Dismenore YD [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 FISIOLOGI MENSTRUASI Menstruasi adalah suatu peristiwa alamiah keluarnya darah dari uterus melewati vagina terjadi secara teratur tiap bulan selama masa reproduksi seorang wanita. Normalnya menstruasi pertama terjadi pada usia 11-14 tahun, dengan lamanya ≤ 7 hari dan siklus normal 21-45 hari dengan rata- rata kehilangan darah 20-80 ml. Menurut Reed, menstruasi merupakan proses siklik perubahan endometrium sebagai respon dari interaksi hormon yang dihasilkan hipotalamus, hipofisis dan ovarium.1,2 Berdasarkan konsensus HIFERI 2013 menstruasi normal adalah suatu proses fisiologis dimana terjadi pengeluaran darah, mukus (lendir) dan seluler debris dari uterus secara periodik dengan interval waktu tertentu yang terjadi sejak menars sampai menopause dengan pengecualian pada masa kehamilan dan menyusui, yang merupakan hasil regulasi harmonik dari organ-organ hormonal.3 Batasan parameter menstruasi normal pada usia reproduksi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Batasan Parameter Menstruasi Normal pada Usia Reproduksi.3



S



i



k



l



u



s



m



e



uterus. Hipotalamus mensekresikan gonadotropin-releasing hormone (GnRH) secara pulsatil



n



dengan waktu paruh 2-4 menit sehingga kadar GnRH tidak bisa diperiksa. GnRH mencapai kelenjar pituitary melalui sistem vaskular portal hipotalamus-pituitari, yang merangsang kelenjar hipofisis untuk melepaskan secara pulsatil FSH dan LH. Koordinasi pelepasan GnRH distimulasi oleh berbagai neurotransmiter dan katekolamin serta umpan balik dari hormon estrogen dan progesteron.4 FSH dan LH merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar hipofisis anterior. FSH dan LH disekresikan secara pulsatil sebagai respon sekresi pulsatil dari GnRH. Kadar FSH dan LH tergantung pada kadar hormon estrogen, progesteron dan faktor ovarium yang lain seperti inhibin, activin, dan follistatin. Defisiensi estrogen pada masa folikuler awal akan merangsang sekresi FSH untuk produksi estrogen di ovarium. Setelah estrogen cukup maka akan diberikan umpan balik negatif kepada hipofisis anterior untuk menghambat produksi FSH dan umpan balik positif kepada hipofisis untuk sekresi LH.4



Gambar 1. Aksis Hipothalamus-hipofisis-ovarium-uterus.4 Pada awal siklus reseptor LH hanya ada di sel teka dan reseptor FSH ada di sel granulosa. LH memicu sel teka untuk mensistesa androgen. Androgen sel teka melintasi



membrane basalis masuk ke sel granulose dan oleh FSH diubah menjadi estrogen (aromatisasi). Aktivitas aromatase dari sel granulosa jauh melebihi yang diamati pada sel teka. Pada manusia, folikel preantral dan antral, reseptor LH hanya ada pada sel teka dan reseptor FSH hanya pada sel granulosa.Sel interstisial tekaa, yang terletak pada teka interna, memiliki 20.000 reseptor LH pada membran sel. Pada respon LH, sel teka terstimlasi untuk menghasilkan androgen yang dapat diubah, melalui FSH-induced arimatization, menjadi estrogen pada sel granulosa. Seiring perkembangan folikel, sel-sel theca mulai mengekspresikan gen untuk reseptor LH, P450scc,dan 3b-hydroxysteroid dehydrogenase. Regulasi yang terpisah (oleh LH) masuknya kolesterol cAMP ke mitokondria, sangat penting untuk steroidogenesis. Oleh karena itu, steroidogenesis ovarium bersifat LH-dependent. Sekresi LH diperlukan untuk mempertahankan vaskularisasi dan sintesa steroid seks (steroidogenesis) di korpus luteum selam a fase luteal. Saat folikel muncul, sel teka yang ditandai dengan ekspresi gen p450c17, tahap enzyme yang membatasi laku konversi substrat 21-karbon menjadi androgen. Sel granulose tidak mengekspresikan enzyme dan karenanya bergantung pada androgen dari sel teka untuk membuat estrogen. Dari sel teka yang membat estrogenm, meningkatnya eskpresi aromatisasi system (P450arom) merupakan penanda meningkatnya kematangan sel granulose. Kehadiran P450c17 hanya ada di sel teka dan p450arom hanya di sel granulose adalah bukti dari teori dua sel. Beberapa aromatisasi terjadi, mungkin menggunakan androgen yang berasal dari kelenjar



adrenal,



menghasilkan fase awal fase folikuler estradiol, namun steroidogenesis kuat yang biasa tidak mungkin kehadiran



tanpa LH



untuk



menyediakan produksi androgen.4



Gambar 2. Teori dua sel.4 Dengan diproduksinya hormon steroid oleh ovarium secara siklik akan menginduksi perubahan penting pada uterus, yang melibatkan endometrium. Endometrium terdiri atas 2 lapis, yaitu lapisan superfisial yang akan mengelupas saat haid dan lapisan basal yang tidak ikut dalam proses haid, tetapi ikut dalam proses regenerasi lapisan superfisial untuk siklus berikutnya. Batas antara 2 lapis tersebut ditandai dengan perubahan dalam karakteristik arteriola yang memasok endometrium. Basal endometrium kuat, tapi karena pengaruh hormon menjadi berkeluk dan memberikankesempatan a. spiralis berkembang. Susunan anatomi tersebut sangar penting dalam fisiologi pengelupasan lapisan superfisial endometrium.6,7



