Cerita Rakyat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PUTRI TANGGUK Putri Tangguk adalah seorang petani yang tinggal di Negeri Bunga Tanjung, Kecamatan Danau Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Hari ini Putri Tangguk akan memanen sawahnya lagi. Sawahnya tidak besar, tapi hasilnya banyak sekali. Anehnya lagi, setiap habis dipanen, padinya selalu muncul dan siap untuk dipanen lagi. Tujuh lumbung milik Putri Tangguk pun hampir penuh menampung hasil panen. Putri Tangguk hidup bersama suami dan ketujuh anaknya. Setiap hari ia dan suaminya pergi ke sawah untuk memanen padi. Hari ini adalah panen terakhir. Putri Tangguk mengajak semua anaknya. Setelah ketujuh Iambungnya penuh, ia bisa beristirahat untuk beberapa bulan ke depan. Putri Tangguk dan keluarganya memanen padi di sawah mereka. Hasil panen itu mereka masukkan ke gerobak besar. “Nah, selesai sudah panen terakhir kita. Persediaan padi kita cukup untuk beberapa bulan,” kata Putri Tangguk. Mereka mendorong gerobak bersama-sama. Mereka senang memiliki sawah yang subur dan menghasilkan banyak padi.



Di tengah perjalanan, tiba-tiba Putri Tangguk terjatuh. “Aduuhh…,” teriaknya. “Hati-hati Bu, semalam hujan deras sekali, makanya jalanan jadi licin,” kata suaminya sambil membantunya berdiri. “Hujan tak tahu diri! Gara-garanya jalanan ini jadi licin. Bisa-bisa aku terjatuh lagi nanti. Bukankah perjalanan ke rumah masih jauh?” omel Putri Tangguk. Putri Tangguk lalu mengambil padi yang baru dipanen dan diserakkan di jalanan. “Apa yang Ibu lakukan? dibuang?” tany anak sulungnya.



Mengapa



padi-padi



itu



“Ibu bukan membuang padi. Ibu menyerakkannya supaya jalan ini tidak licin lagi. Padi ini kuanggap sebagai pengganti pasir.” jawab Putri Tangguk. “Istriku… bukankah padi itu untuk kita makan? Rasanya tidak baik jika kita membuang-buang makanan,” nasihat suaminya. “Ah… masa bodoh. Bukankah padi kita sudah banyak? Kau mau aku jatuh lagi dan tulangku patah?” jawab Putri Tangguk sambil terus menyerakkan padi-padinya. Suami dan anak-anaknya tak bisa membantah. Akhirnya padi di gerobak tinggal separuh. Sejak panen terakhir itu, Putri Tangguk tak pernah lagi ke sawah. Ia lebih banyak berada di rumah, merawat anakanaknya. Suatu malam, ketika Putri Tangguk tidur, anaknya



yang bungsu merengek karena lapar. Putri Tangguk pergi ke dapur untuk mengambil nasi di panci. “Aneh, kenapa panci ini kosong? Bukankah tadi masih ada sedikit nasi di sini?” katanya dalam hati. Karena si bungsu terus merengek, Putri Tangguk memutuskan untuk menanak nasi lagi. Putri Tangguk kembali terkejut. Beras yang disimpannya di kaleng juga lenyap tak berbekas. Ia ingat betul, sebelumnya di kaleng itu masih banyak beras. “Ke mana perginya beras itu? Jangan-jangan ada orang yang men- curinya.” Putri Tangguk tak bisa berpikir panjang. Ia sangat mengantuk. Dibujuknya si bungsu untuk tidur. Besok, ia akan mengambil padi di lumbung clan menumbuknya menjadi beras. Pagi pun tiba, ketika ia mendengar teriakan suaminga. “Istriku.., is- triku… cepat kemari!” Putri Tangguk segera Iari keluar menemui suaminga yang sedang berdiri di depan pintu lumbung. Lumbung itu kosong melompong! Putri Tangguk menghampiri suaminya. “Apa gang terjadi, Bang?” tanganya cemas. “Aku tak tahu. Lumbung ini sudah kosong saat aku membukanya,” jawab suaminya. Putri Tangguk dan suaminya



