Dekomposisi Serasah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DEKOMPOSISI SERASAH



Nama NIM Rombongan Kelompok Asisten



: Amanda Rohmatun Hasanah : B1A017033 : II :1 : Suryadi



LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI LINGKUNGAN



KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2019



I.



PENDAHULUAN



Dekomposisi serasah merupakan proses perubahan bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan, baik secara fisik maupun kimia menjadi senyawa anaorganik (mineral) sederhana oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan proses dekomposisi tergantung pada kondisi lingkungan, jenis tanaman, komposisi bahan kimia tanaman, dan umur tegakan. Manfaat yang dapat dihasilkan berupa nutrisi untuk pertumbuhan tanaman secara normal (Watumlawar et al., 2019). Menurut Ningsih et al. (2014), unsur utama serasah adalah selulosa. Proses penguraian selulosa sangat bergantung pada keberadaan mikroorganisme seperti bakteri pendegradasi selulosa. Bakteri memiliki peranan penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Aktivitas bakteri mampu meningkatkan ketersediaan unsur hara melalui proses mineralisasi Karbon dan asimilasi Nitrogen (Waluyo, 2004). Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisahkannya sebagai bahan organik mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi yang bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Sunarto, 2004). Laju dekomposisi serasah merupakan proses yang melibatkan beberapa faktor, antara lain dipengaruhi oleh karakter serasah tersebut dan beberapa faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang terdiri dari organisme dalam tanah (organisme flora dan fauna), curah hujan, suhu, dan kelembaban tempat dekomposisi berlangsung (Budiman et al., 2015). Tingkat kekerasan daun dan beberapa sifat kimia seperti kandungan awal lignin, selulosa, dan karbohidrat berpengaruh terhadap tingkat dekomposisi serasah daun. Proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik bila kondisi lingkungan terkontrol (Hardiwinoto, 1994). Alasan menggunakan sampel tanah dan daun yang berbeda yaitu tanah sawah, tanah hutan, daun jerami dan daun jambu air karena kondisi lingkunan pada



masing- masing sampel tersebut berbeda. Hal tersebut akan mempengaruhi densitas dan diversitas mikroorganisme dekomposer. Selain itu, karakter fisik dan kimia serasah yang akan didegradasi pun berbeda. Perbedaan – perbedaan tersebut akan menghasilkan laju dekomposisi yang berbeda dan laju dekomposisi dari masing – masing sampel dapat dibandingkan. Daun jambu memiliki kandungan lignin yang lebih banyak dibanding daun jerami. Adapun, kandungan lignin daun jambu 28,09%, sedangkan pada daun jerami 21,4%. Tetapi kandugnan selulosa daun jerami lebih banyak dibanding daun jambu yaitu kandungan selulosa daun jambu 28,71%, sedangkan daun jerami 34,34% (Juliastuti, 2011). Biota tanah memiliki banyak fungsi yang memainkan peran penting dalam menentukan sifat kimia, fisika, dan biologis tanah. Organisme tidak hanya berkontribusi pada pembentukan total bahan organik tanah, organisme juga menguraikan organik tanah dan mengubah nutrisi, menentukan komposisi kimia dan fisik dari habitatnya (Brevik et al., 2015). Menurut Ningsih et al. (2014), mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi serasah terdiri dari berbagai genus seperti Genus Pasteurella, Neisseria, Vibrio, Actinobacillus, Pseudomonas, dan lain-lain. Aktivitas bakteri pendegradasi selulosa dipengaruhi pula oleh pH tanah. Jenis bakteri untuk berbagai sampel akan berbeda-beda tergantung jenis nutrisi yang terdapat di tanah sampel (Brevik et al., 2015). Adapun, jamur dianggap sebagai kunci utama dalam dekomposisi serasah karena



kemampuannya



menghasilkan



berbagai



enzim



ekstraseluler,



yang



memungkinkan mereka untuk secara efisien menyerang matriks lignoselulosa rekalsitran yang tidak dapat diuraikan oleh organisme lain (Voriskova & Petr, 2013) Tujuan praktikum dekomposisi serasah yaitu untuk mengevaluasi kecepatan dekomposisi serasah daun oleh konsorsia mikroba.



II.



A.



