CTEV [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA CTEV DI PUSKESMAS JAGAKARSA



Disusun Oleh: Okky Merben NPM. 19190200005



PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU JAKARTA 2020



KATA PENGANTAR



Penulis mengucapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seminar kasus ini yang berjudul Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya CTEV. Penulisan seminar kasus ini diambil dari salah satu kasus persalinan di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat didalam praktek profesi kebidanan stase pertama. Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, kami tidak akan bisa menyelesaikan seminar kasus ini dengan tepat waktu. Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak banyaknya kepada dosen pembimbing di stase pertama ini dan CI lahan di Puskesmas Kecamatan Jagakarsa, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian seminar kasus ini. Akhir kata, kami berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan



semua pihak yang telah membantu. Semoga seminar kasus ini membawa



manfaat bagi perkembangan ilmu.



Jakarta,10 februari 2020



Penulis



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) atau biasa disebut sebagai kaki pengkor atau clubfoot adalah suatu kelainan pada kaki bayi yang merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe Talipes Equino Varus (TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke bawah dan ke dalam dengan berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi dibandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan dengan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, artrogriposis (imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida (Our Life, 2012). Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) atau Clubfoot, merupakan suatu deformitas muskuloskeletal komplek yang cukup mudah dikenali. Insiden secara umum di dunia sekitar 1-2 dari 1000 kelahiran hidup. (1; 2) Variasi insiden terjadi di asia 0.76 - 0.9 per 1000 kelahiran hidup (3; 4), eropa 1.2 – 1.6 , Amerika serikat 1.0, afrika 1.2 – 2, dan variasi ekstrem terjadi di daerah Hawaii dengan insiden 6.8 per 1000 kelahiran hidup (5; 6; 7; 8; 9; 10) Clubfoot bisa terjadi bilateral atau pun unilateral dengan perbandingan yang sama. Laki-laki lebih sering menderita jika dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1. (Salter, RB.1999). Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus (Cahyono, 2012). Indonesia dengan angka kelahiran ± 19/1000 tiap tahun (11), akan terdapat ± 4,2 juta bayi baru lahir setiap tahunnya. Dengan variasi insiden clubfoot 1-2 tiap 1000



kelahiran hidup, bisa diperkirakan ada ± 4200 bayi baru lahir dengan clubfoot di Indonesia setiap tahunnya. ( Indonesia. 2014). CTEV atau kaki pengkor dapat terjadi karena beberapa hal. Cahyono (2012) menyatakan club foot dapat terjadi karena faktor herediter; defek primer pada jaringan neurogenik, sel otot, dan sel plasma; gangguan vaskularisasi, dan faktor mekanik intrauteri. Hal tersebut dapat menyebabkan perkembangan fetus terhambat, sehingga akan mempengaruhi pembentukan tulang, sendi, dan ligamen. Dengan adanya kelainan pada tulang, sendi, dan ligamen akan menyebabkan terjadi deformitas pada ankle. Deformitas ini dapat berupa inversi atau membengkok ke dalam, atau lebih dikenal dengan talipes varus. Karena terjadi saat janin masih dalam kandungan maka disebut dengan Congenital Talipes Equino Varus. Untuk mengatasi penyakit yang berhubungan dengan deformitas pada tungkai, perlu dilakukan penatalaksanaan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Selain itu, agar penyakit dapat sembuh sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup klien. Asuhan kebidanan diperlukan untuk menyelesaikan segala masalah yang dapat timbul akibat CTEV serta masalah yang diperkirakan akan timbul akibat penyakit tersebut.



1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah definisi dari CTEV? 2. Apakah etiologi dari CTEV? 3. Apakah manifestasi klinis dari CTEV? 4. Bagaimana patofisiologi dari CTEV? 5. Apa sajakah pemeriksaan penunjaang untuk CTEV? 6. Bagaimana penatalaksanaan dari CTEV?



7. Apakah komplikasi dari CTEV? 8. Apa saja pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV? 9. Bagaimana asuhan keperawatan klien dengan CTEV?



1.3 Tujuan Tujuan Umum Menjelaskan tentang konsep penyakit CTEV serta pendekatan asuhan keperawatannya. Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mengerti definisi dari CTEV 2. Mahasiswa mengerti etiologi dari CTEV 3. Mahasiswa mengerti manifestasi klinis dari CTEV 4. Mahasiswa mengerti patofisiologi dari CTEV 5. Mahasiswa mengerti pemeriksaan penunjaang untuk CTEV 6. Mahasiswa mengerti penatalaksanaan dari CTEV 7. Mahasiswa mengerti komplikasi dari CTEV 8. Mahasiswa mengerti pencegahan yang dapat dilakukan untuk CTEV 9. Mahasiswa mengerti asuhan keperawatan klien dengan CTEV.



1.4 Manfaat Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit CTEV serta mampu menerapkan asuhan kebidanan pada klien dengan CTEV.



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Definisi Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah dari posisi normal yang umum terjadi pada anak-anak. CTEV adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (mengkuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial). Congenital talipes equinovarus atau kaki pengkor adalah fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang kalkaneus, navikular, dan kuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar (Cahyono, 2012). CTEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).



