23 0 566 KB
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS) LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh: Raisa Deviria Rahmawati Amelia Dwi Heryani
12100111041 12100111047
Preseptor: Apen Afgani dr., Sp. PD
Program Pendidikan Profesi Dokter SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Al-Ihsan Bandung Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung 2012
1
BAB I PENDAHULUAN Sistemik Lupus Eritematosus (Systemic Lupus Erythematous, SLE) adalah suatu penyakit autoimun multi-organ system dimana kerusakan sel jaringan terjadi karena kegagalan atau kehilangan kemampuan sistem imun tubuh untuk membedakan benda asing (antigen) dan jaringan / sel tubuh sendiri sehingga terjadinya zat anti terhadap inti sel dan autoantigen lainnya. Antibodi yang terlibat dikenal sebagai autoantibodi, yang akan bereaksi terhadap antigen sendiri dan akan membentuk sistem imun kompleks. Sistem imun kompleks ini akan terjadi di dalam jaringan tubuh dan akan mengakibatkan inflamasi terhadap jaringan dan sel. Perjalanan penyakitnya sangat beragam, sulit diprediksi, dan manifestasinya tidak khas. Bisa ringan dengan gejala lemah dan fatigue, penurunan berat badan, artritis atau atralgia, miositis, demam, fotosensitif, bercak - bercak di kulit dan serositis. Dapat pula berat, bahkan mengancam nyawa berupa trombositopenia, anemia hemolisis, nefritis, cerebritis, vaskulitis, pneumonitis, dan miokarditis.
2
BAB II SISTEM IMUN
2.1.
Imunitas •
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit yang utama penyakit infeksi.
•
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap
infeksi disebut system imun. •
Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan
bahan lainnya disebut respons imun. •
System imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap
bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. •
Mikroba dapat hidup ekstraselular, melepas enzim dan menggunakan makanan
yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. •
Mikroba lain menginfeksi sel penjamu dan berkembang biak intraseluler
dengan menggunakan sumber energi sel penjamu. •
Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subjek lain,
menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna atas penjamu. SISTEM IMUN FISIK Kulit Selaput lender • Silia • Batuk • Bersin • •
NONSPESIFIK LARUT Biokimia • • Lisozim (keringat) • Sekresi sebaseus • Asam • lambung • • Laktoferin • • Asam neuraminik Humoral
SELULAR Fagosit Mononuklear Polimorfonuklear Sel NK Sel mast Basofil
SPESIFIK HUMORAL SELULAR Sel B Sel T • • • • •
IgG IgA IgM IgE IgD
• • •
Th1 Th2 Ts/ Tr/Th3 • Tdt h • CT L/Tc
3 • Komplemen • Interferon • CRP
PERBEDAAN SISTEM IMUN NONSPESIFIK DAN SPESIFIK Imunitas Nonspesifik Imunitas Spesifik Positif Positif • Selalu siap • Tidak siap sampai terpajan alergen • Respons cepat • Respons lambat • Tidak perlu ada pajanan sebelumnya Negatif Negatif • Dapat berlebihan • Respons intens • Kekurangan memori • Perlindungan lebih baik pada pajanan berikut PERBEDAAN SIFAT-SIFAT SISTEM IMUN NONSPESIFIK DAN SPESIFIK Nonspesifik Tidak berubah oleh infeksi Umumya efektif terhadap semua mikroba Sel yang penting Fagosit Sel NK Sel mast Eosinofil Molekul yang Lisozim penting Komplemen APP Interferon CRP Kolektin Molekul adhesi Resistensi Spesifisitas
Spesifik Membaik oleh infeksi berulang (=memori) Spesifik untuk mikroba yang sudah mensensitasi sebelumnya Th, Tdth, Tc, Ts Sel B Antibodi Sitokin Mediator Molekul adhesi
A. NONSPESIFIC RESISTANCE: INNATE DEFENSES •
Muncul pada saat lahir dan memberikan perlindungan segera untuk melawan
berbagai macam patogen dan substansi asing. •
Ketiadaan respon spesifik kepada patogen yang spesifik.
