Catatan Orthopedi (Munawar) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FRAKTUR Definisi  Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet  Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Fraktur tertutup (close fracture) jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, 2. Fraktur terbuka (open fracture)  fraktur yang terjadi hubungan dengan dunia luar atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan dapat menyebabkan komplikasi infeksi. Klasifikasi I. Menurut Penyebab terjadinya A. Faktur Traumatik  direct atau indirect B. Fraktur Fatik atau Stress,  Trauma berulang, kronis, mis: fr. Fibula pd olahragawan C. Fraktur patologis  biasanya terjadi secara spontan II. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya A. Fraktur Simple  fraktur tertutup B. Fraktur Terbuka  bone expose C. Fraktur Komplikasi  kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera III. Menurut bentuk A. Fraktur Komplet Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa transversal, oblique, spiral. Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak B. Fraktur Inkomplet  sifat stabil, misal greenstik fraktur C. Fraktur Kominutif  lebih dari 2 segmen D. Fraktur Kompresi / Crush fracture  umumnya pada tulang kanselus Etiologi Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur 1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan trauma. 2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang. Diagnosis I. Riwayat Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. II.



Pemeriksaan Fisik A. Inspeksi / Look Deformitas  angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengak Pada fraktur terbuka  klasifikasi Gustilo B. Palpasi / Feel  nyeri tekan (tenderness), Krepitasi



C. D.



Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi Neurovaskularisasi bagian distal fraktur  pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi Gerakan / Moving Pemeriksaan trauma di tempat lain  kepala, toraks, abdomen, pelvis



Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey. III. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium  darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari : 1. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral 2. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur 3. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Pergeseran fragmen Tulang ada 4 : 1. Alignman  perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut 2. Panjang  dapat terjadi pemendekan (shortening0 3. Aposisi  hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya 4. Rotasi  terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal Komplikasi Fraktur Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik . 1. Komplikasi umum Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi pernafasan. Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren 2. Komplikasi Lokal a. Komplikasi dini Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut. Pada Tulang  Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.  Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union



Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi Pada Jaringan lunak  Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik  Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol Pada Otot Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993). Pada pembuluh darah Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993). Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot. Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis Pada saraf Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993). b.



Komplikasi lanjut Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.  Delayed union



Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur, Terapi  konservatif selama 6 bulan  gagal  Osteotomi Lebih 20 minggu  cancellus grafting (12-16 minggu) 



Non union Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.  Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.  Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama. Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)







Mal union Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .







Osteomielitis Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot







Kekakuan sendi Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993). Penatalaksanaan



Prinsip penanganan fraktur  4R (chairudin Rasjad) : 1. Recognition  diagnosis dan penilaian fraktur 2. Reduction  Reposisi 3. Retention Immobilisasi 4. Rehabilitation  mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin Tujuan Pengobatan fraktur : I.Reduction  Reposisi Tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi



1.



2.



Tertutup  Traksi (kulit, skeletal) Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut: • Fraktur dengan tak ada pergeseran, • Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi, • Fraktur pada anak-anak, • Cedera jangan luk minimal • Trauma berenergi rendah. Terbuka Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut: • Reposisi tertutup gagal • Fraktur yang • Fraktur yg tidak stabil, mengalami pemendekan • Fragmen bergeser dari • Mobilisasi dini apa yang diharapkan • Fraktur multiple • Fraktur intraartikuler • Fraktur Patologis yang mengalami pergeseran



. II.Retention Immobilisasi Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union. Jenis Fiksasi : 1. Ekternal / OREF • Gips ( plester cast/Plaster of Paris)) • Traksi  Indikasi  Pemendekan (shortening)  Fraktur unstabel  oblique, spiral  Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar o Traksi Gravitasi  U- Slab pada fraktur hunerus o Skin traksi  Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas o Sekeletal traksi  K-wire, Steinmann pin atau Denham pin. Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris) Komplikasi Traksi :  Gangguan sirkulasi darah  beban > 12 kg  Trauma saraf peroneus (kruris)  droop foot  Sindroma kompartemen  Infeksi  tmpat masuknya pin Indikasi OREF :  Fraktur terbuka derajat III  Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas  fraktur dengan gangguan neurovaskuler  Fraktur Kominutif  Fraktur Pelvis  Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF  Non Union  Trauma multiple 2. Internal / ORIF  K-wire, plating, screw, k-nail III. Rehabilitation  mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin Penyembuhan fraktur ada 5 Stadium : 1. Pembentukan Hematom



kerusakan jaringan lunak dan penimbunan darah



2.



Organisasi Hematom / Inflamasi Dalam beberapa jam post fraktur  fibroblast ke hematom  beberapa hari terbentuk kapiler  jaringan granulasi berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera diikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena material nekrotik disingkirkan



3.



Pembentukan kallus Fibroblast paa jaringan granulasi  kolagenoblast kondroblast  partisipasi osteoblast sehat terbentuk kallus (Woven bone)



4.



Konsolidasi  woven bone berubah menjadi lamellar bone Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak membah menjadi kalus keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.



5.



Remodelling  Kalus berlebihan menjadi tulang normal Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).



Prinsip terjadinya UNION:  Dewasa  Kortikal 3 bulan, Kanselus 6 minggu  Anak-anak  separuh dari orang dewasa Fraktur Terbuka Gustilo and Anderson classification of open fractures Type Description I Skin wound less than 1 cm Clean Simple fracture pattern II Skin wound more than 1 cm Soft-tissue damage not extensive No flaps or avulsions Simple fracture pattern III High-energy injury involving extensive soft-tissue damage Or multifragmentary fracture, segmental fractures, or bone loss irrespective of the size of skin wound Or severe crush injuries Or vascular injury requiring repair Or severe contamination including farmyard injuries Gustilo classification of type III open fractures Type Description IIIA Adequate soft-tissue cover of bone despite extensive soft-tissue damage IIIB Extensive soft-tissue injury with periosteal stripping and bone exposure Major wound contamination IIIC High-energy injury involving extensive soft-tissue damage Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984): Tipe IIIA IIIB IIIC



Batasan Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau terjadi bone expose Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak.



Hubungan garis fraktur dengan energi trauma Garis Fraktur Transversal, oblik, spiral, (sedikit bergeser / masih ada kontak) Butterfly, transversal (bergeser), sedikit kominutif Segmental kominutif (sangat bergeser)



Mekanisme trauma Angulasi / memutar Kombinasi Variasi



Energi Ringan Sedang Berat



Klasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (Khairuddin & Armis, 2002). Batasan I. Skin Damage A. Wound: • < 5 cm long ( in-out) • 5-10 cm • 10 cm long



Skor



1 2 3



B. Condition of Skin: 1 • No devitalized edge of wound without contussion 2 • Contused edge of wound/ subcutan or with small area of degloving 3 • Large area of degloving or skin loss or skin avulsion II. Muscle Damage • No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial 1 rupture 2 • Total rupture of one compartement muscle 3 • Muscle defect with extensive muscle crush III. Bone Damage • Simple Fracture: Transverse, Oblique, Spiral, butterfly or with little 1 comminution. • Simple Fracture with gross displacement, segmental fracture (little 2 displaced) or moderate comunition • Gross comminution, boneloss / defect 3 IV. Neurovascular Damage • No Neurovascular trauma 1 • Isolated or localized neurovascular trauma 2 • Extensive neurovascular trauma 3 V. Contamination • No particle 5 • Only syperficial particle 10 • Deep particle 15*) Note : *Add one for public watering accident or from farm accident or treated after gol den period (deep particle score =15+1=16) Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III atau berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah vital sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan tindakan repair. (Khairuddin & Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ). Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu: • Two views  (proyeksi AP/Anteroposterior dan Lateral, karena proyeksi yang salah akan dapat memberikan informasi yang salah maka pemeriksaan radiologis harus benar-benar AP dan lateral), • Two joints  (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur) • Two limbs/side  ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri) • Two injuries  (biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan trauma di tempat lain dalam tubuh). Penanganan Fraktur terbuka



Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut: 1. Pertolongan Pertama. Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril. 2.



Resusitasi Penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangan darah yang banyak pada fraktur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan napas atau denyut jantung karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau tranfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dikerjakan setelah kondisi pasien stabil. (Apley & Solomon, 1993; Trafton, 2000)



3.



Penilaian awal. Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri. (Rasjad, 1998; Trafton, 2000).



4.



Terapi Antibiotik dan Anti Tetanus Serum (ATS) Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskuler.



5.



Debridemen a. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra debridemen b. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter. c. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing dibuang. d. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair. e. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed repair



f. g. h. i.



j. k.



Reposisi fragmen fraktur. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas pasca debridmen. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah satu minggu dimana oedem sudah menghilang. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi eksternadengan external fixation device sehingga akan mempermudah dalam perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai, pemasangan gips sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan fiksasi interna setelah luka baik (delayed internal fixation). Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan penunjang Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi dilakukan debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk mendapatkan penanganan yang memadai. (Apley & Solomon, 1993; Behrens, 1996; Rasjad, 1998; Trafton, 2000; Hutagalung , 2003 ).



6.



Penanganan jaringan lunak. Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.



7.



Penutupan Luka Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegah deformitas.



8.



Stabilisasi fraktur Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tidak direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.



Fiksasi Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu: a.



Pemasangan plate and screws Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat



pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembenrukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi b.



Pemasangan screws or wires Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil. Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan periartikuler baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996).



c.



Pemasangan intramedullary nai/ rods Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung fragmen fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply sehingga meningkatkan kejadian infeksi dan nonunion. Beberapa penelitian awal menyimpulkan bahwa penggunaan unreamed intramedullary nails pada fraktur tibia terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan IIIC sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi lokal maupun pin tract infection.



d.



Pemasangan external fixation devices Akhir-akhir ini para pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar dari pada pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian pemasangan plat dibanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian infeksi pada pemasangan plat akan memerlukan operasi berulangkali. Sedangkan Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulsi. Menurut Bach dan Hansen (1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996).



Komplikasi fraktur terbuka 1. Komplikasi Umum Syok, koagulopati difus atau gangguan fungsi pernapasan yang dapat terjadi dalam 24 jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian akan terjadi gangguan metabolisme berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum yang lain



dapat berupa sindrom peremukan (crushing syndrome), emboli lemak, trombosis vena dalam, infeksi tetanus atau gas gangren. 2.



Komplikasi Lokal Dini. Komplikasi dalam 1 minggu pertama pasca trauma disebut sebagai komplikasi lokal dini dan bila lebih 1 minggu setelah trauma disebut sebagai komplikasi lokal lanjut. Macam komplikasi lokal dini dapat mengenai tulang, otot, jaringan lunak, sendi, pembuluh darah, saraf, organ visceral maupun timbulnya sindrom kompartemen atau nekrosis avaskuler.



3.



Komplikasi Lokal Lanjut. Komplikasi pada tulang, osteomielitis kronis, kekakuan sendi (joint stiffness), degenerasi sendi, batu saluran kemih maupun neurosis pasca trauma. Dalam penyembuhan fraktur dapat juga terjadi komplikasi karena teknik, perlengkapan ataupun keadaan yang kurang baik, sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi, nonunion, delayed union, malunion, kekakuan sendi. EKSTREMITAS SUPERIOR



I.



Fraktur Skapula Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi pergeseran akibat tarikan otot-otot yang melekat disitu Terapi  konservatif (Istirahat dan mobilisasi dini setelah sakit hilang.)



Mayo Classification – Scapula Fracture



Trauma sendi akromioklavikularis Sendi ini kurang stabil dan mudah terjadi Subluksasi. Dislokasi komplet terjadi akibat ruptur total ligamentum akromioklavikularis dan korakoklavikularis. Klasifikasi : I. Sratin, Ligamen intak II. Subluksasi  Robekan ligamen (+) klavikula tidak terangkat karena ligamn Korakoklavikuler utuh III. Dislokasi . Robekan kedua ligamen dan klavikula terangkat Dislokasi sendi sternoklavikularis Terbagi menjadi anterior dan posterior. Dislokasi posterior akan menekan organ-organ dalam sehingga perlu tindakan emergency Trauma Otot-otot Rotator / Rotator Cuff Otot Rotator terdiri dari : 1. Supraspinatus ( atas ) 2. Infraspinatus ( belakang ) 3. teres minor 4. Subskapula ( depan ) Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus menimbulkan Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi Terapi  repair Dislokasi sendi bahu Sendi bahu / sendi humeri yang dikenal sebagai sendi humeroskapularis. Dibagi menjadi : 1. Anterior Kejadian paling sering, dimana kaput humeri bergeser ke medial dibawah prosesus korakoideus Komplikasi : 1. Kerusakan saraf regio axillaris 2. Kerusakan kapsul sendi 3. Kekakuan sendi 4. Dislokasi rekurens  lakukan tes Apprehension Cara : Abduksi dan rotasi eksterna , terlihat raut muka penderita ketakutan dan mencoba melawan tindakan tersebut.  Instabilitas anterior (+)



Terapi : a. Hipokrates metode Handuk atau kain dililitkan di regio aksillaris penderita, operator melakukan tarikan pada posisi semi abduksi lengan b.