Gambar.1 Perbedaan kaki normal dan CTEV pada bayi 2.2 Klasifikasi Menurut Staheli (2009), klasifikasi kaki pengkor dapat berubah dengan berjalannya waktu tergantung pada penanganannya. Berikut adalah kalsifikasi CTEV. 1. Typical Clubfoot, merupakan kaki pengkor klasik, hanya menderita kaki pengkor saja tanpa disertai kelainan lain. Umumnya dapat dikoreksi setelah lima kali pemasanagan gips, dan dengan manajemen Ponseti mempunyai hasil jangka panjang yang baik atau memuaskan, yang termasuk typical clubfoot yaitu : a. Positional Clubfoot, sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai dengan satu atau dua kali pemasangan gips b. Delayed Treated Clubfoot, ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih c. Recurrent Typical Clubfoot, dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan metode lain. Relaps lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan berjalannya waktu menjadi fixed d. Alternatively treated typical clubfoot, termasuk kaki pengkor yang ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti



2. Atypical clubfoot, biasanya berhubungan dengan penyakit yang lain. Penanganan dimulai dengan metode Ponseti, koreksi pada umumnya lebih sulit. Yang termasuk atypical clubfoot yaitu : a. Rigid atau Resistant atypical clubfoot, dapat kurus atau gemuk. Kasus dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut umumnya kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang dalam pada telapak kaki dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat pemendekan metatarsal pertama dengan hiperekstensi sendi metatarsophalangeal b. Syndromic clubfoot, selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan kongenital lain. Jadi kaki pengkor merupakan bagian dari suatu sindroma. Metode Ponseti tetap merupakan standar penanganan, tetapi mungkin lebih sulit dengan hasil kurang dapat diprediksi c. Tetralogic clubfoot, seperti pada congenital tarsal synchondrosis d. Neurogenic clubfoot, berhubungan dengan kelainan neurologi seperti meningomyelocele e. Acquired clubfoot, seperti pada Streeter dysplasia.



2.3 Etiologi



Sampai saat ini penyebab utama terjadinya kaki bengkok (CTEV) tidak diketahui secara pasti. Mihran (2008) dan Hita (2008) menjelaskan beberapa teori penyebab terjadinya CTEV/kaki pengkor : 1. Teori embrionik, antara lain defek  primer yang terjadi pada sel germinativum yang dibuahi yang mengimplikasikan perubahan bentuk. Terjadi antara masa konsepsi dan pada  minggu ke-12 usia kehamilan 2. Perkembangan fetus terhambat



3. Teori neurogenik, yaitu teori yang menjelaskan bahwa defek  primer terjadi pada jaringan neurogenik, terjadi perubahan inervasi intrauterin karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden CTEV pada 35% bayi spina bifida. 4. Teori amiogenik, yang menjelaskan bahwa defek  primer terjadi pada jaringan otot dan terjadi penebalan kapsul fibrosa sendi 5. Faktor keturunan, adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, seperti infeksi Rubella dan pajanan talidomid (Wynne dan Davis) 6. Cairan amnion dalam ketuban yang terlalu sedikit pada waktu hamil (oligohidramnion) : mempermudah terjadinya penekanan dari luar karena keterbatasan gerak fetus 7. Vaskular : Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa hambatan vaskular setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi dengan CTEV didapatkan muscle wasting di bagian ipsilateral, mungkin karena berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior selama masa perkembangan . 8. Kadang kala ditemukan bersamaan dengan kelainan lain seperti Spina Bifida atau displasia dari rongga panggul.



2.4 Patofisiologi Penyebab pasti dari clubfoot sampai sekarang belum diketahui. Beberapa ahli mengatakan bahwa kelainan ini timbul karena posisi abnormal atau pergerakan yang terbatas dalam rahim. Ahli lain mengatakan bahwa kelainan terjadi karena perkembangan embrionik yang abnormal yaitu saat perkembangan kaki ke arah



fleksi dan eversi pada bulan ke-7 kehamilan. Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan menimbulkan deformitas dimana dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterin. Kaki pengkor atau club foot bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki yang pada mulanya normal akan menjadi pengkor selama trimester kedua kehamilan. Kaki pengkor jarang terdeteksi oleh ultrasonografi pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh karena itu, seperti developmental hip dysplasia dan idiophatic scoliosis, kaki pengkor merupakan deformasi pertumbuhan (developmental deformation) (Staheli, 2009). Berikut adalah perubahan yang terjadi pada kaki pengkor atau club foot :