•
Innate defense mechanism
First line of defense
Second line of defense 1. First Line of Defense: Skin and Mucous Membranes
4
Kulit dan membrane mukosa tubuh merupakan first line of defense untuk
melawan pathogen.
Barrier fisik maupun
kimia dapat memperkecil kesempatan patogen dan
substansi asing untuk masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan sakit.
Kulit, khususnya bagian epidermis yang memiliki lapisan yang berlapis-lapis
dimana dapat memperlambat masuknya pathogen ke dalam tubuh.
Selain itu juga dengan adanya pergantian sel epidermis secara periodic
membantu memindahkan mikroba dari kulit.
Bakteri jarang menembus pada permukaan epidermis sehat.
Jika permukaannya rusak karena terpotong, terbakar, atau tertusuk, terkadang
patogen dapat menembus epidermis dan menginvasi jaringan yang terdekat atau masuk ke sirkulasi darah terbawa ke bagian tubuh lainnya.
Membran mukosa, menghasilkan mucus yang berfungsi sebagai lubrikan
dan pelembab permukaan .
Karena mukus sedikit kental, hal ini dapat menyababkan terperangkapnya
mikroba dan substansi lain.
Hidung, memiliki rambut hidung yang berfungsi sebagi perangkap dan
menyaring mikroba, debu, dan polutan dari udara inhalasi.
Membran mukosa pada upper respiratory track terdapat silia, memiliki waving
action yang mendorong debu atau mikroba yang terinhalasi terperangkap pada mukus ke arah tenggorokan.
Batuk dan bersin mempercepat perpindahan mukus yang berisi patogen untuk
dikeluarkan dari tubuh.
Aparatus lakrimalis mata, menghasilkan dan menyalurkan air mata sebagai
respon untuk mencegah iritasi.
5
Adanya kedipan menyababkan air mata menyebar ke seluruh permukaan bola
mata.
Saliva, diproduksi oleh kelenjar saliva, membersihkan mikroba dari
permukaan gigi dan dari membran mukosa mulut.
Aliran saliva menurunkan kolonisasi mikroba di mulut.
Pembersihan uretra oleh aliran urin memperlambat kolonisasi mikroba di
sistem urinari.
Sekresi vaginal juga membuang mikroba ke luar tubuh pada perempuan.
Defekasi dan vomiting juga salah satu proses pembuangan mikroba.
Beberapa zat kimia juga berkontribusi untuk pertahanan kulit dan membran
mukosa terhadap invasi mikroba.
Kelenjar sebasea kulit mengeluarkan substansi seperti minyak, sebum, dimana
membentuk lapisan pelindung di atas permukaan kulit.
Asam lemak tak jenuh dalam sebum menghambat pertumbuhan beberapa
patogen bakteria dan fungi.
Tingkat keasaman kulit (pH 3-5) disebabkan oleh sekresi asam lemak dan
asam laktat.
Keringat
membantu
membilas
mikroba
dari
permukaan
kulit
dan
mengandung lisozim, enzim yang mampu menghancurkan dinding sel beberapa bakteri.
Gastric juice, diproduksi oleh kelenjar lambung, merupakan campuran asam
hidroklorik, enzim, dan mukus.
Asam kuat gastric juice (pH 1,2-3,0) menghancurkan banyak bakteri.
Sekret vaginal juga sedikit asam, dimana mengurangi pertumbuhan bakteri.
2. Second Line of Defense: Internal Defense
6
Second line of defense
Internal antimicrobial proteins Phagocytes Natural killer cells Inflammation Fever
a.
Internal antimicrobial proteins Darah dan cairan interstisial mengandung tiga
o
tipe cairan utama protein antimicrobial dimana dapat mengurangi pertumbuhan microbial. 1)
Interferon Limfosit, makrofag, dan fibroblast yang terinfeksi oleh virus memproduksi protein, interferon atau INFs. IFNs tidak mencegah virus dari penyerangan dan penetrasi pada sel inang, tetapi memberhentikan proses replikasi pada virus. Tipe IFNs yaitu α, β, dan γ.