MATERI DAN CARA KERJA



Materi Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah baskom plastik, jaring,



botol kaca, tabung reaksi, cawan petri, pipet ukur, filler, bunsen, jarum ose, wrapper, label, pipet tetes, timbangan analitik, oven, soil tester, object glass, Drugalsky, dan sprayer. Bahan-bahan yang di gunakan dalam acara praktikum ini adalah sampel daun jambu air dan daun jerami (Oryza sativa), sampel tanah yang diambil dari sawah dan hutan, media PDA (Potato Dextrose Agar), dan media NA (Nutrient Agar), kristal violet, lugol’s iodine, etanol 96%, akuades, dan safranin B.



Cara Kerja 1. Preparasi Perlakuan dan Kontrol Daun jambu air atau daun jerami dibungkus kedalam jaring sebanyak satu daun dan dimasukkan ke dalam tiga baskom yang sudah diisi sampel tanah hutan ataupun tanah sawah serta ketiga baskom tersebut diberi label M1, M2, dan M3. Perlakuan tersebut disiram setiap hari atau jika tanah sampel sudah kering. Preparasi kontrol dilakukan dengan daun jambu air ataupun daun jerami padi dibungkus kedalam jaring dan dimasukkan ke dalam tanah steril pada botol. 2. Pengukuran pH tanah, dan Kelembapan Tanah. Tanah baik pada minggu pertama, kedua, dan ketiga diukur pH dan kelembapan pada soil tester setiap minggu perlakuan, kemudian dicatat hasilnya. 3. Pengukuran Berat Kering Daun Daun jambu air ataupun daun jerami pada minggu pertama, kedua, dan ketiga dioven selama 30 menit dengan suhu 80oC, kemudian daun tersebut ditimbang dan dicatat hasilnya 4. Pengukuran Jumlah Mikroorganisme Total Plate Count (TPC) Sebanyak satu gram sampel tanah sawah ataupun tanah hutan diencerkan hingga pengenceran 10-5 secara aseptis dengan akuades (perbandingan 1:9). Kemudian, pada dua pengenceran terakhir yaitu pengenceran 10-4 dan 10-5 masing-masing di platting pada dua media PDA



dan dua media NA. Kemudian, diinkubasi media PDA selama 5 x 24 jam pada suhu ruang, media NA selama 2 x 24 jam pada suhu ruang. 5. Pewarnaan Gram Bakteri yang dominan diambil dengan jarum ose dan diulas pada object glass yang telah ditetesi akuades. Setelah itu, difiksasi 2-3 kali dan ditetesi larutan kristal violet, lalu ditunggu 60 detik, kemudian cuci, kering, dan dianginkan (CKA). Setelah itu, ditetesi larutan lugol’s iodine dan ditunggu 60 detik, lalu CKA. Kemudian, ditetesi etanol 96% sampai jernih dan CKA. Kemudian, ditetesi safranin dan ditunggu 45 detik, lalu CKA dan diamati di bawah mikroskop. Interprestasi pewarnaan Gram yaitu bila Gram positif terwarnai biru dan bila Gram negative terwarnai merah. 6. Penghitungan Densitas (TPC) Setelah diinkubasi baik NA maupun PDA, kemudian dihitung densitas mikroorganismenya dengan rumus: 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x



1 SP/pp



III. HASIL DAN PEMBAHASAN



Tabel 3.1 Hasil Pengamatan Dekomposisi Serasah Min Romb./ Sampel Sampel Kel.



daun



tanah



Berat daun



TPC Gr



ggu Ke-



pH K(gr)



P(gr)



NA



PDA



a m



(x)



1/I



0,1881



0,2133



Invalid



1



0,7905



0,6733



Invalid



2



0,2797



0,4086



35x105



3



0,1946



0,2008



0



2,0355



2,2585



Tanah



1



1,35



Hutan



2



Daun



Tanah



jerami



sawah



Daun 2/I



0



Jambu Air



Daun 3/I



Jambu



Tanah sawah



Air



Daun 1/II



Jambu Air



2/II



Daun jerami



132,5x 105



Tanah sawah



mba pan (%)