segera memeriksa lumbung yang lain. Mereka berdua terkulai lemas, karena mendapati semua lumbung telah kosong. Tak tersisa sebutir padi pun. Putri Tangguk menangis “Apa gang terjadi padaku? Sejak semalam sudah terjadi keanehan. Nasi di panci hilang. Beras di kaleng hilang. Sekarang padi di lumbung pun hilang.” Suaminya berusaha untuk menghibur, “Jangan cemas istriku. Bukankah kita masih memiliki sawah? Ayo kita tengok, siapa tahu padinya telah menguning,” Dengan perasaan cemas, Putri Tangguk pun mengikuti suaminga ke sawah. Tangis Putri Tangguk semakin keras saat melihat sawahnya. Sawah itu telah hilang dan berubah menjadi tumbuhan semak belukar. Putri Tangguk duduk bersimpuh di tanah, “Apa maksud semua ini? Apa salahku?” ratapnya. Seharian itu Putri Tangguk menangis. Ia tak mau pulang. Ia mencemaskan anak-anaknya yang belum makan. Ia bersikeras untuk menunggui sawahnya dan berharap keajaiban terjadi. Suaminya mengalah dan pulang ke rumah untuk menjaga anak-anaknya. Karena kelelahan, Putri Tangguk tertidur di sawah. Dalam mimpi, ia didatangi oleh segerombolan padi yang bisa berbicara. “Hai Putri Tangguk, inilah buah kesombonganmu. Masih ingatkah kau ketika membuang kami begitu saja di jalanan?” tanya mereka. Putri Tangguk terkejut mendengar perkataan padi itu. Ia kemudian teringat perbuatannya. “Kau telah menghina kami karena menjadikan kami pasir untuk alas jalanmu. Kami ini dipanen untuk dimakan, bukan untuk diinjak. Dengan membuang kami,



berarti kau tak membutuhkan kami untuk makananmu,” kata padi-padi itu lagi. Putri Tangguk diam tak menjawab. Ia menyesali kebodohannya membuang-buang padi di jalan. “Tidak bisakah kalian memaafkanku?” tanya Putri Tangguk. “Memaaafkan itu perkara yang mudah. Tapi kami tak bisa lagi seperti dulu, tumbuh dengan mudah di sawahmu. Sekarang kau dan keluargamu harus bekerja keras untuk mendapatkan kami. Bersihkan tanah ini dari semak-semak, bajaklah, dan tanamlah kami. Setelah tiga bulan, kau baru akan memanen kami. Demikian seterusnya,” jawab padi-padi itu. Putri Tangguk hendak menjawab ketika kemudian ia tersentak bangun dari tidurnya. Lalu ia pulang ke rumah dan menceritakan mimpinya pada suaminya. Putri Tangguk sekeluarga bergotong-royong untuk menanam padi lagi. Dengan sabar mereka menunggu sampai padi itu siap dipanen. Sekarang, Putri Tangguk tak pernah menyia-siakan sebutir padi pun. Ia merawat sawah dan menjaga padinya dengan baik. Ia tak ingin menyesal untuk kedua kalinya. Meskipun keadaannya sekarang susah, Putri Tangguk bersyukur telah mendapat pelajaran berharga. “Pesan moral dari Cerita Rakyat Jambi Putri Tangguk adalah Hargai segala hal yang kau miliki sekarang. Jangan pernah menyia-siakannya karena menyesal kemudian tak ada gunanya”



Asal Muasal Bukit Kancah Di dalam sebuah hutan yang lebat di Negeri Tanjung, hidup tiga orang kakak beradik, Kakak Sulung dan Kakak Tengah adalah laki-laki dan Si Bungsu seorang perempuan. Semenjak orangtua mereka meninggal, mereka hanya tinggal bertiga di hutan dan tidak pernah berinteraksi dengan orang lain. Mereka bertiga terkenal sakti, karena setiap hari mereka berteman dengan berbagai jenis siluman. Suatu saat, Negeri Tanjung mendapat ancaman penyerangan dari negeri tetangga. Sang Raja merasa gundah, karena negeri tetangga sangat kuat. Lalu, Raja bermaksud meminta pertolongan kedua laki-laki dari tiga bersaudara tersebut. la mengutus pengawalnya mencari Si Sulung dan Si Tengah untuk datang ke istana sebelum bulan purnama tiba. Kakak Sulung dan Tengah mempertimbangkan permintaan Raja untuk membela Negeri Tanjung. Namun, mereka ragu meninggalkan adik bungsu mereka sendirian di