2)
Complement Kelompok yang secara normal protein inaktif dalam plasma darah dan membrane plasma membentuk system komplemen. Ketika teraktivasi, protein “complement” ini meningkatkan beberapa reaksi imun, alergi, dan inflamasi.
3)
Transferrins Iron-binding
protein
disebut
transferin
menghambat
pertumbuhan beberapa bakteri dengan menurunkan jumlah iron yang tersedia. b.
Phagocytes
7 o
Merupakan sel khusus yang melakukan fagositosis.
o
Neutrofil dan makrofag merupakan tipe sel fagosit.
o Ketika terjadi infeksi, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke area yang terinfeksi. o Selama migrasi, monosit membesar dan berkembang menjadi fagosit makrofag yang aktif. o
Wandering macrophages merupakan makrofag yang meninggalkan darah dan bermigrasi ke daerah yang terinfeksi.
o
Fixed macrophages merupakan makrofag yang menetap pada suatu jaringan.
o Contoh fixed macrophages yaitu histiosit pada kulit dan lapisan subkutan, stelle reticuloendothelial cells (Kuffer cells) pada hati, alveolar makrofag pada paru-paru, mikroglia pada sistem saraf, dan makrofag jaringan pada spleen, lymph nodes, dan red bone marrow. o Fagositosis terdiri dari 5 fase, yaitu: 1) Fagositosis dimulai dari kemotaksis, secara kimiawi merangsang
bergeraknya fagosit-fagosit ke lokasi yang rusak. Zat kimia ini menarik fagosit untuk datang pada mikroba, WBC, jaringan sel yang rusak, atau complement protein yang teraktifasi. 2) Penempelan fagosit pada mikroba atau material asing lainnya
disebut adheren. 3) Setelah adheren, membran plasma fagosit membentuk perluasan
tonjolan, pseudopod, dimana menelan mikroba, proses ini disebut ingesti. Fagosom terjadi ketika pseudopod bertemu dan menyatu, mengelilingi mikroorganisme membentuk seperti kantung.
8 4) Fagosom masuk ke sitoplasma dan bersatu dengan lisosom untuk
membentuk suatu kesatuan, struktur besar ini disebut fagolisosom. Lisosome menghasilkan lisozim yang berfungsi menghancurkan dinding mikroba dan enzim digestif lainnya untuk menghancurkan karbohidrat, protein, lemak, dan asam nukleat. Fagosit juga membentuk lethal oxidant, seperti superoxide anion (O2-), hypochlorite anion (Ocl-), dan hydrogen proksida (H2O2), proses ini disebut oxidative burst. 5) Serangan gencar yang dilakukukan oleh lisozim, enzim digestive,
dan olsidan di dalam fagolisosom secara cepat membunuh banyak tipe mikroba. Beberapa material yang tidak bisa dihancurkan yang kemudian struktur tersebut dinamakan residual bodies.. c.
Natural killer cells Sekitar 5-10% limfosit
o
dalam darah adalah natural killler (NK) cells. Biasanya terdapat pada
o spleen, lymph node, dan red bone marrow.
NK cells ini memiliki
o
kemampuan untuk membunuh berbagai jenis mikroba yang infeksius dan beberapa sel tumor. NK cells menyebabkan
o kerusakan seluler melalui dua cara, yaitu: 1)
NK cells mengeluarkan perforins, zat kimia yang apabila
menempel pada membrane plasma menjadi rapuh dan timbul sitolisis.
mikroba membuat membrane
9
2)
NK cells mengeluarkan molekul yang apabila masuk pada sel
target menyebabkan apoptosis. d.