6,2



+



100



7



+



60



16 x 105



6,25



+



55



16 x 105



6,8



+



50



6,9



+



60



1601,75 x105



26,75x



6,25x



106



105



2,12



38x106



17x105



7



+



60



1,298



1,911



40x106



23x105



7



-



72



3



1,7617



2,2981



147x1



3,475x



06



106



6,9



-



90



0



0,6295



0,7804



5,8



+



45



1



0,7108



0,6550



5,5x105



6,8



+



40



2



0,5573



0,6072



370x105



7



-



60



3



0,5457



0,5734



652x105



6,5



+



69



0



2,52



1,95



Invalid



5x104



6,2



-



35



1



1,71



1,59



Invalid



3,5x105



7



-



10



2



1,30



1,88



55x105



6,2



-



35



3



1,45



0,96



79x105



7



+



45



0



10,416



7,495



5,4



+



52



1



0,6537



6,833



6,3



+



55



2



0,1120



7,8413



5,8



+



54



26,825 x10



6



11,9x1 06 Invalid 1720x 105



Tanah Hutan



12 x 105



Kel



19,75x 10



5



30,25x 105



30,75x 105 10,5x 105 5,75x 105



7,8x



5,25x



105



105



3,975x 107



1,5x105



3/II



Daun jerami



Tanah



3



0,3235



4,2004



0



0,2714



0,248



1



0,3670



0,2692



2



0,5744



0,741



3



0,5404



0,4887



Hutan



Penghitungan Densitas (TPC) Minggu Ke-0 1. TPC Bakteri 10-5 = 3+0 = 1,5 10-4 = 3+3 = 3 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 1,5 x



1 10−5



x



1 SP/pp



1 10−1



= 15 x 105 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x =3x



1 10−4



x



1 SP/pp



1 10−1



= 3 x 105 Rata-rata = 15 x 105 + 3 x 105/ 2 = 9 x 105 (Invalid) 2. TPC Jamur 10-4 = 1+0 = 0,5 10-5 = 0+0 = 0 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 0,5 x



1 10−4



x



1 SP/pp



1 10−1



= 5 x 104 Penghitungan Densitas (TPC) Minggu Ke-1 1. TPC Bakteri 10-4 = 11+25 = 18 10-5 = 1+302 = -



1,456x



1,62x10



108



6



6,8



+



70



7,5x105



4,8



+



65



2 x 106



6,9



+



50



Invalid



19 x 100



7



+



68



Invalid



7,7 x106



6,9



+



72



552 x 105 7,7 x 103



1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x 1



= 18 x



x



10−4



SP/pp



1 10−1



= 18 x 105 2. TPC Jamur 10-5 = 0+1 = 0,5 10-4 = 3+1 = 2 1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 0,5 x



1



x



10−5



SP/pp



1 10−1



= 0,5 x 106 1 P



CFU’s/mL = Jumlah koloni x x =2x



1 10−4



1 SP/pp



1



x



10−1



= 2 x 105 Rata-rata = 2 x 105 + 0,5 x 106/ 2 = 3,5 x 105 Penghitungan Densitas (TPC) Minggu Ke-2 1. TPC Bakteri 10-4 = 9 + 55 10-5 = 8 + 3 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 55 x



1 10−4



x



1 SP/pp



1 10−1



= 55 x 105 2. TPC Jamur 10-5 = 5+8 = 6,5 10-4 = 8+3 = 5,5 1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 5,5 x



1 10−5



= 5,5 x 106



x



1 10−1



1 SP/pp



1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 6,5 x



1



x



10−4



SP/pp



1 10−1



= 6,5 x 105 Rata-rata = 6,5 x 105 + 5,5 x 106/ 2 = 30,75 x 105 Penghitungan Densitas (TPC) Minggu Ke-3 1. TPC Bakteri 10-4 = 79 + 12 10-5 = 8 + 9 1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 79 x



1



x



10−4



SP/pp



1 10−1



= 79 x 105 2. TPC Jamur 10-5 = 1+2 = 1,5 10-4 = 9+3 = 6 1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x = 1,5 x



1 10−5



x



SP/pp



1 10−1



= 1,5 x 106 1



1



CFU’s/mL = Jumlah koloni x P x =6x



1 10−4



x



SP/pp



1 10−1



= 6 x 105 Rata-rata = 6 x 105 + 1,5 x 106/ 2 = 10,5 x 105 Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan hasil bahwa pada kelompok 1 rombongan II menggunakan daun jambu air dengan sampel tanah hutan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada minggu ke-0 berat kering daun kontrol sebesar 2,52 gram, sedangkan berat kering daun perlakuan sebesar 1,95 gram. Adapun pH yang dihasilkan adalah 6,2 dengan kelembaban 85%. Hasil penghitungan densitas