1. Jaringan Lunak  a. Otot gastroknemius mengecil b. Tendon



Achiles



memendek



dengan



arah



mediokaudal



dan



menyebabkan varus; begitu pula tendon halucis longus dan digitorum komunis c. Tendon tibialis anterior dan posterior memendek, sehingga kaki bagian depan (forefoot) menjadi aduksi d. Ligamen antara talus, kalkaneus, naviculare menebal dan memendek. Fasia plantaris menebal dan memendek, dengan kuat menahan kaki pada posisi equines dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi adduksi dan inversi. 2. Tulang dan Sendi Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang tarsal, yang hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan, berada dalam



posisi fleksi, adduksi, dan inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi plantar fleksi hebat, collum melengkung ke medial dan plantar, dan kaput berbentuk baji. Navicular bergeser jauh ke medial, mendekati malleolus medialis, dan berartikulasi dengan permukaan medial caput talus. Calcaneus adduksi dan inversi dibawah talus. Baik pada kaki yang normal ataupun kaki pengkor, tidak ada sumbu gerak tunggal (seperti mitered hinge) dimana talus berotasi pada sumbu tersebut. Sendi-sendi tarsal secara fungsional saling tergantung (interdependent). Pergerakan satu tulang tarsal akan menyebabkan pergeseran tulang tarsal disekitarnya secara bersamaan. Pergerakan sendi ditentukan oleh kelengkungan permukaan sendi dan oleh orientasi dan struktur ligamen yang mengikatnya. Tiap-tiap sendi mempunyai pola pergerakan yang khas (Staheli, 2009). Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi tulang tarsal. Forefoot yang pronasi, menyebabkan arcus plantaris menjadi lebih konkaf (cavus). Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin ke medial makin bertambah fleksi. Pada kaki pengkor, terjadi tarikan yang kuat dari tibialis posterior dan gastrosoleus serta fleksor hallucis longus. Ukuran otot-otot itu lebih kecil dan lebih pendek dibandingkan kaki normal. Di ujung distal gastrosoleus terdapat peningkatan jaringan ikat yang kaya akan kolagen, yang menyatu ke dalam tendon achilles dan fascia profundus. Pada kaki pengkor, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan ankle medial serta sendi tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat



menahan kaki pada posisi equinus dan membuat navicular dan calcaneus dalam posisi adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot betis berbanding terbalik dengan derajat deformitasnya. Pada kaki pengkor yang sangat berat, gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis. Sintesis kolagen yang berlebihan pada ligamen, tendon dan otot terus berlangsung sampai anak berumur 3-4 tahun dan mungkin merupakan penyebab relaps (kekambuhan) (Staheli, 2009). Secara histologi dibawah mikroskop, berkas serabut kolagen menunjukkan gambaran bergelombang yang dikenal sebagai crimp (kerutan). Kerutan ini menyebabkan ligamen mudah diregangkan. Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan gentle, tidak membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari berikutnya, yang memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut. Inilah sebabnya mengapa koreksi deformitas secara manual mudah dilakukan (Staheli, 2009).



2.5 Manifestasi Klinis 1. Pada Talipes Equinovarus didapatkan telapak kaki bayi yang mengarah ke dalam (sulit untuk diluruskan), dengan tumit yang berputar ke dalam, dan otot kaki (betis) yang lebih kecil. 2. Positional equinovarus, yaitu terpuntirnya kaki kearah dalam karena posisi bayi pada saat didalam kandungan (Our Life, 2012) 3. Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and arthrogryposis. Ankle equinus dan kaki supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi dapat dorso



fleksi dan eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso fleksi melebihi 90° tidak memungkinkan (Our Life, 2012) 4. Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti pipi) (Cahyono, 2012) 5. Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang navikular dan badan talus (Cahyono, 2012) 6. Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya menempel pada tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara tulang navikular dan maleolus menghilang (Cahyono, 2012) 7. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal (Cahyono, 2012).



2.6 Pemeriksaan Diagnostik Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada waktu lahir (early diagnosis after birth). Pada bayi normal dengan equinovarus postural, kaki dapat mengalami dorsofleksi dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh bagian depan tibia (Our Life, 2012). Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º. Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan



tulang talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°. Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis CTEV yang tidak dikoreksi (Cahyono, 2012).



2.7 Penatalaksanaan Tindakan operatif, sekitar 90-95% kasus CTEV bisa tangani dengan tindakan non-operatif. Penatalaksanaan non-operatif, pertumbuhan cepat



selama periode



infant memungkinkan untuk penanganan remodelling. Penanganan dimulai saat kelainan didapatkan dan terdiri dari tiga tahap yaitu koreksi dari deformitas, mempertahankan koreksi sampai keseimbangan otot normal tercapai, observasi dan follow up untuk mencegah kembalinya deformitas (Our Life, 2012). Penanganan non operatif antara lain : 1. Splint, dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan koreksi yang akan dilakukan adalah adduksi kaki depan (forefoot), supinasi kaki depan, dan ekuinus. Usahausaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik, kemudian pertahankan posisi ini dengan menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari, atau menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai



tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya. Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan. Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui apakah jenis deformitas CTEV mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfirmasi menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan metode ini 11-58% (Cahyono, 2012). 2. Metode Ponsetti Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa, dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh dr. Ponseti. Metode ini dilakukan secepatnya setelah kelahiran pada usia 7-10 hari. Lebih dari dekade terakhir metode Ponseti telah diterima diseluruh dunia sebagai metode penanganan kaki pengkor yang paling efektif dan paling murah. Kaki yang ditangani dengan metode ini terbukti kuat, fleksibel dan bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk menjalani kehidupan yang normal. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar. Kebanyakan kaki pengkor dapat dikoreksi dengan manipulasi singkat dan gips dalam koreksi maksimal. Setelah kira-kira 5 kali pengegipan cavus, adduktus, dan varus dapat terkoreksi. Tenotomi Achilles perkutan dilakukan pada hampir semua kasus untuk menyempurnakan koreksi equinus, kemudian kaki di gips selama 3 minggu. Koreksi ini dipertahankan dengan foot abduction brace