Inflammation Bersifat
o
nonspesifik,
merupakan respon pertahanan tubuh terhadap jaringan yang rusak. Keadan
o
yang
meyababkan inflamasi, seperti pathogen, abrasi, chemical irritations, distorsi atau mengganggu sel , dan temperature yang eksim. Karakteristik signs and
o
symtomp dari inflamasi yaitu kemerahan, nyeri, panas, dan bengkak. Inflamasi
o
dapat
juga
menyebabkan kehilangan fungsi pada daerah yang luka. Pada
o
setiap
kasus,
respon inflamasi memiliki tiga tahap dasar, yaitu (1) vasodilatasi dan peningkata permeabilitas pembuluh darah, (2) emigrasi (perpindahan) fagosit dari darah ke cairan interstisial dan (3) perbaikan jaringan. Substasnsi
o
yang
berkontribusi terhadap vasodiltasi, peningkatan permeabilitas, dan aspek lain dari respon inflamasi, yaitu: 1)
Histamin
Pada respon luka, sel mast di jaringan penyambung dan basofil dan platelet di darah mengeluarkan histamine. Neutrofil dan makrofag menyebabkan pasa daerah yang rusak mengeluarkan histamine dimana mengakibatakan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah.
10
2)
Kinin
Merupakan polipeptida, dibentuk di darah dari precursor yang inaktif yang disebut kininogen, mempengaruhi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dan agent kemotaksis untuk fagosit. 3)
Prostaglandin (PGs)
Suatu lipid, terutama seri E, dimana dihasilkan oleh sel yang rusak dan menyababkan efek histamine dan kinin. PGs juga mendtimulasi emiograsi fagosit untuk meninggalkan darah. 4)
Leukotrien (LTs)
Diproduksi oleh basofil dan sel mast melalui sintesis membran fosfolipid. LTs menyababkan peningktan permeabilitas; juga berfungsi pada penempelan fagosit ke patogen dan sebagai kemotaksis untuk mendukug fagositosis. 5) Menstimulasi
Complement pengeluaran
histamine,
menarik
neutrofil
oleh
kemotaksis, dan mendukung fagositosis; beberapa komponen dapat juga menghacurkan bakteri. e.
Fever o Keadaan abnormal tingginya suhu tubuh yang muncul karena pengatur suhu di hipotalamus terreset. o Muncul selama infeksi dan inflamasi. o Banyak bakteri toxic meningkatkan suhu tubuh dengan cara merangsang pengeluaran fever-causing cytokines seperti IL-1.
11
o Peningkata
suhu
tubuh
meningkatkan
efek
dari
interferon,
menghambat pertumbuhan beberapa mikroba, dan memepercepat reaksi tubuh untuk proses penyembuhan. SUMMARY OF NONSPECIFIC RESISTANCE (INNATE DEFENSES) Component Functions First Line of Defende: Skin ad Mucous Membranes Physical Factors Epidermis of skin Form a physical barrier to the entrance of microbes Mucous membranes
Inhibit the entrance of many microbes, but not as effective as intact skin
Mucus Traps microbes in respiratory and gastrointestinal tracts Hairs Cilia Lacrimal apparatus Saliva
Filter out microbes and dust in nose Together with mucus, trap, and dust from upper respiratory tract Tears dilute and wash away irritating substance and microbes Washes microbes from surface of teeth and mucous membranes of mouth Washes microbes from urethra Expert microbes from body
Urine Defecation and vomiting Second Line of Defense: Internal Defense Antimicrobial Proteins Interferon (IFNs) Protect uninfected host cells from viral infection Complement system Natural killer (NK) cells Phagocytes Causes cytolysis of microbes, promote phagocytes, and contributes to Inflammation inflammation Fever Kill a wide variety of microbes and certain tumor cells Ingest foreign particulate matter Confined and destroys microbes and initiates tissue repair Intensified the effects of interferon, inhibits growth of some microbes, and speeds up body reactions that aid repair
12
2.2.
Autoimunitas •
Adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan adanya kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-tolerance sel B, sel T, atau keduanya (hilangnya self-tolerance tubuh).
•
Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada setiap individu karena limfosit dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk banyaknya self-antigen.
13
•
Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi, serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan dan kerusakan berbagai organ.
•
Baik antibody, maupun sel T, atau keduanya dapat berperan dalam pathogenesis penyakit autoimun.