hutan. Kakak Sulung dan tengah khawatir, adik mereka akan diganggu oleh makhluk lain atau binatang buas. Kemudian, mereka bertiga berunding mencari jalan terbaik untuk keselamatan adik mereka. “Kak, begini saja. Selama kita pergi, adik bungsu kita tutup dengan sebuah kancah atau kuali yang besar. Lalu, kakak bacakan mantera, sehingga adik tidak akan dapat dilihat oleh makhluk apa pun,” kata Kakak Tengah. “Idemu bogus, Dik. Baiklah, sebelum besok kita berangkat ke istana kita lakukan idemu itu,” kata Kakak Sulung. Hari berganti dan kedua kakak beradik ini harus segera menuju ke istana. Ketiga bersaudara itu duduk berkeliling. Mereka berpegangan tangan dengan sedih, karena sebentar lagi akan berpisah dengan adik bungsu mereka. Selama ini mereka tidak pernah terpisahkan. Mereka berpelukan sambil menangis. Tibalah saatnya, Kakak Tengah mengambil sebuah kancah dan menutupkannya dengan tubuh Si Bungsu di dalam kancah tersebut. Lalu, Kakak Sulung membacakan mantera di hadapan kancah yang berisi adik mereka. Setelah selesai membacakan mantera, kancah tersebut menghilang dari pandangan. “Nah, adikku sayang, sekarang kau aman, karena tiada seorang pun yang dapat melihatmu. Kakak berdua akan segera kembali padamu,” kata Kakak Sulung.



Dengan perasaan sedih, Kakak Sulung dan Kakak Tengah meninggalkan si bungsu. Mereka menuju istana dan siap untuk membantu kerajaan menghadapi musuh. Kakak beradik ini ditunjuk sebagai panglima perang oleh Raja. Dengan kehebatan mereka dan juga bantuan dari para siluman hutan, mereka berhasil memenangkan pertempuran. Setelah memenangi pertempuran ini, Raja mengangkat keduanya menjadi hulubalang istana. Hal ini membuat iri beberapa hulubalang lainnya. Kemudian, para hulubalang berusaha menjatuhkan kakak beradik itu dengan bekerja sama dengan musuh untuk menghancurkan Negeri Tanjung. Raja Negeri Tanjung meminta mereka untuk menghadapi serangan para hulubalang yang sudah berkhianat. Kakak beradik yang sakti itu merasa ragu, karena mereka akan berhadapan dengan kawan-kawan mereka sendiri. Raja membujuk mereka untuk segera bertindak. Dalam pertempuran ini, Kakak Sulung gugur, karena ia tidak bisa menggunakan kemampuan manteranya dalam keadaan masih penuh keraguan untuk berperang melawan kawan-kawannya sendiri. Kakak Tengah sangat terpukul dengan kematian kakak sulung, ia lalu berusaha sekuat tenaga memenangi pertempuran tersebut hingga akhirnya Negeri Tanjung pun berhasil mengalahkan musuh.



Sebagai rasa terima kasih, Raja Negeri Tanjung lalu menikahkan putrinya yang cantik dengan Kakak Tengah. Ia berharap Kakak Tengah dapat menjadi penggantinya kelak memimpin Negeri Tanjung. Usai pesta pernikahan, Kakak Tengah minta izin kepada Raja untuk pulang ke kampung halamannya. Ia bermaksud mencari adiknya. Pertemuan dengan adiknya sungguh mengharukan. Kakak Tengah menangis sambil memeluk kancah besar yang dipakai untuk menutupi adiknya. Kini, adiknya tidak dapat terlihat lagi, karena hanya Kakak Sulung yang bisa membacakan manteranya. Ia hanya dapat mendengar suara adiknya tanpa bisa melihat wujudnya lagi. Si Tengah menangis sambil memeluk kancah tersebut. Kepada adiknya ia menceritakan bahwa kakak mereka telah tiada. Si Bungsu menangis tersedu-sedu. Mereka saling melepas rindu dengan bercakap-cakap. Setelah puas bercakap-cakap, Kakak Tengah minta izin kepada adiknya untuk kembali ke istana. “Tunggulah, adikku. Kakak pasti akan mencari cara untuk membebaskanmu sehingga kau dapat terlihat kembali,” janji Kakak Tengah. Adik Bungsu kembali menangis tersedusedu. Si Tengah kembali ke kerajaan. Ia terus berpikir bagaimana cara menyelamatkan adiknya. Namun, sampai bertahun-tahun ia belum menemukan caranya.



Sementara itu di hutan, kancah yang menutupi Si Bungsu semakin lama semakin membesar. Di bagian atasnya ditumbuhi pepohonan sehingga kancah itu berubah menjadi sebuah bukit. Bukit itu dinamakan Bukit Kancah. “Pesan moral dari Cerita Rakyat Jambi : Asal Usul Bukit Kancah adalah kita harus selalu menyayangi saudara kita. jangan mengorbankan persaudaraan untuk kepentingan pribadi.”



Kisah Tan Talanai Tan Talanai adalah seorang raja Jambi pada masa lampau.Ia berasal dari Rabu Menarah. Ia menjadi raja menggantikan Raja Jambi sebelumnya, yakni Si Pahit Lidah, yang telah wafat. Tan Talanai memerintah Kerajaan Jambi dengan adil dan bijaksana. Kesejahteraan rakyat pun meningkat dan segenap titah Tan Talanai dipatuhi segenap rakyatnya. Tan Talanai hidup berbahagia, mendapatkan penghormatan dan kemuliaan. Namun demikian hidup Tan Talanai serasa belum Iengkap karena ia belum dikaruniai seorang anak setelah lama berumah tangga. Ia menghendaki seorang anak yang akan dapat melanjutkan takhtanya. Tan Talanai senantiasa berdoa agar dikaruniai anak. Doa dan permohonan Raja Jambi itu akhirnya dikabulkan Tuhan. Istrinya mengandung dan sembilan kemudian lahirlah seorang bayi lelaki. Tak terkirakan gembira dan bahagianya hati Tan Talanai. Namun, kegembiraan dan kebahagiaan itu kiranya tidak berlangsung lama. Hanya beberapa saat setelah bayi lelaki itu lahir, ahli nujum istana menjelaskan adanya bahaya dengan kelahiran bayi lelaki itu. “Anak Paduka ini kelak akan membunuh Paduka!” Tak terkirakan terkejutnya Tan Talanai mendengar ramalan ahli nujum istana. Ia sangat khawatir jika ramalan itu



mewujud menjadi kenyataan. Ia lantas memerintahkan Datuk Emping Besi untuk menghanyutkan anaknya itu di lautan. Datuk Emping Besi memasukkan bayi lelaki itu ke dalam kotak kayu dan kemudian menghanyutkannya ke laut lepas sesuai perintah Tan Talanai. Kotak berisi bayi itu dipermainkan ombak hingga berhari-hari kemudian kotak itu terdampar di tanah Siam. Kebetulan Ratu Siam tengah berada di pantai untuk mencari ikan. Ketika mendapati kotak yang terdampar itu ia lantas memerintahkan prajuritnya untuk mengambilnya. Betapa terperanjatnya Ratu Siam ketika membuka peti itu dan mendapati seorang bayi di dalamnya. Dari tanda-tanda yang terdapat pada peti, Ratu Siam mengetahui jika bayi lelaki itu berasal dari Kerajaan Jambi. Ratu Siam sangat yakin jika bayi lelaki itu adalah putra Raja Jambi. Ratu Siam merawat bayi lelaki itu dengan penuh kasih sayang Iaksana bayi lelaki itu anak kandungnya sendiri. Bayi itu pun tumbuh menjadi anak yang sehat lagi kuat. Seiring bertambahnya sang waktu, anak itu pun berubah menjadi seorang pemuda yang gagah. Tampan pula wajahnya. Berulangulang ia menanyakan siapakah sesungguhnya ayahandanya karena sejak kecil ia senantiasa diledek sebagai anak yang tidak mempunyai ayah. Ratu Siam akhirnya menjelaskan siapa dirinya. “Menurutku engkau adalah putra Raja Jambi”