Gambar 3. Sintesis Hormon Steroid.6 Siklus endometrium dapat dibedakan menjadi tiga fase utama, yaitu: 1. Fase Proliferasi Hari ke 5-14 merupakan fase proliferasi yang dimulai setelah perdarahan berakhir dan berlangsung sampai saat ovulasi, yang berguna untuk menumbuhkan endometrium agar siap menerima ovum yang dibuahi, sebagai persiapan suatu kehamilan. Selama fase folikular di ovarium, endometrium di bawah pengaruh estrogen. Pada akhir haid proses regenerasi berjalan dengan cepat. Saat ini disebut fase proliferasi, kelenjar tubular yang tersusun rapi sejajar dengan sedikit sekresi. Pada fase proliferatif, di bawah pengaruh estrogen dari folikel yang sedang tumbuh, ketebalan endometrium cepat meningkat dari hari kelima sampai keempat belas siklus menstruasi. Seiring dengan peningkatan ketebalan, kelenjar-kelenjar uterus tertarik keluar sehingga memanjang tetapi kelenjar-kelenjar tersebut belum berkelokkelok atau mengeluarkan sekresi.4,5,7 Selama fase proliferatif lanjut, endometrium menebal dari 0,5 mm menjadi 3,5-5 mm akibat hiperplasia kelenjar dan peningkatan substansi dasar stroma, yaitu edema dan materi berprotein. Stroma yang longgar merupakan gambaran yang menonjol, dan



kelenjar dalam lapisan fungsional terpisah sangat jauh. Keterpisahan ini tampak sangat jauh karena dibandingkan dengan lapisan basal; pada lapisan basal, kelenjar tampak lebih rapat dan stroma lebih padat. Pada pertengahan siklus, menjelang menstruasi, epitel kelenjar menjadi lebih tinggi dan berlapis semu. Epitel di permukaan menjadi memiliki banyak mikro vilus, yang menambah luas permukaan epirelium, serta silia, yang membantu pergerakan sekret endometrium saat fase sekretorik. 4,5 2. Fase Sekretori Hari ke 14-28 merupakan fase luteal atau fase sekresi yang memiliki ciri khas yaitu penebalan kelenjar endometrium dan terbentuknya korpus luteum, benda ini berwarna kuning karena banyak mengandung karoten, yang terbentuk pada hari ketiga setelah ovulasi. Setelah ovulasi, produksi progesteron menginduksi perubahan sekresi endometrium. Tampak sekretori dari vakuole dalam epitel kelenjar di bawah nukleus, sekresi maternal ke dalam lumen kelenjar dan menjadi berkelok-kelok. Pasca ovulasi, produksi progesteron memicu terjadi perubahan sekresi pada kelenjar endometrium. Pada



hari



ke- 17, glikogen



menumpuk di bagian basal epitel kelenjar, membentuk vakuola subnuklear dan lapisan semu. Gambaran ini merupakan tanda pertama ovulasi yang dapat terlihat secara histologis. Terlihat adanya vakuola yang berisi cairan sekresi pada epitel kelenjar. Kelenjar endometrium menjadi semakin berliku-liku. Pada fase sekretorik, setelah terjadinya ovulasi, vaskularisasi endometrium



menjadi sangat meningkat dan endometrium menjadi agak



sembab di bawah pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum. Kelenjar-kelenjar mulai bergelung-gelung dan menggumpar, lalu mulai menyekresikan cairan jernih.4,5,6



Gambar 4. Endometrium Fase Proliferasi (A) Endometrium Fase Sekresi (B).6 3. FASE MENSTRUASI Normal fase luteal berlangsung selama 14 hari. Pada akhir fase ini terjadi regresi korpus luteum yang ada hubungannya dengan menurunnya produksi estrogen dan



progesterone ovarium. Penurunan ini diikuti oleh kontraksi spasmodik yang intens dari bagian arteri spiralis kemudian endometrium menjadi iskemik dan nekrosis, terjadi pengelupasan lapisan superfisial endometrium dan terjadilah perdarahan. Suatu peristiwa



periode vasokonstriksi



yang



paling



dramatis



timbul dan selalu



mendahului ditemukan



menstruasi dan pada siklus



merupakan



endometrium.



Vasokonstriksi hebat arteri spiralis juga berperan mengurangi kehilangan darah akibat menstruasi. Vasokontriksi terjadi karena adanya produksi lokal prostaglandin. Prostaglandin juga meningkatkan kontraksi uterus bersamaan dengan aliran darah



haid yang tidak



membeku karena adanya aktivitas fibrinolitik lokal dalam pembuluh darah endometrium yang mencapai puncaknya saat haid.5,6,7



2.2 DISMENORE Dismenore adalah nyeri spasmodik di daerah hipogastrik dan lumbar antara, sebelum dan selama menstruasi. Dismenore umumnya diklasifikasikan sebagai primer atau sekunder. Dismenore primer dikaitkan dengan siklus ovulasi dan hasil dari kontraksi miometrium, tanpa adanya penyakit yang dapat dibuktikan. Dismenore sekunder mengacu pada rasa sakit selama menstruasi yang berhubungan dengan patologi pelvis, seperti endometriosis, adenomiosis, atau mioma uterus.4,8 Dismenore adalah salah satu masalah ginekologis yang paling umum pada wanita usia reproduksi. Dismenore primer biasanya dimulai selama masa remaja, tetapi hanya setelah ovulasi terjadi; 20–45% remaja perempuan mengalami ovulasi 2 tahun setelah menarche, dan 80% pada 4-5 tahun. 20-90% wanita muda mengalami dismenorea, 15%



mengalami



dismeorea berat. Prevalensi keseluruhan dismenore primer pada remaja perempuan adalah antara 60% dan 90% dan menurun dengan bertambahnya usia. Namun, hanya sekitar 15% anak perempuan remaja mencari perawatan medis untuk keluhan nyeri haid.4 Faktor risiko dismenore termasuk indeks massa tubuh kurang dari 20, menarche dini (sebelum usia 12), interval intermenstrual yang lebih lama dan durasi perdarahan, aliran yang tidak teratur atau berat, molimina pramenstruasi, sterilisasi sebelumnya atau riwayat serangan seksual, dan merokok. Kontrasepsi oral, olahraga, menikah atau dalam hubungan yang stabil, dan lebih tinggi paritas mengurangi kemungkinan dismenore.4 Dismenore dibagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore primer adalah ketika tidak ditemukan penyebab organik, dirasakan oleh 50% wanita, 10% diantaranya