2.



II.



Kocher metode  4 manuver i.Siku difleksikan 900 lakukan traksi ssuai aksis humerus ii.Humerus dirotasi eksterna iii.Selanjutnya humerus digeser kemedial (adduksi) diatas dada penderita iv.Humerus dirotasi interna dengan memutar lengan bawah kedalam  Post reposisi  Imobilisassi dengan sling 2 minggu Posterior Kejadian sangat jarang karena tidak mempunyai ruangan diposterior maka kaput humeri masih tetap dilateral tapi berada di posterior dalam fosa infraspinatus. Diagnosis klinis ditegakkan, dimana bentuk segiempat pada bahu, kaput humeri tidak pada tempatnya.



Fraktur Clavicula Penyebab biasanya trauma langsung /direct atau tidak langsung/indirect , misal jatuh dengan tangan / siku menumpu. Diagnosis • Riwayat  waktu jatuh posisi tangan menumpu • Deformitas  menonjol, udem, fr. 1/3 lateral tanpa ruptur lig korakoklavikulare deformitas tidak jelas • Nyeri tekan (tenderness) • Krepitasi • Penunjang  radiologi dan laboratorium Penatalaksanaan • Konservatif  Pasang ransel verban (Figure of eight0 sampai rasa sakit hilang • Operatif  Indikasi 1. Fraktur terbuka 2. Ruptur lig korakoklavikulare 3. Gangguan neurovaskuler 4. Delayed / non Union 5. Kosmetik Union terjadi 3 minggu disertai kallus yang menonjol dimana pada anak akan hilang sebab mempunyai daya remodelling



III.



Fraktur Humerus Klasifikasi NEER 1. Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 450 2. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cm 3. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasi 4. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmen 5. Fraktur tuberkulum majus dengan lebih 2 fragmen 6. Fraktur dislokasi Macamnya : 1. Fraktur Kollum Chirrugikum humeri Pada anak muda dipikirkan reposii terbuka dengan fiksasi interna



Terapi  Imobilisasi collar and cuff selama 3 minggu 2.



Fraktur Shaft humerus Setiap fraktur humerus tengah dapat mengenai saraf radial, karena saraf ini melewati sulkus nervi radialis yang terletak dibagian tengah dan belakang humerus. Komplikasi : Radial Palsy Terapi : • Konservatif  Collar and Cuff, hanging cast • Operatif a. Radial palsy non union b. Gangguan vaskuler Radial palsy akan sembuh sekitar 6-8 minggu, bila tidak pulih lakuakan EMG dan eksplorasi



3.



Fraktur Suprakondilaris humeri Berdasarkan pergeseran fragmen distal ada 3 type : a. Fragmen tanpa pergeseran b. Fragmen dengan pergeseran tetapi masih ada kontak c. Fragmen distal dan proksimal tidak ada kontak Terapi : • Anak-anak  reposisi tertutup • Dewasa  Collar and Cuff selama 3 minggu  Hasil reposisi dievaluasi dengan sudut Baumann



Anatomi Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus medianus dan arteri brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan bursa minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus ekstensor communis dan muskulus supinator terletak di lateral. Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii. Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang kurang bila dibanding dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis, muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus triceps dan muskulus anconeus.



Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis longitudinal humerus dan garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut bowman sebesar 800 – 890, bila



didapatkan sudut ini kurang dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut tidak aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara diaphisis dan metaphisis, sebesar 90 0. Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat osifikasi pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut ke anterior sebesar 400. Mekanisme dan Patofisiologi 1. Tipe Ekstensi Akibat trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku, lengan bawah dalam posisi supinasi dengan siku hiperekstensi dengan tangan yang terfiksasi, olekranon terdorong ke depan sehingga terjadi fraktur. Garis fraktur selalu melewati fossa olekranon dan pada kolum medial dan lateral metaphise. Fragmen distal dari fraktur akan terdorong ke arah posterior dan proksimal, hal ini karena gaya fraktur yang diteruskan ke atas melalui tulang lengan bawah dan disebabkan tarikan muskulus biceps, sehingga fragmen ini akan miring ke lateral atau medial dan berotasi ke medial. Dari proyeksi anterior, ujung distal dari fragmen proksimal akan menembus periosteum dan mengenai muskulus brachialis dan muskulus biceps brachii. Akibatnya akan terjadi perdarahan local dan pembengkakan. Nervus dan pembuluh darah akan mengalami laserasi karena fragmen tulang. 2.



Tipe Fleksi Anak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami pergeseran sehingga pada fragmen distal akan ke anterior pada bidang sagital, dan pada bidang coronal, fragmen distal akan bergeser ke lateral. Sehingga fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah anterior dan proksimal. jarang terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna biasanya karena terkena ujung dari fragmen proksimal. Klasifikasi Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal. Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type : I undisplaced or minimally displaced IA : non displaced IB : medial impaction Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis. II displaced with angulasi and rotation IIA : posterior angulasi IIB : malrotation with or without posterior angulation. III displaced complete IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedial IIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral Penatalaksanaan Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi. Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan bidai. Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak dibuat



immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama melakukan tindakan reposisi. Penanganan fraktur suprakondilar tergantung tipe dari fraktur tersebut. Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi : Tipe I Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 900. Bila terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan posisi siku fleksi. Fleksi dilakukan sampai 1200 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi umum, operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 300 dan supinasi. Fleksi 300 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan fragmen proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada pada posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari – jari lain yang berada di humerus proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.



Posisi dipertahankan selama 3 sampai 4 minggu, dengan pemeriksaan radiologis pada satu minggu pertama dan minggu terakhir. Tipe II : Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan pronasi dan fleksi tidak lebih dari 1200, Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen tercapai menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus. Pemasangan pinning yang paling stabil dapat dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral dan kondilus medial. Kontra indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain oedem hebat, reposisi tertutup yang tidak tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur terbuka. Tipe 1. 2. 3.



III : reposisi percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire reposisi terbuka



Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan pada reposisi tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler. Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah tersebut, maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan berkurang. Kejelekan dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada tempat pertumbuhan tulang dan adanya resiko infeksi. Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis. Secara klinis dikatakan baik bila : 1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan sudut antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau adanya interposisi jaringan lunak antara kedua fragmen. 2. setelah hiperfleksi secara hati – hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan dengan sisi yang sehat. Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral. Untuk posisi lateral dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai apakah ada crescent sign, yang berarti terjadi kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai sudut bowman, sudut diaphisis – metaphisis. Bila fragmen distal terjadi rotasi tampak gambaran fish tail. Hasil reposisi dikatakan adekuat bila tidak terjadi angulasi ke lateral atau medial, pergeseran ke medial atau lateral tidak lebih dari 25% dan angulasi ke posterior tidak lebih dari 100. Perbedaan sudut bowman antara sisi yang sehat dan yang sakit tidak lebih dari 40. Rotasi ke medial merupakan predisposisi terjadinya kubitus varus karena akan terjadi angulasi koronal. Walaupun adanya rotasi tersebut bukan merupakan deformitas dan rotasi lengan akan di koreksi oleh sendi bahu. Manipulasi yang berulang sebaiknya dihindari karena akan mencederai pembuluh darah dan saraf. Komplikasi Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera pembuluh darah dan saraf. 1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya volkman’s iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkman’s iskemi adanya pain, pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis. 2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis, nervus median dan nervus ulna. 3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan. 4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat. Sedangkan pada fraktur suprakondilar tipe fleksi 1. Cedera nervus ulna merupakan komplikasi yang sering terjadi. 2. Malunion dapat juga terjadi pada fraktur ini yaitu terjadi kubitus varus. Iskhemik Volkman  klinis 5P 1. Pulseless (denyut nadi lemah –hilang ) 2. Pallor (warna biru / pucat ) 3. Pain 4. Paresthesia (rasa tebal )



5.



Parese atau Paralise (kekuatan otot lemah sp lumpuh)



Kontraktur Volkman Akibat m. Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous. Jari-jari posisi fleksi  Claw Hand IV.



Trauma Siku a. Fraktur Kondilus Lateralis humeri  sangat penting 1. Pada anak masih kartilagineus  sering tak terdiagnosa pada X-ray. Dan menyerang pusat pertuimbuhan ( epiphyseal plate) 2. menimbulkan malunion atau non union 3. Tempat Origo otot ekstensor shingga fragmen akan bergeser 4. Terjadi kerusakanepiphyseal dan fraktur intraartikuler b.



Fraktue Epikondilus Medialis humeri Merupakan tempat origo otot fleksor. Komplikasi  Ulanr palsy Klasifikasi radiologis : I. Fraktur pada satu kondilus II. Fraktur Inter-kondiler III. Fraktur kominutif  sering bersama fraktur suprakondiler Terapi  non displaced , gips sirkuler 6 minggu



c.



Fraktur Olekranon Tempat insersi otot Trisep brachii, sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi pergeseran ke proksimal. Klasifikasi : I. Tanpa pergeseran  gips sirkuler II. Dengan pergeseran  Screw atau TBW III. Kominutif  Eksisi fragmen & melekatkan kembali otrisep pada olekranon d.



V.



Dislokasi sendi siku Sendi siku terdiri dari : 1. Humero-ulnaris 2. Humero-radialis 3. Radio-ulnaris Pada trauma ini penting periksa neurovaskuler bagian distal. Terapi  Reposisi segera Cara : siku difleksikan, olekranon didorong kedistal, selanjutnyagipssirkuler 3 minggu Komplikasi : 1. Trauma vaskuler 2. kekakuan sendi 3. Miositis ossifikans



Fraktur Antebrachii Anatomi Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun tangan tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna. Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum anulare yang melingkar kapitupulum radius dan di distal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna yang mengandung fibrokartilago



triangularis. Membran interosea memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya mengenai satu tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir selalu disertaii dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah tersebut. Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus supinator, musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang lengan bawah disertai dislokasi angulasi dan rotasi terutama radius. Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan sebelah distal dua persendian. Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian proksimal dan distal “radioulnar joint” yang bersifat rotator. Antara kedua tulang ini juga dihubungkan oleh membran interroseus, suatu jaringan fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke radius. Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius terhadap os ulna, yang menghasilkan gerakan pada lengan bawah Muskuli antebrachii dapat dikelompokan menjadi : a. Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor b. kompartemen posterior di isi oleh muskuli ekstensor. Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi dan gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut adalah : No 1 2 3 4 5 6



Fungsi Fleksor elbow Ekstensor elbow Supinator elbow Pronator elbow Fleksor pergelangan tangan Ekstensor pergelangan tangan



Muskulus m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis m. triceps, m. Anconeus m. supinator, m. Biceps m. pronator teres, m. Pronator guadratus m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi ulnaris m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis, m. Ekstensor carpi ulnaris



Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan antebrachii berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus. Terapi manipulasi Fraktur antebrachii • Bila garis fraktur di proksimal  dilakukan gips posisi supinasi • Bila garis fraktur di tengah  Gips posisi netral • Bila garis fraktur di distal  Gips posisi pronasi a.



Fraktur Monteggia Fraktur Ulna 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior / posterior Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon



b.



Fraktur Galeazzi Fraktur Radius 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris. Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi. Untuk menjaga panjang antomi tulang radius.



c.