•
Antigen disebut autoantigen, sedangkan antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen.
Faktor Yang Berperan Dalam Autoimunitas A. Infeksi Dan Kemiripan Molecular Banyak infeksi menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu. Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respons imun yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan terhadap sel T yang selanjutnya merangsang pula sel B untuk membentuk autoantibody. Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Contoh penyakit yang ditimbulkan kemiripan dengan antigen sendiri adalah demam reuma pasca infeksi streptokokus, disebabkan antibody terhadap streptokokus yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan antigen klamidia dan tripanosoma cruzi. Keduanya berhubungan dengan miokarditis. B. Sequestered Antigen Adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak terpajan dengan system imun. Pada keadaan normal, sequesterede antigen tidak ditemukan untuk dikenal system
14
imun. Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atau trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan system imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasectomy diduga disebabkan respons autoimun terhadap sequestered antigen. Inflamasi jaringan juga dapat menimbulkan perubahan struktur pada self-antigen dan pembentukan determinant baru yang dapat memacu reaksi autoimun. C. Kegagalan Autoregulasi Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang dapat meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misal TGF-β), dan gangguan respons terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts (sel T suppresor), sehingga sel Th dapat dirangsang sehingga menimbulkan autoimunitas. D. Aktifasi Sel B Poliklonal Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV), lipopolisakarida, dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai autoantibody.
E. Obat-Obatan Antigen asing dapat diikat oleh permukaan sel dan menimbulkan reaksi kimia dengan antigen permukaan sel tersebut yang dapat mengubah imunogenitasnya. Trombositopenia dan anemia merupakan contoh-contoh umum dari penyakit autoimun yang dicetuskan oleh obat.
15
Mekanisme terjadinya reaksi autoimun pada umumnya belum diketahui dengan jelas. Pada seseorang yang mendapat prokainamid dapat ditemukan antibody antinuclear dan timbul sindrom serupa SLE. Antibody menghilang bila obat dihentikan. F. Faktor Keturunan Penyakit autoimun memiliki persamaan predisposisi genetic. Meskipun sudah diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya terjadi secara kompleks dan diduga terjadi atas pengaruh beberapa gen.
16
BAB III PATOLOGI
3.1.
Lupus
3.1.1
Definisi Lupus merupakan suatu penyakit autoimmune pada jaringan ikat yang
berlangsung kronis dan dapat menyerang keseluruh jaringan/organ tubuh. 3.1.1
Klasifikasi Lupus Tipe penyakit Lupus
1. Discoid or Cutaneous Lupus (DLE), dengan karakteristik :
2.
•
Mempengaruhi kulit, rambut atau membran mukosa.
•
Teridentifikasi dengan suatu rash atau lesi.
•
Titer ANA negatif atau rendah, Didiagnosis dengan biopsi dari rash.
•
10% will evolve into SLE.
•
Treatment : topical or interlesional steroids; antimalarials.
Drug Induced Lupus (DIL) •
Berkembang setelah long-term use of certain medications.
•
>> laki-laki > 50 tahun, gejala sama dengan dengan SLE.
•
Sekurangnya 38 obat dapat menyebabkan DIL.
•
Treatment yang paling penting adalah mengetahui pengobatan yang menjadi penyebab dan tidak melanjutkannya.
3.
•
Sekali pengobatan dihentikan, gejala biasanya hilang dalam 6 bulan.
•
The ANA may remain positive.
Neonatal Lupus •
Bukan SLE atau cutaneous lupus.
17
•
Terjadi ketika antibodi ibu cross over the placenta ke bayi.
•
Dapat mempengaruhi kulit, jantung, hati dan/atau darah fetus dan bayi baru lahir.
•
Dapat menyebabkan suatu temporary rash.
•
Dapat menyebabkan congenital heart block dan mungkin memerlukan pacemaker.
• 4.
Perawatan prenatal yang baik dapat mencegah masalah ini.
Systemic Lupus Erythematous (SLE)
3.2.