merasakan nyeri hebat. Nyeri biasanya respon dengan OAINS atau obat untuk supresi ovulasi seperti kontrasepsi oral kombinasi. Meskipun dismenore primer tidak mengancam jiwa, tingkat nyeri sangat mempengaruhi kualitas hidup wanita dan kemampuan untuk bekerja secara normal. Oleh karena itu, studi perawatan klinis untuk dismenore primer sangat penting. Dismenore sekunder adalah nyeri haid yang disebabkan oleh patologi pelvis seperti mioma uteri, adenomiosis, endometriosis, tumor ovarium, pelvic inflamatory disease.4,8 Bukti terakumulasi menunjukkan bahwa dismenore primer disebabkan oleh iskemia miometrium akibat kontraksi uterus yang sering dan berkepanjangan. Penelitian aliran darah uterus menggunakan ultrasonografi Doppler telah mengungkapkan bahwa resistensi arteri uterus dan arkuata pada hari pertama menstruasi secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan primer dismenore dibandingkan pada wanita tanpa dismenore, menunjukkan bahwa penyempitan pembuluh uterus adalah penyebab langsung rasa sakit.4 Endometrium sekretori mengandung penyimpanan substansial asam arakidonat, yang diubah menjadi prostaglandin F 2a (PGF2a), prostaglandin E2 (PGE2), dan leukotrien selama menstruasi. PGF2a selalu merangsang kontraksi uterus dan merupakan mediator utama dismenore. Konsentrasi endometrium PGF2a dan PGE2 berkorelasi dengan keparahan dismenore. Pengobatan dengan penghambat siklooksigenase (COX) menurunkan kadar prostaglandin dalam cairan menstruasi dan aktivitas kontraktil uterus; kurva respons berkorelasi erat dengan kadar obat serum.4 Secara klasik, dismenore primer dimulai tepat sebelum atau bersamaan dengan timbulnya menstruasi dan menurun secara bertahap selama 72 jam berikutnya. Kram menstruasi adalah intermiten, bervariasi dalam intensitas, dan biasanya berpusat di daerah suprapubik, meskipun beberapa wanita juga mengalami rasa sakit di paha dan punggung bagian bawah. Biasanya, polanya konsisten di seluruh siklus. Sebaliknya, wanita dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan patologi pelvis, seperti endometriosis, sering melaporkan nyeri yang semakin parah, sering terjadi pada pertengahan siklus dan selama seminggu sebelum menstruasi, di samping gejala dispareunia yang dalam dan dyschezia (gerakan usus yang menyakitkan). Pada mereka yang mengalami dismenorea sekunder yang berhubungan dengan mioma uterus, nyeri timbul terutama dari menoragia, dengan intensitas yang berhubungan dengan volume aliran menstruasi.4 Dismenore primer adalah diagnosis klinis, terutama didasarkan pada riwayat gejala karakteristik dan pemeriksaan fisik yang tidak menghasilkan bukti atau kecurigaan patologi panggul tertentu seperti endometriosis, adenomiosis, mioma uterus atau penyakit radang



panggul kronis. Pada umumnya, uji laboratorium, pencitraan dan laparoskopi tidak diperlukan untuk diagnosis. Anamnesis menstruasi yang cermat harus mencakup usia saat menarche dan saat dismenore, interval intermenstrual, volume dan durasi aliran, dan perhatikan gejala bercak atau pewarnaan antarmenstruasi atau pramenstruasi. Hubungan antara onset nyeri dan onset aliran, keparahan dan lokasi nyeri, dan adanya mual, muntah, diare, nyeri punggung, atau sakit kepala yang terkait harus ditentukan. Sejauh mana rasa sakit mengganggu kegiatan sehari-hari (kerja, sekolah, atau olahraga), penggunaan obat-obatan dan efektivitasnya, setiap perkembangan dalam tingkat keparahan dari waktu ke waktu, dan adanya rasa sakit pada waktu-waktu selain selama menstruasi juga harus didefinisikan. Gambaran historis ini umumnya dapat membedakan wanita dengan dismenore primer dengan dismenore sekunder.4 Wanita dengan dismenore primer biasanya memiliki pemeriksaan panggul yang normal. Pada mereka dengan dismenorea sekunder yang berhubungan dengan patologi pelvis, pemeriksaan panggul bisa normal tetapi seringkali tidak, memberikan petunjuk tentang penyebab yang mendasarinya. Diagnosis dismenore primer tidak memerlukan tes laboratorium atau pencitraan. Namun, ultrasonografi transvaginal dapat sangat membantu dalam mengidentifikasi mioma uterus, endometrioma, dan adenomiosis pada wanita dengan dismenorea sekunder. Berbagai macam terapi telah diusulkan untuk pengobatan dismenore. Ini termasuk penerapan terapi panas, diet dan vitamin atau herbal, olahraga, dan intervensi perilaku, serta obat-obatan yang lebih tradisional seperti NSAID dan kontrasepsi oral. Untuk remaja perempuan dan perempuan dengan dismenore primer, NSAID adalah pengobatan pilihan pertama. Ada banyak NSAID yang dapat dipilih, termasuk turunan asam proprionat (misalnya, naproxen, ibuprofen, dan ketoprofen) dan fenamate (misalnya, asam mefenamat, tolfenamat) asam, asam flufenamat, dan meclofenamate); semua sangat efektif.4 Tabel 2. Pengobatan NSAID untuk dismenore.4



