5 0 293 KB
Departemen Gawat Darurat
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA CAPITIS
NAMA
: CYPRIANUS M. HURULEAN, S.Kep
NIM
: 19.04.006
CI INSTITUSI
(Ns. Muh. Zukri Malik, M. Kep)
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI PROFESI NERS PANAKKUKANG MAKASSAR 2020
BAB I KONSEP MEDIS A. DEFENISI Trauma kapitis merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak, yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosional, social maupun vokasional [ CITATION Jen12 \l 1033 ].
Adapun menurut Brain Injury Assosiation of America (2009), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. B. ETIOLOGI Trauma capitis merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas ( Mansjoer, 2000:3). Penyebab cidera kepala antara lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, terjatuh, dan cidera olah raga. Cidera kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau (Corkrin, 2001:175). a. Cedera Kepala Primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma: 1) Kulit : Vulnus, laserasi, hematoma subkutan, hematoma subdural. 2) Tulang : Fraktur lineal, fraktur bersih kranial, fraktur infresi (tertutup & terbuka). 3) Otak : Cedera kepala primer, robekan dural, contusio (ringan, sedang, berat), difusi laserasi. b. Cedera Kepala Sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi : 1) Oedema otak 2) Hipoksia otak 3) Kelainan metabolic 4) Kelainan saluran nafas 5) Syok
C. PATOFISIOLOGI Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.. Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan, yaitu : a. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak, b. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan, c. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan.;Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil/motor. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan
menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan. D. MANIFESTASI KLINIK a. Berdasarkan anatomis 1) Gegar otak (comutio selebri) a) Disfungsi neurologis sementara dapat pulih dengan atau tanpa kehilangan kesadaran b) Pingsan kurang dari 10 menit atau mungkin hanya beberapa detik/menit c) Sakit kepala, tidak mampu konsentrasi, vertigo, mungkin muntah d) Kadang amnesia retrogard 2) Edema Cerebri a) Pingsan lebih dari 10 menit b) Tidak ada kerusakan jaringan otak c) Nyeri kepala, vertigo, muntah 3) Memar Otak (kontusio Cerebri) a) Pecahnya pembuluh darah kapiler, tanda dan gejalanya bervariasi tergantung lokasi dan derajad b) Ptechie dan rusaknya jaringan saraf disertai perdarahan c) Peningkatan tekanan intracranial (TIK) d) Penekanan batang otak e) Penurunan kesadaran f) Edema jaringan otak g) Defisit neurologis h) Herniasi 4) Laserasi a) Hematoma Epidural Talk dan die” tanda klasik: penurunan kesadaran ringan saat benturan, merupakan periode lucid (pikiran jernih), beberapa menit s.d beberapa
jam, menyebabkan penurunan kesadaran dan defisit neurologis (tanda hernia):
kacau mental → koma
gerakan bertujuan → tubuh dekortikasi atau deseverbrasi
pupil isokhor → anisokhor
b) Hematoma subdural
Akumulasi darah di bawah lapisan duramater diatas arachnoid, biasanya karena aselerasi, deselerasi, pada lansia, alkoholik.
Perdarahan besar menimbulkan gejala-gejala seperti perdarahan epidural
Defisit neurologis dapat timbul berminggu-minggu sampai dengan berbulan-bulan
Gejala biasanya 24-48 jam post trauma (akut)
perluasan massa lesi
peningkatan TIK
sakit kepala, lethargi, kacau mental, kejang
disfasia
c) Perdarahan Subarachnoid
Nyeri kepala hebat
Kaku kuduk
b. Berdasarkan nilai GCS (Glasgow Coma Scale) 1) Cidera kepala Ringan (CKR) a) GCS 13-15 b) Kehilangan kesadaran/amnesia 30 menit tetapi kurang dari 24 jam
c) Dapat mengalami fraktur tengkorak 3) Cidera Kepala Berat (CKB) a) GCS 3-8 b) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam c) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial E. KOMPLIKASI Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intrakranial, edema serebral progresif, dan herniasi otak a. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira kira 72 jam setelah cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.. b. Defisit neurologik dan psikologik Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan defisit neurologik seperti afasia, defek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy. c. Komplikasi lain secara traumatic : 1) Infeksi sitemik (pneumonia, ISK, sepsis) 2) Infeksi bedah neurologi (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses otak) 3) Osifikasi heterotropik (nyeri tulang pada sendi sendi) d. Komplikasi lain: 1) Peningkatan TIK 2) Hemorarghi 3) Kegagalan nafas 4) Diseksi ekstrakranial
F. PEMERIKSAAN PEMNUNJANG 1
Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test diagnostic untuk menentukan status respirasi..