yang dipakai malam hari sampai anak berumur 2-4 tahun. Pemasangan gips di mulai dari bawah lutut lebih dulu kemudian lanjutkan gips sampai paha atas. Kaki yang ditangani dengan metode ini terbukti kuat, fleksibel dan bebas nyeri, sehingga memungkinkan untuk menjalani kehidupan yang normal.



Gambar.2 Metode Ponseti 3. Bracing Pada akhir pemasangan gips, kaki dalam posisi sangat abduksi, sekitar 60-70o (tight-foot axis). Setelah tenotomi, gips terakhir dipakai selama 3 minggu. Protokol



Ponseti



selanjutnya



adalah



memakai



brace



(bracing)



untuk



mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi. Brace berupa bar (batang) logam direkatkan pada sepatu yang bertelapak kaki lurus dengan ujung terbuka (straight-last open-toe shoes). Abduksi kaki dengan sudut 60-70 o ini diperlukan untuk mempertahankan abduksi calcaneus dan forefoot serta mencegah kekambuhan (relaps). Jaringan lunak pada sisi medial akan tetap teregang hanya jika dilakukan bracing setelah pemasangan gips. Dengan brace, lutut tetap bebas, sehingga anak dapat ”menendangkan” kaki kedepan sehingga meregangkan otot gastrosoleus. Abduksi kaki dalam brace, ditambah dengan bar yang sedikit melengkung, akan membuat kaki dorsofleksi. Hal ini membantu mempertahankan regangan pada otot gastrocnemius dan tendon achilles.



Brace harus dipakai sepanjang hari selama 3 bulan pertama sejak gips terakhir dilepas. Setelah itu anak harus memakai brace ini selama 12 jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang. Sehingga total pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun.



Gambar.3 Bracing Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan operasi, indikasi dilakukan operasi adalah jika terapi dengan gips gagal dan pada kasus Rigid Clubfoot pada umur 3-9 bulan. Operasi dilakukan dengan melepasakan jaringan lunak yang mengalami kontraktur maupun dengan osteotomi. Osteotomi biasanya dilakukan pada kasus clubfoot yang neglected/ tidak ditangani dengan tepat. Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu, tindakan ini dimulai dengan pemanjangan tendon achiles, namun jika masih ada equinus, dilakukan posterior release dengan memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan kaki posterior, dan jika perlu, kapsul talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki dengan melakukan release talonavikularis medial dan pemanjangan tendon tibialis posterior. Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10 tahun atau kalau tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis triple yang terdiri



atas reseksi dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu art. talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid (Our Life, 2012).



2.8 Komplikasi Menurut Cahyono (2012), komplikasi yang dapat terjadi akibat CTEV antara lain :



1. Infeksi, dapat terjadi pada beberapa tindakan operasi 2. Kekakuan dan keterbatasan gerak, kekakuan yang muncul awal berhubungan dengan hasil yang kurang baik



3. Nekrosis avaskular talus, sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral



4. Overkoreksi, mungkin karena pelepasan ligamen interoseum dari persendian subtalus, perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral, adanya perpanjangan tendon.



BAB III TINJAUAN KASUS



3.1 Contoh Kasus By. Ny. A lahir spontan pada pukul 15.30 WIB, menangis kuat, tonus otot aktif, warna kulit kemerahan. Jenis kelamin laki-laki. Lalu dilakukan pemeriksaan fisik keadaan umum baik, kesadaran composmentis. TTV : nadi 150 x/menit, respirasi 50 x/menit, suhu 36,6oC. berat badan 2940 gram, panjang badan 49 cm, lingkar kepala 34 cm, lingkar dada 32 cm, lingkar perut 32 cm. Anus (+), reflek hisap (+), injeksi vit.K (+), imunisasi Hbo (+), pemberian salep mata (+), meko (-), miksi (-), cacat bawaan (+). Terlihat kaki kanan dan kiri bengkok, tangan kiri bengkok dan jari-jari ditangan kanan miring kesamping. Ny. A melahirkan secara normal dengan berat janin yang normal pula. Tidak ada riwayat minum obat dan penyakit tertentu selama kehamilan.