Lupus Eritematosus Sistemik
3.2.1
Definisi Adalah penyakit autoimun yang ditandai produksi antibodi terhadap
komponen-komponen inti sel yang mengakibatkan manifestasi klinis yang luas. 3.2.2
Epidemiologi
•
Sering ditemukan pada ras Cina, Negro dan Filipina
•
Ditemukan pada segala usia. Paling banyak 15-40 tahun
•
Wanita : pria à (5,5-9) : 1
3.2.3
Etiologi Etiologi dan patogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Meskipun
demikian, terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan, dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita SLE.
18
Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. 3.2.4
Patofisiologi
Sumber : Harrison’s Principle of internal medicine, Ed 17th
Satu atau lebih faktor pemicu ( hormon seks, sinar ultraviolet, berbagai infeksi), pada orang dengan predisposisi genetik akan mendorong terjadinya keabnormalan pada sel T CD4, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen. Sehingga muncul sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik untuk memproduksi autoantibodi atau sel memori. Autoantibodi yang terbentuk ditujukkan terhadap antigen yang terutama berada pada nukleoplasma (DNA, protein histon, dan non histon) yang bukan tissue spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut anti nuclear antibody (ANA). Dengan antigen yang spesifik, ANA akan membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Pada SLE, telah ditunjukkan terjadi gangguan pada kompleks imun, baik berupa gangguan
19
klirens kompleks imun besar, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan tersebut memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun diluar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa
ini mengaktivasi komplemen sehingga terjadi
peradangan dan menimbulkan gejala. Autoantibodi pada SLE Antibody Antinuclear antibodies Anti-dsDNA
Prevalence,%
Antigen
Clinical Utility
98
Recognized Multiple nuclear
Best screening test; repeated
DNA (double-
negative tests make SLE unlikely High titers are SLE-specific and
stranded)
in some patients correlate with
70
disease activity, nephritis, Anti-Sm
25
vasculitis Protein complexed Specific for SLE; no definite to 6 species of
clinical correlations; most
nuclear U1 RNA
patients also have anti-RNP; more common in African Americans and Asians than
Anti-RNP
40
Caucasians Protein complexed Not specific for SLE; high titers associated with syndromes that to U1 RNA
have overlap features of several rheumatic syndromes including SLE; more common in African
Anti-Ro (SS-A)
30
Americans than Caucasians Protein complexed Not specific for SLE; associated to hY RNA,
with sicca syndrome, subacute
primarily 60 kDa
cutaneous lupus, and neonatal
and 52 kDa
lupus with congenital heart block; associated with decreased risk for nephritis
20
Anti-La (SS-B)
Antihistone
10
70
47-kDa protein
Usually associated with anti-Ro;
complexed to hY
associated with decreased risk
RNA Histones
for nephritis More frequent in drug-induced
associated with
lupus than in SLE
DNA (in nucleosome, Antiphospholipid
50
chromatin) Phospholipids,
2
Three tests available— ELISA s for ardiolipin and
G1,
2
glycoprotein 1
sensitive prothrombin time
cofactor,
(DRVVT); predisposes to
prothrombin
clotting, fetal loss, thrombocytopenia
Antierythrocyte
Erythrocyte
Measured as direct Coombs' test;
membrane
a small proportion develops
Surface and
overt hemolysis Associated with
altered
thrombocytopenia but sensitivity
cytoplasmic
and specificity are not good; this
antigens in
is not a useful clinical test
platelets Neuronal and
In some series a positive test in
(includes anti-
lymphocyte
CSF correlates with active CNS
glutamate receptor) Antiribosomal P
surface antigens Protein in
lupus In some series a positive test in
ribosomes
serum correlates with depression
Antiplatelet
60
30
Antineuronal
60
20
or psychosis due to CNS lupus Note: CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; DRVVT, dilute Russell viper venom time; ELISA, enzyme-linked immunosorbent assay. 3.2.5
Manifestasi klinis Gejala konstitusional
•
Lelah
21
o
Merupakan hal yang sering sekali dijumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya.
o
Lelah akibat penyakit ini memberikan respon terhadap steroid dan latihan.