NA menggunakan metode TPC menghasilkan hasil yang invalid, sedangkan pada PDA adalah 5 x 104. Selain itu, perlakuan pewarnaan Gram oleh bakteri dominan didapatkan Gram negatif. Pengamatan yang dilakukan pada minggu ke-1 berat kering daun kontrol sebesar 1,71 gram, sedangkan berat kering daun perlakuan sebesar 1,59 gram. Adapun pH yang dihasilkan adalah 7 dengan kelembapan 10%. Hasil perhitungan densitas NA menggunakan metode TPC menghasilkan hasil yang invalid, sedangkan pada PDA adalah 3,5 x 105. Selai itu, pewarnaan Gram yang dilakukan oleh bakteri dominan didapatkan hasil Gram negatif. Pengamatan yang dilakukan pada minggu ke-2 berat kering daun kontrol sebesar 1,30 gram, sedangkan berat kering daun perlakuan sebesar 1,88 gram. Adapun pH yang dihasilkan adalah 6,2 dengan kelembapan 35%. Hasil perhitungan densitas NA menggunakan metode TPC adalah 55 x 105, sedangkan pada PDA adalah 30,75 x 105. Adapun, pewarnaan Gram yang didapatkan pada bakteri dominan adalah Gram negatif. Pengamatan yang dilakukan pada minggu ke-3 berat kering daun kontrol sebesar 1,45 gram, sedangkan berat kering daun perlakuan sebesar 0,96 gram. Adapun pH yang dihasilkan adalah 7 dengan kelembapan 45%. Hasil perhitungan densitas NA menggunakan metode TPC menghasilkan 79 x 105, sedangkan pada PDA adalah 10,5 x 105. Adapun, bakteri dominan yang dilakukan dengan pewarnaan Gram terwarnai biru, sehingga dikatakan bakteri Gram positif. Berdasarkan referensi mikroorganisme dekomposer mengalami peningkatan jumlah tiap mingunya karena makrofauna yang pertamakali mendegradasi akan menghasilkan feses yang akan menjadi makanan untuk mikroorganisme lain sehingga jumlah mikroorganisme semakin banyak (Chapman et al., 2013). Adapun menurunnya jumlah mikroorganisme dapat terjadi karena terlalu panasnya tabung Drugalsky saat melakukan spread yang menyebabkan mikroorganisme yang tidak tahan pada suhu tinggi akan mati. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu pH dan kelembapan sampel tanah. Kelembapan tanah pada minggu ke-3 nilainya 45% karena terlalu



banyaknya



air



yang



disiramkan



pada



tanah



yang



menyebabkan



mikroorganisme yang tidak tahan pada kelembapan tinggi dan pada akhirnya akan mati (Wang et al., 2015). Selama proses dekomposisi, berat kering daun dicek kondisi lingkungannya serta perubahan yang terjadi pada daun tersebut (Hanum & Kuswytasari, 2014). Berdasarkan data pada table dari beberapa sampel dan perlakuan diperoleh hasil yang bervariasi. Kelompok 1/II dengan sampel tanah sawah dan daun jerami memiliki



nilai laju dekomposisi serasah yaitu 0,0125 gram, sedangkan kelompok 3/II dengan sampel tanah sawah dan daun jambu memiliki nilai laju dekomposisi serasah yaitu 0,0816 gram. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa laju dekomposisi daun jambu lebih rendah dari daun jerami dan tanah di sawah memiliki laju dekomposisi terendah. Kelompok 3 rombongan II dengan sampel tanah hutan dan daun jerami memiliki laju dekomposisi terendah yaitu -0,2407 gram, sedangkan kelompok 1 rombongan II dengan sampel tanah hutan dan daun jambu memiliki laju dekomposisi sebesar 0,99 gram. Menurut Mujab et al. (2011), bahwa tanah hutan mengandung lebih banyak mikroorganisme yang membantu proses degradasi. Adapun daun jerami membutuhkan waktu yang lama untuk di degradasi karena daun jerami mengandung lebih banyak lignin dan selulosa (Brealey et al., 2010). Serasah hutan memiliki fungsi yang penting bagi ekosistem, diantaranya untuk mempertahankan kesuburan tanah hutan dan tanaman bergantung pada produktifitas dan laju dekomposisi serasah. Serasah akan mengalami dekomposisi, memberikan sumbangan bahan organik bagi tanah hutan, serta menjadi sumber makanan bagi kehidupan fauna tanah. Akumulasi bahan organik hasil dekomposisi serasah hutan bermanfaat memperkaya hara pada ekosistem. Serasah yang jatuh ke lantai hutan tidak langsung mengalami pelapukan oleh mikroorganisme, tetapi memerlukan bantuan makrobentos. Makrobentos berperan sebagai decomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah daun menjadi bagian-bagian kecil yang kemudian dilanjutkan oleh organisme kecil, yakni mikroorganisme (bakteri dan fungi) yang menguraikan bahan organik menjadi protein dan karbohidrat (Watumlawar et al., 2019).



