan derajat keparahan trauma atau luka (severity of injury). Pada umumnya trauma kepala terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh/tertimpa benda berat (benda tumpul), serangan/kejahatan (benda tajam), pukulan (kekerasan), akibat tembakan, dan pergerakan mendadak sewaktu berolahraga.18 Dengan demikian pada pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting dari segi medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya lokasi luka, tepi luka, ukuran, akibat dari luka sebagainya.19



Oleh karena itu, dikeluarkan Visum et Repertum yang berfungsi



sebagai bukti yang sah yang dikeluarkan oleh dokter terhadap hasil pemeriksaan pada korban dengan cedera/ trauma. Konsep hukum VeR meliputi bukti factual (factual evidence) yang harus dibuktikan terlebih dahulu baru kemudian diikuti oleh bukti hokum (legal evidence): 1. Factual Evidence Diperoleh dari hasil pemeriksaan medis kepada korban melalui observasi yang sistematis dan menggunakan penalaran implicit yaitu meliputi ilmu kedokteran, komitmen teori dan tujuan tertentu.20



16



2. Legal Evidence Diperoleh dari hasil opini dari seorang ahli yang kompeten dan interpretasi dari Factual Evidence. Bersifat tidak mutlak namun dapat member sugesti kepada hakim untuk membuat keputusan. Dan harus dibuat berdasarkan pemikiran kritis, penalaran medis yang pasti (reasonable medical certainty) dan penalaran hukum yang pasti (beyond reasonable doubt).20 Orang yang mengalami cedera kepala tentu akan menghadapi masalah hukum akibat cedera tersebut . Sifat dari cedera dengan pengobatan yang dihasilkannya, serta penyebab cedera (terbanyak



kecelakaan kendaraan bermotor), mengarah ke



keterlibatan dalam sistem hukum. Hak hukum dan tanggung jawab penyedia layanan kesehatan terhadap cedera kepala yang terjadi



menempati peran penting dalam



pengobatan cedera pada pasien dari tahap akut melalui tahap rehabilitasi subakut dan tahap rehabilitasi posthospital. Perawatan medis dini untuk cedera kepala melibatkan perawatan darurat dari orang yang akan dapat memberikan persetujuan untuk pengobatan; perawatan medis lainnya adalah jarak jauh, mengangkat isu-isu hukum asuransi.



Kebanyakan



cedera kepala adalah akibat



dari kecelakaan



kendaraan bermotor, cedera olahraga, atau trauma yang disebabkan oleh pihak ketiga bertanggung jawab. Pihak yang bertanggung jawab digugat dengan cara apa yang dikenal sebagai litigasi cedera pribadi.



Masing-masing instansi



seperti medis,



asuransi, dan pihak yang terkait dengan kejadian cedera kepala secara



pribadi



dipengaruhi dan diikat oleh hukum yang berlaku.20 Hukum di Indonesia yang mengikat setiap tindakan pidana yang menyebabkan cedera dan perlukaan terhadap korban diatur dalam Kitab Undang Hukum Pidana. Cedera kepala digolongkan kepada luka derajat 3/ derajat berat apabila cedera tersebut t i d a k b i s a d i h a r a p k a n a k a n s e m b u h l a g i d e n g a n sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut, terusmenerus tidak cakap lagi dalam memakai salah satu panca indera, lumpuh, berubah pikiran atau akal lebih dari empat minggu lamanya, menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu , dan hal ini dimuat dalam KUHP pasal 90.20,21



17



1. Kekerasan termasuk penganiayaan yang menyebabkan trauma kepala Pasal 351 KUHP 1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, 2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.21 Pasal 352 1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. 2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. 21 Pasal 353 1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.



18



2) Jika perbuatan itu mengakibatka luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun



2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menyebabkan trauma kepala Diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Pasal 44 1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). 2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). 3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah). 4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan seharihari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).20 3. Kekerasan pada anak yang menyebabkan trauma kepala