•
Penurunan berat badan Keluhan ini dijumpai pada sebagian pasien SLE dan terjadi beberapa bulan sebelum diagnosis SLE ditegakkan. Dapat disebabkan oleh penurunan nafsu makan atau gejala gastrointestinal.
•
Demam Demam dapat terjadi sebagai demam subfebris, tetapi dapat juga lebih dari 40 o
C, tetapi tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis dan tidak
menggigil. •
Lain-lain o Rambut rontok sampai terjadi alopesia o hilangnya nafsu makan o pembesaran KGB o sakit kepala o mual o muntah Manifestasi Muskuloskeletal Manifestasi ini paling sering dijumpai pada pasien SLE (90%). Keluhan
dapat berupa myalgia, artralgia, atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya manifestasi klinis lain seperti Artritis reumatoid, polymyositis, atau skleroderma (fibrosis, perubahan vaskular dan autoantibodi) yang juga bisa merupakan bagian dari gejala klinis SLE. Manifestasi Kulit Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa reaksi fotosensitivitas, diskoid LE (Mempengaruhi kulit, rambut atau membran mukosa), lesi vaskuler berupa eritem periungual, teleangiektasis, fenomena
22
raynaud’s, dapat pula berupa bercak pada palatum dalam atau palatum mole, bercak atrofis, eritema atau pigmentasi pada bibir. Manifestasi Paru Dapat berupa ; •
Radang intersisial parenkim paru (pneumonitis)
Pasien akan merasa sesak, batuk kering dan dijumpai ronki di basal. Terjadi sebagai akibat dari kompleks imun yang terdapat pada alveolus atau pembuluh darah paru baik disertai vaskulitis atau tidak. Memberikan respon yang baik terhadap steroid •
Emboli paru
•
hipertensi pulmonal
•
Perdarahan paru
•
Shrinking lung syndrom
Manifestasi Kardiologis Dapat berupa : •
Perikarditis Perikarditis harus dicurigai apabila adanya keluhan nyeri dada substernal, friction rub pada auskultasi, gambaran sillhoutte sign foto thoraks, atau dari gambaran EKG.
•
Miokarditis Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali yang tidak jelas penyebabnya
•
Penyakit jantung koroner Dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif
•
Bising jantung sistolik dan diastolik Akibat adanya vegetasi pada katup jantung akibat kompleks imun Manifestasi Renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% pada penderita yang sebagian
besar terjadi setelah 5 tahun didiagnosa SLE. Gejala yang ada biasanya tidak tampak
23
sebelum adanya kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin >500 mg/24 jam atau +3 semikuantitatif adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan, serta piuria > 5/LPB tanpa bukti adanya infeksi, serta peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada SLE. Manifestasi Gastrointestinal Pada
gastro
intestinal
manifestasinya
tidak
spesifik
karena
dapat
mencerminkan keterlibatan berbagai organ atau sebagai efek samping pengobatan yang diberikan. Manifestasi dapat berupa : •
Disfagia
•
Dispepsia
•
Nyeri abdominal
•
Vaskulitis
•
Pankreatitis akut
•
Hepatomegali Manifetasi Neuropsikiatrik Dapat berupa :
•
Psikosis
•
Kejang
•
Sindroma otak organik
•
Mielitis transvesa
•
Neoropati kranial dan perifer Manifetasi Hemik-Limfatik
•
Limfadenopati sering ditemukan di axilla dan cervical dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dan ukuran bervariasi antara 3-4 cm
•
Splenomegali biasanya disertai hepatomegali
•
Anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa kelainan lainnya.