2
CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran jaringan otak.
3
Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4
MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.
5
Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.
6
Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid
G. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak. (Tunner, 2000) Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala (Turner, 2000) Penatalaksanaan umum adalah: 1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi 2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma 3. Berikan oksigenasi 4. Awasi tekanan darah 5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik 6. Atasi shock 7. Awasi kemungkinan munculnya kejang. Penatalaksanaan lainnya : 1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma. 2. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika 4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. 5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin). 6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak, Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt (2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea. Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu: 1. Pemantauan TIK dengan ketat 2. Oksigenisasi adekuat 3. Pemberian manitol 4. Penggunaan steroid 5. Peningkatan kepala tempat tidur 6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu: 1. Dukungan ventilasi 2. Pencegahan kejang 3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi 4. Terapi anti konvulsan 5. Klorpromazin untuk menenangkan klien 6. Pemasangan selang nasogastrik. (Mansjoer, dkk, 2000). H. PENCEGAHAN Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma. Upaya yang dilakukan yaitu : a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm. b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yang dirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu : 1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway). Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera.Untuk menghindari gangguan tersebut penanganan masalah airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya.Beberapa kematian karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri.Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru.Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancam airway. 2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing) Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatanadalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian. 3. Menghentikan perdarahan (Circulations). Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup.Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat.Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infus dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah.Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah. c. Pencegahan Tertier Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas
untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup.Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial. 1. Rehabilitasi Fisik a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh. b. Perlengkapan splint dan caliper. c. Transplantasi tendon 2. Rehabilitasi Psikologis Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya.Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya memerlukan semangat hidup. 3. Rehabilitasi Sosial a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain. b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).
BAB II ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN 1. Identitas : identitas adalah tanda pengenal bagi klien, identitas dibagi menjadi 2 yaitu identitas pribadi dan identitas sosial. Identitas pribadi yaitu identitas yang melekat pada
pribadi
pasien
Lahir/Umur,Jenis
(
termasuk
Kelamin,Alamat,
ciri-cirinya) Status
misalnya
Perkawinan
Nama,Tanggal dan
lain-lain
termasuk.Sedangkan identitas sosial meliputi identitas yang menjelaskan tentang sosial,ekonomi dan budaya pasien misalnya, agama, pendidikan,pekerjaan,identitas orang tua,identitas penanggung jawab pembayaran dan lain-lain. 2. Pengkajian Primer (Primary Survey) a. Airway (Jalan napas) dengan control cervical -
Kaji ada tidaknya sumbatan jalan napas Sumbatan jalan napas total :
Pasien sadar : memegang leher, gelisah, sianosis
Pasien tidak sadar : tidak terdengar suara napas, mendengkur
Sumbatan jalan napas parsial :
Tampak kesulitan bernapas
Retraksi supra sterna
Masih terdengar suara sursling, snoring, atau stridor
-
Distress pernapasan
-
Kemungkinan fraktur cervical
b. Breathing ( Pernapasan) -
Kaji frekuensi napas
-
Suara napas
-
Adanya udara keluar dari jalan napas Cara pengkajian : look (lihat pergerakan dada, kedalaman, simetris atau tidak), listen (suara napas dengan atau tanpa stetoskop), feel (rasakan hembusan napas, atau dengan perkusi dan palpasi)
c. Circulation (Sirkulasi) -
ada tidaknya denyut nadi karotis
-
Ada tidaknya tanda-tanda syok
-
Ada tidaknya perdarahan eksternal
d. Disability (Tingkat Kesadaran) Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan menjadi :
Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen
(Obtundasi,
Letargi),
yaitu
kesadaran
menurun,
respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign. GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Tabel 2.1 Tingkat Kesadaran Glasglow Coma Scale
e. Exposure ( control pada kasus trauma, dengan membuka pakaian pasien tetapi cegah hipotermi) [ CITATION HIP14 \l 1033 ].
