Diktat Hukum Perlindungan Konsumen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Rani Apriani, SE., SH., MH.



HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN INDONESIA Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen



2/5/2018 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG Jl. HS. Ronggo Waluyo Teluk Jambe Karawang 41361



0



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



KATA PENGANTAR



Puji syukur ke hadirat ilahi Rabbi, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dengan hidayah dan taufik-Nya, penulis dapat menyelesaikan Diktat dengan Judul “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”. Judul Diktat ini sesuai dengan mata kuliah yang terdapat pada kurikulum inti fakultas hukum Universitas Singaperbangsa Karawang. Dalam kurikulum ini terdapat sillabi yang merupakan acuan yang telah disusun oleh penulis. Oleh karena itu, dangan adanya bantuan sillabi ini, penulis meraciknya dalam sebuah Diktat sesuai dengan judul di atas. Racikan materi yang terdapat dalam Diktat ini penulis ambil dari beberapa literatur yang menjadi acuan dan peraturan perundang-undangan NRI No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yang ada kaitannya dengan materi yang tersaji dalam buku ini. Penulis menyadari bahwa Diktat ini masih memiliki kekurangan. Namun penulis ingat suatu semboyan dari supariadi, S.H., M.Hum. yaitu “lebih baik memulai sesuatu dari pada tidak memulai sesuatu”, atau orang bijak mengatakan “bagaimana mau mengetahui kesalahan kalau tidak pernah berbuat”. Atas dasar inilah penulis memberanikan menulis Diktat ini. Diktat ini merupakan Diktat pertama yang dibuat oleh penulis dalam kurun waktu 1 (satu) tahun. Diktat ini penulis persembahkan kepada bangsa dan negara Republik Indonesia, Khususnya almamater Universitas Singaperbangsa Karawang, lebih khususnya Fakultas Hukum. Semoga karya ini memiliki makna yang sangat berarti dalam pengembangan akademik di almamater yang tercinta ini.



Karawang, Januari 2018



Penulis



i



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii BAB 1 : PENGERTIA DAN LINGKUP HUKUM PERLIDUNGAN KONSUMEN ........... 1 A. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen .................................................................... 1 B. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen ......................................................................... 4 C. Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Konsumen dan Asas-asasnya .................. 9 D. Tujuan perlindungan konsumen........................................................................................ 15 E. Pengertian konsumen ........................................................................................................ 16 F. Hubungan Antara Konsumen dan Pelaku Usaha .............................................................. 19 G. Istilah-istilah Umum yang Terdapat dalam Hukum Perlindungan Konsumen ................. 21



BAB 2



: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF DI



INDONESIA ................................................................................................................................ 23 A. Perlindungan Konsumen dalam Hukum Positif Indonesia .............................................. 23 B. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia ....................................................... 24



BAB 3 : TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA BERKAITAN DENGAN KERUGIAN KONSUMEN ....................................................................................................... 31 A. Pengertian Pelaku Usaha................................................................................................... 31 B. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ................................................................................... 32 C. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha .................................................................... 40 D. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ........................................................................................ 44 E. Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen ......... 50



BAB 4 : PERMASALAHAN-PERMASALAHAN TERKAIT DENGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ............................................................................................ 55 A. Permasalahan Iklan atau Promosi ..................................................................................... 55 B. Permasalahan Keamanan Pangan .................................................................................... 64 C. Permasalahan Pernyataan Halal dalam Label .................................................................. 67



BAB 5 : LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERPERAN DALAM UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN ............................................................................................ 69 ii



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



A. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) .............................. 69 B. Badan Perlindungan Konsumen Nasional ....................................................................... 70 C. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) .......................................................... 71 D. Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ................................................................... 72



BAB 6 : KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI SANKSI DALAM UNDANGUNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN ......... 77 A. Sanksi Administrasi .......................................................................................................... 77 B. Sanksi Pidana .................................................................................................................... 77 C. Sanksi Perdata .................................................................................................................. 78 D. Upaya Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perlindungan Konsumen ......................... 78 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 86 LAMPIRAN



iii



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



PENGERTIAN DAN LINGKUP HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN



A. PENGETIAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Pembangunan serta perkembangan perekonomian pada umumnya terhadap berbagai kemajuan yang terjadi pada bidang teknologi, industri, ekonomi maupun perdagangan, mengakibatkan semakin banyak permasalahan yang terjadi di negara kita, khususnya adalah permasalahan mengenai perlindungan konsumen di dalam bidang perindustrian dan perdagangan nasional yang telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Selain itu globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh berbagai bentuk kemajuan teknologi, telekomunikasi dan informatika telah memperluas terhadap ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/ atau jasa yang ditawarkan menjadi bervariasi baik berupa produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak memang cenderung menguntungkan bagi konsumen, hal tersebut dikarenakan kebutuhan konsumen akan barang dan/ atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan mereka untuk dapat memilih berbagai macam jenis kualitas produk barang dan/ atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Akan tetapi kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, bahkan konsumen berada pada posisi yang lemah, karena sebagian besar konsumen cenderung dijadikan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh para pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan melalui iklan di media cetak maupun media online, serta penerapan perjanjian standar yang terkadang cenderung sangat merugikan konsumen di dalam menawarkan serta memperdagangkan produk barang dan/ atau jasa.1 Oleh karena itu berkaitan dengan permasalahan perlindungan konsumen, maka seluruh permasalahan maupun kasus-kasus mengenai sengketa konsumen penyelesainnya dapat dilaksanakan melalui jalur litigasi (pengadilan) ataupun non litigasi (penyelesaian 1



Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011.



1



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



sengketa di luar pengadilan), sebagaimana terdapat di dalam peraturan perundangundangan tentang perlindungan konsumen yang mengatur mengenai hak-hak konsumen yang harus dilindungi oleh undang-undang tersebut. Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau yang sering disebut dengan UUPK dimaksudkan agar dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah maupun lembaga perlindungan konsumen swadaya masyakakat (LPKSM) untuk dapat melakukan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan maupun pendidikan terhadap para konsumen. Upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui pembinaan dan pendidikan konsumen ini sangat penting karena bukan hal yang mudah mengharapkan kesadaran dari para pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha mereka, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Berkaitan dengan prinsip tersebut, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar dari pelaku usaha dalam menjalankan usahanya hanya menggunakan modal pas-pasan atau kecil, akan tetapi selalu mengharapkan keuntungan. Hukum perlindungan konsumen merupakan cabang ilmu hukum yang tumbuh dan berkembang pada tahun 1900-an yang awalnya merupakan respon atas kegiatan indutrialiasasi di Eropa maupun Amerika Serikat, serta jawaban atas tuntutan globalisasi. Industriliasasi dan globalisasi di satu sisi membawa dampak positif dengan tersedianya banyak pilihan barang dan/atau jasa bagi masyarakat baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Namun, di satu sisi juga dapat membawa dampak negatif karena kualitas barang dan/atau jasa yang tidak baik serta kurangnya pengetahuan dan kesadaran konsumen atas produk yang dibelinya. Sehingga pada akhirnya munculnya gerakan – gerakan perlindungan konsumen serta perkembangnya hukum perlindungan konsumen dalam rangka melindungi kepentingan – kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen sebagai salah satu kajian hukum ekonomi, sehingga pembahasannya tidak bisa dilepaskan keterkaitannya dengan bidang hukum privat (hukum perdata) maupun bidang hukum publik (hukum pidana dan hukum administrasi negara) (Ahmadi Miru & Sutarman Yado, 2004 : 2). Hal ini terjadi aspek-aspek hukum diatas juga banyak mengatur dan melindungi kepentingan – kepentingan konsumen,



2



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



selain apa yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).2 Az. Nasution (2011: 37) menjelaskan bahwa hukum perlindungan konsumen sebagai bagaian khusus dari hukum konsumen. Hukum konsumen mengatur secara umum mengenai hubungan dan masalah penyediaan barang dan/atau jasa, sedangkan hukum perlindungan konsumen lebih menitikberatkan pada masalah perlindungan hukum terhadap konsumen. Definisi yang diberikan oleh Az. Nasution ini menggunakan kata hukum yang lebih luas dari undang-undang sehingga tidaklah bergantung pada ada tidaknya hukum positif yang mengaturnya. Hukum perlindungan konsumen tidak harus melulu didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang ada. Selanjutnya pengertian lain yang sangat normatif diberikan oleh Inosentius Samsul (2011: 34) yang menyatakan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah peraturan perundang-undangan, baik undang-undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya serta putusan-putusan hakim yang substansinya mengatur kepentingan konsumen.3 Sedangkan, menurut Yusuf Sofie (2011) perbedaan hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen terletak pada objek yang dikaji. Pada hukum konsumen wilayah hukumnya lebih banyak menyangkut pada transaksi-transaksi konsumen (consumer transactions) antara pelaku usaha dan konsumen yang berobjekan barang dan/atau jasa. Sedangkan dalam hukum perlindungan konsumen, kajian mendalam terletak pada perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen di dalam melakukan transaksitransaksi tersebut. Di dalam hukum konsumen bukannya tidak ada perlindungan hukum terhadap konsumen, namun perlindungan hukumnya berwujud hak-hak dan/atau kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Sedangkan perlindungan hukum dalam hukum perlindungan konsumen merupakan campur tangan negara untuk melindungi individu konsumen dari praktik-praktik bisnis yang tidak jujur (unfair business practices) (Yusuf Sofie, 2011 : 52 -53).4



2



Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011. 4 Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. 3



3



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hukum perlindungan konsumen bagian khusus dari hukum konsumen, dimana tujuan hukum perlindungan konsumen adalah untuk mengatur dan melindungi kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di masyarakat. Ketentuan-ketentuan hukum perlindungan konsumen tersebut terdapat dalam beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hukum perdata, hukum pidana, hukum administrasi, dll.



B. SEJARAH HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Keberadaan hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan sejarah gerakan perlindungan konsumen di dunia. Munculnya gerakan perlindungan konsumen di latar belakangi beberapa hal terkait dengan kedudukan konsumen dan pelaku usaha, Industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. 1. Sejarah Perlindungan Konsumen di Dunia Sejarah gerakan perlindungan konsumen di dunia tidak bisa dilepaskan dari gerakangerakan perlindungan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat, serta negara-negara di Eropa seperti di Inggris, Belanda, Belgia, dll. Secara umum sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empat tahapan, yakni sebagai berikut (Shidarta, 2004: 36-37) :



1)



Tahapan I (1981-1914)



Pada kurun waktu ini merupakan awal munculnya kesadaran masyarakat melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, diakibatkan novel karya Upton Sinclair berjudul The Jungle, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.



2)



Tahapan II (1920-1940)



Pada kurun waktu ini muncul pula buku yang berjudul Your Money’s Worth karya Chase dan Schlink. Karya ini mampu mengunggah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan : fair deal, best buy.



3)



Tahapan III (1950-1960) 4



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Pada dekade 1950-an muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan-gerakan perlindungan dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia dan Belgia, pada 1 April 1960 berdirilah International Organization of Consumer Union (IOCU) yang berpusat di Den Haag Belanda dan dalam perkembangannya pada tahun 1993 berubah menjadi Consumers International (CI) yang berpusat di London Inggris.



4)



Tahapan IV (pasca 1965)



Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni di Amerika Latin dan Karibia berpusat di Cile, Asia Pasifik berpusat di Malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah serta negaranegara maju yang berpusat di London, Inggris.



Amerika Serikat tercatat sebagai negara yang banyak memberikan sumbangan dalam masalah perlindungan konsumen (Zulham, 2013: 27). Perhatian terhadap perlindungan konsumen di Amerika Serikat (1960-an - 1970-an) mengalami perkembangan yang signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik dan hukum, dengan munculnya buku-buku yang membahas perlindungan konsumen, diundangkannya banyak peraturan serta diikuti dengan putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen (Shidarta, 2004: 35). Di Amerika Serikat perkembangan gerakan perlindungan konsumen dapat dilihat dari dikeluarkannya beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang melindungi konsumen. Peraturan tersebut yakni the Food, Drug and Cosmetic Act, dimana materinya berada dibawah kewenangan the Federal Trade Commission (FTC). Selain itu diundangkannya juga the Wool Products Labeling Act (1940), dan the Fur Products Labeling Act (1951), serta the Fiber Products Indetification Act (1958) (Shidarta, 2004: 44). Gerakan perlindungan konsumen di Amerika Serikat pada era 1960-an mencatat kejadian penting yakni pada 15 Maret 1962 pada saat Presiden John F. Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat. Dalam Pidato yang berjudul A Special Message of Protection the Consumen Interest. 5



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Hak-hak



konsumen



yang



disampaikan



oleh



Kennedy menginspirasi



dan



dikembangkan lagi oleh penggantinya yakni presiden L.B. Johnson. Selain mengingatkan kembali empat hak konsumen yang disampaikan oleh Kennedy, ia juga memperkenalkan konsep hukum baru yang berkenaan dengan perlindungan konsumen, yakni product warranty dan product liability. Selain itu, jasa presiden L.B. Jhonson dalam perlindungan konsumen di Amerika Serikat yakni berhasil mengajukan rancangan undang-undang tentang “lending charges” dan “packaging practices” yang disetujui oleh Kongres Amerika Serikat pada tahun 1967 dan 1968 (Shidarta, 2004: 45).



Disetujuinya undang-undang di bidang perlindungan konsumen oleh Kongres Amerika Serikat tidak terlepas dari sosialisasi dan gerakan perlindungan konsumen yang terus menurus terjadi di Amerika Serikat. Salah satu publikasi hasil riset di bidang perlindungan konsumen menggugah kesadaran pihak legislatif dan yudikatif di Amerika Serikat yakni publikasi penelitian yang dilakukan oleh Ralp Nader dalam buku yang berjudul “Unsafe at Any Speed”. pada tahun 1966. Publikasi ini menyimpulkan bahwa mayoritas kendaraan bermotor yang diproduksi di Amerika Serikat mengabaikan keselamatan pengendaranya (Shidarta, 2004: 47).5 Sosialisasi



dan



gerakan-gerakan



perlindungan



konsumen



kemudian



juga



berkembang di berbagai negara baik di Eropa maupun di belahan bumi lainnya. Hal ini ditandai dengan berdirinya organisasi atau lembaga pemerhati yang bergerak di bidang perlindungan konsumen yang bersifat internasional, yakni International Organization of Consumer Union (IOCU) pada tanggal 1 April 1960 yang berpusat di Den Haag Belanda, dan berpindah ke London, Inggris pada tahun 1993. Dalam Perkembangannya selanjutnya IOCU ini berubah nama menjadi Consumers International (CI) (shidarta, 2004: 37). Organisasi CI ini kemudian berkembang dan memiliki beberapa kantor regional di beberapa negara. Pada tahap selanjutnya, perkembangan aspek perlindungan konsumen terjadi di beberapa negara di belahan dunia, dengan pembentukan undang-undang perlindungan konsumen. Negara-negara tersebut antara lain (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2003: 15) :



5



Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2004), hal. 37



6



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1)



Amerika Serikat: The Uniform Trade Practices and Consumer Protection Act tahun 1967, Unfair Trade Practices dan Consumer Protection (Lousiana) Law tahun 1973;



2)



Inggris: The Consumer Protection Act tahun 1961;



3)



Kanada: The Consumer Protection Act dan The Consumer Protection Amendment Act tahun 1971;



4)



Singapura: The Consumer Protection (Trade Description and Safety Requirement Act) tahun 1975;



5)



Thailand: Consumer Act tahun 1979;



6)



Jepang: The Consumen Protection Fundamental Act, tahun 1968;



7)



Australia: Consumer Affairs Act tahun 1978;



8)



Irlandia: Consumer Information Act tahun 1978;



Setelah pengakuan perlindungan konsumen oleh beberapa negara di dunia dengan membentuk undang-undang perlindungan konsumen, akhirnya pada tahun 1985, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakomodir kepentingan-kepentingan konsumen. Salah satu pengakuan PBB terhadap perlindungan konsumen, PBB mengeluarkan Resolusi PBB No. A/RES/39/248 Tanggal 16 April 1985 Tentang Perlindungan Konsumen yang menegaskan perlunya perlindungan bagi konsumen. Resolusi PBB ini populer dengan sebutan Guidelines for Consumer Protection, yang telah menetapkan perlindungan kepentingan-kepentingan konsumen. Perlindungan kepentingan konsumen dalam Guidelines for Consumer Protection meliputi hal-hal sebagai berikut (Abdul Halim Barkatullah, 2010: 32-33)6 :



6



Abdul Halim Barkatullah. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010.



7



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1)



perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;



2)



promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;



3)



tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pelatihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;



4)



pendidikan konsumen;



5)



tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;



6)



kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.



2. Sejarah Perlindungan Konsumen di Indonesia Sejarah gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai terdengar dan populer pada tahun 1970-an, dengan berdirinya lembaga swadaya masyarakat (nongovernmental organization) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada bulan Mei 1973 (Zulham, 2013: 34). Setelah YLKI, sejarah juga mencatat berdirinya Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri sejak Februari 1988. Kedua lembaga tersebut merupakan anggota dari Consumers International (CI) (Shidarta, 2004: 53). Selain kedua lembaga tersebut, saat ini juga telah banyak berdiri lembaga-lembaga perlindungan konsumen di Indonesia antara lain, Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung, Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), Lembaga Konsumen Surabaya, dll.7



Berdirinya lembaga-lembaga konsumen mempunyai peranan yang pentingdalam pergerakan perlindungan konsumen di Indonesia, yang secara aktif memberikan



7



Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2004), hal. 53



8



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



kontribusi terhadap perlindungan konsumen di Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga konsumen ini memiliki peranan penting baik dari segi advokasi maupun dari peningkatan kesadaran masyarakat mengenai perlindungan konsumen.



Perkembangan ke arah perlindungan konsumen di Indonesia selain munculnya lembaga-lembaga konsumen di Indonesia, juga ditandai dengan banyak diselenggarakan studi baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen (Az. Nasution, 2011: 26). Menurut Az. Nasution (2011: 26) naskah-naskah akademik yang patut mendapat perhatian, antara lain naskah akademik yang: 1)



disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman (BPHN);



2)



disusun oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);



3)



dipersiapkan oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) bekerja sama dengan Departemen Perdagangan RI.



C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN ASAS-ASASNYA Secara garis besarnya UUPK mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan konsumen yakni sebagai berikut :



1)



Ketentuan umum memuat pengertian-pengertian tentang istilah yang dipakai dalam UUPK



2)



Asas dan tujuan memuat asas-asas perlindungan konsumen dan tujuan perlindungan konsumen



3)



Hak dan kewajiban memuat hak dan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen maupun pelaku usaha



9



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



4)



Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha memuat sejumlah perbuatanperbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yang berkaitan dengan kegiatan produksi, memasarkan, promosi atau iklan, penjualan dengan obral, dll.



5)



Ketentuan pencantuman klasula baku memuat ketentuan-ketentuan mengenai pencatuman klasula baku.



6)



Tanggung jawab pelaku usaha memuat aturan-aturan tentang tanggung jawab pelaku usaha.



7)



Pembinaan dan pengawasan memuat ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dalam perlindungan konsumen.



8)



Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memuat ketentuan tentang fungsi, tugas, organisasi dan keanggotaan BPKN.



9)



Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) memuat tentang tugas dan fungsu LPKSM.



10)



Penyelesaian sengketa memuat ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan.



11)



Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) memuat tentang fungsi, tugas dan kewenangan BPSK.



12)



Penyidikan memuat tentang ketentuan penyidikan perkara konsumen yang di duga memenuhi unsur-unsur pidana.



13)



Sanksi memuat ketentuan-ketentuan tentang jenis sanksi, meliputi sanksi adminitratif maupun sanksi pidana.



14)



Ketentuan Peralihan memuat ketentuan tentang ketentuan peralihan berkaitan dengan pemberlakuan UUPK. 10



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



15)



Ketentuan Penutup memuat tentang mulainya berlakunya UUPK.



Ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum UUPK yang mengatur dan melindungi konsumen merupakan suatu aturan yang bersifat umum, sehingga tidak bisa dikesampingkan keberadaannya. Sekalipun peraturan-peraturan itu tidak secara khusus untuk melindungi konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen (Az. Nasution, 2011 : 47)8. Az. Nasution (2011 : 47 - 56) menguraiakan sumber-sumber hukum konsumen dan/ atau hukum perlindungan konsumen, sebagai berikut :



1)



Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR Hukum konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya dalam Pembukaan UUD 1945, alinea ke-4 yang berbunyi “...kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia...” Kata “melindungi” mengandung makna asas perlindungan (hukum) ada segenap bangsa Indonesia, tanpa terkecuali.



Landasan hukum lainnya terdapat dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi



kemanusiaan”.



Sesunggungnya apabila kehidupan seseorang terganggu oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan/atau mencegah terjadinya gangguan ini. Hal ini merupakan hak dasar bagi warga negara.



Selanjutnya untuk melaksanakan perintah UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya konsumen, Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR sejak tahun 1978 1993. TAP 1993 tegas mengatakan dalam satu baris kalimat yang menyatakan bahwa “...meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi konsumen”.



8



Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011.hal 48



11



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



2)



Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata Hukum konsumen dalam hukum perdata yakni dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas, yakni hukum perdata (KUH Perdata), hukum dagang (KUH Dagang), serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis



(hukum



adat).



Jika dilihat secara keseluruhan, kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dengan konsumennya termuat dalam (Az. Nasution, 2011 : 53)9 :



1.



KUH Perdata, terutama Buku II, III, dan IV.



2.



KUH Dagang, Buku I dan II.



3.



Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-



kaidah hukum bersifat perdata tentang subyek-subyek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dengan



3)



konsumen.



Hukum Konsumen dalam Hukum Publik Hukum konsumen dalan hukum publik yang dimaksud adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Adapun yang termasuk dalam hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen adalah Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata/ Pidana, Hukum Internasional khususnya Hukum Perdata Internasional.



Pasal 2 UUPK menyebutkan bahwa Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan



9



Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011. hal 53



12



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang 10



nasional



1.



yaitu



:



Asas Manfaat; Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala



upaya



dalam



penyelenggaraan



perlindungan



konsumen



harus



memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan (Penjelasan Pasal 2 UUPK).



Segala upaya dalam perlindungan konsumen hendaknya harus memberikan manfaat baik bagi konsumen dan pelaku usaha. Bagi konsumen pemberlakuan UUPK yang mengatur menganai hak dan kewajiban telah mempertegas posisinya sebagai konsumen yang di lindungi oleh hukum. selain itu, pemberlakuan UUPK juga telah memberikan kemudahan-kemudahan bagi konsumen untuk menuntut haknnya apabila di rugikan oleh pelaku usaha. Sedangkan bagi pelaku usaha pemberlakuan UUPK tidaklah dimaksudkan untuk mematikan kegiatan usaha pelaku usaha, namun justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.



2.



Asas Keadilan; Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil (Penjelasan Pasal 2 UUPK).



Melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, diharapkan konsumen maupun pelaku usaha dapat mendapatkan dan memperjuangkan hak-hak secara adil sebagaimana telah ditentukan dalam UUPK.



10



Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Psl 2



13



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



3.



Asas Keseimbangan; Asas keseimbngan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual (penjelasan Pasal 2 UUPK).



Penyelenggaraan perlindungan konsumen diharapkan dapat mengakomodir segala macam kepentingan-kepentingan baik konsumen, pelaku usaha dan pemerintah secara seimbang, baik dari aspek regulasi maupun penegakkan norma-norma



4.



perlindungan



konsumen.



Asas Keamanan dan Keselamatan; Asas keamanan dan keselamatan dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan (Penjelasan Pasal 2 UUPK). Penyelenggaran perlindungan konsumen diharapkan memperhatikan aspek-aspek keamanan dan keselamatan bagi konsumen. Dalam mewudkan keamanan dan keselamatan konsumen atas barang dan/atau jasa diawali dengan membuat regulasi yang baik, standarisasi, serta optimalisasi lembagalembaga pengawas.



5.



Asas Kepastian Hukum. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum



(Penjelasan



Pasal



2



UUPK).



Pemberlakuan UUPK diharapkan dapat memberikan pedoman yang pasti terhadap penyelenggaran perlindungan konsumen di Indonesia. Semua pihak harus menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan apa yang telah ditentukan. Penegakkan hukum terhadap pelanggaran penyelenggaraan perlindungan konsumen dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan, dengan tetap



memperhatikan



keadilan



serta



kemanfaatan



bagi



para



pihak.



Ahmadi Miru dan Sutaraman Yado (2004 : 26) mengemukakan bahwa substansi Pasal 2 UUPK serta penjelasannya, menunjukan bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia seutuhnya yang berlandaskan 14



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



pada falsafah negara Republik Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan penjelasan umum dalam UUPK, bahwa UUPK ini dirumuskan dengan mengacu kepada filosofi pembangunan



nasional.



Ahmadi Miru dan Sutarman Yado (2004 : 26) mengemukakan bahwa ke-lima asas yang terdapat dalam Pasal 2 UUPK, jika dilihat dari substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas11 yakni :



1.



Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen;



D.



2.



Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan



3.



Asas kepastian hukum.



TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Diatur dalam Pasal 3 UUPK, yakni sebagai berikut :



1)



Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;



2)



Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif permakaian barang dan/atau jasa.



3)



Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.



4)



Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.



11



Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 26



15



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



5)



Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.



6)



Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.



E. PENGERTIAN KONSUMEN Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/ konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.



Sebagai suatu konsep, konsumen telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen. Sejalan dengan perkembangan itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen.



Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna barang dan/jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 ayat (2), konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Unsurunsur definisi konsumen12 adalah sebagai berikut :



1.



Setiap Orang



12



Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821.psl 1



16



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan atau jasa. Istilah orang sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.



2.



Pemakai



Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK, kata pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan presentasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan atau jasa. 3.



Barang dan atau jasa



Berkaitan dengan istilah barang dan atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini produk sudah berkonotasi barang atau jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. 4.



Yang Tersedia dalam Masyarakat



Barang dan atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di pasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi 17



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti future trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan. 5.



Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain



Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan atau jasa itu diperuntukkan bagi orang lain atau di luar diri sendiri dan keluarganya, bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan.



6.



Barang dan atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan



Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Hal tersebut cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.



Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orang adalah konsumen karena membutuhkan barang dan jasa untuk mempertahankan hidupnya sendiri, keluarganya, ataupun untuk memelihara atau merawat harta bendanya. Dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer.



Mereka



membeli



barang



bukan



untuk



dipakai,



melainkan



untuk



diperdagangkan. Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir. Yang dimaksud di dalam UUPK sebagai konsumen adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain.



18



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Konsumen memiliki posisi yang sangat penting dalam kegiatan jual beli yang juga menjadi faktor penting bagi kelancaran dunia usaha bagi pelaku usaha, karena konsumen lah yang akan mengkonsumsi barang dan atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha tanpa memperdagangkannya kembali, yang mana akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha untuk kelangsungan usahanya. Konsumen sebagai pemakai barang dan atau jasa memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika terjadi tindakan yang tidak adil terhadap dirinya, maka konsumen dapat bertindak lebih jauh.



untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain konsumen tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, Pemerintah berupaya memberikan perlindungan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.



F. HUBUNGAN ANTARA KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Persoalan hubungan pelaku usaha dengan konsumen biasanya dikaitkan dengan produk barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh teknologi, khususnya teknologi manufaktur dan teknologi informasi. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Hubungan langsung dapat terjadi apabila antara pelaku usaha dengan konsumen langsung terikat karena adanya perjanjian yang mereka buat atau karena ketentuan undang-undang. Apabila hubungan itu terjadi dengan perantaraan pihak lain, maka terjadi hubungan tidak langsung. Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen pada dasarnya berlangsung terus menerus dan berkesinambungan karena keduanya saling membutuhkan dan saling interdependensi. Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga barang dan atau jasa tanpa diikuti dan ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan umum mengenai bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Kitab Undang19



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis kecuali untuk perjanjian perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan atau fisik tertentu. Suatu perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan untuk syarat sahnya suatu perjanjian ditegaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata13, yaitu: 1.



Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya



2.



Kecakapan untuk membuat suatu perikatan



3.



Suatu hal tertentu



4.



Suatu sebab yang halal.



Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang



yang berlaku



sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang dan suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata). Alasan pokok terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha yaitu kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu. Pelaksanaannya senantiasa harus menjaga mutu suatu produk agar konsumen dapat menikmati penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian barang dan atau jasa tersebut secara layak. Hubungan pelaku usaha dengan konsumen merupakan hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban. Apabila telah terjadi kesepakatan atau perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen maka akan melahirkan hak dan kewajiban pelaku usaha dan konsumen. Hubungan pelaku usaha dan konsumen akan berlangsung secara terus menerus karena dilandasi pada kebutuhan sehingga memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi. Hubungan ini terjadi karena keduanya saling membutuhkan. Apabila diikuti pola distribusi yang dikenal dalam ilmu manajemen pemasaran, akan diperoleh gambaran sebagai berikut : 13



Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005.



20



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1.



Produsen ------------------------------------------------- Konsumen



2.



Produsen ----------------- Pengecer -------------------- Konsumen



3.



Produsen ----- Pedagang Besar ------ Pengecer ---- Konsumen



4.



Produsen -- Agen -- Pedagang Besar -- Pengecer -- Konsumen



5.



Produsen ---------- Agen --------- Pengecer ---------- Konsumen



Dari pola-pola distribusi di atas tampak bahwa produk sampai ke tangan konsumen langsung dari produsen-pelaku usaha, yaitu dengan menjual produk langsung ke rumah konsumen atau konsumen datang ke tempat pelaku usaha. Hal ini biasanya berlaku untuk produk-produk home industry meskipun tidak tertutup kemungkinan dipakai untuk produk perusahaan lainnya. Akan tetapi, yang umum terjadi adalah pola-pola yang memakai pedagang perantara, apakah itu agen, pedagang besar, atau pengecer. Makin jauh jangkauan atau pasar sasaran, makin banyak pihak yang terlibat di dalam peredarannya. Dengan kata lain, produk yang sampai ke tangan konsumen telah melalui proses yang di dalamnya terikat hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen yang saling membutuhkan dan terkait juga dengan pihak yang berbeda, seperti tergambar dalam pola-pola distribusi di atas.



G. ISTILAH-ISTILAH



UMUM



YANG



TERDAPAT



DALAM



HUKUM



PERLINDUNGAN KONSUMEN Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata Consumer (Inggris-Amerika), atau Consument / konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata Consumer itu adalah setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang/jasa tersebut nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana penggunaan tersebut.



Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil maupun formal makin terasa sangat penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor penggerak produsen barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha yang dalam prakteknya tidak lepas dari keterkaitan dengan konsumen. Jadi secara langsung atau tidak langsung konsumenlah yang merasakan dampaknya. Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha bukan merupakan hal baru. Hal ini disebabkan banyaknya transaksi yang dibuat di luar peraturan yang ada. Dalam perkembangannya konsumen semakin menyadari akan hak-haknya dan berjuang dalam 21



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



hal konsumen menerima prestasi yang tidak sesuai dengan isi kontrak, barang yang dibeli kualitasnya tidak bagus atau ada cacat tersembunyi yang merugikan konsumen dan adanya unsur penipuan atau paksaan dalam melakukan transaksi.



Gerakan perlindungan konsumen akhirnya lahir sebagai cabang hukum baru dalam perkembangan ilmu hukum. Lahirnya cabang hukum baru ini didasari oleh kesadaran akan posisinya yang semakin lemah. Hal ini disebabkan oleh perkembangan dunia bisnis yang sangat pesat. “Mengingat bahwa perkembangan dunia bisnis yang semakin cepat maka perlu diusahakan suatu bentuk perlindungan konsumen yang semakin efektif pula. Sebab jika tidak maka posisi konsumen tidak lagi menjadi subjek dalam bisnis, tetapi menjadi objek potensial dirugikan.”



Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang tersebut di atas cukup memadai. “Kalimat yang menyatakan ‘segala yang menjamin adanya kepastian hukum’, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.”



Meskipun undang-undang ini disebut sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian, apalagi karena keberadaan perekonomian nasional banyak ditentukan oleh pelaku usaha.



22



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA



A. PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA Pengaturan hukum perlindungan konsumen adapun hukum positif Indonesia yang mengatur tentang perlindungan konsumen terdiri dari :



1.



Dalam UUD 1945 yang merupakan landasan yuridis tertinggi, tercantum dalam pasal 27 ayat 1, yang menyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga Negara adalah sama sederajat, sehingga begitu juga seharusnya posisi antara konsumen dengan pelaku usaha.



2.



Dalam GBHN sejak tahun 1993 (Ketetapan MPR No. II/MPR/1993) secara eksplisit mulai dicantumkan kata perlindungan konsumen.



3.



Undang –undang terutama UU. No 8 tahun 1999 tentang hukum perlindungan konsumen, disamping UU lainnya yang juga secara tidak langsung berkaitan dengan masalah konsumen, seperti UU. No. 5 tahun 1995 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.



TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam UU tentang perlindungan kosumen diatur khusus dalam satu bab, yaitu bab VI, mulai dari pasal 19 samapai dengan pasal 28, dari sepuluh pasal tersebut dapat dipilah sebagai berikut : 1.



Tujuh pasal yaitu 19, 20, 21, 24, 25, 26, dan 29 yang mengatur tentang tangung jawab pelaku usaha.



2.



Dua pasal, yaitu pasal 22 dan 28 yang mengatur masalah pembuktian.



23



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



3.



Satu pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa dalam hal pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen yaitu terdapat dalam pasal 23.



Pada dasarnya tanggung jawab pelaku usaha menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, terbagi atas : 1.



Tanggung jawab produk (product liability) Menurut Agnes M. Toar tanggung jawab produk diartikan sebagai: “tanggung jawab para produsen prduk yang dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut, (produk ini diartikan sebagai barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak)”. Tanggung jawab produk ini bersifat kontraktual (perjanjian) atau berdsarkan Undang –undang (gugatannya atau berdasarkan Undang –undang (gugatannya atas dasar perbuatan melawan hukum.



Tanggung jawab professional Jika tanggung jawab produk berkaitan dengan dengan produk barang, maka tanggung jawab professional adalah tanggung jawab hukum dalam hubungan jasa professional yang diberikan kepada klien. Sama seperti tanggung jawab produk, sumber persoalan dalam tanggung jawab professional ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa professional) tidak memeuhi perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.



B. DASAR HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA Secara normatif Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan dasar hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Namun demikian, pemberlakuan UUPK tidaklah menghapuskan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sebelumnya telah ada yang juga memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.



Hal ini berdasarkan Ketentuan Peralihan Pasal 64 UUPK yang menyatakan bahwa segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen



24



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



yang telah ada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUPK. Artinya bahwa UUPK masih mengakui keberadaan peraturan perundang-undangan yang telah ada yang juga bertujuan untuk melindungi konsumen. Hal ini sesuai dengan penjelasan umum UUPK yang menyatakan bahwa undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya undang-undang tentang Perlindungan konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen. Beberapa undang-undang tersebut antara lain, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang No. 10 Tahun 1961 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 Tentang Barang, UndangUndang No. 2 Tahun 1966 Tentang Hygiene, Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, UndangUndang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dll. Selain itu, UUPK juga masih memberikan ruang untuk pengaturan atau peraturan perundang-undangan baru yang bertujuan untuk perlindungan konsumen di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Penjelasan Umum UUPK yang menyatakan bahwa di kemudian hari, masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Setelah pemberlakuan UUPK, terdapat beberapa perlindungan peraturan perundangundangan baru yang juga bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen, antara lain Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Keberadaan undang-undang yang baru ini juga terintegrasi dengan UUPK sebagai undang-undang payung dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas bahwa pengaturan mengenai perlindungan konsumen tidak hanya di dasarkan pada undang-undang yang secara khusus mengatur perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.



25



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Namun, juga meliputi peraturan perundang-undangan perlindungan yang sifatnya umum, yang juga mengatur mengenai masalah perlindungan konsumen. Sumber hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilihat dalam sumber konteks UUPK saja, tetapi juga harus dilihat dalam sumber kerangka sistem hukum perlindungan konsumen. Hukum sebagai suatu sistem perlindungan merupakan sumber tatanan, merupakan suatu kesatuan perlindungan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian hukum atau unsur-unsur hukum yang saling berkaitan satu sama lain untuk mencapai tujuan kesatuan perlindungan tersebut (Sudikno, 1999: 115). Sehingga untuk mempelajari hukum perlindungan konsumen, selain mempelajari UUPK sebagai sumber hukum yang utama, juga harus mempelajari sumber-sumber hukum perlindungan konsumen lainnya yang terdapat dalam hukum privat maupun hukum publik, walaupun tidak secara khusus bertujuan untuk melindungi konsumen. 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Sejak tanggal 20 April 1999 Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). UUPK mulai berlaku efektif sejak tanggal 20 April 2010. UUPK merupakan undang-undang payung yang memayungi dan mengintegrasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen di Indonesia. Terhadap peraturan perundang-undangan perlindungan yang juga mengatur dan melindungi konsumen baik sebelum maupun sesudah diberlakukannya UUPK maka UUPK dapat berkedudukan sebagai ketentuan umum (lex generalis) atau dapat juga berkedudukan sebagai ketentuan khusus (lex specialis). UUPK sebagai lex generalis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan umum dalam UUPK pada dasarnya dapat diterapkan terhadap ketentuan undang-undang khusus yang mengatur perlindungan konsumen. Contohnya adalah dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK). Walaupun secara khusus dalam UUOJK telah ditentukan perlindungan konsumen khusus bagi konsumen di sektor jasa keuangan, tetapi ketentuan-ketentuan umum dalam UUPK dapat digunakan untuk



26



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



melindungi konsumen di sektor jasa keuangan, sepanjang sesuai dengan pengertian konsumen dalam UUPK. Sebaliknya UUPK sebagi lex specialis, berarti bahwa ketentuan-ketentuan dalam UUPK dapat diberlakukan menyimpangi ketentuan undang-undang yang mengatur dan melindungi konsumen. Contohnya adalah UUPK sebagai ketentuan lex specialis dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, di mana dalam pengajuan gugatan konsumen yang diajukan oleh konsumen diajukan di tempat kedudukan konsumen bukan di tempat kedudukan pelaku usaha (tergugat). Selain itu, dalam hal gugatan konsumen, yang harus membuktikan adanya unsur kesalahan adalah beban dari pelaku usaha dan bukan pada konsumen (penggugat). Pasal langka (1) UUPK menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan hukum pada dasarnya merupakan pemenuhan atas hak-hak konsumen yang seharusnya diberikan kepada konsumen, sehingga perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan hukum yang terhadap hak-hak konsumen (Shidarta, 2004: 19).14 Segala upaya yang dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam memberikan perlindungan konsumen menunjukkan bahwa perlindungan konsumen tidak hanya berorientasi kepada persoalan ganti rugi maupun pemberian sanksi kepada pelaku usaha. Upaya-upaya perlindungan terhadap konsumen juga diarahkan dalam pemberdayaan konsumen maupun peningkatan kesadaran pelaku usaha akan pentingnya perlindungan konsumen. Selain itu, upaya perlindungan konsumen juga tidak melulu pada suatu bidang hukum saja, tetapi juga menyangkut aspek-aspek hukum lain konsumen, antara lain hukum perdata, hukum administrasi maupun hukum pidana konsumen. Subyek perlindungan konsumen yang diatur dalam UUPK pada dasarnya harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh UUPK, yakni kriteria konsumen yang dilindungi oleh UUPK adalah konsumen dalam pengertian sebagai konsumen akhir, dan bukan konsumen antara. Hal ini sesuai dengan definisi konsumen dalam Pasal 1 Angka (2)



14



Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 19



27



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



UUPK yang menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Selanjutnya UUPK menentukan kriteria pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka (3) UUPK adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK termasuk dalam pengertian perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, dan pedagang, distributor, dll. UUPK membatasi pemberlakuan UUPK ini hanya terhadap pelaku usaha yang berada di wilayah Republik Indonesia sehingga UUPK tidak dapat menjangkau (diterapkan) kepada pelaku usaha yang berada di luar wilayah Republik Indonesia. Cakupan perlindungan konsumen dalam UUPK mencakup perlindungan secara luas yakni perlindungan terhadap penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 1 angka (4) UUPK menyebutkan bahwa barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, diperdagangkan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Adapun yang dimaksud dengan Jasa berdasarkan Pasal 1 Angka (5) UUPK adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Secara garis besarnya, UUPK mengatur hal-hal sebagai berikut : 1.



Ketentuan Umum: Memuat pengertian-pengertian tentang istilah yang dipakai dalam UUPK, antara lain pengertian mengenai perlindungan konsumen, konsumen, pelaku usaha, barang dan jasa, promosi, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Klausula Baku, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dll.



2.



Asas dan Tujuan: Memuat peraturan asas-asas perlindungan konsumen dan tujuan perlindungan konsumen.



3.



Hak dan Kewajiban: Memuat hak dan peraturan kewajiban yang dimiliki oleh konsumen maupun pelaku usaha. 28



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



4.



Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha: Memuat sejumlah perbuatanperbuatan yang dilarang untuk dilakukan oleh pelaku usaha, yang berkaitan dengan kegiatan produksi, memasarkan, promosi atau iklan, penjualan dengan obral, dll.



5.



Ketentuan Pencantuman Klasula Baku: Memuat ketentuan-ketentuan peraturan mengenai larangan pencantuman klasula baku.



6.



Tanggung Jawab Pelaku Usaha: Memuat aturan-aturan tentang tanggung jawab pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya, baik tanggung jawab secara privat maupun publik.



7.



Pembinaan dan Pengawasan: Memuat ketentuan-ketentuan peraturan tentang pelaksanaan pembinaan dan pengawasan dalam perlindungan konsumen.



8.



Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN): Memuat ketentuan tentang fungsi, peraturan tugas, organisasi dan keanggotaan BPKN.



9.



Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM): Memuat tentang tugas dan fungsi LPKSM.



10.



Penyelesaian Sengketa: Memuat ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian sengketa konsumen, baik di pengadilan maupun di luar pengadilan.



11.



Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK): Memuat tentang fungsi, tugas dan kewenangan BPSK.



12.



Penyidikan: Memuat tentang ketentuan penyidikan perkara konsumen yang diduga memenuhi unsur-unsur pidana.



13.



Sanksi: Memuat ketentuan-ketentuan tentang jenis sanksi, meliputi sanksi administratif maupun sanksi pidana.



14.



Ketentuan Peralihan: Memuat ketentuan tentang ketentuan peralihan berkaitan dengan pemberlakuan UUPK.



15. 2.



Ketentuan Penutup: Memuat tentang mulainya berlakunya UUPK.



Hukum Perlindungan Konsumen dalam Hukum Perdata Hukum perlindungan konsumen dalam hukum perdata yakni dalam pengertian hukum



perdata dalam arti luas, yakni hukum perdata yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUH Dagang), serta Peraturan Perundang-Undangan Nasional yang tergolong dalam hukum privat.



29



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



KUH Perdata walaupun tidak secara khusus mengatur menyebutkan istilah konsumen, tetapi ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata juga mengatur masalah hubungan antara pelaku usaha. Salah satu aspek hukum privat yang terdapat dalam Buku III KUH Perdata tentang Perikatan, yakni berkaitan dengan aspek hukum perjanjian maupun Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Selanjutnya, dalam KUH Dagang yang berkaitan Pengangkutan, Asuransi, dll. Adapun dalam peraturan perundang-undangan nasional perlindungan konsumen antara lain yang terdapat dalam UU Pangan. 3. Hukum Perlindungan Konsumen dalam Hukum Publik Hukum perlindungan konsumen dalam hukum publik yang dimaksud adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dan alat-alat perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan. Adapun yang termasuk dalam hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen adalah Hukum Administrasi Negara (HAN), Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata/ Pidana, dan Hukum Internasional.



30



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA BERKAITAN DENGAN KERUGIAN KONSUMEN



A. PENGERTIAN PELAKU USAHA Kegiatan usaha sudah banyak di dapatkan melalui berbagai media online dengan mudah, karena pada saat ini berbagai macam portal informasi lebih lengkap tersaji di berbagai situs ataupun website. Hingga saat ini terdapat banyak sektor usaha dengan modal minimum yang sukses dijalankan oleh pelaku usaha. Suksesnya sebuah usaha dapat dikatakan bukan bergantung dari usaha apa yang dijalankan, melainkan bagaimana cara pelaku usahanya menjalankan sektor usaha tersebut. Dengan adanya bermacam-macam dan berbagai jenis kebutuhan, maka setiap manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik berupa barang maupun jasa. Berbagai kebutuhan tersebut ditawarkan oleh pelaku usaha sehingga tercipta hubungan timbal balik antara pelaku usaha dengan konsumen yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, yang seharusnya pelaku usaha dan konsumen menduduki posisi yang seimbang. Namun pada kenyataannya, konsumen berada pada kedudukan yang lemah jika dibandingkan dengan pelaku usaha. Salah satu yang menyebabkan kedudukan konsumen lemah adalah kurangnya informasi yang diberikan dengan jelas dan benar.15



Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Unsur-unsur definisi pelaku usaha adalah sebagai berikut:



1. 15



Bentuk atau wujud dari pelaku usaha :



N.H.T Siahaan. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005.



31



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1.



Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan usahanya secara seorang diri.



2.



Badan usaha, yaitu kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan kegiatan usaha. Selanjutnya badan usaha dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu badan hukum, yang menurut hukum merupakan badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi. Kemudian, badan usaha yang bukan badan hukum dapat dikelompokkan ke dalam kategori seperti firma atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Badan usaha tersebut harus memenuhi kriteria yakni, didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia, melakukan kegiatan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.



2.



Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.



3.



Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi, bukan hanya pada bidang produksi.



Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, koperasi, BUMN, korporasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Istilah pelaku usaha umumnya dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha, memproduksi, menawarkan, menyampaikan, atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen. Pelaku usaha tidak hanya diartikan sebagai pembuat atau pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi mereka yang terkait dengan penyampaian atau peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian jelas bahwa pengertian pelaku usaha menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat luas, bukan hanya pelaku usaha melainkan hingga kepada pihak terakhir yang menjadi perantara antara pelaku usaha dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer atau konsumen perantara. B. HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA Dunia usaha harus mampu menghasilkan berbagai barang dan atau jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dengan pemastian terhadap mutu, jumlah 32



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



yang mencukupi, serta keamanan pada pemakaian barang dan atau jasa yang diedarkan ke pasar. Pelaku usaha merupakan salah satu komponen yang turut bertanggung jawab dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat itu. Maka di dalam berbagai peraturan perundang-undangan dibebankan sejumlah hak dan kewajiban serta hal-hal yang menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Dalam kegiatan menjalankan usaha, undang-undang memberikan sejumlah hak dan membebankan sejumlah kewajiban dan larangan kepada pelaku usaha. Pengaturan tentang hak, kewajiban, dan larangan itu dimaksudkan untuk menciptakan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen digunakan



istilah



pelaku



usaha



bagi



pihak-pihak



yang



menghasilkan



dan



memperdagangkan produk, yaitu mereka yang terlibat di dalam penyediaan produk hingga sampai ke tangan konsumen. Yang menjadi hak-hak dari pelaku usaha itu menurut Pasal 6 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut : 1.



hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



2.



hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;



3.



hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;



4.



hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



5.



hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.



Tampak bahwa pokok-pokok hak dari pelaku usaha adalah :



33



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1.



hak menerima pembayaran, yang berarti pelaku usaha berhak menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas produk yang dihasilkan dan diserahkannya kepada pembeli.



2.



hak mendapat perlindungan hukum, yang berarti pelaku usaha berhak memperoleh perlindungan hukum jika ada tindakan pihak lain, yaitu konsumen, yang dengan itikad tidak baik menimbulkan kerugian baginya.



3.



hak membela diri, yang berarti pelaku usaha berhak membela diri dan membela hak-haknya dalam proses hukum apabila ada pihak lain yang mempersalahkan atau merugikan haknya.



4.



hak rehabilitasi, yang berarti pelaku usaha berhak memperoleh rehabilitasi atas nama baiknya atau dipulihkan nama baiknya sebagai pelaku usaha jika karena suatu tuntutan akhirnya terbukti bahwa pelaku usaha ternyata bertindak benar menurut hukum.



Adapun kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah :



a.



beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;



b.



memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;



c.



memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;



d.



menjamin



mutu



barang



dan/atau



jasa



yang



diproduksi



dan/atau



diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;



34



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



e.



memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;



f.



memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



g.



memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian kerugian apabila barang dan/atau barang yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.



Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban pelaku usaha adalah :



a.



kewajiban beritikad baik, yang berarti pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib melakukannya dengan itikad baik, yaitu secara berhati-hati, mematuhi dengan aturan-aturan, serta dengan penuh tanggung jawab.



b.



kewajiban memberi informasi, yang berarti pelaku usaha wajib memberi informasi kepada masyarakat konsumen atas produk dan segala hal sesuai mengenai produk yang dibutuhkan konsumen. Informasi itu adalah informasi yang benar, jelas, dan jujur.



c.



kewajiban melayani, yang berarti pelaku usaha wajib memberi pelayanan kepada konsumen secara benar dan jujur serta tidak membeda-bedakan cara ataupun kualitas pelayanan secara diskriminatif.



d.



kewajiban memberi kesempatan, yang berarti pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba produk tertentu sebelum konsumen memutuskan membeli atau tidak membeli, dengan maksud agar konsumen memperoleh keyakinan akan kesesuaian produk dengan kebutuhannya.



35



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



e.



kewajiban memberi kompensasi, yang berarti pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian kerugian akibat tidak atau kurang bergunanya produk untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsinya dan karena tidak sesuainya produk yang diterima dengan yang diperjanjikan.



Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak dan kewajiban konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan hukum. Sebagai pemakai barang dan atau jasa, konsumen memiliki hak dan kewajiban yang sangat penting untuk dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri ketika hakhaknya dilanggar oleh pelaku usaha. Setiap konsumen tidak hanya mempunyai hak yang bisa dituntut dari pelaku usaha, tetapi juga kewajiban yang harus dipenuhi atas diri pelaku usaha. Bob Widyahartono menyebutkan bahwa deklarasi hak konsumen yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tanggal 15 Maret 1962, menghasilkan empat hak dasar konsumen yang meliputi hak-hak sebagai berikut :



1)



Hak untuk mendapat keamanan (the right to safety);



2)



Hak untuk memperoleh informasi (the right to be);



3)



Hak untuk memilih (the right to choose);



4)



Hak untuk didengar (the right to be heard).



Di samping hak-hak yang yang dikemukakan oleh John F. Kennedy, Pasal 4 UndangUndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan juga sejumlah hak-hak konsumen, yaitu:



a.



hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;



b.



hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 36



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



c.



hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;



d.



hak untuk didengar pendapat dan keluahannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;



e.



hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;



f.



hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;



g.



hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;



h.



hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;



i.



hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.



Hak-hak konsumen sebagaimana disebut di atas secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :



a.



Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi suatu produk. Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahan, konstruksi, maupun kualitasnya harus diarahkan untuk mempertinggi rasa kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.



b.



Hak untuk memilih, mengandung pengertian tidak dikehendakinya prroduk yang dapat mencelakakan dan mencederai konsumen. Karena itu, pelaku usaha 37



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



wajib mencantumkan label produknya sehingga konsumen dapat mengetahui adanya unsur-unsur yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan dirinya atau menerangkan secara lengkap perihal produknya sehingga konsumen dapat memutuskan apakah produk tersebut cocok baginya.



c.



Hak atas informasi yang benar, mengandung pengertian dalam hal berproduksi pelaku usaha diharuskan bertindak jujur dalam memberi informasi sehingga konsumen dapat memilih produk yang terbaik bagi dirinya. Informasi yang diberikan oleh pelaku usaha mengenai produknya diharuskan informasi yang jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui atau membodohi konsumen. Karena itu, pemanfaatan media informasi oleh pelaku usaha, baik dengan iklan, dan media lainnya hendaknya dilandasi kejujuran dan niat baik.



d.



Hak untuk didengar mengandung pengertian bahwa pelaku usaha seharusnya mendengar keluhan konsumen dan memberikan penyelesaian yang baik apabila setelah mengonsumsi atau menggunakan suatu produk, konsumen merasa



dirugikan



atau



dikecewakan



karena



ternyata



produk



yang



dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya, misalnya kualitas tidak sesuai.



e.



Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa, dimaksudkan bahwa pelaku usaha berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapatkan perlindungan yang secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik.



f.



Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, yang berarti konsumen berhak mendapatkan bagaimana berkonsumsi yang baik. Pelaku usaha wajib memberi informasi yang benar dan mendidik sehingga konsumen makin dewasa bertindak dalam memenuhi kebutuhannya, bukan sebaliknya mengeksploitasi kelemahan-kelemahan konsumen terutama wanita dan anakanak.



38



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



g.



Hak untuk diperlakukan secara benar dan jujur, yang berarti dalam memperoleh pelayanan konsumen berhak juga untuk diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dengan konsumen lainnya, tanpa ada pembeda-bedaan berdasarkan ukuran apapun, misalnya suku, agama, budaya, daerah, daerah asal atau tempat tinggal, pendidikan, status ekonomi, dan status sosial lainnya.



h.



Hak untuk mendapatkan kompensasi dan ganti rugi, mengandung pengertian apabila konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena produk yang dikonsumsi atau digunakan tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya, maka konsumen berhak mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya setelah mengonsumsi produk tersebut atau jika produk tidak sesuai.



i.



Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, yang berarti konsumen berhak mendapatkan hak-hak lainnya sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini membuka kemungkinan berkembangnya pemikiran tentang hak-hak baru dari konsumen di masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan zaman.



Setiap konsumen tidak hanya mempunyai hak yang bisa dituntut dari pelaku usaha, tetapi juga kewajiban yang harus dipenuhi atas diri pelaku usaha. Kewajiban tersebut tertuang dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 adalah :



1)



membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;



2)



beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;



3)



membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;



39



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



4)



mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.



Konsumen tentunya harus dapat benar-benar mengetahui hak-hak dan kewajibannya, dengan tidak diam saja saat hak-hak konsumen sudah jelas dilanggar. Hak-hak tersebut pun telah dilindungi oleh negara dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga tidak terjadi hal-hal yang senantiasa merugikan konsumen dan terjalin hubungan yang baik dengan pelaku usaha dimana masing-masing pihak dapat saling menghormati hak dan kewajibannya. Hak dari konsumen merupakan kewajiban pelaku usaha, begitu juga sebaliknya, kewajiban konsumen merupakan hak dari pelaku usaha.



C. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu larangan dalam memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan/mempromosikan/ mengiklankan, larangan dalam penjualan secara obral/lelang dan larangan dalam periklanan. Larangan dalam memproduksi/memperdagangkan : 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a.



Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;



b.



Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;



c.



Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;



d.



Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;



e.



Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;



40



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



f.



Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;



g.



Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Jangka waktu penggunaan/ pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata ‘best before’ yang biasa digunakan dalam label produk makanan;



h.



Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;



i.



Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;



j.



Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud (barang-barang yang tidak membahayakan konsumen menurut peraturan perundangundangan yang berlaku). 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Larangan dalam menawarkan/mempromosikan/mengiklankan : 1. Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : a.



barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;



b.



barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;



c.



barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;



d.



barang dan/atau jasa tersebut tersedia;



e.



barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;



41



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



f.



barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;



g.



barang tersebut berasal dari daerah tertentu;



h.



secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;



i.



menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;



j.



menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.



2. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : a.



harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;



b.



kegunaan suatu barang dan/atau jasa;



c.



kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;



d.



tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;



e.



bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.



3. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. 4. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. 5. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. 6. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk : a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.



42



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



7. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. 8. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk : a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Larangan dalam penjualan secara obral/lelang Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan : a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah telah memenuhi standar mutu tertentu; b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain. Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Larangan dalam periklanan 1. Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; 43



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; f. melanggar etika dan/atau mengenai periklanan.



ketentuan



peraturan



perundang-undangan



2. Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).



D. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Produk menjadi unsur penting dalam kegiatan jual beli sebab inilah yang ditawarkan pelaku usaha kepada konsumen. Dalam pengertian luas, produk ialah segala barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu proses sehingga produk berkaitan erat dengan teknologi. Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi memungkinkan pelaku usaha mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen. Untuk itu pelaku usaha harus memperhatikan beberapa hal mengenai produk, seperti kualitas atau mutu, serta harga dimulai dari bahan baku, biaya produksi, sampai pada keuntungan yang diharapkan. Secara historis, tanggung jawab produk lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara pelaku usaha dan konsumen. Namun, pihak konsumenlah yang dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam membeli suatu produk demi keselamatan dirinya. Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut. Menurut Johannes Gunawan, tujuan utama dari tanggung jawab produk adalah :



1. memberi perlindungan kepada konsumen (consumer protection);



44



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



2. agar terdapat pembebanan risiko yang adil antara pelaku usaha dan konsumen (a fair apportionment of risks between producers and consumers). Persoalan hukumnya di sini adalah produk yang diedarkan harus aman, tidak mengganggu atau merugikan konsumennya. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan adalah salah satu hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UndangUndang Perlindungan Konsumen. Adapun mengenai ciri-ciri dari tanggung jawab produk dengan mengambil pengalaman dari masyarakat Eropa dan terutama Negeri Belanda, dapat dikemukakan secara singkat sebagai berikut :



1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha adalah :



a.



pembuat produk jadi (finished product);



b.



penghasil bahan baku;



c.



pembuat suku cadang;



d.



setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai pelaku usaha dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu;



e.



importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan;



f.



pemasok (supplier), dalam hal identitas dari pelaku usaha atau importir tidak dapat ditentukan.



2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir (end consumer atau ultimate consumers);



45



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen atau bagian dari benda bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan;



4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia (death atau personal injury) dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan;



5. Produk dikualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan (safety) yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain :



a. penampilan produk (the presentation of the product);



b. maksud penggunaan produk (intended use of the product);



c. saat ketika produk ditempatkan di pasaran (the time when the product was put into circulation).



Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat atau rusak sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak konsumen, baik kerugian badaniah, kematian atau harta benda. Menurut Emma Suratman, produk cacat adalah setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang. Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang terutama bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut, tanpa kesalahan dari pihaknya. Sesuatu produk dapat disebut cacat atau tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya karena :



1) cacat produk atau manufaktur;



2) cacat desain; 46



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



3) cacat peringatan atau cacat instruksi.



Berdasarkan sistem hukum yang ada, kedudukan konsumen sangat lemah dibanding pelaku usaha. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) dalam hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah pelaku usaha dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab (liable) untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Meskipun berlaku tanggung jawab produk yang bersifat mutlak, pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab pelaku usaha tersebut adalah :



1. jika pelaku usaha tidak mengedarkan produknya (put into circulation);



2. cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh pelaku usaha, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;



3. bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh pelaku usaha baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;



4. bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;



5. bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientic and technical know ledge, state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.



Dengan demikian, tanggung jawab produk berkaitan dengan kerugian, baik kerugian materiil maupun imateriil yang diderita konsumen akibat memakai atau mengonsumsi produk yang cacat yang dihasilkan dan atau diperdagangkan pelaku usaha. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab produk dan perlindungan konsumen merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi hanya dapat dibedakan, dimana tanggung jawab produk merupakan sebagian dari cakupan pengertian perlindungan konsumen. 47



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Setiap pelaku usaha memiliki tanggung jawab terhadap apa yang dihasilkan atau diperdagangkan pada konsumen. Ketika terjadi gugatan terhadap produk yang dihasilkan berarti bahwa produk tersebut cacat, yang bisa diakibatkan karena kurang cermat dalam proses produksi, tidak sesuai dengan apa yang dijaminkan/diperjanjikan atau kesalahan yang dilakukan pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.



Dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 diatur tentang tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh para pelaku usaha ketika terjadi gugatan oleh konsumen akibat produk yang cacat, yaitu :16



1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Walaupun begitu, pemberian ganti rugi tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Tapi ketika pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen maka pelaku usaha tidak memberikan ganti rugi.



2. Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.



3. Pelaku usaha yang bertindak sebagai importir memiliki tanggung jawab, yaitu :



16



Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821. Psl 19



48



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



a. importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri;



b. importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.



4. Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:



a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;



b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.



Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.



5. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :



a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;



b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. 49



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



6. Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.



Dalam



Pasal



27



disebutkan



hal-hal



yang



membebaskan



pelaku



usaha



dari



tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila :



a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;



b. cacat barang timbul pada kemudian hari;



c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;



d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;



e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.



E. PRINSIP-PRINSIP TANGGUNG JAWAB PRODUK DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN



1. prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :



50



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1. Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen. 2. Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan. 3. Konsumen penderita kerugian. Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen) Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu : 1)



Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.



2)



Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen. 51



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



3)



Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.



4)



Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanankeringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.



2. Prinsip Tanggung jawab Berdasarkan Wanprestasi Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa



52



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen17, yaitu : 1. Pembatasan waktu gugatan. 2. Persyaratan pemberitahuan. 3. Kemungkinan adanya bantahan. 4. Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.



3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.18 Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah : a. Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi. b. Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab. 4. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) 17



http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c7639738d93d/doktrin-gugatan wanprestasi-dan-pmh. (7 januari 2018) 18 Adrian Sutedi. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.



53



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



yaitu



prinsip



yang



menyatakan



bahwa



seseorang



baru



dapat



diminta



pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya; 5. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of liability) yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat; 6. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (Presumption of nonliability) yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah; 7. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability) yaitu dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang berlaku.



54



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



PERMASALAHAN-PERMASALAHAN TERKAIT DENGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN



A. PERMASALAHAN IKLAN ATAU PROMOSI 1.



Bentuk Perlindungan Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen Akibat Iklan yang Menyesatkan di Media Massa



Iklan merupakan sarana bagi konsumen untuk mengetahui barang dan/jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam hal ini pengiklan, karena konsumen mempunyai hak, khususnya Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “menyesatkan” berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak melalui jalan yang benar”. Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan akhiran “kan” maka ia akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung arti “membawa ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”. Sedangkan kata “iklan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti untuk hak untuk mendapat informasi dan hak untuk memilih.



19



Bagi



perusahaan iklan merupakan bagian dari kegiatan pemasaran produknya dan iklan dianggap berhasil apabila terdapat peningkatan jumlah pembeli produk yang ditawarkannya. Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media. Menurut Sudarto dalam tulisannya berjudul “ Periklanan dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa menurutnya (defenisi) iklan adalah salah satu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal berikut :



19



a)



Komunikasi tidak langsung



b)



Melalui media komunikasi masa



c)



Dibayar berdasarkan tarif tertentu



d)



Diketahui secara jelas sponsor atau pemasang iklannya



H.M. Subarna dan Sunarti. Kamus Umum Bahasa Indonesia Lengkap. Jakarta: CV Pustaka Grafika, 2012.



55



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



: 1. berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; 2. pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah. Menurut Undangundang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai iklan yang menyesatkan terkandung dalam Pasal 9, 10, 11, 12, 13 dan Pasal 17.



Jadi berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa iklan menyesatkan adalah suatu berita pesanan yang mendorong, membujuk khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui kebenarannya yang pasti sehingga dapat merugikan konsumen. Dari pengertian iklan menyesatkan di atas, maka timbul pertanyaan, konsumen yang mana dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut. Sebelum membahas tentang siapa pihak yang dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut. Tentunya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsumen secara umum. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amarika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument, secara harfiah adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen mana pengguna tersebut. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH-Perdata) tidak ditemukan istilah konsumen, tapi berdasarkan pendirian Mahkamah Agung terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan, karena istilah ini agak dekat dengan istilah konsumen. Istilah-istilah tersebut antara lain “pembeli” (Pasal 1460, Pasal 1513, jo 1457 KUH-Perdata), “penyewa” (Pasal 1550, jo Pasal 1548 KUH-Perdata), “penerima hibah” (Pasal 1744 KUH-Perdata) dan sebagainya. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246), “penumpang” (Pasal 393, Pasal 394 jo Pasal 341).20 Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi



20



Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Syarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV Giatama Jaya, 2008.



56



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Kesemua mereka itu sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk non-komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.



Menurut Kotler konsumen adalah individu atau kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi. Pakar masalah konsumen di Belanda, Hodius menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dia ingin membedakan antara kosumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan kosumen terakhir. Menurut AZ Nasution dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar”, pengertian konsumen itu terdiri dari : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu. b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/jasa untuk digunakan dengan tujuan tertentu membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial). c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.



Menurut UUPK memberikan pengertian mengenai konsumen dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 2 yaitu: ”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk diperdagangkan”.21 Dalam penjelasan Pasal 1 butir 2 UUPK tersebut dijelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedang konsumen antara 21



Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011.



57



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas bahwa konsumen yang dimaksud dalam perlindungan konsumen adalah konsumen akhir begitu pula dalam penulisan skripsi ini. Konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah, konsumen merupakan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur dan melindungi konsumen. Menurut AZ Nasution bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen, yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dan hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.22 Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asasasas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Pada Pasal 1 UUPK dimaksud dengan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen yang dilindungi adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Setelah diketahui tentang apa itu iklan yang menyesatkan dan siapa yang dirugikan, maka timbul pertanyaan baru, bagaimana upaya konsumen untuk mempertahankan hakhaknya yang telah dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut dan bagaimana perlundungan Undang-undang Perlndungan Konsumen melindungi hak-hak konsumen yang telah dirugikan tersebut. Undang-undang Perlindungan Konsumen isinya adalah mengatur prilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi. Salah satunya melindungi konsumen atas iklan yang menyesatkan konsumen. 22



Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011.



58



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan. untuk itu pelaku usaha periklanan harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan/jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walupun tidak secara khusus. Perlindungan hukum bagi konsumen atas iklan yang menyesatkan dalam Undangundang Perlindungan Konsumen, yaitu dengan adanya pengaturan dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen dan juga hak dan kewajiban pelaku usaha yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. Dalam Bab IV merupakan upaya Undang-undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi konsumen, yaitu terdapatnya aturan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha yang mengiklankan produknya larangan-larangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal-Pasal 9, 10, 12, 13 dan 17. Dalam Pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha periklanan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan yang curang. Sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK juga merupakan upaya untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang curang. Begitu pula adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 UUPK. Bentuk lainnya untuk melindungi konsumen, yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur pada Bab VIII Undang-undang Perlindungan Konsumen mulai dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 43. Salah satu tugas BPKN adalah menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha. Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam rangka melindungi konsumen selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, dalam Bab IX Pasal 44 memungkinkan di bentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). LPKSM ini mempunyai tugas salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen seperti YLKI dan YPKB.



59



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Iklan yang menyesatkan atau yang tidak sesuai dengan kebenarannya merugikan konsumen, sehingga menimbulkan sengketa antara konsumen yang menuntut haknya terhadap pelaku usaha yang mengiklankan produk yang dijualnya. Mengenai penyelesaian sengketa ini diatur dalam Bab X tentang penyelesaian konsumen. Upayaupaya penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yaitu penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.



2.



Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Periklanan yang Menyesatkan di Media Massa



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban itu terdiri dari dua kata yaitu kata “tanggung dan jawab”jika digabung mengandung arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalu terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) kemudian jika kedua kata tersebut ditambah awalan per- dan akhiran an, setelah ditambah awalan dan akhiran tadi menjadi kata pertanggungjawaban. Kata pertanggungjawaban mengandung arti :



a. perbuatan (hal dsb) bertangung jawab; b. sesuatu yang dipertanggungjawabkan.



Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan serta undang-undang lainnya yang terkait. Untuk itu pelaku usaha periklanan harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan atau jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan



yang



curang



yang



dilakukan



pelaku



usaha.



Mengenai



pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walaupun tidak secara khusus. Dalam kode etik periklanan yang disebut dengan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia pada Bab II bagian A butir 1 tentang asas-asas umum periklanan mengatakan bahwa iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan



60



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



hukum yang berlaku. Iklan bertanggungjawab tersebut maksudnya iklan tersebut tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Setiap komponen pemasaran, yang terdiri dari; pengiklan, perusahaan periklanan dan media periklanan mempunyai tanggung jawab menurut peran dan bobot keterlibatan masing-masing dalam penciptaan dan penyebaran pesan-pesan iklan. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1981 tentang Pokok Pers menyatakan bahwa periklanan termasuk “keluarga pers”. Dalam Pasal 13 ayat (6) menegaskan bahwa ketentuan mengenai periklanan akan diatur oleh Dewan Pers. Periklanan termasuk keluarga pers maka sistem pertanggungjawaban menganut sistem water fall (sistem pertanggungjawaban air terjun) atau seperti istilah yang digunakan oleh Oemar Seno Adji sebagai pertanggungjawaban secara suksesi/berurutan. Sistem ini banyak memberi peluang pada atasan membebaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab kepada bawahan. Sistem pertanggungjawaban suksesif tersebut, kurang tepat bila diterapkan dalam bidang periklanan, karena dalam bidang periklanan tidak ada hubungan atasan bawahan antara pelaku usaha di bidang periklanan. Artinya semua pelaku usaha di bidang periklanan (pengiklan, perusahaan periklanan dan media masa) memiliki kedudukan yang sama dan berdiri sendiri serta tidak ada atasan dan bawahan. Menurut Machtum dari Majalah Gatra dalam Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Periklanan tanggal 4 September 1995 di BPHN Jakarta bahwa mengenai pertanggungjawaban materi iklan harus ada tanggung jawab renteng, artinya yang membuat, yang mengedarkan dan yang menadah (pengiklan, perusahaan iklan, dan media iklan) semuanya terkena tanggung jawab. Karena jika hanya yang membuat saja atau yang mengedarkan saja yang terkena tanggung jawab tersebut tidak adil. Jadi menurutnya Undang-undang Pers tidak sesuai untuk periklanan sehingga harus dicabut mengenai ketentuan yang mengatur periklanan. Dalam Undang-undang Pers yang baru Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 diatur mengenai larangan perusahaan iklan, yaitu terdapat dalam Pasal 13 seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Mengenai pertanggungjawaban iklan tidak disebutkan, namun di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Pers disebutkan bahwa penanggung jawab adalah penanggung jawab meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pasal 12 mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penangung jawab secara terbuka melalui media bersangkutan. 61



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Perusahaan pers sebagai media pemasangan iklan, maka perusahaan pers bertanggungjawab atas iklan yang dipasang dalam medianya. Tanggung jawab perusahaan pers yaitu berbentuk profesional liability, karena dia bertanggung jawab atas jasa pemasangan iklan pada medianya. Pasal 13 menyebutkan mengenai laranganlarangan iklan yang dimuat oleh perusahaan pers. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dikenai pidana denda sebanyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pers. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan mengenai periklanan secara jelas, tetapi ada pasal yang terkait mengenai informasi atas produk kesehatan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Pasal yang terkait itu adalah terdapat Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi “penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektifitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan”. Penjelasan pasal tersebut tampak bahwa informasi produk bagi konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan hukum). Tanggung jawab atas iklan sedia farmasi dan alat kesehatan ini merupakan tanggung jawab seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.23 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan, mengenai iklan terdapat dalam Bab III tentang Iklan Pangan Pasal 44 sampai Pasal 58. mengenai pertanggung jawaban mengenai iklan pangan ini terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yang mengatakan bahwa penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah lebih dulu mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kembali kebenaran isi iklan yang bersangkutan. Jadi dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan selain pengiklan (produsen, distributor dan retailer) yang bertanggung jawab atas iklan pangan adalah perusahaan iklan yang membuatkan iklan serta media periklanan yang menayangkan iklan tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan tidak terdapat mengenai bentuk pertanggungjawaban atas iklan, tetapi pada 23



________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Tentang Kesehatan, LN No. 100. Tahun 1992.



62



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



dasarnya semua pelaku usaha yang terlibat dalam iklan rokok tersebut mempunyai tanggung jawab atas iklan rokok yang dibuat sesuai dengan bobot keterlibatannya. Dalam ketentuan pidana Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan jika ketentuan dalam Pasal 18 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan barang siapa melanggar ketentuan Pasal 15, Pasal 20 dan atau Pasal 21 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)24 Jadi pada umumnya tanggung jawab atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan tersebut. Proses terjadinya suatu iklan, baik melalui media cetak atau elektronik, pada umumnya inisiatifnya datang dari para pengiklan (produsen, distributor, suplier dan retailer). Kemudian perusahaan iklan dan/atau media periklanan dengan persetujuan pengiklan secara kreatif menerjemahkan inisiatif tadi dalam bahasa periklanan untuk ditayangkan atau dimuat dalam media sebagai informasi produk bagi konsumen luas. Masalah tanggung jawab muncul dalam hal : 1. Informasi produk yang disajikan iklan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. 2. Menyangkut kreatifitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan. Dalam butir 1 di atas, yang bertanggung jawab adalah pengiklan, karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan pada konsumen melalui iklan. Konsumen dapat meminta pertanggungjawaban pelaku usaha didasarkan pada product liability. Sebaliknya dalam butir 2, yang bertanggung jawab adalah pengiklan serta perusahaan iklan dan/atau media. Perusahaan dan media iklan ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih “kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab pengiklan”. Ketiga pelaku usaha tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara renteng apabila iklan yang ditayangkan menyesatkan



24



Solahuddin. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Visimedia, 2009.



63



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



konsumen, mengingat dalam peristiwa tersebut pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja. Pelaku usaha dalam mengiklankan produknya di media cetak atau elektronik harus mempunyai itikad yang baik dan memenuhi prestasinya secara baik. Jika kemudian konsumen membeli produk yang diiklankan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan isi kebenaran yang ditayangkan dalam iklan tersebut, maka pelaku usaha tidak melakukan prestasi secara benar. Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa apabila konsumen yang memakai barang yang diiklankan dan tidak sesuai dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam iklannya, maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Bab X Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen.



B. PERMASALAHAN KEAMANAN PANGAN Setiap penduduk melakukan berbagai aktifitas konsumsi barang dan jasa. Dari sekian ratus jenis barang clan jasa yang dikonsumsi konsumen, makanan merupakan kebutuhan utama konsumen. Makanan adalah kebutuhan dasar manusia agar is bisa bertahan hidup dan melakukan berbagai kegiatan. Menurut konsep kebutuhan Maslow, makanan bisa dianggap sebagai kebutuhan dasar fisiologis yang harus terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan manusia lainnya dapat terpenuhi. Kebutuhan itu meliputi rasa aman, kasih sayang, rasa memiliki dan dimiliki, penghargaan dan aktualisasi diri.



Banyak pihak sangat berkepentingan dengan konsumen terutama bagaimana konsumen dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makannya. Pemerintah sangat memperhatikan agar pangan/makanan dapat tersedia dengan cukup di segala pelosok tanah air, agar semua lapisan konsumen dapat menjangkau dan mampu membeli makanan tersebut. Di lain pihak, bagi organisasi bisnis terutama industri makanan, jumlah konsumen yang banyak merupakan potensi pasar bagi berbagai macam produk makanan yang diproduksinya. Sektor swasta atau industri makanan perlu memahami kebiasaan dan prilaku makan konsumen, sehingga mereka mengetahui makanan apa yang seharusnya diproduksi dan dipasarkan kepada konsumen. Lembaga sosial, perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya juga sangat berkepentingan dengan konsumen. Lembagalembaga bukan pemerintah dan bukan swasta ini sangat peduli untuk membantu konsumen agar konsumen dapat membeli dan mengkonsumsi makanan yang baik dan aman. Konsumen juga harus dilindungi dari berbagai makanan yang tidak aman dan merugikan 64



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



konsumen. Perlindungan ini seharusnya diberikan oleh pihak pemerintah, swasta dan lembaga sosial lainnya. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan ketiga fihak tersebut bisa sama dan berbeda. Undang-undang, peraturan pemerintah dan pendidikan konsumen merupakan bentuk perlindungan konsumen yang diberikan pemerintah. Sementara itu pihak swasta juga memiliki peranan yang sangat besar untuk melindungi konsumen. Perlindungan itu bisa melalui ketaatan mereka terhadap undang-undang dan peraturan pemerintah, mengutamakan keamanan makanan dan kesehatan konsumen dalam memproduksi makanan serta memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen. Akhimya lembaga sosial dan lembaga pendidikan lainnya bersama pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan konsumen melalui



pendidikan maupun



penyuluhan konsumen. Pendidikan konsumen bisa disampaikan dalam berbagai bentuk dan melalui keragaman media. Tujuan dari pendidikan konsumen ini untuk membantu konsumen agar :



a. bisa melakukan pilihan dengan tepat. b. memiliki pengetahuan yang cukup mengenai makanan yang aman dan bergizi. c. menjadi konsumen yang kritis terhadap produk makanan yang dikonsumsinya. d. lebih berhati-hati dalam melakukan pembelian dan konsumsi produk makanan.



Pada akhirnya, perlindungan konsumen yang tepat dan efektif akan datang dari konsumen itu sendiri. Dengan pendidikan konsumen inilah, kita mengharapkan agar konsumen dapat melindungi dirinya sendiri.



Masalah Keamanan Pangan



Masalah pangan menvangkut pula keamanan, keselamatan dan kesehatan baik jasmani maupun rohani. Keamanan pangan merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau juga harus memenuhi persyaratan lain yaitu sehat, aman dan halal. Jadi sebelum pangan tersebut harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan clan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman untuk dikonsumsi. Artinya pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti cemaran pestisida, logam berat, mikroba patogen 65



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat mengganggu kepercayaan ataupun keyakinan masyarakat misalnya tercemar bahan yang berbahaya. Menurut Undang-Undang Pangan, keamanan pangan diartikan sebagai kondisi atau upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologic, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan clan membahayakan kesehatan. Dalam Undang-Undang Pangan tersebut terlihat jelas bahwa keamanan pangan terkait lansung dengan kesehatan manusia, yang dapat terjadi sebagai akibat cemaran biologi& seperti bakteri, virus, parasit dan cendawan, pencemaran kimia seperti pestisida, wksin (racun) dan logam berat serta pencemaran fisik seperti radiasi. Keamanan pangan di Indonesia dewasa ini masih jauh dari keadaan aman, yang dapat dilihat dari peristiwa keracunan makanan yang banyak terjadi belakangan ini. Kenyataan ini ditunjang juga dengan data hasil pengujian makanan oleh laboratorium di beberapa daerah, masih menunjukkan kondisi makanan masih rawan bahaya. Walaupun, demikian, konsumen pada umumnya belum memperdulikan atau belum mempunyai kesadaran tentang keamanan makanan yang mereka konsumsi, sehingga belum banyak menuntut produsen untuk menghasilkan produk makanan yang aman. Hal ini iuga yang menyebabkan produsen makanan semakin mengabaikan keselamatan konsumen demi memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai contoh masih banyak produsen makanan yang senang menggunakan zat pewarna tekstil untuk berbagai



produk



makanan



clan



minuman



karena



pertimbangan



ekonomis.



Berkembangnya industri tekstil di Indonesia menyebabkan zat pewarna tekstil itu menjadi murah dan disalahgunakan pemanfaatannya oleh kalangan produsen makanan. Di lain pihak, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga mereka mempunyai keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produkproduk makanan yang tidak bermutu clan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa radar mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampakan yang menarik dengan harga yang lebih murah Padahal pewarna tersebut merupakan bahan yang berbahaya yang menjadi sumber dan penyebab keracunan. Karena keterbatasan pengetahuan clan kemampuan dalam meperoleh informasi, konsumen seringkali beranggapan bahwa pangan dengan harga tinggi identik dengan mutu yang tinggi pula. Bagi golongan ekonomi lemah, mereka akan memilih harga yang murah yang mampu mereka beli. Golongan ini lebih menitikberatkan pada harga yang terjangkau dari pada pertimbangan lainnya. Mereka sudah merasa puas jika dapat 66



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



membeli makanan dengan harga murah, meskipun produk tersebut bermutu rendah clan tidak terjamin keamanannya. Bagi golongan ekonomi tinggi, memilih pangan dengan harga yang tinggi atau memilih produk impor juga menjadi perhatian. Namun apakah produk tersebut sesuai atau tidak dengan kondisi di Indonesia dan bagaimana cara mereka memperlakukan makanan tersebut sehingga aman untuk dikonsumsi. Perkernbangan teknologi pengolahan pangan, disatu pihak memang membawa hal-hal yang pcsitif seperti: peningkatan pengawasan mutu, perbaikan sanitasi, standarisasi pengepakan dan labeling Berta grading. Namun di sisi lain teknologi pangan akan menyebabkan semakin tumbuhnya kekhawatiran semakin tinggi resiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi. Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintetis, menciptakan berbagai macam zat pengawet makanan, zat additives Berta zat-zat flavor. Zat-zat kimia tersebut merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-produk makanan, sehingga produk tersebut lebih awet, indah, lembut dan lezat. Produk-produk inilah yang disukai konsumen untuk dikonsumsi. Tetapi dibalik semua itu, zat-zat kimia tersebut mempunyai dampak yang tidak aman bagi kesehatan. Dalam hal ini jarang sekali disadari konsumen, sehingga konsumen tetap mengkonsumsinya clan semakin Bering mengkonsumsinya, zat-zat tersebut semakin menumpuk dan akhirnya menjadi racun. Dan berbagai lapdran dan pertemuan tentang kemanan pangan di dunia, diperkirakan sebagian besar (70%) kasus keracunan pangan disebabkan oleh makanan siap santap, yaitu makanan yang langsung dimakan setelah diolah. Makanan yang sexing menyebabkan keracunan terutama yang dipersiapkan oleh industri jasaboga (katering), rumah makan dan makanan jajanan. Yang menjadi korban bervariasi mulai dari karyawan perusahaan berlangganan katering, anak-anak sekolah, sampai pada tamu-tamu sebuah hotel/restoran, atau sekelompok orang yang memakan makanan tradisional seperti tempe bongkrek atau makanan jajanan lainnya.



C. PERMASALAHAN PERNYATAAN HALAL DALAM LABEL Masalah Label produk makanan sangat penting karena sebagian konsumennya adalah kalangan muslim dimana secara statistik lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Kegiatan mengkonsumsi suatu bahan pangan bagi seorang muslim tidak hanya sekedar untuk menjamin kehalalan suatu produk, maka oleh produsennya produk tersebut harus dimohonkan sertifikasi halal sebelum dipasarkan bagi konsumen beragama Islam. Bagi setiap produsen yang hendak mendapatkan mencantumkan label halal pada produknya diharuskan untuk mengikuti proses atau tahapan memperoleh fatwa halal yang 67



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



terdiri dari pra-pendaftaran dan pendaftaran hingga penerbitan fatwa halal/sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan status kehalalannya oleh komisi fatwa MUI. Akibat hukum bagi pelaku usaha yang melakukan pencatuman label halal pada produk yang tidak sah dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ada 3 (tiga) kategori yaitu pelaku usaha tersebut dapat dikenakan sanksi-sanksi pidana, perdata maupun administatif. Selain itu akibat hukum bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal pada produk makanan yang tidak sah yang pada dasarnya sangat merugikan konsumen muslim adalah dalam bentuk tanggung jawab pelaku usaha tersebut terhadap konsumen, dimana tanggung jawab pelaku usaha tersebut berupa tanggung jawab produk yaitu diartikan sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Bagi mayoritas masyarakat Indonesia masalah label produk makanan dan minuman sangat penting karena sebagian besar konsumennya adalah beragama islam (muslim). Prinsip bagi seorang muslim adalah „makan untuk hidup‟ bukan hidup untuk makan‟. Kedua pernyataan tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Jika makan untuk hidup berarti menyadari bahwa aktifitas makan hanyalah salah satu alat untuk tetap bertahan, sedangkan hidup untuk makan berarti aktifitas hidup hanya untuk makan. Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggung jawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki Sertifikat Halal MUI.



68



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



LEMBAGA-LEMBAGA YANG BERPERAN DALAM UPAYA HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN



D. LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT (LPKSM) LPKSM adalah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen. Dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, LPKSM memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. TUGAS LPSKM, 1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, 2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya, 3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen, 4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen, 5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Saat ini LPKSM telah berkembang sebanyak kurang lebih 200 lembaga yang tersebar di berbagai propinsi, kabupaten dan kota. Namun lembaga yang telah memiliki TDLPK sebagai tanda diakuinya LPKSM tersebut bergerak di bidang perlindungan konsumen, hingga bulan Juli 2006 tercatat mencapai 107 LPKSM. LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitasi kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh lembaga konsumen (LPKSM) yang telah memenuhi syarat, yaitu 69



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen). E. BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL Dalam upaya pengembangan perlindungan konsumen, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional maka dibentuklah Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Namun demikian, operasional lembaga ini baru terlaksana pada 5 Oktober 2004, sesuai Keppres Nomor 150 Tahun 2004. BPKN yang dibentuk Pemerintah merupakan lembaga independen yang berfungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Aktivitas BPKN yang menonjol saat ini adalah penyusunan grand scenario kebijakan perlindungan untuk memastikan kecenderungan dan prioritas penanganan perlindungan konsumen yang efektif di masa datang, serta peningkatan dan perumusan amandemen Undang-undang Perlindungan Konsumen, sebagai



pertimbangan



bagi



pemerintah



untuk



penyempurnaan



Undang-undang



Perlindungan Konsumen. TUGAS UTAMA BPKN : 1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen, 2. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen, 3. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen, 4. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, 5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen, 6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha; dan 70



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. STRUKTUR ORGANISASI BPKN Keanggotaan BPKN terdiri dari unsur Pemerintah, Pelaku Usaha, LPKSM, Akademisi dan Tenaga Ahli, yang saat ini keseluruhannya berjumlah 17 anggota serta dibantu beberapa staf sekretariat. Berkedudukan di Jakarta, BPKN telah menetapkan tugas dan tata kerjanya sesuai Keputusan Ketua BPKN No. 02/BPKN/Kep/12/2004. Dalam memperlancar tugas dan fungsinya untuk pengembangan perlindungan konsumen, BPKN membentuk komisikomisi, yaitu: 1. Komisi I : Penelitian dan Pengembangan, 2. Komisi II : Informasi, Edukasi dan Pengaduan 3. Komisi III : Kerjasama F. BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) BPSK adalah lembaga non struktural yang berkedudukan di Kabupaten dan Kota yang mempunyai fungsi ”menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan”. Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur Pemerintah, konsumen dan unsur pelaku usaha. BPSK diharapkan dapat mempermudah, mempercepat dan memberikan suatu jaminan kepastian hukum bagi konsumen untuk menuntut hak-hak perdatanya kepada pelaku usaha yang tidak benar. Selain itu dapat pula menjadi akses untuk mendapatkan informasi serta jaminan perlindungan hukum yang sama bagi konsumen dan pelaku usaha. Dalam penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, BPSK berwenang melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti-bukti lain, baik yang diajukan oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha. Prinsippenyelesaian sengketa di BPSK adalah cepat, murah dan sederhana. Pada tahap I dengan Keppres Nomor 90 Tahun 2001 telah dibentuk 10 BPSK. Pada tahap II, berdasarkan Keppres Nomor 108 Tahun 2004, dibentuk pula 14 BPSK. Begitu juga pada tahap III, yang diamanatkan melalui Keppres Nomor 18 Tahun 2005, dibentuk 4



71



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



BPSK. Sementara ini BPSK yang sudah mempunyai anggota dan diangkat berdasarkan keputusan menteri perdagangan totalnya berjumlah 22 BPSK.



G. BALAI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN (BPOM) Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat Badan POM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai fungsi dan tugas Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat dan European Medicines Agency di Uni Eropa. Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan. BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat dan Makanan terdiri atas obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan. Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan Perpres Nomor 80 Tahun 2017, BPOM menyelenggarakan fungsi : 1. penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan; 2. pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan; 3. penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar; 4. pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar; 5. koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan dengan instansi pemerintah pusat dan daerah; 6. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan Obat dan Makanan; 7. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pengawasan Obat dan Makanan;



72



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



8. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM; 9. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab BPOM; 10. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan 11. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda. Pendidikan asisten apoteker semula dilakukan di tempat kerja yaitu di apotik oleh apoteker yang mengelola dan memimpin sebuah apotek. Setelah calon apoteker bekerja dalam jangka waktu tertentu di apotek dan dianggap memenuhi syarat, maka diadakan ujian pengakuan yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Dari buku Verzameling Voorschriften tahun 1936 yang dikeluarkan oleh Devanahalli Venkataramanaiah Gundappa (DVG) yang merupakan seorang penulis dan jurnalis, dapat diketahui bahwa Sekolah Asisten Apoteker didirikan dengan Surat Keputusan Pemerintah No. 38 tanggal 7 Oktober 1918, yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 15 (Stb No. 50) tanggal 28 Januari 1923 dan No. 45 (Stb. No. 392) tanggal 28 Juni 1934 dengan nama Leergang voor de opleleiding van apotheker-bedienden onder den naam van apothekers-assisten school". Peraturan ujian asisten apoteker dan persyaratan ijin kerja diatur dalam Surat Keputusan Kepala DVG No. 8512/ F tanggal 16 Maret 1933 yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan No. 27817/ F tanggal 8 September 1936 dan No. 11161/ F tanggal 6 April 1939. Dalam peraturan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa persyaratan untuk menempuh ujian apoteker harus berijasah MULO bagian B, memiliki Surat Keterangan bahwa calon telah melakukan pekerjaan kefarmasian secara terus menerus selama 20 bulan di bawah pengawasan seorang apoteker di Indonesia yang memimpin sebuah apotek, atau telah mengikuti pendidikan asisten apoteker di Jakarta. Pada masa pendudukan Jepang mulai dirintis Pendidikan Tinggi Farmasi di Indonesia dan diresmikan pada tanggal 1 April 1943 dengan nama Yakugaku sebagai bagian dari Jakarta Ika Daigaku. Pada tahun 1944 Yakugaku diubah menjadi Yaku Daigaku.



73



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Periode setelah perang kemerdekaan sampai dengan tahun 1958 Pada periode tahun 1950an jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah dalam jumlah yang relatif besar. Namun pada tahun 1953 terdapat kekurangan tenaga apoteker sehingga pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No. 3 tentang Pembukuan Apotek. Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang ini, untuk membuka sebuah apotek boleh dilakukan dimana saja dan tidak memerlukan izin dari pemerintah. Dengan adanya undang-undang ini, maka pemerintah dapat melarang kota-kota tertentu untuk mendirikan apotek baru karena jumlahnya sudah dianggap cukup memadai. Izin pembukaan apotek hanya diberikan untuk daerahdaerah yang belum ada atau belum memadai jumlah apoteknya. Undang-undang No. 3 ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 4 tahun 1953 tentang apotek darurat, yang membenarkan seorang asisten apoteker untuk memimpin sebuah apotek. Undang-undang tentang apotek darurat ini sebenarnya harus berakhir pada tahun 1958 karena klausula yang termaktub dalam undangundang tersebut yang menyatakan bahwa undang- undang tersebut tidak berlaku lagi 5 tahun setelah apoteker pertama dihasikan oleh Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia. Akan tetapi, karena lulusan apoteker ternyata sangat sedikit, undangundang ini diperpanjang sampai tahun 1963 dan perpanjangan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1983. Periode tahun 1958 sampai dengan 1967 Pada periode ini meskipun usaha untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang mendapat jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari import. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik, banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi standar.



74



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian Indonesia, yakni berakhirnya apotek-dokter dan apotek darurat. Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 33148/ Kab/ 176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain: 1. Tidak dikeluarkannya lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter 2. Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963 Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 770/ Ph/ 63/ b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain: 1. Tidak lagi dikeluarkan izin baru untuk pembukaan apotek darurat 2. Semua izin apotek darurat ibukota daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Februari 1964 3. Semua izin apotek darurat di ibukota daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 1 Mei 1964 Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-Undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri No. 39521/ Kab/199 tanggal 11 Juni 1963). Dengan demikian pada waktu itu ada dua instansi pemerintah di bidang kefarmasian yaitu Direktorat Urusan Farmasi dan Lembaga Farmasi Nasional. Direktorat Urusan Farmasi yang semula Ispektorat Farmasi pada tahun 1967 mengalami pemekaran organisasi menjadi Direktorat Jenderal Farmasi. Periode Orde Baru Pada masa orde baru stabilitas politik, ekonomi dan keamanan telah semakin mantap sehingga pembangunan di segala bidang telah dapat dilaksanakan dengan lebih terarah dan terencana. Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral Pembangunan Nasional, dilaksanakan secara bertahap baik pemenuhan sarana pelayanan kesehatan maupun mutu pelayanan yang semakin baik serta jangkauan yang semakin luas. Hasil-hasil pembangunan kesehatan yang telah dicapai selama orde baru ini dapat diukur dengan indikator-indikator penting, antara lain kematian, umur harapan hidup dan tingkat kecerdasan yang semakin menunjukkan perbaikan dan kemajuan yang sangat berarti. Pada periode Orde Baru ini pula, pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang kefarmasian telah dapat ditata dan dilaksanakan dengan baik. Sehingga pada tahun 1975, 75



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



institusi pengawasan farmasi dikembangkan dengan adanya perubahan Direktorat Jenderal Farmasi menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Berbagai peraturan perundangundangan telah dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan sebagai basis dan kerangka landasan untuk melanjutkan pembangunan pada masa-masa mendatang. Terhadap distribusi obat telah dilakukan penyempurnaan, terutama penataan kembali fungsi apotek melalui Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980. Periode tahun 2000 Untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap obat dan makanan tersebut maka pemerintah mengambil kebijakan dengan mengadakan perubahan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, yang mana dahulu Direktorat Jenderal Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Departemen Kesehatan namun sekarang setelah terjadinya perubahan maka Badan Pengawasan Obat dan Makanan bertanggung jawab kepada Presiden. Badan Pengawasan Obat dan Makanan sekarang merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 103 tahun 2000 dan telah mengalami perubahan melalui Keputusan Presiden No. 166 tahun 2003. Kepala Badan POM Sejarah kepala Badan POM dari masa ke masa: 1. Dr. Sampurno, Apt, MBA (2001-2006) 2. dr. Husniah Rubiana Thamrin Akib, MS, MKes, SpFK (2006-2010) 3. Dra. Kustantinah, Apt, M.App.Sc (2010-2012) 4. Dra. Lucky S Slamet, Apt, MSc (2012-2013) 5. Dr. Roy Alexander Sparringa, M.App.Sc (2013-Juni 2016) 6. Dr. Ir. Penny Kusumastuti Lukito, M.CP., Ph.D. (20 Juli 2016 - Sekarang)



76



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



KETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI SANKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN



A.



SANKSI ADMINISTRASI Setiap pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana yang sudah diatur



dalam perundang-undangan akan menerima sanksi. Sanksi ini dapat berupa sanksi administratif dan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 60 sampa Pasal 63 UndangUndang No. 8 Tahun 1999. Berikut ini adalah sanksi administratif yang dapat di putuskan oleh badan penyelesai sengketa konsumen : a. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26. b. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah). c. Tata cara penetapan sanksi administratif diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.



B.



SANKSI PIDANA



a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 77



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



c. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. d. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa : 1. perampasan barang tertentu; 2. pengumuman keputusan hakim; 3. pembayaran ganti rugi; 4. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 5. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau 6. pencabutan izin usaha.25



C.



SANKSI PERDATA



1.



Ganti rugi dalam bentuk : a. Pengembalian uang atau Penggantian barang atau b. Perawatan kesehatan, dan/atau c. Pemberian santunan



2.



Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi 26



D.



UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Dalam kegiatan bisnis terdapat hubungan saling membutuhkan antara pelaku usaha



dengan konsumen, baik berupa pelaku usaha dan konsumen barang maupun jasa. Kepentingan pelaku usaha adalah memperoleh keuntungan semaksimal mungkin dari transaksi dengan konsumen, sedangkan di sisi lain, konsumen berkepentingan untuk memperoleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kualitas yang diinginkan. 25



Solahuddin. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Visimedia, 2009.



26



Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2005.



78



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Dalam hubungan demikian, seringkali terdapat ketidaksetaraan antara keduanya di mana secara umum konsumen berada pada posisi tawar menawar yang lemah, akibatnya menjadi sasaran eksploitasi dari pelaku usaha atau produsen yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat. Untuk melindungi atau memberdayakan konsumen sangat diperlukan adanya campur tangan pemerintah dan/atau negara melalui penetapan sistem perlindungan hukum terhadap konsumen. Salah satu konsiderans Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disingkat UUPK ditegaskan dalam pasal 40 ayat (1) UUPK, bahwa pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen. Artinya disini adalah pembentukan BPSK di level daerah diharapkan mampu mengatasi dan menyelesaikan permasalahan sengketa konsumen, tanpa harus melakukan pengurusan di pusat. Hal ini dmaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada konsumen untuk melakukan upaya hukum yang tidak menguras energi, biaya dan pikirannya. Berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen dalam hubungannya dengan produsen sangat membutuhkan suatu kepastian hukum yang dapat memberikan kejelasan tentang hak dan kewajiban para pihak sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang diharapkan mampu untuk mengatasi segala macam kerumitan dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hokum, baik keperdataan, pidana maupun tata Negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “ sengketa transaksi konsumen “ karena yang terakhir ini berkesan lebih sempit, yang hanya mencakup aspek hokum keperdataan27. Proses beracara dalam penyelesaian sengketa konsumen itu diatur dalam UUPK. Karena UUPK ini hanya mengatur beberapa pasal ketentuan beracara, maka secara umum pengraturan hokum acara seperti dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tetap berlaku.



27



Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2005.



79



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Berdasarkan UU Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-kketentuan pokok kekuasaan kehakiman jo. UU Nomor 35 Tahun 1999, kekuasaan kehakiman dilakukan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan dalam peradilan umum, peradilan tata usaha Negara. Keempat lingkungan peradilan itu berpuncak pada Makamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi. Kedudukan dan peranan Makamah Agung diatur dalam UU no 14 Tahun 1985 tentang Makamah Agung. Peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha Negara juga diatur dalam beberapa pebngaturan setingkat undang-undang, yaitu UU Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum, UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara, dan UU Nomor 7 1989 tentang Peradilan Agama. Diberikannya ruang penyelesaian sengketa dibidang konsumen merupakan kebijakan yang baik dalam upaya memberdayakan ( empowerment system ) konsumen. Upaya pemberdayaan konsumen merupakan bentuk kesadaran mengenai karakteristik khusus dunia konsumen, yakni adanya perbedaan kepentingan yang tajam antara pihak yang berbeda posisi tawarnya ( bargaining position ). Jumlah konsumen bersifat masif dan biasanya berekonomi lemah. Pelaku usaha memiliki pengetahuan yang lebih tentang informasi atas keadaan produk yang dibuatnya. Meraka umumnya berbeda pada posisi lebih kuat, baik dari segi ekonomi dan tentunya pula dalam posisi tawar ( bargaining position ). Kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha juga sangat berbeda. Jika ada keluhan terhadap produknya, pelaku usaha akan mengupayakan penyelesaian tertutup. Sementara itu konsumen berkepentingan agar penyelesaian dilakukan lewat saluran umum supaya tuntas sebagaimana dikatakan Laura Nader. Dalam perbedaan kepentingan itu, Jhon Rawls mengatakan, setiap pihak hendaknya memiliki kesempatan yang sama dalam memposisikan diri kearah eksistensi hidup yang lebih baik karena hal itu merupakan perwujudan keadilan masyarakat ( social justice ). Dibukanya ruang penyelesaian sengketa secara khusus oleh UUPK 1999 memberikan berbagai mamfaat bagi berbagai kalangan, bukan saja konsumen tetapi juga bagi pelaku usaha sendiri, bahkan juga bagi pemerintah. Mamfaat bagi konsumen adalah :



80



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1. Mendapat ganti rugi atas kerugian yang diderita; 2. Melindungi konsumen lain agar tidak mengalami kerugian yang sama, karena satu orang mengadu maka sejumlah orang lainnya akan dapat tertolong. complain yang diajukan konsumen melalui ruang publik dan mendapat liputan media massa akan menjadi mendorong tanggapan yang lebih positif kalangan pelaku usaha; 3. Menunjukkan sikap kepada masyarakat pelaku usaha lebih memperhatikan kepentingan konsumen. Bagi kalangan pelaku usaha, ruang penyelesaian sengketa atau penegakan hokum konsumen memiliki arti dan dampak tertentu, mamfaatnya adalah : 1. Pengaduan dapat menjadi tolak ukur dan titik tolak untuk perbaikan mutu produk dan memperbaiki kekurangan lain yang ada; 2. Dapat sebagai informasi dari adanya kemungkinan produk tiruan; Bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pengendali berbagai kepentingan rakyat, perkembangan itu penting karena memberikan mamfaat-mamfaat seperti berikut : 1. Lebih memudahkan pengawasan dan pengendalian terhadap produk yang beredar dipasaran 2. Mengetahui adanya kelemahan penerapan peraturan atau standar pemerintah 3. Merevisi berbagai standar yang ada Berikut ini akan dipaparkan berbagai model penyelesaian sengketa ( dispute resettlement ). Model yang dikenal tidak lagi semata-mata bersifat konvennsional seperti oleh pengadilan atau penyelesaian dan kejaksaan yang bersifat compulsory. Model yang baru itu memungkinkan adanya penyelesaian sengketa konsumen bahkan diluar jalur penegakan hokum yang ditangani Negara. Model penyelesaian sengketa yang sifanya alternative itu dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Sengketa konsumen dimaksuda bukan sebagai sengketa dalam asrti luas, yakni sengketa yang melingkup hokum pidana dan hukum administrasi Negara karena UUPK mengatur penyelesaian sengketa bersifat ganda dan alternative. Pengertian bersifat ganda disini ialah penyelesaian sengketa dengan berbagai system, yakni :



81



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



1. Penyelesaian sengketa perdata di pengadilan ( in court resolution ) ( pasal 45, 46 dan 48 ); 2. Penyelesaian sengketa perdata diluar pengadilan ( out court resolution atau disebut juga alternative dispute resolution ) ( pasal 45, 46, 47); 3. Penyelesaian perkara secara pidana ( criminal court resolution) (pasal 59, 61 s/d 63); 4. Penyelesaian perkara secara administrative ( administrative court resolution ) (pasal 60). 5. Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.” Ketentuan ayat berikutnya mengatakan, “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para piihak yang bersengketa.” 6. Ayat pertama itu tidak jelas jelas benar. Disitu hanya dikatakan, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha. Apakah secara a-contrario dapat ditafsirkan, hak itu tidak diberikan kepada pelaku usaha ? tentu, jika melihat kedalam asas-asas hokum acara, hak yang sama semua diberikan kepada semua pihak yang berkepentingan. 7. Kemudian pasal 45 ayat 3 UUPK menyebutkan,”penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.” Jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya, missalnya dibidang administrasi Negara. Konsumen yang dirugikan haknya, tidaak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan diperadilan umum kasus pidana, tetapi ia sendiri dapat juga menggugat pihak lain dilingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengketa administrative didalamnya. Hal ini dikemukakan terakhir ini dapat terjadi, misalnya dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual. Bahkan, mengingat makin banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia, juga tidak tertutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan Negara lain, sehingga sengketa konsumen inipun dapat bersifat transnasional.



82



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Pasal 45 ayat 1 dan pasal 46 ayat 2 UUPK terkesan hanya membolehkan gugatan konsumen diajukan kelingkungan peradilan umum. Pembatasan ini jelas menghalangi konsumen yang perkaranya mungkin menyentuh kompetensi peradilan tata usaha Negara. Kendati demikian, jika konsumen diartikan secara luas yakni mencakup juga penerimaan jasa layanan publik, tentu peradilan tata usaha Negara seharusnya patut juga melayani gugatan tersebut. Untuk itu perlu diperhatikan, bahwa syarat-syarat, bahwa sengketa itu berawal dari adanya penetapat tertulis, bersifat konkret, individual dan final, harus tetap terpenuhi. Hukum administrasi Negara cukup penting didalam masalah perlindungan konsumen. Aspek hokum administrative merupakan sarana alternative public menuntut kebijakan pemerintah untuk meningkatkan perlindungan konsumen. Aspek ini berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha. Sanksi administrative sebenarnya lebih efektif dari pada sanksi perdata dan pidana karena dapat diterapkan langsung dan sepihak. Pemerintah misalnya secara sepihak dapat menjatuhkan sanksi untuk membatalkan izin yang diberikan tanpa meminta persetujuan pihak lain. Perkembangan baru dibidang hokum administrative menurut UUPK tercantum dalam pasal 60 ayat 1 tentang sanksi administrative. Ayat ini menentukan, BPSK berwenang menjatuhkan sanksi administrative terhada pelaku usaha. Seperti diketahui, BPSK adalah lembaga alternative penyelesaian sengketa konsumen yang dibentuk sebagai organ pemerintah hingga ketingkat kabupaten atau pemerintah kota. Dengan



demikian,



organ



pemerintah



yang



berwenang



melembaga-lembaga



administrative telah bertambah diamping lembaga-lembaga teknis (jika bersifat non litigatif) juga PTUN dan BPSK (litigatif). Alternative dispute resolution (ADR) disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) dalam arti luas adalah proses penyelesaian sengketa dibidang perdata diluar pengadilan melalui cara-cara arbitrase, negoisasi, konsultasi, mediasi, konsiliasi yang disepakati pihak-pihak.



83



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, penyelesaian dari permasalahan konsumen dapat dipecahkan melalui jalan peradilan maupun non-peradilan. Mereka yang bermasalah harus memilih jalan untuk memecahkan permasalahan mereka. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-lokasi lain baik untuk kedua belah pihak yang telah disetujui. Ketika kedua pihak telah memutuskan untuk melakukan penyelesaian non-peradilan, nantinya ketika mereka akan pergi ke pengadilan (lembaga peradilan) untuk masalah yang sama, mereka hanya dapat mengakhiri tuntutan mereka di pengadilan jika penyelesaian non peradilan gagal. ARM berdasarkan pertimbangan bahwa penyelesaian peradilan di Indonesia memiliki kecenderungan proses yang sangat formal. Proses



penyelesaian



sengketa



melalui



LPKSM



menurut



Undang-Undang



Perlindungan Konsumen dapat dipilih dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Dalam prosesnya para pihak yang bersengketa/bermasalah bersepakat memilih cara penyelesaian tersebut. Hasil proses penyelesaiannya dituangkan dalam bentuk kesepakatan (Agreement) secara tertulis, yang wajib ditaati oleh kedua belah pihak dan peran LPKSM hanya sebagai mediator, konsiliator dan arbiter. Penentuan butir-butir kesepakatan mengacu pada peraturan yang dimuat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta undang-undang lainnya yang mendukung. BPSK adalah institusi non struktural yang memiliki fungsi sebagai “institusi yang menyelesaikan permasalahan konsumen diluar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana”. Badan ini sangat penting dibutuhkan di daerah dan kota di seluruh Indonesia. Anggota-anggotanya terdiri dari perwakilan aparatur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan efisien melalui peranan BPSK. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk konsumen maupun pelaku usaha. Dalam menangani dan mengatur permasalahan konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan dari para pihak yang bersengketa..



84



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Tagihan, hasil test lab dan bukti-bukti lain oleh konsumen dan pengusaha dengan mengikat penyelesaian akhir.



85



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



DAFTAR PUSTAKA Buku Az.Nasution. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media 2011. Abdul Halim Barkatullah. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media, 2010. Adrian Sutedi. Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008. Ahmadi Miru. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Akhmad Budi Cahyono dan Surini Ahlan Syarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta: CV Giatama Jaya, 2008. Celina Tri Siwi Kristiyanti. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Hery Firmansyah. Perlindungan Hukum Terhadap Merek. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011. H.M. Subarna dan Sunarti. Kamus Umum Bahasa Indonesia Lengkap. Jakarta: CV Pustaka Grafika, 2012. J.C.T. Simorangkir, et. Al, Kamus hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2000. Muhamad Djumhana Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2006. N.H.T Siahaan. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Jakarta: Panta Rei, 2005. Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2005. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000). Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen (Bandar Lampung: Universitas lampung, 2007). Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen (Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2011). N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Panta Rei, 2005). 86



Fakultas Hukum Univeritas Singaperbangsa Karawang



Situs Internet http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4c7639738d93d/doktrin-gugatan wanprestasidan-pmh. diakses pada 7 Januari 2018 Soemali, Hubungan Antara Konsumen dan Produsen, , diakses pada 7 Januari 2018 Undang-Undang Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Tentang Perlindungan Konsumen, LN No. 42 Tahun 1999. TLN No. 3821. ________. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001. ________. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992. Tentang Kesehatan, LN No. 100. Tahun 1992. Solahuddin. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Visimedia, 2009. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005.



87



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang :



a.



bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;



b. bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;



c. bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;



d. bahwa untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab;



e. bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;



-2-



i



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;



g. bahwa untuk itu



perlu dibentuk



Undang-undang



tentang Perlindungan Konsumen;



Mengingat :



Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;



Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan :



UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:



1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.



2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.



-3



-



ii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.



4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.



5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.



6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.



7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.



8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia.



9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.



10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.



11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.



12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen. -4 -



13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan. BAB II ASAS DAN TUJUAN iii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 2 Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. Pasal 3 Perlindungan konsumen bertujuan:



a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;



b. mengangkat



harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;



c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;



d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;



e. menumbuhkan kesadaran pelaku



usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;



f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.



-5-



BAB III HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Hak dan Kewajiban Konsumen Pasal 4 Hak konsumen adalah: iv



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



a. hak



atas kenyamanan, keamanan, mengkonsumsi barang dan/atau jasa;



dan



keselamatan



dalam



b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;



c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa;



d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;



e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;



f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;



h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;



i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 5 Kewajiban konsumen adalah:



a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur -6pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;



b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;



c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti



upaya penyelesaian konsumen secara patut.



hukum



sengketa



perlindungan



Bagian Kedua Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha v



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 6 Hak pelaku usaha adalah:



a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;



c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;



d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.



-7-



Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah:



a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;



c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;



d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; vi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;



f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;



g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. BAB IV PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA Pasal 8



(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:



-8-



a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;



b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;



c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;



d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;



e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;



vii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;



g. tisak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;



h. tidak



mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;



i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;



j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.



(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat -9atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.



(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.



(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Pasal 9



(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:



a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;



b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; viii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;



d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi;



e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;



j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa - 10 keterangan yang lengkap;



k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. (2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.



(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. Pasal 10 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:



a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;



d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; ix



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:



a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;



b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;



c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; - 11 -



d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain;



e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain;



f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. Pasal 12 Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakan sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. Pasal 13



(1) Pelaku



usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. x



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Pelaku



usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.



Pasal 14 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan - 12 untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang masuk:



a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Pasal 15 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Pasal 16 Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:



a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;



b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. Pasal 17 xi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang: a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;



b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; - 13 -



d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;



e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;



f. melanggar



etika dan/atau ketentuan perundang-undangan mengenai periklanan.



peraturan



(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1). BAB V KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU Pasal 18



(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:



a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;



c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;



d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala xii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;



e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;



f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi - 14 obyek jual beli jasa;



g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;



h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.



(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.



(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.



(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini. BAB VI TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA Pasal 19



(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.



xiii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang - 15 sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.



(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.



(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 20 Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pasal 21



(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.



(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.



Pasal 22 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana xiv



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



- 16 -



sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 aya t(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 24



(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:



a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut;



b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.



(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa yang tersebut.



Pasal 25



(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya - 17 xv



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.



(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:



a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;



b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan. Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:



a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;



b. cacat barang timbul pada kemudian hari; c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.



Pasal 28



- 18 -



xvi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian Pertama Pembinaan Pasal 29



(1) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha



(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.



(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.



(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi upaya untuk:



a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;



b. berkembangnya



lembaga



perlidungan



konsumen



swadaya masyarakat;



c. meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.



(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah. - 19 -



xvii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Bagian Kedua Pengawasan Pasal 30



(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.



(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.



(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.



(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.



(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.



(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.



BAB VIII BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL Bagian Pertama - 20 -



Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas Pasal 31 xviii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 32 Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia. Pasal 34



(1) Untuk menjalankan fungsi sebgaimana dimaksud dalam Pasal 33 Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:



a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;



b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.



c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;



d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.



e. menyebarluaskan



informasi



melalui



media



mengenai - 21 -



perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;



xix



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan masyarakat, atau pelaku usaha;



konsumen



swadaya



g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional. Bagian Kedua Susunan Organisasi dan Keanggotaan Pasal 35



(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas) orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili semua unsur.



(2) Anggota Badan perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.



(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.



(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.



Pasal 36 Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur: - 22 -



a. pemerintah; b. pelaku usaha; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat; xx



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



d. akademis; dan e. tenaga ahli. Pasal 37 Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:



a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan



f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. Pasal 38 Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena: a. meninggal dunia;



b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; d. sakit secara terus menerus; e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau f. diberhentikan. Pasal 39 - 23 -



(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh sekretariat.



xxi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.



(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 40



(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk Perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.



(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Pasal 41 Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.



Pasal 42 Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara - 24 dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 43



xxii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB IX LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT



Pasal 44



(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.



(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.



(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:



a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.



b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;



d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;



e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. - 25 -



(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. BAB X PENYELESAIAN SENGKETA Bagian Pertama xxiii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Umum Pasal 45



(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.



(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.



(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.



(4) APabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 46



(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;



b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; - 26 -



c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;



d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. xxiv



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Gugatan yang diajukan oleh kelompok konsumen, lembaga perllindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.



(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan Pasal 47 Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.



Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan - 27 -



Pasal 48 Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45. BAB XI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Pasal 49 xxv



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.



(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:



a. warga negara Republik Indonesia; b. berbadan sehat; c. berkelakuan baik; d. tidak pernah dihukum karena kejahatan; e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen.



f. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun. (3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha;



(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.



(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri. - 28 -



Pasal 50 Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas:



a. ketua merangkap anggota; b. wakil ketua merangkap anggota; c. anggota. Pasal 51



(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh sekretariat. xxvi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan anggota sekretariat.



(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri. Pasal 52 Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:



a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;



b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;



e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan - 29 konsumen;



f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;



g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;



h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang itu;



i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;



j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;



k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; xxvii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;



m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Pasal 53 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.



Pasal 54



(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen badan - 30 penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis;



(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.



(3) Putusan majelis bersifat final dan mengikat; (4) Ketentuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat keputusan menteri.



Pasal 55 Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima. Pasal 56



xxviii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.



(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.



(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.



(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan - 31 perundang-undangan yang berlaku.



(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. Pasal 57 Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan. Pasal 58



(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan.



(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.



xxix



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi. BAB XII PENYIDIKAN Pasal 59



(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesie, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas … tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. - 32 -



(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:



a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;



b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;



c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;



d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;



e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;



f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.



(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat



(1)



memberitahukan



dimulainya



penyidikan



dan



hasil xxx



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.



(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.



BAB XIII … BAB XIII SANKSI Bagian Pertama Sanksi Administratif - 33 -



Pasal 60 (1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.



(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).



(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan. Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62 (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). xxxi



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).



(3) Terhadap … (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.



- 34 -



Pasal 63 Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijadikan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu;



b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;



e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64 Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undangundang ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 xxxii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Undang-undang ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar …



xxxiii



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 35 -



Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta INDONESIA



pada tanggal 20 April 1999



PRESIDEN REPUBLIK



ttd. BACHRUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 20 April 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA



ttd. AKBAR TANJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 22 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN I. UMUM Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah 34



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keingingan dan kemampuan konsumen. Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi obyek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. -2-



Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.



35



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan mencegah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, seperti:



a. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;



b. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; c. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;



d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; e. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan; f. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; g. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri; -3



-



i. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; j. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);



k. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas; l. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; m. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; 36



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



n. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;



o. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;



p. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merk;



q. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;



r. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran; s. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan; t. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang HAKI.



Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah -4



-



diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen. Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen. 37



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



II. PASAL DEMI PASAL



Pasal 1 Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian Konsumen dalam Undangundang ini adalah konsumen akhir. Angka 3 Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Angka 4 Cukup jelas Angka 5 Cukup jelas Angka 6 Cukup jelas Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Angka 9 Lembaga ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen -538



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Angka 10 Cukup jelas Angka 11 Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah dan profesional. Angka 12 Cukup jelas Angka 13 Cukup jelas



Pasal 2 Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:



1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam 2.



3. 4.



5.



penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 39



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf a Cukup jelas -6-



Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Pasal Pasal Cukup jelas Pasal



38 38 39



Cukup jelas



40



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen. Huruf d Cukup jelas



Huruf e Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat -7diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian. Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas 41



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Jangka waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best before yang biasa digunakan dalam label produk makanan. Huruf h Cukup jelas Huruf i Cukup jelas Huruf j Cukup jelas Ayat (2) Barang-barang yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Sediaan farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. -8-



Ayat (4) Menteri dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran. Pasal 9 Ayat (1) 42



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas



Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Yang dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen. Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas



Pasal 12 Cukup jelas



43



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) -9-



Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas



Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 18 Ayat (1) Larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Huruf a 44



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Cukup jelas Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Huruf h Cukup jelas - 10 -



Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1) 45



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas



Pasal 22 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Ayat (1) 46



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Ayat (2) - 11 -



Cukup jelas Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cacat timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan. Huruf c Yang dimaksud dengan kualitas barang adalah ketentuan standarisasi yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak. Huruf d Cukup jelas Huruf e Jangka waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi. 47



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 28 Cukup jelas



Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas - 12 -



Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara teknis menurut bidang tugasnya. Ayat (3) 48



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara penelitian, pengujian dan/atau survei. Aspek pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Ayat (6) Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas



Pasal 34 Ayat (1) - 13 -



Huruf a Cukup jelas 49



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Cukup jelas Huruf e Keberpihakan kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi terhadap konsumen (wise consumerism). Huruf f Cukup jelas Huruf g Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 35 Ayat (1) Jumlah wakil setiap unsur tidak harus sama. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 36 50



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Akademisi adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi. - 14 -



Huruf e Tenaga ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen. Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38 Huruf a Cukup jelas Huruf b Cukup jelas Huruf c Cukup jelas Huruf d Sakit secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya. Huruf e Cukup jelas 51



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Huruf f Cukup jelas



Pasal 39 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota. Pasal 41 Yang dimaksud dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota. - 15 -



Pasal 42 Cukup jelas Pasal 43 52



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Pasal 44 Ayat (1) Yang dimaksud dnegan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 45 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh ketua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas 53



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 46 Ayat (1) - 16 -



Huruf a Cukup jelas Huruf b Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. Huruf c Cukup jelas Huruf d Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas



Pasal 47 Bentuk jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.



Pasal 48 54



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Cukup jelas Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Unsur konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau sekelompok konsumen. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas - 17 -



Pasal 50 Cukup jelas



Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas



55



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Pasal 52 Cukup jelas



Pasal 53 Cukup jelas Pasal 54 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Ayat (4) Cukup jelas Pasal 55 Cukup jelas Pasal 56 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas - 18 -



56



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal 57 Cukup jelas Pasal 58 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas



Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas 57



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



Ayat (4) Cukup jelas Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 61



58



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 19 Cukup jelas Pasal 62 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Pasal 63 Cukup jelas Pasal 64 Cukup jelas Pasal 65 Cukup jelas



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3821



0



PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



1