Si pemuda sangat murka ketika mendengar kisah hidupnya. Ia bahkan berjanji akan membunuh bapaknya yang telah tega membuangnya ketika ia masih bayi. Ia pun berniat menyerang kerajaan Jambi. Kekuatan Kerajaan Siam pun segera disusun dan disiagakan. Waktu penyerangan pun dicanangkan, setahun kemudian. Ratu Siam lantas berkirim surat kepada Tan Talanai. Ia menjelaskan, anak Tan Talanai akan datang memimpin prajurit-prajurit Siam guna menyerang Kerajaan Jambi. Tan Talanai sangat murka mendengar rencana penyerangan Kerajaan Siam tersebut. Terlebih-Iebih pemimpin penyerangan itu adalah anak kandungnya sendiri. Tan Talanai lantas memerintahkan segenap prajuritnya untuk bersiaga. Setahun kemudian kekuatan Kerajaan Siam pun datang ke Jambi. Peperangan yang sengit segera terjadi. Para prajurit Siam mengerahkan segenap kekuatannya untuk menyerang dan kekuatan Kerajaan Jambi mencoba menghadang serta memukul balik. Anak Tan Talanai mengamuk tak terkira, Iaksana hendak menumpahkan segenap kesaktiannya untuk kian menghancurkan. Tan Talanai pun tak kalah dahsyat sepak terjangnya untuk menghancurkan kekuatan Kerajaan Siam.



Bertemulah Tan Talanai dan anaknya sebagai musuh. Keduanya saling serang dengan sengit. Hingga beberapa saat, pertarungan keduanya terlihat seimbang karena keduanya sama-sama sakti. Keduanya saling serang dan saling tangkis. Hingga suatu ketika terbersit di benak Tan Talanai untuk mengalah agar tidak banyak lagi prajurit dari kedua belah pihak yang menjadi korban perang tersebut. Katanya kemudian, “Wahai anakku, jika engkau ingin mengalahkanku, ambilah sebuah batu. Pancunglah sekali batu itu dan gunakan untuk menikamku! Dengan cara itu aku akan menemui kematianku dan engkau akan keluar sebagai pemenang pertarungan kita ini” Anak Tan Talanai terperanjat mendengar penuturan ayahandanya yang membukakan rahasia kesaktiannya agar dirinya dapat memenangkan pertarungan yang sangat sengit itu.



“Sebelum engkau membunuhku, perlu kiranya engkau mendengar penjelasanku dahulu,” kata Tan Talanai lagi. “Aku sungguh- sungguh telah melakukan kesalahan. Aku terlalu percaya pada ahli nujum istana ketika itu hingga membuangmu karena ketakutan dan kekhawatiranku bahwa aku akan mati di tanganmu! Aku serasa telah mendahului kehendakTuhan. Oleh karena itu aku memohon maaf padamu atas kesalahanku dan silakan engkau membunuhku jika ini memang telah menjadi kehendak Tuhan.” Anak Tan Talanai langsung mendekati Tan Talanai. Bukan hendak menusukkan senjata pusakanya, melainkan memeluk kaki ayahandanya. Ia menangis dan memohon maaf atas kelancangan dan keberaniannya melawan ayahandanya itu. Ia terlalu menuruti kemarahan hatinya tanpa berpikir jernih. Tan Talanai dan anaknya saling memaafkan. Bersamaan dengan bersatunya Tan Talanai dan anaknya itu maka perang antara Kerajaan Siam dan Kerajaan Jambi pun berakhir. Kedua kekuatan bahkan saling memaafkan meski sebelumnya saling serang untuk menggapai kemenangan. Anak Tan Talanai kemudian mengajak kedua orangtuanya itu menuju Siam. Mereka hidup berbahagia bersama Ratu Siam. Ia dan kedua orangtuanya terus tinggal di Siam. Anak Tan Talanai bahkan akhirnya menjadi Raja Siam. Raja-raja Siam berikutnya adalah anak keturunannya. Maka, hingga kini orang-orang pun masih percaya jika Raja Siam itu sesungguhnya berasal dari Jambi. Sementara itu orang-orang



