Afektif Dalam Matematika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang perlu dikuasainya matematika oleh siswa. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya fikir manusia. Dengan belajar matematika siswa dapat berlatih menggunakan fikirannya secara logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta memiliki kemampuan bekerjasama dalam menghadapi berbagai masalah serta mampu memanfaatkan informasi yang diterimanya. Menurut NCTM (2000), dalam belajar matematika siswa memiliki kemampuan: pemahaman, pemecahan masalah, komunikasi, dan koneksi matematis. Secara umum, aspek afektif perlu mendapatkan perhatian. Begitu pula halnya dalam pembelajaran matematika, aspek afektif juga perlu diperhatikan oleh guru. Sebagaimana diketahui bahwa matematika yang objeknya berkaitan dengan angka-angka dan rumus-rumus secara tidak langsung membuat guru terfokus pada aspek kognitif sehingga seringkali aspek afektif dalam pembelajaran matematika kurang diperhatikan oleh guru. Padahal sikap siswa terhadap pelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang keberhasilan siswa dalam belajar matematika. Hal ini seperti diperkuat oleh pendapat oleh pendapat Begle yang dikutip oleh Darhim (2004: 1) bahwa sikap positif siswa terhadap matematika memberikan pengaruh positif dalam diri siswa untuk mencapai keberhasilan dalam belajar matematika. Dengan demikian jelaslah bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa tidak hanya di upayakan untuk menguasai kompetensi dalam aspek kognitif, tetapi juga aspek afektif atau sikap. Sejalan dengan pernyataan di atas. Sumarno (2000) mengatakan bahwa pembelajaran matematika hendaknya mengutamakan pada perkembangan daya matematik (mathematical power) siswa yang meliputi: kemampuan menggali, menyusun konjektur dan menalar secara logik, menyelesaikan masalah yang tidak rutin, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara matematika dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya (koneksi matematik). Kemampuan pemahaman, komunikasi, dan disposisi matematis merupakan kemampuan yang esensial untuk dikembangkan pada siswa sekolah dasar. Pentingnya pemilikan kedua kemampuan matematis dan disposisi matematis diatas termuat dalam tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk Sekolah Dasar antara lain: siswa memiliki kemampuan memahami konsep matematika dan kemampuan mengkomunikasikan gagasan atau ide matematika dengan menggunakan simbol, tebel, diagram, atau media lain, serta memiliki sikap positif (disposisi) terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan, misalnya rasa ingin tahu, perhatian, dan minat mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. KTSP 2006 menganjurkan agar pembelajaran matematika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem), kemudian secara bertahap siswa dibimbing memahami konsep matematika secara komprehensif. Pada dasarnyapencapaian pemahaman tersebut tidak sekedar untuk memenuhi tujuan pembelajaran matematika saja namun diharapkan munsul efek iringan dari pembelajaran tersebut. Efek iringan yang dimaksud antara lain adalah siswa lebih: (1) memahami keterkaitan antar topik matematika; (2) menyadari akan penting dan strategisnya matematika bagi bidang lain; (3) memahami peranan matematika dalam kehidupan manusia; (4) mampu berfikir logis,



kritis dan sistematis; (5) kreatif dan inovatif dalam mencari solusi; dan (6) peduli pada lingkungan sekitarnya.



RANAH PSIKOMOTORIK, KOGNITIF, DAN AFEKTIF PDALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA



Tujuan Instruksional dalam Pembelajaran Matematika (Kognitif, Efektif, dan Psikomotorik) Materi dalam suatu pembelajaran tidak mungkin langsung dapat kita pelajari, tanpa dipelajari terlebih dahulu, baik dipelajari sendiri maupun diajarkan oleh pendidik. Proses atau kegiatan mempelajari materi ini terjadi dalam saat terjadinya situasi belajar mengajar atau pengajaran (instruksional). Dari perkatan pengajaran atau instruksional inilah maka timbul istilah tujuan instruksional merupakan bagaian dari pembelajaran. Tujuan



instruksional



dalam



pembelajaran



matematika



adalah



tujuan



yang



menggambarkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang harus dimiliki oleh peserta didik sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku (behavior) yang dapat diamati dan diukur dalam pembelajaran matematika. Matematika mempelajari tentang keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan, konsep-konsep matematika tersusun secara hirarkis, berstruktur dan sistematika, mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep paling kompleks. Dalam kegiatan belajar mengajar, dikenal adanya tujuan pengajaran, atau yang sudah umum dikenal dengan tujuan instruksional. Atau sering juga disebut dengan pembelajaran. Dengan demikian tujuan pengajaran matematika adalah tujuan dari suatu proses interaksi antara guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan dalam bidang matematika.



Adapun tujuan dari pengajaran matematika adalah:



1.



Mempersiapkan siswa meggunakan matematika dan pola fokus matematika dalam kehidupan sehari – hari dan dalam mepelajari berbagai ilmu pengetahuan.



2. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dan pola fokus dalam kehidupan dan dunia selalu berkembang, Secara khusus tujuan kurikuler pengajaran matematika di SMA dalam kurikulum berbasis kompetensi adalah sebagai berikut: 1. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menerik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksprimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan ekonsisten. 2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, mebuat predeksi serta mencoba-coba. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. 4. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain melalui pembicaraan lisan, catatan grafik, peta, diagram dalam menjelaskan gagasan. Ilmu matematika itu tidak hanya dituntut sekedar menghitung, tetapi siswa juga dituntut agar lebih mampu menghadapi berbagai masalah dalam hidup ini. Masalah itu baik mengenai matematika itu sendiri maupun masalah dalam ilmu lain, serta dituntut suatu disiplin ilmu yang sangat tinggi, sehingga apabila telah memahami konsep matematika secara mendasar dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks evaluasi hasil belajar, maka ketiga domain atau ranah itulah yang harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi hasil belajar. Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru disekolah karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran. Format Pembagian penilaian



Pada awalnya teori afektif ini dikembangkan oleh peneliti pendidikan seperti : Krathwohl, Bloom dan Masia . Bahkan mereka menjadikan penilaian afektif menjadi 5 klasifikasi kemampuan afektif. Tiap klasifikasi dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih khusus, meliputi: 1). Menerima (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu), 2). Merespon (aktif berpartisipasi), 3). Menghargai (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu), 4). Mengorganisasi (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya), 5). Bertindak/ Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya). Secara dasar dapat di tegaskan bahwa penilaian afektif memang sangat bersifat kualitatif sehingga tidak bisa secara mudah digabungkan dalam sistem penilaian kognitif, ini bisa terlihat dalam penilaian afektif KTSP yang resmi digunakan diknas Depdiknas Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan sederajat.



Contoh Format Penilaian dalam Aspek Kognitif, Afektif, dan Psikomotor



Kognitif No



1 1. 2. 3.



Afektif



Psikomotor



Nama Siswa 2



3



4



1



2



3



4



5



1



2



1. Ranah kognitif Ranah kognitif yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mengevaluasi, dan mengkreasikan. Tujuan penilaian kognitif adalah Untuk mengukur kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual yang sederhana yaitu mengingat sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode, atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Apabila melihat kenyataan yang ada dalam sistem pendidikan yang diselenggarakan, pada umumnya baru menerapkan beberapa aspek kognitif tingkat rendah, seperti pengetahuan, pemahaman dan sedikit penerapan. Sedangkan tingkat analisis, sintesis dan evaluasi jarang sekali diterapkan. Apabila semua tingkat kognitif diterapkan secara merata dan terus-menerus maka hasil pendidikan akan lebih baik. Pengukuran hasil belajar ranah kognitif dilakukan dengan tes tertulis. Bentuk tes kognitif seperti berikut; (1)



tes atau pertanyaan lisan di kelas, (2) pilihan ganda, (3) uraian obyektif, (4) uraian non obyektif atau uraian bebas, (5) jawaban atau isian singkat, (6) menjodohkan, (7) portopolio dan (8) performans.



2. Ranah afektif Kemampuan pada ranah afektif hanya dapat dilihat dari atau melalui laporan diri siswa secara terpisah oleh pengamatan guru. Seperti kita ketahui bahwa ada beberapa komponen afektif yang penting untuk diukur, yaitu, sikap, minat, konsep diri dan nilai. Selanjutnya penilaian afektif tidak boleh mewakili semua pelajaran, tetapi harus menjadi pengawal pada mata pelajaran tertentu tetapi dengan lembar format penilaian yang berbeda dan dengan sudut pandang yang berbeda pula. Contoh misalnya kita akan menilai aspek siswa dalam belajar matematika maka penilaiannya seputar pendapat siswa terhadap proses pembelajaran



yang diikutinya, cara belajar matematika, rasa percaya diri siswa dalam belajar, serta tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas belajar matematika , kegigihan dalam menyelesaikan



permasalahan matematika, kemampuan bekerjasama serta keberanian



menyelesaikan permasalahan matematika. Dengan demikian, dalam penilaian afektif ini tujuannya, untuk menilai sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral. Ranah afektif lain yang penting adalah : 



Kejujuran : peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan orng lain.







Integritas : peserta didik harus meningkatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan artistik.







Adil : peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan







Kebebasan : peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.



3. Ranah Psikomotor Ranah ini dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan. Namun biasanya pengukuran ranah ini disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus. Misalnya penampilannya dalam menggunakan termometer diukur mulai dari pengetahuan mereka mengenai alat tersebut, pemahaman tentang alat dan penggunaannya (aplikasi), kemudian baru cara menggunakannya dalam bentuk keterampilan. Untuk pengukuran yang terakhir ini harus diperinci antara lain : cara memegang, cara melatakkan/menyipkan kedalam ketiak atau mulut, cara membaca angka, cara mengembalikan ke tempatnya dan senagainya. Ini semua tergantung dari kehendak kita, asal tujuan pengukuran dapat tercapai.



Instrumen yang digunakan mengukur keterampilan biasanya berupa matriks. Ke bawah menyatakan perperincian aspek (bagian keterampilan) yang akan diukur, kekanan menunjukkan skor yang dapat dicapai. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melaluli keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan aktivitas fisik, misalnya; menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah di kuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat nerupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes untuk kerja. 1. Tes simulasi Kegiatan psikomotorik yang di lakukan melalui tes ini, jika tidak ada alat yang sesungguhnya yang dapat di pakai untuk memperagakan penampilan peserta didik, sehingga peserta didik dapat di nilai tentang penguasaan keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah menggunakan suatu alat yang sebenarnya. 2. Tes untuk kerja (work sample) Kegiatan psikomotorik yang dilakukan melalui tes ini, dilakukan dengan sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakh peserta didik sudah menguasai/terampil menggunakan alat tersebut. Misalnya dalam melakukan praktik pengaturan lalu lintas di lapangan yang sebenarnya. Tes simulasi dan tes untuk kerja, semuanya dapat diperoleh dengan observasi langsung ketika peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran. Lembar observasi dapat menggunakan daftar cek (chek-list) ataupun skala penilaian (rating scale). Psikomotorik yang di ukur dapat menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat baik, baik, kerang, dan tidak baik. Dengan kata lain, kegiatan belajar yang banyak berhubungan dengan ranah psikomotor adalah praktik di aula/lapangan dan praktikum di laboratorium. Dalam kegiatankegiatan praktik itu juga ada ranah kognitif dan afektifnya, namun hanya sedikit bila di



bandingkan dengan ranah psikomotor. Pengukuran hasil belajar ranah psikomotor menggunakan tes untuk kerja atau lembar tugas. Contohnya kemampuan psikomotor yang di bina dalam belajar matematika misalnya berkaitan dengan kemampuan mengukur (dengan satuan tertentu, baik satuan baku maupun tidak baku), menggambar bentuk-bentuk geometri (bangun datar, bangun ruang, garis, sudut, dll) atau tanpa alat. Contoh lainnya, siswa di bina kompetensinya menyangkut kemampuan melukis jaring-jaring kubus secara psikomotor dapat dilihat dari gerak tangan siswa dalam menggunakan peralatan (jangka dan penggaris) saat melukis. Secara teknis penilaian ranah psikomotor dapat di lakukan dengan pengamatan (perlu lembar pengamatan) dan tes perbuatan. Dalam ranah psikomotorik yang di ukur meliputi : (1). Gerak reflex, (2) gerak dasar fundamen, (3) keterampilan perceptual, (4) keterampilan fisik, (5) gerakan terampil, (6) komunikasi non diskusi (tanpa bahasa melalui gerakan) meliputi: gerakan ekspresif, gerakan interprestatif. Berbagai penelitian telah menilai hubungan antara integrasi visualmotor, pengembangan perseptual-motor dan kemampuan motorik dan keaksaraan dalam membaca, menulis dan berhitung (Matematika), dan hubungan positif telah ditunjukkan (Solan & Mozlin 1986; Parush et al 2000;. Assel et al 2003;. Daly et al. 2003; Kulp & Sortor 2003; Lotz et al. 2005; Van Hoorn et al. 2010). Namun, sebagian besar penelitian ini telah dilakukan di negara-negara maju dengan kurangnya penelitian tentang hubungan mungkin ini di negara-negara berkembang di mana peserta didik yang terkena tantangan yang berbeda. Various studies have assessed relationships between visualmotor integration, perceptual-motor development and motor proficiency and literacy in reading, writing and numeracy (mathematics), and positive relationships have been indicated (Solan &Mozlin 1986; Parush et al. 2000; Assel et al. 2003; Daly et al. 2003; Kulp & Sortor 2003; Lotz et al. 2005; Van Hoorn et al. 2010). However, most of these studies have been conducted in developed countries with a lack of research about this possible relationship in developing countries where learners are exposed to different challenges.