Gambar 3.1 Hasil TPC Bakteri 10-4 dan 10-5 pada Minggu Pertama Berdasarkan hasil pengenceran bertingkat pada medium NA minggu pertama didapatkan hasil bahwa pengenceran 10-4 sebesar 18 x 105 CFU’s/mL, sedangkan



pada pengenceran 10-5 tidak dihitung dikarenakan hasil yang melebihi batas persyaratan yakni 303 koloni. Hal ini disebabkan karena faktor penyebaran yang kurang merata, sehingga membuat bakteri tumbuh secara bertumpuk dan susah untuk dihitung. Namun, hal ini bias juga terjadi karena adanya kontaminan yang masuk kedalam media dan ikut berproses (Barazandeh, 2008). Prinsip dari isolasi mikroba adalah memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lain yang berasal dri campuran



bermacam-macam



mikroba.



Hal



ini



dapat



dilakukan



dengan



menumbuhkannya dalam media padat, sel-sel mikroba akan membentuk koloni sel yang tetap pada tempatnya (Dwidjoseputro, 2005).



Gambar 3.2 Hasil TPC Jamur 10-4 dan 10-5 pada Minggu Pertama Berdasarkan hasil pengenceran bertingkat pada medium PDA minggu pertama didapatkan hasil bahwa pengenceran 10-5 sebesar 0,5 x 106 CFU’s/mL, sedangkan pada pengenceran 10-4 2 x 105 CFU’s/mL. Hal ini sesuai dengan pernyataan



bahwa



mikroorganisme



semakin



tinggi



tingkat



pengenceran



semakin



yang tumbuh. Tujuan dari pengenceran bertingkat



sedikit yaitu



memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan. Penentuan besarnya atau banyaknya tingkat pengenceran tergantung kepada perkiraan jumlah mikroba dalam sampel (Pelezar & Chan, 1986).



Gambar 3.3 Hasil TPC Bakteri 10-4 dan 10-5 pada Minggu Kedua



Berdasarkan hasil pengenceran bertingkat pada medium NA minggu kedua didapatkan hasil bahwa pengenceran 10-4 koloni sebanyak 55, sehingga ketika dimasukkan kedalam rumus CFU’s/mL menjadi 55 x 105, sedangkan pengenceran 10-5 menghasilkan jumlah koloni yang tidak sesuai persyaratan TPC yang berkisar 30-300 yakni hanya 11 koloni. Menurut Jutono (1980), jumlah koloni tiap cawan petri berkisar antara 30-300 koloni, jika memang tidak ada yang memenuhi syarat maka dipilih yang julahnya mendekati 300. Adapun, faktor yang mempengaruhi perhitungan jumlah bakteri ialah temperature dan pH, berkaitan dengan pertumbuhan bakteri pada suhu dan pH optimum. Komposisi medium yang digunakan untuk penanaman harus sesuai dengan bakteri yang akan dihitung dan segi teknis yaitu alat yang digunakan serta tingkat ketelitian dalam perhitungan.



Gambar 3.4 Hasil TPC Jamur 10-4 dan 10-5 pada Minggu Kedua Berdasarkan hasil TPC pada medium PDA minggu ke-2 didapatkan hasil bahwa densitas jamur pada pengenceran 10-4 adalah 6,4 x 105, sedangkan densitas jamur pada pengenceran 10-5 adalah 5,5 x 106. Tujuan dari pengenceran bertingkat yaitu memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan. Penentuan besarnya atau banyaknya tingkat pengenceran tergantung kepada perkiraan jumlah mikroba dalam sampel (Pelezar & Chan, 1986).