pun percaya jika Raja Jambi itu berasal dari Turki, berawal dari Tan Talanai. “Pesan moral dari cerita anak rakyat nusantara kisah tan talanai adalah sebuah kedurhakaan besar bagi seorang anak yang berani terhadap kedua orangtuanya. Antara keluarga memang sudan seharusnya saling memaafkan jika terjadi kesalahpahaman di antara mereka. Bersatu itu akan saling menguatkan, sementara bertengkar akan membawa perselisihan dan keruntuhan. Selain itu jangan percaya kepada ahli nujum karena jika mempercayainya kita akan dibawa kepada kesesatan.”



Dongeng Asal Muasal Daerah Lempur Zaman dahulu, ada tiga bersaudara yang memimpin sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Tiga Puncak Kaum. Si sulung bernama Pamuncak Rencong Talang, si tengah bernama Pamuncak Tanjung Sari, dan si bungsu bernama Pamuncak Koto Tapus. Kerajaan ini dibagi menjadi tiga wilayah, masing-masing dari mereka menguasai satu wilayah, tetapi mereka bertiga selalu berunding dan saling membantu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kerajaan, sehingga mereka dapat memimpin kerajaan tersebut dengan sangat bijaksana. Suatu masa, Pamuncak Rencong Talang sangat gembira, karena hasil panen rakyatnya melimpah. Ia bermaksud rnerayakan dengan mengadakan pesta rakyat. Pamuncak Rencong meminta para hulubatang mempersiapkan pesta yang akan diselenggarakan selama tiga hari tiga malam tersebut. Pamuncak Tanjung Sari dan Pamuncak Koto Tapus sudah pasti diundang oleh kakak sulung mereka untuk menghadiri pesta tersebut.



Malam ketiga adalah undangan bagi para Pamuncak dan keluarganya untuk datang. Namun ternyata, Pamuncak Tanjung Sari tidak dapat hadir, sehingga ia mengutus istri dan anaknya untuk menghadiri acara tersebut. Salah satu putri Pamuncak Talang Sari adalah seorang gadis yang cantik jelita. Ia segera menjadi pusat perhatian para pemuda yang menghadiri pesta tersebut. Karena malam tersebut adalah acara khusus muda-mudi, istri Pamuncak Talang Sari memilih bergabung dengan keluarga Pamuncak Rencong Talang. Sang Putri sangat asyik dengan acara tersebut, tak terasa hari sudah lewat tengah malam. Ibunya menghampiri dan mengajaknya pulang, tetapi ia tidak menghiraukannya. Ketika kedua kalinya sang ibu menghampirinya, Sang Putri justru membentak ibunya. Pemuda yang duduk di sebelahnya bertanya, “Siapakah ibu itu, Putri nan cantik?” “Oh, ia pembantuku!” tukas sang putri. Ibunya sangat terluka mendengar ucapan putrinya. Dalam perjalanan pulang, mereka melewati perjalanan yang cukup jauh untuk sampai di rumah. Ketika melewati sebuah lembah yang berlumpur, tanpa sengaja mereka bertemu dengan sekelompok pemuda yang tadi hadir di pesta. Salah satu pemuda tersebut kembali bertanya siapakah perempuan tua itu kepada sang Putri.



“Aku tadi sudah katakan, ia pembantuku!” ujar si Putri ketus. Semakin terluka hati ibunya mendengarnya. Lalu, sang ibu memanjatkan doa kepada Tuhan agar anaknya mendapat pelajaran atas kedurhakaannya itu. Rupanya, Tuhan mengabulkan permohonan sang ibu. Tiba-tiba, putrinya yang cantik terseret ke dalam lumpur. Sang Putri tak tertolong lagi. Sejak itulah, daerah itu dinamakan Lempur, kini berada di wilayah Provinsi Jambi. “Pesan moral dari Cerita Daerah Jambi : Dongeng Asal Usul Lempur adalah sehebat apa pun, kita harus menghormati orangtua.”