3.2 Pengkajian Bayi Baru Lahir umur 1 Jam tanggal 28 Oktober 2019 pukul 16.30 WIB Bayi Ny. A lahir pada tanggal 28 Oktober 2019 pukul 15.30 WIB, lahir spontan, jenis kelamin laki-laki dan langsung menangis kuat. Dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan umum baik, kesadaraan composmentis, kulit tampak kemerahan, pemeriksaan TTV: Denyut jantung 150 x/menit, suhu 36,50C, pernafasan 50 x/menit. Pada pemeriksaan fisik



didapat hasil berat badan bayi 2940 gram, panjang badan 49 cm, bayi menangis kuat, gerakan aktif, lingkar kepala 34 cm, lingkar dada 32 cm, lingkar perut 32 cm, pemeriksaan fisik bayi: kepala UUB normal, tidak ada penyusupan, tidak hidrosefalus, tidak fraktur, mata simetris tidak ada kelainan, tidak ada pus, konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, hidung tidak ada kelainan, simetris, terdapat lubang hidung, mulut tidak ada kelainan, warna bibir kemerahan, telinga bersih tidak ada pengeluaran, terdapat lubang telinga, telinga simetris, leher asimetris, dada simetris, retraksi dinding dada normal, puting simetris, bunyi jantung normal, abdomen tidak ada pembesaran lien, tidak ada benjolan, tidak ada perdarahan tali pusat, ekstremitas atas dan bawah jumlah jari-jari lengkap, gerakan aktif, terdapat kelainan kongenital kedua kaki bengkok, tangan kiri bengkok dan jari-jari pada tangan kanan miring. Pemeriksaan reflex sucking, moro, rooting, babinsky, swallowing, walking, graps, tonicneck hasilnya positif. Anogenitalia jenis kelamin laki-laki, testis berada dalam scrotum. Terdapat lubang pada penis, anus positif terdapat lubang anus, mekonium belum ada, miksi belum ada punggung dan pinggang tidak ada pembengkakan. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa bayi neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan usia 1 jam dengan CTEV. Penatalaksanaan yang dilakukan adalah, memberikan informed consent kepada klien dan keluarga, Menjaga bayi tetap hangat, serta menunda memandikan bayi selama 6 jam. Melakukan perawatan tali pusat BBL yaitu membungkus tali pusat dengan kasa steril setelah dibersihkan tanpa dibubuhi



apapun, ganti setiap pagi dan sore atau bila kena pipis dibersihkan. Memberi suntikan



vit. K dengan dosis 0,5 ml pada 1/3 paha kiri secara IM.



Memberikan salep mata clorampenicol 1% gram pada mata kanan dan kiri. Memberikan imunisasi Hbo pada 1/3 paha kanan secara IM. Memantau keadaan umum dan tanda-tanda vital pada bayi. Memberikan bayi kembali pada ibu untuk disusui, Memberitahu kepada ibu bahwa bayinya dalam keadaan baik dan aktif akan tetapi ada kelainan pada kaki dan tangan bayi bahwa kedua kaki bayi bengkok, tangan sebelah kiri bengkok dan jari tangan kanan bayi miring kesamping. Memberitahu kepada ibu tanda-tanda bahaya bayi seperti demam, warna kulit. kebiruan, hipotermi/ kedinginan, nafas cepat > 60 x/m atau lambat < 30 x/m, tidak mau menyusui, tali pusat merah, berbau busuk, ikterik/kuning, reflex menghisap lemah, tali pusat berdarah, Memberitahu kepada ibu dan keluarga bahwa bayinya telah diberikan suntikan vitamin K pada paha kiri bayi dengan bertujuan agar mencegah pendarahan di otak. Memberitahu kepada ibu bahwa bayi telah diberikan salep mata yang bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi pada mata saat persalinan, memberitahu bahwa bayi telah diberikan Imunisasi Hbo. Memberitahu ibu bahwa bayi akan segera dikonsulkan ke dokter. Mendokumentasikan hasil pemeriksaan. Kunjungan 6 jam neonatus, tanggal 28 Oktober 2019 pukul 21.30 WIB Ibu mengatakan bayinya menyusu kuat, menangis kuat, sudah BAK ± 2 kali, BAB 1x.



Penulis melakukan pemeriksaan dengan hasil keadaan umum bayi baik, kulit tampak kemerahan, kesadaran composmentis. Setelah melakukan pemeriksaan didapat hasil suhu 36,50C, nadi 148 x/menit, pernafasan 50 x/menit, reflex hisap positif, tidak ada pendarahan dan infeksi tali pusat, sklera tidak kuning, konjungtiva tidak pucat, BB 2940 gram, BAB dan BAK positif. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat kelainan pada kedua kaki bengkok, tangan kiri bengkok dan jari-jari tangan kanan miring kesamping. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa bayi neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan usia 6 jam dengan CTEV. Memberitahu hasil pemeriksaan kepada ibu, bahwa bayi dalam keadaan baik dan tanda-tanda infeksi tidak ada. Memberitahu ibu untuk tetap memberikan ASI sesering mungkin dan tanpa dijadwal (on demand). Memberitahu ibu untuk selalu menjaga kehangatan bayi dengan membungkus bayi dengan kain bedong, jika popok basah beritahu ibu untuk segera menggantinya. Memberitahu ibu tentang cara merawat tali pusat, yaitu setiap kali bayi mandi kassa steril diganti dan jangan diberi obat-obatan apapun dan jaga tali pusat agar tetap kering dan bersih. Jika tali pusat bernanah dan berbau serta bayi demam beritahu ibu untuk segera melapor kepetugas kesehatan. Memberitahu ibu untuk menjemur bayi setiap pagi selama 10-15 menit agar bayi tidak kuning waktu yang baik adalah pukul 07.00-09.00 WIB. Memberitahu ibu untuk selalu menjaga kebersihan bayinya yaitu selalu perhatikan kebersihan bayi dari ujung rambut sampai ujung kaki dan mandikan bayi 2 kali/hari dan jika popok kotor segera untuk menggantinya.