Fraktur antebrachii distal Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme : Lengan bawah mempunyai dua tulang, yang radius dan ulna yang ke distal berakhir dan membentuk persendian radioulnaris distal dan persendian dengan tulang carpalia. Stabilitas persediaan ini dipertahankan oleh 5 struktur : 1. ligamentum radio – ulnaris volaris 2. ligamentum radio – ulnaris dorsalis 3. tendon m. extensor carpi ulnaris dalam “fibro osseus tunnelnya” 4. fibro – cartilage disc. 5. ligamentum collateralis ulnaris. Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai persendian dengan tulang carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan cancellous bone pada bagian distal merupakan bagian yang sangat lemah dan mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii kedudukan anatomis yang normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal radius. Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama : 1. Radial height : Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna. Diukur dari jarak antara garis horizontal yang ditarik melalui ujung procesus styloideus radii dan melalui ujung distal ulna. Ukuran normalnya kira-kira 1 cm. 2. Derajat “ulna tilt” atau “ulna deviation” dari permukaan sendi ujung distal radius pada posisi anterior posterior. Normal, permukaan sendi ini letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya diukur dari besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 15 – 30 derajat, rata-rata 23 derajat. 3. Derajat “volar tilt” (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada posisi lateral. Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah dan kedepan. Besarnya diukur dengan sudut antara garis horizontal tegak lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 1 – 23 derajat, rata-rata 11 derajat.



Alat-alat gerak yang meliputi ini ialah : ▪ Posterior : Berbentuk cembung dan terdapat sekumpulan tendon/otot extensor yang mempunyai fungsi ekstensi. ▪ Anterior : Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang mempunyai fungsi fleksi lengan bawah dan tangan. Dan pada bagian dalam ada: m. pronator quadratus yang berjalan menyilang dan berfungsi terutama untuk pronasi. • Lateral : Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus radii yang mempunyai fungsi utama sebagai supinasi. Fisiologi dan mekanisme terjadinya fraktur : ▪ Biasanya disebabkan karena trauma langsung, atau sebagai akibat jatuh dimana sisi dorsal lengan bawah menyangga berat badan. ▪ Secara ilmu gaya dapat diterangkan sebagai berikut : Trauma langsung dimana lengan bawah dalam posisi supinasi penuh yang terkunci dan berat badan waktu jatuh memutar pronasi pada bagian proximal dengan tangan relatif terfixir pada tanah. Putaran tersebut merupakan kombinasi tekanan yang kuat dan berat, akan memberikan mekanisme yang ideal dari penyebab fraktur Smith. ▪ Trauma lain diduga disebabkan karena tekanan yang mendadak pada dorsum manus, dimana posisi tangan sedang mengepal. Ini biasanya didapatkan pada penderita yang mengendarai sepeda yang mengalamii trauma langsung pada dorsum manus. 1.



Fraktur Colles Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan insidensi yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur pada ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali adalah fraktur Colles. Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya disebabkan oleh gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. Hal ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti gaya jatuhnya atlit atau penerjun payung. Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama



dengan 2,5 cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon, 1987. Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal radius, biasanya terjadi pada 3 – 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi volar dari apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari fragmen distal dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat atau tidak disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan radioulnaris. Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai fraktur dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973). Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme Trauma Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan navikulare ke arah distal, dan dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial. Bagian distal sendi radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan ulna selain terdapat ligamentum dan kapsulal yang memperkuat hubungan tersebut, terdapat pula diskus artikularis yang melekat pada semacam meniskus yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamentum koleteral ulnar. Ligamentum kolateral ulnar bersama dengan meniskus homolognya dan diskus artikularis bersama ligamentum radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya menghubungkan radius dan ulna, disebut Triangular fibro cartilage complex (TFCC) (Sjamsuhidajat, 1997), berguna untuk menstabilkan artikulatio radioulnaris distal (Zabinski dan Weiland, 1999). Gerakan pergelangan tangan sangatlah luas (mobile) dan kemampuannya mencapai 160° untuk fleksi dan ekstensi dan 180° untuk rotasi lengan bawah. Kurang dari 80% dari transmisi beban melaluii pergelangan tangan lewat artikulatio radiocarpal sementara 20% sisanya melalui artikulatio ulnocarpal lewat Triangular fibro cartilage complex. (Zabinski dan Weiland, 1999). Fraktur Colles terjadi pada penderita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang (Apley dan Solomon, 1987). Trauma yang terjadii merupakan trauma langsung yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping menyerupai garpu terbalik. Diagnosis Fraktur Colles : Diagnosis fraktur Colles ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Kita dapat mengenal fraktur ini dengan adanya deformitas dinner fork seperti telah disebutkan diatas, dengan penonjolan pada punggung pergelangan tangan (ke arah dorsal) dan depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan digerakkan Dari pemeriksaan radiologis posisi anteroposterior dan lateral dapat dijumpai suatu fraktur transversal pada tulang radius kurang dari 2,5 cm dari pergelangan tangan, dan sering disertai patahnya processus stiloideus ulnae. Fragmen distal (1) bergeser dan miring ke dorsal (2) bergeser dan miring ke radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami kerusakan dan kominutif yang hebat. Klasifikasi :



Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi trauma distal radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular. Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau radioulnar serta ada tidaknya fraktur styloideus ulnae. Klasifikasi Fraktur Colles menurut Frykman Tipe Uraian I : Fraktur radius ekstra artikuler II : Fraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna III : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal IV : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal disertai fraktur ulna distal. V : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal VI : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal disertai Fraktur ulna distal VII : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal dan radio ulnaris distal. VIII : Fraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai fragmen ulnaris Klasifikasi anatomi yang paling komprehensif dan lengkap adalah sistem AO (Zabinski dan Weiland, 1999). Sistem ini membagi trauma menjadi tipe A (ekstra artikuler), tipe B (artikular simpel) dan tipe C (artikuler komplek). Lidstrom cit Roysam (1993), berdasarkan gambaran radiologis membagi fraktur Colles kedalam empat tingkatan derajat keparahan pergeseran fragmen fraktur (derajat anatomis) dan kualitas reduksi yaitu derajat I, II, III dan IV sesuai beratnya deformitas meliputi angulasi ke dorsal dan pemendekan (shortening) tulang radius ) Derajat Keparahan Fraktur Colles Menurut Lidstrom. Derajat Deformitas I. Tidak ada atau tidak bermakna. Angulasi dorsal < 0° atau shortening < 3 mm II. Ringan, Angulasi dorsal 1 – 10° dan / atau shortening 3 – 6 mm III. Sedang, Angulasi dorsal 11 – 14° dan / atau shortening 7 – 11 mm IV. Berat, Angulasi dorsal > 15° atau shortening > 11 mm. Penanganan Fraktur Colles : Penanganan fraktur Colles umumnya dilakukan rawat jalan yaitu setelah terdiagnosis diberikan tindakan reposisi tertutup. Bila tidak ada pergeseran, cukup di imobilisasi dengan gip bawah siku. Bila terjadii pergeseran atau sedikit pergeseran perlu tindakan reposisi dengan anestesi lokal, regional atau umum, kemudian dilakukan gip bawah siku dengan posisi fragmen distal fleksi dan pronasi. Pada hari berikutnya anggota gerak atas elevasi. Adapun jari-jari sesegera mungkin melakukan latihan. Seminggu kemudian dilakukan pemotretan dengan sinar X kontrol untuk menilai apakah terjadi pergeseran kembali (redisplacement). (Armis, 1994). Imobilisasi dengan gip bertujuan mencegah pergeseran kembali fragmen fraktur paska reposisi. Sebagai tulang kanselus, maka penyembuhan tulang radius distal diperkirakan tuntas kurang lebih 6 minggu dari saat terjadinya trauma. Oleh



sebab itu pada fraktur Colles gip dapat dilepas umumnya 5 – 6 minggu (Mc Rae, 1992; Apley dan Solomon, 1987; Gartland dan Werley, 1951). Mengenai imobilisasi gip bawah siku atau atas siku masih terdapat perbedaan pandangan. Apley dan Solomon (1987), serta Mc. Rae (1992), menyatakan penanganan fraktur Colles cukup dengan gip bawah siku sedangkan ahli lain menyatakan harus dengan gip atas siku (Way, 1994). Sheikh dan Murthy (2000) menganjurkan imobilisasi kombinasi yaitu gip atas siku pada minggu-minggu awal dilanjutkan gip bawah siku kecuali pada penderita di atas 60 tahun harus dipasang gip bawah siku untuk mencegah kekakuan sendi siku.



2.



Fraktur Smith Fraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya ½ - 1 inch dari ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan ke atas disertai pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal). Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini jarang terjadii dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di Philadelpia (1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior dan posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah fraktur posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu tipe dari fraktur Smith. Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur barton jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari fraktur Smith. Pembagian fraktur Smith secara klinis dan radiologi : I fraktur Smith yang comminutive dan oblique II fraktur Barton, yang disebut anterior fraktur tipe fleksi marginal i dengan dislokasi pergelangan tangan. III fraktur transversal yang disebut juga fraktur radius bagian distall yang tidak dengan tipe fleksi kominutif. Penatalaksanaan







Konservatif :  Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith dengan mengembalikan arah persendian seperti semula. Mills dan Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan posisii supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama 5 – 6 minggu.  Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya cepat, sebab kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi yang terbatas dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.  De Palma menganjurkan sebagai berikut 1. Type I : Fraktur Smith dengan comminutive yang oblique dilakukan reduksii dengan traksi, manipulasi dan transfiksasi dengan pin. 2. Type II : Fraktur Barton atau disebut pula fraktur marginal anterior tipe fleksi. ▪ Disini dilakukan reduksi dengan traksi dan menipulasi dengan anestesi umum. ▪ Penderita tidur telentang dan posisi siku tegak lurus, lengan bawah pada posisi pertengahan (mid position). ▪ Dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan ke bawah meja. ▪ Selama traksi, dengan dua tangan diletakkan pada pergelangan tangan, lalu pergelangan tangan diletakkan dalam posisi dorsoflexi ringan dan lengan bawah dalam mid position, kemudian dipasang circuler gips dari bawah siku sampai tangan setinggi persendian metacarpo-phalangeal. ▪ Sesudah itu alat traksi dilepas. Kontrol foto AP dan Lateral untuk melihat kedudukan tulang tersebut. 3. Type III : Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi : ▪ Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi dengan anestesi umum dan lengan bawah posisi supinasi. ▪ Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku yang diikatkan di bawah meja. ▪ Dengan dua tangan dimana jari-jari II – V diletakkan pada fragmen proximal sebelah dorsal dan dua ibu jari menekan ke atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi kearah ulnar. ▪ Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai setinggii persendian metacarpo – phalangeal dan kemudian alat traksi dilepas. Sesudah reposisi, dilakukan : ▪ Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.







Operatif : Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur Smith dengan fiksasi dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada fragmen proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai sekrup. tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :



















▪ ▪



Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah bagian distal dan incisi diperdalam sampai m. pronator quadratus antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral dan m. palmaris longus dan medianus pada sisi medial. M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor digitorum sublimis ke medial, dan m. pronator quadratus tampak pada sisi inferior dari tulang radius bagian bawah. Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk menyesuaikan dengan permukaan dari tulang, lalu dipasang sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga yang kuat dari fragmen yang telah dilakukan reposisi. Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana pada fragmen tulang yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian vertikal. Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan dipasang bebat tekan. Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan pergelangan tangan, lengan bawah dimulai segera setelah bebab tekan dilepas.



Keuntungan : ▪ Hasilnya cukup memuaskan. ▪ Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa terjadi redisplacement dari fragmen yang mengalami fraktur. ▪ Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling memuaskan pada pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada tipe yang lain cukup memuaskan. Komplikasi : a. Kerusakan jaringan lunak : Yang penting disini adalah kerusakan n. medianus karena tekanan dari fragmen radius yang fraktur. b. Malunion : Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik. c. Non union : d. Osteoarthritis e. Gangguan pronasi dan supinasi



3.



Fraktur radius sepertiga distal Fraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi pada bagian proksimal radius. Fragmen fraktur akan terdislokasi. Dan fraktur ini sulit direposisi secara tertutup atau akan mengalami redislokasi bila reposisi berhasil, oleh karena itu dianjurkan reposisi terbuka dan biasanya



dipasang fiksasi interna dengan jenis plat jenis kompresi 4.



Fraktur ulna sepertiga distal Fraktur ulna biasanya disebabkan oleh trauma langsung misalnya menangkis pukulan dengan lengan bawah relatif sering terjadi fraktur yang tidak berubah posisinya. Pengobatan biasanya dengan pemasangan gips, kadang juga terjadi fraktur yang terdislokasi dalam hal ini harus diteliti. Apakah ada juga fraktur tulang radius atau dislokasi sendi radioulnar. Pada fraktur yang kominutif dapat terjadi pergeseran lambat atau pseudoartrosis ini memerlukan tindakan operatif.



5.