Kontrasepsi oral juga merupakan pengobatan yang efektif untuk dismenore. Mereka dapat dianggap sebagai agen lini pertama pada wanita yang aktif secara seksual yang memerlukan kontrasepsi dan merupakan alternatif logis bagi mereka yang tidak mentolerir atau mendapatkan bantuan yang cukup dari pengobatan NSAID. Kemanjuran kontrasepsi oral berasal dari penghambatan ovulasi mereka, sehingga mengurangi produksi prostaglandin endometrium , dan dari penurunan volume dan durasi aliran yang dihasilkan dari pelemahan endometrium setelah berbulan-bulan penggunaan. Wanita yang gagal menanggapi pengobatan dengan NSAID dan / atau kontrasepsi hormonal dan mereka yang mengalami nyeri berulang atau memburuk perlu dievaluasi ulang untuk mengecualikan penyebab dismenore sekunder, seperti endometriosis. Dalam sebuah studi pada wanita dengan nyeri panggul yang gagal mendapatkan bantuan yang memadai dari pengobatan dengan NSAID, sebagian besar memiliki endometriosis yang dapat dibuktikan pada laparoskopi. Pengamatan ini menunjukkan bahwa wanita dengan dismenore berat yang gagal merespon secara memadai terhadap pengobatan dengan NSAID atau kontrasepsi oral adalah kandidat untuk laparoskopi diagnostik.4 Salah satu cara untuk meredakan dismenore dengan efek samping yang sedikit adalah olahraga.24 Telah diketahui secara luas bahwa olahraga dapat menurunkan frekuensi dan/atau derajat keparahan sindrom dismenore. Secara umum, olahraga dapat meringankan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan dismenore.25 Pendapat bahwa berbagai tipe olahraga aktif maupun pasif dapat meringankan nyeri pada dismenore primer bukanlah sesuatu yang baru.26 Pada beberapa penelitian, disebutkan bahwa aerobik dan stretching adalah olahraga yang sesuai untuk dismenore primer.24 Terapi olahraga bermanfaat untuk penatalaksanaan dismenore primer melalui beberapa cara, seperti menurunkan stres, mengurangi gejala menstrual melalui peningkatan metabolisme lokal, peningkatan aliran darah lokal pada pelvis, dan peningkatan produksi hormon endorfin.26 Endorfin adalah opioid peptida endogen yang berfungsi sebagai neurotransmitter. Endorfin memiliki struktur yang sama dengan morfin, yaitu obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit.27 Hormon endorfin yang dihasilkan ketika berolahraga kemudian dialirkan ke seluruh tubuh. Hormon endorfin berperan sebagai analgesik alami di dalam tubuh. Hormon endorfin akan mengendalikan kondisi pembuluh darah kembali normal dan menjaga agar aliran darah



dapat mengalir tanpa hambatan.28 Peningkatan metabolisme aliran darah pada pelvis yang muncul selama olahraga dapat mempengaruhi dismenore. Peningkatan aliran darah tersebut dapat mengurangi nyeri iskemik selama menstruasi.29 Aktivitas fisik memiliki peran dalam mengurangi stres dan perubahan biokimia pada sistem imun tubuh. Nyeri menstruasi dapat disebabkan karena peningkatan kontraksi otot uterus yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatis. Stres seharusnya meningkatkan nyeri menstruasi dengan meningkatkan intensitas kontraksi uterus. Jadi, berdasarkan fakta bahwa olahraga dapat menurunkan stres, aktivitas saraf simpatis dapat juga menurun. Sehingga intensitas nyeri menstruasi dan gejala terkait lainnya juga dapat menurun.30 2.3 STRES Stres didefinisikan sebagai respon nonspesifik tubuh atau reaksi terhadap rangsangan, atau terhadap kejadian yang menganggu dalam lingkungan. Ini tidak hanya suatu stimulus atau respon tapi ini merupakan suatu proses bagaimana kita menanggapi suatu ancaman dan tantangan. Stress juga didefinisikan sebagai gangguan emosi atau perubahan yang disebabkan oleh stresor.9 Berdasarkan Job-Strain model, diperkenalkan oleh Karasek & Theorell tahun 1990, ada 2 faktor yang mempengaruhi stres; kemandirian dan piskologi. Seseorang yang mempunyai kontrol terhadap pekerjaannya lebih sedikit stres. Orang ini menganggap perubahan dan masalah sebagai tantangan bukan ancaman. Stres paling berat akan dirasakan pada pekerjaan atau situasi yang memerlukan kebutuhan psikologis yang tinggi dan kemandirian mengambil keputusan yang rendah, contohnya jurusan kedokteran. Dalam model ini, stres lebih dilihat sebagai suatu fungsi pekerjaan daripada personal.9 Van Harrison menyatakan bahwa stres muncul dari konflik yang dirasakan antara apa yang diharapkan dengan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Stresor mahasiswa kedokteran dibagi menjadi 6 kategori :9 1. Academic related Stressor (ARS) ARS mengacu pada segala kejadian yang berhubungan dengan universitas, pendidikan yang menyebabkan stres pada mahasiswa, termasuk sistem ujian, metode penilaian, metode tingkatan, jadwal akademik, ekspektasi individu yang tinggi, isi matapelajaran yang padat, sulit memahami isi pelajaran, kurangnya waktu untuk revisi, kompetisi, tidak bisa menjawab pertanyaan dari dosen. Skor yang tinggi pada



domain ini mengindikasikan masalah akademik sebagai sumber utama stres pada mahasiswa kedokteran. 2. Intrapersonal and Interpersonal Related Stressor (IRS) IRS mengacu pada stres yang disebabkan oleh hubungan antar individu dan di dalam individu itu sendiri. Stresor intrapersonal berhubungan dengan diri sendiri termasuk motivasi pribadi yang kurang dan konflik internal. Sementara stresor interpersonal berhubungan dengan verbal, fisikal dan kekerasan mental yang disebabkan oleh orang lain seperti teman, guru dan karyawan lain di lingkunan kampus. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan IRS merupakan stresor utama mahasiswa. 3. Teaching and Learning Related Stressor (TLRS) TLRS berhubungan dengan kesesuaian tugas yang diberikan oleh guru, kompetensi guru dalam mengajar dan mensupervisi mahasiswanya, umpan balik yang diberikan oleh guru kepada mahasiswanya, dukungan yang diberikan oleh guru kepada mahasiswanya dan kejelasan tujuan pembelajaran yang diberikan oleh guru kepada mahasiswanya. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan TLRS sebagai sumber utama stres mahasiswa. 4. Social Related Stressor (SRS) SRS mengacu pada hubungan komunitas dan sosial yang menyebabkan stres. Umumnya berhubungan dengan waktu luang dengan keluarga dan teman, waktu pribadi untuk diri sendiri , gangguan bekerja oleh orang lain dan masalah keluarga. Skor yang tinggi pada domain ini mengindikasikan SRS merupakan sumber utama stres mahasiswa. 5. Drive and desire Related Stressor (DRS) DRS mengacu tekanan dari dalam ataupun dari luar yang menpengaruhi sikap, emosi, pikiran, dan perilaku yang berdampak terhadap stres. Umumnya berhubungan dengan masuk kedokteran karena terpaksa, salah memilih jurusan, menjadi tidak termotivasi setelah mengetahui bagaimana sekolah kedokteran yang sebenarnya, keinginan orangtua untuk masuk kedokteran, atau karena mengikuti teman memilih jurusan kedokteran. Skor yang tinggi pada domain ini mengacu pada DRS sebagai alasan utama stres.