Memberitahu ibu untuk kontrol ulang tanggal 03 November 2019 atau bila ada keluhan. Kunjungan 8 hari neonatus tanggal 05 Desember 2019 pukul 10.00 WIB Ibu mengatakan bayinya sehat, menghisap ASI kuat (baik), tali pusat sudah puput. Ibu mengatakan bahwa telah dikonsulkan ke dokter anak dan akan segera dilakukan terapi untuk kelainan tangan dan kaki. Penulis melakukan pemeriksaan fisik dengan hasil keadaan umum tampak baik, kulit bayi kemerahan, kesadaraan composmentis. tali pusat sudah puput. Suhu 36,7C, berat badan 2985 gram, kenaikan berat badan 45 gram, nadi 145 x/menit, pernafasan 48 x/menit, refleks hisap positif, mata sklera tidak kuning, konjungtiva tidak pucat, BAB dan BAK positif. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat kelainan pada kedua kaki bengkok, tangan kiri bengkok dan jari-jari tangan kanan miring kesamping. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan usia 8 hari dengan CTEV. Dari



hasil



pemeriksaan



tersebut



penatalaksanannya



adalah



memberitahu hasil pemeriksaan kepada ibu, bahwa bayi dalam keadaan baik dan tanda-tanda infeksi tidak ada serta ada peningkatan berat badan bayi. Memberitahu kepada ibu untuk tetap memberikan ASI sampai bayi berusia 2 tahun dan ASI eksklusif



tanpa tambahan apapun sampai 6 bulan.



Menganjurkan ibu untuk menjemur bayinya setiap pagi antara pukul 07.00 s/d 09.00 sekitar 15-30 menit dengan sinar matahari pagi agar bayi tidak kuning dan pakaian bayi dibuka saat bayi dijemur. Menjelaskan tentang cara



perawatan pada tali pusat yang sudah lepas yaitu dengan cara setiap selesai mandi keringkan pusat dengan kasa steril jangan dibubuhi apapun. Memberitahu ibu untuk selalu menjaga kehangatan bayinya, jika popok bayi basah beritahu ibu untuk segera menggantinya. Menjelaskan tentang tandatanda bahaya pada bayi yaitu bayi tidak mau menyusu, demam, bayi kejang, bayi menangis terus menerus, dan apabila ibu menemukan hal tersebut segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan terdekat, Menganjurkan ibu agar bayinya di imunisasi sehingga bayinya tidak terkena beberapa penyakit, diantaranya imunisasi hepatitis, BCG, DPT1, DPT2, DPT3, polio dan campak. Memberitahu kepada ibu untuk kunjungan ulang pada tanggal 29 November 2019 atau bila ada keluhan dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan. Kunjungan 30 hari neonatus tanggal 29 November 2019 pukul 11.30 WIB Ibu mengatakan bayinya sehat dan masih mau menyusu, menghisap kuat dan tidak ada keluhan. Setelah pemeriksaan didapatkan hasil keadaan umum bayi baik, kesadaraan composmentis, kulit tampak kemerahan, gerakan aktif, tidak ada perdarahan dan infeksi pada pusat, RR : 48 x/menit, suhu 36,80 C, nadi 140 x/menit, berat badan 3250 gram kenaikan BB 165 gram. Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah terdapat kelainan pada kedua kaki bengkok, tangan kiri bengkok dan jari-jari tangan kanan miring kesamping. Dari hasil pemeriksaan didapatkan diagnosa neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan usia 30 hari dengan CTEV.



Memberitahu hasil pemeriksaan kepada ibu, bahwa bayi dalam keadaan baik/sehat dan tanda-tanda infeksi tidak ada serta ada peningkatan berat badan bayi. Memberitahu kepada ibu untuk tetap memberikan ASI sampai bayi berusia 2 tahun dan ASI eksklusif tanpa tambahan apapun sampai 6 bulan. Memberikan imunisasi BCG dan polio 1 dan menjelaskan pada ibu bahwa akan timbul koreng dari bekas suntikan BCG. Menjelaskan tentang tanda-tanda bahaya pada bayi yaitu bayi tidak mau menyusu, demam, pendarahan tali pusat, bayi kejang, bayi menangis terus menerus, dan apabila ibu menemukan hal tersebut segera membawa ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Menganjurkan ibu agar bayinya di imunisasi 1 bulan kemudian untuk dilakukan imunisasi DPT 1. Ibu mengerti semua nasehat yang disampaikan dan bersedia melaksanakannya dan mendokumentasikan hasil pemeriksaan.