Fraktur radius distalis pada anak Fraktur radius distalis pada anak sering juga disebut juvenile colles fracture Pembagian fraktur daerah ini sesuai dengan klasifikasi Salter-Harris



Type 1. Grs. Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysis Type 2. Grs fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke metafisis Type 3. Grs. Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut ke epifisial plate (intra artikuler) Type 4. Grs Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di metafisis (intra artikuler) Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi Diagnosis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis anterior posterior dan lateral. Penanganannya  Dengan gips selama 4 minggu



Fraktur Antebrachii Proksimal NO



Klasifikasi



Pengelolaan



1



Klas A. Fraktur Olekranon IA. Tranversal non-displace IB. Kominutif non-displace IIA. IIB. IIC. IID.



2



Tranversal displace Kominutif displace Avulsi Displace Olecranon+Separasi epifis



Klas B. Fr caput dan Colum radii IA. Dengan tepi non-displace IB. Tanpa Angulasi Colum Radii IC Fraktur Komunitif Caput Radii IIA. Fraktur Displace IIB. Displace+Depresi Caput Radii IIC. Fraktur Komunitif



3



Klas B. Fr Caput dan Colum Radii/Epifisis Pada Anak I. Tanpa Angulasi II. Dengan Angulasi



4



Klas C. Fr Prosesus Coronoid



Fiksasi dengan “long arm cast”, posisi elbow 50˚ - 90˚ dan antebrachii posisi netral. Fiksasi selama 6 – 8 minggu. Altyernatif lain yaitu fiksasi dengan : posterior long arm splint dengan sendi elbow 90˚. Fiksasi interna (ORIF). Pengelolaan awal sebelumnya dengan pemasangan splint dengan posisi fleksi 90˚



Jika < ⅓ dari permukaan sendi dan displace < 1 mm, difikasi dengan “long arm cast/posterior long arm splint” Jika angulasi < 30˚, terapi konservatif dengan fiksasi interna. Displace < ⅓ permukaan sendi dilakukan “long arm cast”. Displace >⅓ permukaan sendi dan dipresi >3 mm di lakukan fiksasi interna Jika ada angulasi > 30˚ atau fraktur komunitif dilakukan fiksasi interna.



Angulasi 15˚ dengan “long arm cast” dengan anestesi umum. Angulasi > 60˚ dilakukan reduksi terbuka



Fiksasi dengan “posterior long arm splint” dan posisi elbow 90˚ serta supinasi atebrachii. Fiksasi interna



IA. Fragmen kecil IB. Displace minimal IC. Displace ID. Displace dg posterior dislokasi



Fraktur Shaft Antebrachii



NO 1



Klasifikasi Klas A. Fraktur Radii IA. Proksimal non Displace IB. ⅓ proksimal non displace IC. 1/5 proksimal non-Displace IIA. Midshaft non displace IIB. Midshaft displace IIIA. ⅓ distal displace dan fraktur Galeazzi



2



Klas B. Fraktur Ulna I. Non-Displace. II. Displace III. Fraktur Monteggia IIIA.Fraktur ulna dengan dislokasi anterior caput radii IIIB.Fraktur ulna dengan dislokasi lateral caput radii IIIC.fraktur ulna dengan dislokasi anterolateral caput radii IIID.Fraktur ulna dan radii dengan dislokasi anterior caput radii



3



Klas C. Fraktur Radii dan Ulna IA. Non-displace IB. Non-angulasi IIA. displace IIB. displace + shortening IIC. komunitif IIIA. Torus IIIB. greenstick IV. Fraktur ⅓ posterior dan dislokasi anterior caput radii



Pengelolaan Fiksasi dengan “long arm cast/anteroposterior splint”. Posisi elbow 90˚ dan antebrachii supinasi. Fiksasi interna Masih kontroversi karena letaknya yang sempit. Fiksasi dengan “long arm cast/anteropasterior splint” posisi elbow 90˚ dan antebrachii supinasi. Fiksasi dengan “long arm cast/anteropsterior splint”. Posisi elbow 90˚ dan antebrachii moderat supinasi Fiksasi interna Fraktur biasanya disertai sublukasi radioulna distal. Fiksasi interna Fiksasi dengan “long arm cast”. Posisi elbow 90˚ dan antebrachii netral. Untuk fraktur ulna ⅓ proksimal disarankan untuk fiksasi interna. Fiksasi interna Fiksasi interna 60 percen 15 percen 20 percen 5 percen



Fraktur ini sangat jarang. Fiksasi dengan “long arm cast/anteroposterior splint” posisi elbow 90˚ dan antebrachii netral. Reduksi tertutup dapat dilakukan dengan hasil biasanya kurang memuaskan. Fiksasi dengan “long arm cast” 4-6 minggu Angulasi 2,5 cm  OREF Stage 3 Bilateral Lessio  OREF B2 : Kompresi lateral / ipsilateral



A3: Transverse sacral or coccyx fractures



B3



: Kompresi lateral / kontralateral (bucker handle)  OREF



B1: Stage 1 Symphysis pubis disruption < than 2.5 cm



B1: Stage 2 Symphysis pubis disruption > 2.5 cm



B2: lateral compression injury (ipsilateral)



B1: Stage 3 Symphysis pubis disruption > 2.5 cm with bilateral post ring injury



B3: lateral compression (contralateral / Buckle Handle)



C : Rotasi dan vertikal (tidak stabil) C1 : Unilateral C2: : Bilateral C3 : dengan fraktur asetabulum



C1: Ipsilateral anterior and posterior pelvic injuries



C2: Bilateral hemipelvic disruption



C3: Any pelvic fracture with an associated acetabular fracture



Management :  Evaluasi A, B, C Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36 jam pertama)  perdarahan tetap transfusi 10-12 U (24-36 jam pertama)  perdarahan hebat lakukan laparotomi dan repair  pikirkan artrografi.  Konservatif  Istirahat sampai nyeri hilang  tipe A Pelvik sling  tipe B stage 2  Operatif  Hentikan perdarahan, Stabilkan fraktur  tipe C, Cytostomi, Repair arteri II.



Fraktur Astabulum Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 : I. Pilar anterior II. Posterior



III. IV.



Transversal Komposit



I



II



III



IV



Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi, adduksi, internal rotasi dan Shortening Klasifikasi radiologis, Epstein 1973 Dislokasi Coxae : I : tanpa fraktur  skin traksi, hemispika (3 minggU0 II : dengan fraktur segmen III : dengan fraktur comminutif bibir asetabulum IV : fraktur dasar asetabulum V : dislokasi posterior dengan fraktur head femur Komplikasi ; 1. Trauma saraf skiatika 2. Osteoarthritis 3. Nekrosis avaskuler kaput femoris II.



Fraktur Femur Anatomi



Klasifikasi A. Menurut AO dibagi menjadi : I. Proksimal / Hip fraktur a. Fraktur Caput femoris b. Fraktur Collum femoris c. Fraktur Intertrochanterica d. Fraktur Subtrochanterica II. Diafise



III.



B.



C.



D.



E.



Distal a. Fraktur Supracondylar b. Fraktur Intercondyler Berdasarkan hubungan thd kapsul : I. Ekstra kapsuler II. Intra kapsuler Menurut Garis Fraktur dibagi : I. Subcapital II. Transcervical III. Basiccervical Berdasarkan radiologist dibagi menjadi Pauwel  berdasarkan Sudut Fraktur dibagi 3 Type : I. 30 derajat II. 50 derajat III. 70 derajat



Garden (1961)  berdasarkan derajat displaced 4 type : I. Incomplete impacted  skin traksi sampai nyeri hilang II. Complete Undisplaced III. Partially displaced  ORIF untuk pertahankan hidup dan fungsi IV. Total displaced



Grade I Evan’s Classification



Grade II



Grade III



Grade IV



III.



Hip Fraktur / Caput femur HIP adalah batas antara pelvis dengan ekstremitas bawah, sedang HIP JOINT dibentuk dari caput femoris dan acetabulum Os Femur dibagi menjadi :  Head of Femur  mengabsorbsi berat badan & mendistribusikan ke batang femur  Neck of Femur  penyangga ketika berdiri  Shaft of Femur  batang femur Ligamentum yang memperkuat HIP : 1. Ligamentum Teres  membatasi adduksi danrotasi yang berlebihan 2. Ligamentum orbicularis  mencegah caput femoris bergeser kelateral 3. Ligamentum Iliofemoralis 4. Ligamentum Ischiofemoralis 5. Ligamentum Pubocapsulare  menghambat abduksi daneksorotasi Fraktur caput femur dibagi menjadi : 1. Intrakapsuler Pada fraktur ini akan merusak vaskularisasi dan akan terjadi non union. Terapi usia muda  screw, nailing Usia lanjut  AMP, jika undisplaced dengan ORIF 2.



Ekstrakapsuler Pada frakur ini akan tidak merusak vaskularisasi sehingga nekrosis vaskuler tidak terjadi. Sering pada wanita usia lanjut akibat osteoporosis Terapi : Usia muda  screw and plate, angle palte, condyler plate Usia lanjut  ORIF, bila menolak skintraksi sampai nyeri hilang



Fraktur Collum Femur/Neck Femur Adalah fraktur mengenai proksimal dari garis intertrochanter pada regio intrakapuler dari sendi koksea. Collum femur terdiri dari tulang Cancellus. Vaskularisasi Caput femoris berasal dari : 1. a. Retinakularis  Berjalan melalui kapsul bagian posterior 2. a. Medularis  collum femur 3. a. Sentralis / a. Teres capitis Berjalan melalui Ligamentum Teres. Arteri ini dominan pada anak-anak , dan pada orang tua akan mengalami resolusi, artinya jika terjadi fraktur maka nutrisi kaput femoris terganggu terjadi nekrosis avaskuler Pada fraktur collum femur akan merusak ketiga vaskularisasi diatas. Pada fraktur Collum femur (Intrakapsuler) mempunyai resiko tinggi terjadi Non union dan avaskuler nekrosis karena : 1. Gangguan aliran darah ke kaput femoris karena vaskularisasi minimal 2. Daerah ini tidak ada periosteum sehingga penyembuhan melalui endosteum 3. Daerah ini terdapat cairan sinovial yang menghancurkan bekuan2 fibrin sehingga memperlambat penyembuhan fraktur



Insiden fraktur collum femur lebih banyak pada wanita daripada lak-laki, karena ada hubungan dengan penurunan kadar estrogen yang menyebabkan osteoporosis. Pada fraktur collum seslalu terjadi displaced upward dan downward terhadap caput femur, dimana menyebabkan rotasi eksternal dan pemendekan kaki (shortening). Jika klinis curiga fraktur, radiologi tidak terlihat lakukan pemeriksaan Bone scanning dan untuk melihat displaced secara jelas dengan MRI Terapi : Operatif  Displaced  Usia muda ; ORIF  Usia tua  kualitas tulang baik : Orif  Kualitas tulang jelek : Uni / bipoler hemiarthroplasty



Femoral Neck Region



Intertrochanteric Area



Subtrochanteric Area



Russell – Taylor Classification



Fraktur Shaft Femur Pada fraktur ini akan terjadi pemendekan tungkai dan ekstensi akibat tarikan m. Gluteus dan m. Illiopsos. OTA Classifications of Femoral Shaft Fractures



Simple fracture



A1:spiral



A2: oblique



A3: transverse



Wedge fracture



B1:spiral



B2: bending



B3: fragmented



Complex fracture



C1:spiral



C2: segmental



C3: irregular



Klasifikasi Winguist – Hansen : 0 : Non communitih (transversal, oblique, spiral) 1 : Small fragmen 2 : Large fragment < 50% cortex 3 : Large fragment > 50% cortex 4 : Communitif, tidak ada kontak fragment distal dan proksimal



Indikasi operasi fraktur shaft femur pada anak :  Open fraktur  Neurovaskuler injury  Multiple injuri



Fraktur Suprakondyler Femur Adalah fraktur yang terjadi di proksimal kondilus atau antara diafise distalisdan diatas permukaan artikularis condylus atau berlokasi didaerah metafise. Bila disertai fraktur kruris proksimal disebut ’’ Floating knee ’’. Imobilisasi dengan gips posisi fleksi agar m. Gastrocnemius relaksasi. Pemeriksaan NVD sangat penting  trauma a. Poplitea. Klasifikasi OA / ASIF : A : Ekstra-artikuler B : Intra-articuler uncomminutif C : Communitif fracture Terapi :  Konservatif Knee fleksi 300, Sekeletal traksi tibia proksimal 5-10 kg (4-6 minggu)  klinikal union (+)  cast brace  Operasi  Orif Condyler plate AO Classification Supracondyler Fracture



Klasifikasi Intercondyler Fractur : I : Undisplaced T or Y IIa : T or Y medial displaced IIb : T or Y lateral displaced



III



: comminutif



Fraktur Hoffa adalah fraktur kondylus femoris akibat trauma langsung pada lutut dalam posisi fleksi sehingga permukaan sendi pada condylus tersebut pecah, merupakan bagian dari fraktur distal femur. Fragmen distal fraktur tersebut dapat mengalami pergeseran (displaced) atau tidak sama sekali (undisplaced). Fraktur Hoffa dibagi menurut implikasi prognosisnya menjadi 3 tipe yaitu I. Garis fraktur intra artikuler yang menjalar ke daerah suprakondilaris femoris dengan beberapa jaringan lunak masih melekat pada fragmen distal . II. Fraktur intra artikularis tanpa ada perlekatan jaringan lunak pada fragmen distal III. Garis fraktur sedikit ke anterior dan ke proksimal dari kondilus demoris dengan perlekatan jaringan lunak serta ligamentum pada fragmen distal. Hoffa adalah seorang pengarang buku “ Lehrbuch der Frakturen und Luxationen “ pada tahun 1904 . Dialah orang pertama yang menulis tentang fraktur yang terjadi di kondilus femoris pada daerah posterior. Oleh sebab itu Smillie dan Crenshaw menulis bahwa fraktur di daerah tersebut disebut fraktur Hoffa. Fraktur Hoffa terjadi berdiri sendiri (isolated) pada sisi lateral (terbanyak) atau sisi medial bahkan dapat terjadi pada kedua sisi (lateral dan medial). Letenneur membuat klasifikasi fraktur Hoffa ini menjadi 3 tipe dan kemudian dilakukan penelitian oleh lewis et. al pada mayat sebagai berikut : Tipe I Garis fraktur Intraartikular yang menjalar ke daerah suprakondiler Femoris dan beberapa jaringan lunak masih melekat pada fragmen distal fraktur sehingga prognosis baik karena otot popliteus dan gastroknemius masih melekat. Tipe II fraktur intraartikular komplit dan tidak ada jaringan lunak yang melekat pada fragmen distal sehingga dapat terjadi nekrosis avaskular. Pada tipe ini di bagi lagi menjadi a, b dan c Prognosis tipe II ini adalah jelek karena perlengketan otot popliteus dan gastroknemius sangat kurang bahkan tidak ada sama sekali seperti tipe II c. Tipe III Garis fraktur sedikit ke anterior permukaan sendi dan ke proksimo-posterior dari kondilus femoris Jaringan lunak atau ligamentum masih melekat pada fragmen distal sehingga prognosis tipe III adalah baik karena garis fraktur berada di anterior dari ligamentum krusiatum anterior maupun ligamentum kolaterale fibulare dan ligamentum tibiale. Pemeriksaan radiografi dengan proyeksi AP (antero-posterior) dan lateral digunakan sebagai baku emas untuk diagnosis fraktur Hoffa. Permasalahannya bila pada fraktur tersebut tidak terjadi pergeseran fragmen (undisplaced) maka proyeksi AP dan lateral pada pemeriksaan radiografi sulit dianalisis. Keadaan ini memerlukan pemeriksaan tomografi atau CT- Scan bagian distal femoris .



Mekanisme trauma kebanyakan akibat kecelakaan lalu-lintas dari pengendara sepeda motor dengan lutut membentur langsung atau akibat jatuh dari ketinggian dengan lutut membentur benda keras. Kondilus femoris yang terkena trauma tersebut dalam posisi lutut fleksi sehingga tepi bawah permukaan sendi tersebut menjadi pecah. Kebanyakan kondilus sisi lateral, tetapi bila trauma tersebut sangat keras maka kedua sisi lateral dan medial kondilus dapat terjadi fraktur dan bahkan kulit dan jaringan lunak yang terkena trauma dapat rusak dan sobek sehingga terjadi fraktur terbuka. Pada fraktur Hoffa yang bergeser (displaced) dilakukan operasi dan fiksasi dalam dengan menggunakan skru. Bila fiksasi cukup stabil maka latihan gerakan sendi lutut dapat dilakukan lebih dini sehingga komplikasi kekakuan sendi lutut dapat dicegah . Apabila stabilitas tidak tercapai maka perlu penambahan fiksasi luar yaitu memakai gip atas lutut (above knee plester cast) dengan posisi lutut ekstensi penuh Fraktur Hoffa ini sangat jarang dan didalam literatur baru 27 kasus yang ditulis dengan perincian 20 kasus oleh Letenneur et. al dan 7 kasus oleh Lewis et. al maka dari itu, kami menulis satu kasus dengan diagnosis fraktur Hoffa tipe I sinister terbuka tipe III B dengan dislokasi lateral patela sinister. Classification of the patella fracture



Schatzker Classification



IV.



Type I : A Split weight fracture of the lateral plateau without any joint depression. There is a high risk of ligamentous injury.



Type II: split depression fracture of the lateral plateau.



Type III: A pure depression fracture. There is a low risk of ligamentous injury



Type IV: A fracture of the medial plateau



Type V: A big condylar fracture.



Type VI : Separation of the metaphysis from the diaphysis



Fraktur Tibia Anatomi Tibia merupakan tulang medial besar cruris, yang berartikulasi dengan condylus femoris dan caput fibulae di proximal dan dengan talus serta ujung distal fibula di bagian distalnya. Pada bagian ujung proximal terdapat condylus medialis dan lateralis (plateau tibialis medialis dan lateralis), yang berartikulasi dengan condylus medialis dan laterlis femur, dipisahkan oleh kartilago semilunaris medialis dan lateralis (meniscus medialis dan lateralis). Condylus lateralis memiliki facies artikularis



sirkularis untuk caput fibulae pada aspek lateralnya. Condylus medialis mempunyai sebuah alur pada aspek posteriornya untuk insersio m. semimembranosus. Corpus tibia berbentuk segitiga pada potongan melintang, dengan 3 margo dan 3 facies. Margo anterior dan medial, dengan facies medialis diantaranya, terdapat di subkutan. Pada pertemuan margo anterior dengan ujung atas tibia terdapat tuberositas, tempat melekat lig. Patellae. Margo lateral atau interossea menjadi tempat perlekatan membrane interossea. Facies posterior corpus tampak garis serong linea musculi solei. Ujung distal tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya tampak permukaan sendi. Ujung bawahnya memanjang ke bawah membentuk malleolus medialis. Facies lateralis malleolus medialis berartikulasi dengan talus. Membrana interossea membagi cruris menjadi tiga ruang: anterior, lateral dan posterior. Arteri poplitea mensuplai darah ke tibia dan fibula, bercabang menjadi a. tibialis anterior, a. tibialis posterior dan a. peroneal. Nervus tibialis posterior mengikuti a. tibialis posterior dan menginervasi ruang posterior yaitu m. gastrocnemius, m. plantaris, m. soleus dibagian superficial serta m. popliteus, m. flexor digitorum longus, m. flexor hallucis longus dan m. tibialis posterior dibagian profunda. Arteri nutrisial ke tulang tibia berasal dari a. tibialis posterior. N. tibialis anterior menginervasi ruang anterior, yaitu m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus m. peroneus tertius, dan m. exstensor hallucis longus. Ruang lateralis berisi m. peroneus longus dan brevis yang diinervasi n. peronealis. Fraktur Tungkai Bawah disebut juga tulang Tibia Fibula (Levin & William, 1997). Secara anatomis tungkai bawah dibagi tiga yaitu: 1. Fraktur tungkai bawah proksimal disebut juga fraktur plateau tibia. 2. Fraktur tungkai bawah media disebut fraktur shaft. 3. Fraktur tungkai bawah distal disebut fraktur pilon atau tibial plafond. Melihat susunan anatomi tungkai bawah dengan permukaan medial tibia hanya dilindungi jaringan subkutan periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama bagian depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan susunan frakturnya bergeser. Karena letaknya yang berada langsung di bawah kulit sering memudahkan terjadinya fraktur terbuka. Fraktur tungkai bawah merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Tenaga rotasi dapat terjadi juga pada olahragawan seperti saat bermain bola. Cedera biasanya terjadi akibat gaya angulasi yang menyebabkan garis fraktur transversal atau miring kadang dengan fragmen kominutif. a. Fraktur Plateau Tibia Menurut Schatzker dan Mc Broom, fraktur plateau tibia dibagi 6 tipe, yaitu: I. Fraktur kondilus lateral, biasanya terdapat pada usia muda II. Fraktur condylus dengan impresi III. Fraktur impresi sentral plateau lateral tanpa fraktur condylus IV. Fraktur plateau tibia medial V. Fraktur bicondylar yang terdiri dari plateau condylus medial dan lateral, VI. Fraktur kompleks yang menyebabkan terpisahnya metaphysis dengan diaphysis tibia. I



II



III



IV



V



VI



Bagian proximal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena cedera, terutama pada orang dewasa berusia > 50 tahun dengan kondisi tulang yang osteoporotik. Mekanisme trauma biasanya berupa trauma abduksi, atau pukulan langsung pada bagian lateral tungkai dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah. Trauma menekan lutut kearah valgus medial dan mendorong kondilus femur ke plateau tibia lateralis. Tulang yang osteoporotik akan mengalami fraktur sebelum ligament kolateral medial lutut robek. Permukaan sendi plateau tibia lateralis akan terdesak ke kaudal dan lateral. Trauma membengkokkan, memuntir atau trauma sumbu pada daerah plateau tibia dapat juga menimbulkan berbagai fraktur plateau tibia, seperti fraktur sendi sentral terdepresi. Lebih sering trauma menimbulkan kominutif, yang meluas ke korteks metaphysis tibia. Satu atau kedua condylus bila terlibat disertai hilangnya keharmonisan permukaan sendi tibia proximal. Setiap fraktur plateau tibia harus memeriksa stabilitas ligament lutut dalam posisi ekstensi penuh dan fleksi 15o-30o, sebab trauma didaerah tersebut kemungkinan besar dapat mengakibatkan instabilitas sendi. Tujuan tindakan terapi pada fraktur plateau tibia adalah mencapai gerakan penuh, aligmen dan stabilitas sendi. Secara klinik ditemukan nyeri lutut dank arena fraktur terjadi intraartikular didapatkan hemartrosis. Hemartrosis yang besar, tegang, dan nyeri harus diaspirasi dalam kondisi aseptik. Semua fraktur yang tak ada pergeseran atau pergeseran kecil, diterapi secara konservatif seperti imobilisasi dengan gip yang disebut “Long leg plester cast”. Pada perpindahan fragmen atau fraktur kominutif permukaan sendi tibia dapat dipikirkan penggunaan traksi. Pergeseran yang hebat pada setiap permukaan sendi adalah indikasi untuk dilakukan operasi dan fiksasi interna. Bila depresi fragmen fraktur 5 mm atau bila kominutif menyebabkan pergeseran angularis pada condylus, maka terapi operatif diperlukan, yaitu mengangkat fragmen tersebut sehingga sejajar dengan permukaan sendi kemudian diikuti peletakan graft dan fiksasi interna. Setiap fraktur pada daerah ini harus diperiksa :  NVD pada distal lutut  Stabilitas ligament.







Jika terjadi Hemarthrosis disertai nyeri  Aspirasi



Terapi : Pergeseran (-)  konservatif dengan Long leg gips Pergeseran (+) , comminutif(+)  traksi  orif b.