3.2.6
Diagnosis
24
Kriteria diagnosis ACR 1982. Diagnosa ditegakkan bila didapatkan 4 dari 11 kriteria dibawah ini : 1. Discoid rash Bercak eritema menonjol dgn gambaran SLE keratotik dan sumbatan folikular, parut atropik dpt ditemukan 2. Oral ulcers Ulkus mulut dan nasofaring umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. 3. Photosensitivity Ruam kulit yg diakibatkan reaksi abnormal thdp sinar matahari 4. Arthritis non erosif Melibatkan 2 / lebih sendi perifer, ditandai rasa nyeri, bengkak atau efusi 5. Malar rash Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan lipat nasolabial 6. Immunologic disorder Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau antiiphospholipid 7. Neurologic disorder Kejang atau psikosis tanpa penyebab lain 8. Renal disorder Proteinuria menetap > 0,5 gr/ hari atau Cellular casts: eritrosit, Hb, granular, tubular atau gabungan 9. Antinuclear antibodies (ANA test) Titer
abnormal
dari
ANA
berdasarkan
pemeriksaan
imunofluoresensi/pemeriksaan setingkat pd setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat 10. Serositis Pleuritis: riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yg didengar oleh dokter pemeriksa/bukti efusi pleura, atau Perikarditis: bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yg didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial 11. Hematologic disorder
25
Anemia hemolitik dengan retikulosis atau Leukopenia < 4000/µL pd 2 kali pemeriksaan. Atau Limfopenia < 1500 / µL pada 2 kali pemeriksaan, atau Trombositopenia < 100.000 /mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ sebagaimana dicantumkan dibawah, yaitu: 1. Jenis kelamin wanita pada rentang usia reproduktif 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), dan penurunan berat badan. 3. Muskuloskeletal artritis, atralgia, miositis 4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly rush), fotosensitivitas, SLE membrana mukosa, alopesia, fenomena raynaud, purpura, urtikaria, dan vaskulitis. 5. Ginjal : hematuria, proteinuria, sindrom nefrotik 6. Gastrointestinal : mual, muntah, nyeri abdomen 7. Paru-paru : pleurisy, hipertensi pulmonal, SLE parenkim paru 8. Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel
:
organomegali
(limfadenopati,
splenomegali,
hepatomegali) 10. Hematologi : anemia, leukopenia, dan trombositopenia 11. Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindrom otak organik, mielitis tranversa, neuropati kranial dan perifer.
26
Sumber : Harrison’s Principle of internal medicine, Ed 17th
27
Sumber : Harrison’s Principle of internal medicine, Ed 17th 3.2.7
Pemeriksaan
•
Antinuclear antibodi positif (98%) dengan pola homogen atau rim.
•
Anti DNA antibodi positif (double stranded or native) – spesifisitas sangat tinggi untuk LES. Ditemukan pada hampir seluruh pasien dengan keterlibatan ginjal (90%) dan pada yang dengan aktivitas penyakitnya berat meski tanpa keterlibatan ginjal (50%). Titernya menggambarkan aktivitas penyakit ; tidak ditemukan pada drug-induced LE.
•
Antibodi yang menyerang antigen inti sel (extractable nuclear antigens). Terdiri dari nuclear ribonuclear protein (nRNP) dan nuclear non-nucleic acid glycoprotein (Smith antigen–Sm). Anti-Sm ini memiliki sensitifitas yang tinggi untuk pasien LES, ditemukan pada 25%-30% pasien LES.
•
LE sel positif (70-85%) spesifik untuk LES tetapi tidak sesensitif antinuclear antibodi, sel LE dapat ditemukan pada cairan sinovium, plural, dan perikardial.
•
Ditemukan circulating immune complexs – menggambarkan aktivitas penyakit.
28
•
Penurunan kadar komplemen serum (75%)- menggambarkan utilisasi oleh kompleks imun pada penyakit yang sedang aktif.
•
Peningkatan γ-globulins serum (80%) – menggambarkan peningkatan aktivitas sistem imun.
•
Rheumatoid faktor dapat positif (20-35%)
•
False-positif nontreponemal test untuk syphilis (15-20%)
•
Kadar serum kreatinin harus di periksa secara periodik pada penderita SLE.
3.2.7.1 Kelainan hematologi •
Anemia normositik ringan (50-80%) – umumnya tipe penyakit kronis; kadang-kadang terjadi anemia hemolitik autoimmune dengan hasil Coomb’s test direk yang positif.
•
Leukopenia sedang (