BAB IV PEMBAHASAN



Bayi Ny. A lahir pada tanggal 28 Oktober 2019 pukul 15.30 WIB, usia kehamilan 40 minggu secara spontan langsung menangis pergerakan aktif dengan jenis kelamin laki-laki dengan berat 2940 gram dan panjang badan 49 cm, A/S : 9/10, anus ada dan terdapat cacat bawaan pada kedua kaki bengkok, tangan kanan bengkok dan jari-jari tangan kiri miring kesamping. Pada bayi Ny.A dilakukan pemeriksaan fisik terdiri dari keadaan umum, kepala, mata, telinga, mulut, leher, dada, abdomen, punggung, tali pusat, alat kelamin, dan refleks untuk melihat adakah kelainan dan ditemukan adanya kelainan atau kecacatan pada bayi Ny. A yaitu kaki dan tangan bengkok, hal ini sesuai dengan teori Wiknjosastro yang menyatakan pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir terdiri dari keadaan umum, kepala, mata, telinga, mulut, leher, dada, abdomen, punggung, tali pusat, alat kelamin dan refleks. Memberitahu Ny. A tentang fakor-faktor resiko dari bayi dengan CTEV/Club foot yaitu bisa dari faktor keturunan, faktor penyakit neurologis, perkembangan fetus terhambat, dan bisa karna cairan ketubannya yang terlalu sedikit pada waktu hamil (oligohidramnion). Hal ini sesuai dengan teori Miihran (2008) dan Hita (2008).



BAB V PENUTUP



5.1 Kesimpulan CTEV (Congeintal Talipes Equino Varus)   sering disebut juga clubfoot adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki, inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Priciples of Surgery, Schwartz). Talipes berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (Ekor kuda) dan varus (bengkok ke arah dalam/medial).Insidens congenital talipes equinovarus yaitu 1 dari setiap 1000 kelahiran hidup. Lebih sering ditemukan pada bayi laki-laki daripada perempuan (2:1). 50% bersifat bilateral. Beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab clubfoot. Pertama, adalah kuman plasma primer merusak talus menyebabkan flexi plantar yang berkelanjutan dan inversi pada tulang tersebut, dan selanjutnya diikuti dengan perubahan pada jaringan lunak pada sendi dan komplex musculotendinous. Teori lainnya kelainan jaringan lunak primer beserta neuromuscular akibat perubahan tulang sekunder. Klinisnya, anak dengan CTEV mempunyai hipotrofi arteri tibialis anterior dalam penambahan terhadap atrofi dari muscular sekitar betis Klasifikasi clubfoot Typical Clubfoot Merupakan kaki pengkor klasik yang hanya menderita. Clubfoot saja tanpa disertai kelainan lain.Positional Clubfoot Sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga akibat jepitan intrauterin.Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih.



Recurrent typical clubfoot Relaps lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti dan umumnya diakibatkan pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling sering terjadi.Alternatively treated typical clubfoot termasuk kaki pengkor yang ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti.Atypical clubfoot Kategori ini pada biasanya berhubungan dengan penyakit yang lain. Koreksi pada umumnya lebih sulit.Rigid atau Resistant atypical clubfoot dapat kurus atau gemuk. Kasus dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani.Syndromic clubfoot Selain kaki pengkor ditemukan juga kelainan kongenital lain.Tetralogic clubfoot -- seperti pada congenital tarsal synchondrosis.Neurogenic clubfoot -- berhubungan dengan kelainan neurologi seperti meningomyelocele.Acquired clubfoot -- seperti pada Streeter dysplasia. Clubfoot bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki yang pada mulanya normal akan menjadi clubfoot selama trimester kedua kehamilan. Clubfoot jarang terdeteksi pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh karena itu, seperti developmental hip dysplasia dan idiopathic scoliosis, clubfoot merupakan deformasi pertumbuhan (developmental deformation).Koreksi clubfoot dengan gips potensi mulailah sedapat mungkin segera setelah lahir. Menentukan letak kaput talus dengan tepat. Mengoreksi (memperbaiki) cavus adalah dengan memposisikan kaki depan ( forefoot ) dalam alignment yang tepat dengan kaki belakang ( hindfoot). Cavus, yang merupakan lengkungan tinggi di bagian tengah kaki [garislengkung kuning], disebabkan oleh pronasi forefoot terhadap hindfoot. Pada akhir penggipan, kaki dalam posisi sangat abduksi sekitar 60-700 setelah gips terakhir dipakai selama 5 minggu. Selanjutnya memakai brace untuk mempertahankan kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi.



Penyebab tersering dari relaps dalah bracing yang tidak berjalan baik. Jika relaps muncul pada anak bayi yang masih memakai brace maka penyebabnya adalah ketidak seimbangan otot kaki yang dapat menyababkan kekakuan dan relaps. Transfer Tendon Tibialis Anterior dilakukan jika anak telah berusia lebih dari 30 bulan dan mengalami relaps yang kedua kalinya. Indikasinya adalah varus yang persisten dan supinasi kaki saat berjalan dan terdapat penebalan kulit disisi lateral telapak kaki. 5.2 Saran Bidan dalam membuat asuhan kebidanan sebaiknya memperhatikan setiap keluhan dari pasien sehingga komplikasi dapat dihindari dan dapat meningkatkan kualitas hidup klien. Selain itu, perawat juga harus berkolaborasi dengan tim medis lain untuk memberi terapi pada klien serta keluarga sehingga penatalaksanaan dapat dilakukan secara maksimal, baik secara mandiri dan berkolaborasi.