Fraktur Shaft Tibia Fraktur tibia dapat disertai dengan fraktur fibula. Garis fraktur ditibia dan fibula dalam posisi satu level umumnya akibat trauma yang menghasilkan gaya angulasi dengan garis fraktur transversal atau obliq. Pada trauma dengan gaya memutar akan menghasilkan garis fraktur spiral. Bila disertai fraktur fibula maka fraktur kedua tulang tersebut tidak satu level. Prinsip penanganan fraktur tibia secara umum :  Menjaga kerusakan jaringan lunak yang terjadi tidak lebih hebat dengan memberikan imobilisasi yang memadai  Mencegah sindrom kompartemen, mencapai atau menjaga aligmen,  Weight bearing lebih dini dan gerakan sendi sesegera mungkin. Fraktur tertutup tibia dengan garis fraktur transversal yang stabil dan tak ada pergeseran, cukup diimobilisasi dengan gips atas lutut (Long-leg plester). Pemasangan gip pada kaki harus posisi dorsofleksi 90 o. Pada lutut gip dipasang dalam posisi lutut sedikit fleksi. Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil atau garis fraktur obliq membutuhkan traksi kalkaneus kontinyu selama 3 minggu. Setelah terbentuk kalus fibrosis, dipasang gips atas lutut sampai 6 minggu. Garis fraktur yang miring dan membentuk spiral tidak stabil karena cenderung membengkok dan memendek sesudah reposisi tertutup, memerlukan tindakan reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi interna atau eksterna. Operasi dan fiksasi interna dengan plate-screw untuk mencapai stabilisasi fragmen-fragmen tersebut. Fiksasi interna dapat juga menggunakan nail dengan interlocking screw. Untuk fraktur terbuka, debridemen segera, irigasi dan antibiotika diperlukan. Penutupan luka primer biasanya tidak diindikasikan. Penggunaan external fixator device hanya pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan yang hebat. Dengan cara ini perawatan luka akan lebih mudah dan mobilisasi serta rehabilitasi dapat dilakukan dini. Intervensi bedah untuk fraktur tertutup memberikan resiko infeksi dan harus dipertimbangkan terhadap resiko terapi tertutup. Setiap selesai tindakan harus dilakukan pemeriksaan sinar x untuk menilai aligmen, kontak fragmen dan apakah ada rotasi.



c.



Fraktur Tibia Distalis Fraktur ujung distal tibia disebut juga pilon atau plafond fractures, fraktur ini meliputi permukaan sendi distal tibia pada articulatio tibiotalar. Fraktur Pilon atau tibial plafond adalah fraktur pada distal tibia yang meluas ke ankle joint. Menurut Dickson cit McCormack (2000) fraktur distal disebut juga fraktur hammer dimana sekitar 20-25% kasus berupa fraktur terbuka. Aliran darah bagian distal tibia mendapat vaskularisasi dari a. tibialis anterior dan a. tibialis posterior, bagian distal fibula mendapat vaskularisasi dari cabang a. peroneal. McCormack (2000) menjelaskan bahwa fraktur tungkai bawah distal disebabkan karena trauma dengan energi besar yang biasanya berupa kekuatan deselerasi akibat jatuh dari tempat yang tinggi atau akibat kecelakaan lalu lintas. Dua



mekanisme yang menyebabkan terjadinya fraktur adalah rotasi dan kompresi axial, sehingga menyebabkan garis fraktur berbentuk spiral yang meluas dari diafise tibia ke persendian. Mekanisme rotasi adalah trauma dengan energi rendah pada distal tibia yang meluas ke persendian, biasanya akibat terjatuh atau kecelakaan saat berolahraga, terutama ski. Mekanisme kompresi disebabkan energi yang lebih besar akibat beban kekuatan axial yang hasilnya adalah impaksi permukaan sendi distal tibia dan komunitif metafise tulang. Trauma dapat menyebabkan fraktur nondisplaced sampai fraktur “tipe explosion” komunitif berat. Seperti fraktur intraartikular yang lain, tujuan terapi adalah memperbaiki anatomi permukaan sendi. Hal ini memang sulit dan kadang tak mungkin dilakukan. Reduksi tertutup pada fraktur displacement hamper tak pernah berhasil. Tulang tungkai bawah merupakan tulang panjang yang paling sering mengalami fraktur .Fraktur tibia distal sering terjadi terutama pada remaja dan orang dewasa. Selain jatuh dari ketinggian, trauma kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi masih merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur tibia distal. Penanganan fraktur tibia distal masih menjadi kontroversi. Hipocrates menyatakan bahwa fraktur tibia distal akan bermasalah apabila tidak segera ditangani dengan baik, dan fraktur ditempat tersebut memerlukan perhatian yang lebih besar dibanding fraktur ditempat lain (Levin & William, 1997). Penanganan fraktur tibia distal biasanya dilakukan dengan Imobilisasi Gips atau operasi. Imobilisasi bertujuan untuk mencegah pergeseran susunan tulang. Hooper et al. (1991) menulis penanganan dengan operasi pada fraktur tibia distal memberikan hasil yang baik dibanding dengan penanganan gips, ini dikarenakan penyambungan tulang dapat lebih cepat, sedikit terjadi mal union, dan segera dapat kembali bekerja. Bone et al (1997), juga menyebutkan hasil penanganan dengan operasi lebih baik dibanding dengan pemakaian gips. Bonnier cit McCormack, 2000, menyebutkan keberhasilan penyembuhan dengan imobilisasi gips pada kasus fraktur tibia distal lebih rendah dan lebih lama dibandingkan dengan operasi . McCormack (2000), menyebutkan bahwa sebagian besar kasus fraktur tibia distal disertai dengan pergeseran persendian, maka pilihan penanganan rekonstruksi yang paling baik adalah dengan operasi. Namun sebelumnya perlu juga dipertimbangkan kondisi penderita dan kondisi jaringan lunak akibat trauma, untuk menentukan pilihan tindakan yang akan dilakukan. Bila fraktur dapat difiksasi interna, reduksi terbuka dengan plates dan screws serta fiksasi internal fibula bila perlu, dengan atau tanpa bone grafting, sebaiknya dicoba. Bila fraktur sangat kominutif sehingga fiksasi interna tak dapat dilakukan, dapat dicoba reduksi indirek dengan ligamentotaxis: reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur fibula untuk memperbaiki panjangnya, serta reduksi tertutup dan fiksasi eksternal tibia dengan tibiocalcaneal frame. Ini dapat mengembalikan kontur normal dan aligmen distal cruris, dan mempermudah fusi tibiotalar. Fraktur ini biasanya disertai dengan kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan dapat terjadi dan biasanya dilakukan prolonged leg elevation, terutama untuk mencegah surgical wound problems setelah reduksi terbuka. Penyembuhannya lambat dan weight bearing sebaiknya dimulai bila hasil pemeriksaan radiologik menunjukkan adanya pemulihan tulang. Klasifikasi Fraktura Tungkai Bawah Distal



I.



Kellam dan Waddell cit. McCormack (2000) membuat klasifikasi fraktur tungkai bawah distal berdasarkan mekanisme terjadinya trauma, yaitu: • Tipe A : biasanya berhubungan dengan fraktur yang berbentuk oblik atau transversal pada fraktur fibula diatas level plafond, sehingga prognosisnya baik. • Tipe B atau fraktur kompresi : kominutif pada kortek tibia anterior yang berat, terdapat fragmen multipel pada persendian dan impaksi metafise. Umumnya tidak berhubungan dengan fraktur fibula, tapi mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan tipe A.



II.



Klasifikasi berdasarkan pada derajat pergeseran dan kominutif permukaan sendi dibuat oleh Ruedi - Allgower cit. Armis, (2003) sebagai berikut:  Tipe A : fraktur persendian tanpa pergeseran yang jelas atau minimal  Tipe B : fraktur disertai pergeseran sendi dan kominutif minimal  Tipe C : fraktur disertai pergeseran & kominutif berat pada persendian



III.



Kemudian Muller cit. Annis, (2003) mengusulkan klasifikasi yang lebih mendetail, sehingga disebut sebagai AO Muller Classification. Pembagiannya dibagi menjadi 3  Tipe A : fraktur ekstra artikuler  Tipe B : fraktur partial artikuler yang hanya melibatkan permukaan sendi  Tipe C : fraktur komplit pada persendian dengan permukaan artikuler kominutif The Ruede and Algower Classification Systems



Type I: Undisplaced Fracture



Type II: Displaced Fracture with Split Type Fracture



Type III: Crush or Impacted Injury with comminution and displacement articular surface



Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pasien dengan fraktur tibia dan fibula memerlukan pengetahuan tentang anatomi topografik, vaskularisasi dan neural ekstremitas inferior. Pada cidera cruris, memposisikan cruris secara anatomic dapat memperlancar aliran darah. Semua punctum dan laserasi pada integumentum harus dipikirkan sebagai fraktur terbuka sampai terbukti atau diruang operasi, dimana irigasi dan debridemen luka terbuka diperlukan. Capilary refill, toe pulp turgor dan suhu harus diperiksa, serta pulsasi a. tibialis posterior dan dorsalis pedis. Bila pulsasi tak teraba karena syok atau vasokonstriksi, dapat menggunakan pemeriksaan dopler. Cidera vascular biasanya terjadi diatas trifurcation a. poplitea, sehingga bila terjadi fraktur dilokasi ini maka perlu dicurigai terjadi cidera vascular. Bila capillary refill lambat atau dicurigai terjadi kerusakan vascular, arteriografi dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus fraktur dislokasi sendi lutut. Palpasi sepanjang tulang tibia dapat menunjukkan adanya pembengkakan yang menggambarkan pergeseran fraktur minimal. Pemeriksaan sendi lutut dan pergelangan kaki untuk menyingkirkan adanya cidera ligamentum, seperti pada fraktur plateau tibia yang dapat menyebabkan kerusakan ligament collateral medial. Adanya angulasi varus atau valgus lutu dapat dicurigai terjadi fraktur plateau tibia atau fraktur femur distal. Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan. Pada fraktur fibula proximal dapat menyebabkan kerusakan n. peroneal, disertai gangguan sensorik dan motorik. Disfungsi n. tibialis anterior dan n. peroneus profunda mengindikasikan adanya sindrom kompartemen, hilangnya sensibilitas terhadap sentuhan ringan pada plantar pedis menunjukkan adanya kompresi n. tibialis posterior. Sindrom kompartemen merupakan peningkatan tekanan jaringan dalam kompartemen fascia tertutup, hal ini dapat terjadi pada fraktur tibia terbuka maupun tertutup. Bila tekanan intrakompartemen melebihi tekanan kapiler, maka akan mengganggu perfusi jaringan sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan dalam kompartemen.2 Tanda dan gejalanya yaitu nyeri pada keadaan istirahat, parestesia, pucat, paresis, paralysis, denyut nadi hilang, gangguan diskriminasi dua titik. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologik tibia dan fibula anteroposterior dan lateral. Sebaiknya memvisualisasi sendi lutut dan pergelangan kaki (ankle joint) untuk mencegah fraktur misdiagnosis fraktur intraartikularis. Pada cidera high-energy foto ipsilateral femur dan pelvis diperlukan untuk menyingkirkan adanya floating knee atau trauma pelvis. Empat puluh lima derajat obliq radiograf dapat membantu evaluasi plateau tibia. Tomografi dapat membantu pada fraktur plateau tibia dan plafond untuk mengetahui luas



kompresi sendi. CT-scan terbukti berguna dalam merencanakan operasi reduksi dan fiksasi interna fraktur komlpeks. Komplikasi • Trauma pada pembuluh darah, saraf, sindrom kompartemen • Pada tulang , seperti  Delayed union  Nonunion  Malunion. Nonunion atau delayed union umumnya etrjadi bila terdapat displacement berat, kominutif, fraktur terbuka atau kerusakan jaringan lunak yang berat dan infeksi. Nonunion dapat diterapi bone grafting, peningkatan stabilitas fraktur, atau dengan stimilasi elektrik yang masih kontroversi. Penambahan tulang seperti graft corticocancellous; transver mikrovaskular fibula bebas; transposisi fibula; deep circumflex arteri iliaca osteocutaneus compositetransfer; substitusi tulang seperti kalsium fosfat, allograft, atau hidroksiapatit; dan metode Ilizarov yaitu mentransport segmen tulang dengan distraksi kalus. Malunion merupakan penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan deformitas. Pada fraktur tibial shaft, deformitas varus atau valgus sampai dengan 5o masih dapat diterima. Rotasi internal 5o dan rotasi eksternal 20o juga dapat diterima. Infeksi biasanya merupakan komplikasi pada fraktur tibia terutama bila ada luka terbuka. Salah satu komplikasi terberat pada fraktur terbuka adalah nonunion dengan infeksi. Penanganan nonunion diatasi terlebih dahulu kemudian mengatasi infeksinya. Komplikasi lain dapat berupa penyakit vena stasis, arthritis traumatic, claw toes akibat sindrom kompartemen posterior, dan amputasi. Kronik joint pain atau stiffness dapat terjadi pada tibial plafond walaupun jarang. Penatalaksanaan Penanganan fraktur tibia distal umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu pemakaian gips dan operatif (Karunakar M.A, 2004). • Indikasi penanganan pemakaian gips  Trauma berenergi rendah  Cidera jaringan lunak minimal (Tscherne & Gotzen 0, 1)  Tipe fraktur stabil • Indikasi penangan operatif( Karunakar M.A, 2004)  Trauma berenergi tinggi  Cidera jaringan lunak moderat hingga berat  Tipe fraktur tidak stabil Penilaian Keberhasilan Penanganan  klasiflkasi menurut Edward Nyeri Kemampuan bekerja Pincang



Baik Sedikit /tidak ada Normal



Tidak ada



Sedang Ringan



Jelek Berat



Sulit / tidak Hanya bekerja di mampu untuk tempat duduk bekerja berat Ringan / setelah Menetap



Aktivitas olah raga Pergerakan lutut



Pergerakan ankle



Normal



Stabil, ekstensi penuh, fleksi < 20 0 Dorsiflaxi 90° plantarflexi < 20 plantarfleksi < 30 0



Pergerakan kaki



Pro dan supinasi menurun < 25% Bengkak pada Ringan, hanya tungkai bawah setelah latihan d.



latihan berat Kemampuan menurun Stabil, ekstensi penuh



0



Penurunan sedang Ringan



Hanya berjalan pendek Ekstensi penuh berkurang, fleksi < 90 0 Dorsofleksi < 90 0



plantarfleksi > 30 0 Penurunan berat Menetap



Fraktur Tibia Fibula Fraktur Kondilus tibia  Sering terjdi pada kondilus lateral daripada medial. Fraktur tidak bergeser bila depresi < 4 mm, sedang yang bergeser apabila melebihi 4 mm Terapi : • Konservatif  Non displaced dan depresi < 4 mm • Operatif  depresi > 4 mm , evakuasi depresi dengan bone graft Komplikasi ; • genu valgum, • kekakuan sendi, • osteoarthritis



e.



Fraktur & Fraktur dislokasi pergelangan kaki Sering disebut sebagai Fraktur POTT. Talus dilindungi oleh maleolus lateral dan medial yang diikat oleh ligamen. Klasifikasi Danis dan Weber (1991) berdasar lokasi fraktur terhadap sindesmosis tibiofibuler : A. Fraktur Maleolus dibawah sindesmosis B. Fraktur maleolus lateral, avulsi maleolus medial disertai robekan ligamen tibiofibular ke depan C. Fraktur Fibula diatas sindesmosis, avulsi tbia disertai robekan maleolus medialis  dikenal Fraktur Dupuytren. Terapi : • Konservatif  non displaced, gips sirkuler bawah lutut • Operatif  adanya robekan ligamen dan dislokasi talus Denis-Weber Classification (AO/ASIF System)



Trauma Ligamen pada Lutut : 1. Ligamen Medial Terjadi sewaktu tibia mengalami abduksi pada femur disertai trauma rotasi. Trias O’ Donoghue : a. Lesi ligamen kolateral medial tibia  Stress tes lutut fleksi 30, ekstensi penuh b. Krusiatum anterior  berjalan seakan mau jatuh (giving way) c.Meniskus medial 2. 3.



Ligamen lateral  terjadi akibat adduksi terhadap femur Ligamen Krusiatum Sering bersama-sama robekan ligamen kolateral medial. Pemeriksaan : Penderita posisi telentang, lutut fleksi 900 , tungkai bawah dipegang dibagian proksimal tibia ditarik ke depan dan belakang. Bila pergerakan bebas :  Ke depan  robekan ligamentum krusiatum anterior  Ke belakang  robekan ligamentum posterior  Drawer test (+) Instabilitas sendi dengan menggerakkan bagian proksimal tibia ke depan dengan lutut fleksi 10-200  Lachman test



Congenital Talipes Equino Varus Congenital talipes equino varus (CTEV) atau club foot adalah deformitas kaki dimana tumit terpuntir kedalam dari garis tengah tungkai bawah dan kaki mengalami plantar-fleksi. Kelainan ini merupakan kelainan bawaan pada kaki dan pergelangan kaki dengan posisi kaki sebagai berikut : • Varus - inversi  pada bagian depan dan tengah • Equino – varus  pada kaki bagian belakang Penanganan CTEV sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam penegakan diagnosis secara dini, sehingga penanganan secara konservatif maupun secara operatif memerlukan evaluasi terhadap hasil penanganan tersebut, baik secara klinis maupun secara radiologis. Insidens CTEV yaitu 1-2 : 1000 kelahiran hidup dan lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan (2:1) dan sekitar 30-50 % bersifat bilateral. CTEV adalah kelaianan sejak lahir dimana :



• • • • • •



Tumit (kecil) inversi dan supinasi ( gerakan mengarah ke anterior, depan atau atas) Kelainan kaki berupa varus membuat tumit mengarah ke dalam (inversi) dan telapak kaki mengarah keatas (supinasi) Fore foot (bagian anterior kaki ) dan hind foot (talus + kalkaneus) Kelainan varus membengkok ke dalam jadi harus adduksi  mendekati sumbu tubuh Ankle  equinus , akibat tarikan tendo achilles yang pendek Talus  menonjol



Etiologi Belum diketahui dengan pasti, teori tentang penyebab kelainan CTEV antara lain : • Keturunan : kelainan genetik • Mekanik tekanan intra uterin (Dennis Brown) • Neuromyo maldevelopment prenatal • Perkembangan janin terhenti • Defek primer sperma • Keterlambatan rotasi & non rotasi ektremitas Patologi Kelainan bentuk pada CTEV (deformitas-equinovarus) terdiri 3 unsur yaitu : • Pergelangan kaki dalam keadaan equinus • Sendi subtalus dalam keadaan varus • Bagian tengah dan depan kaki dalam keadaan varus. Whitman (1930) membagi klasifikasi kelainan major CTEV sebagai berikut : • Varus  tumit kearah axial tubuh • Valgus  kebalikan varus • Equinus  kaki fleksi kearah telapak berjalan dg ujumg jari kaki • Calcaneus  kebalikan equinus Perkembangan posisi kaki bayi sebagai berikut :  Sejak lahir sampai usia 2 tahun : datar dan abduksi  Usia 1 tahun otot berkembang melalui hecking dan kegiatan merangkak  Saat usia berdiri tidak perlu segera hrs berjalan sebelum alamiah siap untuk itu.  Usia 2-4 tahun lengkung longitudinal sendi mulai berdeviasi Pemeriksaan Fisik Pada CTEV akan ditemukan kelainan-kelainan bentuk pada kaki sebagai berikut:  Inversi pada kaki depan  Adduksi atau deviasi internal dari kaki depan terhadap kaki belakang  Ekuinus atau plantar fleksi  Pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal  Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal. Kelainan bentuk pada kaki tersebut bisa bersifat unilateral ataupun bilateral. Normalnya kaki bayi dapat dorsoflexi dan eversi jari-jari kaki menyentuh bagian depan tungkai bawah Radiologi Pemeriksaan radiologi sangat penting sebagai sarana evaluasi club foot pada setiap pasien sebelum, selama dan setelah terapi. Standar radiologinya : • Anak belum bisa berdiri  posisi AP dan stress dorsoflexion lateral • Anak sudah bisa berdiri  posisi anteroposterior (AP) dan lateral.



Dalam keadaan normal gambaran radiologis anteroposterior proyeksi garis yang melalui pertengahan os talus akan melewati metatarsal I, sedangkan pada CTEV akan bergeser ke lateral (metatarsal III)



Penatalaksanaan Penatalaksanaan CTEV bertujuan untuk mengembalikan fungsi anatomi dan menghilangkan nyeri pada kaki akibat CTEV dan kelihatan normal kaki plantigrade, dengan mobilitas baik tanpa calus dan tidak menggunakan modifikasi sepatu atau secara singkat tujuan terapi CTEV sebagai berikut : • Correct deformity early • Correct deformity fully • Hold the correction until growth stops CTEV Ada 2 type ; I. Esay  konservatif • Splinting  usia 2-3 hr, tiap minggu diganti (6-8 mgg) secara bertahap • Bila gagal  operasi II.



Resisten  operasi • 8 minggu  pemanjangan tendo achilles & Posterior release  Adalah pemotongan tendo m. tibialis posterior, dimana otot ini berfungsi adduksi dan inverse dan tendo digitalis communis  Setelah operasi pasang gips selama 3-4 bulan dan dilanjutkan pemasangan bidai dari Denis Browne • 5-10 tahun  osteotomi, arthodesis sendi kalkaneo-kuboid (cara Evans) selanjutnya dipertahankan dg sepatu • 12-15 tahun  Operasi radikal berupa fusi dari ketiga sendi, kalkaneo-kuboid, subtalar, talo-navikuler dikenal sebagai Arthrodesis Triple



Penatalaksanaan sebaiknya dimulai sejak minggu pertama setelah lahir karena jaringan soft tissuenya masih elastis . Penatalaksanaan CTEV secara umum dibagi menjadi: I. Non operatif (konservatif) Konsultasi antara dokter dengan orang tua tentang :  kelainan CTEV  Rencana Pengobatan :  Plan  Konservatif/ Operasi  Respon  Recurent Deformity  Lama Pengobatan



Tujuan akhir dari pengobatan yaitu :  Plantigrade  Pliable  Cosmetically acceptable foot  One operation  Minimal Risk  Relatively short treatment time Evaluasi penanganan secara konservatif di kontrol berdasarkan klinis dan radiologis  Kriteria klinis  Sempurna : o Apabila pada koreksi yang paripurna bentuk tanpa gejala dan dapat melaksanakan segala aktifitas fisik. o Lingkup gerak : 25 0 _ Oo - 25o pergelangan kaki ( - 15 o subtalar )  Baik : o Hampir koreksi sempurna o Tidak ada gejala tapi ada gangguan aktifitas yang ringan o Lingkup gerak : 10o - Oo - 20o pergelangan kaki ( - 10 o subtalar )  Cukup : o Koreksi partial o Kekuatan betis menurun tanpa gangguan fungsional o Lingkup gerak : Oo – 10o – 20 o pergelangan kak ( - 10o subtalar ) o Ada gangguan aktifitas kegiatan sehari – hari o Perlu koreksi labih dari 1 kali o Tindakan bedah 







Buruk : o Tidak terkoreksi o Kekuatan betis menurun o Lingkup gerak terbatas subtalar 5o o Nyeri pada kegiatan sehari- hari



Kriteria radiologis Kaki bagian belakang :  AP : Sudut talo – kalkaneal  Timpang tindih Talo navikuler  Sudut talokalkaneal dari samping ( lateral )  Posisi navikuler



Macam-macam tindakan konservatif : 1. Splinting 2. Taping 3. Casting Ketiga hal tersebut dilakukan berdasarkan usia saat diagnosis dini ditegakkan,sehingga pada usia minggu pertama sampai enam (6) minggu setelah kelahiran dilakukan manipulasi splinting, taping, dan casting. Kemudian dievaluasi kakinya setiap minggu secara klinis dan radiologis . Apabila kelainan CTEV –nya diketahui sejak awal rigid (kaku) maka tindakan operasi bisa dipertimbangkan sejak awal diagnosa ditegakkan. 1.



Plaster Of Paris Casting  Cast menggunakan 3 inch sampai diatas lutut, Jari – jari kaki harus terlihat



 



Posisi cast dorsoflexi dan mengarah keluar metatarsal I. Diganti tiap 1 minggu selama 6 – 8 minggu



2. Brace And Splints  Menggunakan Denis Browne Splint  Dua sepatu kaki dihubungkan oleh Bar Cross  Untuk mencegah disuse atropi



Operative Indikasi tindakan sebagai berikut : 1. Konservatif gagal 2. Kelainan menetap setelah dilakukan operasi ( Recurrent deformity ) 3. CTEV Rigid Macam-macam tindakan operasi pada CTEV : 1. Soft Tissue Release Dengan one stage posteromedial release ( PMR ) dengan internal fixation. Teknik operasi :



2.



Tendon Transfers A. Tibialis Posterior Transfer  Untuk usia 2,5 – 8 tahun  dilakukan : release soft tissue or Reserving tendon transfer  Teknik operasi : • Insisi Longitudinal pada media plantar • Expose tendon tibialis posterior dan talonavicular joint • Insisi dibagian medial • Bagian anterior tibia di retraksi ke lateral untuk mengekspos membran intereosseus. B. Tibialis Anterior Transfer



3.



Bony operation  Calcaneocuboid Arthrodesis  Enukleation Prosedur  Metatarsal Osteotomy  Osteotomy of the Calcaneus  Osteotomy of the Tibia  Telectomy



Ketiga hal tersebut bisa dilakukan one stage operation atau two stage operation. Usia optimal untuk dioperasi yaitu 1- 2 tahun, dan maximal 6 tahun. Konsep dasar tindakan operasi CTEV 1. Kelainan CTEV yaitu kelainan congenital subluxatio pada sendi talocalcaneonaviculer.



2. 3. 4.



Koreksi kelainan pada tarsal relationship bertujuan untuk mencegah rigiditas pasca operasi karena terjadi kontraktur soft tissue. Hasil akhir dari koreksi CTEV yaitu stabilnya permukaan sendi. Tidak mungkin mengkoreksi semua komponen kelainan CTEV tanpa mengeliminasi yang lainnya.



Komplikasi 1. Cara konservatif  Decubitus akibat pemasangan cast.  Bentuk tidak terkoreksi (Recurrent Deformity) 2. Cara Operatif  Infeksi  Koreksi tidak sempurna (Recurrent Deformity)  Avaskuler Nekrosisi Navikuler (Kohler)  Kaku  Nyeri pada waktu jalan, Over correction manjadi Planovagus.



Anatomi Tulang Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium. Sel-sel yang terdapat pada jaringan tulang:  Osteoblas : Sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen organik tulang, yang disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak dalam suatu garis di sepanjang permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas cenderung berbentuk kubus dan bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif, maka bentuknya akan menjadi lebih kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas sintesis matriks berhenti dan osteoblas telah memasuki matriks tersebut maka osteoblas berubah namanya menjadi osteosit.  Osteosit : Sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteosit berada di dalam suatu ruangan berbentuk oval bernama lakuna yang terletak di dalam matriks yang telah termineralisasi. Lakuna memiliki penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli menghubungkan antar lacuna yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai pembuluh darah untuk pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme.  Osteoklas : Sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblast dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel-sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah. Lapisan-lapisan tulang: 5  Periosteum : Bagian luar lebih banyak mengandung sabut – sabut jaringan pengikat, pembuluh darah, dan saraf dengan sedikit sel. Lapisan ini dinamakan stratum fibrosum. Bagian dalam lebih banyak mengandung sel – sel pipih yang mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut – sabut elastis, dan kolagen tersusun lebih longgar. Bagian ini disebut stratum germinativum.  Endosteum : Mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar bersifat osteogenik, ke arah dalam bersifat hemopoetik.



Bagian anatomi tulang panjang: 4 • Diafisis atau batang: Bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan besar. • Metafisis : Bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung selsel hematopoietik. Bagian ini juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis. • Lempeng epifisis (ephyfisial plate) : Daerah pertumbuhan longitudinal pada anakanak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. • Epifisis : Epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang panjang berhenti.



Fisiologi tulang: • Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh • Melindungi organ tubuh dan jaringan lunak • Memberikan pergerakan • Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang belakang • Menyimpan garam mineral (kalsium dan fosfor)



Osteomielitis Definisi  Osteomielitis adalah infeksi bone marrow pada tulang yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, dan organisme piogenik lain. Dapat terlokalisasi ataupun tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan kanselosa, dan periosteum.



Etiologi • Sebanyak 90% disebabkan oleh Staphylococcus aureus hemolitikus (koagulasi positif) dan jarang oleh streptokokus hemolitikus. • Pada anak umur dibawah 4 tahun sebanyak 50 % disebabkan oleh Hemofilus influenza. • Adapun organisme lain seperti B. Colli, B. Aerogenus kapsulata, Pneumokokus, Salmonella tifosa, Pseudomonas aerogenus, Proteus mirabilis, Brucella, dan bakteri anaerobik yaitu Bakteroides fragilis juga dapat menyebabkan osteomielitis hematogen akut. Infeksi dapat terjadi secara: a. Hematogen, dari fokus yang jauh seperti kulit dan tenggorokan b. Kontaminasi dari luar: fraktur terbuka dan tindakan operasi pada tulang c. Perluasan infeksi jaringan ke tulang di dekatnya Patofisiologi • Tulang yang terinfeksi menyerang soft tissue dan sumsum tulang hingga terjadi pembengkakan jaringan tersebut  menekan dinding luar tulang  terjadilah kompresi pada sumsum tulang  pasokan darah ke tulang menjadi berkurang atau berhenti  jaringan-jaringan pada tulang menjadi mati • Pada daerah yang jaringannya sudah mati tidak dapat melakukan perbaikan jaringan kembali dan mengobati infeksi sel bahkan dengan antibiotik yang seharusnya dapat mmbantu memerangi infeksi. Sehingga infeksi terus berulang hingga dapat menyebar keluar jaringan tulang hingga mengenai jaringan lunak sekitarnya seperti otot yang kemudian terbentuk kumpulan nanah. • Osteomyelitis dapat menyebar melalui aliran darah, penyebaran langsung (infeksi), infeksi jaringan lunak sekitarnya.



Tanda peradangan: • Stadium Peradangan: Perubahan awal adalah reaksi radang akut dengan gangguan vaskuler, cairan eksudat, dan infiltrate leukosit PMN. Tekanan intraosseus meningkat secara cepat, menyebabkansemakin sering kesakitan, obstruksi peredaran dan trombosis intravaskuler. Sering pada stadium awal jaringan iskemik harus diobati segera. • Stadium Supurasi: Pada 2-3 hari, terbentuk pus berada di dalam tulang dan memaksa menuju permukaan melalui kanal Volkmann dimana akan terbentuk subperiosteal abses. Dari situ pus ini akan menyebar sepanjang tepi tulang, untuk masuk kembali ke tulang pada daerahlainnya, atau menyebar melalui jaringan lunak yang mengelilinginya. Pada bayi, infeksisering menyebar melalui fisis menuju epifisis dan kadang ke persendian. Pada anak yanglebih tua, fisis merupakan sarana untuk penyebaran secara langsung tapi pada sebagian metafisis intra kapsular (seperti pada tanggul), pus dapat melewati periosteum menuju persendian. Pada orang dewasa, abses lebih cenderung menyebar melalui celah medular.Infeksi vertebrata dapat menyebar melalui end-plate, dan discus intervertebralis ke tulangyang bersebelahan. • Stadium Nekrosis: Peningkatan intraosseus, vaskular statis, trombosis, dan periosteum yang terlepas meningkatkan kompensasi pembuluh darah, pada hari ke 7 biasanya ditemukan kejadian kematian tulang secara mikroskomis. Racun bakteri dan enzim dari leukosit juga dapat berperan dalam proses destruksi tulang. Pada bayi, lempeng pertumbuhan sering rusak dan tidak dapat diperbaiki dan dapat mengalami nekrosis avaskuler. Dengan tingkat pertumbuhan dari jaringan granulasi batas antara tulang yang mati dan hidup dapat terlihat. Bagian dari tulang mati terpisah sebagai bagian











sekuestrum yang bervariasi bentuknya dari kecil ke besar. Markofag dan limfosit juga meningkat jumlahnya, dan sisanya perlahan dihilangkan dengan kombinasi fagositosis dan reabsorbsi osteoklast. Bagaimanapun sekuestrum yang besar menetap pada saluran tulang, tidak dapat dilalui sehingga terjadi destruksi tulang akhir. Stadium pembentukan tulang baru: Tulang baru terbentuk dari bagian dalam dari periosteum yang terlepas,ini merupakan ciri infeksi piogenik dan biasanya terlihat jelas pada akhir minggu ke dua. Seiring perjalanan waktu, tulang baru menebal dan membentuk involukrum yang berdekatan dengan jaringan yang terinfeksi dan sekuestrum. Jika infeksi, pus dan tulang sekuestrum yang tipis bertahan/menetap dapat berlanjut menjadi perforasi pada involukrum dan melalui saluran menuju ke permukaan kulit, pada kondisi ini dikenal osteomielitis kronis. Stadium resolusi dan penyembuhan: “Once osteomyelitis, osteomyelitis forever”. Jika infeksi ini dikendalikan dan tekanan intraosseus dibebaskan pada stadium awal, maka perkembangan ini dapat dicegah.



Klasifikasi 1. Osteomielitis Hematogen Akut • Osteomielitis hematogen akut merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut yang disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah. • Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari. • Kelainan ini sering ditemukan pada anak – anak dan sangat jarang pada orang dewasa. • Trauma, hematogen akibat trauma pada daerah metafisis, merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya osteomielitis hematogen akut. • Lokasi osteomielitis hematogen akut sering terjadi pada daerah metafisis karena daerah ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya pertumbuhan tulang.



Patologi dan Patogenesis Penyebaran osteomielitis terjadi melalui dua cara, yaitu : 1. Penyebaran umum  Melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan septikemia  Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifocal pada daerah daerah lain 2. Penyebaran lokal  Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periost  Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit  Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik  Penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan terbentuknya tulang mati yang disebut sekuestrum.



Patologi yang terjadi pada osteomielitis hematogen akut tergantung pada umur, daya tahan penderita, lokasi infeksi serta virulensi kuman. • Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus tempat lain dalam tubuh pada fase bakterimia dan dapat menimbulkan septikemia. • Embolus infeksi kemudian masuk kedalam juksta epifisis pada daerah metafisis tulang panjang. • Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema didaerah metafisis disertai pembentukan pus. • Terbentuknya pus menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh darah tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. • Disamping itu pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam periosteum sepanjang diafisis (terutama anak – anak ) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum didalamnya. • Proses ini terlihat jelas pada akhir minggu kedua. Apabila pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus (discharge) dari involucrum keluar melalui lubang yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. • Pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi osteomielitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodie. Gambaran Klinis • Nyeri yang konstan pada daerah infeksi yang menyebabkan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat bila terjadi spasme lokal. • Nyeri tekan dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan • Panas tinggi • Malaise serta nafsu makan yang berkurang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya: •



Pemeriksaan Radiologis: • Pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama, tidak ditemukan kelainan radiologik yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak. • Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah sepuluh hari (2 minggu) berupa refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang baru dibawah periosteum yang terangkat.



Proyeksi lateral dan AP pada tibia terlihat gambaran sklerotik di diametafisis tibia



Tampak destruksi tulang pada tibia dengan pembentukan tulang subperiosteal 2.



Osteomielitis Hematogen Subakut Gejala osteomielitis hematogen subakut lebih ringan oleh karena organisme penyebabnya kurang purulen dan penderita lebih resisten. Durasi dari osteomielitis subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan. Patologi Biasanya terdapat kavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung cairan seropurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri atas sel – sel inflamasi akut dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula. Gambaran Klinis Osteomielitis hematogen subakut biasanya ditemukan pada anak–anak dan remaja. Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah atrofi otot, nyeri lokal, sedikit pembengkakan dan dapat pula penderita menjadi pincang. Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan – bulan. Suhu tubuh biasanya normal. Pemeriksaan Radiologis Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan kombinasi dari gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka ditemukan adanya



osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Dengan foto rontgen biasanya ditemukan kavitas berdiameter 1-2 cm terutama pada daerah metafisis dari tibia dan femur atau kadang – kadang pada daerah diafisis tulang panjang.



Radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan pada osteomielitis sub akut/kronik. (Pada gambar terlihat kavitas yang dikelilingi oleh daerah sclerosis) 3.



Osteomielitis Kronis Osteomielitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomielitis akut yang tidak terdiagnosis atau tidak diobati dengan baik. Osteomielitis kronis juga dapat terjadi setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi pada tulang. osteomielitis kronik merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada episentral yang disebut sekuester yang dibungkus involukrum. Patologi dan patogenesis Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekuestrum ini merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka (pada tulang) dan sinus (pada kulit). Sekuestrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar/dibersihkan dari medula tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya terjadi destruksi dan sklerosis tulang yang dapat terlihat pada foto rontgen. Gambaran Klinis Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka/sinus setelah operasi yang bersifat menahun. Kelainan kadang–kadang disertai demam dan nyeri lokal yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu. Pada pemeriksan fisik ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas operasi dengan nyeri tekan. Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomielitis pada penderita. Pemeriksaan Radiologis: 1. Foto polos Pada foto rontgen dapat ditemukan adanya tanda – tanda porosis dan sklerosis tulang, penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum.



Proyeksi AP wrist terlihat gambaran lesi osteolitik dan sclerosis extensive dibagian distal metafisis pada radius



Osteomielitis lanjut pada seluruh tibia dan fibula kanan. Ditandai dengan adanya gambaran sekuestrum (panah).