3. Pengkajian Sekunder (Secondary Survey) Survey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007): A
: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M
: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalanI
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat. P
: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal) L
: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini) E
:
Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda? Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri. B. DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan trauma capitis adalah: 1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d gangguan neuromuscular, ketidakmampuan mengelurkan secret 2. Pola napas tidak efektif b.d Gangguan neurologis (Trauma Kepala) 3. Ketidakfektifan perfusi jaringan otak b.d gangguan aliran darah ke otak (Iskemia) 4. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik (trauma), peningkatan TIK
C. INTERVENSI KEPERAWATAN No 1.
DIAGNOSA Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL Setelah dilakukan tindakan keperawatan
gangguan neuromuscular,
selama 6 jam pasien menunjukkan
ketidakmampuan mengelurkan
keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan
secret
kriteria hasil :
Mendemonstrasikan
batuk
efektif
dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis
dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan sputum, bernafas dengan
INTERVENSI
dalam
Mampu
Berikan O2… l/mnt, Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas dalam
Posisikan
pasien
untuk
rentang
mengidentifikasikan
Lakukan fisioterapi dada jika perlu Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
normal, tidak ada suara nafas abnormal)
/
metode………
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas, pernafasan
oral
memaksimalkan ventilasi
Menunjukkan jalan nafas yang paten frekuensi
kebutuhan
tracheal suctioning.
mudah, tidak ada pursed lips)
Pastikan
dan
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
mencegah faktor yang penyebab.
Saturasi O2 dalam batas normal
Berikan bronkodilator :
Foto thorak dalam batas normal
Monitor status hemodinamik
Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
Berikan antibiotik :
Atur
intake
untuk
cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
Monitor respirasi dan status O2
Pertahankan
hidrasi
yang
adekuat untuk mengencerkan sekret
Jelaskan keluarga
pada
pasien
tentang
dan
penggunaan
peralatan : O2, Suction, Inhalasi.
2.
Pola
napas
Gangguan Kepala)
tidak
efektif
neurologis
b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan
(Trauma selama 6 jam pasien menunjukkan keefektifan jalan nafas dibuktikan dengan kriteria hasil : 1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih , tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips) 2. Menunjukkan jalan nafas yang paten 3. Tanda – tanda vital dalam rentang normal
3
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea 2. Pertahankan jalan nafas yang paten 3. Atur peralatan oksigenasi 4. Monitol aliran oksigen 5. Pertahankan posisi pasien 6. Observasi adanya tanda – tanda hipoventilasi 7. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Ketidakfektifan perfusi jaringan otak Setelah dilakukan tindakan keperawatan Monitor Tekanan Intra Kranial b.d gangguan aliran darah ke otak selama 6 jam, klien mampu men-capai status 1. Catat
perubahan
respon
klien
(Iskemia)
sirkulasi dengan indikator: ·
Tekanan
diastolik
terhadap stimulus / rangsangan
darah
dalam
sis-tolik rentang
dan 2. Monitor TIK klien dan respon yang
diharapkan
neurologis terhadap aktivitas 3. Monitor intake dan output
· Tidak ada ortostatik hipotensi
4. Pasang restrain, jika perlu
· Tidak ada tanda tan-da Perfusi 5. Monitor suhu dan angka leukosit jaringan serebral, dengan indicator :
6. Kaji adanya kaku kuduk
· Klien mampu berko-munikasi 7. Kelola pemberian antibiotik dengan
je-las
dan
sesuai
ke- 8. Berikan posisi dengan kepala elevasi 30-40O dengan leher dalam posisi
mampuan · Klien menunjukkan perhatian, konsen-trasi, dan orientasi ·
Klien
mampu
netral 9. Minimalkan
mem-proses
informasi de-ngan benar
dari
lingkungan 10. Beri
· Klien mampu mem-buat keputusan
stimulus
jarak
antar
tindakan
keperawatan untuk meminimalkan peningkatan TIK
· Tingkat kesadaran klien membaik
11. Kelola
obat
obat
untuk
mempertahankan TIK dalam batas
4
Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik Setelah (trauma), peningkatan TIK
dilakukan
asuhan
spesifik keperawatan Manajemen nyeri (1400)
selama 6 jam, klien dapat : 1.