DAFTAR PUSTAKA







Ponseti IV. Clubfoot management. J Pediatr Orthop. Nov-Dec 2000;20(6):699700.







Cooper DM, Dietz FR. Treatment of idiopathic clubfoot. A thirty-year follow-up note. J Bone Joint Surg Am. Oct 1995;77(10):1477-89.







Bor N, Herzenberg JE, Frick SL. Ponseti management of clubfoot in older infants. Clin Orthop Relat Res. Mar 2006;444:224-8.







Noonan KJ, Richards BS. Nonsurgical management of idiopathic clubfoot. J Am Acad Orthop Surg. Nov-Dec 2003;11(6):392-402.







Docker CE, Lewthwaite S, Kiely NT. Ponseti treatment in the management of clubfoot deformity – a continuing role for paediatric orthopaedic services in secondary care centres. Ann R Coll Surg Engl. Jul 2007;89(5):510-2.







Ippolito E, Ponseti IV. Congenital club foot in the human fetus. A histological study. J Bone Joint Surg Am. Jan 1980;62(1):8-22.







Scher DM. The Ponseti method for treatment of congenital club foot. Curr Opin Pediatr. Feb 2006;18(1):22-5.







American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2007). Children’s clubfoot: Treatment



with



casting



or



operation?



Retrieved



May



19,



2009



from: orthoinfo.aaos.org. 



Dobbs, M.B., & Gurnett, C.A. (2009). Update on clubfoot: Etiology and treatment. Clinical Orthopaedics and Related Research, 467(5), 1146-1153.







Duke University Department of Orthopaedics. (2009). Calcaneovalgus foot. Retrieved May 19, 2009 from: wheelessonline.com/ortho/calcaneovalgus_foot.







American Academy of Orthopaedic Surgeons. (2009). Intoeing. Retrieved May 19, 2009 from: orthoinfo.aaos.org..







Richards, B.S., Faulks, S., Rathjen, K.E., Karol, L.A., Johnston, C.E., et al. (2008). A comparison of two nonoperative methods of idiopathic clubfoot correction: The Ponseti method and the French functional (physiotherapy) method. The Journal of Bone and Joint Surgery (11), 2313-2321.







Honein, M.A., Paulozzi, L.J. & Moore, C.A. (2000). Family history, maternal smoking and clubfoot: An indication of a gene-environment interaction. American Journal of Epidemiology, 152(7), 658-665.







Gurnett, C.A., Alaee, F., Kruse, L.M., Desruisseau, D.M., Hecht, J.T., et al. (2008). Asymmetric lower-limb malformations in individuals with homeobox PITX1 mutation. American Journal of Human Genetics, 83, 616-622.







Freedman JA, Watts H, Otsuka NY. The Ilizarov method for the treatment of resistant clubfoot: is it an effective solution?. J Pediatr Orthop. Jul-Aug 2006;26(4):432-7.







Ponseti IV. Relapsing clubfoot: causes, prevention, and treatment. Iowa Orthop J. 2002;22:55-6.







Tachdjian Mihran O. Congenital Talipes Equinovarus In: John Anthony Herring [editor]: Pediatric Orthopaedics, From the Texas Scottish Rite Hospital for Children. Saunders elsivier, 2008; 1070-1078.







Reyes Tyrone M, Luna-Reyes Ofelia B. The Ankle and the Foot. In: Kinesiology. Manila, Philipines: UST Printing Office, 1978;152-166.







Graham. Apley, Louis Solomon. Deformities of the Foot. In: Apley’s System of Orthopaedics and Procedurs,1982; 307-9.







David H. Sutherland. Congenital Clubfoot. In: Gait Disorders in Chilhood and Adolescence. William and Wilkins, 1984, 81







http://www.emedicine/spesialities/radiology/pediatrics . Author: Ellen M Chung.







http://www.ijoonline.com, Indian Journal of Orthopaedics, November 2008







Adolescence. The Journal of Bone and Joint Surgery, 77B (5), 733-735







Derscheid, Gary L. dan Terry R. Malone. (1980). Physical Therapy Knee Disorder. Journal of the American Physical Therapy Association, 60(12), 15821589.







Fraser,R.K., D.R.V Dickens, dan W.G Cole. (1995). Medial Physeal Stapling For Primary and Secondary Genu Valgum In Late Childhood and







Hansson, Lars Ingvar dan Mohammed Zayer. (1975). Physiological Genu Varum. Acta Orthop 46(2), 221-229.







Kotwal, Prakash P dan Mayilvahanan Natarajan. 2005. Textboook of Orthopaedics. New Delhi : Elsevier.







Perry, Jacquelin M.D. 1992. Gait Analysis: Normal and Pathological Function. New Jersey : SLACK Inc.







Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC