Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.3, No. 1, April 2012, 25-33



ISSN 2087-1090



Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan dalam Era Globalisasi Danirwara Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia Jakarta



Abstract: The business world, in essence, cannot be separated from the effects of globalization. As those effects may not always be positive, it may also appear in forms of new matters that we should be aware of. One of these matters that we should be aware of involves misleading advertisements, which we often see in our society, which holds an important role in a pre-transaction phase in a sale-purchase transaction between consumers and entrepreneurs. Therefore, glancing at the factor of the customers’ position in the face of entrepreneurs that grows weaker by these deviations in the world of advertisement, it is time that the security provided by consumer protection law should be presented as a solution for society living. Key words: Customer, entrepreneur, globalization,



PENDAHULUAN Globalisasi dan dunia bisnis merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Globalisasi pada dasarnya bukanlah merupakan fenomena tunggal, namun merupakan deskripsi dari fenomena jamak dan luas. Untuk itu, dalam kehidupan bisnis, globalisasi digambarkan sebagai rangkaian yang saling terhubung antara berbagai perubahan aspek-aspek kehidupan masyarakat. Rangkaian perubahan ini menghasilkan suatu hal yang tidak dapat dibayangkan oleh masyarakat dunia sebelumnya, baik wujud maupun dampaknya. Dimulai dari kerinduan manusia akan kesempurnaan kehidupan, dilanjutkan dengan adanya usaha manusia untuk menciptakan inovasi-inovasi di berbagai bidang kehidupan. Usaha manusia ini lalu berujung pada pembaruan yang saling berkesinambungan dalam cakupan luas dan dikenal dengan globalisasi. Inovasi, walaupun dari etimologinya identik dengan pembaruan di bidang teknologi, namun sebenarnya juga berkaitan dengan pembaruan pada bidang-bidang kehidupan manusianya lainnya, seperti pada bidang budaya, seni, politik dan ekonomi bisnis. Secara khusus dalam bidang ekonomi bisnis, globalisasi juga ditandai dengan perkembangan kapitalisme. Baik pada pasar, investasi maupun pada proses produksi perusahaanperusahaan transnasional (transnational corporation) yang didukung oleh lembaga finansial internasional (international financial institution). Di bidang ekonomi internasional ini, globalisasi dipercaya sebagai hasil dari runtuhnya kapitalisme Asia Timur dan merupakan titik harapan baru bagi kebaikan dan masa depan umat manusia1. Adanya keterbukaan batas-batas negara, kebebasan antar individu dan negara dalam aspek kehidupan manusia, memberikan ciri baru pada kegiatan ekonomi pascaglobalisasi. Ciri



Daniel Archibugi dan Simona Iammarino, The Globalization of Technological Innovation : Definition and Evidence, Review of International Political Economy, (Inggris : Maret 2002), http://www.tandf.co.uk, hlm 3, diakses pada tanggal 4 September 2011. 1



25



Danirwara



tersebut adalah dengan adanya berbagai inovasi yang merupakan derivikasi dari dunia praglobaliasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat yang baru. Salah satu contoh pembaruan tersebut adalah melalui adanya kemudahan transaksi jualbeli elektronik, atau dikenal dengan istilah e-commerce. Dalam transaksi elektronik ini, terkandung beberapa hal yang baru dikenal masyarakat, seperti identitas subyek yang diwujudkan dengan istilah user, cara penawaran dan penerimaan dilakukan yang diimplementasikan dengan teknik offer dan acceptance, cara melakukan pembayaran yang kini didominasi dengan penggunaan kartu kredit atau sistem cash on delivery dan berbagai teknik baru lainnya. Dahulu, ragam cara yang dilakukan seorang pelaku usaha (baik produsen maupun distributor) saat melakukan penawaran akan suatu produk (baik barang maupun jasa) sangat sederhana. Kesederhanaan ini lahir dari struktur masyarakat yang memang masih sederhana. Kini, ketika semua kesederhanaan tersebut telah bermetamorfosis menjadi kehidupan dengan tingkat kompleksitas yang tinggi, para pelaku usaha pun bereaksi dengan menyesuaikan teknik penawaran dan pemasaran yang digunakannya. Para pelaku usaha kini harus saling berlomba-lomba dalam bersaing mendapatkan atensi konsumen untuk memilih produknya. Teknik-teknik beriklan dan memasarkan produk pun mulai bervariasi, bahkan di antaranya melahirkan cabang ilmu pengetahuan sendiri seperti social networking study, sebuah cabang ilmu yang mempelajari teknik pemasaran dengan menggunakan jaringan sosial. Media yang digunakan pun beragam, dari penggunaan TV, media cetak, brosur hingga elektronik melalui social media. Namun, berbagai teknik periklanan yang baru dikenal dalam kehidupan masyarakat ini tidak hanya memberikan akibat positif bagi kehidupan manusia. Berikut adalah beberapa contoh iklan-iklan yang sudah diputuskan melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI) oleh BPP PPPI berdasarkan Laporan Kasus Badan Pengawas Periklanan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), periode laporan tahun 20112: - Iklan yang mengandung superlatif atau perbandingan dengan produk lain, yakni melalui klan TV Telkomsel Kartu As versi “Sule, Jam Malam”, dengan penggunaan kata “paling murah”, dan versi “Cinderella-Kunti” dengan kata “paling murah”, iklan cetak Daihatsu versi “Terios, Xenia dan Luxio), dengan penggunaan kata “paling untung”, Iklan cetak JJ Royal Coffee, dengan penggunaan kata “the best” dan iklan-iklan yang terbukti mengandung klausula superlatif lainnya. - Iklan yang tidak layak dilakukan oleh anak-anak, yakni Iklan TV Zee Platinum Milk yang menampilkan adegan anak-anak melompati pagar orang lain. - Iklan yang tidak mencantumkan tanda peringatan yakni iklan cetak OB Herbal yang tidak mencantumkan tanda peringatan sebagai obat traisional - Iklan yang menampilkan tokoh kesehatan, seperti iklan flyer colgate-hypermart versi “Promo 17-29 Maret 2011”, Iklan TV sabun Lifebuoy versi “Donni Demam”, Iklan TV Kiranti Minuman Haid versi “Pakar Herbal”, iklan TV Dettol versi “Anjuran cuci tangan” - Iklan produk beralkohol yakni : Iklan billboard Bintang Gold di Bali dan iklan digital Heineken via twitter versi “Nonton Final UCL 2011” - Iklan yang mengandung unsur perjudian, yakni Website Royal Bola. - Dan sebagainya.



2



http://www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/kasus, diakses pada tanggal 5 Agustus 2012.



26



Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan



Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana perlindungan hukum di Indonesia mengenai iklan-iklan yang menyesatkan dalam era globalisasi? PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN DI INDONESIA Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sangat melekat dalam kehidupan masyarakat. Menurut AZ Nasution, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Ahli ini mengakui asas dan kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen dalam berbagai bidang hukum, tertulis maupun tidak tertulis3. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum konsumen berskala lebih luas, sebab meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan masyarakat dalam mengartikan “hukum” sebagai bagian dari asas dan norma. Salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungannya, yakni tentang bagaimana cara mempertahankan hak konsumen terhadap gangguan pihak lain. Dalam peraturan perundangan perlindungan konsumen di Indonesia, terdapat 2 (dua) subyek penting, yakni: - Konsumen, yang didefinisikan sebagai4 setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan (end user). - Pelaku usaha, yang didefinisikan sebagai setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi5. Hubungan antara pelaku usaha dan konsumen pada dasarnya merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena adanya kehendak dari kedua belah pihak, yang didasari oleh rasa saling membutuhkan dan tergantung. Rasa saling membutuhkan ini dimanfaatkan oleh para pelaku usaha dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas hingga tercapainya sasaran usaha6. Guna menyelaraskan kebutuhan kedua belah pihak, maka UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai hak-kewajiban baik bagi konsumen dan pelaku usaha, yakni: - Hak konsumen, meliputi: Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan mengonsumsi barang dan/atau jasa; Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang AZ Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm 64-65. 4 UU tentang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999, Pasal 1 poin 2. 5 Ibid Pasa 1 poin 3. 6 Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 36. 3



27



Danirwara



-



-



-



benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; dan Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya7. Kewajiban konsumen, meliputi : Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan; Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; dan mengikuti upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut8. Hak pelaku usaha, meliputi : Menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan; Mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; Melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa; Rehabilitasi nama baik apabila terbukti kerugian konsumen tidak diakibatkan barang jasa yang diperdagangkannya; dan hak-Hak lain yang diatur dalam ketentuan perundangan lainnya9. Kewajiban pelaku usaha, meliputi : Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; Memberi informasi dengan benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang jasa serta memberi penjelasan yang memadai mengenai penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; Memperlakukan konsumen dengan benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Menjamin mutu barang jasa yang diperoleh dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu yang berlaku; Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba produk serta memberi jaminan dan/atau garansi atas produk yang diperdagangkan; Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian10.



Lemahnya Posisi Konsumen Era perdagangan bebas, telah memberikan posisi tersendiri bagi konsumen dalam transaksinya dengan pelaku usaha. Posisi ini tidak sepenuhnya negatif, namun dalam prespektif tertentu dapat berarti positif. Untuk itu, terdapat 2 (dua) asumsi penulis berkaitan dengan posisi konsumen ini, yakni: Posisi konsumen diuntungkan Logika gagasan ini adalah dengan adanya liberalisasi perdagangan, yang menyebabkan arus keluar-masuknya barang menjadi lancar. Keuntungan bagi konsumen adalah semakin banyaknya pilihan produk yang ada di pasar, baik mutu, macam, harga dan sebagainya.



UU Perlindungan Konsumen Op. Cit., Pasal 4. Ibid, Pasal 5. 9 Ibid Pasal 6. 10 Ibid Pasal 7. 7 8



28



Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan



Akhirnya kebutuhan konsumen pemenuhannya tidak hanya sebatas apa yang dapat dipenuhi oleh pasar nasional. Posisi konsumen dirugikan Logika pada gagasan ini didasarkan pada lemahnya pengawasan standarisasi mutu barang pada negara-negara berkembang. Hal ini menjadikan konsumen negara berkembang adalah konsumen produk-produk buangan dari negara maju. Contohnya adalah kasus buah impor, di mana pada negara maju buah tersebut ditolak oleh karena kandungan pestisidanya di atas ambang batas dan membahayakan kesehatan. Sementara, di negara berkembang penjualan produk tersebut sangat bebas, karena negara tersebut belum ada standarisasi produk buah impor. UU Perlindungan Konsumen pada dasarnya dilatarbelakangi oleh posisi konsumen-pelaku usaha yang pada praktiknya tidak seimbang. Posisi pelaku usaha yang menawarkan, menjual dan mempromosikan produknya menjadikan dirinya lebih kuat dibanding konsumen11. Hal ini bisa terjadi, ditunjang dari kebutuhan informasi pada saat tahap pratransaksi, sedikitnya pilihan atas produk-produk lain, keterbatasan pengetahuan, promosi produk yang membingungkan dan kemampuan pendidikan konsumen untuk mencerna kalimat-kalimat reklame dan lain-lain menyebabkan posisi konsumen terhadap pelaku usaha semakin melemah. Meninjau dari segi teoritis ekonomi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan, perlu diimplementasikan dalam budaya ekonomi Indonesia. Keseimbangan tersebut dalam hal ini hendaknya diimplementasikan dalam penyetaraan kepentingan pelaku usaha, konsumen dan publik, sehingga tumbuh iklim usaha yang kondusif demi menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional, faktor-faktor yang melemahkan konsumen antara lain12 : - Masih rendahnya kesadaran konsumen akan haknya, sehingga tidak timbul kemauan untuk menuntut hak. - Proses peradilan yang ruwet, berliku dan memakan waktu yang berkepanjangan. - Posisi konsumen yang memang sudah lemah, akibat perbuatan pelaku usaha. - Politik pembangunan negara yang meleluasakan pelaku usaha terjadinya ketidak seimbangan. - Tidak konsistennya badan peradilan atas putusan-putusan yang ada. - Sistem dan produk hukum yang masih belum menjamah dalam hal perumusan kebijakan perlindungan konsumen. PERIKLANAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN Produk Hukum tentang Periklanan di Indonesia Keberadaan pengaturan periklanan dalam struktur perlindungan konsumen di Indonesia, meliputi dalam cakupan privat (terdiri dari hukum perdata, adat dan dagang), serta cakupan N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen : Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk. Penerbit Panta Rei. 2005., hlm 36. 12 Ibid hlm 42-43. 11



29



Danirwara



publik (terdiri dari hukum administrasi, pidana, perdata internasional dan hukum acara pidana/perdata)13. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak memberikan pengertian kaidah-kaidah khusus tentang periklanan. Sebab iklan sangat terkait dengan kegiatan yang baru berkembang dewasa ini, setelah globalisasi perdagangan antar negara terusung di Indonesia14. Adapun beberapa pasal acuan yang dapat digunakan sebagai dasar hukum periklanan pada KUHPerdata adalah Pasal 1320, 1338 dan 1365. Serta 1367, 1372-1380, 1473, 1474, 1491, 1501, 1504, 1601, 1602 dan 1604 KUHPerdata. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan dasar tuntutan untuk minta pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan atas tindakan menyesatkan yang dilakukan olehnya. Untuk itu, dibutuhkan penjamin tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia dengan perangkat-perangkat hukum positif, yakni: a. Undang_undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen b. Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers15 Pada UU ini, periklaan merupakan salah satu sumber pemasukan bagi kehidupan pers. Untuk itu, iklan yang ditayangkan harus tepat, akurat dan benar. Yakni dengan larangan memuat iklan yang merendahkan martabat dan kerukunan hidup umat beragama, bertentangan dengan kesusilaan, memuat iklan minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat aditif serta memuat iklan peragaan dan/atau penggunaan rokok. c. Undang-Undang No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran16 Penyiaran merupakan tempat bagaimana periklan dapat dilakukan sehingga akhirnya iklan tersebut mampu diterima oleh masyarakat. Fungsi penyiaran bagi konsumennya adalah sebagai media informasi dan penerangan, pendidikan dan hiburan, dengan ditunjang dengan bidang-bidang kehidupan masyarakat seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya, serta pertahanan dan keamanan. Dalam UU Penyiaran ini, dikenal 2 (dua) jenis iklan, yakni iklan niaga dan layanan masyarakat. d. Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan jo. Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan17 Secara garis besar, syarat-syarat periklanan produk pangan adalah berkaitan dengan larangan diskredit produk pangan lain, menampilkan anak di bawah lima tahun kecuali memang produk tersebut diperuntukkan bagi anak usia tersebut, produk berbahaya dan mengganggu pertumbuhan anak-anak, iklan yang diperuntukan bagi bayi di bawah satu tahun kecuali mendapat persetujuan Menteri Kesehatan. e. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan18 Iklan rokok, menurut PP Pengamanan Rokok bagi Kesehatan ini haruslah merupakan kegiatan untuk memperkenalkan, memasyarakatkan dan/atau memproduksikan rokok dengan atau tanpa imbalan kepada masyarakat, dengan tujuan mempengaruhi konsumen mempergunan rokok yang ditawarkan tersebut19. Sedangkan label rokok, merupakan



Dedi Harianto, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan, Bogor, Ghalia, hlm 32. Ibid hlm 34. 15 Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 tahun 1999 tentang Pers. 16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran. 17 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 tahun 1996 tentang Pangan jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan 18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan 19 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan Pasal 1 poin 6. 13 14



30



Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan



keterangan mengenai rokok, baik berbentuk gambar maupun tulisan dan ditempatkan pada bagian kemasan rokok20. Selain mencantumkan label peringatan bahaya rokok bagi kesehatan pada bungkus rokok, terdapat pula larangan materi iklan rokok. f. Keputusan Menteri Kesehatan No. 368/Men.Jes/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan-Minuman. g. Berbagai peraturan pemerintah, kode etik, pedoman lembaga serta keputusan-keputusan atau produk-produk hukum lainnya yang berkaitan dengan periklanan. Adapun sederet ketentuan yang terkait periklanan di Indonesia, namun hingga saat ini belum terdapat ketentuan yang secara khusus mendefinisikan dan mengatur iklan. Melalui pengaturan-pengaturan melalui produk-produk hukum yang ada, dapat disimpulkan bahwa iklan adalah segala bentuk promosi yang ditunjukan untuk memperbesar penjualan produk, dengan cara memberikan pesan kepada masyarakat, dengan menggunakan media yang dikemas dengan cara-cara tertentu. Pelanggaran Periklanan Ditinjau dari Hukum Perlindungan Konsumen Dalam hal iklan berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat pada umumnya dan konsumen pada khususnya, maka perlu dipertimbangkan pentingnya realisasi pertanggungjawaban pelaku usaha atas perilaku merugikan tersebut. Secara garis besar, pertanggungjawaban pelaku usaha ini bisa muncul terkait dengan 2 (dua) hal berikut, yaitu21 : 1. Informasi produk yang disajikan melalui iklan tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. 2. Menyangkut kreativitas perusahaan periklanan dan/atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etik periklanan. Lebih dalam lagi, menurut UU Perlindungan Konsumen, pertanggungjawaban pelaku usaha dapat lahir oleh karena produksi iklan yang mengandung larangan-larangan sebagai berikut, yakni22: - Mengelabui konsumen, berkenaan dengan kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; - Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; - Memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; - Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; - Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; - Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perndang-undangan mengenai periklanan. Walaupun menurut UU Perlindungan Konsumen nyata-nyata disebutkan bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi23, namun peletakan tanggung Ibid Pasal 1 poin 7. Yusuf Shofie, “Sistem Tanggung Jawab dalam Periklanan”, Hukum dan Pembangunan, No. 2 tahun XXVI, April 1996, hlm 142. 22 UU Perlindungan Konsumen, op. cit., Pasal 17. 23 Ibid Pasal 20. 20 21



31



Danirwara



jawab atas iklan yang menyesatkan ini tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh banyaknya pihak yang dilibatkan dalam penayangan iklan, antara lain perihal tumpang tindihnya kewenangan masing-masing departemen atau instansi yang terkait dengan penayangan tersebut. Luasnya kemungkinan berbagai pihak untuk bertanggungjawab ini menimbulkan permasalahan dalam penentuan besaran tanggung jawab pelaku usaha, dilihat dari posisi masing-masing departemen dalam proses pembuatan iklan hingga terjadi penyesatan informasi kepada konsumen24. Adapun kompleksitas subyek-subyek yang terlibat dalam penayangan sebuah iklan dikaitkan dengan proses pembuatan iklan, dapat digambarkan dengan ilustrasi berikut: Dalam pembuatan iklan, biasanya pengiklan sebagai pemilik produk yang dibuatnya (produsen) akan menghubungi beberapa perusahaan periklanan. Kedua belah pihak ini lalu bertemu untuk menentukan tema dan elemen-elemen lain yang detil dan terkait dengan iklan. Apabila keduanya cocok maka keduanya sepakat untuk menuangkannya dalam kontrak keagenan atau dikenal dengan istilah agency contract25. Kontrak keagenan inilah yang menjadi panduan dalam naskah cerita dari iklan yang dbuat, baru kemudian dikosultasikan kepada pengiklan untuk penyempurnaan lebih lanjut. Proses selanjutnya adalah perusahaan tersebut menghubungi production house untuk merealisasikannya menjadi iklan. Setelah film iklan tersebut rampung, maka selanjutnya ditentukan media iklan yang dipergunakan, baik dengan perantaraan perusahaan periklanan maupun dipilih oleh pengiklan secara langsung. Terlepas dari kompleksitas penentuan subyek yang harus bertanggungjawab, UU Perlindungan Konsumen secara nyata melalui Pasal 60, memberikan konsekuensi sanksi administratif bagi pihak-pihak yang terbukti melanggar ketentuan larangan iklan tersebut. Adapun sanksi administratif tersebut adalah sebanyak-banyaknya sebesar Rp 200.000.000,KESIMPULAN Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa globalisasi memegang peranan penting dalam segala perubahan dalam dunia bisnis, termasuk terhadap aspek periklanan yang merupakan bagian dari transaksi jual beli antara konsumen dan pelaku usaha. Tingginya persaingan antar pelaku usaha yang diakibatkan oleh dampak dari globalisasi tersebut, membuat para pelaku usaha harus saling berlomba untuk memenangkan pasar. Inilah asal mula maraknya iklan-iklan menyesatkan dalam masyarakat. Adapun posisi konsumen dalam transaksi pada umumnya cenderung lebih lemah dibanding pelaku usaha. Hal inilah yang menyebabkan tingginya urgensi eksistensi produk hukum yang bertujuan melindungan konsumen. Untuk itu, pada tahun 1999 pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada UU Perlindungan Konsumen ini, secara khusus mengenai periklanan terkandung pada Pasal 17 dan 20, yakni mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dilarang dan bagaimana beban pertanggungjawaban pelanggaran periklanan. Sedangkan produk perundangan yang secara khusus mengatur tentang periklanan saja, belum terdapat di Indonesia. Produk-produk yang ada hanyalah seperti Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 24 tahun 1997 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, peraturan-peraturan pemerintah, pedoman-pedoman kelembagaan, Kode Etik



24 25



Dedi Harianto, Op. Cit., hlm 201. Ibid, hlm 204.



32



Perlindungan Hukum Indonesia Terhadap Konsumen atas Iklan-Iklan yang Menyesatkan



Pariwara dan keputusan-keputusan organisasi, yang mana di dalamnya termuat ketentuan mengenai periklanan. DAFTAR PUSTAKA AZ Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995. Dedi Harianto, Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Iklan yang Menyesatkan, Bogor, Ghalia, 2010. Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000. http://www.hukumonline.com http://www.p3i-pusat.com/rambu-rambu/kasus N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Penerbit Panta Rei, 2005. Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan No. 19 tahun 2003 Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2003. UU tentang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pangan No. 7 tahun 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 99 tahun 1996. Undang-Undang tentang Pers No. 40 tahun 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 166 tahun 1999. Undang-Undang tentang tentang Penyiaran No. 24 tahun 1997. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 72 tahun 1997.



33