6. Group activities Related Stressor (GARS) GARS mengacu pada kejadian dan interaksi kelompok yang menyebabkan stres. Skor yang tinggi pada domain ini GARS sebagai sumber utama stres. The Medical Student Stressor Questionaire (MSSQ) dikembangkan untuk mengidentifikasi stres pada mahasiswa kedokteran dan juga untuk mengukur intensitas stres yang disebabkan oleh stresor.



Gambar 5. MSSQ Manual



Pendidikan kedokteran merupakan lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi bagi mahasiswanya. Dua penelitian di universitas malaysia melaporkan 41,9% mahasiswa kedokteran mempunyai gangguan emosi, penlitian ke dua di universitas swasta di Malaysia melaporkan gangguan emosi 46,2% pada mahasiswa kedokteran. Penelitian di Singapore melaporkan 57% gangguan emosi pada mahasiswa kedokteran dibandingkan 37% pada mahasiswa jurusan hukum. Penelitian lain di Turki melaoprkan gangguan emosi pada 47,9% mahasiswa kedokteran berrbanding 29,2% pada mahasiswa jurusan ekonomi. Hal ini memperlihatkan situasi tekanan piskologis pada mahasiswa kedokteran.9 Stres kerja secara signifikan mempengaruhi fungsi endokrin dan kesehatan reproduksi. Berbagai penelitian yang dilakukan di seluruh dunia telah menemukan bahwa mahasiswa kedokteran menderita tingkat kesusahan yang lebih besar, dibandingkan dengan



rekan-rekan mereka di profesi lain. Di antara berbagai penyebab, tekanan akademis, beban kerja, kurang tidur dan paparan terhadap penderitaan dan kematian pasien.23 Paparan stres jangka panjang mempunyai dampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mahasiswa kedokteran. Gangguan kesehatan fisik salah satunya adalah gangguan menstruasi yang bisa mengakibatkan gangguan reproduksi.9 Beberapa tips populer untuk mengurangi stress, ada secara ilmiah cara terbukti mengurangi stres. Selain yoga, cara lain yang efektif untuk mengurangi masalah stres itu sendiri dengan bagaimana Anda berpikir tentang stres! Pada pembicaraan TED-nya berjudul "Cara membuat stres teman Anda", Stanford Psikolog universitas, Kelly McGonigal, mengatakan itu "Ketika Anda berubah pikiran tentang stres, Anda bisa ubah respons tubuh Anda terhadap stres ”.33 Ketika seseorang merasa stres, orang itu mungkin menafsirkannya sebagai kecemasan atau tanda-tanda yang tidak anda tangani secara baik, namun, lebih baik kita berfikiaran bahwa stress adalah sesuatu yang memberi energi pada tubuh Anda dan apa adanya mempersiapkan Anda untuk menghadapi tantangan. Karena dalam respon stres yang khas, Anda mungkin bernapas lebih cepat, detak jantung Anda mungkin naik – akibatnya pembuluh darah mengerut. Namun, ketika Anda melihat stres sebagai Fenomena positif, pembuluh darah Anda tetap santai, membuat profil kardiovaskular yang lebih sehat. Selanjutnya Saat Anda merasa stres, pikirkan dalam hati, “Ini milik saya, tubuh membantu saya bangkit menghadapi tantangan ini ”.33 2.4 KORTISOL Salah satu Steroid Yang disekresikan oleh jaringan adrenal adalah kortisol. Prekursor semua steroid adalah kolesterol. Beberapa kolesterol disintesis dari asetat, tetapi sebagian besar diambil dari LDL dalam sirkulasi. Reseptor LDL terutama berlimpah dalam sel-sel adrenokortikal. Kolesterol diesterifikasi dan disimpan dalam tetesan lipid. Kolesterol ester hidrolase mengkatalisasi pembentukan kolesterol bebas dalam tetesan lipid. Kolesterol diangkut ke mitokondria oleh protein pembawa sterol. Dalam mitokondria, itu dikonversi menjadi pregnenolon dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim yang dikenal sebagai enzim pembelahan rantai samping kolesterol desmolaseor. Enzim ini, seperti sebagian besar enzim yang terlibat dalam biosintesis steroid, adalah anggota dari sitokrom P450 superfamili dan juga dikenal sebagai P450sccor CYP11A.20



Pregnenolone bergerak ke retikulum endoplasma halus, di mana sebagian darinya didehidrogenasi untuk membentuk progesteron dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh 3βhydroxysteroid dehydrogenase. Enzim ini memiliki berat molekul 46.000 dan bukan sitokrom P450.



Ini



juga



mengkatalisis



konversi



17α



hydroxypregnenolone



menjadi



17α-



hydroxyprogesterone, dan dehydroepiandrosterone menjadi androstenedione (Gambar 22-7) di retikulum endoplasma halus. The 17α hydroxypregnenolone dan 17α-hydroxyprogesterone dibentuk dari pregnenolone dan progesteron, masing-masing oleh aksi 17a-hidroksilase. Ini adalah P450 mitokondria lain, dan juga dikenal sebagai P450c17atau CYP17.20 Terletak di bagian lain dari enzim yang sama adalah aktivitas 17,20-lase yang memecah ikatan 17,20, mengubah 17α pregnenolon dan 17a-progesteron menjadi steroid C19 dehydroepiandrosterone dan androstenedione. Hidroksilasi progesteron menjadi 11deoksikortikosteron dan 17a-hidroksogonesteron hingga 11-deoksikortisol terjadi pada retikulum endoplasma halus. Reaksi-reaksi ini dikatalisis oleh 21β-hidroksilase, sebuah sitokrom P450 yang juga dikenal sebagai P450c21 atau CYP21A2.20 11-deoxycorticosterone dan 11-deoxycortisol bergerak kembali ke mitokondria, di mana mereka 11-terhidroksilasi untuk membentuk kortikosteron dan kortisol. Reaksi-reaksi ini terjadi di zona fasciculata dan zona reticularis dan dikatalisis oleh 11β hidroksilase, sebuah sitokrom P450 yang juga dikenal sebagai P450c11atau CYP11B1. Di zona glomerulosa tidak ada 11-hidroksilase tetapi enzim yang terkait erat disebut aldosteron synthaseis. Sitokrom P450 ini 95% identik dengan 11β-hidroksilase dan juga dikenal sebagai P450c11ASor CYP11B2.Gen yang berkode CYP11B1 dan CYP11B2 keduanya terletak pada kromosom 8. Namun, aldosteron sintase biasanya hanya ditemukan di zona glomerulosa. Zona glomerulosa juga tidak memiliki 17α-hidroksilase. Inilah sebabnya mengapa zona glomerulosa membuat aldosteron tetapi gagal menghasilkan hormon kortisol atau seks.20 Selanjutnya, subspesialisasi terjadi dalam dua zona dalam. Zona fasciculata memiliki aktivitas dehidrogenase 3β-hydroxysteroid lebih banyak daripada zona reticularis, dan zona reticularis memiliki lebih banyak kofaktor yang diperlukan untuk ekspresi aktivitas 1720lyase dari 17α-hydroxylase. Oleh karena itu, zona fasciculata membuat lebih banyak kortisol dan kortikosteron.20



Gambar 6. Produksi Kortisol.19 ACTH dikeluarkan dalam jumlah tidak teratur sepanjang hari dan kortisol plasma cenderung naik dan turun. Kecepatan sekresi CRH, ACTH, kortisol semuanya tinggi pada awal pagi hari, tetapi rendah pada akhir sore hari, kadar kortisol plasma berkisar antara kadar paling tinggi kira-kira 20



𝜇g/dL, satu jam sebelum matahari terbit dipagi hari dan



paling rendah kira-kira 5 𝜇g/dL, sekitar tengah malam. Efek ini dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam yang menimbulkan sekresi kortisol. Bila seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-harinya, maka akan timbul perubahan siklus ini juga.20,21 Pelepasan kortisol berlangsung bergelombang menyebabkan adanya ritme diurnal sekresi kortisol sehingga terjadi kadar plasma maksimal pada jam 06.00 dan menurun sampai kira-kira setengah maksimum pada jam 22.00. Ritme instrinsik diatur dari otak yang dicetuskan oleh cahaya, melalui hipotalamu oleh CRH dan ACTH. Sekresi kortisol pada petang hari rendah dan terus menurun serta tidak dapa terdeteksi selama beberapa jam pertama tidur. Selama jam ketiga dan kelima tidur terjadi peningkatan sekresi kortisol, dengan waktu sekresi maksimal terjadi dimulai pada jam keenam sampai jam kedelapan tidur dan kemudian mulai menurun setelah bangun tidur. Sekitar setengah hari keluaran kortisol harian disekresikan pada saat tidur.22 Kortisol dapat diukur menggunakan serum, saliva, urin, dan bahkan sampel rambut. Sampai baru-baru ini, banyak dokter mengandalkan pengumpulan urin 24 jam untuk mengukur output kortisol satu hari, namun, pengambilan sampel saliva sekarang menjadi cara yang paling umum dan dapat diandalkan untuk mengukur output hormon adrenal. Hanya tiga



hingga lima persen dari total kortisol plasma tidak terikat (bebas) dan mampu berdifusi secara pasif ke dalam sel. Sebagian besar hormon steroid ini terikat dengan globulin pengikat kortikosteroid (CBG), atau albumin. Oleh karena itu jumlah fraksi kortisol bioaktif (bebas) (bagian yang digunakan untuk mengukur status aksis HPA) ditentukan oleh produksi kortisol adrenal dan konsentrasi CBG. Karena kortisol saliva tidak terikat dengan CBG, ia berkorelasi sangat erat dengan kortisol serum fraksi bioaktif dan sekarang telah menjadi standar klinis untuk menilai sumbu HPA.19 Temuan laboratorium utama yang membantu dokter mengevaluasi status aksis HPA pada individu adalah total output kortisol, respons bangun kortisol, irama kortisol diurnal, total DHEA-S dan rasio kortisol: DHEA. Karena kortisol saliva non-invasif dan dapat dilakukan dengan nyaman sepanjang hari, itu adalah satu-satunya metode pengambilan sampel praktis yang dapat memberikan semua pengukuran ini dalam empat hingga lima sampel.19 Selama dua dekade terakhir, penggunaan air liur, bukan darah atau urin, untuk menentukan berbagai nilai hormon adrenal telah semakin meningkat penerimaannya dan merupakan metode pilihan untuk penelitian stres saat ini. Keuntungan menggunakan pengukuran saliva banyak. Diantaranya pengumpulan sampel non-invasif, kapan saja dan di mana saja (ini sangat baik untuk mengukur fluktuasi sirkadian); pengumpulan sampel tidak menyebabkan stres (seperti pada venipuncture); dan respons yang lebih konsisten terhadap tes supresi (deksametason) atau tes stimulasi (ACTH, CRF, dll.).19 Kortisol memasuki sel asinar yang melapisi kelenjar saliva melalui difusi pasif, dan tidak terpengaruh oleh laju aliran saliva. Transport pasif ini mencegah protein atau molekul yang terikat protein memasuki saliva. Ini berarti bahwa kortisol yang diukur dalam saliva adalah fraksi “bebas” aktif. Ketika kadar serum diukur, kortisol bebas harus diukur dalam lingkungan sejumlah besar kortisol "terikat" (tidak aktif); dan literatur yang tersedia jelas menunjukkan bahwa kortisol saliva lebih erat berkorelasi dengan fraksi kortisol bebas dalam serum dibandingkan dengan total kortisol serum. Selain itu, kadar kortisol saliva stabil pada suhu kamar dan melalui surat, menjadikan metode ini ideal untuk pengambilan sampel di luar kantor dan pengiriman ke laboratorium untuk pengukuran.19 Sementara pemahaman utama aksis HPA dapat diperoleh dengan mengambil tiga atau empat pengukuran kortisol saliva sepanjang hari, pengukuran pagi hari mungkin yang paling informatif dan penting karena memberikan nilai terbesar pada jumlah kortisol. Sederhananya, pencerahan merangsang sumbu HPA dan bertindak seperti miniatur stress test HPA axis setiap hari. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa aktivitas aksis HPA (yang diukur



dengan kadar kortisol saliva) meningkat 50 hingga 75 persen dalam 30 menit pertama setelah bangun, analog dengan tantangan aksis HPA lainnya. Lonjakan kortisol pagi hari telah diistilahkan sebagai Cortisol Awakening Response (CAR) dan dianggap dalam banyak model penelitian sebagai penentu utama untuk evaluasi aksis HPA. Dokter harus memastikan bahwa pasien mengambil sampel kortisol pagi pertama 30 menit setelah bangun, waktu yang dibutuhkan untuk CAR serum puncak untuk mencapai saliva. Penting juga untuk memastikan bahwa tes dilakukan pada hari yang diprediksi pasien akan menjadi tipikal (berdasarkan stres) mungkin untuk menghindari mengukur anomali yang disebabkan oleh stres fisik atau emosional yang tiba-tiba atau diantisipasi.19 Gambar 7. Variasi nilai kortisol harian (standar) 2.4 HUBUNGAN STRESOR, KADAR KORTISOL DAN DISMENORE Bagian sentral respon stres diperankan oleh corticotropin relesing hormone (CRF). CRF merupakan regulator endokrin yang penting kelenjar hipofisis dan kelenjar adrenal. Neurotransmiter terlibat dalam aktivitas sistem syaraf otonom, metabolisme dan perilaku. Pada kasus stres akut berat hipereksitabilitas dari Sympathetic Nervouse System (SNS) mempengaruhi



hypothalamic-pituitary



adrenal



axis



dengan



menghasilkan



hormon



glukokortikoid dalam jumlah yang banyak, menyebabkan gangguan di dalam tubuh, efek jangka pendek antara lain hipoglikemia, palpitasi, infark miokard, stroke sementara efek jangka panjang antara lain disfungsi beberapa sistem (syok psikologis, post traumatic Stress Disorder). Stres menyebabkan aktivasi SNS merangsang medula kelenjar adrenal untuk menghasilkan epinefrin (adrenalin) yang akan menghambarkan pengeluaran GnRH.10 Sejumlah besar penelitian telah dilakukan untuk memahami kaskade rumit peristiwa yang terjadi setelah otak mendeteksi gangguan pada homeostasis (stresor) dan respons hormonal yang didorong oleh sistem ini. Komponen utama dari "sistem stres" adalah aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) dan sistem saraf simpatis (SNS). Ketika hipotalamus dipicu oleh stresor, hormon pelepas kortikotropin (CRH-alias CRF, faktor pelepas



kortikotropin) dan arginin vasopresin (AVP) disekresi, memunculkan baik produksi hormon adrenokortikotropin (ACTH) dari hipofisis posterior dan aktivasi. dari neuron noradrenergik dari sistem locus caeruleas / norepinepherine (LC / NE) di otak. Sistem LC / NE terutama bertanggung jawab untuk respon "melawan atau lari" langsung yang digerakkan oleh epinefrin dan norepinefrin, sementara ACTH mendorong produksi kortisol dari korteks adrenal. Dalam kondisi normal, produksi CRH dan ACTH berfluktuasi dalam siklus sirkadian yang dapat diprediksi dan dihambat oleh kadar kortisol darah yang tinggi melalui loop umpan balik negatif yang dijelaskan dengan baik. Ini adalah ritme dan respons yang dapat diprediksi dari poros HPA yang cocok untuk evaluasi eksperimental dan klinis.19



Gambar 8. Aksis HPA dan sistem respon stres19 Sementara banyak metabolit dalam aksis HPA dapat dipantau, kortisol adalah hormon yang biasanya mendapat perhatian paling besar dalam penelitian dan praktik klinis. Kortisol, hormon glukokortikoid, adalah modulator pleiotropik dari aktivitas seluler melalui reseptor glukokortikoid intraseluler (GR) yang ditemukan di sebagian besar jaringan. Seperti respon stres secara umum, kortisol dimaksudkan untuk mendorong proses seluler menjauh dari proses metabolisme jangka panjang dan menuju yang berfungsi terutama pada survival



langsung dan homeostasis. Dengan demikian, loop umpan balik negatif dari kortisol pada sekresi sendiri dirancang untuk membatasi paparan jangka panjang dari jaringan untuk tindakan katabolik dan imunosupresif jangka pendek ini. Stresor kronis dan berulang dapat menyebabkan satu atau lebih bentuk disregulasi aksis HPA, mengubah sekresi kortisol yang tepat dan mempengaruhi fungsi organ akhir.19 Limbik di otak akan merespon stresor dengan memberikan signal ke paraventrikuler nucleus



(PVN)



hipotalamus,



selanjutnya



hipotalamus



akan



mensekresikan



Adenocorticotropin Homone (ACTH), ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan glucocorticoid (kortisol), glukokortikoid mempunyai mekanisme aksi terhadap organ yang mempunyai reseptor glukokortikoid (GR) yaitu pada hipotalamus, ovarium dan limbik. Di otak, area yang paling banyak glucocorticoid receptor (GR) adalah di area limbik. Limbik diketahui merupakan area untuk mengatur perilaku manusia. Ikatan glukokortikoid dengan reeptornya di limbik akan mengaktifkan jalur hipothamus pituitary adrenal axis sehingga menjadi siklus yang terus berulang. Di samping itu limbik juga akan mempengaruhi syaraf simpatis dimana akan meningkatkan denyut jantung (palpitasi), berkeringat, dan peristaltik usus meningkat. Sementara ikatan glukokortikoid dengan reseptornya di hipotalamus akan menyebabkan produksi Gonadotropin Releasing Hormone ditekan. sehingga hipofisis mendapat pengaruh sekunder dengan ditekannya produksi GnRH, dimana produksi FSH dan LH akan berkurang, sehingga produksi homon estrogen dan progesteron akan menurun dan bisa mengakibatkan hypogonadotropic hypogonadism.11 Sistem limbik berhubungan erat dengan emosi, kegiatan motorik dan sensorik bawah sadar serta perasaan intrinsik mengenai rasa nyeri dan kesenangan. Bagian utama dari sistem limbik adalah hipotalamus. Selain berperan mengatur perilaku, area ini juga mengatur banyak kondisi internal dari tubuh, seperti pengaturan dorongan makan minum dan berfungsi sebagai pengatur berat badan. Rangsangan pada hipotalamus menimbulkan berbagai sekresi neurohormonal melalui HPA-axis. Pengaruh emosi sendiri diperoleh melalui amigdala. Amigdala ini menerima signal neuronal dari semua bagian korteks lobus temporal, parietal dan oksipital terutama dari area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual. Hubungan yang multipel ini dari amigdala disebut “ jendela” yang dipakai oleh sistem limbik untuk melihat kedudukan seseorang di dunia. Dan dalam gerakan sebaliknya ia menjalarkan sinyal kembali kepada area korteks yang sama, hipokampus, septum, talamus dan secara khusus kepada hipotalamus.12



Perangsangan pada amigdala dapat menyebabkan efek yang hampir serupa dengan efek akibat perangsangan hipotalamus. Efek yang dijalarkan melalui hipotalamus meliputi peningkatan atau penurunan tekanan arteri, peningkatan frekuensi jantung, defekasi dan miksi, dilatasi pupil, piloereksi, sekresi hormon hipofisis anterior terutama hormon gonadotropin dan kortikotropik. Perangsangan amigdala dapat meinumbulkan berbagai macam pergerakan involunter pergerakan tonik, melingkar, marah, melarikan diri, rasa senang, ereksi, ejakulasi, ovulasi, aktivitas uterus, persalinan prematur. Pengaruh emosi terhadap amigdala dan sistem endokrin dapat digambarkan sebagai berikut :12



Gambar 9. Pengaruh Emosi terhadap Amigdala.12 Korteks adrenal terdiri dari 3 zona yaitu glomerolusa (bagian luar), fasciculata (bagian tengah) dan retikularis (penghasil kortisol dan androgen). Antara hipotalamus dan korteks adrenal terdapat jalur efferen yang memungkinkan stres dapat merangsang sekresi CRH oleh hipotalamus, CRH akan merangsang sekresi ACTH oleh hipofisis anterior. ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk memproduksi kortisol. Kortisol yang tinggi akan masuk ke sirkulasi menekan pertumbuhan sel imun tubuh dan mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter adrenalin yang mengakibatkan blokade sekresi GnRH sehingga terjadi gangguan produksi FSH dan LH dan mengakibatkan gangguan menstruasi.12 Kortisol adalah hormon glukokortikoid yang dikeluarkan oleh korteks luar kelenjar adrenal. CRH (hormon pelepas kortikotropin) dan ACTH (hormon adrenokortikotrofik) merangsang sekresi kortisol melalui kontrol umpan balik. Steroid ini memainkan peran penting dalam pengaturan proses fisiologis yang paling penting, termasuk metabolisme



energi, pemeliharaan keseimbangan elektrolit dan tekanan darah, respons imunodulasi dan stres, proliferasi dan diferensiasi sel, serta pengaturan fungsi memori dan kognitif. Kortisol sering dikeluarkan sebagai respons terhadap stres. Kortisol diklasifikasikan sebagai kortikosteroid, karena biosintesisnya di korteks adrenal. Juga diklasifikasikan sebagai glukokortikoid, karena pengamatan awal fungsinya dalam pengaturan glukosa dan metabolisme. Kortisol diproduksi in vivo dari kolesterol dan dikeluarkan terutama dari korteks adrenal. Kadar kortisol dalam cairan tubuh ditandai oleh ritme sirkadian dengan maksimum pagi hari, kadar menurun sepanjang siang hari, periode konsentrasi rendah sekitar tengah malam dan naik setelah beberapa jam pertama tidur. Ritme sirkadian ini lebih ditunjukkan dalam plasma daripada dalam urin dan saliva. 13,14 Stres mental adalah salah satu penyebab utama yang utama dismenore di kalangan wanita muda. Tampaknya ada hubungan antara keparahan stres dan frekuensi wanita yang menderita dismenore. Pahlevi Yudha Prihatama15 melakukan penelitian analitik komparatif dengan pendekatan cross sectional, Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 2 Ngawi pada Bulan November 2012 terdapat hubungan yang bermakna antara stres dan dismenore pada siswi kelas tiga SMA Negeri 2 Ngawi. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Maryam dkk 16 (2015) didapatkan Hubungan antara stres psikologis dan dismenore pada menstruasi terakhir dalam penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan secara statistik (p 0,745), tetapi wanita dengan stres yang lebih parah memiliki kemungkinan 54% untuk mengalami dismenore pada populasi umum (OR 1,15, 95% CI 0,5-2,66) ). Selain itu, hubungan antara tingkat keparahan stres dan tingkat keparahan dismenore pada menstruasi terakhir di antara mereka yang mengalami dismenore secara statistik signifikan (p