19



Diatur dalam Pasal 80 dan 90, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 80 1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). 2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.20 Pelaku yang melakukan tindak kekerasan sehingga menyebabkan trauma kepala pada korban yang masih dibawah umur/anak-anak, maka pelaku diancam pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak tujuh puluh dua juta rupiah. Bila terjadi luka berat akibat trauma kepala, seperti lumpuh, kecacatan, gegar otak, penurunan kesadaran, kehilangan fungsi salah satu panca indera akibat pukulan, hilangnya ingatan, jatuh sakit/mendapat luka yang tidak memberi harapan sembuh sama sekali maka ancaman pidana penjara menjadi paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyakseratus juta rupiah. Bila trauma kepala menyebabkan kematian pada anak maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Sesuai dengan pasal 80 ayat (4) hukuman pidana akan ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan tindak kekerasan tersebut orang tuanya.20 Sesuai pasal 90 ayat (1) KUHP bila tindak kekerasan pada anak dilakukan oleh korporasi, maka pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus dan/atau



20



korporasinya. Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda dengan ketentuan pidana denda yang dijatuhkan ditambah sepertiga pidana denda masingmasing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal 90.20 4. Trauma kepala yang disebabkan karena kekerasan oleh anak/anak nakal Diatur dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 TentangPengadilan Anak Pasal 5 1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik. 2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali,atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.20 Pasal 26 1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. 2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun. 3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.



21



4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.20



22



BAB III ILUSTRASI KASUS



PROJUSTITIA



Padang, 19 Oktober 2016 VISUM ET REPERTUM Nomor : ______________



Yang bertandatangan dibawah



ini, Citra Manela, dokter spesialis forensik pada



Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M.Djamil Padang, berdasarkan surat permintaan Visum et Repertum dari Kepala Kepolisian __________ dengan surat bernomor ______, tertanggal______, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal sembilan belas Oktober dua ribu enam belas, pukul dua puluh dua Waktu Indonesia Bagian Barat bertempat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr.M. Djamil Padang, telah dilakukan pemeriksaan korban dengan nomor registrasi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil 95.94.25, yang menurut surat permintaan Visum et Repertum tersebut adalah :--------------------------------------------------------------------------------------------Nama



: Oktavianus Rafael-------------------------------------------



Jenis Kelamin



: Laki-laki------------------------------------------------------



Umur



: 7 tahun 7 bulan-----------------------------------------------



Alamat



: Seberang Palinggam, Padang------------------------------



HASIL PEMERIKSAAN : -------------------------------------------------------------------1. Korban datang dalam keadaan penurunan kesadaran dengan keadaan umum tampak sakit sedang.--------------------------------------------------------------------2. Menurut pengakuan keluarga korban, korban bermain di sekitar rumah. Kemudian korban terjatuh ke dalam parit setinggi kurang lebih satu koma tiga meter. Mekanisme jatuh tidak diketahui. Peristiwa ini terjatuh pada tanggal 23



sembilan belas Oktober dua ribu enam belas sekitar pukul enam belas Waktu Indonesia Bagian Barat di Seberang Palinggam Padang.



Beberapa jam



kemudian korban dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang oleh keluarga korban.-------------------------------------------------------------------3. Pada korban ditemukan :---------------------------------------------------------------a. Pada dahi tepat pada garis pertengahan depan dan dua sentimeter di bawah batas tumbuh rambut depan terdapat luka lecet berwarna kemerahan dengan ukuran tiga koma lima sentimeter kali dua sentimeter.----------------------------------------------------------------b. Tepat pada puncak hidung terdapat luka lecet berwarna kemerahan dengan ukuran satu koma lima sentimeter kali satu koma lima sentimeter.---------------------------------------------------------------c. Pada tungkai bawah kiri sisi depan enam sentimeter di bawah lutut terdapat dua buah luka lecet bewarna kemerahan dengan ukuran satu sentimeter kali satu sentimeter dan nol koma lima sentimeter kali nol koma lima sentimeter.-----------------------------------------------------d. Pada pergelangan kaki kiri sisi depan terdapat luka lecet berwarna kemerahan dengan ukuran dua koma lima sentimeter kali satu sentimeter.--------------------------------------------------------------------4. Pemeriksaan penunjang :---------------------------------------------------------------a. Dilakukan pemeriksaan pemindaian kepala, didapatkan hasil perdarahan di atas selaput keras otak bagian kiri.-------------------------5. Pada korban dilakukan :----------------------------------------------------------------a. Pembersihan terhadap luka.---------------------------------------------------b. Pemasangan infus.-------------------------------------------------------------c. Pemasangan oksigen.----------------------------------------------------------d. Pembedahan kepala.-----------------------------------------------------------6. Korban meninggal pada tanggal dua puluh satu Oktober setelah empat hari dirawat di Intensive Care Unit (ICU).------------------------------------------------



KESIMPULAN : -------------------------------------------------------------------------------Pada pemeriksaan korban laki-laki yang menurut surat permintaan visum berumur tujuh tahun tujuh bulan ini ditemukan luka lecet pada dahi, puncak hidung, tungkai bawah kiri dan pergelangan kaki kiri serta perdarahan di atas selaput keras 24



otak bagian kiri akibat kekerasan tumpul. Cedera ini menimbulkan bahaya maut pada korban.--------------------------------------------------------------------------------------------Demikianlah Visum et Repertum ini dibuat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan mengingat sumpah sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.--------------------------------------------------------------------------------------------Padang, 19 Oktober 2016 An. Dirut RSUP Dr. M. Djamil Dokter yang memeriksa



dr. Citra Manela, Sp.F NIP. 198303112010122006



Tanda vital: a. Keadaan umum: sedang b. Kesadaran: GCS 10 c. Tekanan darah: 115/70 mmhg d. Nadi: 54x/menit e. Nafas: 26x/menit f. Suhu: 37,80C



Dokumentasi Luka 1.



Luka Lecet Pada Dahi



2.



Luka Lecet Pada Puncak Hidung



25



3. Luka Lecet Pada Tungkai Bawah



4. Luka Lecet Pada



Perelangan Kaki



26



5. Pemindaian Kepala



27



28



BAB IV DISKUSI Pada laporan kasus ini, laki-laki berusia 7 tahun 7 bulan datang ke IGD pada tanggal 19 Oktober 2016 pukul 22.00 WIB dengan penurunan kesadaran dan keadaan umum tampak sakit sedang. Menurut pengakuan keluarga korban, korban bermain di sekitar rumah. Kemudian korban terjatuh ke dalam parit setinggi kurang lebih satu koma tiga meter. Mekanisme jatuh tidak diketahui. Peristiwa ini terjatuh pada tanggal sembilan belas Oktober dua ribu enam belas sekitar pukul enam belas Waktu Indonesia Bagian Barat di Seberang Palinggam Padang. Beberapa jam kemudian korban dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang oleh keluarga korban. Pada dahi, puncak hidung, tungkai bawah kiri dan pergelangan kaki kiri ter dapat luka lecet berwarna kemerahan serta perdarahan di atas selaput keras otak bagian kiri. Pada kasus ini cedera yang ditimbulkan terjadi akibat kekerasan tumpul.



29



Pada kasus ini, korban dicurigai mengalami penurunan kesadaran dengan GCS 10 karena beberapa hal. Pertama, korban mengalami benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. 8 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.9 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).10 Pada korban terdapat luka lecet pada dahi, sementara perdarahan pada selaput otak terdapat pada kepala bagian kiri. Kemungkinan koban terjatuh dengan dahi korban membentur ke dasar parit terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan goncangan pada kepala korban dan benhenti secara tiba-tiba. Sehingga terbentuklah lesi pada kepala bagian lainnya. Dari gambaran dan pola yang terbentuk dapan disimpulkan pada korban terjadi proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala dengan bentuk lesi contrecoup. Kedua, disebabkan oleh Epidural hematom (EDH). Perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater. Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah temporoparietal, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun oksipital dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Pada kasus ini EDH terjadi pada daerah temporoparietal kiri yang kemungkinan terjadi karna adanya robekan sinus. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama



30



diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Biasanya disertai dengan terjadi fraktur kranium ( 85-96% ) pada daerah yang sama. Harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.10,11,24,25 Angka kejadian EDH adalah 2-4 % dari seluruh perdarahan intraserebral dan paling sering terjadi pada usia produktif 20-30 tahun. EDH jarang terjadi pada orang tua > 60 tahun dan anak - anak kurang dari 2 tahun. Pada anak - anak, usia 5-10 tahun merupakan usia tersering menderita EDH. EDH lebih sering terjadi pada laki – laki dengan perbandingan 4: 1.26 Hal ini sesuai dengan kasus ini, korban laki-laki berusia 7 tahun 7 bulan mengalami EDH karena trauma kapitis. Aspek medikolegal pada cedera kepala pada kasus ini tidak dapat dikaitkan dengan tindak pitana karena tidak ada saksi pada saat kejadian. Namun, jika pada kasus cedera kepala yang disebabkan oleh anak-anak nakal apabila memang ditemukan atau didapatkan saksi mata yang melihat kejadian. Pada keadaan ini si pelaku dapat dituntut dengan sanksi hukuman menurut pasal 26 UU RI No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dikenakan hukuman setengah dari hukuman pada dewasa, namun apabila anak tersebut masih dibawah dua belas tahun, anak tersebut akan dikembalikan kepada orang tuanya,wali atau departemen sosial. Anak yang dipidana pasal 26 ini hanya boleh dipidana maksimal hukuman penjara 10 tahun walaupun dalam keputusan pengadilan menyebutkan hukumannya mati atau seumur hidup. Sanksi ini dapat berlaku apabila ada saksi mata dan memang terbukti pada anak tersebut terjadi kekerasan. Pada kasus ini si anak jatuh sendiri dan tidak ada saksi mata yang melihat terjadinya kejadian sehingga sanksi hukum yang mana pun tidak bisa dikaitkan dengan kasus ini.



31



DAFTAR PUSTAKA 1. Langlois et al. 2006. The Epidemiology and Impact of Traumatic Brain Injury: A Brief Overview. Journal of Head Trauma Rehabilitation: Volume 21 - Issue 5 - p 375–378. 2. Turliuc D. 2010. Management of mild and moderate head injuries in aduld. Romanian Neurosurgery (2010) XVII 4: 421 – 431. 3. Centers for Disease Control (CDC). 2011. Traumatic brain injury in the United States: Fact Sheet. MMWR, 60(39), 1337-1342. 4. Mittal R, Vermani E, Tweedie I, Nee PA. Critical care in the emergency department: traumatic brain injury. Emerg Med J. 2009; 26: 513-17. 5. Sastrodiningrat AG. 2006. Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PrognosaCedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara Vol 39 No.3. Hal : 307-16. 6. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E. 2006. Traumatic brain injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations, and deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Injury Prevention and Control. 7. Reisner A. 2009. Understanding Traumatic Brain Injuries.Medical Director of Children’s Neuro Trauma Program.



Available:http://www.choa.org/Menus/



Documents/OurServices/ Traumaticbrainiinjury2009.pdf. 8. Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam: Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill. 9. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium trauma kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru. 10. Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William & Wilkins. 11. Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses 9 November 2016]



32



12. American College of Surgeon Committee on Trauma. 2004. Cedera Kepala. Dalam : Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma IKABI. 13. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. 2005. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra Grafindo. 14. Christensen, B. 2016. Glasgow Coma Scale – Pediatric. http://emedicine .medscape.com/article/2058902-overview. Accessed November 10th,. 15. Jenneth, B. 1981.Management of head injury. Philadelphia; FA Davis. 16. Reilly, P. 1997. Pathophysiology and management of severe close injury. London: Chapman & Hall Medical. 17. Olson



DA,



Talavera



F,



Thomas



FP.



2016.



Head



Injury.



http://emedicine.medscape.com/ article/1163653-overview. Accessed November 10th. 18. Chusid, J.G. 2008. Neuroanatomi Corelatif dan Neuro Fungsional . Bagian satu. Gajah Mada University Press : Yogjakarta. 19. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia.2005.



Pedoman teknik pemeriksaan dan interpretasi luka dengan



orientasi medikolegal atas kecederaan. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Indonesia. 20. Satyo, A.C., 2006. Aspek Medikolegal Luka pada Forensik Klinik. Majalah Kedokteran Nusantara 39(4): 430-432. 21. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 22. Menkes JH; Batzdorf U. 1980. Postnatal trauma and injuries by physical agents in Menkes JH. Textbook of child neurology. 2nd ed. Philadelpia : Lea & Febiger p. 411-435 23. Blaskey J. 1990. Head trauma in pediatrics neurologic physical theraphy. 3th ed. London : WB Saunders. p. 2149-2192. 24. Valadka AB, Narayan RK. 1999. Injury to the cranium. In: Feliciano DV, Moore EE, Mattox KL. editors. Trauma. 3rd ed. Connecticut : Appleton and Lange;. p. 267-70, 273-5. 25. Aarabi et al. Management of Severe Head Injury. 2006. In : Moore AJ, Newell DW. Editor. Neurosurgery : London, 2005 : p 370 – 75. 20. Bullock et al. Surgical management of Acute Epidural Hematomas. In : Neurosurgery, 58 (3). 33



34