Gambar 3.5 Hasil TPC Bakteri 10-4 dan 10-5 pada Minggu Ketiga



Berdasarkan hasil TPC pada medium NA minggu ke-3 didapatkan hasil bahwa densitas bakteri pada pengenceran 10-4 adalah 79 x 105, sedangkan densitas bakteri pada pengenceran 10-5 tidak dihitung dikarenakan hasil koloni yang tidak memenuhi persyaratan TPC yakni jumlah koloni 30-300 koloni. Hal ini bisa terjadi karena dalam pertumbuhan membutuhkan nutrisi yang mencukupi serta lingkungan yang mendukung pertumbuhan tersebut. Pengaruh faktor ini akan memberikan gambaran yang meningkatkan jumlah sel yang berbeda dan pada akhirnya memberikan gambaran pula terhadap kurva pertumbuhannya. Adapun, pengaruh lainnya yang menyebabkan tumbuhnya koloni sedikit adalah pengaruh oksigen yang didapatkan. Mikroba memiliki kebutuhan oksigen yang berbeda-beda untuk pertumbuhannya. Selain itu, tingkat keasaman (pH) juga mempengaruhi, mikroba dapat tumbuh baik pada pH sekitar netral dan pH 4,6-7,0 yang merupakan kondisi optimal untuk pertumbuhan bakteri (Volk & Wheeler, 1991).



Gambar 3.6 Hasil TPC Jamur 10-4 dan 10-5 pada Minggu Ketiga Berdasarkan hasil TPC pada medium PDA minggu ke-3 didapatkan hasil bahwa densitas jamur pada pengenceran 10-4 adalah 6 x 105, sedangkan densitas jamur pada pengenceran 10-5 adalah 1,5 x 106.



Hal ini sesuai bahwa untuk



memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan dapat dilakukan dengan pengenceran. Medium agar merupakan substrat yang sangat baik untuk



memisahkan



campuran



mikroorganisme.



Teknik



yang



digunakan



memungkinkan jamur tumbuh pada jarak yang berjauhan dari sesamanya dan membentuk koloni. Semua sel dalam koloni dianggap sebagai turunan atau progeny suatu mikroorganisme yang disebut dengan biakan murni (Pelczar & Chan, 1986). Sifat-sifat umum suatu koloni tergantung pada besar kecilnya koloni, terdapat koloni yang hanya berupa suatu titik, adapula yang melebar sampai menutup permukaan medium (Dwidjoseputro, 2005).



Gambar 3.7 Hasil Pewarnaan Gram pada Bakteri Dominan Minggu 0, Minggu Ke-1, Ke-2, dan Ke-3 Berdasarkan hasil pewarnaan Gram pada bakteri dominan didapatkan hasil bahwa pada minggu ke-0, minggu ke-1, dan minggu ke-2 bakteri Gram negatif (-), sedangkan pada minggu ke-3 didapatkan bakteri Gram positif (+). Pengenalan bentuk mikroba (morfologi), selain microalgae harus dilakukan pewarnaan terlebih dahulu agar dapat dibuka dengan jelas. Umumnya, bakteri adalah cahaya yang tumbuh cahaya, hal ini disebabkan karena banyak bakteri yang tidak memiliki zat warna (Waluyo, 2004). Tujuan dari pewarnaan adalah untuk memudahkan pengamatan bentuk sel bakteri, membaca ukuran jasad, membahas struktur dalam dan luar sel bakteri, dan melihat reaksi jasad terhadap pewarna yang diberikan sesuai dengan sifat fisik atau kimia jasad yang dapat diakses. Zat warna yang digunakan dalam pewarnaan asam basa adalah asam, zat warna bagian yang menampung dalam memberikan warna disebut kromofor dan memiliki muatan positif. Sebaliknya, pada zat warna bagian yang membantu memberikan zat warna yang diperlukan zat negative warna basa lebih banyak ditemukan sel-sel, membrane sel, dan sitoplasma sewaktu pada zat warna akan dilaporkan dengan perbandingan negative dalam sel, sehingga mikroorganisme lebih jelas terlihat (Dwidjoseputro, 2005).



IV. KEMPULAN DAN SARAN



A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan praktikum acara ini dapat disimpulkan bahwa laju dekomposisi serasah pada berbagai sampel diperoleh hasil yang berbedabeda. Laju dekomposisi tertingi terdapat pada sampel tanah hutan dengan daun jambu dengan selisih berat daun minggu ke 0 dan ke 3 sebesar 0,99 gram, sedangkan nilai laju dekomposisi serasah terendah dengan sampel tanah sawah dan daun jambu memiliki berat daun minggu ke 0 dan ke 3 yaitu 0,0816 gram. B. Saran Sebaiknya praktikan lebih teliti dalam mengukur TPC agar hasil yang didapat bisa lebih akurat.



DAFTAR REFERENSI



Barazendeh, N., 2008. Microbiology. Jerman: Spinger-Verlag Berlin Heidelberg Media. Brealey, F., Malcom, C. P., & Julie, D., 2010. Nutrients Obtained from Leaf Litter can Improve the Growth of Dipterocarp Seedling. Journal of Phitoloyst, 160(1), pp. 101-110. Brevik, E. C., Cerda, A., Solera, J. M., Pereg, L., Quinton, J. N., Six, J., & Oost, K. V., 2015. The Interdiciplinary Nature of Soil. Soil Journal, 1, pp. 117-129. Budiman, M., Gusti, H., & Herlina, D., 2015. Estimasi Biomassa Karbon Serasah dan Tanah pada Basal Area Tegakan Meranti Merah (Shorea macrophylla) di Areal Arboretumuniversitas Tanjungpura Pontianak. Jurnal Hutan Lestari, 3 (1), pp. 98 – 107. Chapman, S. K., Gregory, S., Stephen, C., Jennifer, A., & George, W., 2013. Leaf Litter Mixtures Alter Microbial Community Development: Mechanisms for Non-Additive Effects in Litter Decomposition. Journal pone, 8(4), pp. 1-9. Dwidjoseputro, D., 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Malang: Djambatan. Hanum, A. M., & Kuswytasari, N. D., 2014. Laju Dekomposisi Serasah Daun Trembesi (Samanea saman) dengan penambahan Inokulum Kapang. Jurnal Sains dan Seni Pomtis, 3(1), pp. 2337-3520. Hardiwinoto, S., Haryono, S., Fasis, M., & Sambas, S., 1994. Pengaruh Sifat Kimia terhadap Tingkat Dekomposisi. Jurnal Sains, 2(4), pp. 25-36. Jutono, J., 1980. Pedoman Praktikum Mikrobiologi Umum. Yogyakarta: UGM. Juliastuti, S. R., 2011. Bioremediasi. Surabaya: ITS. Mujab, A., S., Barokah, A., & La, O., 2011. Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah Minyak Bumi. Jurnal Valensi, 2(3), pp. 430-442. Ningsih, L., Siti, K., & Irwan, L., 2014. Bakteri Pendegradasi Selulosa dari Serasah Daun Avicennia alba Blume di Kawasan Hutan Mangrove Peniti Kabupaten Pontianak. Jurnal Protobiont, 3 (1), pp. 34 – 40. Pelczar, M. J., & Chan, E. S., 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press. Sunarto., 2004. Peranan Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Laut. Bogor: IPB. Volk, W. A., & Wheeler, M. F., 1991. Mikrobiologi Dasar I. Jakarta: Erlangga.



Voriskova, Jana. & Petr., 2013. Fungal Community on Decomposing Leaf Litter Undergoes Rapid Successional Changes. The ISME Journal. 7(1), pp. 477–486. Waluyo, L., 2004. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press. Wang, J., Yeming, Y., Zuouxin, T., Shirong, L., & Osbert, J., 2015. Variation in Leaf Litter Decomposition Across Conntrasting Forest Stands and Contolling Factors at Local Scale. Journal of Plant Ecology, 8(3), pp. 261-272. Watumlawar, Y., Calvyn, F. A. S., Joshian, N. W. S., Jane, M. M., Suria, D., & Jardie, A., 2019. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove (Sonneratia sp.) di Kawasan Hutan Mangrove Bahowo, Kelurahan Tongkaina Kecamatan Bunaken Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1), pp. 1-6.