LAPORAN KASUS Orthopedi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN KASUS Fraktur Epicondilus Lateral Humeri Sinistra



Untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Bedah di RSUD Tugurejo Semarang



Pembimbing : dr Suhardiyono, Sp.OT, FICS



disusun oleh : Ifana Eren Oktafia



H2A010024



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG 2017



BAB I CATATAN MEDIS I. IDENTITAS PENDERITA



II.



a. Nama



: An. R



b. Tanggal lahir



: 19-10-2014



c. Usia



: 2 tahun



d. Jenis kelamin



: Laki-laki



e. Agama



: Islam



f. Suku



: Jawa



g. Alamat



: Prof Hamka No. 4 RT 04/IX Ringinsari Semarang



h. Pekerjaan



:-



i. Pendidikan terakhir



:-



j. No. RM



: 45-96-30



k. Tgl Masuk RS



: 04-07-2017



l. Ruang/Kelas



: Amarilis 2/12_A



ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 4 Juli 2017 pada pukul 21.00 WIB di IGD RSUD Tugurejo Semarang. a. Keluhan utama: nyeri siku kiri b. RPS : 1 hari sebelum masuk RS, pasien rewel dan mengatakan sakit pada siku kiri. Sebelumnya pasien terjatuh dari tempat tidur kelantai karena main loncat-loncatan. Saat jatuh, tangan kiri pasien menahan badannya. Pasien rewel sepanjang hari karena merasakan kesakitan.Nyeri dan rewel semakin bertambah jika melakukan aktivitas atau bergerak, agak ringan jika sedang beristirahat. Lalu pada malam harinya dibawa ke IGD RSUD Tugurejo Semarang. Oleh dokter dipasang spalek, rawat jalan dan dihimbau untuk kontrol ke poli ortopedi RSUD Tugurejo Semarang. Pada tangga 5 juli 2017, di poli ortopedi dilakukan pemeriksaan dan dihimbau untuk rawat inap dan dipasang Gips di ruang operasi. Keluhan lain yaitu demam dan nafsu makan menurun.



c. RPD : -



Riwayat Keluhan yang sama



: Disangkal



-



Riwayat operasi tulang



: Disangkal



-



Riwayat alergi obat



: Disangkal



d. RPK : -



Riwayat Keluhan yang sama



: Disangkal



e. Riwayat Sosial Ekonomi : -



Biaya kesehatan menggunakan BPJS. Untuk keseharian pasien diasuh dengan neneknya karen ibu kandung pasien bekerja sebagai guru.



-



Kesan Ekonomi : cukup.



III. PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 4 Juli 2017 pada pukul 21.15 WIB di IGD RSUD Tugurejo Semarang. A.



Keadaan Umum



: Sakit sedang (rewel)



B.



Kesadaran



: Compos mentis



C.



Status Gizi



D.



E.







BB



: 8 kg







TB



: 87 cm







Status gizi



: Kurang (Kurva WHO)



Tanda vital 



Nadi



: 110x/menit, reguler (isi dan tegangan cukup)







Respiratory rate



: 22x/menit, irama reguler







Suhu



: 37,8 oC (aksiler)



Status Internus o Kepala



: mesochepal, rambut merata, tidak mudah dicabut



o Mata



: konjungtiva palpebra pucat (- / -), sklera ikterik (- /- ), pupil



isokor (3 mm/3 mm) , reflek pupil : direct (+/+), indirect (+/+). o Hidung



: napas cuping hidung (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), sekret (-),



septum deviasi (-), konka : hiperemis (-) dan deformitas (-). o Mulut



: sianosis (-),lidah kotor (-), tonsil ( T1/T1), hiperemis (-), kripte



melebar (-), gigi karies (-).



o Telinga



: sekret (-/-), serumen (-/-), laserasi (-/-)



Thoraks o Jantung -



Inspeksi



: ictus cordis tidak nampak,



- Palapsi



: ictus cordis tidak teraba



-



Perkusi



: Konfigurasi jantung kesan dalam batas normal



-



Auskultasi



: BJ I – II normal, regular, bising (-)



o Pulmo -



Inspeksi



: dinding dada simetris



-



Palpasi



: nyeri tekan (-) , fremitus taktil simetris



-



Perkusi



: sonor



-



Auskultasi



: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)



Abdomen -



Inspeksi



: bentuk simetris , permukaan datar, massa (-)



-



Auskultasi



: bising usus (+) ,



-



Perkusi



: timpani pada lapang abdomen



-



Palpasi



: nyeri tekan (-), benjolan (-), organomegali (-)



Ekstremitas



F.



SUPERIOR



INFERIOR



Akral hangat



+/+



+/+



Oedem



-/-



-/-



Sianosis



-/-



-/-



CRT



177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari. Kontroversi kristaloid versus koloid Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus merupakan bahan diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%, Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar, hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70.3,5 Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi hendaknya ditujukan untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal. Cairan ideal adalah yang dapat membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas karena ketidak mampuan membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit, namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal. Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat karena mudah tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik lebih cepat dilaksanakan



dengan koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya ¼ bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan protein plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel. Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang berlebihan dengan konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang tidak memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril 6 %. Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat memberi koloid dengan BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L. Dengan begitu, manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.



VII.



Konsep Dasar Pembidaian B. Pengertian Pembidaian Pembidaian (splinting) adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera atau trauma pada sistem muskuloskeletal yang harus diketahui oleh dokter, perawat, atau orang yang akan memberikan pertolongan pertama pada tempat kejadian kecelakaan. Pembidaian adalah cara untuk mengistirahatkan (imobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat.



Fitch (2008), menyatakan bahwa pembidaian mengimobilisasi ekstremitas yang mengalami cedera dan melindungi dari cedera yang lebih lanjut, mengurangi nyeri dan perdarahan serta digunakan untuk memulai proses penyembuhan. Pemakaian pembidaian pada pasien rawat jalan termasuk didalamnya fraktur, dislokasi dan sprain otot. Stabilisasi dari ektremitas yang patah tulang dengan pembidaian membantu kesejajaran tulang dan mengurangi ketidaknyamanan. Sesudah dilakukan reduksi dari dislokasi, posisi anatomi dijaga dengan pembidaian. Menurut Saleh (2006), bidai dapat kaku atau lunak. Ada bidai buatan pabrik untuk penggunaan pada tempat tertentu pada tubuh kita dan ada pula bidai yang dapat dibuat dengan melakukan improvisasi dari barang atau benda yang sudah ada disekitar kita.



C. Tujuan Pembidaian Alasan dalam melakukan pembidaian pada cedera musculoskeletal yaitu: 1. Untuk mencegah gerakan (imobilisasi) fragmen patah tulang atau sendi yang mengalami dislokasi. 2. Untuk meminimalisasi/mencegah kerusakan pada jaringan lunak sekitar tulang yang patah (mengurangi/mencegah cedera pada pembuluh darah, jaringan saraf perifer dan pada jaringan patah tulang tersebut). 3. Untuk mengurangi perdarahan dan bengkak yang timbul. 4. Untuk mencegah terjadinya syok. 5. Untuk mengurangi nyeri dan penderitaan. D. Kontra Indikasi Pembidaian



Meskipun tidak ada kontraindikasi absolut dalam menggunakan pembidaian/splinting pada ekstremitas yang mengalami cedera, beberapa hal unik harus diperhatikan. Pembengkakan alami akan terjadi sesudah terjadi cedera dapat menjadi hambatan dari keamanan metode dari imobilisasi. E. Prinsip Dasar Pembidaian Prinsip dasar pembidaian ini harus selalu diingat sebelum kita melakukan pembidaian. 1. Harus melakukan proteksi diri sebelum pembidaian 2. Jangan melepaskan stabilisasi manual pada tulang yang cedera sampai kita benar- benar melakukan pembidaian 3. Jangan mereposisi atau menekan fragmen tulang yang keluar kembali ketempat semula 4. Buka pakaian yang menutupi tulang yang patah sebelum memasang bidai 5. Lakukan balut tekan untuk menghentikan perdarahan pada fraktur terbuka sebelum memasang bidai 6. Bidai harus melewati sendi proksimal dan sendi distal dari tulang yang patah 7. Bila persendian yang mengalami cedera, lakukan juga imobilisasi pada tulang proksimal dan distal dari sendi tersebut 8. Berikan bantalan atau padding untuk mencegah penekanan pada bagian tulang yang menonjol dibawah kulit 9. Sebelum dan sesudah memasang bidai lakukan penilaian terhadap nadi, gerakan dan rasa /sensasi pada bagian distal dari tempat yang fraktur atau cedera 10. Berikan dukungan dan tenangkan penderita menghadapi cedera ini. F. Tipe-Tipe Bidai/Splint Pembidaian membantu mengurangi komplikasi sekunder dari pergerakan fragmen tulang, trauma neurovaskular dan mengurangi nyeri. Ada beberapa macam splint, yaitu: 1. Hard splint (bidai kaku) Bidai kaku biasanya digunakan untuk fraktur ekstremitas. Bidai kaku sederhana bisa dibuat dari kayu dan papan. Bidai ini juga bisa dibuat dari plastik, aluminium, fiberglass dan gips back slab. Gips back slab ini dibentuk dan diberi nama sesuai peruntukannya untuk area trauma yang dipasang bidai.



2. Gips back slab merupakan alat pembidaian yang lebih baik dan lebih tepat digunakan pada ekstremitas atas dan bawah serta digunakan untuk imobilisasi sementara pada persendian.



3. Soft splint (bidai lunak) Pembidaian dimulai dari tempat kejadian yang dilakukan oleh penolong dengan menggunakan alat pembidaian sederhana seperti bantal atau selimut.



4. Air slint atau vacuum splint Bidai ini digunakan pada trauma yang spesifik seperti bidai udara. Bidai udara mempunyai efek kompresi sehingga beresiko terjadi compartment syndrome dan iritasi pada kulit.



5. Traction splint (bidai dengan traksi) Bidai dengan tarikan merupakan alat mekanik yang mampu melakukan traksi pada bidai. Bidai dengan tarikan ini biasanya digunakan untuk trauma pada daerah femur dan sepertiga bagian tengah ekstremitas bawah.



F. Back slab cast 1. Pengertian New Zealand Orthopaedic Organization (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah alat imobilisasi pertama sebelum dilakukan tindakan definitif yang digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini mudah dilepaskan bila diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.



Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips sementara yang digunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah tulang ankle. Back slab cast ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon achiles dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Bidai tradisional dapat menekan aliran darah, meningkatkan rasa nyeri dan ketidaknyamanan. Back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika trauma patah tulang. Sedangkan menurut Koval & Zukerman (2006), back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. 2. Cara pembuatan Fitch (2008), menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembidaian adalah melapisi bagian ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan (padding) pada bagian tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur panjang pembidaian yang diperlukan yaitu melewati dua sendi. Gunakan 3 lembar dari gips untuk ekstremitas atas dan 6 lembar untuk ekstremitas bawah untuk meyakinkan pembidaian yang dilakukan cukup kuat. Celupkan kedalam mangkok air yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat sampai mengenai seluruh gips, kemudian angkat, pegang secara vertikal dan gunakan dua jari menurunkan sisa air pada gips sehingga memudahkan pengeringan kemudian lapisi dengan padding. Letakkan dibawah ekstremitas yang akan dibidai sesuai posisi anatomis. Gunakan perban elastis untuk memegang posisi dari back slab cast yang dibuat dari bagian terjauh dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat tubuh. Gunakan telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi anatomis dan kenyamanan pasien. Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa gips akan mengalami kristalisasi yang menghasilkan pembalutan yang kaku. Kecepatan terjadinya reaksi bervariasi sekitar 30 menit sampai 60 menit tergantung dari ketebalan dan kelembaban lingkungan. Selanjutnya perlu pemeriksaan X-ray untuk mengetahui fraktur atau dislokasi yang membutuhkan reduksi sebelum pembidaian dilepaskan. 3. Keunggulan dari pembidaian dengan back slab cast



Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa pasien yang menderita masalah tulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat berat. Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun masalah penyertanya misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme otot dan pembengkakan. Tekanan yang berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat menyebabkan rasa terbakar. Menurut Miranda (2010) back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika trauma pada kasus patah tulang. Back slab cast ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Pergerakan ekstremitas yang mengalami fraktur setelah pembidaian dengan back slab cast sangat minimal, sehingga dapat mencegah kerusakan fragmen tulang dan jaringan sekitarnya yang lebih berat. Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast menjaga tulang yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan menurut New Zealand Orthopaedic Organization (2010), back slab cast digunakan untuk stabilisasi dari bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini sangat mudah dilepaskan bila diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi. 4. Bentuk pemasangan GIPS Beberapa bentuk yang dapat dilakukan dalam pemasangan gips antara lain : 



Bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh atau dua per tiga lingkaran permukaan anggota gerak







Gips yang dipasang pada kedua sisi antero-posterior anggota gerak sehingga merupakan gips yang hampir melingkar







Gips sirkuler yang dipasang lengkap melingkupi seluruh anggota gerak







Gips yang ditopang dengan besi atau karet dan dapat dipakai untuk menumpu atau berjalan pada patah tulang anggota gerak bawah



5. Indikasi pemasangan gips Indikasi pemasangan gips adalah : 



Untuk pertolongan pertama pada fraktur (sebagai bidai)







Mobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan menguranga nyeri misalnya gips korset pada tb tulang dan skoliosis







Sebagai pengobatan definitif untuk mobilisasi fraktu terutama pada anak-anak







Mengkoreksi deformitas pada kelainan bawaan misal pada talipes ekuinoverous kongenital atau padadeformitas sendi lutut







Imobilisasi untuk mencegah fraktur







Imobilisasi untuk memberikan kesempatan pada tulang untuk menyatu misal pada artrodesis







Imobilisasi setelah operasi pada tendo-tendo tertentu







Dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai



6. Kelebihan dan kekurangan pemakaian Gips Kelebihan



Kekurangan







Mudah didapat











Murah dan mudah digunakan oleh



memberikan gangguan dan tekanan



dokter



pada pembuluh darah, saraf dan







Dapat diganti setiap saat



tulang itu sendiri







Dapat dipasang dan dibuat cetakan











Dapat



dibuat



lubang



membuka jahitan dan perawatan







Alergi dan gatal-gatal akibat gips



luka selama imobilisasi







Berat dan tidak nyaman pada pasien



Koreksi bertahap jaringan lunak



Gips bersifat radiolusen sehingga pada x-foto tetap dapat dilakukan







yang lama (disuse



osteoporosis dan atropi)



untuk



dapat dilakukan 



Menyebabkan kekakuan sendi pada pemasangan



sesuai anggota gerak 



Pemasangan gips yang ketat akan



Merupakan terapi konservatif untuk menghindari operatif



7. Komplikasi Pembidaian



Komplikasi pembidaian biasanya timbul bila kita tidak melakukan pembidaian secara benar, misalnya; a. Bisa menekan jaringan saraf, pembuluh darah atau jaringan dibawah bidai yang bisa memperparah cedera yang sudah ada, bila dipasang terlalu ketat. b. Bila bidai terlalu longgar bisa menimbulkan kerusakan pada saraf perifer, pembuluh darah, atau jaringan sekitarnya akibat pergerakan ujung – ujung fragmen patah tulang. c. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi jaringan. Brinkley (2010), meyatakan bahwa komplikasi pembidaian antara lain: a. Kerusakan kulit Penekanan pada kulit dapat menyebabkan iritasi dan kerusakan pada kulit sehingga sebelum dilakukan pembidaian kulit harus benar – benar dalam keadaan bersih. Pasir dan kotoran dapat menjadi titik tekanan pada kulit. b. Compartment syndrome Compartment syndrome merupakan komplikasi serius dari pembidaian. Peningkatan nyeri, pembengkakan, perubahan warna dan peningkatan temperatur merupakan gejala penting yang harus diperhatikan. c. Infeksi Kerusakan kulit dalam pembidaian dapat menjadi tempat masuknya bakteri dan infeksi jamur. d. Kerusakan saraf Trauma dapat menyebabkan pembengkakan yang dapat menimbulkan penekanan sirkulasi dan kerusakan saraf.



DAFTAR PUSTAKA 1. Snell, Richard S. Anatomi Klinik ed. 6. EGC, Jakarta, 2012 2. Apley A. Graham. Solomon Louis, Apley’s System of Orthopaedics and Fractures, 7th edition, Butterworth Heinemann Oxford, Injuries of the knee and leg 3. Sjamsuhidajat, R., de Jong, Wim. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC 4. Gray’s Anatomy for students, 2nd edition. Copyright 2015 by churchill livingstone, an important of elseveir. 5. American College of Surgeon Committee of Trauma (ACSCOT). Advanced Trauma Life Support for Doctor. Chicago: ATLS Student Course Manual. 2014. 6. Netter’s Concise Atlas of Orthopaedic Anatomy 2nd ed., 2002 7. Kenneth J. Kovel, Joseph D. Zuckerman, Handbook of Fractures, 3rded, Lippincott William & Wilkins. 8. Behrman S W, Fabian T C, Kudsk K A, Taylor J C, J Trauma. Improved outcome with femur fractures: Early vs delayed fixation. 2015; 30: 792-798 9. Weissleder, R., Wittenberg, J., Harisinghani, Mukesh G.,



Chen, John W.



Musculoskeletal Imaging in Primer of Diagnostic Imaging, 4th Edition. Mosby Elsevier. United States. 2016. Page 408-410 10. Holmes, Erskin J., Misra, Rakesh R. A-Z of Emergency Radiology. Cambridge University, 2014. Page 140-143 11. Fraktur classifikations in orthopaedics. UITH. 2013. University of Ilorin Teaching Hospital, Nigeria 12. Brotzman S,. Clinical Orthopaedic Rehabilitation. Missouri : Mosby. 2014 : 105-11 13. Evans, P.J., B.J McGrory. 2011. Fracture of The Proximal Femur. ME: Orthopaedic Associates of Portland. 14. Hoppenfeld, S. Treatment and Rehabilitation of Fractures. New York: Lippincott Williams & Wilkins. 2012 15. Mansjoer, Arif,.. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2 edisi 3. Media Aesculapius : FKUI. 2015 : 322-9 16. Mardhiya, W.R.. Fraktur Femur. Pekanbaru : Universitas Riau. 2009. 17. Moore, K.L., A.M.R. Agur. 2002. Essensial Clinical Anatomy. Jakarta: Hipokrates.



18. Pratt, E. et al.. Open Reduction and Internal Fixation. In Rehabilitation for The Post Surgical Orthopedic Patient. Missouri: Mosby Elsevier. Pp 2011:309-13 19. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 2007. hal 375-7. 20. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia. 2013.