Mengontrol indikator:
1. Kaji keluhan nyeri, lokasi, nyeri,
de-ngan
karakteristik,
onset/durasi,
frekuensi, kualitas, dan beratnya
- Mengenal faktor-faktor penyebab - Mengenal onset nyeri -
Tindakan
pertolong-an
2. non
farmakologi - Menggunakan anal-getik - Melaporkan gejala-gejala nyeri kepada tim kesehatan. - Nyeri terkontrol
nyeri. Observasi
ketidaknyamanan secara verbal dan non verbal. 3.
Pastikan
klien
menerima
perawatan analgetik dg tepat. 4. Gunakan strategi komunikasi yang efektif untuk mengetahui respon
2.
respon
penerimaan
klien
terhadap nyeri. 5.
Evaluasi
keefektifan
penggunaan kontrol nyeri 6. Monitoring perubahan nyeri baik aktual maupun potensial. 7.
Sediakan
lingkungan
yang
nyaman. 8. Kurangi faktor-faktor yang dapat
menambah
ungkapan
nyeri. 9. Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi sebelum atau sesudah nyeri berlangsung.
10.
Kolaborasi
dengan
tim
kesehatan lain untuk memilih tindakan
selain
obat
untuk
meringankan nyeri. 11.
Tingkatkan
adekuat
untuk
istirahat
yang
meringankan
nyeri. Manajemen pengobatan (2380) 1. Tentukan obat yang dibutuhkan klien dan cara mengelola sesuai dengan anjuran/ dosis. 2. Monitor efek teraupetik dari pengobatan. 3. Monitor tanda, gejala dan efek samping obat. 4. Monitor interaksi obat. 5. Ajarkan pada klien / keluarga cara mengatasi efek samping pengobatan. 6. Jelaskan manfaat pengobatan yg dapat mempengaruhi gaya
hidup klien. Pengelolaan analgetik (2210) 1. Periksa perintah medis tentang obat, dosis & frekuensi obat analgetik. 2. Periksa riwayat alergi klien. 3. Pilih obat berdasarkan tipe dan beratnya nyeri. 4. Pilih cara pemberian IV atau IM
untuk
pengobatan,
jika
mungkin. 5. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgetik. 6.
Kelola
jadwal
pemberian
analgetik yang sesuai. 7.
Evaluasi
efektifitas
dosis
analgetik, observasi tanda dan gejala
efek
samping,
misal
depresi pernafasan, mual dan muntah, konstipasi.
mulut
kering,
&
8. Kolaborasi dgn dokter untuk obat, dosis & cara pemberian yg diindikasikan. 9.
Tentukan
karakteristik,
lokasi kualitas,
nyeri, dan
keparahan sebelum pengobatan. 10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar 11. Dokumentasikan respon dari analgetik dan efek yang tidak diinginkan
PATHWAY Kecelakaan lalu lintas
Cidera kepala
Cidera otak sekunder
Cidera otak primer
Kontusio cerebri
Kerusakan Sel otak
Gangguan autoregulasi
rangsangan simpatis
Aliran darah keotak
tahanan vaskuler Sistemik & TD
O2
gangguan metabolisme
Asam laktat
Terjadi benturan benda asing
Nyeri
tek. Pemb.darah Pulmonal tek. Hidrostatik
Oedem otak Ketidakefektifan perfusi jaringan otak Pola napas tidak efektif
kebocoran cairan kapiler oedema paru Penumpukan cairan/secret
Difusi O2 terhambat Bersihan jalan napas tidak efektif
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Brunner & Suddart . 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Carolyn M. Hudak. 2001. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII. Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Corwin, E.J. 2002. Handbook of Pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC Diagnosa NANDA (NIC & NOC) Disertai Dengan Dischange Planning. 2007-2008. Jakarta: EGC Price, S.A. & Wilson, L.M. 2002. Pathophysiology : Clinical Concept of Disease Processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC Sandra M. Nettina. 2002. Pedoman Praktik Keperawatan, Jakarta: EGC Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2002. Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical – Surgical Nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC Suyono, S, et al. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI